You are on page 1of 31

Sistem Urologi 204

“Laporan Pendahuluan Dan Asuhan Keperawatan Sindrom Nefrotik”


Disusun Untuk Memenuhi Tugas Pada
Mata Kuliah “URO 204 ”
Dosen Mata Kuliah : Anja Hesnia Kholis.S.Kep.,Ns.,M.Kep.,Sp.Kep.M.B

Disusun Oleh:
Kelompok 4

1. Andika Putra 151001053


2. Fikri Ali Azam 151001064
3. M.Wahyulil I 151001074
4. Paramitha S 151001079
5. Yoga Herdiansyah 151001092

Prodi S1 Keperawatan Tingkat 3 Kelas B


Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
(Stikes) Pemkab Jombang
2018

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga kami dapat menyusun
“Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan Sindrom Nefrotik” ini dengan
lancar serta tepat pada waktunya. Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan
ini dibuat untuk Tugas “Sistem Urologi”.

Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan Sindrom Nefrotik ini


telah dibuat berdasarkan dari berbagai sumber dan beberapa bantuan dari pihak
lain untuk menyelesaikannya. Kami ucapkan pula terimakasih kepada teman-
teman 3B STIKes Pemkab Jombang 2018 atas bantuan dalam pembuatan
Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan ini.

Akhir kata semoga ini dapat memberikan manfaat bagi semuanya, tidak
hanya sekarang tapi sampai nanti.

Jombang , 25 Maret 2018

Penyusun

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ....................................................................................... i

Daftar Isi .................................................................................................. ii

BAB 1 Pendahuluan

1.1 Latar Belakang ........................................................................ 1


1.2 Rumusan Masalah ................................................................... 1
1.3 Tujuan ..................................................................................... 2

BAB II LaporanPendahuluan

2.1 Anatomi Fisiologi Ginjal .........................................................

2.2 Definisi Sindrom Nefrotik .......................................................

2.3 Etiologi Sindrom Nefrotik .......................................................

2.4 Klasifikasi Sindrom Nefrotik ..................................................

2.5 Patofisiologi Sindrom Nefrotik ...............................................

2.6 WOC Sindrom Nefrotik ..........................................................

2.7 Manifestasi Klinis Sindrom Nefrotik ......................................

2.8 Pemeriksaan Penunjang Sindrom Nefrotik .............................

2.9 Penatalaksanaan Sindrom Nefrotik .........................................

2.10 Komplikasi Sindrom Nefrotik ..............................................

2.11asuhan Keperawatan Teroi .....................................................

BAB III Penutup

2.1 Simpulan .................................................................................

2.2 Saran .......................................................................................

DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sindrom nefrotik merupakan gangguan klinis ditandai oleh peningkatan


protein, penurunan albumin dalam darah (hipoalbuminemia), edema dan serum
kolesterol yang tinggi dan lipoprotein densitas rendah (hiperlipidemia).

Insidens lebih tinggi pada laki-laki dari pada perempuan. Mortalitas dan
prognosis anak dengan sindrom nefrotik bervariasi berdasarkan etiologi, berat,
luas kerusakan ginjal, usia anak, kondisi yang mendasari, dan responnya trerhadap
pengobatan. Sindrom nefrotik jarang menyerang anak dibawah usia 1 tahun.
Sindrom nefrotik perubahan minimal ( SNPM ) menacakup 60 – 90 % dari semua
kasus sindrom nefrotik pada anak. Angka mortalitas dari SNPM telah menurun
dari 50 % menjadi 5 % dengan majunya terapi dan pemberian steroid.Bayi dengan
sindrom nefrotik tipe finlandia adalah calon untuk nefrektomi bilateral dan
transplantasi ginjal.
Berdasarkan hasil penelitian univariat terhadap 46 pasien, didapatkan
insiden terbanyak sindrom nefrotik berada pada kelompok umur 2 – 6 tahun
sebanyak 25 pasien (54,3%), dan terbanyak pada laki-laki dengan jumlah 29
pasien dengan rasio 1,71 : 1. Insiden sindrom nefrotik pada anak di Hongkong
dilaporkan 2 - 4 kasus per 100.000 anak per tahun ( Chiu and Yap, 2005 ). Insiden
sindrom nefrotik pada anak dalam kepustakaan di Amerika Serikat dan Inggris
adalah 2 - 4 kasus baru per 100.000 anak per tahun.Di negara berkembang,
insidennya lebih tinggi.Dilaporkan, insiden sindrom nefrotik pada anak di
Indonesia adalah 6 kasus per 100.000 anak per tahun. (Tika Putri,
http://one.indoskripsi.com ) Dengan adanya insiden ini, diharapkan perawat lebih
mengenali tentang penyakit nefrotik dan mengaplikasikan rencana keperawatan
terhadap pasien nefrotik.

4
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa Anatomi dan Fisiologi Ginjal ?
2. Apa Definisi dari Sindrom Nefrotik ?
3. Apa Etiologi dari Sindrom Nefrotik?
4. Apa Klasifikasi dari Sindrom Nefrotik?
5. Bagaimana Patofisiologi dari Sindrom Nefrotik?
6. Bagaimana WOC dari Sindrom Nefrotik ?
7. Apa Manifestasi Klinis dari Sindrom Nefrotik?
8. Apa Pemeriksaan Penunjang Sindrom Nefrotik?
9. Bagaimana Penatalaksanaan dari Sindrom Nefrotik?
10. Apa Komplikasi dari Sindrom Nefrotik?
11. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien Sindrom Nefrotik ?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahuiAnatomi dan Fisiologi Ginjal
2. Untuk mengetahuiDefinisi dari Sindrom Nefrotik
3. Untuk mengetahui Etiologi dari Sindrom Nefrotik
4. Untuk mengetahui Klasifikasi dari Sindrom Nefrotik
5. Untuk mengetahui Patofisiologi dari Sindrom Nefrotik
6. Untuk mengetahui WOC Sindrom Nefrotik
7. Untuk mengetahui Manifestasi Klinis dari Sindrom Nefrotik
8. Untukmengetahui Pemeriksaan PenunjangSindrom Nefrotik
9. Untuk mengetahui Penatalaksanaan dari Sindrom Nefrotik
10. Untuk mengetahui Komplikasi dari Sindrom Nefrotik
11. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pasien Sindrom Nefrotik

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Anatomi dan Fisiologi Ginjal

Ginjal merupakan salah satu bagian saluran kemih yang


terletak retroperitoneal dengan panjang lebih kurang 11-12 cm, disamping kiri
kanan vertebra.Pada umumnya, ginjal kanan lebih rendah dari ginjal kiri oleh
karena adanya hepar dan lebih dekat ke garis tengah tubuh.Batas atas ginjal
kiri setinggi batas atas vertebra thorakalis XII dan batas bawah ginjal setinggi
batas bawah vertebra lumbalis III.
Parenkim ginjal terdiri atas korteks dan medula.Medula
terdiri atas piramid-piramid yang berjumlah kira-kira 8-18 buah, rata-rata 12
buah.Tiap-tiap piramid dipisahkan oleh kolumna bertini.Dasar piramid ini
ditutup oleh korteks, sedang puncaknya (papilla marginalis) menonjol ke
dalam kaliks minor.Beberapa kaliks minor bersatu menjadi kaliks mayor yang
berjumlah 2 atau 3 ditiap ginjal.Kaliks mayor/minor ini bersatu menjadi pelvis
renalis dan di pelvis renalis inilah keluar ureter.
Korteks sendiri terdiri atas glomeruli dan tubuli, sedangkan
pada medula hanya terdapat tubuli. Glomeruli dari tubuli ini akan membentuk
Nefron. Satu unit nefron terdiri dari glomerolus, tubulus proksimal, loop of
henle, tubulus distal (kadang-kadang dimasukkan pula duktus koligentes).

6
Tiap ginjal mempunyai lebih kurang 1,5-2 juta nefron berarti pula lebih
kurang 1,5-2 juta glomeruli.
Ginjal berfungsi sebagai salah satu alat ekskresi yang
sangat penting melalui ultrafiltrat yang terbentuk dalam
glomerulus.Terbentuknya ultrafiltrat ini sangat dipengaruhi oleh sirkulasi
ginjal yang mendapat darah 20% dari seluruh cardiac output.

2.1 Definisi dari Sindrom Nefrotik

Sindrom nefrotik adalah suatu kumpulan gejala gangguan


klinis, meliputi proteinuria masif > 3,5 gr/hr, hipoalbuminemia, edema,
hiperlipidemia. Manifestasi dari keempat kondisi tersebut yang sangat
merusak membran kapiler glomerulus dan menyebabkan peningkatan
permeabilitas glomerulus (Muttaqin, 2012). Sindrom nefrotik terjadi tiba-
tiba, terutama pada anak-anak. Biasanya berupa oliguria dengan urin
berwarna gelap, atau urin yang kental akibat proteinuria berat.Pada dewasa
terlihat adalah edema pada kaki dan genitalia (Mansjoer, 2001).
Sindrom nefrotik adalah penyakit dengan gejala edema,
proteinuria, hipoalbuminemia dan hiperkolesterolemia. Kadang-kadang
terdapat hematuria, hipertensi dan penurunan fungsi ginjal ( Ngastiyah,
2005).

2.3 Etiologi dari Sindrom Nefrotik


Menurut Mansjoer, 2001 Penyebab sindrom nefrotik yang
pasti belum diketahui, akhir-akhir ini dianggap sebagai suatu penyakit
autoimun, yaitu suatu reaksi antigen – antibodi. Umumnya etiologi dibagi
menjadi :
1) Sindrom nefrotik bawaan
Diturunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi
maternofetal.Resisten terhadap semua pengobatan.Prognosis buruk dan
biasanya pasien meninggal dalam bulan-bulan pertama kehidupannya.
2) Sindrom nefrotik sekunder

7
Disebabkan oleh : Malaria kuartana atau parasit lainnya,
Penyakit kolagen seperti lupus eritematosus diseminata, purpura
anafilaktoid, Glumerulonefritis akut atau kronik, Trombosis vena renalis,
Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas, air
raksa, Amiloidosis, penyakit sel sabit, hiperprolinemia, nefritis
membranoproliferatif hipokomplementemik.
3) Sindrom nefrotik idiopatik
Tidak diketahui sebabnya atau disebut sindroma nefrotik
primer. Berdasarkan histopatologis yang tampak pada biopsi ginjal dgn
pemeriksaan mikroskop biasa dan mikroskop elektron, terbagi menjadi :
 Kelainan minimal

Pada mikroskop elektron akan tampak foot prosessus sel epitel


berpadu. Dengan cara imunofluoresensi ternyata tidak terdapat IgG
pada dinding kapiler glomerulus.

 Nefropati membranosa

Semua glomerulus menunjukan penebalan dinding kapiler yang


tersebar tanpa proliferasi sel. Prognosis kurang baik.

 Glomerulonefritis proliferatif

Glomerulonefritis proliferatif esudatif difus.Terdapat proliferasi sel


mesangial dan infiltrasi sel polimorfonukleus. Pembengkanan
sitoplasma endotel yang menyebabkan kapiler tersumbat, dengan
penebalan batang lobular, Terdapat prolefirasi sel mesangial yang
tersebar dan penebalan batang lobular, Dengan bulan sabit ( crescent),
Didapatkan proliferasi sel mesangial dan proliferasi sel epitel sampai
kapsular dan viseral. Prognosis buruk.

 Glomerulonefritis membranoproliferatif

Proliferasi sel mesangial dan penempatan fibrin yang menyerupai


membran basalis di mesangium.Titer globulin beta-IC atau beta-IA
rendah.Prognosis buruk.

8
 Glomerulosklerosis fokal segmental

Pada kelainan ini yang mencolok sklerosis glomerulus.Sering


disertai atrofi tubulus.Prognosis buruk.

Penyebab sindrom nefrotik dibagi menjadi 2 menurut muttaqin. 2012


adalah:

1) Primer, berkaitan dengan berbagai penyakit ginjal, seperti:


- Glomerulonefritis
- Nefrotik sindrom perubahan minimal
2) Sekunder, akibat infeksi, penggunaan obat, dan penyakit sistemik lain,
seperti:
- Diabetes mellitus
- Sistema lupus eritematosus
- Amyloidosis

2.4 Klasifikasi dari Sindrom Nefrotik

Whaley dan Wong (1999 : 1385) membagi tipe-tipe sindrom nefrotik:

a) Sindrom Nefrotik Lesi Minimal ( MCNS : minimal change nephrotic


syndrome).
Kondisi yang sering menyebabkan sindrom nefrotik pada anak usia
sekolah. Anak dengan sindrom nefrotik ini, pada biopsi ginjalnya terlihat
hampir normal bila dilihat dengan mikroskop cahaya.
b) Sindrom Nefrotik Sekunder
Terjadi selama perjalanan penyakit vaskuler seperti lupus eritematosus
sistemik, purpura anafilaktik, glomerulonefritis, infeksi system
endokarditis, bakterialis dan neoplasma limfoproliferatif.
c) Sindrom Nefrotik Kongenital
Faktor herediter sindrom nefrotik disebabkan oleh gen resesif autosomal.
Bayi yang terkena sindrom nefrotik, usia gestasinya pendek dan gejala
awalnya adalah edema dan proteinuria. Penyakit ini resisten terhadap
semua pengobatan dan kematian dapat terjadi pada tahun-yahun pertama
kehidupan bayi jika tidak dilakukan dialysis.

9
Sindrom Nefrotik menurut terjadinya (2,3)
a) Sindrom Nefrotik Kongenital
Pertama kali dilaporkan di Finlandia, sehingga disebut juga SN tipe
Finlandia. Kelainan ini diturunkan melalui gen resesif. Biasanya anak lahir
premature (90%), plasenta besar (beratnya kira-kira 40% dari berat
badan).Gejala asfiksia dijumpai pada 75% kasus.Gejala pertama berupa
edema, asites, biasanya tampak pada waktu lahir atau dalam minggu
pertama.Pada pemeriksaan laboratorium dijumpai hipoproteinemia,
proteinuria massif dan hipercolestrolemia. Gejala klinik yang lain berupa
kelainan congenital pada muka seperti hidung kecil, jarak kedua mata
lebar, telinga letaknya lebih rendah dari normal. Prognosis jelek dan
meninggal Karenainfeksi sekunder atau kegagalan ginjal. Salah satu cara
untuk menemukan kemungkinan kelainan ini secara dini adalah
pemeriksaan kadar alfa feto protein cairan amnion yang biasanya
meninggi.
b) Sindrom Nefrotik yang didapat:
Termasuk disini sindrom nefrotik primer yang idiopatik dan sekunder.

2.5 Patofisiologi Sindrom Nefrotik

Perubahan patologis yang mendasari pada sindrom nefrotik


adalah proteinuria, yang disebabkan oleh peningkatan permeabilitas dinding
kapiler glomerolus. Penyebab peningkatan permeabilitas ini tidak diketahui
tetapi dihubungkan dengan hilangnya glikoprotein bermuatan negatif pada
dinding kapiler.

Mekanisme timbulnya edema pada sindrom nefrotik


disebabkan oleh hipoalbumin akibat proteinuria. Hipoalbumin menyebabkan
penurunan tekanan onkotik plasma sehingga terjadi transudasi cairan dari
kompartemen intravaskuler ke ruangan interstitial. Penurunan volum
intravaskuler menyebabkan penurunan perfusi renal sehingga mengaktivasi
sistem renin-angiotensin-aldosteron yang selanjutnya menyebabkan
reabsorpsi natrium di tubulus distal ginjal. Penurunan volum intravaskuler

10
juga menstimulasi pelepasan hormon antidiuretik (ADH) yang akan
meningkatkan reabsorpsi air di tubulus kolektivus.

Mekanisme terjadinya peningkatan kolesterol dan trigliserida


akibat 2faktor. Pertama, hipoproteinemia menstimulasi sintesis protein di hati
termasuk lipoprotein. Kedua, katabolisme lemak terganggu sebagai akibat
penurunan kadar lipoprotein lipase plasma (enzim utama yang memecah
lemak di plasma darah).

11
2.6 WOC Sindrom Nefrotik

12
2.7 Manifestasi Klinis dari Sindrom Nefrotik

Manifestasi utama sindrom nefrotik adalah edema.Edema biasanya


bervariasi dari bentuk ringan sampai berat (anasarka). Edema biasanya lunak dan
cekung bila ditekan (pitting), dan umumnya ditemukan disekitar mata (periorbital)
yang tampak pada pagi hari, dan berlanjut ke abdomen terjadi penumpukan cairan
pada rongga pleura yang menyebabkan efusi pleura, daerah genitalia dan
ekstermitas bawah yaitu pitting (penumpukan cairan) pada kaki bagian atas,
penumpukan cairan pada rongga peritoneal yang menyebabkan asites.

 Penurunan jumlah urin : urine gelap, berbusa, volume urin berkurang,


warna agak keruh dan berbusa, selama beberapa minggu mungkin terdapat
hemturia dan oliguri terjadi karena penurunan volume cairan vaskuler
yang menstimulli sistem renin-angio-tensin, yang mengakibatkan
disekresinya hormon anti diuretik (ADH).
 Pucat
 Hematuri
 Anoreksia dan diare disebabkan karena edema mukosa usus.
 Sakit kepala, malaise, nyeri abdomen, berat badan meningkat dan
keletihan umumnya terjadi.
 Gagal tumbuh dan pelisutan otot (jangka panjang)
 Proteinuria > 3,5 gr/hr pada dewasa atau 0,05 g/kg BB/hr pada anak-anak
 Hipoalbuminemia < 30 gr/l
 Hiperlipidemia, umumnya ditemukan hiperkolesterolemia
 Hiperkoagulabilitas, yang akan meningkatkan risiko trombosis vena dan
arteri
 Kenaikan berat badan secara progresif dalam beberapa hari/minggu.
 Mudah lelah atau lethargie tapi tidak kelihatan sakit payah.
 Hipertensi (jarang terjadi) karena penurunan voulume intravaskuler yang
mengakibatkan menurunnya tekanan perfusi renal yang mengaktifkan
sistem renin angiotensin yang akan meningkatkan konstriksi pembuluh
darah.
 Pembengkakan jaringan akibat penimbunan garam dan air

13
2.8 Pemeriksaan Penunjang

1. Urin

a) Protein

Pada SN terjadi proteinuria dimana urin mengandung protein 

0,05 – 0,1 gr/kgBB/hr. Proteinuria bisa selektif, yang hanya

terdiri dari albumin saja dengan berat molekul rendah atau non

selektif dimana proteinuria terdiri dari berbagai protein dari yang

berberat molekul rendah sampai yang berberat molekul tinggi

yaitu IgG. Pada kasus ini didapatkan hasil laborat proteinuria +++

(positif 3).

b) Sedimen

Hematuria makroskopik jarang, biasanya merupakan petunjuk

adanya kelainan glomerulonefritis yang lebih parah, Hematuria

mikroskopik di dapatkan pada 25 % kasus SN sensitive-steroid

tipe kelainan minimal. Pada kasus ini didapatkan hasil laborat

sediment yaitu leukosit 2 – 4/ LPB, eritrosit 0 – 1/ LPB, dan epitel

penuh/ LPK.

c) Elektrolit

Ekskresi natrium urin rendah (< 5 mmol / 24 jam), berhubungan

dengan retensi natrium dan edema, ekskresi kalium urin bervariasi

sesuai intake.

2. Darah

a) Protein serum bermakna, sedangkan lipid serum biasanya

meningkat. Kadar albumin biasanya turun di bawah 2 gr / dl dan

14
bahkan dapat < 1 gr / dl. Elektroforesis menunjukkan tidak hanya

terjadi penurunan kadar albumin saja, tetapi juga terjadi

peningkatan 2-globulin dan peningkatan ringan -globulin serta

penurunan -globulin.IgG menurun bermakna, IgA menurun

sedikit, IgM meningkat, sementara IgE normal atau meningkat.

Tidak selalu didapatkan kelainan kadar komplemen C3 dan C4.

Biasanya kadar komplemen C3 menurun pada tipe bukan kelainan

minimal. Kadar antithrombin III plasma menurun oleh karena

terbuang melalui urin, merupakan salah satu penyebab

hiperkoagulobilitas pada anak dengan sindrom nefrotik. Kadar

beberapa komponen protein dalam kaskade koagulasi meningkat,

sehingga menimbulkan risiko trombosis. Pada kasus ini

didapatkan protein total serum 3,8 mg/100 mL dan albumin 2,0

mg/100 mL.

b) Lemak

Hiperlipidemia merupakan konsekuensi dari :

 Meningkatnya sintesis hepatik kolesterol, trigliserid dan

lipoprotein.

 Penurunan katabolisme lipoprotein karena penurunan

aktivitas lipase lipoprotein

 Penurunan aktivitas reseptor LDL dan peningkatan

lepasnya HDL melalui urin.

Pada kasus ini didapatkan hasil laborat cholesterol total

361 mg/100 mL.

15
c) Urea, Kreatinin, Elektrolit

Kadar urea dan kreatinin plasma pada awalnya biasanya normal,

tetapi pada beberapa kasus dapat meningkat. Elektrolit serum

biasanya tetap dalam batas normal. Pada kasus ini didapatkan hasil

laborat ureum 35,2 mg/100 mL dan creatinin 0,16 mg/100 mL.

d) Hematologi

Kadar hemoglobin dan hematokrit dapat menurun atau meningkat

dalam korelasi terbalik dengan volume plasma. Dapat terjadi

anemia. Umumnya terjadi peningkatan jumlah trombosit.3 Pada

kasus ini didapatkan hasil laborat Hb 11,8 gr/dL, trombosit

591.000/mm3, Ht 35%, leukosit 13.100/mm3 dan LED 80mm/jam.

2.9 Penatalaksanaan dari Sindrom Nefrotik

Tujuan terapi adalah untuk mencegah kerusakan ginjal lebih lanjut dan
menurunkan risiko komplikasi.

A. Penatalaksanaan Medis

Pengobatan sindroma nefrotik hanya bersifat simptomatik, untuk


mengurangi atau menghilangkan proteinuria dan memperbaiki keadaan
hipoalbuminemia, mencegah dan mengatasi komplikasinya, yaitu:

- Istirahat sampai edema tinggal sedikit. Batasi asupan natrium sampai


kurang lebih 1 gram/hari secara praktis dengan menggunakan garam
secukupnya dan menghindari makanan yang diasinkan. Diet protein 2-
3 gram/kgBB/hari.
- Bila edema tidak berkurang dengan pembatasan garam, dapat
digunakan diuretik, biasanya furosemid 1 mg/kgBB/hari. Bergantung
pada beratnya edema dan respon pengobatan. Bila edema refrakter,
dapat digunakan hididroklortiazid (25-50 mg/hari) selama pengobatan

16
diuretik perlu dipantau kemungkinan hipokalemi, alkalosis metabolik
dan kehilangan cairan intravaskuler berat.
- Dengan antibiotik bila ada infeksi harus diperiksa kemungkinan
adanya TBC
- Diuretikum

Boleh diberikan diuretic jenis saluretik seperti hidroklorotiasid,


klortahidon, furosemid atau asam ektarinat.Dapat juga diberikan
antagonis aldosteron seperti spironolakton (alkadon) atau kombinasi
saluretik dan antagonis aldosteron

- Obat simvastatin
Berdasarkan jurnal dengan judul “simvastatin in Nephrotic
Syndrome” bahwa simvastatin dapan menurunkan kadar lipid dalam
darah
- Kortikosteroid

International Cooperative Study of Kidney Disease in Children


(ISKDC) mengajukan cara pengobatan sebagai berikut :

a) Selama 28 hari prednison diberikan per oral dengan dosis 60


mg/hari/luas permukaan badan (lpb) dengan maksimum 80
mg/hari.
b) Kemudian dilanjutkan dengan prednison per oral selama 28 hari
dengan dosis 40 mg/hari/lpb, setiap 3 hari dalam satu minggu
dengan dosis maksimum 60 mg/hari. Bila terdapat respons, maka
pengobatan ini dilanjutkan secara intermitten selama 4 minggu.

c) Tapering-off: prednison berangsur-angsur diturunkan, tiap minggu:


30 mg, 20 mg, 10 mg sampai akhirnya dihentikan.
- Lain-lain

Pungsi asites, pungsi hidrotoraks dilakukan bila ada indikasi vital.Bila


ada gagal jantung, diberikan digitalis. (Behrman, 2000)

- Diet

17
Diet rendah garam (0,5 – 1 gr sehari) membantu menghilangkan
edema. Minum tidak perlu dibatasi karena akan mengganggu fungsi
ginjal kecuali bila terdapat hiponatremia. Diet tinggi protein teutama
protein dengan ilai biologik tinggi untuk mengimbangi pengeluaran
protein melalui urine, jumlah kalori harus diberikan cukup banyak.

Pada beberapa unit masukan cairan dikurangi menjadi 900 sampai


1200 ml/ hari dan masukan natrium dibatasi menjadi 2 gram/ hari. Jika
telah terjadi diuresis dan edema menghilang, pembatasan ini dapat
dihilangkan.Usahakan masukan protein yang seimbang dalam usaha
memperkecil keseimbangan negatif nitrogen yang persisten dan
kehabisan jaringan yang timbul akibat kehilangan protein.Diit harus
mengandung 2-3 gram protein/ kg berat badan/ hari. Anak yang
mengalami anoreksia akan memerlukan bujukan untuk menjamin
masukan yang adekuat.

Makanan yang mengandung protein tinggi sebanyak 3 – 4


gram/kgBB/hari, dengan garam minimal bila edema masih berat.Bila
edema berkurang dapat diberi garam sedikit.Diet rendah natrium tinggi
protein.Masukan protein ditingkatkan untuk menggantikan protein di
tubuh.Jika edema berat, pasien diberikan diet rendah natrium.

- Kemoterapi:
 Prednisolon digunakan secra luas. Merupakan kortokisteroid yang
mempunyai efek samping minimal. Dosis dikurangi setiap 10 hari
hingga dosis pemeliharaan sebesar 5 mg diberikan dua kali sehari.
Diuresis umumnya sering terjadi dengan cepat dan obat
dihentikan setelah 6-10 minggu. Jika obat dilanjutkan atau
diperpanjang, efek samping dapat terjadi meliputi terhentinya
pertumbuhan, osteoporosis, ulkus peptikum, diabeters mellitus,
konvulsi dan hipertensi.
 Jika terjadi resisten steroid dapat diterapi dengan diuretika untuk
mengangkat cairan berlebihan, misalnya obat-abatan
spironolakton dan sitotoksik ( imunosupresif ). Pemilihan obat-

18
obatan ini didasarkan pada dugaan imunologis dari keadaan
penyakit. Ini termasuk obat-obatan seperti 6-merkaptopurin dan
siklofosfamid.
B. Penatalaksanaan Keperawatan
- Tirah baring: Menjaga pasien dalam keadaan tirah baring selama
beberapa harimungkin diperlukan untuk meningkatkan diuresis guna
mengurangi edema. Baringkan pasien setengah duduk, karena adanya
cairan di rongga thoraks akan menyebabkan sesak nafas. Berikan alas
bantal pada kedua kakinya sampai pada tumit (bantal diletakkan
memanjang, karena jika bantal melintang maka ujung kaki akan lebih
rendah dan akan menyebabkan edema hebat).
- Terapi cairan: Jika klien dirawat di rumah sakit, maka intake dan
output diukur secara cermat da dicatat. Cairan diberikan untuk
mengatasi kehilangan cairan dan berat badan harian.
- Perawatan kulit. Edema masif merupakan masalah dalam perawatan
kulit. Trauma terhadap kulit dengan pemakaian kantong urin yang
sering, plester atau verban harus dikurangi sampai minimum. Kantong
urin dan plester harus diangkat dengan lembut, menggunakan pelarut
dan bukan dengan cara mengelupaskan. Daerah popok harus dijaga
tetap bersih dan kering dan scrotum harus disokong dengan popok
yang tidak menimbulkan kontriksi, hindarkan menggosok kulit.
- Perawatan mata. Tidak jarang mata anak tertutup akibat edema
kelopak mata dan untuk mencegah alis mata yang melekat, mereka
harus diswab dengan air hangat.
- Penatalaksanaan krisis hipovolemik. Anak akan mengeluh nyeri
abdomen dan mungkin juga muntah dan pingsan. Terapinya dengan
memberikan infus plasma intravena. Monitor nadi dan tekanan darah.
- Pencegahan infeksi. Anak yang mengalami sindrom nefrotik
cenderung mengalami infeksi dengan pneumokokus kendatipun
infeksi virus juga merupakan hal yang menganggu pada anak dengan
steroid dan siklofosfamid.

19
- Perawatan spesifik meliputi: mempertahankan grafik cairan yang
tepat, penimbnagan harian, pencatatan tekanan darah dan pencegahan
dekubitus.
- Dukungan bagi orang tua dan anak. Orang tua dan anak sering kali
tergangu dengan penampilan anak. Pengertian akan perasan ini
merupakan hal yang penting. Penyakit ini menimbulkan tegangan
yang berta pada keluarga dengan masa remisi, eksaserbasi dan masuk
rumah sakit secara periodik. Kondisi ini harus diterangkan pada orang
tua sehingga mereka mereka dapat mengerti perjalanan penyakit ini.
Keadaan depresi dan frustasi akan timbul pada mereka karena
mengalami relaps yang memaksa perawatan di rumahn sakit.
- Bila pasien seorang anak laki-laki, berikan ganjal dibawah skrotum
untuk mencegah pembengkakan skrotum karena tergantung (pernah
terjadi keadaan skrotum akhirnya pecah dan menjadi penyebab
kematian pasien).

2.10 Komplikasi Sindrom Nefrotik

a. Infeksi sekunder mungkin karena kadar imunoglobulin yang rendah


akibat hipoalbuminemia.
b. Shock hipovolemik: terjadi terutama pada hipoalbuminemia berat (< 1
gram/100ml) yang menyebabkan hipovolemia berat sehingga
menyebabkan shock.
c. Trombosis vaskuler : mungkin akibat gangguan sistem koagulasi
sehingga terjadi peninggian fibrinogen plasma.
d. Komplikasi yang bisa timbul adalah malnutrisi atau kegagalan ginjal.
e. Trombosis vena, akibat kehilangan anti-thrombin 3, yang berfungsi untuk
mencegah terjadinya trombosis vena ini sering terjadi pada vena renalis.
Tindakan yang dilakukan untuk mengatasinya adalah dengan pemberian
heparin.
f. Gagal ginjal akut akibat hipovolemia. Disamping terjadinya penumpukan
cairan di dalam jaringan, terjadi juga kehilangan cairan di dalam
intravaskuler.

20
g. Edema pulmonal, akibat kebocoran cairan, kadang-kadang masuk
kedalam paru-paru yang menyebabkan hipoksia dan dispnea.
h. Perburukan pernafasan (berhubungan dengan retensi cairan)
i. Kerusakan kulit
j. Peritonitis (berhubungan dengan asites)
k. Hipovolemia
l. Komplikasi tromboemboli- terombosis vena renal, trombosis vena dan
arteri ekstremitas dan trombosis arteri serebral

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN TEORI

21
3.1 Pengkajian
a) Identitas klien:
- Umur: lebih banyak pada anak-anak terutama pada usia pra-sekolah
(3-6 th). Ini dikarenakan adanya gangguan pada sistem imunitas tubuh
dan kelainan genetik sejak lahir.
- Jenis kelamin: anak laki-laki lebih sering terjadi dibandingkan anak
perempuan dengan rasio 2:1. Ini dikarenakan pada fase umur anak 3-6
tahun terjadi perkembangan psikoseksual : dimana anak berada pada
fase oedipal/falik dengan ciri meraba-raba dan merasakan kenikmatan
dari beberapa daerah genitalnya. Kebiasaan ini dapat mempengaruhi
kebersihan diri terutama daerah genital. Karena anak-anak pada masa
ini juga sering bermain dan kebersihan tangan kurang terjaga. Hal ini
nantinya juga dapat memicu terjadinya infeksi.
- Agama
- Suku/bangsa
- Status
- Pendidikan
- Pekerjaan
b) Identitas penanggung jawab

Hal yang perlu dikaji meliputi nama, umur, pendidikan, agama, dan
hubungannya dengan klien.

c) Riwayat Kesehatan
- Keluhan utama: kaki edema, wajah sembab, kelemahan fisik, perut
membesar (adanya acites).
- Riwayat kesehatan sekarang

Untuk pengkajian riwayat kesehatan sekarang, perawatan perlu


menanyakan hal berikut:

 Kaji berapa lama keluhan adanya perubahan urine output


 Kaji onset keluhan bengkak pada wajah atau kaki apakah disertai
dengan adanya keluhan pusing dan cepat lelah

22
 Kaji adanya anoreksia pada klien
 Kaji adanya keluhan sakit kepala dan malaise
- Riwayat kesehatan dahulu

Perawat perlu mengkaji:

 Apakah klien pernah menderita penyakit edema?


 Apakah ada riwayat dirawat dengan penyakit diabetes melitus dan
penyakit hipertensi pada masa sebelumnya?
 Penting juga dikaji tentang riwayat pemakaian obat-obatan masa
lalu dan adanya riwayat alergi terhadap jenis obat
- Riwayat kesehatan keluarga

Kaji adanya penyakit keturunan dalam keluarga seperti DM yang


memicu timbulnya manifestasi klinis sindrom nefrotik

d) Kebutuhan bio-psiko-sosio-spiritual
- Pola nutrisi dan metabolisme: anoreksia, mual, muntah.
- Pola eliminasi: diare, oliguria.
- Pola aktivitas dan latihan: mudah lelah, malaise
- Pola istirahat tidur: susah tidur
- Pola mekanisme koping : cemas, maladaptive
- Pola persepsi diri dan konsep diri : putus asa, rendah diri
e) Pemeriksaan Fisik
- Status kesehatan umum
 Keadaan umum: klien lemah dan terlihat sakit berat
 Kesadaran: biasanya compos mentis
 TTV: sering tidak didapatkan adanya perubahan.
- Pemeriksaan sistem tubuh
 B1 (Breathing)

Biasanya tidak didapatkan adanya hgangguan pola nafas dan jalan


nafas walau secara frekuensi mengalami peningkatan terutama pada
fase akut.Pada fase lanjut sering didapatkan adanya gangguan pola

23
nafas dan jalan nafas yang merupakan respons terhadap edema
pulmoner dan efusi pleura.

 B2 (Blood)

Sering ditemukan penurunan curah jantung respons sekunder dari


peningkatan beban volume .

 B3 (Brain)

Didapatkan edema terutama periorbital, sklera tidak ikterik.Status


neurologis mengalami perubahan sesuai dengan tingkat parahnya
azotemia pada sistem saraf pusat.

 B4 (Bladder)

Perubahan warna urine output seperti warna urine berwarna kola

 B5 (Bowel)

Didapatkan adanya mual dan muntah, anoreksia sehingga


didapatkan penurunan intake nutrisi dari kebutuhan.Didapatkan asites
pada abdomen.

 B6 (Bone)

Didapatkan adanya kelemahan fisik secara umum, efek sekunder


dari edema tungkai dari keletihan fisik secara umum.

f) Pengkajian Diagnostik

Urinalisis didapatkan hematuria secara mikroskopik secara umum,


terutama albumin.Keadaaan ini juga terjadi akibat meningkatnya
permeabilitas membran glomerulus.

24
3.2 Diagnosa keperawatan
a. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan kehilangan protein sekunder
terhadap peningkatan permiabilitas glomerulus.
b. Ketidakseimbangan nutrisi kuruang dari kebutuhan berhubungan dengan
malnutrisi sekunder terhadap kehilangan protein dan penurunan napsu
makan.

25
3.3 Intervensi Keperawatan

Diagnosa Tujuan & KH Intervensi dan Rasional


Kelebihan volume cairan Tujuan : pasien tidak o Kaji masukan yang relatif terhadap keluaran secara akurat
berhubungan dengan menunjukkan bukti-bukti R : perlu untuk menentukan fungsi ginjal, kebutuhan
kehilangan protein akumulasi cairan (pasien penggantian cairan dan penurunan resiko kelebihan cairan.
sekunder terhadap mendapatkan volume cairan o Timbang berat badan setiap hari (ataui lebih sering jika
peningkatan permiabilitas yang tepat) diindikasikan).
glomerulus. R: Mengkaji retensi cairan
Kriteria hasil: o Kaji perubahan edema : ukur lingkar abdomen pada umbilicus
· Penurunan edema, ascites serta pantau edema sekitar mata
· Kadar protein darah o R: untuk mengkaji ascites dan karena merupakan sisi umum
meningkat edema.
· Output urine adekuat 600 – o Atur masukan cairan dengan cerma dengan Pantau infus intra
700 ml/hari vena
· Tekanan darah dan nadi R : agar tidak mendapatkan lebih dari jumlah yang dibutuhkan
dalam batas normal. dan Untuk mempertahankan masukan yang diresepkan
o Kolaborasi :Berikan kortikosteroid sesuai ketentuan.
R : untuk menurunkan ekskresi proteinuria
o Berikan diuretik bila diinstruksikan.
R :memberikan penghilangan sementara dari edema.

Ketidakseimbangan nutrisi Tujuan : Dalam waktu 3x24 o Catat intake dan output makanan secara akurat
kuruang dari kebutuhan jam kebutuhan nutrisi akan o Kaji adanya anoreksia, hipoproteinemia, diare.
berhubungan dengan terpenuhi R : Diare sebagai reaksi edema intestinalMencegah status
malnutrisi sekunder nutrisi menjadi lebih buruk.
terhadap kehilangan Kriteria Hasil : o Batasi natrium selama edema dan trerapi kortikosteroid
protein dan penurunan · Napsu makan baik Tidak o R: Asupan natrium dapat memperberat edema usus yang

26
napsu makan. terjadi hipoprtoeinemia Porsi menyebabkan hilangnya nafsu makan anak
makan yang dihidangkan o Beri lingkungan yang menyenangkan, bersih, dan rileks pada
dihabiskan Edema dan ascites saat makan
tidak ada. R : mendorong agar pasien mau makan
o Beri makanan dalam porsi sedikit pada awalnya dan Beri
makanan dengan cara yang menarik
R: untuk menrangsang nafsu makan agar pasien dapat
menerima makanan degan baik
h.

27
3.3 Evaluasi

Setelah mendapat intervensi keperawatan, maka pasien dengan sindrom


nefrotik diharapkan sebagai berikut:

1) Kelebihan volume cairan teratasi


2) Meningkatnya asupan nutrisi
3) Peningkatan kemampuan aktivitas sehari-hari
4) Penurunan kecemasan

28
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Sindrom nefrotik merupakan gangguan klinis ditandai oleh peningkatan


protein, penurunan albumin dalam darah (hipoalbuminemia), edema dan serum
kolesterol yang tinggi dan lipoprotein densitas rendah (hiperlipidemia).

Etiologi nefrotik sindrom dibagi menjadi 3, yaitu primer


(Glomerulonefritis dan nefrotik sindrom perubahan minimal), sekunder (Diabetes
Mellitus, Sistema Lupus Erimatosis, dan Amyloidosis), dan idiopatik (tidak
diketahui penyebabnya).Tanda paling umum adalah peningkatan cairan di dalam
tubuh. Tanda lainnya seperti hipertensi (jarang terjadi), oliguri (tidak umum
terjadi pada nefrotik sindrom), malaise, mual, anoreksia, irritabilitas, dan
keletihan.

Sehingga masalah keperawatan yang mungkin muncul adalah kelebihan


volume cairan berhubungan, resiko tinggi infeksi, perubahan nutrisi kurang dari
kebutuhan, resiko tinggi kerusakan integritas kulit, resiko kehilangan volume
cairan intravaskuler, gangguan perfusi jaringan perifer, gangguan citra tubuh,
intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelelahan, dan defisit pengetahuan.

4.2 Saran

Demikian makalah yang kami sampaikan. Kami berharap agar makalah


yang kami buat ini dapat bermanfaat bagi para dosen, teman-teman dan
pembaca terutama mahasiswa keperawatan.

29
DAFTAR PUSTAKA

Behrman, R.E. MD, dkk. 2000. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Volume 3 Edisi
15.Jakarta: EGC

Dr. Nursalam, pransisca. 2009. Asuhan keperawatan pada pasien dengan


gangguan sistem perkemihan. Salemba medika. Jakarta.

Husein A Latas. 2002. Buku Ajar Nefrologi. Jakarta: EGC.

Judith M. Wilkinson, Nancy R. Ahern. 2011. Buku Satu Diagnosa Keperawatan


Nanda NIC NOC, Edisi 9. EGC. Jakarta

Muttaqin, Arif. 2012. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan.


Jakarta: Salemba Medika

Mansjoer, Arif, dkk, (2012), Kapita Selekta Kedokteran, edisi ketiga, Jilid
1, Media Aesculapius: Jakarta

Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit Edisi 2. Jakarta: EGC

Price A & Wilson L. 2005. Pathofisiology Clinical Concept of Disease Process


(Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit). Jakarta: EGC.

Suharyanto, tato, & mudjid, abdul. 2009. Asuhan keperawatan pada klien dengan
gangguan sistem perkemihan. Salemba Medika. Jakarta.

30
31

You might also like