You are on page 1of 27

BAB I

PENDAHULUAN

Global Initiative for Asthma (GINA) 2016 mendefinisikan asma adalah gangguan
inflamasi kronis saluran napas yang melibatkan banyak sel dan elemennya. Proses inflamasi
pada asma yang khas ditandai dengan peningkatan eosinofil, sel mast, makrofag serta limfosit
T di lumen dan mukosa saluran napas. Inflamasi kronis menyebabkan peningkatan
hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak
napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama malam dan atau dini hari. Diperkirakan
prevalensi asma di Indonesia 5% dari seluruh penduduk Indonesia, artinya saat ini ada 12,5
juta pasien asma di Indonesia.1,2
Asma sebagai kelainan saluran pernafasan kronik mempunyai prevalensi yang makin
terus meningkat dalam dua hingga tiga dekade terakhir ini. Sampai saat ini terjadi
peningkatan terhadap angka morbiditas ataupun mortalitas asma di Indonesia dan hal tersebut
menjadi masalah kesehatan yang cukup serius, walaupun pemahaman terhadap pengobatan
asma bertambah baik. Prevalensi asma di Indonesia berkisar antara 2% hingga 4% atau 3
hingga 5 juta orang dan sebanyak 1% diantaranya memerlukan perawatan rumah sakit karena
serangan asma akut yang berat, hal ini kemungkinan disebabkan oleh diagnosa yang
terlambat serta penatalaksanaan yang tidak tepat. Menurut Haahtela T, secara klinis asma
sering tidak terdiagnosa secara cepat dan keterlambatan ini merupakan hal yang sangat
bermasalah dalam penanganan penderita.1,3
Teori dasar penyebab asma sangat komplek, melibatkan interaksi antara faktor
genetik, paparan alergen dan faktor lingkungan (populasi udara, rokok, infeksi saluran
pernafasan). 2,4
Mortalitas akibat asma 5000 kematian setiap tahun dari populasi beresiko yang
berjumlah kira-kira 10 juta. Sebelum dipakai kortikosteroid, secara umum angka kematian
penderita asma wanita dua kali lipat penderita asma pria. Juga kenyataan bahwa angka
kematian pada serangan asma dengan usia tua lebih banyak, kalau serangan asma diketahui
dan dimulai sejak kanak – kanak dan mendapat pengawasan yang cukup kira-kira setelah 20
tahun

1
BAB II

STATUS PASIEN

I. IDENTITAS
Nama : Tn. R
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 54 tahun
Alamat : Berembang
Pekerjaan : Buruh
Masuk RS : 17 Oktober 2017
No. MR : 052001

II. ANAMNESIS
Keluhan Utama: Sesak nafas
Keluhan Tambahan: sesak disertai mengi dan batuk

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan sesak nafas sejak 1 hari SMRS. Sesak disertai dengan
bunyi ngik, sesak mulai terasa memberat sejak subuh hari tadi. Pasien tidak tampak
gelisah, masih dapat berbicara dalam kalimat dan lebih nyaman dalam posisi duduk
daripada tidur berbaring. Sesak sering dirasakan hilang dan timbul sejak 4 minggu
terakhir ini, dalam seminggu timbul sesak >2x. Sesak nafas dirasakan memberat pada
subuh hari dan malam hari terutama ketika cuaca dingin. Pasien mengatakan tidak
pernah terbangun dari tidur malamnya karna sesak. Sesak saat istirahat dan sesak karna
kegiatan berat disangkal oleh pasien. Pasien tidak mengeluh nyeri dada saat sesak
kambuh.
Pasien juga mengeluh batuk berdahak, batuk dirasakan hilang dan timbul sejak 2
mingggu yang lalu. Batuk dirasakan timbul saat sesak, terutama saat udara dingin.
Riwayat batuk lama disangkal.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien memiliki riwayat asma sejak usia kanak kanak. Riwayat DM, Hipertensi,
penyakit jantung, dan TB disangkal.

2
Riwayat Penyakit keluarga
Ibu dan adik pasien memiliki riwayat asma. Tidak ada anggota keluarga yang tinggal
serumah yang memiliki riwayat TB.

Riwayat Pengobatan
Saat sesak kambuh pasien mengkonsumsi obat salbutamol yang Ia beli sendiri.
Biasanya keluhan sesak berkurang bila minum obat tersebut, namun kali ini sesak
dirasakan tidak membaik. Pasien tidak sedang dalam pengobatan penyakit lain.

Riwayat Kebiasaan
Riwayat merkok (-)

III. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan tanggal 18 Oktober 2017
 Keadaan umum : tampak sakit sedang
 Kesadaran : compos mentis
 Tanda vital
- Tensi : 110/70
- Nadi : 98x/menit, irama reguler, kuat angkat
- RR :30x/menit
- Suhu : 36,7C
 Kepala : normocephal
- Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor
- Telingan : sekret (-), darah (-)
- Hidung : nafas cuping hidung(-), epistaksis (-), sekret (-)
- Mulut : sianosis (-), tonsil T1-T1 hiperemis (-)
 Leher : pemebesaran KGB (-)
 Thoraks : simetris, retraksi (-)
Jantung
- Inspeksi : ictus cordis tak tampak
- Palpasi : ictus cordis tidak meledar
- Perkusi : batas jantung tidak melebar

3
- Auskultasi : bunyi jantung I-II reguler, gallop (-), murmur(-)
Pulmo
- Inspeksi : pergerakan nafas simetris, retraksi (-)
- Palpasi : fremitus taktil kanan sama dengan kiri
- Perkusi : sonor (+) di seluruh lapangan paru, redup (-)
- Auskultasi : suara nafas vesikuler (+/+), wheezing (+/+), rhonki (-/-)
 Abdomen
- Inspeksi : cembung
- Auskultasi : bising usus (+) normal
- Perkusi : timpani di seluruh lapang abdomen
- Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
 Ekstremitas : akral hangat (+), udem (-), sianosis (-)

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan laboratorium tanggal
 Hb : 14,9 g/dl
 Ht : 42,0%
 Eritrosit : 4.85 juta/µL
 Leukosit : 7.54/ uL
 Trombosit : 286.000/uL
 MCV : 86,6 fL
 MCH :36,7 pg
 MCHC : 35 g/dl
 Neutrofil : 55.9
 Limfosit : 26,5
 Monosit 7,8 %
 Eosinofil 12,2 %
 Basofil 0,8 %
 GDS 110 g/DL

V. RESUME
Tn. R usia 54 tahun mengeluh sesak nafas yang memberat sejak 1 hari SMRS, sesak
disertai dengan bunyi mengi. Psien juga mengeluh batuk dengan dahak berwarna putih

4
bening, pasien juga sering bersin bersin jika terpapar udara dingin. Pasien memiliki
riwayat asma sejak usia 5 tahun. Hasil pemeriksaan fisik ditemukan adanya wheezing
pada kedua lapangan paru. Hasil laboratorium menunjukan adanya peningkatan
eosinofil.

VI. USULAN PEMERIKSAAN


1. Foto rontgen thoraks AP dan Lateral
2. Spirometri
3. Menilai arus puncak ekspirasi (APE)

VII.DIAGNOSIS
Diagnosis: Asma Bronkial Eksaserbasi Akut Derajat Ringan – Sedang
Diagnosis Banding
 PPOK
 CHF
VIII. PENATALAKSANAAN
Non Medikamentosa
- Posisikan pasien setengah duduk untuk mengurangi sesak nafas
- Meminimalisir paparan dengan pencetus yaitu cuaca dingin

Medikamentosa
- O2 3-4L/menit
- IVFD RL 20 tpm
- Nebulisasi ventolin 1 respul + bisolvon 2cc+ Nacl setiap 8 jam
- Inj metylprednisolone 2x1 amp IV
- Ambroxol 3x1 tab
IX. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad fungtionam : dubia ad bonam
Quo ad sanactionam : dubia ad bonam

5
X. FOLLOW UP
Tanggal Follow Up Terapi
18 oktober 2017 S: Sesak (+), batuk (+) - IVFD RL 20 tpm
dahak berwarna bening. - Nebulisasi ventolin 1 respul +
O: TD: 110/70 mmhg bisolvon 2cc+ Nacl setiap 8
HR: 92x/menit jam
RR: 26x/menit - Inj metylprednisolone 2x1 amp
T: 36,8 IV
Paru: Vesikuler +/+, - Ambroxol 3x1 tab
wheezing +/+, ronkhi -/-
19 oktober 2017 S: Sesak (+)↓↓↓ , batuk - IVFD RL 20 tpm
(+)↓↓↓ dahak berwarna - Nebulisasi ventolin 1 respul +
bening. bisolvon 2cc+ Nacl setiap 8
O: TD: 120/80 mmhg jam
HR: 88x/menit - Inj metylprednisolone 2x1 amp
RR: 24x/menit IV
T: 36,2 - Ambroxol 3x1 tab
Paru: Vesikuler +/+,
wheezing -/+, ronkhi -/-

20 oktober 2017 S: Sesak - , batuk - Pasien boleh pulang


sesekali - ambroxol tab 3x1
O: TD: 120/80 mmhg - Metylprednisolon 4mg 3x1 tab
HR: 82x/menit - kontrol ke poli 7 hari lagi
RR: 22x/menit
T: 36,8
Paru: Vesikuler +/+,
wheezing -/-, ronkhi -/-

6
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Asma adalah penyakit heterogen, biasanya ditandai dengan inflamasi jalan nafas
kronik. Asma ditandai dengan riwayat gejala saluran pernapasan seperti wheezing,
dispneu, dada terasa berat, dan batuk yang bervariasi diantara waktu dan intensitas, berasa
dengan hambatan jalan nafas ekspirasi yang bervariasi. Variasi yang terjadi disebabkan
oleh beberapa faktor misalnya olahraga, papatan alergen atau iritan, perubahan cuaca, atau
infeksi viral pernapasan.1,2
Gejala terbatasnya jalan nafas dapat sembuh secara spontan dengan pengobatan dan
dapat menghilang selama beberapa minggu atau bulan. Di sisi lain, pasien juga dapat
mengalami beberapa periode serangan (eksaserbasi) asma yang dapat mengancam nyawa
dan dapat memberikan beban yang signifikan bagi pasien dan komunitas. Asma biasanya
dikaitkan dengan hiperesponsivitas jalan napas karena stimulus langsung dan tidak
langsung, dan dengan inflamasi jalan nafas kronik. Karakteristik tersebut biasanya selalu
ada, walapun tidak ada gejala dan fungsi paru normal, dan akan membaik dengan terapi. 1,2

B. Faktor Risiko
Berikut ini adalah faktor resiko asma yang dapat:1
1. Pasien dengan minimal 1 faktor risiko eksaserbasi
2. Minimal 1 periode eksaserbasi berat di tahun terakhir
3. Paparan tembakau dan rokok
4. Penurunan FEV1, terutama kurang dari <60% prediksi
5. Permasalahan psikologis besar
6. Permasalahan sosioekonomik besar
7. Alergi makanan terkonfirmasi
8. Paparan allergen jika tersensitisasi

7
C. Patofisiologi

Terpaparnya seseorang yang beresiko terhadap alergen atau rangsangan


menyebabkan suatu reaksi inflamasi dari salur pernafasan, yaitu terjadinya
degranulasi sel mast, pelepasan mediator inflamasi, infiltrasi dari eosinofil dan
limfosit T yang teraktivasi.Pelbagai mediator inflamasi bisa terlibat termasuklah
interleukin (IL)-3, IL-4, IL-5, IL-6, IL-8, IL-10, dan IL-13; leukotriene; dan
granulocyte-macrofage colony-stimulating factors (GM-CSFs). Ini semua akhirnya
akan merangsang lagi sel mast, netrofil dan eosinofil.

8
Gambar 1 Presentasi antigen oleh sel dendritik, dengan respons limfosit dan sitokin yang
akhirnya menyebabkan inflamasi salur pernafasan dan simptoms asma.

Secara fisiologis, asma akut terdiri dari 2 komponen, yaitu respons bronkospastik
awal (early bronchospastic response); dan respons inflamasi akhir (later inflammatory
response).

Early bronchospastic response

Dalam beberapa menit setelah terpapar alergen, terjadi degranulasi sel mast sambil
terjadinya pelepasan mediator inflamasi, termasuk histamin, prostaglandin D2, leukotriene
C4. Semua bahan ini akan menyebabkan kontraksi dari otot salur pernafasan, peningkatan
permeabilitas kapiler, sekresi mukus, dan aktivasi refleks neuronal. Fase ini ditandai dengan
terjadinya bronkokonstriksi yang biasanya bisa diobati dengan bronkodilator, seperti agen
beta-2-agonis.

Later inflammatory response

Terjadinya pelepasan mediator inflamasi akibat menempelnya adhesion molecules di


epitelium salur pernafasan dan endotel kapiler. Sel-sel inflamasi seperti eosinofil, netrofil,
dan basofil akan berhubungan dengan epitelium dan endothelium dan akhirnya akan
bermigrasi ke jaringan salur pernafasan. Eosinofil akan melepaskan eosinophilic cationic
protein (ECP) dan major basic protein (MBP). Kedua ECP dan MBP akan menginduksi
deskuamasi dari epitelium saluran pernafasan dan akan menyebabkan terpaparnya ujung-
ujung saraf. Proses ini akan menginduksi lebih banyak terjadinya hiperrespons pada asma.

Bronkospasme, sumbatan mukus, dan edema pada salur pernafasan perifer


menyebabkan peningkatan resistensi salur pernafasan dan obstruksi. Udara yang
terperangkap akan mengakibatkan hiperinflasi paru, ventilation/perfusion mismatch (V/Q
mismatch), dan meningkatnya dead space ventilation. Paru akan mengembang pada saat
hampir akhir inspirasi pada akhir kurva compliance pulmonal, dengan compliance yang
menurun dan kerja untuk bernafas yang meningkat. Meningkatnya tekanan pleural dan intra-
alveolar akibat dari obstruksi dan hiperinflasi, bersama dengan tekanan mekanis dari
alveolus yang terdistensi, akan mengakibatkan penurunan perfusi alveolus. Kombinasi dari
atelektasis dan penurunan perfusi alveolus menyebabkan V/Q mismatch dalam unit paru. V/Q
mismatch dan hipoksemia yang terjadi mengakibatkan peningkatan dalam minute ventilation.

9
Dalam fase awal asma akut, hiperventilasi bisa mengakibatkan alkalosis
repiratorik.Ini karena unit paru yang terobstruksi secara relative jumlahnya lebih sedikit
berbanding unit paru yang tidak terobstruksi.Hiperventilasi mengakibatkan terjadinya
pembuangan karbon dioksida melalui unit paru tidak terobstruksi. Tapi, semakin lama jumlah
unit paru yang terobstruksi menjadi lebih banyak, dan ini akan mengakibatkan penurunan
kemampuan pembuangan karbon dioksida di paru, yang akhirnya akan menyebabkan
terjadinya hiperkarbia.

AIRWAY REMODELING
Proses inflamasi kronik pada asma akan meimbulkan kerusakan jaringan yang secara
fisiologis akan diikuti oleh proses penyembuhan (healing process) yang menghasilkan
perbaikan (repair) dan pergantian selsel mati/rusak dengan sel-sel yang baru. Proses
penyembuhan tersebut melibatkan regenerasi/perbaikan jaringan yang rusak/injuri dengan
jenis sel parenkim yang sama dan pergantian jaringan yang rusak/injuri dengan jaringan
peyambung yang menghasilkan jaringan skar. Pada asma, kedua proses tersebut berkontribusi
dalam proses penyembuhan dan inflamasi yang kemudian akan menghasilkan perubahan
struktur yang mempunyai mekanisme sangat kompleks dan banyak belum diketahui dikenal
dengan airway remodeling. Mekanisme tersebut sangat heterogen dengan proses yang sangat
dinamis dari diferensiasi, migrasi, maturasi, dediferensiasi sel sebagaimana deposit jaringan
penyambung dengan diikuti oleh restitusi/pergantian atau perubahan struktur dan fungsi yang
dipahami sebagai fibrosis dan peningkatan otot polos dan kelenjar mukus.
Pada asma terdapat saling ketergantungan antara proses inflamasi dan remodeling.
Infiltrasi sel-sel inflamasi terlibat dalam proses remodeling, juga komponen lainnya seperti
matriks ekstraselular, membran retikular basal, matriks interstisial, fibrogenic growth factor,
protease dan inhibitornya, pembuluh darah, otot polos, kelenjar mukus.

Perubahan struktur yang terjadi :


• Hipertrofi dan hiperplasia otot polos jalan napas
• Hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus
• Penebalan membran reticular basal
• Pembuluh darah meningkat
• Matriks ekstraselular fungsinya meningkat

10
• Perubahan struktur parenkim
• Peningkatan fibrogenic growth factor menjadikan fibrosis

Gambar 2. Perubahan struktur pada airway remodeling dan konsekuensi klinis

Dari uraian di atas, sejauh ini airway remodeling merupakan fenomena


sekunder dari inflamasi atau merupakan akibat inflamasi yang terus menerus
(longstanding inflammation).
Konsekuensi klinis airway remodeling adalah peningkatan gejala dan tanda
asma seperti hipereaktiviti jalan napas, masalah distensibiliti/regangan jalan napas dan
obstruksi jalan napas. Sehingga pemahaman airway remodeling bermanfaat dalam
manajemen asma terutama pencegahan dan pengobatan dari proses tersebut.

Pemikiran baru mengenai patogenesis asma dikaitkan dengan terjadinya


Airway remodeling
Disadari lingkungan sangat berpengaruh pada terjadinya ataupun perburukan
asma. Peningkatan kekerapan asma adalah akibat perubahan lingkungan yang beraksi
pada genotip asma baik sebagai induksi berkembangnya asma atau memperburuk
asma yang sudah terjadi. Di samping itu dipahami terjadinya kerusakan epitel dan
perubahan sifat epitel bronkus pada asma seperti lebih rentan untuk terjadinya
apoptosis akibat oksidan, meningkatnya permeabiliti akibat pajanan polutan,
meningkatnya penglepasan sitokin dan mediator inflamasi dari epitel akibat pajanan
polutan, yang berdampak pada proses inflamasi danremodeling.

11
Studi pada binatang percobaan mendapatkan bahwa injuri sel epitel
menghasilkan penglepasan mediator proinflamasi yang bersifat fibroproliferasi
dan profibrogenic growth factors terutama TGF- dan familinya (fibroblast growth
factor, insulin growth factor, endothelin-1, platelet-derived growth factor, dan
sebagainya) yang berdampak pada remodeling. Dari berbagai mediator tersebut, TGF-
 adalah paling paling penting karena mempromosi diferensiasi fibroblas menjadi
miofibroblas yang kemudian akan mensekresi kolagen interstisial, sedangkan
mediator/growth factor lainnya sebagai mitogen otot polos dan sel endotel. TGF-
 dan efeknya pada fibroblas dan miofibroblas dimulai pada sel epitel dan diteruskan
ke submukosa. Komunikasi antara sel-sel epitel dan sel-sel mesenkim tersebut
dikaitkan dengan perkembangan embriogenik jalan napas mendatangkan pikiran
adanya epithelial mesenchymal tropic unit (EMTU) yang tetap aktif setelah lahir atau
menjadi reaktivasi pada asma dan menimbulkan remodeling jalan napas pada asma.
Berdasrkan pemikirantersebut, inflamasi dan remodeling yang terjadi pada asma
adalah konsekuensi dari peningkatan kecenderungan injuri, kelemahan penyembuhan
luka atau keduanya.

Teori TH-2 dan EMTU


Teori lingkungan, terjadinya remodeling pada asma serta tidak cukupnya
sitokin proinflamasi untuk menjelaskan remodeling tersebut dan percobaan binatang
yang menunjukkan peran EMTU mendatangkan pemikiran baru pada patogenesis
asma. Dipahami asma adalah inflamasi`kronik jalan napas melalui mekanisme Th-2.
Akan tetapi berbagai sitokin yang merupakan hasil aktivasi Th-2 (sitokin Il-13, Il-4)
yang dianggap berperan penting dalam remodeling adalah berinteraksi dengan sel
epitel mediatornya dalam menimbulkan remodeling. Sitokin proinflamasi tersebut
tidak cukup kuat untuk menghasilkan remodeling tetapi .interaksinya dengan sel
epitel dan mediatornya adalah mekanisme yang dapat menjelaskan terjadinya airway
remodeling pad aasma. Sehingga dirumuskan suatu postulat bahwa kerusak sel epitel
dan sitokin-sitokin TH-2 beraksi bersama-sama dalam menimbulkan gangguan fungsi
EMTU yang menghasilkan aktivasi miofibroblas dan induksi respons inflamasi dan
remodeling sebagai karakteristik asma kronik.3

12
D. Diagnosis Asma
1. Anamnesis
Diagnosis asma didasarkan pada karakteristik gejala pernapasan seperti
wheezing, dispnea, dada terasa berat dan batuk, serta hambatan udara ekspirasi yang
bervariasi. Berikut ini adalah penjelasan tentang diagnosis asma:1,3,6
a. Lebih dari satu gejala berikut ini (wheezing, dispnea, batuk, dada terasa berat),
terutama pada dewasa
b. Gejala memburuk pada malam hari atau pada awal pagi hari
c. Gejala bervariasi dalam hal waktu dan internsitas
d. Gejala dipicu oleh infeksi virus (flu), olahraga, paparan alergen, perubahan
musim, atau iritan seperti asap, atau bau yang menyengat.

Berikut ini adalah gejala-gejala yang menurunkan kemungkinan bahwa seseorang


menderita penyakit asma:

a. Batuk tanpa gejala respirasi lain


b. Produksi sputum kronik
c. Dispneu terkait dengan kepala pusing, kepala terasa ringan, dan parestesia perifer
d. Nyeri dada
e. Dispneu dengan inspirasi nyaring terkait olahraga

Tabel 2. Kriteria Diagnosis Asma (GINA, 2016)


Fitur diagnose Kriteria untuk membuat diagnosa
Riwayat gejala asma yang bervariasi
Mengi, sesak napas, dada • Umumnya lebih dari 1 gejala
terasa berat, dan batuk • Gejala bervariasi dari waktu ke waktu
dan juga intensitasnya
• Gejala seringkali memburuk pada
malam hari atau saat bangun
• Gejala sering dipicu oleh latihan fisik,
tertawa, alergen, udara dingin
• Gejala sering muncul atau memburuk
pada infeksi virus
Keterbatasan aliran udara ekspirasi yang bervariasi

13
Variabilitas fungsi paru Makin besar variasi/ makin sering, makin
yang besar (1 atau lebih uji) besar kemungkinan.
DAN keterbatasan aliran Penurunan FEV1/FVC >1 kali, saat
udara FEV1 rendah (normal >0.75 – 0.80 pada
dewasa sehat dan >0.90 pada anak)
Uji reversibilitas bronkus Dewasa : peningkatan FEV1 >12% dan
positif >200mL dari nilai awal, 10-15 menit
setelah pemberian 200-400 mcg albuterol
atau setara; anak: peningkatan >12%
prediksi)
Variabilitas pengukuran Dewasa: rata-rata variabilitas harian PEF
PEF 2x/hari selama 2 diurnal > 10%
minggu Anak: > 13%
Kenaikan fungsi paru Dewasa: peningkatan FEV1 > 12% dan
setelah terapi anti-inflamasi 200 mgl (atau PEF > 200 ml)
selama 4 minggu
Uji ‘excersice challenge” Dewasa: tidak mencapai FEV1>10% dan
200 ml
Anak : tidak mencapai FEV1>12%
predicted/ PEF >15%
Uji ‘bronchial challenge’ Tidak mencapai FEV1 >20%
(umumnya hanya dilakukan (methacholine, histamine); 15%
pada dewasa) (mannitol atau lainnya)
Variasi fungsi paru di antara Dewasa: variasi FEV1 >12% dan > 200
kunjungan-kunjungan ke ml
dokter (kurang reliable) Anak: variasi FEV1 >12%

2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan pada pasien asma seringkali normal. Abnormalitas yang paling
sering adalah wheezing ekspiratorik (ronkhi) pada auskultasi, tapi kadang tidak
terdengar atau hanya terdengar pada ekspirasi kuat yang dipaksa. Wheezing juga bisa
tidak ditemukan pada asma eksaserbasi berat, karena penurunan aluran udara yang
sangat hebat (silent chest), akan tetapi biasanya tanda-tanda patologis lain muncul.
Wheezing juga bisa ditemukan pada disfungsi jalan nafas atas, misalnya pada PPOK,
infeksi saluran nafas, trakeomalasia, atau corpus alienum. Crackles atau wheezing
inspiratorik bukan karakteristik asma. Perlu juga dilakukan pemeriksaan hidung untuk
menemukan adanya rinitis alergi atau polip nasal. 1,5,6
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Spirometri
Fungsi normal paru diukur dengan spirometri. Forced expiratory volume in on
1 second (FEV1) lebih dipercaya daripada peak expiratory flow (PEF). Jika PEF

14
dilakukan, maka alat yang sama harus digunakan tiap saat pemeriksaan, karena
perbedaan sebesar 20% bisa terjadi jika dilakukan perubahan ukuran atau alat.
Penurunan FEV1 dapat juga ditemukan pada penyakit paru lain, atau
pengguaan spirometri yang tidak tepat, akan tetapi penurunan rasio FEV1/FVC
menandakan adanya hambatan aliran jalan nafas. Rasio FEV1/FVC normal
adalah 0.75-0.80 dan kadang 0.90 pada anak-anak, dan nilai di bawah batas
normal tersebut menandakan hambatan aliran udara.
Variabilitas adalah perbaikan atau perbukurukan gejala dan fugnsi paru.
Variabilitas berlebihan dapat ditemukan dari waktu ke waktu dalam satu hari
(variasi diurnal), dari hari ke hari, musiman, atau dari sebuah tes reversibilitas.
Reversibilitas adalah perbaikan FEV1 atau PEF secara cepat setelah penggunaan
bronkodilator kerja cepat seperti 200-400 mikrogram salbutamol, atau
peningkatan yang konsisten hari ke hari sampai minggu ke minggu setelah
diberikan terapi kendali asma misanya dengan intranasal corticosteroid (ICS).
Peningkatan atau penurunan FEV1 >12% dan >200 mL dari batas dasar, atau jika
spirometri tidak ada, perubahan PEF minimal sebesar 20% dapat diterima sebagai
asma. Akan tetapi, jika FEV1 tetap dalam batas normal saat pasien sedang
mengalami gejala asma, maka kemungkinannya kecil bahwa kemungkinan
penyakitnya adalah asma. Pengukuran FEV dan PEF dilakukan sebelum terapi
dengan bronkodilator.
b. Tes provokasi bronkus
Pemeriksaan ini dilakukan untuk memeriksa hiperesponsivitas jalan nafas.
Pemeriksaan ini dilakukan dengan latihan inhalasi metakolin dan histamin,
hiperventilasi eukapnik volunter atau manitol inhalasi. Tes ini cukup sensitif
untuk diagnosis asma tapi kurang spesifik, karena bisa terjadi karena penyakit
lain, misalnya rinitis alergika, fibrosis kistik, displasia bronkopulmoner, dan
PPOK. Jadi, hasil negatif pada pasien yang tidak mengonsumsi ICS dapat
mengeksklusi asma, akan tetapi hasil positif tidak selalu menandakan bahwa
penyakit tersebut adalah asma, sehingga anamnesis perlu diperhatika..
c. Tes alergi
Riwayat atopi meningkatkan probabilitas pasien dengan gejala pernapasan
menderita asma alergika tapi hal ini tidak spesifik. Riwayat atopik dapat diperiksa
dengan skin prick test dan pengukuran serum IgE. Skin prick test dengan bahan
yang mudah ditemui di lingkungan sekitar adalah tes yang cepat, murah, dan

15
sensitif jika dikerjakan secara standar. Pengukuran sIgE tidak lebih sensitif dari
skin prick test tapi lebih mahal dan digunakan untuk pasien dengan pasien tidak
kooperatif. Akan tetapi, jika skin prick test dan pengukuran sIgE positif, hal ini
tidak selalu menghasilkan gejala, karena itu perlu anamnesis yang cermat.

d. Ekshalasi Nitrit Oksida


Fractional concentration of Exhaled Nitric Oxide (FENO) dapat diperiksa di
beberapa tempat. FENO dapat meningkat pada asma eosinofilik dan pada
keadaan non asma misalnya rinits alergi, dan belum dipastikan bermanfaat untuk
diagnosis asma. FENO menurun pada perokok dan saat terjadi bronkokonstriksi,
dan meningkata jika terjadi infeksi pernafasan viral. Kadar FENO > 50 ppb
terkait dengan respons jangka waktu singkat terhadap ICS. Saat ini pemeriksaan
FENO belum bisa direkomendasikan.

E. Klasifikasi Asma
Global intiative for asthma (GINA) melakukan pembagian derajat asma berdasarkan
gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan pemeriksaan laboratorium. Dan derajat
asma menentukan terapi yang akan diterapkan.
1. Intermiten
Gejala kurang dari 1 kali, serangan singkat, gejala nokturnal tidak lebih dari 2
kali/bulan (FEV1 ≥80% predicted atau PEF ≥80% nilai terbaik individu, variabilitas
PEV atau FEV1<20%)
2. Persisten ringan
Gejala lebih dari 1 kali/minggu tapi kurang dari 1 kali/hari, serangan dapat
mengganggu aktivitas dan tidur, gejala nokturnal >2 kali/bulan (FEV1 ≥80%
predicted atau PEF ≥80% nilai terbaik individu, variabilitas PEV atau FEV120-30%)
3. Persisten sedang
Gejala terjadi setiap hari, serangan dapat mengganggu aktivitas dan tidur, gejala
nokturnal >1 kali/ minggu, menggunakan agonis-β2 kerja pendek setiap hari (FEV1
60-80% predicted atau PEF 60-80% nilai terbaik individu, variabilitas PEV atau
FEV1>30%).

16
4. Persisten berat
Gejala terjadi setiap hari, serangan sering terjadi, gejala asma nokturnal sering terjadi
(FEV1 ≤60% predicted atau PEF ≤60% nilai terbaik individu, variabilitas PEV atau
FEV1>30%)

Tabel 1. Klasifikasi derajat berat asma berdasarkan gambaran klinis (sebelum pengobatan)
Derajat Gejala Gejala malam Faal paru

Intermiten Gejala kurang dari 1x/minggu ≥ 2 kali sebulan APE > 80%
Asimtomatik
Persisten -Gejala lebih dari 1x/minggu tapi ≥2 kali sebulan APE >80%
ringan kurang dari 1x/hari
-Serangan dapat menganggu
Aktivitas dan tidur
Persisten -Setiap hari, ≥1 kali dalam APE 60-80%
sedang -serangan 2 kali/seminggu, bisa seminggu
berahari-hari.
-menggunakan obat setiap hari
-Aktivitas & tidur terganggu

Persisten - gejala Kontinyu Sering APE <60%


berat -Aktivitas terbatas
-sering serangan

F. Penilaian Asma
Penilaian asma seharusnya seharusnya menilai pula pengendalian asma (pengendalian
gejala dan risiko efek samping di masa depan), masalah terapi terutama dalam hal teknik
inhaler dan kepatuhan, serta komorbid yang dapat berkontribusi terhadap keparahan gejala
dan kualitas hidup yang buruk. Untuk memprediksi risiko di masa depan, fungsi paru,
terutama FEV1 perlu dinilai. Penilaian asma meliputi pengendalian gejala asma serta
penilaian faktor risiko untuk eksaserbasi dan prognosis yang buruk.

17
Tabel 3. Penilaian Kendali Asma dan Risiko Prognosis Buruk Asma
(GINA, 2016)
A. Kontrol Gejala Tingkat Kontrol Gejala Asma
Dalam 4 minggu terkakhir apakah Terkontrol Terkontrol Tidak
pasien memiliki : Penuh Sebagian Terkontrol
1. Gejala asma harian
Ya (1 poin)
lebih dari dua kali
Tidak ( 0 poin)
dalam 1 minggu
2. Terbangun di malam Ya (1 poin)
hari karena asma Tidak ( 0 poin)
3. Penggunaaan obat
pelega untuk Tidak terdapat Terdapat 1-2 Terdapat 3-
Ya (1 poin) s at u p u n k ri t eri a k ri t eri a 4 kriteria
mengatasi gejala*
Tidak ( 0 poin)
lebih dari dari dua
kali dalam 1 minggu
4. Keterbatasan aktifitas Ya (1 poin)
fisik karena asma Tidak ( 0 poin)
* Penggunaan obat pelega sebelum ‘exercise’ tidak termasuk, oleh karena banyak pasien
menggunakannya secara rutin

B. Faktor-faktor resiko untuk outcome asma yang buruk


• Nilai faktor resiko saat penegakkan diagnosis dan secara berkala
• Pengukuran FEV1 pada saat mulai penggunaan obat, setelah 3 - 6 bulan penggunaan obat,
kemudian secara berkala untuk penilaian faktor risiko yang sedang dimiliki oleh pasien
Penilaian faktor risiko meliputi:
• Risiko eksaserbasi
• Keterbatasan aliran udara yang menetap
• Efek samping obat
Faktor risiko independen terjadinya eksaserbasi yang dapat dimodifikasi:
• Asma yang tidak terkontrol
• Penggunaan SABA yang tinggi (angka kematian meningkat jika >1x200
Bila terdapat
dosis canister/month)
1 atau lebih
• Penggunaan ICS yang tidak memadai : tidak mendapat ICS, kepatuhan
faktor risiko
yang kurang, teknik penggunaan inhaler yang tidak tepat
maka risiko
• Rendahnya FEV1, terutama jika < 60% prediksi
eksaserbasi
• Masalah fisiologis atau sosioekonomi mayor
akan
• Paparan: merokok, paparan allergen
meningkat
• Ko-morbiditas: obesitas, rhinosinusitis, alergi makanan
walaupun
• Eosinophilia sputum atau darah
gejala asma
• Kehamilan
terkontrol
Faktor risiko independen lain terjadinya eksaserbasi
• Pernah diintubasi atau dirawat di ICU oleh karena asma
• > 1 eksaserbasi berat dalam kurun waktu 12 bulan terakhir

Faktor risiko terjadinya keterbatasan aliran udara yang menetap


• Terapi ICS yang tidak memadai
• Paparan : tembakau, zat kimia berbahaya, paparan terkait pekerjaaan
• FEV1 awal yang rendah, hipersekresi mucus kronik, eosinophilia sputum atau darah

18
Faktor risiko efek samping obat
• Sistemik : penggunaan OCS yang sering, jangka panjang, ICS dosis tinggi dan/atau potent;
menggunakan inhibitor P450
• Lokal : ICS dosis tinggi dan/atau poten, teknik inhalasi yang tidak tepat

G. Tatalaksana
1. Nonfarmakologis(GINA, 2016)
a. Penghentian kebiasaan merokok dan paparan alergen
b. Aktivitas fisik
c. Penghindaran paparan alergen kerja
d. Penghindaran obat-obatan yang dapat memicu asma
e. Penghindaran alergen dalam ruangan
f. Latihan bernafas
g. Diet sehat dan Penurunan Berat badan
h. Vaksinasi
i. Bronkial termoplasti
j. Kontrol stress emosional
k. Imunoterapi alergen
l. Penghindaran alergen dan polutan di luar ruangan
m. Penghindaran makanan alergen dan makanan berkimiawi
2. Tatalaksana Farmakologis (GINA, 2016)
Obat-obatan untuk terapi asma secara umum dibagi menjadi beberapa kategori,
yaitu:
a. Controller medication, yaitu obat yang digunakan untuk pemeliharaan asma
secara reguler. Obat ini menurunkan inflamasi jalan nafas, mengendalikan gejala
dan menurunkan risiko eksaserbasi dan penurunan fungsi paru.
Tabel 4. Obat Controller asma
Nama generik Nama dagang Sediaan Keterangan
Golongan anti-inflamasi non-steroid
Kromoglikat MDI Tidak tersedia
lagi
Nedokromil MDI Tidak tersedia
lagi
Golongan anti-inflamasi–steroid
Budesonid Pulmicort MDI,
inflammide Turbuhaler
Flutikason Flixotide MDI Tidak tersedia
lagi

19
Beklometason Becotide MDI
Golongan β-agonis kerja panjang
Prokaterol Meptin Sirup tablet,
MDI*
Bambuterol Bambec Tablet
Salmeterol Serevent MDI
Klenbuterol Spiropent Sirup, tablet
Golongan obat lepas lambat / lepas terkendali
Terbutalin Kapsul
Salbutamol Volmax Tablet
Teofilin Tablet salut
Golongan antileukotrin
Zafirlukas Accolade Tablet -ada
montelukas - belum ada
Golongan kombinasi steroid + LABA
Budesonid + Symbicort Turbuhaler
form oterol seretide MDI
Flukason +
salme terol

b. Reliever (rescue) medication, yaitu obat yang digunakan untuk meredakan gejala
asma, misalnya saat perburukan atau eksaserbasi, atau saat terjadi brokonstriksi
terkait olahraga.
Tabel 5. Obat Reliever asma
Nama Nama Sediaan Keterangan
generik dagang
Golongan β-agonis (kerja pendek)
Terbutalin Bricasma Sirup, tablet, 0,05-0,1
Nairet turbuhaler sirup, mg/kgBB/kali
Forasma tablet, ampul sirup,
tablet
Salbutamol Ventolin Sirup, tablet, MDI 0,05-0,1
mg/kgBB/kali
Orsiprenalin Alupent Sirup, tablet, MDI
Heksorenalin Tablet
Fenoterol Berotec MDI
Golongan santin
Teofilin Sirup, tablet

c. Add-on therapy untuk pasien dengan asma berat, mulai dipertimbangkan jika
pasien mengalami gejala persisten dan eksaserbasi yang terus menerus walaupun
sudah diberikan terapi secara optimal.
3. Terapi pemeliharaan asma awal(GINA, 2016)

20
Untuk hasil yang lebih baik, terapi pemeliharaan asma harian harus dimulai
secepat mungkin setelah diagnosis asma dibuat, berdasarkan bukti klinis adalah
sebagai berikut:
a. Pemberian ICS dosis rendah dini pada pasien asma akan meningkatkan fungsi
paru lebih baik dibandingkan jika pemberiannya dilakukan sudah muncul gejala
selama 2-4 tahun. Jika telah berlangsung dalam waktu tersebut, dosis ICS lebih
tinggi dibutuhkan, sedangkan fungsi paru sudah sangat lebih menurun.
b. Pasien yang tidak mengonsumsi ICS dan mengalami eksaserbasi akan mengalami
penurunan fungsi paru yang lebih hebat daripada pasien yang telah mulai
menggunakan ICS
c. Pada pasien dengan asma akibat pekerjaan, penghindaran dari agen iritan dan
terapi dini dapat meningkatkan kemungkinan untuk sembuh.

Gambar 4. Tatalaksana Farmakologis Asma Bronkial (GINA, 2016)

H. Asma Eksaserbasi Akut


Berikut ini adalah beberapa hal yang menjadi poin-poin penting tentang asma
eksaserbasi akut:
Eksaserbasi adalah perburukan akut atau subakut dalam hal gejala dan fungsi paru
dari keadaan pasien biasanya, dan dalam beberapa kasus, gejala klinis pertama dari asma.
Istilah “episode”, “serangan”, atau “asma berat akut” sering digunakan, tapi pengertiannya
berbeda.

21
Pada pasien dengan gejala eksaserbasi akut pada fasilitas kesehatan tingkat pertama,
berikut adalah tatalaksananya:
a) Penilaian keparahan eksaserbasi seharusnya berdasarkan pada derajat sesak nafas,
laju pernafasan, denyut nadi, saturasi oksigen dan fungsi paru, sambal memulai
terapi short-acting beta2 agonist (SABA) dan terapi oksigen
b) Pemindahan segera ke fasilitas pelayanan kesehatan akut jika ditemuai adanya
tanda tanda eksaserbasi, atau ke ICU jika terdapat penurunan kesadaran atau silent
chest. Saat pemindahan pasien, inhalasi SABA, ipratropium bromide, terapi
oksigen terkendali dan kortikosteroid sistemik jika diperlukan
c) Terapi seharusnya dimulai dengan pemberian SABA berulang (dengan MDI atau
spacer), atau pemberian dini kortikosteroid oral, dan pemberian oksigen terkendali
jika tersedia. Penilaian ulang respons gejala terhadap terapi, saturasi oksigen dan
fungsi paru harus dilakukan tiap 1 jam
d) Ipratropium bromide direkomendasikan hanya jika terdapat eksaserbasi berat
e) Pemberian MgSO4 intravena seharusnya dipertimbangkan pada pasien dengan
eksaserbasi berat yang tidak berespons terhadap terapi awal
f) Foto thorax tidak direkomendasikan secara rutin
g) Keputusan mengenai hospitalisasi seharusnya berdasarkan atas status klinis, fungsi
paru, respons terhadap terapi, riwayat eksaserbasi dan kemampuan untuk
mengendalikan asma di rumah
h) Sebelum pasien dipulangkan, harus direncanakan tatalaksana selanjutnya, termasuk
pemulaian terapi controller atau penaikan dosis dari terapi controller untuk 2-4
minggu, dan penurunan reliever sesuai penggunaan sebutuhnya.
i) Antibiotik seharusnya tidak secara rutin diberikan pada eksaserbasi asma

22
Gambar 6. Tatalaksana Asma Eksaserbasi Akut di Fasilitas Kesehatan tingkat Pertama

23
Gambar 7. Tatalaksana Asma Eksaserbasi Akut di Fasilitas Medis Akut (IGD)

Rancanakan pemantauan segera setelah setiap eksaserbasi meliputi (GINA, 2016):

- Penilaian ulang pengendalian gejala, faktor risiko untuk eksaserbasi


selanjutnya
- Untuk banyak pasien, berikan terapi controller regular untuk menurunkan
risiko untuk eksaserbasi lebih lanjut. Lanjutkan peningkatan dosis
controller untuk 2-4 minggu
- Pantau terus teknik inhalasi dan kepat

24
BAB IV

ANALISA KASUS

Berdasarkan anamnesis pasien, pasien menunjukan gejala khas asma yaitu sesak nafas
disertai mengi dan batuk. Selain itu pasien memiliki riwayat atopi, riwayat asma sejak kecil,
dan riwayat asma pada keluarga. Paien mengaku tidak memiliki riwayat penyakit hipertensi
serta tidak memiliki riwayat sakit jantung sebelumnya, tidak pernah mengeluh sesak saat
melakukan aktifitas berat dan tidak pernah merasakan nyeri dada saat sesak, oleh karna itu
diagnosis banding CHF dapat disingkirkan.

Sejak 1 hari yang lalu pasien mengalami sesak nafas yang dirasakan semakin berat,
hal ini menunjukan saat ini pasien sedang mengalami eksaserbasi akut. Saat anamnesis pasien
tidak tampak gelisah dan masih dapat berbicara dalam kalimat dan pasien lebih nyaman pada
posisi duduk daripada berbaring. Ini menunjukan derajat eksaserbasi yang diderita pasien
adalah derajat ringan – sedang.

Pada pemeriksaan tanda vital didapatkan frekuensi nafas pasien meningkat tetapi
tidak menggunakan otot pernafasan tambahan, ini menunjukan pasien sedang mengalami
eksaserbasi asma derajat ringan-sedang. Suhu pasien normal tidak terdapat demam, sehingga
kemungkinan infeksi paru lainya seperti bronkitis disingkirkan. Saturasi O2 menurun yang
menandakan terdapat obstruksi saluran nafas pada pasien. Tidak terdapat nafas cuping hidung
dan purse lips breating pada pasien,yang menyikirkan diagnosa banding PPOK. Pada
pemeriksaan jantung tidak ditemukan adanya kelainan, sehingga dapat menyingkirkan
dignosis banding CHF. Pada pemeriksaan paru didapatkan bentuk dada yang normochest,
tidak terdapat retraksi dada dan tidak terdapat ronkhi basah di basal paru, sehingga diagnosa
PPOK dan CHF dapat disingkirkan.

Pada pemeriksaan fisik paru ditemukan adanya tanda khas pada asma yaitu wheezing
saat ekspirasi dengan ekspirasi yang memanjang. Pada pemeriksaan ekstremitas tidak
terdapat edema tungkai, sianosis sehingga bisa menyingkirkan diagnosis banding PPOK dan
CHF.

Pemeriksaan laboratorium darah rutin menunjukan peningkata nilai eosinofil yang


menandakan sedang terjadi proses alergi yang semakin mempertegas bahwa sesak pada
pasien dikarnkan asma. Dan nilai neutrofil pada pasien normal sehingga bisa menyingkirkan
diangnosis banding PPOK. Sebaiknya dilakukan pemerikaan penunjang lainya berupa

25
pemeriksaan foto rontgen thoraks AP dan Lateral untuk menyingkirkan penyebab lain yang
menyebabkan sesak. Dan dilakukan pemeriksaan spirometri dan APE yang dilakukan berkala
minimal 1 tahun sekali untuk menilai fungsi faal paru,kalasifikasi drajat asma, perubahan
fungsi saluran nafas dan respon pengobatan dengan spirometri.

Tatalaksana pada pasien berupa penanganan eksaserbasi akut ringan-sedang yang


dilakukan di IGD yaitu pemberian O2, pemberian SABA berupa salbutamol dan bisolvon
atau mukolitik dengan cara nebulisasi dan pemberian kortikosteroid sistemik secara
parenteral 2x1 ampul metyprednisolon sebagai reliver untuk melegakan gejala, termasuk
disaat kondisi asma memburuk atau eksaserbasi. Dan juga diberikan mukolitik untu
mengencerkan dahak pasien berupa ambroxol.

Setelah penangan eksaserbasi akut berhasil dan pasien dalam kondisi baik maka
pasien perlu dirawat selama beberapa hari. Setelah itu saat pasien pulang diberikan terapi
berupa kortikosteroid oral yaitu metylprednisolon 3x4mg oral sebagai kontroler untuk terapi
pemeliharaan rutin sehingga dapat mengurangi inflamasi jalan nafas, gejala kontrol, dan
megurangi resiko di masa depan seperti eksaserabsi dan menurunnya fungsi paru. Disarankan
follow up 7 hari setelah dipulangkan. Dan follow up rutin setiap 1 bulan untuk melakukan
penyesuaian terapi asmma hingga terkontrol.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Global Intiate for Asthma (GINA) 2016. 2016 GINA Report, Global Strategy
for Asthma Management and Prevention
2. Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Jakarta: Departemen Kesehatan RI,
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan,
Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular, 2009
3. Hood Alsagaff dkk. 2010. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya.
Departemen Ilu Penyakit Paru FK Unair.
4. Djodjodibroto D. 2009. Repirology. Jakarta. EGC
5. Sudoyo, Bambang dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi keempat.
Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2007.
6. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2006. Pedoman diagnosis dan
Tatalaksana Asma di Indonesia. Jakarta: PDPI

27

You might also like