You are on page 1of 6

HIRSCHSPRUNG’S ASSOCIATE ENTEROCOLITIS (HAEC)

Hirschsprung’s Associate Enterocolitis (HAEC) merupakan komplikasi yang sering


menyertai penyakit Hirschsprung dan menyebabkan morbiditas maupun mortalitas yang perlu
menjadi perhatian. Dan banyak penulis mengusulkan komplikasi ini sebagai enterokolitis
Hirschprung.

Kejadiannya dapat ditemukan sebelum dekompresi kolostomi maupun sesudah operasi


pull-through difinitif. Penyebab komplikasi ini belum dapat diketahui dengan pasti, salah satu
teori yang dianut sampai sekarang akibat obstruksi partial dari usus dalam jangka waktu yang
panjang.

Enterokolitis dapat terjadi mulai pada awal kehidupan neonatal dengan penyakit
Hirschprung dan dapat juga timbul pada setiap usia, baik sebelum ataupun sesudah pembedahan.
Komplikasi ini perlu diketahui secara dini karena dapat mengakibatkan kematian pada setiap saat
bila pengelolaan tidak memadai.

Dari penelitian histologic grades oleh teitelbaum sebenarnya tidak bertentangan atau
sesuai dengan penelitian-penelitian klinis sebelumnya, bahwa neonatus dengan penyakit
Hirschprung yang tidak mendapatkan pengobatan secara adekuat, terjadinya proses enterokolitis
menuju perburukan derajat histologik.

HAEC ini ditandai dengan perut kembung, diare, feses berbau busuk dan kebanyakan
berwarna kecoklatan, demam, nafsu makan menurun, sehingga pasien kekurangan gizi dan
protein.

Supaya tidak terjadi komplikasi ini menegakkan diagnosa penyakit Hirschsprung jangan
sampai terlambat dan dekompresi usus (wash out) serta pemberian antibiotika dilakukan secepat
mungkin . Dua minggu setelah operasi difinitif pull-trough untuk mencegah terjadinya penyakit
ini ada yang dianjurkan melakukan wash out 2 kali sehari selama 3 bulan diteruskan 1 kali sehari
selama 3 bulan lagi.

Bila sudah terjadi HAEC perlu pemberian antibiotika terhadap bakteri gram postif,
bakteri gram negative dan bakteri an-aerob, serta dilakukan wash out 2 kali sehari. Apabila
penyakit tak berkurang dipikirkan untuk membuat illeostomi guna mengistarahatkan kolon.
Angka kejadian

Angka kejadian enterokolitis bervariasi bergantung pada banyak faktor, seperti kondisi
pasien sebelum pembedahan, prosedur bedah yang digunakan , kelancaran defekasi pasca bedah,
spesialis bedah yang melakukan, serta kriteria diagnosis yang dipakai.

Etiologi

Mekanisme timbulnya entrokolitis belum difahami secara jelas, tetapi Bill dan Chapman,
serta Swenson percaya bahwa enterokolitis Hirchsprung disebabkan oleh obstruksi usus parsial,
dapat terjadi sebelum dan sesudah pembedahan. Obstruksi usus parsial pasca bedah dapat
ditentukan oleh :

1. Hasil akhir bedah definitive yang belum sempurna, masih terdapat obstipasi. Masing-
masing prosedur bedah definitive yang dipakai mempunyai prosentase tertentu adanya
obstipasi pasca bedah. Misalnya pasca bedah prosedur Swenson, baik tanpa ataupun
dengan sfingterektomi posterior parsial terdapat obstipasi sekitar 12 % yang diakibatkan
oleh sfingter anal yang masih terlalu ketat (tightness of the anal sphincter). Pada prosedur
Rehbein angka obstipasi pasca bedah tinggi, karena segmen aganglionik masih terlalu
panjang ditinggalkan. Lebih tepat obstipasi ini disebut sebagai residif penyakit
Hirschsprung. Obstipasi pasca bedah pada prosedur Soave yang dilaporkan oleh Liu
mencapai 34,6%. Pada prosedur Duhamel yang dikerjakan dengan baik, angka obstipasi
pasca bedah kecil, sekitar 10%. Menurut para penulis, enterokolitis pasca bedah
disamping ditentukan oleh enterokolitis pra bedah ditentukan juga oleh angka obstipasi
pasca bedah. Dengan menerapkan bedah definitive Duhamel modifikasi, beberapa
penulis memperoleh angka obstipasi 0% dan angka enterokolitis pasca bedah sangat
minimal.

2. Stenosis pasca bedah di daerah anastomosis atau sfingter anal. Keadaan ini dapat terjadi
pada prosedur bedah definitive apapun, khususnya yang dikerjakan kurang sempurna.
Adanya stenosis dapat diperhitungkan terjadi hambatan pasase usus.

Thomas dkk. Untuk pertama kali melaporkan colitis pseudomembran sebagai komplikasi
penyakit Hirchsprung. Lima dari enam pasien colitis Hirchsprung ditemukan Clostridium
difficile dalam tinja dan empat diantaranya terdapat toxin dengan konsentrasi tinggi.
Brearly dkk. Menyokong bahwa toxin Clostridium defficile berperan kausal dlam colitis
Hirchsprung.

Resiko enterokolitis yang tinggi telah dilaporkan pada penderita dengan segmen yang
relative panjang dari aganglionosis, tetapi hal ini tidak terbukti pada beberapa penelitian.
Neonates dengan aganglionosis kolon total dapat terjadi dengan perforasi dari usus aganglionik.
Hubungan antara down sindrom dan hirschsprung disease telah dicatat dengan baik,
insidensi bervariasi antara 3% dan 16%, dan adanya trisomi 21 telah dianggap sebaagai factor
yang cukup kuat bagi perkembangan enterokolitis. Sebagian besar penderita tersebut memiliki
anomaly terkait utama lain yang juga mendukung mortalitas yang tinggi. Penderita tersebut
memiliki kekurangan imunologi intrinsic berkaitan dengan menurunnya fungsi T-limfosit
sitotoksik dan berkurangnya imunitas humoral.

Predisposisi familial terhadap hirschsprung disease telah dicatat dengan baik dan telah
ada 9% dari penderita menurut penelitian. Tinggina resiko akan munculnya enterokolitis pada
keluarga dapat berlangsung bersama-sama, tetapi factor-faktor genetic dapat berpeluang untuk
onset enterokolitis awal. Pada penderita dengan hirschsprung disease, kerusakan fungsi sel darah
putih teah dilaporkan berpeluang terhadap perkembangan enterokolitis. Penderita yang
terpengaruh memiliki defisiensi yang menyolok dalam transfer sekeresi IgA menembus mukosa
gastrointestinal dan menghambat reaksi hipersensitivitas untuk mengabsorbsi antign bacterial
pada dinding intestinal pada penderita dengan defisiensi sekresi asam sulpomucinus dan
menerangkan bahwa perubahan mucin intestinal tersebut dapat berpredisposisi terhadap
penyertaan (adherensi) organism enteropatogenik, misalnya dengan clostridium, E. colli dan
cryptosporidia dengan eritrosit, dengan demikian membantu pelepasan toksinnya untuk memulai
proses enterokolitis. Walaupun clostridium dikenal sebagai komensal usus, hubungannya dengan
hirschsprung disease telah dilaporkan.

Menurut penelitian terhadap tikus lethal piebald dai hirschsprung disease untuk
menyelidiki mekanisme pertahanan mukosa, Fujimoto dkk.,menyatakan bahwa ada bentuk
enterokolitis, salah satunya oset awal dan lainnya onset akhir. Yang pada kelompok semula
menjadi sakit akut dengan meningkatnya jumlah sel plasma yang mengandung IgA
menginfiltrasi lamina propria pada usus daam hubungannya dengan infeksi intestinal local, tetapi
pada kelompok selanjutnya reaksi semacam ini tidak terjadi. Perbedaan ini diiterpretasikan
sebagai etiologi yang berbeda untuk 2 bentuk enterokolitis. Obstruksi intestinal dinyatakan
sebagai predisposisi penyebab tipe onset lambat, tetapi hal ini dapat terjadi sekalipun tidak
berfngsinya lambung dan dapat mempengaruhi usus ganglionik maupun aganglionik. Disfungsi
lambung saja dapat menyulitkan perbedaan dari sindroma enterokolitis, terutama pada pasien
dengan ileostomi untuk aganglionosis kolon total.
Manifestasi klinis

Awal kesulitan ini dimulai dengan distensi usus akibat kegagalan evakuasi mekonium dan
udara yang dapat mulai pada hari-hari pertama kehidupan. Selanjutnya terjadi gangguan aliran
darah sepanjang usus yang distensi dan sekuestrasi cairan dari rongga intravaskuler ke rongga
peritoneal dan lumen usus. Dinding usus mengalami hipoksia dan terancam nekrosis.
Selanjutnya dapat terjadi proses enterokolitis, dan feses yang keluar eksplosif, cair, dan berbau
busuk. Manifestasi sistemik yang terjadi berupa demam, deficit air dan elektrolit, serta dapat
berakhir dengan syok hipovolemik dan kematian. Kematian ini dapat terjadi dalam 24 jam sejak
serangan akut.

Enterokolitis nekrotikans iskemik merupakan komplikasi penyakit Hirchsprung yang


paling parah. Keadaan ini dapat merupakan kelanjutan proses enterokolitis inflamasi yang dapat
menyangkut seluruh tebal dinding usus, dan dapat terjadi nekrosis, translokasi kuman, dan
perforasi. Pemeriksaan patologi anatomi tidak dapat membedakannya dari enterokolitis
nekrotikans biasa. Dengan pemeriksaan enema barium dapat diperlihatkan kelainan yang
menyerupai penyakit Hirchsprung residif, dengan tanda-tanda spesifik berupa iregularitas
permukaan mukosa.

Tindakan pencegahan

Tindakan pencegahan dapat dilakukan dengan penegakan diagnosis dini penyakit


Hirschsprung yang segera diikuti dengan tindakan dekompresi. Dekompresi harus segera
dilakukan agar komplikasi enterokolitis tidak terjaadi atau dapat dikurangi. Dekompresi dapat
dilakukan secara medik dengan pemasangan sonde lambung dan pengisapan udara dan cairan
atau secara bedah dengan pembuatan kolostomi.

Terapi medis enterokolitis akut

Terapi medis yang dapat diberikan pada pasien dengan enterokolitis adalah (1.) resusitasi
cairan dan elektrolit, (2.)pemasangan sonde lambung dan pipa rectal untuk dekompresi,
(3.)biasan kolon dengan cairan NaCL fisiologis hangat 2-3 kali sehari selama 3 sampai 4 hari,
(4.)antibioik untuk kuman enterik.

Tindakan bedah

Tindakan bedah bergantung pada kelainan bedah yang diperkirakan sebagai penyebab.
Pada pasien pascabedah dengan prosedur Swenson, apabila terdapat stenosis dilakukan
bouginasi. Apabila terdapat sfingter anal yang terlalu ketat dapat dilakukan sfingterektomi parsial
posterior. Khusus untuk stenosis pascabedah prosedur Duhamel tidak dapat dilakukan bouginasi,
karena stenosis terjadi akibat sisa septum; sisa septum ini harus dipotong ulang.
Frank dan Nixon menemukan bahwa enterokolitis tidak berhubungan dengan tipe atau
penentuan waktu bedah definitive, dan angka insidensi setelah berbagai tindaan operasi berbeda
dari 9% sampai 20%. Enterokolitis postoperative terjadi 9% pada pasien, merupakan insidensi
yang relative rendah tapi lebih besar dibanding 6% yang dilaporkan oleh Carcasone dkk. Tidak
ada keraguan bahwa stenosis ditempat anastomose setelah tindakan endorectal berpeluang bagi
onset enterokolitis. Setelah tindakan Duhamel insidensi (5%) enterokolitis sangat rendah dalam
tulisan kami.

Walaupun telah banyak penelitian yang melaporkan bahwa penderita yang mengalami
enterokolitis cenderung untuk mengalami episode yang berulang. Menrut Teitelbaum dkk, hanya
satu dari delapan belas penderita menunjukkan enterokolitis yang timbul berulang setelah
dilakukan operasi sekalipun pemeriksaan histopatolois pada jaringan yang didapat dari tindakan
definitive menunjukkan abnormalitas mukosa peristen 69% mereka yang terbukti mengalami
enterokolitis. Hal ini menandakan bahwa kerusakan intestinal yang kronik dan tidak terawatt
oleh kolostomi dekompresif.

Dalam beberapa tahun terakhir ini, mortalitas enterokolitis mengalami penurunan drastic
dan merupakan refleksi dari perubahan penatalaksanaan komplikasi ini. Disamping enema
dekompresif, cairan intravena dan perubahan elektrolit yang cepat sangat diperlukan dan
penggunaan vancomycin segera, sebagaimana dijelaskan oleh Thomas dkk, menyajikan bentuk
penanganan yang rasional untuk enterokolitis yang berkaitan dengan Clostridium. Cholestyramin
yang dikenal mengikat toksin clostridium dan prostaglandin tertentu telah dilaporkan sebagai
adjuvant yang sangat bergna dalam penanganan enterokolitis.

Pada pengamatan klinis hasil pembedahan dapat diketahui bahwa proses enterokolitis
prakolostomi tidak selalu mereda setelah tindakan kolostomi. Pada beberapa kasus dengan
enterokolitis prabedah, enterokolitis timbul berulang setelah bedah definitif. Hal ini merupakan
bukti bahwa proses enterokolitis terus berlangsung dari masa prabedah hingga pascabedah.
Daftar Pustaka

1. Philip C Guzetta et all, Pediatric Surgery, in Schwartz Principles of Surgery, Mc Graw Hill,
1999 page 1715 – 1750
2. James A.O’neill, Hirschsprung with Enterocolitis Jr, Principles of Pediatric Surgery 2 nd ed,
Mosby an affiliate of Elsivier, Pensylvania USA, 2004 Page 509-517
3. Shelley C Springer, MD, MBA, MSc, David J Annibale, MD, Necrotizing Enterocolitis,
http://www.emedicine.com/ped/topic2601.htm,
4. Tapash K Palit, MD, Li Ern Chen, MD, Enterocolitis and Hirschsprung : Surgical Perspective,
http://www.emedicine.com/ped/topic2981.htm,

You might also like