You are on page 1of 4

ANTIBIOTIK BETA-LAKTAM LAINNYA

1. Imipenem
Obat ini dipasarkan dalam kombinasi dengan silastatin agar imipenem tidak
didegradasi oleh enzim dipeptidase di tubuli ginjal.
Imipenem, suatu turunan tienamisin, merupakan karbapenem pertama yang
digunakan dalam pengobatan. Tienamisin diproduksi oleh Streptomyces cattleya.
Imipenem mengandung cincin betalaktam dan cincin lima segi tanpa atom sulfur. Oleh
enzim dehidropeptidase yang terdapat pada brush border tubuli ginjal, obat ini
dimetabolisme menjadi metabolit yang nefrotoksik. Hanya sedikit yang terdeteksi
dalam bentuk asal di urin.
Silastatin, penghambat dehidropeptidase-1, tidak beraktivitas antibakteri. Bila
diberikan bersama imipenem dalam perbandingan sama, silastatin akan meningkatkan
kadar imipenem aktif dalam urin dan mencegah efek toksiknya terhadap ginjal.

Mekanisme Kerja & Spectrum Antibakteri


Imipenem mengikat PBP2 dan menghambat sintesis dinding sel kuman. In vitro oabt
ini berspektrum sangat luas, termasuk kuman Gram-positif dan Gram-negatif, baik yang
aerobik maupun anaerobik; Imepenem beraktivitas bakterisid. Selain itu obat ini
resisten terhadap berbagai jenis batalaktamase baik yang diperantarai plasmid maupun
kromosom. Imipenem in vitro sangat aktif terhadap kokus Gram-positif, termasuk
stafilokok, streptokok, pneumokok dan E. faecalis serta kuman penghasil betalaktamase
umumnya. Tetapi obat ini tidak aktif terhadap stafilokok resisten metisilin atau galur
yang uji koagulasinya negatif. Imipenem aktif terhadap sebagian besar
Enterobacteriaceae, potensinya sebanding dengan aztreonam dan sefalosporin generasi
ketiga. Selain itu spektrumnya meluas mencakup kuman yang resisten penisilin,
aminoglikosida dan sefalosporin generasi ketiga. Imipenem juga sangat aktif terhadap
meningokok, gonokokus dan H. influenzae termasuk yang memproduksi
betalaktamase. Terhadap Acinetobacter dan P. aeruginosa aktivitasnya sebanding
dengan seftazidim.

Terhadap kuman anaerob aktivitasnya sebanding dengan klindamisin dan


metronidazole, tetapi terhadap Clostridium difficile tidak aktif. Terhadap sebagian
besar kuman yang sensitif terhadapnya, imipenem memperlihatkan efek pasca
antibiotik.

Farmakokinetik & Farmakodinamik


Imipenem maupun silastatin tidak diabsorpsi melalui saluran cerna, sehingga harus
diberikan secara suntikan. Setelah pemberian masing-masing 1 g imipenem/silastatin
secara infus 30 menit, kadar puncak rata-rata dapat mencapai 52 dan 65 µg/mL. Enam
jam kemudian kadar menurun sampai 1 µg/mL. Kadar puncak imipenem dalam plasma
(10 dan 12 µg/mL) dicapai dalam 2 jam. Kadar puncak silastatin 24 dan 33 µg/mL yang
dicapai 1 jam sesudah pemberian. Kira-kira 20% imipenem dan 40% silastatis terikat
protein plasma. Distribusi obat ini metasa ke berbagai jaringan dan cairan tubuh. Pada
meningilis, pemberian 1 g obat ini tiap 6 jam, akan mencapai kadar dalam cairan otak
setinggi 0,5 dan 11 µg/mL. Kadar imipenem dalam empedu umumnya rendah. Obat ini
diekskresi melalui filtrasi glomerulus dan sekresi tubuli ginjal.
Bila diberikan bersama silastatin, ± 70% dari dosis imipenem diekskresi di urin
dalam bentuk asal 10 jam sesudah pemberian, sisanya dimetabolisme. Silastatin
diekskresi dalam urin sekitar 75% dalam bentuk asal, sisanya dimetabolisme. Metabolit
utama sebanyak ± 12% dari dosis terdapat di urin sebagai N-asetil silastatin. Ekskresi
imipenem maupun silastatil melalui tinja hanya sekitar 1%.
Waktu paruh imipenem dan silastatin ± 1 jam pada orang dewasa. Pada kelainan
fungsi ginjal waktu paruh imipenem dapat mencapai 3,5 sampai 4 jam dan silastatin
sampai 16 jam sehingga perlu penyesuaian dosis. Pada hemodialisis waktu paruh
imipenem 2,5 jam dan silastatin 3,8 jam, sehingga sesudah dialisis perlu dosis
suplemen.

2. Monobaktam (Aztreonam)
Monobaktam merupakan suatu senyawa betalaktam monosiklik, dengan inti dasar
berupa cincin tunggal, asam-3 aminobaktamat.
Struktur ini berbeda dengan struktur kimia golongan antibiotika betalaktam
terdahulu misalnya penisilin, sefalosporin, karbapenem, berinti dasar cincin ganda.
Monobaktam pada awalnya diisolasi dari kuman a.I. Gluconocabacter, Acetobacter,
Chromobacterium, tetapi aktivitas antibakterinya sangat lemah. Kemudian
dikembangkan monobaktam sintetik, yaitu aztreonam, dengan menambahkan suatu
oksim-aminotiazol sebagai rantai samping ditambah gugus karboksil pada posisi 3 dan
satu gugus alfa-metil pada posisi 4. Perubahan struktur tersebut sangat meningkatkan
stabilitas aztreonam terhadap berbagai betalaktamase dan aktivitas antibakterinya
terhadap kuman Gram-negatif aerobic, termasuk Pseudomonas aeruginosa.

Mekanisme kerja
Aztreonam bekerja dengan menghambat sintesis dinding sel kuman, seperti antibiotic
betalaktam lain. Antibiotik ini dengan mudah menembus dinding dan membran sel
kuman Gram-negatif aerobik, dan kemudian mengikat erat penicillin-binding-profein 3
(=PBP 3). Pengaruh interaksi tersebut pada kuman ialah terjadi perubahan bentuk
filamen, pembelahan sel terhambat dan mati. Kadar bunuh minimal aztreonam terhadap
kuman yang peka tidak banyak berbeda dengan KHMnya. Aztreonam tidak aktif
terhadap kuman Gram-positif dan kuman anaerob.
Aztreonam hanya aktif terhadap kuman Gram-negatif aerobik termasuk
Haemophilus influenzae dan meningokok serta gonokok yang menghasilkan
betalaktamase. Terhadap Enterobacteriaceae, termasuk yang resisten terhadap
penisilin, sefalosporin generasi satu dan aminoglikosida, potensinya sebanding dengan
sefalosporin generasi ketiga. Terhadap berbagai strain Pseudomonas aeruginosa,
aztreonam sangat aktif, tetapi seftazidim sedikit lebih poten. Obat ini tidak aktif
terhadap spesies Acinetobacter, Xantomonas maltophilia, Achromobacter xyloxidans,
spesies Alcaligenes dan Legionella pneumophila. Aztreonam tahan terhadap
betalaktamase umumnya, kecuali betalaktamase tertentu seperti yang dihasilkan
Klebsiella oxytoca suatu kuman yang jarang ditemukan.

Farmakokinetik & Farmakodinamik


Aztreonam harus diberikan secara IM atau IV, karena tidak diabsorpsi melalui saluran
cerna.
Kadar puncak dalam serum darah pada pemberian 1 g IM dalam waktu 60 menit
mencapai 46 µg/mL dan pada pemberian bolus IV 125 µg/mL. Pemberian 1 g
aztreonam secara infus selama 30 menit, mencapai kadar puncak dalam darah 90 sampai
164 µg/mL. Sekitar 56% aztreonam dalam, darah terikat pada protein plasma. Obat ini
didistribusi luas ke dalam berbagai jaringan dan cairan tubuh yaitu sinovial, pleural,
pericardial, peritoneal, cairan lepuh, sekresi bronkus, tulang, empedu hati, paru-paru,
ginjal, otot, endometrium dan usus. Kadar dalam urin tinggi. Selain itu kadar dalam
prostat yang yang tidak meradang dapat mencapai sekitar 8 µg/g jaringan dalam waktu
1 sampai 3 jam sesudah pemberian IM. Kadar tersebut jauh lebih tinggi dari KHM
Enterobacteriaceae pada umumnya. Pada meningitis kadar yang dapat dicapai di CSS
sekitar 5 sampai 10 kali lebih tinggi dari KHM Enterobacteriaceae.

Penetrasi ke dalam CSS bila tidak ada meningitis hanya mencapai kadar sekitar ¼
kali bila dibandingkan dengan pada meningitis. Ekskresi terutama melalui filtrasi
glomerulus dan sekresi tubulus ginjal dalam bentuk utuh, yaitu sekitar 70% dosis yang
diberikan. Probenesid memperlambat ekskresinya. Sekitar 7% obat dimetabolisme dan
metabolitnya kemudian diekskresi melalui urin. Hanya 1% yang diekskresi melalui
tinja dalam bentuk utuh. Pada orang dewasa waktu paruh aztreonam mencapai 1,7 jam
(1,6 sampai 2,1 jam), pada neonatus jauh lebih lama. Pada pasien dengan gangguan
fungsi ginjal perlu penyesuaian dosis aztreonam, karena waktu paruh eliminasi
memanjang, bahkan pada gagal ginjal waktu paruh eliminasinya dapat mencapai 6 jam.
Pada pasien yang mengalami hemodialisis perlu diberi dosis suplemen. Pada sirosis
hepatis penggunaan jangka panjang perlu penyesuaian dosis, karena dalam keadaan ini
klirens total menurun 20% sampai 25%.

DAFTAR PUSTAKA
1. AMA Drug Evaluations Annual 1995. p. 1392-3.
2. Chambers HF. Beta-lactam antibiotics & other inhibitors of cell wall synthesis. In: Katzung
BG, ed. Basic & Clinical Pharmacology. 9th ed. Singapore: McGraw-Hill; 2004.p.734-51.
3. Petri WA. Jr. Penicillins, cephalosporins, and other β-lactam antibiotics. In: Hardman JG,
Limbird LE, eds. Goodman & Gilman’s the Pharmacological Basis of Therapeutics. 10 th
ed. New York: McGraw-Hill; 2001.p.1189-215.

You might also like