You are on page 1of 14

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Demam merupakan respons fisiologis di mana suhu tubuh


meningkat akibat pengaturan tulang pada set point di hipotalamus. Suhu
tubuh normal memiliki perbedaan yang cukup jauh pada setiap orang
(kisaran suhu oral antara 36.0 C - 38.7 C) dan juga perbedaan diurnal
(tertinggi-malam hari ; terendah-dini hari)(Davey & Patrick, 2005).

Obat - obat antipiretik secara umum dapat digolongkan dalam


beberapa golongan yaitu golongan salisilat, (misalnya aspirin, salisilamid),
golongan para-aminofenol (misalnya acetaminophen, fenasetin) dan
golongan pirazolon (misalnya fenilbutazon dan metamizol) (Wilmana,
2007). Acetaminophen, Non Steroid Anti-inflammatory Drugs, dan
cooling blanket biasa digunakan untuk mencegah peningkatan suhu tubuh
pada pasien cedera otak agar tetap konstan pada kondisi suhu ≤ 37,5ºC
(Dipiro, 2008). Pemberian obat melalui rute intravena atau intraperitonial
biasanya juga digunakan pada keadaan hipertermia, yaitu keadaan dimana
suhu tubuh lebih dari 41ºC. Suhu inidapat membahayakan kehidupan dan
harus segera diturunkan (Sweetman, 2008).

Aplikasi dalam bidang Farmasi yaitu agar seorang farmasis dapat


memahami dan mengetahui mekanisme dari antipiretik sehingga
memudahkan seorang farmasis memilih antipiretik terbaik untuk diberikan
sebagai terapi. Hal inilah yang melatar belakangi percobaan ini dilakukan.
I.2 Maksud dan Tujuan Percobaan

I.2.1 Maksud Percobaan

1. Memahami cara membuat rancangan percobaan menggunakan


hewan uji dengan pengamatan efek spesifik berupa antipiretik
2. Memahami beberapa metode pengujian antipiretik dan obat-
obat antipiretik
3. Memahami cara pengolahan data hasil percobaan dengan
membuat grafik rata-rata suhu vs waktu

I.2.2 Tujuan Percobaan

1. Memahami cara membuat rancangan percobaan menggunakan


hewan uji dengan pengamatan efek spesifik berupa antipiretik
2. Memahami beberapa metode pengujian antipiretik dan obat-
obat antipiretik
3. Memahami cara pengolahan data hasil percobaan dengan
membuat grafik rata-rata suhu vs waktu

I.3 Prinsip Percobaan

Prinsip pada percobaan ini yaitu dengan cara di induksikan Ragi


pada tiap tikus secara subkutan, lalu menginduksikan obat antipiretik yaitu
parasetamol, aspirin dan ibuprofen sebagai kontrol positif dan Na. CMC
sebagai kontrol negatif secara per oral lalu lalu diamati perubahan suhu
yang terjadi pada tikus
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Dasar Teori

Demam merupakan keadaan ketika suhu tubuh meningkat melebihi


suhu tubuh normal (>37 C). Suhu tubuh merupakan keseimbangan antara
produksi panas oleh tubuh dan pelepasan panas dari tubuh. Demam bukan
merupakan suatu penyakit, tetapi tanda yang menyertai penyakit yang
berbeda-beda (Permatasari, Sri, & Muslim, 2013)

Demam mengacu pada peningkatan suhu tubuh yang berhubungan


langsung dengan tingkat sitokin pirogen yang diproduksi untuk mengatasi
berbagai rangsang, misalnya terhadap toksin bakteri,peradangan, dan
ransangan pirogenik lain. Bila produksi sitokin pirogen secara sistemik
masih dalam batas yang dapat ditoleransi maka efeknya akan
menguntungkan tubuh secara keseluruhan, tetapi bila telah melampaui
batas kritis tertentu maka sitokin ini membahayakan tubuh. Batas kritis
sitokin pirogen sistemik tersebut sejauh ini belum diketahui (Rahimah,
Wahyu, & Sitti, 2015).

Demam merupakan masalah yang umum pada anak sebagai suatu respon
terhadap penyakit dan infeksi akibat berinteraksi dengan ling-kungan dan
merupakan masalah yang sering dihadapi oleh tenaga medis, perawat dan
orang tua, baik di rumah sakit maupun di komunitas. Berdasarkan data
statistik suatu rumah sakit khusus anak, mengindikasikan bahwa lebih dari
30% kunjungan ke ruangan emergensi/ gawat darurat disebabkan oleh demam
sebagai manifestasi utama (Sirait, Yeni, dan Fajar, 2013).

Menurunkan atau mengendalikan dan mengontrol demam pada anak


dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya dapat dilakukan dengan
pemberian antipiretik (farmakologik). Antipiretik bekerja secara sentral
menurunkan pusat pengatur suhu di hipotalamus, yang diikuti respon
fisiologis termasuk penurunan produksi panas, peningkatan aliran darah ke
kulit, serta peningkatan pelepasan panas melalui kulit dengan radiasi,
konveksi, dan penguapan. Namun penggunaan antipiretik memiliki efek
samping apabila tidak diberikan dengan tepat yaitu mengakibatkan spasme
bronkus, peredaran saluran cerna, penurunan fungsi ginjal dan dapat
menghalangi supresi respons antibodi serum.6 Antipiretik (parasetamol dan
ibuprofen) tidak harus secara rutin digunakan dengan tujuan tunggal untuk
mengurangi suhu tubuh pada anak dengan demam ( Cahyaningrum, Anies,
& Hari, 2014).

Selain penggunaan obat antipiretik, penurunan suhu tubuh dapat


dilakukan secara fisik (non farmakologik) yaitu dengan penggunaan energi
panas melalui metoda konduksi dan evaporasi. Metode konduksi yaitu
perpindahan panas dari suatu objek lain dengan kontak langsung. Ketika
kulit hangat menyentuh yang hangat maka akan terjadi perpindahan panas
melalui evaporasi, sehingga perpindahan energi panas berubah menjadi gas
(Cahyaningrum, Anies, & Hari, 2014).

Salah satu contoh dari metode konduksi dan evaporasi adalah


penggunaan kompres hangat. Kompres hangat tidak memiliki efek samping
dan tidak membahayakan ataupun memperparah kondisi penderita.
Penggunaan kompres hangat lebih mudah dilakukan dan tidak
mengeluarkan biaya yang banyak dalam menurunkan suhu tubuh. Dapat
dilakukan di aksila yang dapat membantu pembuluh darah tepi di kulit
melebar dan pori-pori menjadi terbuka sehingga panas keluar dari dalam
tubuh. Selain itu, memungkinkan pasien atau keluarga tidak terlalu
tergantung pada obat antipiretik (Cahyaningrum, Anies, & Hari, 2014).
II. 2 Uraian Bahan
1. Air Suling (FI. III 1979 : 96)
Nama Resmi : AQUA DESTILATA
Nama Lain : Air suling
RM / BM : H2O / 18,02
Rumus Struktur :H–O–H
Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau, tidak
mempunyai rasa.
Kelarutan :-
Khasiat :-
Kegunaan : Sebagai pelarut
Penyimpananan : Dalam wadah tertutup baik.
2. Alkohol (FI III 1979 : 63)
Nama resmi : AETHANOLUM
Nama lain : Etanol
RM/BM : C2H6O / 46,068
Rumus struktur : H H

H – C – C - OH

H H

Pemerian : Cairan tidak berwarna, jernih, mudah


menguap dan mudah bergerak, bau khas, rasa
panas, mudah terbakar dengan memberikan
nyala api biru yang tidak berasap
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, dalam
kloroform P, dan dalam eter P
Khasiat : Zat tambahan
Kegunaan : Sebagai pereaksi
Penyimpanan : Dalam wadah tetutup rapat, terlindung dari
cahaya, ditempat sejuk, jauh dari nyala api.
Persyaratan kadar : Mengandung tidak kurang dari 94,7% v/v
atau 92,6% dan tidak lebih dari 95,2% v/v
atau 92,7% C2H5OH
II.4 Klasifikasi Hewan Uji
1. Tikus Putih (Rattus norvegicus) (Krinke, 2000)
Kingdom : Animalia
Fillum : Chordata
Subfillum : Vertebrata
Kelas : Mamalia
Ordo : Rodentia
Famili : Musidae
Genus : Rathus
Spesies : Rattus norvegicus
BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN

III.1 Alat dan Bahan


III.1.1 Alat
1. Kangdang tikus
2. Jarum suntik
3. Jarum sonde
4. Lap kasar
5. Gelas kimia 100 ml

III.1.2 Bahan
1. Nacl fisiologi 0,9%
2. Aquadest
3. Fenitoin
4. Handscoon
5. Masker
6. Alcohol
7. Na-CMC
8. Kertas Koran
9. Tissue
III.2 CARA KERJA

III.2.1 PERORAL

III.2.1.1 PERORAL 75 MG/KG BB

1. Di ambil tikus dari dalam kandang


dengan cara memegang ekornya.
2. Di tenangkan/handling tikus agar tikus
tidak stres dan merasa terancam.
3. Kemudian dipegang tikus dan di
hadapkan bagian perut berada di atas.
4. Dipasang sonde pada dispo yang suda di
isi fenitoin :
- Tikus 11 : 1,88 ml
- Tikus 12 : 2,5 ml
- Tikus 13 : 2,12 ml
- Tikus 14 : 1,91 ml
- Tikus 15 : 2,53 ml
- Tikus 16 : 2,03 ml
- Tikus 17 : 2,20 ml
- Tikus 18 : 1,79 ml
- Tikus 19 : 1,63 ml
- Tikus 20 : 1,84 ml
5. Masukkan sonde kedalam mulut secara
perlahan hngga tepat pada tempat yang
akan di gantikan.
6. Setelah terpasang kemudian di injeksi
7. Setelah selesai di injeksikan dimasukkan
kembali tikus kedalam kandang.
III.2.1.2 PERORAL 150 MG/KG BB

1. Di ambil tikus dari dalam kandang


dengan cara memegang ekornya.
2. Di tenangkan/handling tikus agar tikus
tidak stres dan merasa terancam.
3. Kemudian dipegang tikus dan di
hadapkan bagian perut berada di atas.
4. Dipasang sonde pada dispo yang suda di
isi fenitoin :
- Tikus 21 : 1,65 ml
- Tikus 22 : 1,61 ml
- Tikus 23 : 2,02 ml
- Tikus 24 : 2,5 ml
- Tikus 25 : 2,47 ml
- Tikus 26 : 1,99 ml
- Tikus 27 : 2,31 ml
- Tikus 28 : 1,98 ml
- Tikus 29 : 2,32 ml
- Tikus 30 : 2,25 ml
5. Masukkan sonde kedalam mulut secara
perlahan hngga tepat pada tempat yang
akan di gantikan.
6. Setelah terpasang kemudian di injeksi
7. Setelah selesai di injeksikan dimasukkan
kembali tikus kedalam kandang.

III.2.2 INTRA PERITONEAL

1. Di ambil tikus dari dalam kandang dengan cara


memegang ekor tikus bagian tengah.
2. Di tenangkan/dihandling tikus agar tidak merasa
stress dan merasa terancam.
3. Kemudian dipegang tikus pada bagian kepala
dengan kulit punggung hingga daerah perut
terasa tengah.
4. Sebelum di suntikkan jarum dengan isi Nacl
fisiologi :
- Tikus 1 : 0,14 ml
- Tikus 2 : 0,14 ml
- Tikus 3 : 0,19 ml
- Tikus 4 : 0,13 ml
- Tikus 5 : 0,13 ml
- Tikus 6 : 0,13 ml
- Tikus 7 : 0,10 ml
- Tikus 8 : 0,14 ml
- Tikus 9 : 0,12 ml
- Tikus 10 : 0,7 ml

5. Setelah disuntikkan dimasukkan kembali tikus


kedalam kandang.
1V.2 PEMBAHASAN

Penggunaan hewan percobaan dalam penelitian ilmiah dibidang


kedokteran/biomedis telah berjalan puluhan tahun yang lalu. Hewan sebagai
model atau sarana percobaan haruslah memenuhi persyaratan-persyaratan
tertentu, antara lain persyaratan genetis / keturunan dan lingkungan yang
memadai dalam pengelolaannya, disamping faktor ekonomis, mudah
tidaknya diperoleh, serta mampu memberikan reaksi biologis yang mirip
kejadiannya pada manusia. Cara memegang hewan serta cara penentuan
jenis kelaminnya perlu pula diketahui. Cara memegang hewan dari masing-
masing jenis hewan adalah berbeda-beda dan ditentukan oleh sifat hewan,
keadaan fisik (besar atau kecil) serta tujuannya. Kesalahan dalam caranya
akan dapat menyebabkan kecelakaan atau hips ataupun rasa sakit bagi
hewan (ini akan menyulitkan dalam melakukan penyuntikan atau
pengambilan darah, misalnya) dan juga bagi orang yang memegangnya
(Katzug, B.G, 1989).

Rute pemberian obat ( Routes of Administration ) merupakan salah


satu faktor yang mempengaruhi efek obat, karena karakteristik lingkungan
fisiologis anatomi dan biokimia yang berbeda pada daerah kontak obat dan
tubuh karakteristik ini berbeda karena jumlah suplai darah yang berbeda;
enzim-enzim dan getah-getah fisiologis yang terdapat di lingkungan tersebut
berbeda. Hal-hal ini menyebabkan bahwa jumlah obat yang dapat mencapai
lokasi kerjanya dalam waktu tertentu akan berbeda, tergantung dari rute
pemberian obat (Katzug, B.G, 1989).

Pada praktikum ini, di lakukan berbagai macam cara pemberian obat


Nacl fisiologis dan fenotoin kepada 10 mencit . Pada awalnya mencit jantan
bersifat normal (aktif berlari, memanjat, dll). Kemudian disuntikkan Nacl
fisiologis ke masing-masing mencit dengan berbagai macam cara pemberian
obat, yaitu oral, dan subcutan. Dosis yang diberikan kepada masing-masing
mencit berbeda-beda, sesuai dengan berat badan mencit masing-masing.
Setelah pemberian Nacl , perubahan mulai terjadi pada mencit, namun ada 1
perbedaan pada hasilnya, yaitu perbedaan pada waktu obat mulai bereaksi
terhadap masing-masing mencit. Injeksi melalui vena dilihat paling cepat
memberikan efek obatnya. Itu disebabkan obat langsung diinjeksikan ke
dalam pembuluh darah vena , sehingga distribusi dan absorpsi obat lebih
cepat. Sedangkan oral sangat lama kerjanya, dikarenakan obat harus
diabsorpsi melalui saluran cerna terlebih dahulu.
Pada praktikum ini hanya melakukan 4 cara pemberian obat dalam
menentukan kecepatan absorpsi obat,yaitu secara peroral, intra peritoneal,
subkutan dan intra muskular.

Dari hasil pengamatan kelompok-kelompok diperoleh onset dan


durasi yang berbeda. Onset merupakan waktu mulai timbulnya efek setelah
pemberian obat,sedangkan durasi adalah waktu lamanya efek sampai efek
obat tersebut hilang.

Berdasarkan teoritis Onset paling cepat ,yaitu :

Subkutan : lemak yang cukup banyak sehingga obat terhalang oleh lemak sebelum
terabsorbsi.

Peroral : rute panjang untuk mencapai reseptor.

Sedangkan pada praktikum ditemukan yang memiliki onset paling cepat yaitu :

1.Subcutan

Oral 75ml
Oral 150ml

.hal ini dikarenakan perbedaan kondisi psikis dan patologis yang mungkin dialami
oleh hewan uji.

Selain itu sudah jelas diketahui bahwa pemberian obat secara peroral memiliki
rute yang paling panjang untuk mencapai reseptor dan memberikan efek.
Kerugian pemberian obat secara peroral adalah banyak faktor yang dapat
mempengaruhi bioavailabilitas obat. Karena tidak semua obat yang diberikan
akan diabsorbsi dan mencapai sirkulasi sistemik. Sebagian akan dimetabolisme
oleh enzim di hati pada lintas pertamanya melalui organ tersebut.

Sedangkan pada pemberian obat secara subcutan, absorbsi akan berjalan lambat
karena banyaknya timbunan lemak di bawah kulit. Dan hal ini mengakibatkan
waktu yang diperlukan obat untuk menimbulkan efek menjadi lebih lama.

Berdasarkan teoritis durasi paling singkat yaitu :

Peroral : rute panjang maka konsentrasi obat yang terabsorbsi semakin sedikit
efek lebih cepat.

Subkutan : lapisan lemak banyak sehingga durasi lama.


Seharusnya durasi paling lama dari cara pemberian adalah subkutan,hal ini karena
dibawah kulit terdapat banyak lemak,sehingga Phenobarbital yang bersifat lipofil
akan mudah berikatan dengan lemak dan menyebabkan obat tersimpan lebih lama
dalam jaringan.

Dalam praktikum ini cara pemberian subkutan durasinya tidak sesuai teori. Hal ini
dimungkinkan pada saat injeksi subkutan,pemberian injeksi terlalu dalam
sehingga sampai menembus saluran sistemik yang menyebabkan efek yang
dihasilkan cepat hilang.

Dari pengamatan yang dilakukan didapatkan fakta bahwa mencit yang telah
kehilangan reflek balik badan, kadang bangun dan melanjutkan aktivitasnya
namun kemudian tidur kembali. Hal inilah yang disebut dengan proses redistribusi
obat dalam tubuh, yaitu proses dimana obat dari tempat kerjanya menuju ke
jaringan – jaringan yang lain merupakan salah satu faktor yang dapat
menghentikan kerja obat. Karena kadar aliran darah ke otak sangat tinggi, maka
setelah diinjeksikan obat akan segera mencapai kadar maksimal dalam otak.
Tetapi kadar obat dalam plasma dengan cepat menurun karena terjadi difusi ke
jaringan lain, sehingga obat dalam otak akan cepat berdifusi kembali ke dalam
plasma. Jadi, setelah depot lemak jenuh, masa kerja Nacl fisiologis pada
pemberian selanjutnya baru menunjukkan inaktivasi yang sangat lambat.
Pemulihan setelah pemberian Nacl fisiologis yang tertimbun dalam depot lemak
perlahan-lahan akan dilepaskan kembali.
Kesimpulan

You might also like