You are on page 1of 13

BAB 1

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Anatomi
Kandung empedu (Vesica fellea) adalah kantong berbentuk buah pear yang
terletak pada permukaan visceral hepar, panjangnya sekitar 7 – 10 cm.
Kapasitasnya sekitar 30-50 cc dan dalam keadaan terobstruksi dapat
menggembung sampai 300 cc. Vesica fellea dibagi menjadi fundus, corpus dan
collum. Fundus berbentuk bulat dan biasanya menonjol dibawah pinggir inferior
hepar yang dimana fundus berhubungan dengan dinding anterior abdomen
setinggi ujung rawan costa IX kanan. Corpus bersentuhan dengan permukaan
visceral hati dan arahnya keatas, belakang dan kiri. Collum dilanjutkan sebagai
duktus cysticus yang berjalan dalam omentum minus untuk bersatu dengan sisi
kanan ductus hepaticus comunis membentuk duktus koledokus. Peritoneum
mengelilingi fundus vesica fellea dengan sempurna menghubungkan corpus dan

collum dengan permukaan visceral hati.


Gambar 1: Gambaran anatomi kandung empedu (Emedicine, 2007)

0
Pembuluh arteri kandung empedu adalah arteri cystica, cabang arteri
hepatica kanan. Vena cystica mengalirkan darah lengsung kedalam vena porta.
Sejumlah arteri yang sangat kecil dan vena – vena juga berjalan antara hati dan
kandung empedu. Pembuluh limfe berjalan menuju ke nodi lymphatici cysticae
yang terletak dekat collum vesica fellea. Dari sini, pembuluh limfe berjalan
melalui nodi lymphatici hepaticum sepanjang perjalanan arteri hepatica menuju ke
nodi lymphatici coeliacus. Saraf yang menuju kekandung empedu berasal dari
plexus coeliacus.
1.2 Fisiologi Saluran Empedu
Vesica fellea berperan sebagai resevoir empedu dengan kapasitas sekitar
50 ml. Vesica fellea mempunyai kemampuan memekatkan empedu. Dan untuk
membantu proses ini, mukosanya mempunyai lipatan-lipatan permanen yang satu
sama lain saling berhubungan. Sehingga permukaanya tampak seperti sarang
tawon. Sel- sel thorak yang membatasinya juga mempunyai banyak mikrovilli.
Empedu dibentuk oleh sel-sel hati ditampung di dalam kanalikuli. Kemudian
disalurkan ke duktus biliaris terminalis yang terletak di dalam septum interlobaris.
Saluran ini kemudian keluar dari hati sebagai duktus hepatikus kanan dan kiri.
Kemudian keduanya membentuk duktus biliaris komunis. Pada saluran ini
sebelum mencapai doudenum terdapat cabang ke kandung empedu yaitu duktus
sistikus yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan empedu sebelum disalurkan
ke duodenum.
Empedu dialirkan sebagai akibat kontraksi dan pengosongan parsial
kandung empedu. Mekanisme ini diawali dengan masuknya makanan berlemak
kedalam duodenum. Lemak menyebabkan pengeluaran hormon kolesistokinin
dari mukosa duodenum, hormon kemudian masuk kedalam darah, menyebabkan
kandung empedu berkontraksi. Pada saat yang sama, otot polos yang terletak pada
ujung distal duktus coledokus dan ampula relaksasi, sehingga memungkinkan
masuknya empedu yang kental ke dalam duodenum. Garam – garam empedu
dalam cairan empedu penting untuk emulsifikasi lemak dalam usus halus dan
membantu pencernaan dan absorbsi lemak.
Proses koordinasi kedua aktifitas ini disebabkan oleh dua hal yaitu:

1
a) Hormonal: Zat lemak yang terdapat pada makanan setelah sampai duodenum
akan merangsang mukosa sehingga hormon Cholecystokinin akan terlepas.
Hormon ini yang paling besar peranannya dalam kontraksi kandung empedu.
b) Neurogen: Stimulasi vagal yang berhubungan dengan fase Cephalik dari
sekresi cairan lambung atau dengan refleks intestino-intestinal akan menyebabkan
kontraksi dari kandung empedu. Rangsangan langsung dari makanan yang masuk
sampai ke duodenum dan mengenai Sphincter Oddi, sehingga pada keadaan
dimana kandung empedu lumpuh, cairan empedu akan tetap keluar walaupun
sedikit. Pengosongan empedu yang lambat akibat gangguan neurologis maupun
hormonal memegang peran penting dalam perkembangan inti batu.

1.3 Definisi
Gambar 2: Gambaran batu dalam kandung empedu (Emedicine, 2007)

Cholelithiasis merupakan adanya atau pembentukan batu empedu; batu ini


mungkin terdapat dalam kandung empedu (cholecystolithiasis) atau dalam ductus
choledochus (choledocholithiasis). Kolelitiasis (kalkuli/kalkulus, batu empedu)
merupakan suatu keadaan dimana terdapatnya batu empedu di dalam kandung
empedu (vesica fellea) yang memiliki ukuran, bentuk dan komposisi yang
bervariasi. Kolelitiasis lebih sering dijumpai pada individu berusia diatas 40 tahun
terutama pada wanita dikarenakan memiliki faktor resiko, yaitu: obesitas, usia
lanjut, diet tinggi lemak dan genetik. Sinonimnya adalah batu empedu, gallstones,
biliary calculus. Istilah kolelitiasis dimaksudkan untuk pembentukan batu di
dalam kandung empedu. Batu kandung empedu merupakan gabungan beberapa
unsur yang membentuk suatu material mirip batu yang terbentuk di dalam

2
kandung empedu. Kandung empedu adalah sebuah kantung terletak di
bawah hati yang mengonsentrasikan dan menyimpan empedu sampai
dilepaskan ke dalam usus. Kebanyakan batu duktus koledokus berasal dari batu
kandung empedu, tetapi ada juga yang terbentuk primer di dalam saluran empedu.
Batu empedu bisa terbentuk di dalam saluran empedu jika empedu mengalami
aliran balik karena adanya penyempitan saluran. Batu empedu di dalam saluran
empedu bisa mengakibatkan infeksi hebat saluran empedu (kolangitis). Jika
saluran empedu tersumbat, maka bakteri akan tumbuh dan dengan segera
menimbulkan infeksi di dalam saluran. Bakteri bisa menyebar melalui aliran darah
dan menyebabkan infeksi di bagian tubuhlainnya.
1.4 Epidemiologi
Di Indonesia, kolelitiasis baru mendapatkan perhatian di klinis, sementara
publikasi penelitian batu empedu masih terbatas. Sebagian besar pasien dengan
batu empedu tidak mempunyai keluhan.
1.5 Etiologi dan faktor risiko
Faktor risiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan
bertambahnya usia. Orang dengan usia > 40 tahun lebih cenderung untuk terkena
kolelitiasis dibandingkan dengan orang degan usia yang lebih muda.
Meningkatnya sekresi kolesterol ke dalam empedu sesuai dengan bertambahnya
usia. Empedu menjadi semakin litogenik bila usia semakin bertambah.
Jenis Kelamin Wanita mempunyai risiko dua kali lipat untuk terkena
kolelitiasis dibandingkan dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen
berpengaruh terhadap peningkatan eskresi kolesterol oleh kandung empedu.
Hingga dekade ke-6, 20 % wanita dan 10 % pria menderita batu empedu dan
prevalensinya meningkat dengan bertambahnya usia, walaupun umumnya selalu
pada wanita.
Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih
tinggi untuk terjadi kolelitiasis. Ini karenakan dengan tingginya BMI maka kadar
kolesterol dalam kandung empedu pun tinggi, dan juga mengurasi garam empedu
serta mengurangi kontraksi/ pengosongan kandung empedu.
Konsumsi makanan yang mengandung lemak terutama lemak hewani
berisiko untuk menderita kolelitiasis. Kolesterol merupakan komponen dari

3
lemak. Jika kadar kolesterol yang terdapat dalam cairan empedu melebihi batas
normal, cairan empedu dapat mengendap dan lama kelamaan menjadi batu. Intake
rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat mengakibatkan gangguan
terhadap unsur kimia dari empedu dan dapat menyebabkan penurunan kontraksi
kandung empedu
1.6 Patofisiologi
Batu empedu yang ditemukan pada kandung empedu di
klasifikasikan berdasarkan bahan pembentuknya sebagai batu kolesterol, batu
pigment dan batu campuran. Lebih dari 90% batu empedu adalah kolesterol (batu
yang mengandung > 50% kolesterol) atau batu campuran (batu yang mengandung
20-50% kolesterol). Angka 10% sisanya adalah batu jenis pigmen, yang mana
mengandung < 20% kolesterol. Faktor yang mempengaruhi pembentukan batu
antara lain adalah keadaan statis kandung empedu, pengosongan kandung empedu
yang tidak sempurna dan konsentrasi kalsium dalam kandung empedu. Batu
kandung empedu merupakan gabungan material mirip batu yang terbentuk
didalam kandung empedu. Pada keadaan normal, asam empedu, lesitin dan
fosfolipid membantu dalam menjaga solubilitas empedu. Bila empedu menjadi
bersaturasi tinggi (super saturated) oleh substansi berpengaruh (kolesterol,
kalsium, bilirubin), akan berkristalisasi dan membentuk nidus untuk
pembentukan batu. Kristal yang yang terbentuk terbak dalam kandung empedu,
kemudian lama-kelamaan kristal tersebut bertambah ukuran,beragregasi, melebur
dan membetuk batu. Faktor motilitas kandung empedu, biliary stasis, dan
kandungan empedu merupakan predisposisi pembentukan batu empedu.
1.7 Klasifikasi
Menurut gambaran makroskopis dan komposisi kimianya, batu empedu
digolongkan atas 3 (tiga) golongan, yaitu:
a) Batu kolesterol: Berbentuk oval, multifokal ataumulberrydan
mengandung lebih dari 70% kolesterol.
b) Batu kalsium bilirubinan (pigmen coklat): Berwarna coklat atau
coklat tua, lunak, mudah dihancurkan dan mengandung kalsium-
bilirubinat sebagai komponen utama.

4
c) Batu pigmen hitam: Berwarna hitam atau hitam kecoklatan, tidak
berbentuk, seperti bubuk dan kayaakan sisa zat hitam yang tak
terekstraksi.
1.8 Manifestasi Klinis
Penderita batu kandung empedu baru memberi keluhan bila batu tersebut
bermigrasi menyumbat duktus sistikus atau duktus koledokus, sehingga gambaran
klinisnya bervariasi dari yang tanpa gejala (asimptomatik), ringan sampai berat
karena adanya komplikasi. Dijumpai nyeri di daerah hipokondrium kanan, yang
kadang-kadang disertai kolik bilier yang timbul menetap/konstan. Rasa nyeri
kadang-kadang dijalarkan sampai didaerah subkapula disertai nausea, vomitus dan
dyspepsia, flatulen dan lain-lain.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan hipokondrium kanan, dapat
teraba pembesaran kandung empedu dan tanda Murphy positif. Dapat juga timbul
ikterus. Ikterus dijumpai pada 20 % kasus, umumnya derajat ringan (bilirubin <
4,0 mg/dl). Apabila kadar bilirubin tinggi, perlu dipikirkan adanya batu di saluran
empedu ekstra hepatic. Kolik bilier merupakan keluhan utama pada sebagian
besar pasien. Nyeri viseralini berasal dari spasmetonik akibat obstruksi transient
duktus sistikus oleh batu. Dengan istilah kolik bilier tersirat pengertian
bahwa mukosa kandung empedu tidak memperlihatkan inflamasi akut.
Kolik bilier biasanya timbul malam hari atau dini hari, berlangsung lama
antara 30– 60 menit, menetap, dan nyeri terutama timbul di daerah epigastrium.
Nyeri dapat menjalar ke abdomen kanan, ke pundak, punggung, jarang ke
abdomen kiri dan dapat menyerupai angina pektoris. Kolik bilier harus dibedakan
dengan gejala dispepsia yang merupakan gejala umum pada banyak pasien dengan
atau tanpa kolelitiasis. Diagnosis dan pengelolaan yang baik dan tepat dapat
mencegah terjadinya komplikasi yang berat. Komplikasi dari batu kandung
empedu antara lain kolesistitis akut, kolesistitis kronis, koledokolitiasis,
pankreatitis, kolangitis, sirosis bilier sekunder, ileus batu empedu, abses hepatik
dan peritonitis karena perforasi kandung empedu. Komplikasi tersebut akan
mempersulit penanganannya dan dapat berakibat fatal. Sebagian besar (90 – 95
%) kasus kolesititis akut disertai kolelitiasis dan keadaan ini timbul akibat
obstruksi duktus sistikus yang menyebabkan peradangan organ tersebut.

5
Pasien dengan kolesistitis kronik biasanya mempunyai kolelitiasis dan
telah sering mengalami serangan kolik bilier atau kolesistitis akut. Keadaan ini
menyebabkan penebalan dan fibrosis kandung empedu dan pada 15 % pasien
disertai penyakit lain seperti koledokolitiasis, panleneatitis dan kolongitis. Batu
kandung empedu dapat migrasi masuk ke duktus koledokus melalui duktus
sistikus (koledokolitiasis sekunder) atau batu empedu dapat juga terbentuk di
dalam saluran empedu (koledokolitiasis primer). Perjalanan penyakit
koledokolitiasis sangat bervariasi dan sulit diramalkan yaitu mulai dari tanpa
gejala sampai dengan timbulnya ikterus obstruktif yang nyata. Batu saluran
empedu (BSE) kecil dapat masuk ke duodenum spontan tanpa menimbulkan
gejala atau menyebabkan obstruksi temporer di ampula vateri sehingga timbul
pankreatitis akut dan lalu masuk ke duodenum (gallstone pancreatitis). BSE yang
tidak keluar spontan akan tetap berada dalam saluran empedu dan dapat
membesar. Gambaran klinis koledokolitiasis didominasi penyulitnya seperti
ikterus obstruktif, kolangitis dan pankreatitis.
1.9 Diagnosis
1.9.1 Anamnesis
Setengah sampai dua pertiga penderita kolelitiasis adalah asintomatis.
Keluhan yang mungkin timbul adalah dispepdia yang kadang disertai intoleran
terhadap makanan berlemak. Pada yang simtomatis, keluhan utama berupa nyeri
di daerah epigastrium, kuadran kanan atas atau perikomdrium. Rasa nyeri lainnya
adalah kolik bilier yang mungkin berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang
baru menghilang beberapa jam kemudian. Timbulnya nyeri kebanyakan perlahan-
lahan tetapi pada 30% kasus timbul tiba-tiba. Penyebaran nyeri pada punggung
bagian tengah, skapula, atau ke puncak bahu, disertai mual dan muntah. Lebih
kurang seperempat penderita melaporkan bahwa nyeri berkurang setelah
menggunakan antasida. Kalau terjadi kolelitiasis, keluhan nyeri menetap dan
bertambah pada waktu menarik nafas dalam.
1.9.2 Pemeriksaan Fisik
Apabila ditemukan kelainan pada batu kandung empedu, biasanya
berhubungan dengan komplikasi, seperti kolesistitis akut dengan peritonitis lokal
atau umum, hidrop kandung empedu, empiema kandung empedu, atau

6
pangkretitis. Pada pemeriksaan ditemukan nyeri tekan dengan punktum
maksimum didaerah letak anatomis kandung empedu. Tanda Murphy positif
apabila nyeri tekan bertambah sewaktu penderita menarik nafas panjang karena
kandung empedu yang meradang tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan pasien
berhenti menarik nafas.
Batu saluran empedu tidak menimbulkan gejala dalam fase tenang.
Kadang teraba hati dan sklera ikterik. Perlu diktahui bahwa bila kadar bilirubin
darah kurang dari 3mg/dl, gejal ikterik tidak jelas. Apabila sumbatan saluran
empedu bertambah berat, akan timbul ikterus klinis.
Pemeriksaan laboratorium batu kandung empedu yang asimtomatik
umumnya tidak menunjukkan kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Apabila
terjadi peradangan akut, dapat terjadi leukositosis. Apabila terjadi sindroma
mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan bilirubin serum akibat penekanan duktus
koledukus oleh batu. Kadar bilirubin serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh
batu di dalam duktus koledukus. Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga
kadar amilase serum biasanya meningkat sedang setiap setiap kali terjadi serangan
akut.

7
Foto polos Abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas
karena hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak.
Kadang kandung empedu yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium
tinggi dapat dilihat dengan foto polos. Pada peradangan akut dengan kandung

empedu yang membesar atau hidrops, kandung empedu kadang terlihat sebagai
Gambar 3: Foto rontgen pada kolelithiasis

massa jaringan lunak di kuadran kanan atas yang menekan gambaran udara dalam
usus besar, di fleksura hepatica.
Ultrasonografi (USG) mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang
tinggi untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu
intra hepatik maupun ekstra hepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding
kandung empedu yang menebal karena fibrosis atau udem yang diakibatkan oleh
peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus koledukus distal
kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh udara di dalam usus. Dengan USG
punktum maksimum rasa nyeri pada batu kandung empedu yang ganggren lebih
jelas daripada dengan palpasi biasa.

8
Kolesistografi dengan kontras cukup baik karena relatif murah, sederhana,
dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen sehingga dapat dihitung jumlah
Gambar 4: hasil USG pada kolelithiasis

dan ukuran batu. Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan ileusparalitik,
muntah, kadar bilirubun serum diatas 2 mg/dl, okstruksi pilorus, dan hepatitis
karena pada keadaan-keadaan tersebut kontras tidak dapat mencapai hati.
Pemeriksaan kolesitografi oral bermakna pada penilaian fungsi kandung empedu
1.10 Diagnosis Banding
Diagnosis banding nyeri karena kolelitiasis adalah ulkus peptikum, refluks
gastroesofagus, dispepsia non ulkus, dismotilitas esofagus, irritable bowel
syndrome, kolik ginjal. Nyeri ulkus peptikum biasanya lebih sering, hampir setiap
hari dan berkurang sehabis makan. Nyeri yang timbul biasanya menetap di perut
kanan atas, pada kolelitiasis frekuensinya lebih jarang. Nyeri karena refluks
gastroesofagus dapat dibedakan dengan nyeri kolelitiasis dilihat dari adanya rasa
terbakar, lokasi nyeri di substernal, dan sering dipengaruhi olehposisi, dimana
pada posisi supine rasa nyeri akan memberat. Nyeri epigastrium karena
kolelitiasis dan dispepsia nonulkus sukar dibedakan. Namun demikian nyeri
karena kolik bilier biasanya lebih hebat, frekuensinya sporadik, dan penyebaran
nyeri sampai perut kanan atas dan skapula.
1.11 Komplikasi

9
Kolesistokinin yang disekresi oleh duodenum karena adanya
makanan mengakibatkan/ menghasilkan kontraksi kandung empedu, sehingga
batu yang tadi ada dalam kandung empedu terdorong dan dapat menutupi duktus
sistikus, batu dapat menetap ataupun dapat terlepas lagi. Apabila batu menutupi
duktus sitikus secara menetap maka mungkin akan dapat terjadi mukokel, bila
terjadi infeksi maka mukokel dapat menjadi suatu empiema, biasanya kandung
empedu dikelilingi dan ditutupi oleh organ abdomen (kolon, omentum), dan dapat
juga membentuk suatu fistel kolesistoduodenal. Penyumbatan duktus sistikus
dapat juga berakibat terjadinya kolesistitis akut yang dapat sembuh atau dapat
mengakibatkan nekrosis sebagian dinding dan dapat membentuk suatu fistel
kolesistoduodenal ataupun dapat terjadi perforasi kandung empedu yang berakibat
terjadinya peritonitis generalisata.
Batu kandung empedu dapat maju masuk ke dalam duktus sistikus pada
saat kontraksi dari kandung empedu. Batu ini dapat terus maju sampai duktus
koledokus kemudian menetap asimtomatis atau kadang dapat menyebabkan kolik.
Batu yang menyumbat di duktus koledokus juga berakibat terjadinya ikterus
obstruktif, kolangitis, kolangiolitis, dan pankretitis. Batu kandung empedu dapat
lolos ke dalam saluran cerna melalui terbentuknya fistel kolesitoduodenal. Apabila
batu empedu cukup besar dapat menyumbat pada bagian tersempit saluran cerna
(ileum terminal) dan menimbulkan ileus obstruksi.
1.12 Terapi
Jika tidak ditemukan gejala, maka tidak perlu dilakukan pengobatan. Nyeri
yang hilang-timbul bisa dihindari atau dikurangi dengan menghindari atau
mengurangi makanan berlemak. Penanganan kolelitiasis dibedakan menjadi dua
yaitu penatalaksanaan non bedah dan bedah. Ada juga yang membagi berdasarkan
ada tidaknya gejala yang menyertai kolelitiasis, yaitu penatalaksanaan pada
kolelitiasis simptomatik dan kolelitiasis yang asimptomatik.
Penatalaksanaan Non-Bedah meliputi penghancuran batu dengan obat-
obatan seperti chenodeoxycholic atau ursodeoxycholic acid. Oral Dissolution
Therapy adalah cara penghancuran batu dengan pemberian obat-obatan oral.
Ursodeoxycholicacid lebih dipilih dalam pengobatan daripada
chenodeoxycholic karena efek samping yang lebih banyak pada

10
penggunaan chenodeoxycholic seperti terjadinya diare, peningkatan
aminotransfrase dan hiperkolesterolemia sedang. Pemberian obat-obatan ini dapat
menghancurkan batu pada 60% pasien dengan kolelitiasis, terutama batu yang
kecil. Angka kekambuhan mencapai lebih kurang 10%, terjadi dalam 3-5 tahun
setelah terapi. Pada anak-anak terapi ini tidak dianjurkan, kecuali pada anak-anak
dengan risiko tinggi untukmenjalani operasi.
Penatalaksanaan Bedah dengan kolesistektomi terbuka. Operasi ini
merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien dengakolelitiasis simtomatik.
Komplikasi yang paling bermakna yang dapat terjadi adalah cedera duktus biliaris
yang terjadi pada 0,2% pasien. Angka mortalitas yang dilaporkan untuk prosedur
ini kurang dari 0,5%. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah
kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut.
Kolesistektomi laparaskopi diindikasi hanya pasien dengan kolelitiasis
simtomatik tanpa adanya kolesistitis akut. Karena semakin bertambahnya
pengalaman, banyak ahli bedah mulai melakukan prosedur ini pada pasien dengan
kolesistitis akut dan pasien dengan batu duktus koledokus. Secara teoritis
keuntungan tindakan ini dibandingkan prosedur konvensional adalah dapat
mengurangi perawatan dirumah sakit dan biaya yang dikeluarkan, pasien dapat
cepat kembali bekerja, nyeri menurun dan perbaikan kosmetik. Masalah yang
belum terpecahkan adalah kemanan dari prosedur ini, berhubungan dengan
insiden komplikasi seperti cedera duktus biliaris yang mungkin dapat
terjadi lebih sering selama kolesistektomi laparaskopi.
1.12 Prognosis
Untuk penderita dengan ukuran batu yang kecil, pemeriksaan serial USG
diperlukan untuk mengetahui perkembangan dari batu tersebut. Batu bisa
menghilang secara spontan. Untuk batu besar masih merupakan masalah, karena
merupakan risiko terbentuknya karsinoma kandung empedu (ukuran lebih dari 2
cm). Karena risiko tersebut, dianjurkan untuk mengambil batu tersebut. Pada
anak yang menderita penyakit hemolitik, pembentukan batu pigmen akan
semakin memburuk dengan bertambahnya umur penderita, dianjurkan untuk
melakukan kolesistektomi.

11
DAFTAR PUSTAKA
1. Purnomo BB. Dasar-Dasar Urologi edisi 3. FK Unbraw: Malang. 2011
2. Wilson L. M, Prosedur Diagnostik pada Penyakit Ginjal dalam Price S.A,
dan Wilson L. M, Patofisiologi (terj.), Jilid II, Edisi 4, EGC, Jakarta, 1995,
hal. 795-808
3. Stoller ML.Urinary stone disease. In: Tanagho EA, Mc Aninch JW, editors.

th
Smith’s general urology.17 Edition. NewYork: McGraw-Hill Medical.
2008.
4. Wein AJ, Kavoussi LR, Novick AC, Partin AW, Peters CA. Campbell-
Walshurology. 9thEdition. Philadelphia: Saunders Elsevier. 2007.
5. Basuki P. B, Batu Saluran Kemih dalam Dasar-Dasar Urologi, Sagung Seto,
Jakarta, 2000, hal. 62-73.
6. Guyton & Hall. Buku ajar FISIOLOGI KEDOKTERAN. EGC : Jakarta.
2008
7. Wolf JS. Nephrolithiasis. Jan 2012. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/437096-overview
8. Sjamsuhidajat R, De jong W, Saluran Kemih dan alat kelamin laki dalam
Buku Ajar Ilmu Bedah, EGC, Jakarta, 2007, hal. 872-79.
9. Scholtmeijer R.J, and Schroder F.H, Kolik Ginjal dalam Andrianto P. (ed.)
Urologi untuk Praktek Umum (terj.), EGC, Jakarta, 1992, hal 85-94.
10. Purnomo B. Batu saluran Kemih. Dalam: Dasar-Dasar urologi. Edisi kedua.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya. 2007.

12

You might also like