You are on page 1of 128

ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN

KOMPETITIF USAHATANI JAGUNG DAN PADI


DI KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW
PROPINSI SULAWESI UTARA

ZULKIFLI MANTAU

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis

saya yang berjudul:

ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF


USAHATANI JAGUNG DAN PADI DI KABUPATEN BOLAANG
MONGONDOW PROPINSI SULAWESI UTARA

merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri dengan bimbingan

Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan sumbernya. Tesis

ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di

perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah

dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Agustus 2009

Zulkifli Mantau
NRP. H353070191
ABSTRACT

ZULKIFLI MANTAU. The Analysis of Comparative and Competitive


Advantages of Maize and Paddy Farming in Kabupaten Bolaang Mongondow,
North Sulawesi Province (HARIANTO as a Chairman and NUNUNG
NURYARTONO as a Member of the Advisory Committee).

The aims of this research are : (1) to analyze the profitability of maize and
paddy farming in Kabupaten Bolaang Mongondow, (2) to analyze the comparative
and competitive advantages of maize and paddy farming in Kabupaten Bolaang
Mongondow, (3) to analyze the impact of government policy on competitiveness of
maize and paddy farming in Kabupaten Bolaang Mongondow, (4) to analyze the
price changed sensitivity of input, output and wage of labor on comparative and
competitive advantages of maize farming in Kabupaten Bolaang Mongondow. The
analysis method use a Policy Analysis Matrix (PAM). The PAM results showed that
private and social profitability of maize farming are Rp. 218 926 and Rp. 3 045 938.
Private Cost Ratio of maize and paddy farming were 0.97 and 0.69. Domestic
Resources Cost Ratio of maize and paddy farming were 0.65 and
0.68. Based on the results of Output Transfer and Nominal Protection
Coefficient on Output can be indicated that output price in domestic market was
lower than output price in international market. Based on the results of Input
Transfer and Nominal Coefficient on Input can be indicated that there’s subsidy
policy impact in input price of maize farming. In additional, factor transfer result
indicated that there’s tax policy impact in domestic factors. The result of
Effective Protection Coefficient of maize (0.80) indicates that there’s low
protection of maize product in Bolmong. Net Transfer result was negative. The
profitability rates of maize farming just only 7 percent in private price. Subsidy
Ratio to Producers was negative. It means that there’s a high budget of
production budget of maize farming, especially in private factor. Finally, based
on sensitivity analysis can be shown that the ninth scenario (fertilizer price
decreased 10 percent and output price increased 30 percent) was the best
scenario with result of private and social profitabilities, PCR and DRCR are Rp.
3 027 171/ year and Rp. 6 849 398/ year, 0.69 and 0.46.

Keywords : comparative and competitive advantages, maize and paddy


farming, Policy Analysis Matrix
RINGKASAN

ZULKIFLI MANTAU. Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif


Usahatani Jagung dan Padi di Kabupaten Bolaang Mongondow Propinsi
Sulawesi Utara (HARIANTO sebagai Ketua, dan NUNUNG NURYARTONO
sebagai Anggota Komisi Pembimbing).

Pemerintah Indonesia menargetkan swasembada jagung pada tahun 2007


setelah pencanangan kebijakan Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan
(RPPK) pada tahun 2005. Selanjutnya pemerintah daerah Propinsi Sulawesi
Utara menyambut RPPK 2005 tersebut dengan meluncurkan Crash Program
Agribisnis, dimana ditetapkan beberapa komoditas pertanian dan perikanan yang
menjadi prioritas utama untuk ditumbuh kembangkan yaitu jagung, rumput laut
dan VCO (Virgin Coconut Oil). Mengacu dari strategi kedua kebijakan RPPK
yaitu peningkatan daya saing, produktivitas, nilai tambah dan kemandirian
produksi dan distribusi PPK melalui praktek usaha pertanian yang baik (good
agriculture practice), maka perlu dilakukan penelitian dan atau kajian mengenai
aspek daya saing (keunggulan komparatif dan kompetitif) khususnya komoditi
jagung di Bolaang Mongondow yang merupakan sentra jagung di Sulawesi
Utara selain juga terkenal sebagai lumbung berasnya Sulawesi Utara, agar dapat
dirumuskan suatu kebijakan yang sesuai (langkah-langkah intervensi) untuk
pengembangan komoditas unggulan tersebut, dimana sasaran akhirnya tidak
terlepas dari faktor peningkatan produksi dan kesejahteraan petani (berhubungan
dengan strategi pertama yaitu pengurangan kemiskinan dan kegureman petani).
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menganalisis aspek profitabilitas
usahatani jagung dan padi di Kabupaten Bolaang Mongondow, (2) menganalisis
keunggulan komparatif dan kompetitif usahatani jagung dan padi di Kabupaten
Bolaang Mongondow, (3) menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap
daya saing usahatani jagung dan padi di Bolaang Mongondow, dan (4)
menganalisis sensitivitas perubahan harga input, output dan upah tenaga kerja
terhadap keunggulan komparatif dan kompetitif usahatani jagung di Bolaang
Mongondow. Metode analisis menggunakan Policy Anylisis Matrix (PAM).
Dengan PAM dapat diketahui nilai profitabilitas privat dan sosial, Private Cost
Ratio (PCR) untuk rasio keunggulan kompetitif, Domestic Resources Cost Ratio
(DRCR) untuk rasio keunggulan komparatif dan aspek divergensi atau dampak
kebijakan yang terdiri dari Output Transfer (OT), Nominal Protection
Coefficient on Output (NPCO), Input Transfer (IT), Nominal Coefficient on
Input (NPCI), Factor Transfer (FT), Effective Protection Coefficient (EPC),
Profitability Coefficient (PC) dan Surplus Ratio to Producer (SRP).
Dari 100 orang petani responden diperoleh hasil usia rata-rata sebesar 45
tahun dengan pendidikan terakhir umumnya sekolah dasar (49 persen). Petani
responden di lima kecamatan lokasi penelitian (Poigar, Bolaang, Bolaang Timur,
Lolayan dan Lolak) semuanya bermata pencaharian utama dari kegiatan usahatani,
baik tanaman pangan, peternakan maupun perkebunan. Sebagian besar petani
merupakan pemilik lahan, hanya satu kecamatan saja yang keseluruhan
petaninya tidak memiliki lahan atau hanya menggarap (HGU) yaitu di
Kecamatan Lolak (Desa Lolak II).
Hasil analisis PAM menunjukkan profitabilitas privat usahatani jagung
dan padi masing-masing sebesar Rp. 218 926 dan Rp. 3 870 106 dengan RC-
ratio sebesar 1.02 dan 1.39, sedangkan provitabilitas sosial masing-masing
sebesar Rp. 3 045 938 dan Rp. 3 446 567 per dua musim tanam dengan RC-ratio
sebesar 1.33 untuk jagung dan 1.37 untuk padi. Berdasarkan nilai PCR dapat
dikemukakan bahwa usahatani jagung memerlukan 0.97 satuan untuk dapat
bersaing dengan usahatani padi yang hanya memerlukan tambahan biaya faktor
domestik pada harga privat sebesar 0.69 satuan. Nilai DRCR usahatani jagung
menunjukkan bahwa setiap US $ 1.00 yang dibutuhkan untuk mengimpor
produk tersebut, hanya membutuhkan biaya domestik sebesar US $ 0.65, artinya
untuk memenuhi kebutuhan domestik, maka komoditas jagung sebaiknya di
produksi sendiri di Bolaang Mongondow dan tidak perlu didatangkan atau
diimpor dari daerah atau negara lain. Demikian halnya dengan usahatani padi
yang memiliki nilai DRCR sebesar 0.68. Sehingga dapat dikemukakan bahwa
kedua komoditas tersebut lebih menguntungkan diproduksi di dalam Kabupaten
Bolaang Mongondow daripada mengimpornya.
Selanjutnya berdasarkan analisis dampak kebijakan dalam Tabel PAM
diperoleh hasil untuk usahatani jagung nilai OT negatif (Rp. -3 016 041.83) dengan
NPCO 0.75 sedangkan usahatani padi nilai OT positif (Rp. 944 028.37) dengan
NPCO 1.07. Hasil ini menunjukkan harga domestik jagung lebih rendah dari harga
internasionalnya sebaliknya harga domestik padi (beras) lebih tinggi dari harga
internasionalnya, yang mengindikasikan adanya kebijakan disinsentif terhadap
output jagung (pajak komoditas). Hasil IT baik usahatani jagung maupun padi sama-
sama negatif, yaitu Rp. -1 219 818.82 dan Rp. -785 522.96 dengan NPCI masing-
masing 0.64 dan 0.62. Hasil ini menunjukkan secara implisit adanya subsidi
terhadap faktor input yang besarannya 64 persen untuk jagung dan 62 persen untuk
padi. Sebaliknya hasil FT yang positif, yaitu Rp. 1 030 788.26 untuk jagung dan Rp.
1 306 012.31 untuk padi menunjukkan adanya subsidi sebesar nilai-nilai tersebut
terhadap faktor domestik masing-masing usahatani. Nilai EPC untuk jagung lebih
kecil dari satu (0.80) sedangkan padi lebih besar dari satu (1.16) yang menunjukkan
adanya kebijakan proteksi terhadap komoditi padi (beras). Nilai NT dan SRP
usahatani jagung yang negatif menunjukkan adanya pengurangan surplus produsen
(petani) dan tingginya biaya produksi, dengan rasio keuntungan pada harga privat
hanya sebesar 7 persen (PC).
Berdasarkan analisis sensitivitas maka kebijakan yang dapat diambil
pemerintah daerah pada usahatani jagung di Bolaang Mongondow adalah
dengan menurunkan harga pupuk sebesar 10 persen dan menaikkan harga output
sebesar 30 persen (skenario ke-9).

Kata kunci : keunggulan komparatif dan kompetitif, Policy Analysis Matrix,


usahatani jagung dan padi
© Hak cipta milik IPB, tahun 2009
Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa


mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik
atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh
karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN
KOMPETITIF USAHATANI JAGUNG DAN PADI
DI KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW
PROPINSI SULAWESI UTARA

ZULKIFLI MANTAU

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
Penguji Luar Komisi:

Dr. Ir. Heny K.S. Daryanto, M.Ec


Judul Tesis : Analisis Keunggulan Komparatif dan
Kompetitif Usahatani Jagung dan Padi di
Kabupaten Bolaang Mongondow Propinsi
Sulawesi Utara

Nama Mahasiswa : Zulkifli Mantau

Nomor Pokok : H353070191

Mayor : Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui,
1. Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Harianto, MS Dr. Ir. Nunung Nuryartono, MS


Ketua Anggota

Mengetahui,

2. Koordinator Mayor 3. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB


Ilmu Ekonomi Pertanian

Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Prof. Dr. Ir. Khairil A.Notodiputro, MS

Tanggal Ujian Tesis : 13 Juli 2009 Tanggal Lulus: 4 September 2009


KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah, penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT, atas

rakhmat dan hidayah-Nya sehingga Tesis Program Magister Sains ini dapat

terselesaikan. Tesis ini mengkaji dan mengulas mengenai aspek-aspek daya

saing serta kebijakan bagi usahatani jagung dan padi di Kabupaten Bolaang

Mongondow Propinsi Sulawesi Utara.

Dengan selesainya tesis ini, penulis menyampaikan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada Dr.Ir. Harianto, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing dan

Dr.Ir. Nunung Nuryartono, MS selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang telah

memberikan arahan, saran serta pemikirannya dari awal penulisan proposal sampai

dengan penyelesaian tesis ini. Terima kasih yang sama penulis sampaikan pula

kepada Dr.Ir. Heny K.S. Daryanto, M.Ec selaku penguji luar komisi.

Banyak terima kasih penulis sampaikan juga kepada :

1. Kepala Badan Litbang Pertanian – Deptan serta Kepala BPTP Sulawesi Utara

yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk melanjutkan

pendidikan S-2 di IPB.

2. Prof.Dr.Ir. Bonar M. Sinaga, MA selaku Koordinator serta seluruh staf dosen dan

pegawai Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian SPS – IPB (mba Rubi, mba Yani, mba

Aam, Ibu Kokom, Pak Husen) yang telah banyak membantu dan memberikan

bimbingan, wawasan kepada penulis selama kuliah di EPN - IPB.

3. Para Penyuluh Pertanian Lapangan, Ketua GAPOKTAN, Kepala Desa dan

petani responden di Desa Poigar, Bolaang, Langagon, Lolayan dan Lolak II

yang telah banyak membantu penulis memperoleh data dan informasi selama

penelitian lapang berlangsung.


4. Saudara Aryanto, SPt dan Ben Kumontoi yang telah membantu penulis saat

pengambilan data lapang.

5. Para staf di dinas pertanian, dinas perdagangan propinsi dan kabupaten, bea

cukai Pelabuhan Bitung dan Gorontalo, Pelindo Bitung, BPS Propinsi,

Direktorat Bina Pasar Departemen Perdagangan, yang telah banyak

membantu dalam penyediaan dan penelusuran data-data.

6. Teman-teman EPN angkatan 2007 : Adhi Setyanto, Ferryanto W.K, Narta,

M.Suryadi, Ambar Kurniawan, Roni Afrizal, Desi Aryani, Dian Hafizah,

Wanti Fitrianti, Asri, Wiwik Hidayati, atas bantuan dan dorongan

semangatnya.

7. Teman-teman peneliti, penyuluh serta staf administrasi di BPTP Sulut atas

segala bantuan yang diberikan.

Secara khusus, penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada

Papi Abdullah Mantau (Alm) dan yang teristimewa untuk Mami tercinta Hj.

Kartin Ali atas doa, dukungan dan perhatiannya. Kepada Istri terkasih Salmah

Tirajoh serta dua permata hati Zahra dan Raya yang telah dengan sabar menanti

dan mendoakan penulis. Kepada Kakak-kakakku Abdul Halim dan Mercy atas

doa dan dukungannya.

Akhirnya, semoga tesis ini dapat lebih memperkaya khazanah ilmu

pengetahuan dan penelitian di Indonesia.

Bogor, Agustus 2009

Zulkifli Mantau
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Manado pada tanggal 6 Juni 1974 sebagai anak

ketiga dari tiga bersaudara pasangan Drs.Abdullah Mantau (Alm) dengan

Ir.Hj.Kartin Ali.

Penulis menamatkan pendidikan dasar di SD Laboratorium IKIP Negeri

Manado pada tahun 1986, kemudian pendidikan menengah di SMP

Laboratorium IKIP Negeri Manado pada tahun 1989 dan SMA Negeri 7 Manado

pada tahun 1992. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikannya di

Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,

Universitas Sam Ratulangi Manado dan meraih gelar sarjana pada tahun 1997.

Penulis bekerja sebagai staf peneliti pada Balai Pengkajian Teknologi

Pertanian Sulawesi Utara sejak April 1998. Pada tahun 2007 memperoleh

kesempatan melanjutkan pendidikan S-2 pada Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian

Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor melalui beasiswa dari Badan

Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian Republik

Indonesia.
DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ....................................................................... ............ xiv

DAFTAR GAMBAR ................................................................. ............ xvi

DAFTAR LAMPIRAN ............................................................... ............ xvii

I. PENDAHULUAN ................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang ........................................................................... 1
1.2. Perumusan Masalah ................................................................... 5
1.3. Tujuan Penelitian ...................................................................... 6
1.4. Manfaat Penelitian .................................................................... 7
1.5. Ruang Lingkup Penelitian ........................................................... 7
1.6. Keterbatasan Penelitian .............................................................. 8

II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 9


2.1. Teori Keunggulan Komparatif dan Kompetitif .......................... 9
2.2. Kebijakan Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan ..... 15
2.3. Penelitian Terdahulu .................................................................. 18

III. KERANGKA PEMIKIRAN .................................................................. 22


3.1. Kerangka Pemikiran Analisis .................................................... 22
3.2. Policy Analysis Matrix ............................................................... 25

IV. METODOLOGI PENELITIAN ............................................................ 28


4.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ...................................................... 28
4.2. Data dan Sumber Data ............................................................... 28
4.3. Prosedur Penelitian dan Metode Pengambilan Contoh ............... 30
4.4. Metode Analisis ......................................................................... 32
4.5. Metode Penentuan Harga Bayangan ........................................... 38
4.5.1. Harga Bayangan Output .................................................. 39
4.5.2. Harga Bayangan Lahan .................................................. 39
4.5.3. Harga Bayangan Sarana Produksi dan Peralatan ............ 40
4.5.4. Harga Bayangan Tenaga Kerja ....................................... 41
4.5.5. Harga Bayangan Suku Bunga Modal .............................. 42
4.5.6. Harga Bayangan Nilai Tukar Rupiah .............................. 42
4.6. Analisis Sensitivitas ................................................................... 43

V. HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................. 47


5.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ........................................... 47
5.2. Karakteristik Petani Responden .................................................. 49
5.3. Struktur Pendapatan Petani dan Kepemilikan Lahan .................. 53
5.4. Justifikasi Harga Bayangan ......................................................... 56
5.4.1. Harga Bayangan Output .................................................. 57
5.4.2. Harga Bayangan Lahan .................................................. 58
5.4.3. Harga Bayangan Sarana Produksi dan Peralatan ........... 58
5.4.4. Harga Bayangan Tenaga Kerja ...................................... 61
5.4.5. Harga Bayangan Suku Bunga Modal ............................. 63
5.4.6. Harga Bayangan Nilai Tukar Rupiah ............................. 63
5.5. Profitabilitas Privat dan Sosial .................................................... 64
5.6. Keunggulan Komparatif dan Kompetitif ................................... 69
5.7. Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah .................................... 73
5.7.1. Kebijakan Output ............................................................ 74
5.7.2. Kebijakan Input ............................................................... 78
5.7.3. Kebijakan Input-Output ................................................. 85
5.8. Analisis Sensitivitas ................................................................... 88

VI. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ................................ 92


6.1. Kesimpulan ................................................................................ 92
6.2. Implikasi Kebijakan ................................................................... 93

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................... 95

LAMPIRAN ........................ ................................................................... 100

xiii
DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Perkembangan Produksi dan Luas Tanaman Padi dan Jagung


di Sulawesi Utara Tahun 2003 – 2005 .............................................................. 21

2. Policy Analysis Matrix .......................................................................................... 27

3. Persentase Kenaikan Harga Jagung kurun waktu Tahun 1991 – 2006 ....... 46

4. Curah Hujan selang Tahun 2004 – 2008 ........................................................... 47

5. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Lapangan Usaha Tahun 2007 ................. 48

6. Luas Tanam Usahatani Tanaman Pangan Kabupaten


Bolaang Mongondow Tahun 2007 ..................................................................... 49

7. Karakteristik Usia Petani Responden................................................................. 50

8. Karakteristik Pendidikan Terakhir Petani Responden.................................... 51

9. Status dan Peranan Anggota Keluarga .............................................................. 53

10. Sebaran Petani Responden Menurut Luas Lahan Garapan


Usahatani Jagung di Kabupaten Bolaang Mongondow Tahun 2009.......... 54

11. Struktur Pendapatan Rumah tangga Tani Responden .................................... 55

12. Rekap Harga Sewa Lahan Rata-Rata di Lokasi Penelitian ........................... 58

13. Rekap Harga Privat dan Sosial Sarana Produksi Usahatani Jagung
di Lokasi Penelitian ............................................................................................... 60

14. Rekap Harga Privat dan Sosial Upah Tenaga Kerja Tidak
Terampil Usahatani Jagung ................................................................................. 62

15. Hasil Analisis Policy Analysis Matrix Usahatani Jagung dan Padi
di Kabupaten Bolaang Mongondow .................................................................. 66

16. Hasil Perhitungan Privat Cost Ratio dan Domestic Resource Cost Ratio
Usahatani Jagung dan Padi di Kabupaten Bolaang Mongondow ................ 69

17. Output Transfer dan Nominal Protection Coeficient on Output


Usahatani Jagung dan Padi di Kabupaten Bolaang Mongondow ................ 74

xiv
18. Retribusi Distribusi Komoditi Kabupaten Bolaang Mongondow
sesuai Peraturan Daerah Nomor 21 Tahun 2001 ............................................ 76

19. Input Transfer, Nominal Protection Coeficient Input dan Factor Transfer
Usahatani Jagung dan Padi di Kabupaten Bolaang Mongondow ................ 79

20. Rata-Rata Harga Beli Pupuk “Bersubsidi” pada Lima Lokasi


Penelitian di Kabupaten Bolaang Mongondow ............................................... 80

21. Effective Protection Coefficient, Net Transfer, Profitability Coeficient


dan Susidy Ratio to Producers Usahatani Jagung dan Padi
di Kabupaten Bolaang Mongondow .................................................................. 85

22. Analisis Sensitivitas Usahatani Jagung di Bolaang Mongondow ................ 89

xv
DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Dua Belas Pilar Competitiveness ........................................................................ 14

2. Tahapan-Tahapan dalam Membangun Competitiveness ............................... 14

3. Hubungan Tingkat Pendidikan Petani dengan Jenis Usahatani ................... 52

xvi
DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Peta Lokasi Penelitian ...................................................................................... 101

2. Rekap Pendapatan Rata-Rata Rumah tangga Tani Responden


di Kabupaten Bolaang Mongondow Tahun 2008..................................102

3. Analisis Finansial dan Ekonomi Usahatani Jagung di Kabupaten


Bolaang Mongondow Tahun 2008 ........................................................103

4. Analisis Finansial dan Ekonomi Usahatani Padi di Kabupaten


Bolaang Mongondow Tahun 2008 ........................................................105

5. Koefisien PAM Usahatani Jagung di Kabupaten


Bolaang Mongondow ............................................................................107

6. Koefisien PAM Usahatani Padi di Kabupaten


Bolaang Mongondow ............................................................................108

7. Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Komoditi Unggulan


Sulawesi Utara Tahun 2002 - 2007 .......................................................109

8. Pola Tanam Usahatani Jagung dan Padi secara Umum di Lokasi


Penelitian ...............................................................................................110

xvii
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sampai kurun waktu 1976 Indonesia masih termasuk salah satu negara

pengekspor jagung (net exporter), namun situasi ini secara drastis berubah

setelah kurun waktu tersebut, dari negara pengekspor menjadi negara pengimpor

(net importer) (Swastika, 2002; Nuryartono, 2005). Hal ini berkaitan erat dengan

pola konsumsi yang lambat laun berubah, dimana jagung tidak hanya digunakan

untuk memenuhi kebutuhan pokok (pangan) namun juga digunakan untuk

memenuhi kebutuhan industri, khususnya pakan ternak (Nuryartono, 2005).

Tercatat kebutuhan jagung nasional untuk bahan baku pakan ternak pada tahun

2005 saja sudah mencapai 4.5 juta ton dan diprediksi akan meningkat setiap

tahunnya (WWF Indonesia, 2008). Sedangkan sampai akhir tahun 2007

kebutuhan jagung nasional secara keseluruhan sebesar 13.8 juta ton, dimana

13.2 juta ton merupakan produksi dalam negeri sementara 600 ribu ton diimpor

dari negara lain. Adapun peningkatan permintaan terhadap komoditas jagung

tersebut diperkirakan mencapai 2.40 persen per tahun (Antara News, 2007).

Kebijakan swasembada beras selama ini menempatkan beras sebagai

produk pangan utama di Indonesia, sementara jagung menjadi second

commodity dalam tatanan produk pangan di Indonesia. Hal ini tidaklah

mengherankan karena sejak era orde lama komoditi padi (dalam hal ini beras)

telah memiliki peran strategis terutama menyangkut isu ketahanan pangan,

ketahanan ekonomi dan stabilitas politik.


2

Kebijakan perberasan nasional kemudian dimantapkan dalam GBHN 1999

– 2004, yang mengatur landasan utama perumusan kebijakan perberasan nasional

(Puslitbangtan, 2005). Selanjutnya kebijakan perberasan nasional semakin

dipermantap dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden (INPRES) No. 3 Tahun 2007

dan No.1 Tahun 2008 tentang Kebijakan Perberasan Nasional. Dimana pada intinya

mengatur mengenai: (1) harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk gabah (kering

panen dan kering giling), beras dan stabilisasi harga beras, (2) fasilitasi pupuk untuk

usahatani padi, (3) penyaluran beras bersubsidi serta sasarannya, (4) masalah ekspor

dan impor beras, dan (5) menyangkut koordinasi dan instruksi bagi kementrian dan

departemen terkait serta pemerintah daerah.

Selanjutnya jagung lebih banyak digunakan untuk memenuhi kebutuhan

industri baik untuk pakan ternak maupun bio-energi, daripada antisipasi

ketahanan pangan. Sehingga aspek regulasi pun tidak semantap dan sekonsisten

kebijakan perberasan. Alasan yang mendasari perubahan isu dari kepentingan

pangan menjadi kepentingan industri pakan adalah semata-mata sebagai

antisipasi dari perkembangan industri ternak Indonesia yang semakin pesat.

Sebagai gambaran umum bahwa kapasitas produksi Perusahaan Makanan

Ternak (PMT) di Indonesia, sekitar 6 908 000 ton per tahun. Apabila 50 persen

berat bahan bakunya adalah jagung, berarti setiap tahun memerlukan pasokan

hampir 3.5 juta ton. Dengan rata-rata produksi jagung hibrida 5 ton per ha dan 2

kali tanam per tahun, ini berarti untuk memenuhi kebutuhan PMT saja akan

diperlukan lahan sekitar 350 000 ha per tahun (Sistem Informasi Terpadu

Pengembangan Usaha Kecil Bank Indonesia, 2008).


3

Menurut Gabungan Perusahaan Makanan Ternak Indonesia (GPMTI)

proyeksi kebutuhan jagung untuk pakan ternak akan naik dari 3.5 juta ton per

tahun menjadi 7 juta ton per tahun dalam kurun waktu tahun 2004 – 2010

(Departemen Perindustrian, 2004). Data FAO menunjukkan bahwa produksi

jagung nasional pada tahun 2006 sebesar 11 610 646 ton dengan luas areal

panen sebesar 3 346 427 ha (FAO, 2008). Sedangkan Produksi jagung Sulawesi

Utara pada tahun 2006 menurut data BPS, sebesar 406 759 ton dengan luas areal

panen sebesar 115 664 ha (Badan Pusat Statistik, 2008). Hal ini menunjukkan

bahwa sekitar 30 persen dari produksi jagung nasional tersebut tersedot oleh

kebutuhan pabrik pakan ternak, dan ini akan meningkat terus setiap tahunnya

sesuai dengan proyeksi dari GPMTI. Sementara produksi jagung Sulawesi Utara

hanya memberikan kontribusi sekitar 12 persen dari total kebutuhan jagung

untuk pakan ternak.

Seiring kebijakan Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan

(RPPK) yang dicanangkan pada tahun 2005, pemerintah Indonesia kemudian

memandang optimis akan perkembangan jagung ini dengan menargetkan

swasembada jagung pada tahun 2007 (Nuryartono, 2005). Antisipasi ini

dimungkinkan mengacu pada pertumbuhan produksi jagung lima tahun terakhir

(2000-2004) yang besarnya 4.24 persen per tahun dan laju peningkatan

kebutuhan yang besarnya 2.74 persen per tahun (Badan Litbang Pertanian, 2005

dalam Suryana, 2006). Target pemerintah ini tidak lepas dari kebijakan umum

RPPK, dimana strategi kedua adalah peningkatan daya saing, produktivitas, nilai

tambah dan kemandirian produksi dan distribusi PPK melalui praktek usaha

pertanian yang baik (good agriculture practice) (Departemen Pertanian, 2005).


4

Selanjutnya pemerintah daerah Propinsi Sulawesi Utara menyambut

RPPK 2005 tersebut dengan meluncurkan Crash Program Agribisnis, dimana

ditetapkan beberapa komoditas pertanian dan perikanan unggulan yang menjadi

prioritas utama untuk ditumbuhkembangkan yaitu jagung, rumput laut dan

kelapa dalam bentuk Virgin Coconut Oil (VCO). Mengacu dari strategi kedua

kebijakan RPPK tersebut (aspek daya saing komoditas unggulan), maka perlu

dilakukan penelitian dan atau kajian mengenai aspek daya saing (keunggulan

komparatif dan kompetitif) khususnya komoditi jagung di Bolaang Mongondow

yang merupakan salah satu wilayah sentra jagung di Sulawesi Utara selain juga

terkenal sebagai “lumbung berasnya” Sulawesi Utara.

Komoditas jagung di Kabupaten Bolaang Mongondow sejak tahun 2006

mengalami peningkatan produksi yang signifikan. Tahun 2005 tercatat produksi

total jagung Bolmong sebesar 69 000 ton, meningkat menjadi 110 670 ton pada

tahun 2006, selanjutnya naik menjadi 119 282 ton pada tahun 2007 dan tahun 2008

meningkat lagi menjadi 126 857 ton (Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten

Bolaang Mongondow, 2006 dan 2008). Peningkatan produksi tersebut diikuti oleh

peningkatan luas areal tanam, luas areal panen dan produktivitasnya. Pada tahun

2006 luas areal tanam, luas areal panen dan produktivitas jagung berturut-turut

masih sebesar 38 692 ha, 36 835 ha dan 30.15 ton per ha. Kemudian meningkat

pada tahun 2008 sebesar 38 813 ha, 37 839 ha dan 35.50 ton per ha (Dinas Pertanian

dan Peternakan Kabupaten Bolaang Mongondow, 2006 dan 2008). Bahkan pada

tahun 2007 sebanyak 2000 ton jagung Bolmong telah diekspor ke Davao, Phillipina

(Harian Komentar, 2 Juni 2007).


5

Peningkatan luas areal tanam, luas areal panen, produktivitas dan

produksi jagung di Bolaang Mongondow selama kurun waktu tiga tahun terakhir

terjadi karena sejak dicanangkannya Crash Program Agribisnis Sulawesi Utara

jagung dipacu dan diangkat menjadi komoditas unggulan, sehingga bisa lebih

memiliki daya saing serta membuka peluang untuk ekspor (Dinas Pertanian dan

Peternakan Kabupaten Bolaang Mongondow, 2006 dan 2008).

1.2. Perumusan Masalah

Permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan ekspor hasil pertanian

dapat dikelompokkan dalam tiga aspek, yaitu: (1) permasalahan yang timbul

sebagai konsekuensi kebijaksanaan pemerintah yang diambil selama ini, (2)

permasalahan yang berkaitan dengan sifat-sifat yang melekat pada komoditas

pertanian, dan (3) permasalahan yang berkaitan dengan kebijaksanaan

perdagangan yang dilakukan oleh partner dagang. Permasalahan-permasalahan

ini perlu diatasi dalam upaya pengembangan ekspor hasil pertanian guna

meningkatkan penerimaan ekspor dengan melakukan reorientasi kebijaksanaan

ekspor dan kebijaksanaan pembangunan pertanian (Dillon dan Suryana, 1990

dalam Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Utara, 2000).

Di lain pihak, untuk mengembangkan komoditas ekspor pertanian perlu

mempertimbangkan aspek keunggulan komparatif dan kompetitifnya, sehingga

tercipta pewilayahan komoditas yang benar-benar mencerminkan kemampuan

suatu wilayah dalam menghasilkan komoditi pertanian serta mampu menangkap

peluang pasar.
6

Berhubungan dengan hal tersebut, hasil penelitian Balai Pengkajian

Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Utara pada tahun 1999 menunjukkan

komoditas jagung di Bolaang Mongondow memiliki keunggulan komparatif

dengan nilai Domestic Resource Cost Ratio (DRCR) sebesar 0.53, sedangkan

padi memiliki nilai DRCR sebesar 0.61 (BPTP Sulut, 2000). Sementara itu,

selama kurun waktu hampir 10 tahun tidak banyak diperoleh informasi terbaru

mengenai tingkat keunggulan komparatif maupun kompetitif usahatani jagung

serta padi di wilayah tersebut. Apakah telah mengalami peningkatan atau bahkan

penurunan, sebab keunggulan komparatif bersifat dinamis dan sewaktu-waktu

keunggulan yang dimiliki tersebut dapat diambil alih oleh komoditas lain.

Padahal informasi atau data ini sangat penting tersedia sebagai acuan bagi

pemerintah daerah dalam menentukan arah kebijakan atau langkah-langkah

intervensi guna pengembangan komoditas jagung tersebut dalam rangka

mensukseskan Crash Program Agribisnis Propinsi Sulawesi Utara.

Berdasarkan permasalahan tersebut memunculkan beberapa pertanyaan

bahwa apakah usahatani jagung yang dilakukan selama ini masih memiliki

keunggulan komparatif dan bagaimana keunggulan kompetitifnya dengan

komoditas lain yang merupakan kompetitor utama di Bolaang Mongondow,

yaitu padi ? Selanjutnya, bagaimana kontribusinya terhadap tingkat pendapatan

petani di Kabupaten Bolaang Mongondow ?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah dikemukakan

pada bagian 1.1. dan 1.2. maka penelitian ini bertujuan sebagai berikut:
7

1. Menganalisis aspek profitabilitas usahatani jagung dan padi di Kabupaten

Bolaang Mongondow

2. Menganalisis keunggulan komparatif dan kompetitif usahatani jagung dan

padi di Kabupaten Bolaang Mongondow.

3. Menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap daya saing usahatani

jagung dan padi di Bolaang Mongondow.

4. Menganalisis sensitivitas perubahan harga input, output dan upah tenaga kerja

terhadap keunggulan komparatif dan kompetitif usahatani jagung di Bolaang

Mongondow.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam memberikan masukan dan

informasi bagi pihak pengambil kebijakan daerah tentang sejauh mana atau

seberapa besar keunggulan komparatif dan kompetitif usahatani jagung serta

padi di Kabupaten Bolaang Mongondow saat ini. Sehingga dapat dirumuskan

langkah kebijakan selanjutnya mengenai program revitalisasi jagung khususnya

di Kabupaten Bolaang Mongondow, terutama dalam hal penentuan kadar

intervensi pemerintah terhadap usahatani tersebut.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Lingkup pokok bahasan dalam penelitian ini meliputi analisis komparatif

dan kompetitif usahatani jagung dan padi yang meliputi perhitungan/ penentuan

Domestic Resource Cost Ratio (DRCR), Private Cost Ratio (PCR), analisis

keuntungan baik sosial maupun privat serta aspek dampak kebijakan pemerintah
8

yang mempengaruhi daya saing jagung serta padi. Keseluruhan indikator

tersebut akan menunjukkan seberapa besar tingkat daya saing (komparatif dan

kompetitif) dari usahatani jagung serta padi di Kabupaten Bolaang Mongondow.

Disamping itu, pengamatan lebih difokuskan pada tingkat usahatani dan bukan

pada tingkat/skala industri besar seperti industri pakan ternak yang

memanfaatkan jagung sebagai bahan baku utamanya.

1.6. Keterbatasan Penelitian

Adapun keterbatasan dalam penelitian ini adalah :

1. Penelitian ini hanya dibatasi pada analisis komparatif dan kompetitif

termasuk profitabilitas sosial dan privat serta dampak kebijakan sesuai hasil

Policy Analysis Matrix (PAM) untuk perumusan suatu kebijakan.

2. Keterbatasan informasi atau kegagalan informasi dari pedagang pengumpul

mengenai harga beli riil jagung di tingkat petani serta keterbatasan informasi

dari pihak birokrat sebagai alasan untuk pengamanan program daerah.

3. Batas-batas wilayah administratif yang belum jelas sebagai akibat proses

pemekaran wilayah yang belum tuntas menyebabkan kesulitan dalam hal

koordinasi dan validasi data sekunder terutama data potensi serta luas lahan

dan pertanaman jagung secara total di Kabupaten Bolaang Mongondow.

4. Penentuan input-input tradable serta validitas harga yang berlaku di

Kabupaten Bolaang Mongondow khususnya dan Sulawesi Utara pada

umumnya.
9

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Teori Keunggulan Komparatif dan Kompetitif

Teori ini disinggung pertama kali oleh Adam Smith kemudian diperkaya

dan dikembangkan oleh David Ricardo pada awal abad ke 19, sehingga untuk

menggambarkan teori ini secara umum, maka sering digunakan istilah

“Ricardian Model” (Gonzalez, 2004).

Gonzalez (2004) mengemukakan bahwa terdapat kesalahpahaman dalam

mengartikan keunggulan komparatif. Pertama, prinsip dari keunggulan

komparatif adalah sangat kontra-intuitif. Banyak hasil dari model formal

mengandung kontroversi secara logika. Kedua, teori tersebut sangat mudah

untuk membawa kebingungan dengan dugaan lain mengenai keuntungan, yang

dikenal dalam teori perdagangan sebagai teori keunggulan absolut. Dasar

pemikiran dari keunggulan absolut cukup intuitif. Kebingungan antara dua

konsep teori ini membuat banyak orang untuk berpikir bahwa mereka paham

keunggulan komparatif dalam faktanya, padahal yang dipahami adalah

keunggulan absolut. Dalam penjelasan mengenai teori keunggulan komparatif

sering disajikan dalam bentuk matematis, menggunakan contoh-contoh numerik

atau representasi diagrammatic untuk menggambarkan hasil dasar dan implikasi

terdalam dari teori tersebut. Bagaimanapun, teori tersebut mudah untuk dilihat

secara matematik, tanpa perlu memahami intuisi dasar dari teori tersebut.

Selanjutnya dikemukakan bahwa disebabkan ide dasar dari keunggulan

komparatif yang tidak intuitif, maka cara terbaik untuk memahami teori ini adalah

dengan mempelajari temuan dari David Ricardo. Dalam contohnya, Ricardo


10

menyajikan dua negara, Inggris dan Portugal yang memproduksi dua barang, yaitu

pakaian dan anggur dengan menggunakan tenaga kerja sebagai input penjualan

dalam produksi. Ricardo berasumsi bahwa produktivitas tenaga kerja (seperti

kuantitas produksi per pekerja) bervariasi antara industri dan antar negara. Inggris

lebih produktif dalam produksi salah satu barang dan Portugal lebih produktif pada

hal yang lain, Ricardo berasumsi bahwa Portugal lebih produktif pada kedua barang

tersebut. Jika Portugal dua kali relatif lebih produktif dalam produksi kain dan tiga

kali dalam produksi anggur, maka kemudian dikatakan bahwa Portugal memiliki

keunggulan komparatif untuk produk anggur. Sebaliknya Inggris dikatakan lebih

memiliki keunggulan komparatif untuk produk kain. Hal ini menyiratkan bahwa

untuk mendatangkan keuntungan dari spesialisasi produk dan perdagangan bebas,

maka Portugal harus mengkhususkan diri memproduksi dan memperdagangkan

barang-barang yang paling baik dalam produksi, sedangkan Inggris mengkhususkan

diri memproduksi dan memperdagangkan barang-barang yang sedikit buruknya

dalam produksi (Gonzalez, 2004).

Namun dewasa ini teori keunggulan komparatif (comparative advantage)

telah mengalami pergeseran, seiring dikonsepkannya kembali comparative

advantage oleh Paul Krugman, seorang ekonom penerima hadiah Nobel tahun

2008. Menurut Handerson (2008) teori Krugman menjelaskan bahwa banyak

perdagangan inernasional mengambil lokasi antar negara dengan ratio capital

yang sama untuk tenaga kerja. Teori Krugman mencontohkan industri mobil di

Swedia yang menggunakan intensive capital dimana Swedia mengeskpor mobil

ke Amerika, sementara konsumen Swedia juga mengimport mobil dari Amerika.


11

Penjelasan Krugman mengenai comparative advantage didasari pada economies

of scale. Teori Krugman mengatakan bahwa:

“sebab dari economies of scale, produsen mempunyai insentif untuk


berkonsentrasi memproduksi setiap barang atau jasa pada jumlah terbatas
dari lokasi tertentu. Disebabkan karena biaya transaksi melewati jarak
(secara geografis), maka lokasi yang diinginkan dari tiap produsen adalah
tempat dimana permintaan besar atau jumlah input yang sesuai – yang
secara umum adalah suatu lokasi yang dipilih oleh produsen yang lain.
Sehingga (secara geografis) konsentrasi dari industri, sekali dimapankan/
dimantapkan, sehingga cenderung untuk berkelanjutan dengan sendirinya”
(Handerson, 2008).

Intinya, tidak seperti Ricardo yang menyarankan bahwa setiap negara atau daerah

harus memiliki spesialisasi dalam memproduksi suatu barang agar dapat memiliki

comparative advantage terhadap negara/daerah lain dengan memproduksi barang

yang berbeda, namun Krugman mengemukakan bahwa setiap negara dapat

memiliki comparative advantage terhadap negara lainnya dengan memproduksi

barang yang sama atau tidak perlu spesialisasi produksi karena adanya kemajuan

teknologi (Krugman and Venables, 1996; Handerson, 2008).

Berhubungan dengan hal spesialisasi produk, Ricci (1999) dalam

penelitiannya mengenai aglomerasi versus spesialisasi menemukan bahwa

aglomerasi dalam suatu negara akan mengurangi spesialisasi dalam industri yang

Increasing Return to Scale (IRS). Selanjutnya dikemukakan bahwa keunggulan

komparatif menentukan model atau pola spesialisasi. Dimana dalam aktivitas IRS,

masing-masing negara akan lebih mengkhususkan pada produksi barang yang

memiliki keunggulan komparatif.

Tsakok (1990) mengemukakan bahwa konsep dari keunggulan komparatif

dan absolut memang sering membingungkan, namun pada prinsipnya mereka

sangat berbeda. Keungguan absolut merujuk pada perbedaan dalam tingkat biaya
12

absolut pada produksi suatu negara. Sedangkan keunggulan komparatif merujuk

pada perbedaan dalam opportunity cost diantara negara yang melakukan

perdagangan. Keunggulan komparatif memiliki dua pengertian. Pertama,

pengertian mengenai efisiensi produksi yang membandingkan antara dua atau

lebih negara-negara yang melakukan perdagangan. Negara-negara dengan

opportunity cost yang paling rendah adalah relatif lebih efisien dan memiliki

keunggulan komparatif. Mereka memiliki biaya keunggulan dibanding dengan

produsen lainnya dan memiliki daya saing internasional (internationally

competitive). Kedua, pengertian keunggulan komparatif merujuk pada efisiensi

dari berbagai jenis produksi di dalam ekonomi domestik, yang dibandingkan

pada pendapatan atau simpanan dari setiap unit devisa.

Adapun konsep atau teori keunggulan kompetitif (competitiveness)

digunakan untuk mengukur kelayakan suatu aktivitas atau keuntungan privat

yang dihitung berdasarkan harga pasar yang berlaku (analisis finansial).

Porter (2008) mengemukakan bahwa competitiveness merupakan suatu

konsep yang tidak mudah dipahami, namun dilain pihak arti pentingnya diterima

secara luas. Definisi yang paling intuitif mengenai competitiveness adalah share

suatu negara dari pasar dunia untuk produk tertentu. Hal ini membuat

competitiveness sebagai suatu “zero-sum game”, sebab salah satu keuntungan suatu

negara datang dari biaya negara lainnya. Gambaran mengenai competitiveness ini

adalah legalisasi tindakan suatu negara untuk intervensi pasar atau disebut juga

kebijakan industrial, termasuk kebijakan untuk menyediakan subsidi, menahan upah

lokal dan mendevaluasi mata uang suatu negara. Faktanya,


13

hal ini masih sering dikatakan bahwa upah yang lebih rendah atau devaluasi

akan membuat suatu negara lebih kompetitif.

Untuk dapat mengerti competitiveness, maka harus diawali atau didasari

pada sumber-sumber kemakmuran. Standar hidup suatu negara ditentukan oleh

produktivitas ekonominya yang diukur dengan nilai barang dan jasa per unit

yang diproduksi dari sumberdaya manusia, kapital dan sumberdaya alam suatu

negara. Produktivitas tergantung pada nilai produk dan jasa suatu negara yang

diukur dengan harga di pasar bebas serta efisiensi. Selain itu competitiveness

suatu negara atau wilayah membaik jika negara atau wilayah tersebut mampu

meningkatkan kapabilitas produksi mereka yang didorong oleh faktor-faktor :

level negara, industri, perusahaan dan individu (Porter, 2008).

Martin et al. (2008) mengemukakan bahwa terdapat dua belas pilar dari

competitiveness. Pernyataan tersebut dijelaskan pada Gambar 1, dimana walaupun

keduabelas pilar competitiveness tersebut digambarkan secara terpisah, namun hal

ini tidak mengaburkan fakta bahwa bukan hanya terkait satu dengan lainnya namun

keduabelas pilar tersebut cenderung saling menguatkan satu sama lain. Contohnya,

inovasi (pilar keduabelas) tidak mungkin ada didunia ini tanpa suatu institusi (pilar

pertama) yang menjamin kebebasan intelektual. Dimana hal ini tidak dapat dibentuk

pada negara-negara dengan tingkat pendidikan dan kualitas angkatan kerja yang

rendah (pilar kelima). Selain itu, tidak akan mendapat tempat dalam ekonomi

dengan pasar yang inefisien (pilar keenam, tujuh dan delapan) atau tanpa

infrastruktur yang ekstensif dan efisien (pilar kedua). Namun pengaruh pilar-pilar

tersebut akan berbeda antara satu negara dengan negara lainnya, terutama antara

negara-negara berkembang dan negara-negara maju.


14

Basic requirements
• Institutions Key for
• Infrastructure Factor-driven
• Macroeconomic stability economies
• Health and primary education

Efficiency enhancers
• Higher education and training Key for
• Goods market efficiency Efficiency-driven
• Labor market efficiency economies
• Financial market sophistication
• Technological readiness
• Market size

Innovation and sophistication factors Key for


• Business sophistication Innovation-driven
• Innovation economies

Sumber : Martin et al. (2008)


Gambar 1. Dua Belas Pilar Competitiveness

Selanjutnya berdasarkan kluster yang terbentuk dari keduabelas pilar tersebut,

Porter (2008) menggambarkan tahapan dalam membangun competitiveness

seperti terlihat pada Gambar 2.

Factor-driven Investment-driven Innovation-driven


economy economy economy

Input Cost Efficiency Unique value


Sumber: Porter (2008)
Gambar 2. Tahapan-Tahapan dalam Membangun Competitiveness

Tahap factor-driven merupakan faktor kondisi awal seperti biaya tenaga

kerja rendah dan sumberdaya alam yang tidak terproses (terolah). Dimana hal

tersebut merupakan sumber yang dominan dari keunggulan kompetitif dan

eksport. Perusahaan memproduksi komoditi atau produk yang relatif sederhana.

Pada tahap investment-driven, efisiensi dalam memproduksi produk standar dan


15

jasa menjadi sumber dominan dari keunggulan kompetitif. Sedangkan faktor

investasi besar dalam infrastruktur, administrasi negara yang baik, insentif

terhadap investasi dan akses yang baik pada kapital menciptakan produktivitas

yang baik. Investment-driven economy dikonsentrasikan pada manufaktur dan

jasa-jasa eksport. Pada tahap innovation-driven, kemampuan inovasi produk dan

jasa menjadi terdepan. Dengan menggunakan beberapa metode lanjutan, maka

hal ini menjadi sumber yang dominan dari keunggulan kompetitif. Institusi dan

insentif mendukung inovasi dengan baik. Perusahaan-perusahaan bersaing

dengan produk-produk strategis secara global. Pada tahap ini ekonomi memiliki

high share dari jasa-jasa dalam ekonomi dan tahan terhadap external shock.

2.2. Kebijakan Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan

RPPK merupakan salah satu dari Triple Track Strategy Kabinet Indonesia

Bersatu dalam rangka pengurangan kemiskinan dan pengangguran, serta

peningkatan daya saing ekonomi nasional. Target penurunan kemiskinan dari 16.6

persen tahun 2004 menjadi 8.2 persen tahun 2009 dan penurunan pengangguran

terbuka dari 9.7 persen tahun 2004 menjadi 5.1 persen tahun 2009, mengharuskan

dilakukannya berbagai usaha pembangunan ekonomi untuk mencapai pertumbuhan

ekonomi rata-rata hingga 6.6 persen per tahun, rasio investasi terhadap PDP harus

naik dari 16 persen pada tahun 2004 menjadi 24.4 persen pada tahun 2009

(www.aphi-net.com, diakses pada 26 Agustus 2008 jam 14:00).

Triple Track Strategy tersebut yaitu: (1) stabilisasi ekonomi makro

mendukung pertumbuhan 6.6 persen per tahun, (2) menggerakkan kembali sektor

riil, khususnya Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), dan (3) revitalisasi
16

pertanian dan perekonomian pedesaan. Sebagai konsekuensi maka diperlukan

kebijakan yang mensinergikan sektor pertanian, industri dan jasa. Berkaitan

dengan hal tersebut, Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK)

ditetapkan sebagai salah satu program pembangunan, dengan maksud:

1. Menegaskan komitmen pemerintah terhadap revitalisasi pertanian, perikanan,

dan kehutanan Indonesia.

2. Mensosialisasikan arah dan strategi revitalisasi pertanian, perikanan, dan

kehutanan Indonesia.

3. Memberi arah dan mendorong investasi di bidang pertanian, perikanan, dan

kehutanan, baik investasi publik, investasi swasta, maupun investasi

masayarakat.

4. Menjadi awal bagi perumusan dan implementasi rangkaian kebijakan di

bidang pertanian, perikanan, dan kehutanan.

5. Menfasilitasi komunikasi antar petani, nelayan, pengusaha pertanian,

investor, pemerintah, akademisi dan stakeholder lainnya (Badan Penelitian

dan Pengembangan Pertanian, 2008).

Sejalan dengan kebijakan pemerintah pusat tersebut, maka Pemerintah

Propinsi Sulawesi Utara meluncurkan Crash Program Agribisnis pada tahun

2005, dimana salah satunya adalah program revitalisasi komoditas jagung.

Pemilihan jagung dengan alasan bahwa kebutuhan Indonesia terhadap jagung

mencapai 11 juta ton per tahun, sementara produksi dalam negeri baru mencapai

9 juta ton, sedangkan impor jagung setiap tahun mencapai 2 juta ton. Produksi

jagung Sulawesi Utara sekitar 140 ribu ton pada tahun 2004, sementara lahan

yang potensial untuk pertanaman jagung sebesar 200 ribu hektar. Sehingga
17

pemerintah menargetkan 50 ribu hektar diantaranya dapat dikelola secara

intensif dengan target produksi 400 ribu ton per tahun. Hal ini diharapkan selain

dapat memenuhi permintaan nasional, juga diorientasikan untuk penyediaan

bahan baku bagi pabrik pakan ternak yang akan dibangun di Sulawesi Utara

dengan kebutuhan sekitar 150 ribu ton per tahun. Disamping itu masyarakat

Sulawesi Utara sangat familiar dengan tanaman jagung, hal ini ditunjukkan

dengan adanya varietas unggul lokal yang bernama “Manado Kuning” (Manado

Post, 10 November 2005).

Secara umum kebijakan dan strategi Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan

Kehutanan adalah sebagai berikut:

1. Pengurangan kemiskinan dan kegureman, pengurangan pengangguran, serta

pencapaian skala keekonomian usaha Pertanian, Perikanan dan Kehutanan

(PPK) terutama melalui pengelolaan pertanahan, tataruang dan keagrariaan;

fasilitasi pengembangan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha diluar

usahatani diwilayah pedesaan, pengembangan agroindustri pedesaan,

diversifikasi kegiatan produksi PPK, pengembangan infrastruktur, dan

pengembangan kelembagaan usaha petani, nelayan dan petani-hutan serta

pemenuhan hak-hak dasar petani, nelayan dan petani-hutan.

2. Peningkatan daya saing, produktivitas, nilai tambah dan kemandirian produksi

dan distribusi PPK terutama melalui praktek usaha pertanian yang baik (good

agriculture practices), pengembangan usaha baru dan multiproduk,

pengembangan agroindustri pedesaan, pengembangan infrastruktur,

pengembangan kelembagaan usaha petani, nelayan dan petani hutan,

pengembangan dan peningkatan akses terhadap berbagai layanan usaha,


18

pengurangan hingga penghilangan berbagai hambatan usaha dan sumber

ekonomi biaya tinggi, serta perlindungan usaha atas persaingan tidak adil.

3. Pelestarian dan pemanfaatan lingkungan hidup dan sumberdaya alam secara

berkelanjutan, terutama melalui pengelolaan konservasi, pengelolaan

pertanahan, tata-ruang dan keagrariaan serta mendorong pengembangan

usaha, penerapan teknologi dan kelembagaan yang ramah lingkungan serta

penegakkan hukum (www.aphi-net.com, diakses pada 26 Agustus 2008 jam

14:00).

2.3. Penelitian Terdahulu

Penelitian mengenai keunggulan komparatif dan kompetitif terutama

untuk komoditas jagung dan padi telah banyak dilakukan di berbagai daerah. Di

Sulawesi Utara sendiri pada tahun 1999 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

(BPTP) Sulawesi Utara telah melakukan penelitian mengenai keunggulan

komparatif dan kompetitif tanaman pangan di Kabupaten Bolaang Mongondow.

Selain itu terdapat pula penelitian-penelitian di daerah lain yang relevan dengan

penelitian penulis, seperti hasil penelitian Suryana (1980), Oktaviani (1991),

Haryono (1991), Emilya (2001), Anapu et al. (2005) dan Suprapto (2006).

Hasil penelitian BPTP Sulawesi Utara pada tahun 1999 menemukan

bahwa tingkat produktifitas minimal masing-masing komoditas tanaman pangan

dan holtikultura yang harus dihasilkan untuk berkompetisi dengan jagung adalah

berturut-turut kedelai 4 566.04 kg per ha, padi sawah 3 826.6 kg per ha, nenas 2

410.15 kg per ha serta kentang 4 566.04 kg per ha. Rincian nilai tersebut relatif

berbeda jauh jumlahnya dikaitkan angka produktifitas riil di lapangan. Demikian


19

pula dengan tingkat harga yang ditunjukkan bahwa untuk mampu bersaing

dengan harga jagung yang sebesar Rp. 850 per kg pada tahun 1999, maka harga

minimal masing-masing komoditas yang harus dihasilkan adalah Rp. 1 761

(padi/ beras), Rp. 2 660 (kentang), Rp. 2 100 (kedelai) serta Rp. 1 109 (nenas)

(BPTP Sulawesi Utara, 2000). Realitas dari hasil yang diperoleh menunjukkan

bahwa komoditas-komoditas padi, kedelai dan nenas memiliki tingkat

produktifitas serta harga yang mampu bersaing dengan jagung karena tingkat

produktifitas dan harga yang cukup kompetitif karena berada di bawah nilai

ambang dan tingkat harga riil di lapangan.

Hasil analisis keunggulan komparatif komoditas tanaman pangan dan

hortikultura berdasarkan penelitian tersebut menunjukkan bahwa komoditas padi

memiliki nilai DRCR sebesar 0.61, jagung (DRCR = 0.53), nenas (DRCR = 0.36),

kemudian rasio DRC kentang dan kedelai masing-masing sebesar 0.33 dan

0.19. Sehingga hal ini menunjukkan bahwa komoditas padi sawah merupakan

komoditas tanaman pangan yang memiliki peluang terkecil untuk

dimaksimalkan, dilain pihak kedelai memiliki peluang terbesar dari aspek

komparatif (BPTP Sulawesi Utara, 2000).

Suryana (1980) dalam tesisnya menyimpulkan bahwa secara ekonomi

berdasarkan hasil analisis DRCR menunjukkan usahatani ubi kayu lebih

menguntungkan dibanding usahatani jagung baik di Lampung maupun di Jawa

Timur, namun untuk pengembangannya Lampung lebih menguntungkan.

Sebaliknya secara finansial usahatani ubi kayu dan jagung lebih menguntungkan

jika dilaksanakan di Jawa Timur daripada Lampung.


20

Oktaviani (1991) dalam tesisnya menyimpulkan bahwa kebijakan insentif

(kebijakan harga) pada komoditas padi, jagung, kedele dan ubi kayu

menyebabkan surplus produsen berkurang. Kebijakan pemerintah berupa subsidi

input sebaiknya ditetapkan per wilayah. Pada daerah di luar Jawa, besaran

subsidi disesuaikan dengan biaya distribusi agar Harga Eceran Tertinggi (HET)

yang diterima petani produsen sama di tiap wilayah.

Haryono (1991) dalam tesisnya menyimpulkan bahwa hasil analisis DRCR

menunjukkan komoditas kedelai, jagung dan ubi kayu di Propinsi Lampung

memiliki keunggulan komparatif, dengan tingkat proteksi efektif (Effective

Protection Coefficient) menunjukkan adanya proteksi pemerintah terhadap petani

produsen kedelai dan jagung sementara petani produsen ubi kayu dirugikan.

Emilya (2001) dalam tesisnya mengemukakan bahwa usahatani padi,

kedelai dan jagung di Propinsi Riau memiliki keunggulan komparatif dan

kompetitif, dimana yang tertinggi komoditas padi, diikuti kedelai dan jagung.

Suprapto (2006) dalam hasil penelitiannya mengemukakan bahwa

komoditas jagung di Jawa Timur untuk orientasi ekspor memperoleh proteksi

dari pemerintah sedangkan komoditas jagung untuk orientasi subtitusi impor dan

perdagangan antar daerah tidak mendapatkan proteksi dari pemerintah.

Hasil penelitian Anapu et al. (2005) mengenai dampak kebijakan tarif impor

beras di Kabupaten Minahasa Propinsi Sulawesi Utara menunjukkan bahwa

kebijakan tarif impor menciptakan pemborosan sumberdaya. Usahatani padi tidak

efisien ditunjukkan dengan tingkat keuntungan sosial yang negatif. Sebaliknya

usahatani kacang tanah memberikan keuntungan sosial yang jauh lebih tinggi dari
21

padi. Namun, petani lebih suka menanam padi dengan pertimbangan keamanan

pangan keluarga, mengurangi resiko dan mudah memasarkan hasil.

Hasil kajian yang dilakukan Departemen Pertanian (2009) mengenai

Peluang Perencanaan Investasi Pertanian Indonesia menunjukkan jenis tanaman

pangan jagung dan padi merupakan komoditas unggulan untuk sub sektor

tanaman pangan. Pada Tabel 1 menunjukkan bahwa laju pertumbuhan produksi

jagung lebih cepat daripada padi, namun laju pertumbuhan areal padi lebih

tinggi daripada jagung. Sedangkan laju peningkatan produksi kedua komoditas

ini jauh lebih tinggi daripada peningkatan areal tanamnya.

Tabel 1. Perkembangan Produksi dan Luas Tanaman Padi dan Jagung di


Sulawesi Utara Tahun 2003 – 2005

Tahun Laju
pertumbuhan
Komoditas
2003 2004 2005 (%)
per tahun
Produksi (ton) 369 930 407 358 432 625 8.2
Padi
Luas (ha) 84 385 92 439 94 946 6.1
Produksi (ton) 144 671 150 128 195 305 16.9
Jagung Luas (ha) 65 656 66 196 71 644 4.5
Sumber: Departemen Pertanian (2009), www.deptan.go.id/ppi/investasi/Lapora-Final.pdf.
22

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Pemikiran Analisis

Dewasa ini pengembangan sektor pertanian menghadapi tantangan dan

tekanan yang semakin berat disebabkan adanya perubahan lingkungan strategis

berupa derasnya arus liberalisasi perdagangan, otonomi daerah serta makin

pesatnya kemajuan teknologi. Berkaitan dengan itu maka strategi pengembangan

pertanian kedepan senantiasa berorientasi kompetisi atas dasar keunggulan

komparatif dan kompetitif. Hal ini berkaitan erat pula dengan pelaksanaan

revitalisasi pertanian di Propinsi Sulawesi Utara yang secara umum diharapkan

mencapai tujuan seperti yang diamanatkan oleh Rencana Pembangunan Jangka

Menengah Daerah (RPJM-D) Sulawesi Utara tahun 2005-2010, yakni

peningkatan produktifitas dan produksi pertanian, peningkatan pendapatan dan

kesejahteraan petani, mengurangi kemiskinan, membuka lapangan kerja baru,

meningkatkan ketahanan pangan, meningkatkan daya saing ekonomi serta

melestarikan lingkungan hidup.

Menurut Tsakok (1990) terdapat dua cara untuk mengukur keunggulan

komparatif, yaitu : Domestic Resource Cost Ratio (DRCR) atau Rasio Biaya

Sumberdaya Domestik (RBSD) dan Net Economic Benefit Ratio (NEBR). Kedua

koefisien menggunakan informasi yang sama dalam penggunaan harga dan input,

namun DRCR penggunaanya lebih luas dibanding NEBR. Kedua teknik tersebut

mensyaratkan bahwa input primer dan antara dalam proses produksi dinilai atau

dihitung dalam harga bayangan (shadow prices). Keunggulan komparatif suatu


23

komoditi yang diukur dengan Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (RBSD) yaitu

rasio antara BSD dan harga bayangan nilai tukar uang (V1) sebagai berikut :

dengan catatan jika nilai RBSD suatu komoditi kurang dari satu (RBSD < 1)

menunjukkan komoditi tersebut di dalam negeri relatif lebih menguntungkan

secara ekonomis dibanding dengan mengimpornya. Dalam penerapan model ini,

dipertimbangkan dua jenis harga (riil dan harga bayangan) untuk setiap

komponen input dan output. Harga riil merupakan harga ditingkat petani,

sementara harga bayangan mengacu pada harga Cost Insurance Freight (CIF)

untuk komoditi impor dan harga Free on Board (FOB) untuk komoditi ekspor.

Sedangkan Analisis Keunggulan Kompetitif dapat menentukan sampai

seberapa jauh komoditas unggulan mampu bersaing dengan komoditas

pembandingnya (pesaing) dimana perlu memperhatikan beberapa kondisi yakni :

(1) komoditas pembandingnya adalah komoditas yang umumnya ditanam pada

hamparan dan musim yang sama, (2) umur komoditas pembandingnya relatif

hampir sama, (3) produksi dan harga komoditas pembandingnya diasumsikan

tidak mengalami perubahan (konstan), dan (4) biaya produksi baik komoditas

yang dibandingkan maupun komoditas pembandingnya diasumsikan tetap.

Analisis keuntungan kompetitif produksi akan memberi gambaran pada

tingkat produksi minimal berapa komoditas yang ditanam petani baru bisa

memberikan tingkat keuntungan yang bersaing dengan komoditas pesaingnya.

Sedangkan analisis keuntungan kompetitif harga akan memberikan gambaran

mengenai tingkat harga minimal yang harus diterima petani, agar komoditas yang
24

ditanamnya mampu memberikan keuntungan yang bersaing dengan tanaman

pesaingnya (BPTP Sulawesi Utara, 2000).

Pada garis besarnya, tujuan petani berproduksi adalah untuk meningkatkan

taraf hidup melalui usaha produksi dari pengelolaaan sumberdaya tanah, tenaga

kerja dan modal. Pada kenyataannya, alokasi sumberdaya sektor pertanian yang

dilakukan petani untuk kegiatan usahatani belum dilakukan secara optimal.

Dalam usahatani prinsip keunggulan komparatif menjelaskan lokasi

produksi pertanian, berbagai jenis tanaman dan ternak dengan syarat-syaratnya

yang berbeda, harus diusahakan di daerah-daerah atau pada usahatani yang

keadaan fisik serta sumberdaya lainnya secara ekonomi sangat sesuai. Karena itu

usahatani dengan sumberdaya yang sangat miskinpun dapat mempunyai

keunggulan komparatif untuk beberapa komoditi. Prinsip keunggulan

komparatif berlaku untuk wilayah yang luas (dunia, negara) ataupun untuk

perbandingan antar usahatani. Prinsip ini sangat mudah diterima oleh setiap

orang sehingga sering dilupakan penggunaannya, terutama dalam memilih

tanaman untuk daerah-daerah pemekaran (daerah baru). Terdapat beberapa

faktor yang dapat mengubah keunggulan komparatif, diantaranya:

1. Pengembangan pola usahatani baru atau perbaikan teknologi

2. Perubahan biaya produksi dan harga relatif dari berbagai komoditas usahatani

3. Perubahan biaya angkutan seperti yang terjadi bila jalan diperbaiki atau rusak

4. Perbaikan kualitas lahan karena drainase, irigasi dan sebagainya

5. Pengembangan produk substitusi yang lebih murah.

Sehingga setiap daerah dapat memperbaiki posisi ekonominya dengan komoditas

tanaman tertentu, ataupun kehilangan posisi ekonominya (Soekartawi et al. 1986).


25

Dari kerangka di atas diharapkan akan dihasilkan suatu acuan

pengembangan pertanian daerah berdasarkan skala prioritas, selain dapat

menjadi andalan pertumbuhan perekonomian daerah, juga akan dapat ditetapkan

beberapa komoditas yang dapat memberi kepastian usaha bagi para petani

berdasarkan spesifikasi wilayah.

3.2. Policy Analysis Matrix

Policy Analysis Matrix (PAM) menyediakan informasi untuk membantu

pengambil kebijakan di pusat dan daerah terhadap tiga isu sentral dari analisis

kebijakan pertanian. Isu pertama adalah apakah sistem pertanian kompetitif di

bawah teknologi dan harga-harga yang ada saat ini. Apakah para petani, pedagang

dan pengolah memperoleh keuntungan ketika menghadapi harga aktual pasar.

Kebijakan harga akan mengubah nilai dari output atau biaya input serta pula

profitabilitas privat dalam sistem. PAM dapat menunjukkan efek secara individual

maupun kolektif dari harga dan kebijakan faktor. Selain itu PAM juga menyediakan

informasi baseline yang penting dan esensial untuk analisis benefit-cost (analisis

keuntungan biaya) dari suatu investasi pertanian (Pearson et al. 2005). Selanjutnya

model PAM dapat pula digunakan untuk menganalisis efisiensi ekonomi dan

besarnya insentif atau intervensi pemerintah serta dampaknya pada sistem

komoditas secara bersamaan (Yao, 1997; Emilya, 2001).

Isu yang kedua adalah dampak dari investasi publik pada infrastruktur

dalam efisiensi sistem pertanian. Efisiensi diukur dengan profitabilitas sosial,

penilaian dari keuntungan dalam efisiensi harga. Kesuksesan investasi publik

(pada irigasi atau transportasi) akan meningkatkan nilai output atau menurunkan
26

biaya input. Perbandingan keuntungan sosial sebelum dan sesudah adanya

investasi publik dapat menjadi tolok ukur peningkatan dalam social profit. Isu

yang ketiga (hampir sama dengan komponen isu kedua) adalah dampak dari

investasi publik yang baru dalam penelitian pertanian atau teknologi pada

efisiensi sistem pertanian. Kesuksesan investasi publik dalam penyediaan benih

unggul baru, teknik pertanian, atau teknologi pengolahan akan meningkatkan

hasil pertanian atau hasil olahan dan sekaligus meningkatkan penerimaan atau

menurunkan biaya-biaya. Perbandingan keuntungan sosial sebelum dan sesudah

adanya investasi publik dalam penelitian dapat merupakan tolok ukur perolehan/

keberhasilan dalam social profitability.

Analisis PAM dapat digunakan pada sistem komoditas dengan berbagai

wilayah, tipe usahatani dan teknologi. Tabel 2 memberi gambaran bahwa PAM

terdiri dari tiga baris, dimana baris pertama adalah perhitungan dengan private

price (harga pasar/ aktual) yaitu harga yang diterima petani, baris kedua

merupakan perhitungan social price (harga bayangan) yaitu harga yang

menggambarkan nilai sosial atau nilai ekonomi yang sesungguhnya bagi unsur

biaya maupun hasil, dari dua perhitungan tersebut masing-masing dihitung

keuntungan. Keuntungan merupakan perbedaan antara penerimaan dan biaya.

Perbedaan perhitungan antara private price dengan social price disebabkan

terjadinya kegagalan pasar atau masuknya kebijakan pemerintah yang terletak

pada baris ketiga. Jika kegagalan pasar dianggap faktor yang tidak begitu

berpengaruh, maka perbedaan tersebut lebih banyak disebabkan adanya insentif

kebijakan yang dapat dianalisis (Monke and Pearson, 1989; Emilya, 2001).
27

Setiap matriks memiliki empat kolom yaitu kolom pertama adalah

penerimaan, kolom kedua adalah kolom biaya yang terdiri dari biaya input yang

dapat diperdagangkan (tradable input) dan biaya faktor domestik (domestic

factors). Input yang digunakan seperti pupuk, pestisida, benih/ bibit, peralatan

dan lain-lain dipisahkan menjadi input yang dapat diperdagangkan dan faktor

domestik (Monke and Pearson, 1989; Pearson et al. 2005). Tabel 2. Policy

Analysis Matrix

Biaya
Penerimaan
Uraian Faktor Profit
(revenue) Input tradable
domestik
Nilai finansial D=A–B–
A B C
(private price) C
Nilai ekonomi H=E–F–
E F G
(social price) G
Divergensi/
dampak L=D–H=
I=A–E J=B-F K=C-G
kebijakan dan I–J–K
distorsi pasar
Sumber : Monke and Pearson (1989)
Keterangan : D = private profitability; H = social profitability; I = output transfer; J = input
transfer; K = factor transfer; L = net transfer

Penggunaan private dan social price dalam matriks PAM

menggambarkan bahwa matriks ini mengandung analisis privat dan sosial.

Dalam analisis sosial, tinjauan aktivitas dilihat dari sudut masyarakat secara

keseluruhan sedangkan pada analisis privat tinjauan aktivitas pelaku ekonomi

(individu atau perusahaan) yang berkepentingan langsung dalam kegiatan

ekonomi. Matriks PAM menunjukkan tingkat efisiensi penggunaan sumberdaya.


28

IV. METODOLOGI PENELITIAN

4.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan dari Bulan Pebruari sampai April 2009,

mengambil lokasi di 5 Kecamatan pada wilayah zona lahan kering dataran

rendah Kabupaten Bolaang Mongondow, yaitu: Poigar, Bolaang, Bolaang

Timur, Lolayan dan Lolak. Selanjutnya dari lima kecamatan tersebut diambil

masing-masing satu desa, yaitu Desa Nonapan I Kecamatan Poigar, Desa

Bolaang Kecamatan Bolaang Timur, Desa Langagon Kecamatan Bolaang, Desa

Lolayan Kecamatan Lolayan dan Desa Lolak II Kecamatan Lolak.

4.2. Data dan Sumber Data

Kegiatan penelitian ini lebih terfokus pada kegiatan survei. Dalam survei,

data dan informasi dikumpulkan dengan menggunakan daftar kuesioner secara

terstruktur dan interview langsung. Jenis data yang dikumpulkan dalam

penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh

dari hasil wawancara dengan para petani, pedagang pengumpul (desa dan

kecamatan), Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL), sedangkan data sekunder

diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Sulawesi Utara dan Bolaang

Mongondow, Dinas Pertanian dan Peternakan Propinsi dan Kab. Bolaang

Mongondow, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Bolaang

Mongondow, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Propinsi Sulawesi Utara dan

Kabupaten Bolaang Mongondow, Bea Cukai, dan Pelindo.

Adapun data-data yang dikumpulkan adalah sebagai berikut:


29

Data Primer:

1. Input-input tradable dan faktor domestik (non tradable) yang berlaku di

Sulawesi Utara.

2. Karakteristik rumahtangga tani

3. Penguasaan aset lahan

4. Kegiatan usahatani : pendapatan, penggunaan faktor-faktor produksi, hasil-

hasil yang diperoleh (berhubungan dengan nomor 1)

5. Kegiatan dan karakteristik on farm, off farm dan non farm (berhubungan

dengan nomor 1 dan 4).

6. Pemasaran hasil produksi dan pengadaan sarana produksi (berhubungan

dengan nomor 1, 4 dan 5).

7. Penentuan harga ditingkat petani

Data Sekunder:

1. Aturan pemerintah mengenai pengusahaan komoditas jagung serta sarana dan

prasarana pendukungnya, termasuk ketentuan tentang pajak ekspor – impor,

perizinan dan sebagainya.

2. Perkembangan produksi usahatani, volume dan nilai ekspor serta impor selama

kurang lebih 5 tahun terakhir (lebih dikhususkan di Propinsi Sulawesi Utara).

3. Perkembangan harga-harga ekspor, harga domesik, pendapatan dan nilai

tukar mata uang negara pengimpor.

4. Pola usahatani jagung di Kabupaten Bolaang Mongondow (masing-masing

kecamatan).
30

4.3. Prosedur Penelitian dan Metode Pengambilan Contoh

Secara garis besar prosedur yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu:

1. Studi pustaka berupa pengumpulan berbagai bahan bacaan baik dari berbagai

buku, makalah, laporan, jurnal, web site serta bahan lain yang berkaitan

dengan obyek yang diteliti. Data dan informasi yang diperoleh dalam tahap

ini merupakan himpunan data sekunder.

2. Menyangkut kegiatan persiapan pelaksanaan penelitian lapangan. Kegiatan

ini mencakup pembuatan daftar kuisioner, diskusi dengan pihak-pihak terkait

dan para pakar yang berkaitan dengan kegiatan ini, pengurusan perijinan,

pemantapan tim kerja peneliti, serta negosiasi dengan calon responden

tentang penetapan waktu penelitian dan wawancara.

3. Pelaksanaan dilapangan, yaitu kegiatan wawancara dengan responden dan

observasi lapangan serta pengumpulan data sekunder pendukung. Dalam

wawancara, kepada responden diajukan sejumlah pertanyaan sesuai dengan

daftar kuesioner yang telah dipersiapkan. Sedangkan observasi lapangan

digunakan untuk menggali data fisik yang diperlukan untuk melengkapi data

yang tidak terhimpun dalam kuesioner (berupa wawancara terbuka tanpa

kuisioner).

Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara purposive berdasarkan

pertimbangan potensi pengembangan usahatani jagung berupa tingkat

produktivitas serta jarak ke Ibukota Propinsi (Manado) dan kota kabupaten

(Kotamobagu). Hal ini penting karena pertimbangan walaupun suatu kecamatan

memiliki luas areal tanam maupun panen yang cukup besar namun jika jauh dari

pusat-pusat ekonomi daerah, maka akan memperlemah posisi tawar produk yang
31

bersangkutan. Usahatani jagung diambil sebagai tolok ukur penentuan lokasi

penelitian karena dalam penelitian ini memang fokus utamanya adalah usahatani

jagung, sehingga pemilihan lokasi pun disesuaikan dengan daerah sentra

pengembangan jagung di Kabupaten Bolaang Mongondow.

Berdasarkan hal tersebut diperoleh 5 kecamatan dari 12 kecamatan di

Kabupaten Bolaang Mongondow yang dapat memenuhi kriteria potensi

pengembangan jagung dan jarak ke pusat ekonomi, yaitu Kecamatan Poigar

(produktivitas usahatani jagung 3.44 ton per ha per tahun), Bolaang Timur

(produktivitas usahatani jagung 3.46 ton per ha per tahun), Bolaang

(produktivitas usahatani jagung 3.46 ton per ha per tahun), Lolak (produktivitas

usahatani jagung 3.47 ton per ha per tahun), dan Lolayan (produktivitas

usahatani jagung 3.41 ton per ha per tahun), dimana kelima kecamatan tersebut

memiliki jarak rata-rata ke ibukota propinsi 50 – 80 km dan ke kota

Kotamobagu 10 – 30 km (Badan Pusat Statistik Bolaang Mongondow, 2008).

Pada tiap kecamatan kemudian ditentukan desa-desa sampel dengan rasio

sampling sebesar 5 persen, sehingga diperoleh rata-rata satu desa tiap kecamatan

yang dapat mewakili sejumlah desa pada masing-masing kecamatan.

Selanjutnya desa mana yang akan dijadikan sampel tiap kecamatan ditentukan

secara purposive berdasarkan informasi dan rekomendasi dari Balai Penyuluhan

Pertanian (BPP) Kecamatan, yaitu Desa Nonapan I (Kecamatan Poigar), Desa

Bolaang (Kecamatan Bolaang Timur), Desa Langagon (Kecamatan Bolaang),

Desa Lolak II (Kecamatan Lolak) dan Desa Lolayan (Kecamatan Lolayan).

Selanjutnya pada tiap desa diambil 20 petani responden yang melakukan

kegiatan usahatani utama jagung, sehingga jumlah total responden sebesar 100
32

responden. Pengamatan dilakukan di tingkat Rumahtangga Tani (RTT).

Penentuan petani sampel dilakukan menurut kriteria acak sederhana. Sedangkan

untuk informan kunci seperti Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL), aparat desa,

dan tokoh masyarakat ditentukan secara sengaja (purposive) dengan maksud

untuk mempermudah perolehan informasi yang lebih mendalam dan terarah.

Dalam penelitian ini menitikberatkan pengamatan dan pengambilan data

pada kegiatan usahatani jagung, disamping itu sebagai pembanding digali pula

informasi mengenai usahatani lain yang juga dilakukan di lahan petani yang

bersangkutan.

4.4. Metode Analisis

Dalam penelitian ini menggunakan Policy Analysis Matrix (PAM) atau

Matriks Analisis Kebijakan. Dimana dalam PAM dapat diketahui besaran/ rasio

keunggulan komparatif (DRCR) dan kompetitif (PCR) serta dampak dari

kebijakan, singkatnya perhitungan dapat dilakukan secara menyeluruh serta

sistematis (output merupakan keuntungan privat dan sosial, efisiensi serta

besaran insentif intervensi pemerintah pada produsen, konsumen dan pedagang

pengumpul).

Metode analisis PAM tidak hanya digunakan untuk mengukur

keunggulan komparatif (keuntungan sosial) tapi juga mengukur dampak

intervensi pemerintah pada suatu aktivitas ekonomi (dalam hal ini usahatani

jagung dan padi). Policy Analisis Matrix juga dapat digunakan untuk

menganalisis kegiatan usahatani sebagai suatu sistem, termasuk di dalamnya

pasca panen, pengolahan dan pemasaran.


33

Tahapan penggunaan metode PAM dalam penelitian ini adalah:

1. Identifikasi input dan output secara lengkap dari usahatani jagung dan padi

2. Menentukan harga bayangan dari input dan output usahatani jagung dan padi

3. Memisahkan unsur biaya ke dalam kelompok tradable dan domestik

4. Menghitung penerimaan usahatani jagung dan padi

5. Menghitung dan menganalisis berbagai indikator keunggulan komparatif dan

kompetitif berdasarkan Tabel PAM.

Nilai pada masing-masing sel dalam Tabel PAM untuk usahatani jagung

dan padi dihitung dalam periode satu siklus produksi (dua musim tanam dalam

setahun). Dari data tersebut selanjutnya dianalisis berbagai indikator sebagai

berikut:

A. Analisis Keuntungan

1. Private Profitability : D = A – (B + C). Keuntungan privat merupakan

indikator keunggulan kompetitif dari sistem komoditi berdasarkan

teknologi, nilai output, biaya input dan transfer kebijakan yang ada.

Apabila D > 0, berarti sistem komoditi itu memperoleh profit di atas

normal. Hal ini memberikan implikasi bahwa komoditi itu mampu

melakukan ekspansi, kecuali apabila sumberdaya terbatas atau adanya

komoditi alternatif yang lebih menguntungkan.

2. Social Profitability : H = E – (F + G). Keuntungan sosial merupakan

indikator keunggulan komparatif atau efisiensi dari sistem komoditi pada

kondisi tidak ada divergensi dan penerapan kebijakan yang efisien, apabila

H > 0. Sebaliknya, bila H < 0, berarti komoditi itu tidak mampu bersaing

tanpa bantuan atau intervensi dari pemerintah.


34

B. Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif

1. Domestic Resource Cost Ratio (DRCR) = G/(E – F). Nilai DRCR

merupakan indikator kemampuan sistem komoditi membiayai faktor

domestik pada harga sosial. Jika DRCR > 1 maka sistem komoditi tidak

mampu hidup tanpa bantuan atau intervensi pemerintah. Sehingga

memboroskan sumberdaya domestik yang langka. Sebaliknya jika DRCR

< 1 dan atau lebih kecil lagi, maka sistem komoditi makin efisien dan

memiliki daya saing tinggi (keunggulan komparatif) serta mampu hidup

atau berkembang tanpa bantuan dan intervensi pemerintah disamping

memiliki peluang ekspor yang lebih besar.

2. Private Cost Ratio (PCR) = C/(A – B). Nilai PCR menjelaskan berapa

banyak sistem komoditi dapat menghasilkan untuk membayar faktor

domestik dan tetap dalam kondisi kompetitif. Sehingga suatu usahatani

komoditi akan lebih kompetitif jika nilai D > 0 atau nilai C (harga privat

faktor domestik) < (A – B). Keuntungan maksimal akan diperoleh dengan

cara meminimumkan biaya faktor domestik. Apabila PCR < 1 dan atau

nilainya lebih kecil, maka artinya sistem produksi suatu usahatani mampu

membiayai faktor domestiknya pada harga privat dan kemampuannya

semakin meningkat atau memiliki keunggulan kompetitif.

C. Dampak Kebijakan Pemerintah

a. Kebijakan Output

1. Output Transfer : OT (I) = A-E : Transfer output merupakan selisih antara

penerimaan yang dihitung atas harga finansial (private) dengan penerimaan

yang dihitung berdasarkan harga bayangan atau sosial. Nilai OT


35

menunjukkan terdapat kebijakan pemerintah yang dapat diterapkan pada

output sehingga membuat harga output privat dan sosial berbeda. Jika nilai

OT > 0 menunjukkan adanya transfer dari masyarakat (konsumen)

terhadap produsen, demikian juga sebaliknya. Dalam pengertian

masyarakat membeli dan produsen menerima dengan harga yang lebih

tinggi dari harga yang seharusnya, begitu sebaliknya jika OT < 0 (negatif).

2. Nominal Protection Coefficient on Output : NPCO = A/E : merupakan rasio

penerimaan yang dihitung berdasarkan harga privat dengan penerimaan yang

dihitung berdasarkan harga sosial yang merupakan indikasi dari transfer

output. NPCO menunjukkan dampak kebijakan (kegagalan pasar yang tidak

dikoreksi oleh kebijakan efisiensi) yang menyebabkan divergensi antara harga

privat dan sosial terhadap harga output. Kebijakan bersifat protektif terhadap

output jika nilai NPCO > 1 atau dengan kata lain pemerintah menaikkan harga

output di pasar domestik di atas harga efisiensinya (harga dunia), dan

sebaliknya kebijakan bersifat disinsentif jika

b. Kebijakan Input

1. Input Transfer : IT (J) = B – F : Transfer input adalah selisih antara biaya

input yang dapat diperdagangkan pada harga privat dengan biaya yang dapat

diperdagangkan pada harga sosial. Nilai IT menunjukkan adanya kebijakan

pemerintah yang diterapkan pada input tradable. Jika nilai IT > 0 (positif),

menunjukkan adanya transfer dari petani produsen kepada produsen input

tradable, demikian juga sebaliknya, atau dengan kata lain menunjukkan


36

besarnya transfer (insentif) dari produsen ke pemerintah melalui penerapan

kebijakan tarif impor.

2. Nominal Protection Coefficient on Input: NPCI = B/F : indikator yang

menunjukkan tingkat proteksi pemerintah terhadap harga input pertanian

domestik. Kebijakan bersifat protektif terhadap input jika nilai NPCI < 1,

berarti ada kebijakan subsidi terhadap input tradable, dimana hal ini dapat

pula menunjukkan adanya hambatan ekspor input, sehingga proses

produksi dilakukan dengan menggunakan input dalam negeri. Sebaliknya

jika NPCI > 1 artinya pemerintah menaikkan harga input tradable di pasar

domestik diatas harga efisiensinya. Hal ini membawa implikasi sektor

yang menggunakan harga input tersebut dirugikan dengan tingginya harga

beli input produksi.

3. Factor Transfer : FT (K) = C – G : Transfer faktor merupakan nilai yang

menunjukkan perbedaan harga privat dengan harga sosialnya yang

diterima produsen untuk pembayaran faktor-faktor produksi yang tidak

diperdagangkan. Nilai FT menunjukkan adanya kebijakan pemerintah

terhadap produsen dan konsumen yang berbeda dengan kebijakan pada

input tradable. Intervensi pemerintah untuk input domestik dilakukan

dalam bentuk kebijakan subsidi (positif dan negatif). Jika nilai FT > 0 atau

positif, artinya terdapat transfer dari petani produsen kepada produsen

input non tradable, atau dengan kata lain terdapat kebijakan pemerintah

yang melindungi produsen faktor domestik dengan pemberian subsidi

positif, demikian juga sebaliknya, jika negatif atau FT < 0 maka kebijakan

lebih berpihak pada petani.


37

c. Kebijakan Input-Output

1. Effective Protection Coefficient : EPC = (A-B)/(E-F) : yaitu indikator yang

menunjukkan tingkat proteksi simultan terhadap output dan input tradable.

Kebijakan masih bersifat protektif jika nilai EPC > 1 atau dengan kata lain

pemerintah menaikkan harga output atau input yang diperdagangkan diatas

harga efisiensinya. Semakin besar nilai EPC berarti semakin tinggi tingkat

proteksi pemerintah terhadap komoditi pertanian domestik. Sebaliknya jika

nilai EPC < 1 maka kebijakan pemerintah tersebut tidak berjalan efektif.

2. Net Transfer : NT (L) = D – H : Transfer bersih merupakan selisih antara

keuntungan bersih yang benar-benar diterima produsen dengan keuntungan

bersih sosialnya. Nilai NT > 0, menunjukkan tambahan surplus produsen

yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang diterapkan pada input

dan output, demikian juga sebaliknya.

3. Profitability Coefficient : PC = D/H : Koefisien keuntungan adalah

perbandingan antara keuntungan bersih yang benar-benar diterima

produsen dengan keuntungan bersih sosialnya. PC merupakan indikator

yang lebih lengkap dibandingkan EPC, yang menunjukkan dampak

insentif (transfer) dari semua kebijakan (harga output, input dan faktor

domestik), sehingga merupakan proteksi dari net policy transfer. Jika PC >

0, berarti secara keseluruhan kebijakan pemerintah memberikan insentif

kepada produsen. Sebaliknya jika nilai PC < 1 menunjukkan kebijakan

pemerintah membuat keuntungan yang diterima produsen lebih kecil

dibandingkan tanpa adanya kebijakan. Artinya produsen harus

mengeluarkan sejumlah dana kepada masyarakat (konsumen).


38

4. Subsidy Ratio to Producer : SRP = L/E atau (D-H)/E : indikator yang

menunjukkan proporsi penerimaan pada harga sosial yang diperlukan

apabila subsidi atau pajak digunakan sebagai pengganti kebijakan. SRP

memungkinkan membuat perbandingan antara besarnya subsidi

perekonomian bagi sistem komoditi pertanian. Apabila nilai SRP < 0

(negatif) menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah yang berlaku selama

ini menyebabkan produsen mengeluarkan biaya produksi lebih besar dari

opportunity cost, demikian pula sebaliknya.

4.5. Metode Penentuan Harga Bayangan

Dalam penelitian ini untuk setiap input dan output ditetapkan dua tingkat

harga, yaitu harga pasar (harga privat/ harga aktual) dan harga bayangan (harga

sosial/ harga ekonomi/ harga akuntansi). Harga pasar adalah tingkat harga pasar

yang diterima petani dalam penjualan hasil produksinya (hasil panen) atau

tingkat harga yang dibayar dalam pembelian faktor produksi.

Squire and van der Tak (1976) dalam Suryana (1980) mendefinisikan

harga bayangan sebagai harga yang menggambarkan peningkatan dalam

kesejahteraan dengan adanya perubahan marjinal dalam persediaan komoditi dan

faktor-faktor produksi. Dengan demikian dalam memperkirakan harga bayangan

terlebih dahulu perlu diketahui fungsi kesejahteraan sosial yang diwujudkan

dalam pernyataan matematik, serta harus betul-betul mengerti pembatas dan

kebijakan yang menentukan arah pembangunan negara sekarang dan yang akan

datang.
39

Definisi yang lebih sederhana dikemukakan oleh Gittinger (1986), harga

bayangan merupakan merupakan harga yang terjadi dalam perekonomian pada

keadaan persaingan sempurna dan kondisi keseimbangan. Kondisi biaya

imbangan sama dengan harga pasar sulit ditemukan, maka untuk memperoleh

nilai yang mendekati biaya imbangan atau harga sosial perlu dilakukan

penyesuaian terhadap harga pasar yang berlaku.

4.5.1. Harga Bayangan Output

Harga yang digunakan sebagai harga bayangan output adalah harga

perbatasan (border price). Harga Free on Board (FOB) dipakai bila output

sedang diekspor atau barang ekspor potensial di masa datang dan Cost Insurance

Freight (CIF) untuk barang atau komoditi yang sedang diimpor atau

kemungkinan diimpor (Monke and Pearson, 1989; Yao, 1997; Pearson et al.

2005). Dalam penelitian ini border price yang digunakan merupakan harga FOB

jagung di pelabuhan terdekat yaitu Pelabuhan Anggrek Propinsi Gorontalo,

sebesar US $ 275 per ton.

4.5.2. Harga Bayangan Lahan

Penentuan harga bayangan lahan dapat dilakukan melalui cara: (1)

pendapatan bersih usahatani tanaman alternatif terbaik yang biasa ditanam pada

lahan tersebut, (2) nilai sewa yang berlaku di daerah setempat, dan (3) nilai

tanah yang hilang karena proyek. Dalam penelitian ini harga bayangan lahan

adalah nilai sewa lahan yang berlaku di daerah setempat. Hal ini didasari pada

pemikiran bahwa mekanisme pasar lahan di pedesaan berjalan dengan baik.


40

4.5.3. Harga Bayangan Sarana Produksi dan Peralatan

Harga bayangan sarana produksi dan peralatan didasarkan pada harga

input tradable dan non tradable (faktor domestik). Benih, pupuk urea dan

phonska serta herbisida cair dan pestisida cair termasuk dalam input tradable

sedangkan peralatan termasuk dalam input non tradable. Harga privat pupuk

urea dan phonska merupakan harga jual aktual (harga pasaran) di lokasi

penelitian. Sedangkan penentuan harga bayangan pupuk urea dan phonska

dilakukan pendekatan yang berbeda. Harga bayangan pupuk urea ditentukan

berdasarkan harga border (border price) di pelabuhan terdekat sedangkan pupuk

phonska mengacu pada harga di pasar bebas, sebab border price hanya pada

bahan baku pembuatan pupuk phonska (NPK 15-15-15).

Adapun harga bayangan herbisida dan pestisida ditentukan berdasarkan

harga pasaran karena ketiadaan subsidi pada produk ini selain itu karena border

price hanya mencakup harga bahan-bahan baku untuk pembuatan produk

tersebut. Harga bayangan benih berupa harga bayangannya sebagai output.

Namun karena benih memiliki aspek quality control maka harga bayangan

relatif lebih besar dibanding harga bayangan output yaitu :

HBbenih =

dimana:

HB = harga bayangan; HA = harga aktual (harga pasar)

Peralatan seperti sekop, cangkul, parang, alat bajak, alat pipil jagung dan

perontok padi merupakan produk domestik. Saat ini peralatan pertanian seperti

itu banyak diproduksi di desa/ kecamatan oleh tukang setempat. Dilihat dari

keseimbangan pasar, maka barang tersebut berada dalam pasar yang mendekati
41

bersaing sempurna. Oleh karenanya, harga bayangan untuk peralatan pertanian

ditentukan berdasarkan atau sama dengan harga pasarnya.

Demikian pula dengan traktor untuk pengolahan tanah. Di lokasi

penelitian traktor hanya dimiliki oleh kelompok tani atau desa, sedangkan para

petani yang hendak menggunakannya dikenakan biaya sewa dengan ketentuan

borongan. Sehingga sangat sukar untuk menentukan komponen asing dan

domestiknya sebab para penyewa atau petani responden tidak tahu menahu

mengenai masalah solar atau oli yang digunakan, lagipula terkadang satu kali

pengisian solar dapat digunakan sampai dua minggu atau untuk 2 – 3 petani

penyewa, sehingga untuk memudahkan maka komponen traktor dimasukkan

dalam input non tradable (faktor domestik). Dengan asumsi bahwa para petani

setempat dapat dengan mudah mengakses atau menyewa traktor tersebut.

4.5.4. Harga Bayangan Tenaga Kerja

Bila pasar tenaga kerja bersaing sempurna, maka tingkat upah yang berlaku

mencerminkan opportunity costnya. Artinya, tingkat upah yang berlaku merupakan

nilai produk marginal (Gittinger, 1986). Hal ini tidak berlaku untuk sektor pertanian

karena tingkat upah pedesaan cenderung lebih tinggi (tidak mengikuti/ terikat

dengan ketentuan upah minimum) karena adanya kegiatan gotong royong (di

Bolaang Mongondow disebut “tumoyo”). Pearson et al. (2005) mengemukakan

bahwa hampir seluruh tenaga kerja dalam kegiatan usahatani di pedesaan adalah

tenaga kerja tidak terampil. Dengan demikian tingkat upah privat (tingkat upah

pasar) dapat digunakan sebagai penduga yang baik bagi tingkat upah
42

sosialnya. Walaupun diakui divergensi akan terjadi pada upah tenaga kerja

terampil.

Meskipun begitu, dalam penelitian ini mengacu pada metode perhitungan

oleh Suryana (1980), dimana khusus untuk tenaga kerja pengolahan tanah dengan

bantuan ternak dan atau traktor, harga bayangannya disamakan dengan tingkat upah

pasar (upah yang berlaku di lokasi penelitian), karena dengan tambahan penggunaan

alat tersebut maka dapat digolongkan ke dalam tenaga kerja terampil. Disamping itu

biasanya menjelang penanaman dibutuhkan tenaga kerja yang cukup besar

(pengolahan tanah) begitupun pada saat panen, sehingga diasumsikan pasar tenaga

kerja mendekati persaingan sempurna. Sedangkan tenaga kerja tidak terampil

diperhitungkan sebesar 80 persen dari upah aktualnya.

4.5.5. Harga Bayangan Suku Bunga Modal

Harga bayangan suku bunga modal adalah tingkat suku bunga tertentu

atau tingkat pengembalian riil atas proyek-proyek pemerintah (Suryana, 1980).

Tingkat suku bunga modal diperlukan dalam menghitung biaya tunai yang

dikeluarkan pada proses usahatani mulai tanam sampai panen.

Dalam penelitian ini, penentuan harga bayangan suku bunga modal

melalui pendekatan tingkat suku bunga Bank Indonesia (BI-rate). Sedangkan

penentuan harga privat suku bunga modal digunakan suku bunga kredit pada

lembaga kredit informal pedesaan.

4.5.6. Harga Bayangan Nilai Tukar Rupiah

Harga bayangan nilai tukar uang adalah harga uang domestik dalam

kaitannya dengan mata uang asing yang terjadi pada pasar nilai tukar uang pada
43

kondisi persaingan sempurna. Salah satu pendekatan untuk menghitung harga

bayangan nilai tukar uang adalah harga bayangan harus berada pada tingkat

keseimbangan nilai tukar uang. Keseimbangan terjadi apabila dalam pasar uang,

semua pembatas dan subsidi terhadap ekspor dan diimpor dihilangkan.

Keseimbangan nilai tukar uang dapat dihitung menggunakan Standart Conversion

Factor (SCF) sebagai faktor koreksi terhadap nilai tukar resmi yang berlaku.

Tsakok (1990) mengemukakan formula sebagai berikut:

atau

atau

dimana:
SER = Shadow Exchange Rate (nilai tukar bayangan tahun ke-t)
(Rp/US$)
OER = Official Exchange Rate (nilai tukar resmi pemerintah)
Xt = nilai ekspor tahun ke-t (Rp)
TXt = pajak ekspor tahun ke-t (Rp)
Mt = nilai impor tahun ke-t (Rp)
TMt = pajak impor tahun ke-t (Rp)

4.6. Analisis Sensitivitas

Setelah dilakukan analisis PAM selanjutnya dilakukan analisis sensitivitas

yang bertujuan untuk melihat bagaimana hasil analisis suatu aktivitas ekonomi

bila terjadi perubahan dalam perhitungan biaya atau manfaat. Analisis sensitivitas

dilakukan dengan mengubah suatu unsur atau mengkombinasikan unsur-unsur dan

menentukan pengaruh dari perubahan tersebut pada hasil analisis semula. Pannell

(1997) mengemukakan bahwa penggunaan analisis sensitivitas dapat


44

dikelompokkan ke dalam empat kategori utama yaitu: pengambilan keputusan

atau membangun rekomendasi untuk para pengambil kebijakan, komunikasi,

peningkatan pengertian atau kuantifikasi suatu sistem dan model pembangunan.

Dalam analisis kelayakan proyek pertanian, baik secara finansial maupun

ekonomi, terdapat empat faktor yang sangat sensitif terhadap suatu perubahan.

Keempat faktor tersebut adalah harga, keterlambatan pelaksanaan, kenaikan

biaya dan perubahan hasil. Untuk dapat melihat pengaruh-pengaruh yang akan

terjadi akibat perubahan faktor tersebut maka perlu dilakukan analisis

sensitivitas (Gittinger, 1986).

Analisis sensitivitas dalam penelitian ini terutama hanya dilakukan pada

kegiatan usahatani jagung. Hal ini dilakukan dengan asumsi bahwa kebijakan

pemerintah untuk usahatani jagung belum seketat atau sekonsisten kebijakan

bagi usahatani padi (kebijakan perberasan nasional). Selain itu kebijakan untuk

usahatani padi merupakan kebijakan nasional yang bersifat “top down” sehingga

dianggap kebijakannya telah tetap dan tidak perlu lagi mencari suatu skenario

kebijakan baru.

Dalam analisis sensitivitas usahatani jagung terdapat 4 simulasi (12

skenario) yang selanjutnya akan dilakukan analisis sensitivitas untuk

memperoleh bentuk kebijakan yang efektif, yaitu:

1. Analisis sensitivitas harga output naik 10, 20 dan 30 persen dari harga aktual

dan harga bayangan dalam penelitian ini, dengan asumsi faktor lainnya tetap.

2. Analisis sensitivitas harga input (pupuk) dan output secara bersamaan naik

10, 20 dan 30 persen dari harga aktual dan harga bayangan, dengan asumsi

faktor lainnya tetap.


45

3. Analisis sensitivitas harga input (pupuk) turun 10 persen, sementara harga

output naik 10, 20 dan 30 persen dari harga aktual dan harga bayangan,

dengan asumsi faktor lainnya tetap.

4. Analisis sensitivitas upah tenaga kerja turun 10 persen, sementara harga

output naik 10, 20 dan 30 persen dari harga aktual dan harga bayangan,

dengan asumsi faktor lainnya tetap.

Hal yang mendasari penetapan besaran persentase terutama pada variasi

persentase kenaikan harga output adalah berdasarkan data base harga jagung

FAO menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 1991 – 2006 (15 tahun terakhir)

kenaikan harga jagung rata-rata sebesar 20 persen per tahun (Tabel 3). Sehingga,

mengacu pada persentase kenaikan harga jagung rata-rata per tahun tersebut,

maka dicobakan skenario variasi persentase kenaikan harga jagung, yaitu 10

persen (10 persen di bawah data FAO), 20 persen (data FAO) dan 30 persen (10

persen di atas data FAO).

Sedangkan skenario penurunan persentase harga input (pupuk) mengacu

pada persentase penurunan harga eceran tertinggi pupuk (dalam hal ini urea)

yang terjadi selama kurun waktu 1973 – 2006, yaitu sebesar 13 – 14 persen (PT.

PUSRI, 2009). Besaran persentase penurunan 10 persen yang digunakan dalam

analisis sensitivitas merupakan persentase minimal dari persentase acuan

berdasarkan data PT. PUSRI tersebut.

Upah buruh tani di Bolaang Mongondow pada tahun 1999 rata-rata

sebesar Rp. 15 000 per Hari Orang Kerja (HOK), sementara pada tahun 2009

telah mencapai rata-rata Rp. 35 000 per HOK, sehingga terdapat kecenderungan

kenaikan upah buruh tani sebesar 13 persen per tahun. Berdasarkan hal ini, maka
46

dalam analisis sensitivitas penulis mencoba menawarkan suatu bentuk kebijakan

jika upah buruh tani tersebut dapat diturunkan minimal 10 persen (pada harga

privat dan sosial) pada tahun berjalan (2008 – 2009), sementara harga output

dinaikkan 10, 20, 30 persen (pada harga privat dan sosial), bagaimana

pengaruhnya terhadap keunggulan komparatif dan kompetitif usahatani jagung

di Kabupaten Bolaang Mongondow.

Tabel 3. Persentase Kenaikan Harga Jagung kurun waktu Tahun 1991 – 2006

Persentase
Tahun Keterangan
(%)
1991-1992 -8 turun
1992-1993 10
1993-1994 24
1994-1995 16
1995-1996 21
1996-1997 4
1997-1998 74
1998-1999 24
1999-2000 -13 turun
2000-2001 32
2001-2002 -2 turun
2002-2003 4
2003-2004 9
2004-2005 2
2005-2006 14
Rata-Rata Kenaikan 20
Sumber : FAO (2008) (diolah)
47

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Setelah pemekaran wilayah terakhir pada tahun 2008, maka wilayah

Bolaang Mongondow terbagi menjadi lima daerah tingkat dua, yaitu Kabupaten

Bolaang Mongondow, Kabupaten Bolaang Mongondow Utara, Kabupaten

Bolaang Mongondow Selatan, Kabupaten Bolaang Mongondow Timur dan Kota

Kotamobagu. Adapun Kabupaten Bolaang Mongondow saat ini secara

administratif terbagi atas 12 Kecamatan dengan luas wilayah 4 628.68 km 2

(Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Bolaang Mongondow, 2008).

Wilayah ini memiliki iklim tropis yang relatif basah dengan curah hujan

tinggi mencapai 2000 – 3000 mm per tahun (Tabel 4). Iklim di Bolaang

Mongondow termasuk iklim tipe A (Tipe Schmidt dan Ferguson) pada daerah

dataran tinggi. Sedangkan pada daerah dataran rendah termasuk iklim tipe B.

Tabel 4. Curah Hujan selang Tahun 2004 – 2008 (mm/tahun)

No. Bulan 2004 2005 2006 2007 2008


1. Januari 2 889.4 2 769.5 2 023 1 775.5 1 881.1
2. Pebruari 2 745 915 2 049 1 997 1 881
3. Maret 874.7 632 2 131 2 047 1 887
4. April 2 580.3 628.1 692 1 311 1 441
5. Mei 2 654.2 941.8 1 491 878.5 1 113
6. Juni 5 862.2 4 038.2 1 034 912 831
7. Juli 908 4 336 2 090 877 788
8. Agustus 1 558.3 485 146 675 767
9. September 2 136.5 4 047.5 654 618 1 121
10. Oktober 764 562 0 789 922
11. Nopember 4 653.9 2 294 1 092 812 1 107.8
12. Desember 4 118.1 3 046.6 172 918.5 1 671.5
Sumber: Laporan Tahunan Dinas Pertanian dan Peternakan Bolmong (2008)
48

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Bolmong (2008) jumlah

penduduk di Kabupaten Bolaang Mongondow pada tahun 2007 berjumlah 213

464 jiwa yang terdiri dari 110 221 jiwa penduduk laki-laki dan 103 243 jiwa

penduduk perempuan. Berdasarkan lapangan usaha maka penduduk yang

berusaha sebagai petani sebanyak 114 703 jiwa (Tabel 5). Keadaan ini

menunjukkan bahwa sebagian besar pekerjaan masyarakat di Kabupaten

Bolaang Mongondow adalah petani dengan rasio 58.66 persen.

Tabel 5. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Lapangan Usaha Tahun 2007

Jenis Kelamin
Jumlah
No. Lapangan Usaha Laki-laki Perempuan
(Jiwa)
(Jiwa) (Jiwa)
1. Pertanian 97 159 17 544 114 703
2. Industri pengolahan 5 529 2 019 7 548
Perdagangan besar dan eceran,
3. 8 298 16 480 24 778
rumah makan dan hotel
4. Jasa kemasyarakatan 11 285 12 047 23 332
Lainnya: pertambangan, listrik,
gas, air, konstruksi, angkutan,
5. penggudangan dan 23 275 1 915 25 190
komunikasi, keuangan dan
lainnya.
Total 145 546 50 005 195 551
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Bolaang Mongondow (2008)

Keadaan lahan menurut luas tanam di Kabupaten Bolaang Mongondow

terdiri atas lahan padi (sawah + ladang), jagung, ubi kayu, dan kacang tanah

dengan luas masing-masing yaitu padi 52 888 ha, jagung 22 007 ha, ubi kayu

349 ha dan kacang tanah sebesar 619 ha. Selengkapnya mengenai luas tanam

usahatani tanaman pangan tersebut seperti terlihat pada Tabel 6.


49

Tabel 6. Luas Tanam Usahatani Tanaman Pangan Kabupaten Bolaang


Mongondow Tahun 2007
Luas Tanam (ha)
No. Kecamatan Padi (sawah + Kacang
Jagung Ubi Kayu
ladang) Tanah
1. Passi Timur 330 1 740 29 43
2. Passi Barat 221.5 502 20.5 19.5
3. Bilalang 221.5 502 20.5 19.5
4. Lolayan 7 298 1 515 33 64
5. Dumoga Utara 13 262 2 907 31 59
6. Dumoga Timur 13 003 3 007 4 127
7. Dumoga Barat 7 980 3 025 38 69
8. Poigar 4 012 935 48 36
9. Bolaang 503.5 893 16.5 47
10. Bolaang Timur 503.5 893 16.5 47
11. Lolak 3 139 3 875 47 44
12. Sangtombolang 2 414 2 213 45 44
TOTAL 52 888 22 007 349 619
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Bolaang Mongondow (2008) (diolah)

Berdasarkan data pada Tabel 6 tersebut terlihat bahwa Kecamatan

Dumoga Utara, Timur dan Barat memiliki areal pertanaman padi (sawah dan

ladang) paling luas di Kabupaten Bolaang Mongondow. Hal ini tidak

mengherankan karena sejak dulu Kecamatan Dumoga (sebelum dimekarkan)

sudah menjadi lumbung beras bagi Bolaang Mongondow khususnya dan

propinsi Sulawesi Utara pada umumnya. Sedangkan tanaman jagung luas areal

pertanamannya umumnya merata pada setiap kecamatan di Kabupaten Bolaang

Mongondow.

5.2. Karakteristik Petani Responden

Secara umum karakteristik petani responden dalam penelitian ini meliputi

umur, pendidikan terakhir, pengalaman berusaha tani, status anggota keluarga,

potensi usahatani yang dimiliki/ diusahakan serta sumber-sumber pendapatan


50

rumahtangga tani baik dari on farm, off farm maupun dari non farm. Pengertian on

farm dalam penelitian ini adalah setiap pendapatan rumahtangga tani yang berasal

langsung dari hasil usahatani yang dilakukan oleh setiap anggota keluarga

rumahtangga tani. Sedangkan off farm adalah setiap pendapatan rumahtangga tani

yang berasal dari hasil usaha yang masih berhubungan dengan kegiatan usahatani

yang dilakukan, seperti buruh tani, pengolah hasil pertanian dan lain-lain. Adapun

non farm merupakan hasil pendapatan rumahtangga tani yang berasal dari kegiatan

selain atau tidak berhubungan dengan kegiatan usahatani yang dilakukan, seperti

berdagang, karyawan swasta, pegawai negeri, dan lain-lain.

Dari 100 orang petani responden diperoleh hasil usia rata-rata sebesar 45
tahun dengan pendidikan terakhir umumnya sekolah dasar (49 persen). Tabel 7
memberikan gambaran umum mengenai kondisi usia para petani responden.

Tabel 7. Karakteristik Usia Petani Responden


Persentase
Usia (%)
20 -30 tahun 7

30 - 40 tahun 36

40 - 50 tahun 28

50 - 60 tahun 22

> 60 tahun 7

Total 100

Berdasarkan Tabel 7 tersebut dapat dikemukakan bahwa kondisi usia para petani

responden rata-rata masih pada usia produktif (usia kerja). Hal ini

mengindikasikan bahwa masih terdapat peluang untuk mengembangkan lagi

usahatani yang sudah ada.


51

Faktor pendidikan sangat memegang peranan penting dalam suatu

manajerial usaha. Hal ini dapat terlihat dari kemampuan membaca peluang usaha

yang dilakukan masing-masing petani responden. Berdasarkan hasil penelitian

diperoleh bahwa dari 100 orang petani responden hanya satu orang petani yang

memiliki pendidikan terakhir perguruan tinggi (sarjana ekonomi). Dimana petani

tersebut memiliki total pendapatan rumahtangga tani tertinggi yaitu

Rp. 129 840 000 per tahun. Selengkapnya mengenai kondisi pendidikan petani

responden seperti terlihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Karakteristik Pendidikan Terakhir Petani Responden


Persentase
Pendidikan Terakhir
(%)
Perguruan Tinggi 1

SMA 27

SMP 21

SD 49

Tidak Lulus SD 2

Total 100

Berdasarkan Tabel 8 terlihat bahwa sebagian besar petani responden

berpendidikan SD. Hal ini berpengaruh pada kemampuan dan kesempatan untuk

memperoleh alternatif usaha guna pemenuhan pendapatan rumahtangga tani.

Berdasarkan hasil wawancara diperoleh bahwa dari 100 orang petani responden

terdapat 31 orang petani yang menjadi buruh tani (tenaga harian dan pemanjat

kelapa) atau rata-rata terdapat 1 – 2 orang anggota rumahtangga yang menjadi

buruh tani. Pilihan menjadi buruh tani di luar kegiatan rutin usahatani terpaksa
52

dilakukan karena mere ka tidak memiliki ketrampilan lain selain bert ani, hal ini

sebagai dam pak dari tingkat pendidikan yang rendah. Berhubungan dengan hal

tersebut, hasil peneliti an Puspadi et al. (200 5) menunj ukkan bahw a terdapat

hubungan (k orespondensi) antara ti ngkat pendid ikan petani dengan jenis usahatani

utama yang dikelola. Petani yang ti ngkat pendid ikannya relatif tinggi, berada pada

usahatani c ampuran, sedangkan petani yan g tingkat pendidikannya rendah

cenderung memilih usa hatani panga n, hal ini d idasari kare na kemajuan pola pikir

yang dimilik i oleh para petani yang berpendidikan lebih tin ggi (Gambar 3).

Sumber : Puspadi et al. (2005)


Gambar 3. Hubung an Tingkat Pendidikan Petani deng an Jenis Usa hatani

Tabe l 9 mempe rlihatkan sta tus dan peranan tiap a nggota kelu arga dalam

satu rumaht angga tani di lokasi p enelitian. Dapat dikem ukakan ba hwa selain

suami sebag ai pencari nafkah utam a, ternyata posisi istri bu kan hanya sebagai

ibu rumahtangga namun berperan penting pula dalam m enambah pendapatan

rumahtangga tani, dima na terdapat r asio sebanyak 71 perse n istri yang bekerja

dan hanya 29 persen yang m enjadi ibu r umahtangga biasa.


53

Tabel 9. Status dan Peranan Anggota Keluarga

Sekolah Bekerja Tidak Kerja/


Anggota keluarga belum sekolah
(%) (%) (%)
Suami (KK) 0 100 0

Istri 0 71 29

Anak (< 15 tahun) 68 1 18

Anak (> 15 tahun) 44 20 14


Tanggungan lain (< 15
5 0 2
tahun)
Tanggungan lain (> 15
1 1 4
tahun)

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan, diperoleh informasi bahwa

umumnya para istri membantu para suami melakukan kegiatan usahatani,

disamping itu sebagian lagi ada yang berdagang ataupun menjadi pegawai/

karyawan.

5.3. Struktur Pendapatan Petani dan Kepemilikan Lahan

Petani responden di lima kecamatan lokasi penelitian semuanya bermata

pencaharian utama dari kegiatan usahatani, baik tanaman pangan, peternakan

maupun perkebunan. Dimana sebagian besar merupakan pemilik lahan, hanya satu

kecamatan saja yang keseluruhan petaninya tidak memiliki lahan atau hanya

menggarap yaitu di Kecamatan Lolak (Desa Lolak II). Lahan di Desa Lolak II

merupakan milik perusahaan perkebunan kelapa daerah sehingga statusnya Hak

Guna Usaha (HGU), sedangkan para petani merupakan keturunan keempat dari

penduduk asal Sangihe Talaud yang bertransmigrasi bedol desa karena bencana
54

alam Gunung Awu dan Gunung Karangetang pada tahun 50-an. Pada lahan HGU

tersebut diberlakukan ketentuan pembayaran sewa sebesar 5 persen dari hasil

penjualan komoditi (jagung dan padi) per tahunnya yang disetorkan ke mandor

perusahaan. Selengkapnya mengenai status dan penguasaan lahan pertanian oleh

petani di lokasi penelitian seperti terlihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Sebaran Petani Responden Menurut Luas Lahan Garapan Usahatani
Jagung di Kabupaten Bolaang Mongondow Tahun 2009
Luas Lahan Jumlah petani Persentase
No.
(ha) (orang) (%)
1. 0.25 - 0.75 24 24

2. 1- 2 70 70

3. 3- 4 4 4

4. >4 2 2

Total 100 100

Keseluruhan petani responden melakukan kegiatan usahatani jagung dan

padi sebagai sumber mata pencaharian utama, disamping sebagian kecil

berusahatani kedelai, peternakan (sapi, kambing dan babi) dan perkebunan (kelapa-

kopra). Hal ini didasari pada curahan waktu kerja pada kegiatan usahatani jagung

dan padi sebanyak 8 – 10 jam per hari. Sedangkan pendapatan rumahtangga tani

yang berasal dari off farm adalah buruh tani harian dan pemanjat kelapa musiman

serta penangkar benih pohon. Sebagian lagi petani responden memiliki alternatif

usaha di luar kegiatan usahatani (non-farm) diantaranya berdagang, karyawan

swasta, Pegawai Negeri Sipil (PNS), TNI/Polri, penjahit,


55

tukang bangunan dan pengendara angkutan. Selengkapnya mengenai struktur

pendapatan petani responden seperti terlihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Struktur Pendapatan Rumahtangga Tani Responden


Pendapatan (rata-rata)
Rasio petani
Sumber pendapatan per Periode
(%)
(Rp)
On Farm :
1. UT Jagung (MT) 100 3 771 776
2. UT Padi (MT) 69 8 367 037
3. UT kedelai (MT) 4 1 217 250
4. Perkebunan (kwartal) 20 6 131 825
5. Peternakan (musiman) 20 3 863 158
Off Farm :
1. Buruh tani (mingguan) 26 679 194
2. Buruh pengumpul/pemanjat
kelapa (mingguan) 5 270 000
3. Penangkar benih pohon (bulanan) 1 700 000
Non Farm :
1. Dagang (mingguan) 16 804 688
2. Karyawan (bulanan) 1 4 000 000
3. PNS/TNI/POLRI (bulanan) 6 1 191 667
4. Penjahit (mingguan) 1 1 140 000
5. Tukang bangunan (mingguan) 5 772 000
6. Angkutan (mingguan) 7 817 500

Berdasarkan Tabel 11 terlihat bahwa secara umum pendapatan rata-rata

rumahtangga tani responden dari kegiatan usahatani masih rendah, terutama dari

usahatani jagung. Sehingga jika rumahtangga tani hanya melakukan satu

usahatani monokultur saja, misalnya hanya jagung saja, maka dapat dipastikan

akan terjadi kesulitan keuangan dalam rumahtangga. Hal ini biasanya diatasi
56

petani dengan cara meminjam atau mengijon terlebih dahulu usahataninya pada

pedagang pengumpul desa (toko pertanian). Dari lima desa lokasi penelitian

diperoleh data Desa Nonapan I Kecamatan Poigar memiliki tingkat pendapatan

rumahtangga tani terendah, yaitu hanya Rp. 19 972 850 per tahun atau rata-rata

per bulan Rp. 1 664 404 dan umumnya petani responden hanya

menggantungkan hidup pada satu sampai dua alternatif usaha untuk menghidupi

rumahtangganya. Sedangkan yang tertinggi pendapatan rumahtangga taninya

adalah Desa Langagon Kecamatan Bolaang yang rata-rata pendapatan

rumahtangga taninya Rp. 38 758 188 per tahun atau rata-rata per bulan Rp. 3

229 849 dengan dua sampai empat alternatif usaha untuk menghidupi

rumahtangganya. Selengkapnya rata-rata pendapatan rumahtangga tani masing-

masing responden pada lima lokasi penelitian dapat dilihat pada Lampiran 2.

5.4. Justifikasi Harga Bayangan

Dalam penelitian ini untuk menentukan besaran harga sosial dalam

analisis PAM menggunakan perhitungan harga bayangan disesuaikan menurut

definisi Gittinger (1986) (lihat kembali bagian 4.5. Metode Penentuan Harga

Bayangan), sehingga harga bayangan yang digunakan secara umum ditentukan

dengan cara mengeluarkan distorsi akibat adanya kebijakan-kebijakan seperti

subsidi, pajak, penentuan upah minimum, harga pembelian pemerintah dan lain-

lain. Harga bayangan tersebut meliputi harga bayangan output, lahan, input

(sarana produksi dan peralatan), tenaga kerja, suku bunga modal dan nilai tukar

rupiah.
57

5.4.1. Harga Bayangan Output

Harga yang digunakan sebagai dasar penentuan harga bayangan output

adalah harga perbatasan (border price). Berdasarkan informasi dan data yang

diperoleh dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Propinsi Sulawesi Utara

bahwa kegiatan ekspor jagung terakhir yang tercatat berlangsung pada tahun

2007. Untuk tahun-tahun selanjutnya produksi jagung hanya diperuntukkan bagi

kebutuhan lokal. Sehingga ditempuh pendekatan kegiatan ekspor jagung di

pelabuhan terdekat, yaitu Gorontalo.

Berdasarkan data dari Dinas Pertanian Propinsi Gorontalo, diperoleh

harga FOB jagung di Pelabuhan Anggrek Gorontalo pada tahun 2008 sebesar

US $ 275 per ton. Kemudian dikonversi dengan Shadow Exchange Rate (SER)

Rp.9 753.59, maka diperoleh harga FOB sebesar Rp. 2 682 per kg. Selanjutnya

ditambah dengan dengan biaya angkut (ke kabupaten dan kecamatan) sebesar

Rp. 140 per kg, dan biaya bongkar muat di pelabuhan (truck losing) sebesar Rp.

19 per kg, sesuai data Pelindo (2009). Sehingga diperoleh harga sosial output

jagung pipilan di tingkat petani sebesar Rp. 2 841 per kg.

Harga bayangan beras dilakukan pendekatan pada harga CIF Bangkok

(15 persen broken) rata-rata tahun 2008 sebesar US $ 515.8 per ton, sesuai data

Harga Komoditi di Pasar Dunia - Bank Indonesia (2009). Setelah dikurangi

dengan bea masuk sebesar Rp. 450 per kg dan PPH impor 2.5 persen maka

harga border beras menjadi sebesar Rp. 4 455 per kg. Selanjutnya ditambah

dengan biaya penanganan dan angkutan, maka harga sosial beras di tingkat

petani sebesar Rp. 4 614 per kg.


58

5.4.2. Harga Bayangan Lahan

Dalam penelitian ini harga bayangan lahan adalah nilai sewa lahan yang

berlaku di daerah setempat. Hal ini didasari pada pemikiran bahwa mekanisme

pasar lahan di pedesaan berjalan dengan baik. Walaupun berdasarkan hasil

wawancara diperoleh informasi bahwa sebagian besar petani merupakan pemilik

lahan baik yang diperoleh secara beli tunai maupun warisan orang tua, namun

terdapat pula beberapa petani yang menyewa lahan bahkan di Desa Lolak II

Kecamatan Lolak keseluruhan status lahan petani adalah penggarap sewa karena

lahan di lokasi tersebut berstatus Hak Guna Usaha (HGU). Sehingga untuk

perhitungan harga bayangan ditempuh cara menyeragamkan ke dalam nilai sewa

lahan, dimana untuk Desa Lolak II Kecamatan Lolak berlaku ketentuan sewa 5

persen dari hasil panen per tahun, sedangkan untuk empat kecamatan lainnya

berlaku 20 persen dari hasil panen per tahun. Secara ringkas harga sewa lahan

yang berlaku di lokasi penelitian seperti terlihat pada Tabel 12.

Tabel 12. Rekap Harga Sewa Lahan Rata-Rata di Lokasi Penelitian


Ukuran Lahan Rata-Rata Harga Sewa
(ha) (Rp)
0.25 - 0.75 701 228

1- 3 1 280 732

>4 2 960 000

5.4.3. Harga Bayangan Sarana Produksi dan Peralatan

Pada penelitian ini ditemukan fakta bahwa para petani setempat saat ini

hanya menggunakan dua jenis pupuk yaitu urea dan phonska. Adapun KCl tidak

digunakan lagi karena harganya yang sangat mahal dan tidak terjangkau petani
59

kecil (mencapai Rp. 800 000 per 50 kg), sedangkan SP-36 sudah sangat jarang

ditemukan di pasaran. Harga privat pupuk dalam penelitian ini menggunakan

harga jual aktual (harga pasaran) di lokasi penelitian (Tabel 13). Sedangkan

penentuan harga bayangan pupuk urea dan phonska dilakukan pendekatan yang

berbeda. Harga bayangan pupuk urea mengacu pada harga FOB pupuk urea

produksi PT. Pupuk Kaltim di pelabuhan Tanjung Perak Surabaya (posisi harga

tahun 2008) sebesar Rp. 4 100 per kg, sesuai data dari Forum Tani (2009).

Kemudian ditambah dengan biaya bongkar muat sebesar Rp. 19 per kg, biaya

angkut dari pelabuhan ke kota propinsi sebesar Rp. 70 per kg dan dari kota

propinsi ke kecamatan sebesar Rp. 70, sesuai data dari Pelindo Bitung (2009).

Sehingga diperoleh harga pupuk urea di tingkat petani sebesar Rp. 4 250 per kg

(Tabel 13).

Harga sosial pupuk phonska dalam analisis PAM menggunakan

pendekatan harga pupuk tersebut di pasar bebas. Hal ini dilakukan karena

sulitnya mencari border price pupuk phonska, yang tersedia hanya harga border

bahan-bahan baku untuk pembuatan pupuk sehingga sulit menentukan border

price harga pupuk tersebut. Untuk itu, dilakukan pendekatan pada harga NPK

15-15-15 yang dipasarkan oleh PT. Anugrah Tambang Pratama sebesar Rp. 5

000 per kg (Tabel 13). Hal ini dapat dilakukan karena pupuk phonska produksi

PT. Petrokimia Gresik merupakan jenis pupuk majemuk NPK 15-15-15. Selain

itu karena harga sosial merupakan harga yang bebas dari pengaruh distorsi harga

dalam ini kebijakan subsidi, sehingga produk yang tidak terkena subsidi harga

jualnya di lepas ke mekanisme pasar (pasar bebas), maka pendekatan harga

sosial phonska melalui harga jual dipasar bebas dapat dilakukan.


60

Harga bayangan benih jagung didekati dari harga bayangan komoditi

tersebut sebagai output, namun karena memiliki aspek quality control maka harga

bayangan benih lebih besar dibanding harga bayangannya sebagai output. Sehingga

harga bayangan (sosial) benih pada Tabel 13 dihitung berdasarkan rata-rata harga

aktual (harga privat) benih jagung di lokasi penelitian, kemudian dibagi dengan rata-

rata harga jual aktual jagung pipilan (output) di lokasi penelitian (rata-rata Rp. 2 138

per kg), selanjutnya dikali dengan harga bayangan jagung pipilan (output) sebesar

Rp. 2 785 per kg. Cara yang sama dilakukan untuk harga bayangan benih padi,

dimana acuan harga adalah harga privat atau harga aktual setempat yaitu sebesar Rp.

2 734 per kg. Hanya saja untuk benih padi perlu mempertimbangkan faktor

konversinya yaitu 1 kg padi = 0.64 kg beras.

Tabel 13. Rekap Harga Privat dan Sosial Sarana Produksi Usahatani Jagung di
Lokasi Penelitian
Harga Privat Harga Sosial
No. Uraian Satuan
(Rp) (Rp)

1. Benih hibrida kg 30 941 41 127


2. Pupuk urea kg 1 476 4 259
3. Pupuk phonska kg 2 505 5 000
4. Herbisida cair liter 76 424 76 424
5. Pestisida cair liter 66 882 66 882
6. Sewa alat pipil Rp/kg 56 56

7. Penyusutan alat : sekop, 60 313 60 313


cangkul dan parang

Untuk komponen herbisida dan pestisida cair, harga privat dan sosial

(harga bayangan) merupakan harga beli di lokasi penelitian (harga pedagang

pengumpul desa/ toko saprodi setempat) (Tabel 13). Hal ini didasari asumsi
61

bahwa border price hanya pada komponen atau bahan baku pembuatan pestisida

dan herbisida tersebut, sehingga sulit untuk menentukan harga bayangan

berdasarkan border price bahan baku. Selain itu karena baik herbisida maupun

pestisida merupakan input sarana produksi yang tidak mendapatkan subsidi dari

pemerintah, sehingga harga jual di lepas ke mekanisme pasar (pasar bebas). Untuk

itu harga sosial (harga bayangan) sama dengan harga privatnya (harga aktualnya).

Terlihat pada Tabel 13 bahwa untuk sewa alat pipil menggunakan satuan

Rp per kg. Hal ini karena perhitungan sewa alat pipil berdasarkan jumlah koli

(kg) jagung pipilan yang dihasilkan. Dimana untuk pembayaran sewa alat rata-

rata dihargai sebesar Rp. 56 per kg jagung pipilan. Biasanya pembayaran dalam

bentuk uang tunai namun ada pula penyewa alat yang membayar dalam bentuk

natura (jagung pipilan), hal ini terjadi sesuai kesepakatan kedua belah pihak.

5.4.4. Harga Bayangan Tenaga Kerja

Tenaga kerja dalam penelitian ini digolongkan ke dalam tenaga kerja

terampil dan tidak terampil. Tenaga kerja terampil yaitu tenaga kerja pengolahan

tanah dengan bantuan ternak dan traktor, tenaga kerja penanaman dengan bantuan

ternak (larik), tenaga kerja pengendalian hama dan penyakit (penyemprotan), tenaga

kerja pemipilan (operator alat pipil), tenaga kerja pengangkutan dengan bantuan

gerobak sapi dan kendaraan lainnya (mobil dan bentor). Harga bayangan upah

tenaga kerja terampil tersebut disamakan dengan harga aktualnya (privat).

Adapun tenaga kerja tidak terampil (tanpa bantuan alat dan atau ternak)

penentuan harga bayangan tenaga kerja sebesar 80 persen dari tingkat upah yang

berlaku (Suryana, 1980) (Tabel 14). Kalau di Bolaang Mongondow saat ini upah
62

tenaga kerja harian yang berlaku rata-rata Rp. 35 000 per HOK, maka harga

bayangannya rata-rata sebesar Rp. 28 000 per HOK. Hal ini didasari pada

asumsi bahwa terdapat 20 persen opportunity cost dari para petani tersebut untuk

memperoleh pendapatan/ pekerjaan di luar usahatani jagung atau dengan kata

lain 20 persen opportunity cost tersebut merupakan jumlah pendapatan di luar

kegiatan usahatani jagung, misalnya menjadi pembantu tukang bangunan,

pemanjat kelapa dan lain-lain.

Tabel 14. Rekap Harga Privat dan Sosial Upah Tenaga Kerja Tidak Terampil
Usahatani Jagung di Lokasi Penelitian
Harga Privat Harga Sosial
No. Uraian Unit
(Rp) (Rp)
1. Olah tanah I (manusia) Rp/HOK 53 032 42 426

2. Olah tanah II (manusia) Rp/ HOK 60 000 48 000

3. Garu I (manusia) Rp/ HOK 65 000 52 000

4. Garu II (manusia) Rp/ HOK 65 000 52 000

5. Penanaman (manusia) Rp/ HOK 49 758 39 807

6. Penyiangan 1 & 2 Rp/ HOK 50 176 40 141

7. Pemupukan 1 & 2 Rp/ HOK 52 313 41 850

8. Panen & kupas Rp/ HOK 48 389 38 711

9. Jemur Rp/ HOK 49 022 39 218

10. Pemipilan (manusia) Rp/ HOK 31 750 25 400

11. Pengangkutan (manusia) Rp/ HOK 50 783 40 626

Selengkapnya mengenai harga privat dan sosial upah tenaga kerja

usahatani jagung dilihat pada Lampiran 3. Sedangkan tenaga kerja pada

usahatani padi di Lampiran 4.


63

5.4.5. Harga Bayangan Suku Bunga Modal

Harga bayangan suku bunga modal dalam penelitian ini mengacu pada

tingkat suku bunga Bank Indonesia (BI-rate) tahun 2008. Berdasarkan data dari

Bank Indonesia tercatat BI-rate per Desember tahun 2008 sebesar 9.25 persen

(Tinjauan Kebijakan Moneter Bank Indonesia, 2009). Asumsi yang mendasari

hal ini adalah karena BI-rate merupakan suku bunga acuan perbankan nasional

yang belum terdapat distorsi seperti ambil untung (laba) perbankan, pajak dan

biaya-biaya lainnya.

Sedangkan harga privat suku bunga modal mengacu pada ketentuan

pinjam meminjam di lokasi penelitian antara petani dan pedagang pengumpul

desa. Dimana setiap nominal peminjaman (baik dalam bentuk uang maupun

natura) ada selisih Rp. 250 yang diambil pihak pemberi pinjaman. Cicilan

pinjaman dilakukan setiap periode panen atau 3 – 4 bulan, sehingga dalam

setahun (dua musim tanam) bunga yang dikenakan oleh pihak pemberi pinjaman

rata-rata mencapai 25 persen. Selengkapnya mengenai harga privat dan sosial

serta budget privat dan sosial suku bunga modal usahatani jagung dapat dilihat

pada Lampiran 3.

5.4.6. Harga Bayangan Nilai Tukar Rupiah

Pada tahun 2008 nilai total ekspor dan impor Indonesia untuk komoditi

jagung dan padi (beras) serta turunannya masing-masing sebesar Rp. 167.2 juta

per kg dan Rp. 2.05 milliar per kg, pajak ekspor dan impor masing-masing

sebesar Rp. 4.18 juta dan Rp. 51.30 juta (Departemen Perdagangan, 2009). Nilai

SCF tahun 2008 sebesar 0.979, sehingga nilai tukar bayangan (SER) adalah Rp.

9753.59 per 1 US $.
64

5.5. Profitabilitas Privat dan Sosial

Analisis finansial dan ekonomi usahatani jagung memberikan gambaran

umum dan sederhana mengenai tingkat kelayakan usahatani jagung di Kabupaten

Bolaang Mongondow, khususnya pada lima kecamatan lokasi penelitian. Selain itu

profitabilitas privat (finansial) merupakan indikator keunggulan kompetitif dari

sistem komoditas berdasarkan teknologi, nilai output, biaya input dan transfer

kebijakan yang ada. Sedangkan profitabilitas sosial (ekonomi) merupakan indikator

keunggulan komparatif atau efisiensi dari sistem komoditas pada kondisi tidak ada

distorsi pasar dan kebijakan pemerintah.

Berdasarkan hasil perhitungan pada Lampiran 3 dapat dikemukakan bahwa

baik secara finansial maupun ekonomi usahatani jagung di Kabupaten Bolaang

Mongondow selama satu tahun terakhir (dua musim tanam) menunjukkan tingkat

kelayakan usaha yang baik. Salah satu indikator sederhana dapat dilihat pada nilai

Revenue Cost Ratio (RC-ratio) yang lebih besar dari satu. Selain itu hasil

pendapatan pada analisis ini juga merupakan indikator keuntungan privat dan sosial

dalam policy analysis matrix. Selanjutnya, secara ekonomi harga jual jagung yang

diterima petani pada tingkat harga sosial lebih tinggi daripada harga aktualnya

(harga privat). Dimana terlihat bahwa pendapatan bersih (diluar komponen lahan)

secara ekonomi yaitu Rp. 4 519 566 per tahun dengan RC-ratio 1.59, lebih besar

dibandingkan secara finansial yang berjumlah Rp. 1 692 554 per tahun dengan RC-

ratio 1.23. Demikian halnya jika komponen lahan dimasukkan maka diperoleh

pendapatan bersih secara ekonomi sebesar Rp. 3 045 938 per tahun dengan RC-ratio

1.33 dan secara finansial diperoleh pendapatan bersih sebesar Rp. 218 926 per tahun

dengan RC-ratio 1.02 (lihat Lampiran 3).


65

Hal ini menunjukkan bahwa secara ekonomi masyarakat tani setempat

sebenarnya lebih diuntungkan dibanding dengan produsen input tradable

maupun domestik (non tradable). Sebaliknya secara finansial (individu petani)

perolehan pendapatan yang rendah selama dua musim tanam terakhir

menunjukkan tingginya komponen biaya produksi (tradable dan faktor

domestik) yang harus dikeluarkan setiap petani (secara individual) untuk

kelangsungan hidup usahataninya. Sementara biaya produksi yang tinggi tidak

diimbangi dengan harga jual yang memadai pada tingkat harga aktual.

Berdasarkan hasil analisis PAM pada Tabel 15 menunjukkan bahwa

walaupun usahatani jagung memperoleh profitabilitas privat di atas normal (D >

0) yaitu 2.39 persen. Namun jika dibandingkan komoditi kompetitor utamanya,

yaitu padi terlihat bahwa profitabilitas privat usahatani jagung menunjukkan

nilai yang lebih rendah dibandingkan profitabilitas privat usahatani padi. Selain

itu berdasarkan analisis finansial dan ekonomi pada Lampiran 4 terlihat bahwa

secara finansial usahatani padi memiliki RC-ratio (tingkat kelayakan usaha) jauh

lebih besar dibanding usahatani jagung (1.39), namun secara ekonomi tidak

begitu nyata perbedaannya (1.37).

Profitabilitas privat (finansial) adalah selisih penerimaan dan biaya total

dengan dasar perhitungan harga output yang diterima dan harga input yang

dibayar petani produsen. Total biaya telah mencakup nilai sewa lahan dan sewa

tenaga kerja dalam keluarga. Pada kondisi aplikasi teknologi aktual, kinerja

usahatani, pada tingkat harga yang dibayar dan diterima petani, dan kebijakan

yang sedang berjalan nampak bahwa usahatani jagung belum memberikan


66

keuntungan pada petani produsen secara individual (privat) dibandingan

usahatani padi (Tabel 15).

Profitabilitas sosial mengindikasikan keunggulan komparatif suatu

komoditas dalam pemanfaatan sumberdaya yang langka di dalam negeri. Pada

kondisi ini harga input dan output diperhitungkan dalam kondisi persaingan

sempurna, dimana segala bentuk subsidi dan proteksi yang bersifat mendistorsi

pasar telah dihilangkan. Sistem komoditas dengan tingkat profitabilitas sosial

(ekonomi) yang makin tinggi maka menunjukkan tingkat keunggulan komparatif

yang semakin besar. Tabel 15 memperlihatkan bahwa usahatani jagung memiliki

profitabilitas sosial yang tinggi (24 persen), dimana tidak berbeda secara

signifikan dengan profitabilitas sosial usahatani padi (25 persen). Hasil ini

merupakan indikasi awal bahwa usahatani jagung di Kabupaten Bolaang

Mongondow memiliki keunggulan komparatif.

Tabel 15. Hasil Analisis Policy Analysis Matrix Usahatani Jagung dan Padi di
Kabupaten Bolaang Mongondow (Rp)
Faktor Domestik/ non
tradable
No Uraian Revenue Input Tradable Profit
Lahan &
Tenaga Kerja
Modal
1. Jagung:
a.Privat 9 160 790.63 2 135 557.29 4 560 657 2 245 650 218 926
b.Sosial 12 176 832.45 3 355 376.11 3 962 836 1 812 683 3 045 938
c.Divergensi -3 016 041.83 -1 219 818.82 597 821 432 968 -2 827 011
2. Padi :
a.Privat 13 705 580.09 1 268 151.97 5 434 977 3 132 345 3 870 106
b.Sosial 12 761 551.72 2 053 674.92 4 706 137 2 555 173 3 446 567
c.Divergensi 944 028.37 -785 522.96 728 840 577 172 423 539

Profitabilitas privat (finansial) usahatani jagung yang rendah merupakan

indikasi awal rendahnya keunggulan kompetitif usahatani jagung. Komoditas ini

akan mengalami hambatan dalam pengembangannya karena komoditas


67

kompetitornya yaitu padi ternyata memiliki daya saing lebih tinggi secara

finansial atau lebih kompetitif.

Terlihat pada Tabel 15 profitabilitas privat usahatani jagung lebih kecil

dibanding profitabilitas sosialnya. Perbedaan ini terjadi diduga karena adanya

praktek monopsoni di lokasi penelitian. Kenyataan di lapangan menunjukkan

bahwa adanya ketergantungan para petani pada pedagang pengumpul desa atau

dengan kata lain para pedagang pengumpul di masing-masing desa penelitian

menjadi satu-satunya pembeli hasil panen dan tempat bergantung petani untuk

aspek keuangan serta pengadaan input. Sehingga para pedagang pengumpul

tersebut memiliki kekuatan dalam mengendalikan pasar input dan output,

akibatnya harga jual input menjadi tinggi sementara harga beli output justru

ditekan.

Pearson et al. (2005) mengemukakan bahwa salah satu penyebab

terjadinya divergensi adalah kegagalan pasar. Pasar dikatakan gagal apabila

tidak mampu menciptakan harga yang kompetitif serta menciptakan alokasi

sumberdaya maupun produk yang efisien. Terdapat tiga jenis kegagalan pasar

yang menyebabkan divergensi, yaitu: (1) monopoli (penjual yang menguasai

harga pasar) atau monopsoni (pembeli menguasai harga pasar), (2) eksternalitas

negatif yaitu biaya, dimana pihak yang menimbulkan terjadinya biaya tersebut

tidak bisa dibebani biaya yang ditimbulkannya atau eksternalitas positif yaitu

manfaat, dimana pihak yang menimbulkan manfaat tersebut tidak bisa menerima

kompensasi atau imbalan atas manfaat yang ditimbulkannya), dan (3) pasar

faktor domestik yang tidak sempurna, dimana tidak adanya lembaga yang dapat

memberikan pelayanan yang kompetitif serta informasi yang lengkap.


68

Penyebab kedua terjadinya divergensi adalah kebijakan pemerintah yang

distorsif. Penerapan kebijakan distorsif untuk mencapai tujuan yang bersifat

non-efisiensi (pemerataan atau ketahanan pangan), akan menghambat terjadinya

alokasi sumberdaya yang efisien dan dengan sendirinya akan menimbukan

divergensi. Misalnya, tarif impor beras yang diterapkan untuk meningkatkan

pendapatan petani (tujuan pemerataan) dan meningkatkan produksi beras dalam

negeri (tujuan ketahanan pangan), namun dilain pihak akan menimbulkan

kerugian efisiensi bila harga beras impor yang digantikannya ternyata lebih

murah dari biaya domestik yang digunakan untuk memproduksi beras dalam

negeri, sehingga akan timbul trade-offs (Pearson et al. 2005). Pengambil

kebijakan harus memberikan bobot tertentu pada masing-masing tujuan yang

saling bertentangan tersebut untuk menentukan apakah kebijakan tarif impor

perlu diterapkan atau tidak.

Secara teori, kebijakan yang paling efisien dapat dicapai jika pemerintah

mampu menciptakan kebijakan yang mampu menghapuskan kegagalan pasar dan

jika pemerintah mampu mengabaikan tujuan non-efisiensi serta menghapuskan

kebijakan yang distorsif. Apabila tindakan menciptakan kebijakan yang efisien dan

menghilangkan kebijakan yang distorsif tersebut mampu dilaksanakan, maka

divergensi dapat dihilangkan dan efek divergensi (nilai-nilai divergensi pada Tabel

15) akan menjadi nol. Pada kondisi seperti itu, nilai-nilai pada bagian privat (baris

pertama tabel PAM) akan sama dengan nilai pada bagian sosial (baris kedua tabel

PAM) atau dengan kata lain pendapatan (revenue), biaya dan profitabilitas privat

akan sama dengan pendapatan, biaya dan profitabilitas sosial.


69

5.6. Keunggulan Komparatif dan Kompetitif

Tabel 16 memperlihatkan nilai PCR dan DRCR dari usahatani jagung

berdasarkan analisis PAM dan sebagai pembanding diperlihatkan juga nilai PCR

dan DRCR dari usahatani padi di Kabupaten Bolaang Mongondow.

Tabel 16. Hasil Perhitungan Private Cost Ratio dan Domestic Resource Cost
Ratio Usahatani jagung dan padi di Kabupaten Bolaang Mongondow
Private Cost Ratio Domestic Resource
No. Usahatani (PCR) Cost Ratio (DRCR)
1. Jagung 0.97 0.65

2. Padi 0.69 0.68

Nilai PCR usahatani jagung seperti pada Tabel 16 tersebut, menunjukkan

bahwa usahatani jagung di Kabupaten Bolaang Mongondow selang satu tahun

terakhir dikategorikan sedikit memiliki keunggulan kompetitif karena nilai PCR <

1. Jika dibandingkan dengan nilai PCR usahatani padi maka dapat

dikemukakan bahwa usahatani padi di Kabupaten Bolaang Mongondow lebih

kompetitif dibanding usahatani jagung. Dengan kata lain, untuk meningkatkan

nilai tambah output sebesar satu satuan pada harga privat maka usahatani padi di

Kabupaten Bolaang Mongondow hanya memerlukan tambahan biaya faktor

domestik sebesar 0.69 atau kurang dari satu satuan. Memang jika dibandingkan

dengan nilai PCR usahatani jagung juga berada pada posisi kurang dari satu

satuan, yaitu 0.97 namun masih lebih besar memerlukan tambahan biaya faktor

domestik dibandingkan pada usahatani padi.

Dengan nilai PCR yang hanya 0.97 maka usahatani jagung memiliki

kemampuan terbatas dalam membiayai faktor domestik. Atau dengan kata lain

bahwa terdapat kecenderungan pembengkakan biaya produksi atau tidak


70

tertutupnya biaya produksi jika harga output pada tingkat harga privat jatuh (turun).

Sehingga disarankan agar pemerintah dapat memberikan kebijakan proteksi output

dengan mensubsidi harga output domestik sehingga mendongkrak naiknya harga

output domestik dibanding harga efisiensinya (harga dunia). Berhubungan dengan

hal tersebut, berdasarkan hasil perhitungan output transfer pada Lampiran 5

diperoleh hasil sebesar Rp. –3 016 041.83 yang menunjukkan bahwa petani sebagai

produsen menerima harga output lebih rendah dari harga dunia yang pada tahun

2008 berada pada kisaran Rp. 2 600 sampai dengan 2 900 per kg (lihat pembahasan

lebih lanjut pada sub bab 5.7.1). Hal ini sesuai dengan data hasil wawancara di

lapangan yang menunjukkan bahwa harga jual tertinggi produk jagung petani di

lokasi penelitian pada satu tahun terakhir (dua musim tanam) hanya rata-rata Rp. 2

138 per kg dan terendah Rp. 1 455 per kg atau berada pada kisaran Rp. 1 000

sampai dengan 2 300 per kg.

Nilai DRCR usahatani jagung sebesar 0.65 (Tabel 15) menunjukkan

bahwa usahatani ini memiliki keunggulan komparatif. Nilai tersebut berarti

bahwa untuk memproduksi jagung di Kabupaten Bolaang Mongondow hanya

membutuhkan biaya sumberdaya domestik sebesar 65 persen terhadap biaya

impor yang dibutuhkan. Dengan kata lain, setiap US $ 1.00 yang dibutuhkan

untuk mengimpor produk tersebut, hanya membutuhkan biaya domestik sebesar

US $ 0.65, artinya untuk memenuhi kebutuhan domestik, maka komoditas

jagung sebaiknya di produksi sendiri di Bolaang Mongondow dan tidak perlu

didatangkan atau diimpor dari daerah atau negara lain. Demikian halnya dengan

usahatani padi yang memiliki nilai DRC sebesar 0.68, artinya bahwa untuk

memproduksi padi (beras) di Kabupaten Bolaang Mongondow hanya


71

membutuhkan biaya sumberdaya domestik sebesar 68 persen atau cukup

menghemat devisa jika memproduksinya di wilayah tersebut dibanding

mengimpornya.

Sebagai komoditas kompetitor utama jagung di Kabupaten Bolaang

Mongondow terlihat bahwa komoditas padi lebih memiliki daya saing dibanding

jagung. Hal ini tidak mengherankan karena tanaman padi merupakan tanaman

pangan utama yang keberadaannya sudah sejak lama diperhatikan dan dipacu

produksi serta dikontrol harganya oleh pemerintah, dimana secara nasional sejak

dimulainya program Pra Bimas tahun 1952 dan di Propinsi Sulawesi Utara sendiri

sejak adanya program transmigrasi dari Pulau Jawa dan Bali pada awal 1970-an.

Hasil penelitian BPTP Sulut pada tahun 1999 menunjukkan bahwa komoditi

jagung di Kabupaten Bolaang Mongondow memiliki nilai DRCR sebesar 0.53. Jika

dibandingkan dengan hasil penelitian ini, maka dapat dikemukakan bahwa usahatani

jagung di Kabupaten Bolaang Mongondow telah mengalami penurunan keunggulan

komparatif. Diduga hal ini terjadi karena faktor sumberdaya lahan yang semakin

berkurang akibat konversi lahan, kenaikan harga-harga input tradable dan faktor

domestik serta tidak menentunya harga jual jagung hasil panen petani. Kurangnya

proteksi pemerintah terhadap hasil jagung petani, semakin memperparah kondisi

usahatani jagung di Bolaang Mongondow khususnya dan Sulawesi Utara pada

umumnya. Akibat yang sangat jelas terlihat pada produksi jagung Sulut yang tidak

bisa memenuhi ketentuan kuantitas stok dan kontuinitasnya, dimana para buyers

menargetkan pembelian hingga 2000 ton sampai tahun 2009, namun belum mampu

dipenuhi sehingga jagung Sulut tidak diminati buyers, hal ini jelas sangat

mempengaruhi pada tingkat daya saing


72

komoditi jagung Sulawesi Utara (http://www.news.roll.co.id/komoditas/23274-

komoditi-jagung-kurang-diminati-buyershtml, 2009).

Khadijah (2002) mengemukakan bahwa produk pertanian Indonesia masih

kalah bersaing dari sisi harga dibanding dengan negara lain. Di negara-negara barat

sistem pertanian sudah sangat efisien dengan produktivitas yang tinggi sehingga

mampu menjual dengan harga murah. Sedangkan Indonesia produktivitasnya masih

rendah. Dengan adanya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada produk pertanian

maka harga produk pertanian akan bertambah mahal yang mengakibatkan daya

saing produk tersebut semakin menurun. Ketika daya saing produk menjadi rendah

maka yang dihadapi bukan saja pasar internasional, tetapi juga pasar lokal yang

diserbu produk impor. Bisa dibayangkan dampak buruknya adalah stagnasi

pertanian lokal. Ketika pertanian dalam negeri sudah tidak berdaya maka akan

terjadi ketergantungan terhadap produk pertanian impor.

Hasil kajian Khadijah (2002) tersebut ternyata relevan dengan kenyataan

di Bolaang Mongondow. Berdasarkan temuan di lapangan menunjukkan bahwa

pemberlakuan pajak retribusi komoditi pertanian oleh pemerintah Kabupaten

justru menurunkan tingkat daya saing komoditi jagung Bolmong (lihat Tabel 18

halaman 76). Harga jual jagung di tingkat petani menjadi rendah, dimana pada

Musim Tanam (MT) I tahun 2008 rata-rata petani masih bisa merasakan harga

sampai Rp. 2 300 per kg, namun pada MT II rata-rata harga jual hanya berkisar

Rp. 1 400 – 2 000 per kg. Di lain pihak para pedagang kemudian menjual hasil

panen petani tersebut dengan harga tinggi. Diperoleh informasi bahwa harga

jagung di pasar tradisional saja pada Bulan Pebruari 2009 rata-rata sudah sebesar

Rp. 2 500 per kg.


73

Berdasarkan hal tersebut, maka sangat perlu bagi pemerintah daerah

merumuskan kebijakan yang lebih operasional sehingga dapat mengangkat

kembali tingkat daya saing jagung di Bolaang Mongondow. Kebijakan-

kebijakan tersebut antara lain :

1. Menghilangkan atau mengurangi distorsi pasar baik pada pasar input

maupun pada pasar output, seperti pajak/ retribusi komoditi, mengontrol

harga pembelian, dan lain-lain.

2. Mengefektifkan program-program penelitian yang bersifat terapan untuk inovasi

teknologi usahatani sehingga langsung bisa dirasakan manfaatnya oleh para

petani serta terjangkau dengan anggaran usahatani yang dimiliki petani.

3. Menyediakan sarana dan prasarana yang dapat meningkatkan aksesibilitas

sentra-sentra produksi terhadap pasar input maupun output, seperti

pembentukan pasar lelang komoditi yang bersifat berkesinambungan.

5.7. Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah

Ukuran dampak divergensi dan kebijaksanaan pemerintah dalam Policy

Analysis Matrix adalah Output Transfer (OT), Input Transfer (IT), Factor Transfer

(FT) dan Net Transfer (NT). Ukuran relatif ditunjukan oleh analisis koefisien

proteksi output nominal atau Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO),

koefisien proteksi input nominal atau Nominal Protection Coefficient on Input

(NPCI), koefisien proteksi efektif atau Effectif Protection Coeficient (EPC).

Koefisien profitabilitas atau Profitability Coeficient (PC) dan rasio subsidi bagi

produsen atau Subsidy Ratio to Producer (SRP) (Saptana et al. 2008).


74

5.7.1. Kebijakan Output

Hasil Output Transfer (OT) usahatani jagung pada Tabel 17

menunjukkan nilai yang negatif, artinya bahwa harga output di pasar domestik

lebih rendah dibandingkan harga internasionalnya. Lebih lanjut, hal ini

mengindikasikan adanya kebijakan pajak atau pungutan terhadap output yang

dibebankan kepada petani produsen secara tidak langsung. Hal ini sesuai dengan

fakta di lapangan bahwa pemerintah kabupaten menerapkan peraturan retribusi

terhadap beberapa komoditas pertanian termasuk jagung (Tabel 18), dimana

sebenarnya biaya retribusi tersebut dibebankan pada para pedagang pengumpul,

namun secara tidak langsung justru yang menanggung adalah petani karena para

pedagang membeli hasil jagung petani lebih murah (Rp. 1000 – 2300 per kg)

dibanding harga jual kembali (diatas Rp. 2500 per kg). Hal ini dilakukan dengan

harapan dapat menutupi biaya retribusi yang akan dikeluarkan nanti pada saat

pengangkutan keluar wilayah kabupaten.

Tabel 17. Output Transfer dan Nominal Protection Coeficient on Output


Usahatani Jagung dan Padi di Kabupaten Bolaang Mongondow

Usahatani OT NPCO

Jagung Rp. -3 016 041.83 0.75

Padi Rp. 944 028.37 1.07

Hasil OT didukung pula oleh nilai Nominal Protection Coefficient on Output

(NPCO) yang merupakan rasio untuk mengukur output transfer. Nilai NPCO pada

Tabel 17 berarti bahwa karena adanya kebijakan retribusi pajak terhadap komoditi

jagung Bolmong, maka nilai total output 25 persen lebih rendah dari nilai (harga)

efisiensinya (harga internasional). Lebih lanjut lagi, nilai NPCO


75

usahatani jagung menunjukkan bahwa kebijakan daerah mengenai usahatani

jagung bersifat disinsentif terhadap output. Artinya tidak ada bantuan ataupun

intervensi pemerintah baik melalui subsidi harga pembelian maupun proteksi

atau pengendalian harga beli aktual, terhadap hasil jagung petani tersebut.

Hal ini menyebabkan tingkat permainan harga relatif tinggi, sebab para

pedagang pengumpul mampu mempermainkan harga sementara masing-masing

petani tidak punya pilihan lain karena terdesak kebutuhan, utang dan terutama

belum adanya acuan harga yang baku dari pemerintah terhadap pembelian hasil

jagung mereka.

Fenomena yang terjadi pada usahatani jagung ini sangat berbeda dengan

kondisi usahatani padi, dimana dengan hasil OT dan NPCO pada Tabel 17

menunjukkan adanya kebijakan yang bersifat protektif terhadap harga output

domestik, sehingga petani bisa menerima harga output yang lebih tinggi. Atau

dengan kata lain bahwa karena adanya kebijakan tarif impor beras maka nilai

total output 7 persen lebih tinggi dari nilai yang seharusnya, yaitu jika tidak ada

kebijakan tarif impor (distrosi dihilangkan).

Hasil penelitian Anapu et al. (2005) mengenai dampak kebijakan tarif impor

beras di Kabupaten Minahasa Propinsi Sulawesi Utara, mendukung hasil OT dan

NPCO usahatani padi (beras) dalam penelitian ini. Anapu et al. (2005)

mengemukakan bahwa kebijakan tarif impor beras dapat memproteksi sistem

usahatani padi di Minahasa (padi tadah hujan – irigasi semi teknis luas lahan < 0.5

ha, padi tadah hujan – irigasi semi teknis luas lahan 0.5 – 1 ha, dan padi tadah hujan

– irigasi semi teknis dengan luas lahan > 1.0 ha. Diperoleh hasil rata-rata divergensi

output adalah 39 persen, dimana 30 persen diantaranya bersumber dari


76

kebijakan tarif impor. Tanpa adanya proteksi, maka keuntungan privat akan

negatif.

Tabel 18. Retribusi Distribusi Komoditi Kabupaten Bolaang Mongondow sesuai


Peraturan Daerah Nomor 23 Tahun 2001
No. Jenis Quantum (kg) Besaran Tarif (Rp)
1. Cengkih 100 50 000
2. Vanili kering 100 50 000
3. Vanili basah 100 25 000
4. Biji pala 100 25 000
5. Fuli 100 40 000
6. Jagung 100 5 000
7. Kedele 100 5 000
8. Beras 100 5 000
9. Kentang 100 5 000
10. Sayur 100 5 000
11. Coklat 100 10 000
12. Kopi biji 100 5 000
13. Kopra 100 10 000
14. Telur ayam 100 5 000
15. Ayam daging 100 20 000
Sumber: Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kab. Bolaang Mongondow (2009)

Kebijakan yang bersifat protektif terhadap harga output beras tersebut

sejalan dengan kebijakan pemerintah yang menetapkan harga pembelian pemerintah

terhadap beras pada tahun 2009 ini sebesar Rp.4 600 per kg. Selain itu beras sebagai

makanan pokok utama masih memiliki nilai jual yang lebih tinggi di pasar lokal

dibanding jagung, yaitu pada kisaran Rp. 5 000 – 7 000 per kg. Hal ini berbeda

dengan harga jagung pipilan yang belum pernah menembus Rp. 4 000 per kg

(kondisi Bolaang Mongondow). Walaupun diakui bahwa komoditi jagung ini


77

berpeluang ekspor, namun dengan adanya berbagai macam retribusi terhadap

komoditi pertanian (Tabel 18), menjadi salah satu penyebab tetap rendahnya

pendapatan petani produsen dari usahatani jagung ini secara finansial (privat).

Berhubungan dengan masalah tarif tersebut, hasil penelitian Hadi dan

Wiryono (2005) mengenai usahatani padi menunjukkan bahwa skenario

penghapusan tarif impor baik yang eksplisit maupun implisit akan menyebabkan

keuntungan usahatani padi menurun sekitar Rp. 827 ribu sampai dengan Rp. 1.46

juta atau rata-rata Rp. 1.19 juta per hektar per musim atau menurun sekitar 40.41

persen sampai dengan 111.37 persen atau rata-rata 53.48 persen. Sedangkan

skenario mempertahankan seluruh tarif implisit (Rp.117.4 per kg) dan menghapus

seluruh tarif eksplisit (Rp. 430 per kg) akan menyebabkan keuntungan petani

menurun sekitar Rp. 650 ribu sampai dengan Rp. 1.06 juta atau rata-rata Rp. 933

ribu per hektar per musim atau menurun sekitar 31.76 persen sampai dengan 87.53

persen atau rata-rata 42.03 persen. Sementara skenario penghapusan seluruh tarif

implisit dan mempertahankan seluruh tarif eksplisit akan menyebabkan keuntungan

petani menurun sekitar Rp. 177 ribu sampai dengan Rp. 314 ribu atau rata-rata Rp.

255 ribu per hektar per musim atau menurun sekitar 8.67 persen sampai dengan

23.89 persen atau rata-rata 11.47 persen. Terlihat bahwa dampak skenario kebijakan

non tarif lebih ringan daripada skenario kebijakan tarif.

Hadi dan Wiryono (2005) menyimpulkan bahwa kebijakan proteksi yang

merupakan kombinasi tarif dan non tarif berhasil meningkatkan harga produsen,

jumlah produksi, surplus produsen dan pendapatan petani serta menurunkan

jumlah impor beras secara signifikan. Kebijakan nontarif mempunyai efek lebih

besar daripada kebijakan tarif. Namun tidak berarti bahwa salah satu kebijakan
78

dapat dihilangkan karena keduanya saling memperkuat. Jika salah satu kebijakan

tersebut dihapus, apalagi keduanya, maka dikhawatirkan akan menyebabkan

usahatani padi hancur sehingga tingkat ketergantungan Indonesia pada pasar

dunia yang tipis akan makin besar. Kebijakan tarif saja atau kebijakan nontarif

saja tampaknya tidak cukup untuk melindungi pertanian padi nasional.

Apalagi dengan penerapan kesepakatan WTO saat ini yang mengharuskan

setiap negara anggota untuk membuka pasar yang berdampak pada terjadinya

fenomena banjir impor (import surge). Ironisnya justru banjir impor terjadi pada

produk-produk bahan pangan, sehingga hal ini dapat merupakan suatu indikator

ancaman (faktor ancaman) terhadap keberlanjutan ketahanan pangan nasional.

Dampak jangka panjangnya adalah ketergantungan pada bahan pangan impor atau

anjloknya kemandirian pangan (Simatupang, 2004).

5.7.2. Kebijakan Input

Secara keseluruhan hasil perhitungan Input Transfer (IT), Nominal

Protection Coefficient on Output (NPCO) dan Factor Transfer (FT) pada Tabel

19 menunjukkan adanya kebijakan yang bersifat protektif terhadap produsen

input tradable dan faktor domestik (non tradable) baik pada usahatani jagung

maupun usahatani padi. Bentuk kebijakan tersebut biasanya diwujudkan lewat

pemberian subsidi (insentif) baik terhadap proses produksi maupun terhadap

produk akhir. Hal ini sebenarnya dilakukan dengan harapan agar para petani

sebagai pengguna (konsumen) dapat menerima harga input yang lebih rendah

sehingga dapat menekan biaya produksi usahataninya, namun kenyataan di

lapangan jauh berbeda dengan harapan dan sasaran dari program kebijakan ini.
79

Berdasarkan hasil IT usahatani jagung dan padi pada Tabel 19 menunjukkan

nilai yang negatif. Artinya bahwa secara implisit terdapat subsidi terhadap input

tradable (dalam hal ini pupuk) yang harus disediakan pemerintah setiap tahunnya.

Pengertian lain bahwa terdapat transfer (insentif) dari produsen pupuk ke petani.

Sedangkan NPCI yang merupakan rasio untuk mengukur tingkat input transfer

menunjukkan bahwa karena adanya subsidi terutama pada pupuk maka total biaya

input sebesar 64 persen dari biaya seharusnya untuk usahatani jagung dan 62 persen

untuk usahatani padi, yaitu jika subsidi ditiadakan.

Tabel 19. Input Transfer, Nominal Protection Coeficient on Input dan Factor
Transfer Usahatani Jagung dan Padi di Kabupaten Bolaang
Mongondow

Usahatani IT NPCI FT

Jagung Rp. -1 219 818.82 0.64 Rp. 1 030 788.26

Padi Rp. -785 522.96 0.62 Rp. 1 306 012.31

Nilai FT pada Tabel 19 menunjukkan bahwa secara implisit subsidi yang

harus disediakan terhadap faktor domestik (tenaga kerja, modal dan lahan) pada

dua musim tanam sebesar Rp. 1 030 788.26 untuk usahatani jagung dan Rp. 1

306 012.31 untuk usahatani padi.

Kondisi yang penulis temukan di lapangan, menunjukkan bahwa para petani

setempat umumnya hanya menggunakan dua jenis pupuk dalam usahataninya yaitu

urea dan phonska. Kedua pupuk ini merupakan pupuk bersubsidi dengan Harga

Eceran Tertinggi Pemerintah (HET) sampai ke Lini IV (kecamatan) masing-masing

sebesar Rp. 1 200 per dan Rp. 1 750 per kg. Namun pada kenyataannya harga pupuk

bersubsidi di lokasi penelitian justru lebih mahal


80

dibandingkan HET. Untuk lebih memperjelas hal ini, Tabel 20 memperlihatkan

harga jual pupuk yang berlaku pada lima lokasi penelitian di wilayah Kabupaten

Bolaang Mongondow.

Tabel 20. Rata-Rata Harga Beli Pupuk “Bersubsidi” pada Lima Lokasi
Penelitian di Kabupaten Bolaang Mongondow
Harga Pupuk di Lokasi Penelitian (Rp/kg)
No. Jenis Pupuk Bolaang
Poigar Bolaang Lolayan Lolak
Timur
1. Urea 1 463 1 373 1 571 1 433 1 592

2. Phonska 2 641 2 306 2 890 2 181 2 583

Fenomena tersebut jelas memperlihatkan tidak operasionalnya kebijakan

subsidi pupuk yang diterapkan pemerintah selama ini. Oleh karena itu, perlu

adanya alternatif kebijakan untuk mengatasi hal ini, misalnya dengan pengalihan

subsidi dari subsidi gas untuk proses produksi pupuk menjadi subsidi distribusi

atau transportasi ke petani yang bisa menekan biaya transportasi dan bisa

berakibat langsung pada stabilisasi harga pupuk di tingkat petani.

Darwis dan Nurmanaf (2004) dalam kajiannya mengemukakan bahwa

beberapa kebijakan strategis yang perlu dipertimbangkan pemerintah menyangkut

masalah pupuk di tingkat usahatani, yaitu: (1) rasionalisasi penggunaan pupuk di

tingkat petani, (2) rekomendasi pupuk berdasarkan atas analisis tanah spesifik

lokasi, (3) peningkatan efektivitas penggunaan pupuk anorganik yang dikomplemen

dengan pemanfaatan pupuk organik, (4) perbaikan pelaksanaan standarisasi dan

sertifikasi pupuk, dan (5) pelaksanaan kebijakan ekspor dan impor pupuk yang

kondusif bagi kontinuitas dan harga pupuk di tingkat petani.

Menyangkut masalah subsidi pupuk, Syafa’at et al. (2007) dalam kajiannya

mengemukakan bahwa terdapat kekuatan dan kelemahan subsidi pupuk


81

langsung ke produsen pupuk ataupun ke petani. Dikemukakan bahwa kekuatan

modus subsidi langsung ke produsen pupuk, yaitu:

1. Pengelolaan subsidi relatif mudah. Hal ini karena pemerintah hanya perlu

berhubungan dengan beberapa produsen pupuk saja, yaitu Pupuk Iskandar

Muda (PIM), Pupuk Sriwijaya (PUSRI), Pupuk Kujang Cikampek (PKC),

Petro Kimia Gresik (PKG), dan Pupuk Kalimantan Timur (PKT)

2. Tidak diperlukan identifikasi petani penerima subsidi. Hal ini karena

pengecer resmi (lini IV) dapat menjual pupuk bersubsidi kepada siapa saja

baik petani yang berhak maupun bukan. Namun sesuai kondisi lapangan

pada saat penelitian, hal ini justru menjadi kelemahan modus subsidi

langsung ke produsen. Sebab hal ini mengakibatkan kelangkaan pupuk atau

naiknya harga pupuk di tingkat petani. Kenyataan di lapangan menunjukkan

bahwa umumnya petani membeli pupuk pada toko atau pedagang pengumpul

desa dengan harga tinggi, artinya pupuk bersubsidi justru dijual ke pedagang

pengumpul karena terdapat kebebasan distributor di lini IV (tingkat

kecamatan) untuk menjual pupuk bersubsidi kepada siapapun.

3. Efektivitas dalam meningkatkan daya beli petani untuk membeli pupuk relatif

tinggi. Hal ini berlaku dengan syarat apabila efektivitas HET terjamin.

Adapun kelemahan subsidi harga pupuk langsung ke produsen pupuk menurut

Syafa’at et al. (2007), yaitu:

1. Harga pupuk terasa relatif murah. Hal ini karena Harga Eceran Tertinggi (HET)

jauh lebih rendah daripada harga pasar bebas. Akibatnya, petani cenderung

melebihi dosis dalam penggunaan pupuk. Namun dalam penelitian ini

menunjukkan bahwa harga pupuk di tingkat petani lebih mahal daripada


82

HET pemerintah. Artinya ada kelemahan dalam pola distribusi pupuk, entah

di lini I – II ataukah di lini III – IV. Malahan sebagian petani terpaksa tidak

memupuk lahan pertaniannya karena ketiadaan biaya untuk membeli pupuk

dan kalaupun ada kemampuan membeli pupuk, jumlah pupuk yang tersedia

justru terbatas, sehingga pemupukan dilakukan tidak sesuai anjuran

pemupukan berimbang.

2. Terjadi dualisme pasar pupuk domestik, yaitu pasar pupuk dengan harga

bersubsidi dan pasar pupuk dengan harga tidak bersubsidi. Hal ini membuka

peluang terjadinya aliran pupuk dari pasar bersubsidi ke pasar non subsidi

yang memicu terjadinya langka pasok.

Selanjutnya Syafa’at et al. (2007) mengemukakan terdapat pula kekuatan

dan kelemahan jika subsidi harga pupuk diberikan langsung ke petani, yaitu:

Kekuatan :

1. Harga pupuk terasa relatif mahal. Hal ini karena harga pupuk yang dibayar

petani adalah harga pasar bebas. Akibatnya, petani cenderung tidak

overdosis dalam penggunaan pupuk.

2. Dualisme pasar pupuk domestik, yaitu pasar pupuk dengan harga bersubsidi

dan pasar pupuk dengan harga tidak bersubsidi, tidak terjadi. Hal ini karena

hanya ada satu harga pupuk yang berlaku di pasar yaitu harga pasar itu

sendiri. Dalam hubungan ini petani penerima subsidi membeli pupuk dengan

harga pasar.

3. Ketepatan subsidi mencapai sasaran adalah relatif tinggi. Hal ini karena petani

penerima subsidi telah melalui seleksi dengan sejumlah kriteria tertentu. Potensi

mark-up dana subsidi adalah relatif sulit. Hal ini karena besarnya dana
83

subsidi yang dapat di-claim oleh produsen pupuk harus sesuai dengan jumlah

kupon (voucher) yang telah digunakan untuk membeli pupuk bersubsidi

tingkat pengecer resmi.

Kelemahan :

1. Pengelolaan subsidi adalah relatif sulit. Hal ini karena pemerintah perlu

berhubungan dengan puluhan juta petani.

2. Diperlukan identifikasi petani penerima subsidi. Hal ini sudah barang tentu

membutuhkan dana yang tidak kecil khususnya pada tahun pertama

diterapkannya modus bersangkutan.

3. Dibutuhkan dana relatif besar untuk mencetak dan mendistribusikan kupon

(voucher). Dana ini harus tersedia setiap tahun selama modus tersebut

diterapkan.

4. Potensi konflik antara petani dan petugas lapangan relatif tinggi. Hal ini karena

walaupun petani penerima subsidi telah melalui seleksi dengan kriteria tertentu

namun tetap terbuka peluang ada petani yang tidak menerima subsidi meskipun

mereka berhak berdasarkan kriteria yang berlaku.

5. Efektivitas dalam meningkatkan daya beli petani untuk membeli pupuk relatif

rendah. Hal ini berlaku dengan syarat apabila terjadi jual beli kupon (voucher)

guna dibelikan kebutuhan pokok sehari-hari seperti beras, minyak tanah, dsb.

Fenomena semacam itu sangat mungkin terjadi dalam kondisi daya beli

masyarakat yang rendah. Karena kupon (voucher) dijual untuk mendapatkan

uang tunai guna membeli makanan maka anggaran petani untuk membeli

makanan membengkak (naik) sedangkan anggaran petani untuk membeli pupuk

tetap atau mungkin turun. Ini berarti daya beli petani untuk membeli
84

makanan meningkat, sedangkan daya beli petani untuk membeli pupuk

adalah tetap. Karena daya beli petani untuk membeli pupuk adalah tetap

maka jumlah pupuk yang sanggup dibeli petani tidak berubah. Akibatnya,

kuantitas produksi yang diperoleh juga tetap. Dengan demikian pemberian

subsidi harga pupuk yang dimaksudkan oleh pemerintah agar petani mampu

meningkatkan penggunaan pupuk dan sekaligus meningkatkan kuantitas

produksi menjadi sia-sia.

Nugroho (2009) dalam kajiannya mengemukakan bahwa pemerintah

menetapkan HET dan memberikan subsidi untuk mendukung kebijakan pangan

murah. Namun pencapaian tujuan ini menimbulkan efek samping negatif sebagai

berikut:

1. Transfer pendapatan dari pembayar pajak kepada pekerja pabrik pupuk dan

produsen pengguna pupuk bersubsidi (tidak selalu petani tanaman pangan,

namun juga pengusaha perkebunan yang secara ilegal membeli pupuk

bersubsidi). Dengan HET Rp. 1 200, masyarakat harus mensubsidi paling

sedikit Rp. 2 800 per kg urea produksi PT. Pupuk Kaltim. Sementara untuk

pupuk urea produksi tiga perusahaan lainnya (PT. Pusri, PT. Petrokimia, PT.

Pupuk Kujang), masyarakat mensubsidi paling sedikit Rp. 900 per kg urea.

2. Inefisiensi penggunaan pupuk urea. Petani yang mengejar peningkatan

produksi akan menggunakan pupuk urea melebihi takaran efisien. Dampak

jangka panjangnya adalah penurunan kualitas hara tanah yang justru semakin

mendorong petani untuk menggunakan pupuk lebih banyak lagi.


85

3. Tidak menariknya penggunaan pupuk organik karena pupuk urea cukup

murah dan jauh lebih praktis. Padahal pupuk organik lebih aman bagi

kesehatan dan lingkungan.

5.7.3. Kebijakan Input-Output

Secara keseluruhan hasil perhitungan Effective Protection Coefficient

(EPC), Net Transfer (NT), Profitability Coeficient (PC) dan Subsidy Ratio to

Producers (SRP) pada Tabel 21 menunjukkan belum adanya keberpihakan

pemerintah terhadap usahatani jagung dan para petani jagung karena tingkat

proteksi yang rendah terhadap hasil jagung petani, dimana hal ini berdampak

pada pengurangan surplus petani yang sangat merugikan petani kecil.

Secara rinci dapat dikemukakan bahwa nilai PC usahatani jagung sebesar

0.07 menunjukkan bahwa rasio keuntungan usahatani jagung hanya sebesar 7

persen atau dengan NT yang negatif (Rp. -2 827 011) hanya mendatangan rasio

keuntungan sebesar 7 persen terhadap harga privat. Pengertian lain bahwa

terdapat kebijakan pemerintah atau distorsi pasar pada input dan output secara

keseluruhan yang merugikan petani.

Nilai SRP -0.23 menunjukkan bahwa petani produsen mengeluarkan

biaya produksi yang besar. Hal ini mungkin saja tidak akan terjadi seandainya

pemerintah dapat menerapkan kebijakan tarif impor terhadap produk jagung

impor sebesar 23 persen, sehingga dapat meningkatkan harga jual produk

domestik, dampaknya pada peningkatan tingkat penerimaan petani dan

profitabilitas privat.
86

Tabel 21. Effective Protection Coefficient, Net Transfer, Profitability


Coeficient dan Susidy Ratio to Producers Usahatani Jagung dan Padi
di Kabupaten Bolaang Mongondow

Usahatani EPC NT PC SRP


Jagung 0.80 Rp. -2 827 011 0.07 -0.23
Padi 1.16 Rp. 423 539 1.12 0.03

Di lain pihak kebijakan subsidi input justru merugikan petani karena pada

kenyataannya harga subsidi input jarang dirasakan petani sebagai akibatnya

biaya produksi usahataninya menjadi lebih besar, belum lagi ditambah serapan

dan biaya tenaga kerja yang tinggi semakin memperkecil pendapatan petani dari

usahatani jagung ini. Kesimpulannya tingkat proteksi pemerintah yang rendah

terhadap hasil jagung petani menyebabkan sebagian besar kebijakan pemerintah

mengenai usahatani jagung ini berjalan tidak efektif, hal ini ditunjukkan dengan

nilai EPC yang kurang dari satu (Tabel 21).

Suprapto (2006) dalam hasil penelitiannya mengemukakan bahwa komoditas

jagung baik hibrida maupun komposit, menggunakan teknologi rekomendasi

maupun teknologi petani, asalkan komoditas jagung tersebut digunakan untuk

promosi ekspor maka memperoleh proteksi dari pemerintah yang ditandai dengan

nilai EPC > 1. Sedangkan komoditas jagung yang digunakan untuk orientasi

subtitusi impor dan perdagangan antar daerah tidak memperoleh proteksi pada harga

outputnya, namun hanya memperoleh subsidi pada input usahataninya. Sehingga

jika dihubungkan dengan hasil penelitian penulis maka dapat dikemukakan bahwa

komoditas jagung di Bolmong pun harus dipacu agar berorientasi ekspor, berdaya

saing tinggi dengan meningkatkan produksi, memperbaiki kualitas produk melalui

pengembangan teknologi pasca panen serta


87

peningkatan nilai tambah produk (pengembangan produk turunan) agar supaya

kebijakan pemerintah dapat lebih berpihak pada usahatani jagung tersebut.

Fenomena yang terjadi di usahatani jagung, berbeda jauh dengan yang

terjadi pada usahatani padi di Bolaang Mongondow. Berdasarkan Tabel 21 dapat

dikemukakan bahwa dari nilai EPC yang diperoleh menunjukkan adanya

kebijakan yang memproteksi output dan input usahatani padi, artinya harga

domestik diupayakan berada di atas harga efisiensinya (harga dunia) sehingga

diharapkan hal ini dapat menghambat kegiatan ekspor ilegal. Dengan adanya

kebijakan terhadap output dan input ini semakin menambah surplus petani (nilai

NT). Kesimpulannya berdasarkan nilai PC dan SRP maka untuk usahatani padi

keseluruhan kebijakan pemerintah umumnya menguntungkan petani produsen

dan menyebabkan biaya produksi dapat ditekan.

Berdasarkan keseluruhan hasil indikator analisis dampak kebijakan tersebut

menunjukkan keberpihakan pemerintah terhadap usahatani jagung masih rendah jika

dibandingkan dengan usahatani padi. Hal ini tidak mengherankan karena isu

swasembada beras bukan hanya sekedar isu sosial namun juga berpengaruh secara

politis yang berdampak pada stabilitas nasional. Sehingga sejak dulu beras selain

merupakan komoditi pangan pokok, tapi juga dikenal sebaai komoditi politis yang

bisa menentukan kelangsungan hidup suatu pemerintahan di Indonesia. Dugaan

penulis ini semakin diperkuat dengan pernyataan Dirjen Tanaman Pangan

Departemen Pertanian Sutarto Alimuso dalam Sinar Harapan online, yang

menegaskan bahwa Harga Pembelian Pemerintah (HPP) hanya diperlukan untuk

suatu komoditas yang jika HPP tersebut tidak ditetapkan akan dapat menimbulkan

gejolak yang mengganggu stabilitas sosial


88

ekonomi (Sinar Harapan, Sabtu 15 Nopember 2008). Artinya secara tersirat ada

anggapan pemerintah bahwa Harga Pembelian Pemerintah untuk jagung belum

diperlukan, jika dibandingkan dengan beras. Sebab walaupun HPP jagung tidak

ditetapkan, belum akan mengganggu stabilitas sosial ekonomi karena jagung

bukan merupakan bahan pangan utama penduduk Indonesia.

5.8. Analisis Sensitivitas

Breierova and Choudhari (2001) mengemukakan bahwa analisis

sensitivitas digunakan untuk menentukan bagaimana sensitivitas suatu model

untuk suatu perubahan nilai-nilai parameter dari model tersebut, dan untuk

merubah struktur dari model tersebut. Analisis sensitivitas membantu untuk

membangun tingkat kepercayaan terhadap suatu model dengan mempelajari

ketidakpastian yang sering diasosiasikan dengan parameter-parameter dalam

suatu model.

Berdasarkan pengertian dan maksud dilaksanakannya analisis sensitivitas

tersebut, maka dalam penelitian ini pun dilakukan analisis sensitivitas sebanyak 12

skenario variasi perubahan harga pada input (pupuk), tenaga kerja serta output

(harga jual jagung petani). Hal ini dilakukan untuk mencari bentuk kebijakan yang

kira-kira efektif dalam peningkatan keuntungan dan daya saing usahatani jagung di

Bolaang Mongondow. Berdasarkan hasil analisis sensitivitas pada Tabel 22, terlihat

bahwa skenario ke-9 yaitu harga pupuk turun 10 persen dan harga output naik 30

persen merupakan skenario terbaik. Hal ini karena skenario ke-9 menunjukkan

tingkat daya saing (komparatif dan kompetitif) terbaik yang dimiliki oleh usahatani

jagung. Semakin kecil nilai PCR dan DRCR menunjukkan semakin


89

baik tingkat daya saing komoditi usahatani jagung, dimana nilai ini berhubungan

dengan peningkatan profitabilitas baik secara privat maupun sosial.

Tabel 22 menunjukkan bahwa skenario ke-9 memiliki rasio keuntungan

terbesar terhadap hasil penjualan komoditi jagung baik secara privat maupun

sosial, yaitu 25 persen dan 43 persen. Atau dengan kata lain skenario ke-9 dapat

memperoleh keuntungan sebesar 25 persen (privat) dan 43 persen (sosial) dari

sejumlah hasil penjualan output jagung.

Tabel 22. Analisis Sensitivitas Usahatani Jagung di Bolaang Mongondow


Profitabilitas (Rp)
Skenario Perubahan Harga PCR DRCR
Privat Sosial
Output naik 10
1. persen 1 135 005 4 263 621 0.86 0.58
Output naik 20
2. persen 2 051 084 5 481 304 0.77 0.51
Output naik 30
3. persen 2 967 164 6 698 987 0.70 0.46
Pupuk dan output
4. naik 10 persen 1 074 998 4 113 210 0.86 0.58
Pupuk dan output
5. naik 20 persen 1 931 069 5 180 482 0.78 0.53
Pupuk dan output
6. 2 787 140 6 247 755 0.71 0.48
naik 30 persen
Pupuk turun 10
7. persen, output naik 1 195 013 4 414 032 0.85 0.57
10 persen
Pupuk turun 10
8. persen, output naik 2 111 092 5 631 715 0.76 0.51
20 persen
Pupuk turun 10
9. persen, output naik 3 027 171 6 849 398 0.69 0.46
30 persen
Upah TK naik 10
10. persen, output naik 678 940 3 867 337 0.91 0.61
10 persen
Upah TK naik 10
11. persen, output naik 1 447 656 4 937 658 0.84 0.56
20 persen
Upah TK naik 10
12. persen, output naik 2 511 098 6 302 704 0.74 0.49
30 persen
Keterangan : TK = Tenaga Kerja
90

Alternatif kebijakan kedua yang mungkin dapat diambil oleh pemerintah

yaitu menaikkan harga output sebesar 30 persen (skenario ke-3) dengan asumsi

faktor-faktor lain tetap harganya (Tabel 22).

Dalam suatu kegiatan usahatani faktor input pupuk memegang peranan

penting dalam keberhasilan usahatani. Sehingga umumnya pupuk banyak

menyerap biaya produksi suatu usahatani. Namun penurunan harga pupuk belum

merupakan suatu solusi yang final tanpa diiringi dengan pendistribusian yang

tepat waktu serta ketersediaan di lapangan atau dengan kata lain harus benar-

benar mengacu pada 6 tepat distribusi pupuk, yaitu tepat jumlah, jenis, harga,

waktu, tempat dan mutu. Sehingga kelangkaan pupuk yang sering terjadi saat ini

dapat teratasi.

Simatupang (2002) mengemukakan bahwa pada kenyataannya subsidi pupuk

yang diberikan pemerintah bukanlah subsidi pupuk langsung bagi petani, namun

subsidi gas dari pemerintah bagi pabrik-pabrik penghasil pupuk. Padahal harga

pupuk di tingkat petani tidak berkaitan langsung dengan harga pokok pabrik pupuk

domestik. Pada tatanan pasar terbuka, seperti saat ini, harga pupuk di tingkat petani

ditentukan oleh harga paritas impornya. Pengalaman membuktikan bahwa jika harga

pupuk di pasar internasional meningkat, maka untuk mengejar laba yang lebih

tinggi, pabrik pupuk domestik cenderung mengekspor produknya. Akibatnya adalah

pasokan pupuk di tingkat petani menjadi langka dan harganya pun meningkat

seiring dengan peningkatan harga pupuk internasional. Sebagai perusahaan

komersial, produsen pupuk tentunya tidak dapat disalahkan mengekspor pupuk

untuk mengejar laba sebesar-besarnya.


91

Sehingga dapat disimpulkan sementara bahwa untuk meningkatkan daya

saing usahatani jagung di Kabupaten Bolaang Mongondow pemerintah sebaiknya

melakukan kebijakan umum berupa peningkatan harga jual jagung dengan

menerapkan harga pembelian pemerintah yang diperketat. Hal ini sebagai upaya

untuk mengontrol pasar agar harga ditingkat petani tidak dipermainkan oleh para

pedagang pengumpul. Selain itu, seperti terlihat pada hasil Tabel 22, bahwa

perubahan-perubahan harga input (terutama pupuk) serta tenaga kerja tidak akan

banyak mempengaruhi tingkat keuntungan dan daya saing usahatani jagung, jika

tidak dibarengi dengan perubahan pada harga output jagung.


92

VI. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan tujuan serta hasil dan pembahasan dalam penelitian ini,

dapat disimpulkan beberapa hal, yaitu:

1. Secara umum usahatani jagung di Kabupaten Bolaang Mongondow layak

untuk dilaksanakan baik secara finansial maupun ekonomi, terlihat dari

profitabilitas privat (D) > 1 dan profitabilitas sosial (H) > 1 serta

memiliki RC-ratio yang lebih besar dari satu.

2. Usahatani jagung dan padi di Kabupaten Bolaang Mongondow memiliki

keunggulan komparatif dan kompetitif serta dianggap masih mampu

membiayai input domestiknya, walaupun untuk usahatani jagung

memiliki kecenderungan menurun jika tidak diimbangi dengan harga jual

produk yang memadai.

3. Kebijakan-kebijakan pemerintah daerah untuk usahatani jagung masih belum

menunjukkan keberpihakan yang menguntungkan para petani kecil dan

kelangsungan hidup usahataninya. Hal ini berbeda dengan usahatani padi

(beras) karena kebijakan perberasan bersifat nasional, top down dan

instruksional sehingga memiliki konsistensi dalam penerapannya.

4. Berdasarkan hasil analisis sensitivitas, maka kebijakan yang dapat

diambil pemerintah daerah pada usahatani jagung di Bolaang

Mongondow adalah dengan menurunkan harga pupuk sebesar 10 persen

dan menaikkan harga output sebesar 30 persen (skenario ke-9).


93

6.2. Implikasi Kebijakan

1. Untuk meningkatkan daya saing usahatani jagung di Kabupaten Bolaang

Mongondow pemerintah sebaiknya melakukan kebijakan umum berupa

peningkatan harga jual jagung dengan menerapkan harga pembelian

daerah. Hal ini sebagai upaya untuk mengontrol pasar agar harga

ditingkat petani tidak dipermainkan oleh para pedagang pengumpul.

2. Beberapa hal yang harus segera dibenahi dalam sistem usahatani jagung

di Bolaang Mongondow adalah:

a) Mengenai mutu hasil panen. Keberhasilan pengembangan jagung tidak

hanya ditentukan oleh tingginya produktivitas saja namun juga

melibatkan kualitas dari produk itu sendiri. Agar komoditas tersebut

mampu bersaing dan memiliki keunggulan kompetitif, maka harus dapat

menghasilkan jagung dengan kualitas yang baik, sehingga tekhnik pasca

panennya pun harus lebih diperhatikan dan ditangani lebih baik. Untuk

itu perlu adanya pelatihan dan pendampingan teknologi yang dilakukan

secara rutin kepada para petani agar hal ini dapat terwujud.

b) Masalah retribusi. Mengurangi atau bahkan menghilangkan kebijakan

retribusi komoditas pangan, sehingga dapat mendongkrak harga jual

domestik yang diterima petani kecil dimana pada akhirnya dapat

meningkatkan keunggulan kompetitif dan komparatif usahatani ini. Hal

ini juga untuk menghindari kegagalan pemerintah, sebab pembebanan

retribusi komoditi pertanian tanpa diimbangi langkah-langkah antisipatif

untuk kesejahteraan petani maka akan menimbulkan kegagalan dalam hal

peran alokasi, distribusi dan stabilisasi.


94

3. Meskipun usahatani jagung di lokasi penelitian Kabupaten Bolaang

Mongondow masih memiliki keunggulan komparatif, tetapi apabila tidak

dilakukan beberapa langkah pembenahan seperti pada poin pertama dan

kedua, maka akan menurunkan tingkat keunggulan komparatif dan akan

semakin tidak kompetitif dengan usahatani pesaing utama, yaitu padi,

apalagi orientasi pengembangan jagung ke depan adalah pasar ekspor.

4. Disarankan perlu adanya penelitian lanjutan mengenai topik ini terutama

pada Kabupaten-Kabupaten yang juga merupakan wilayah

pengembangan jagung dan padi di Sulawesi Utara seperti Kabupaten

Bolaang Mongondow Timur, Bolaang Mongondow Selatan, Bolaang

Mongondow Utara, Minahasa, Minahasa Selatan dan Minahasa Utara.

Sehingga dapat diperoleh suatu basis data mengenai posisi daya saing

komoditas jagung dan padi di Sulawesi Utara.


95

DAFTAR PUSTAKA

Antara News. 2007. Produksi Jagung 2008 Diprediksi Penuhi Kebutuhan Dalam
Negeri. Posting tanggal 12 Juli 2007 01:39. www.antara.co.id/arc/2007.

Anapu, H., E.Ruaw, C.Talumingan, A.Lobo dan L.Pangemanan. 2005. Dampak


Kebijakan Tarif Impor Beras di Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara.
Dalam Buku Aplikasi Policy Analysis Matrix pada Pertanian di
Indonesia. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Breierova, L. and M. Choudhari. 2001. An Introduction to Sensitivity Analysis.


The Massachusetts Institute of Technology, Massachusetts.

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2008. Pencanangan Revitalisasi


Pertanian, Perikanan dan Kehutanan oleh Presiden RI.
www.litbang.deptan.go.id.

Bank Indonesia, 2009. Laporan Tinjauan Kebijakan Moneter (Ekonomi,


Moneter dan Perbankan) Pebruari 2009. Bank Indonesia, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2008. Harvested Area, Yield Rate and Production of
Maize by Province, 2006. www.bps.go.id.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Bolaang Mongondow. 2006. Bolaang


Mongondow Dalam Angka 2006. Badan Pusat Statistik dan Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah Bolaang Mongondow, Kotamobagu.

___________________________________________________. 2008. Bolaang


Mongondow Dalam Angka 2008. Badan Pusat Statistik Bolaang
Mongondow, Kotamobagu.

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Utara. 2000. Penelitian


Keunggulan Komparatif dan Kompetitif beberapa Komoditi Pertanian di
Sulawesi Utara. Laporan Hasil Penelitian. Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Sulawesi Utara, Manado.

Darwis, V. dan A.R. Nurmanaf. 2004. Kebijakan Distribusi, Tingkat Harga dan
Penggunaan Pupuk di Tingkat Petani. Jurnal Forum Penelitian Agro
Ekonomi, 22 (1) : 63 – 73.

Departemen Perindustrian Republik Indonesia. 2004. Industri Pakan Ternak


Tergantung Jagung Impor. Investor Daily 8 Oktober 2004.
www.depperin.go.id/IND/Publikasi/Matriks_Berita/berita.asp?kd=2137
96

Departemen Pertanian Republik Indonesia. 2005. Revitalisasi Pertanian,


Perikanan dan Kehutanan (RPPK) 2005. Draft 1 Juni 2005.
Departemen Pertanian RI, Jakarta.

_______________________________________. 2009. Perkembangan Produksi


dan Luas Tanaman Padi dan Jagung di Sulawesi Utara, 2003 – 2005.
http://www.deptan.go.id/ppi/investasi/Lapora-Final.pdf.

Departemen Perdagangan Republik Indonesia, 2009. Data Perkembangan


Ekspor dan Impor Indonesia menurut HS 6 digit (tahun 2003 – 2008).
Departemen Perdagangan RI, Jakarta.

Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Bolaang Mongondow, 2009.


Data Retribusi Distribusi Komoditi Kabupaten Bolaang Mongondow
sesuai Perda No.23 Tahun 2001. Dinas Perindustrian dan Perdagangan
Kabupaten Bolaang Mongondow, Kotamobagu.

Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Bolaang Mongondow. 2006.


Laporan Tahunan 2006. Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten
Bolaang Mongondow, Kotamobagu.

___________________________________________________. 2008. Laporan


Tahunan 2008. Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Bolaang
Mongondow, Kotamobagu.

Emilya. 2001. Analisis Komparatif dan Kompetitif serta Dampak Kebijakan


Pemerintah pada Pengusahaan Komoditas Tanaman Pangan di
Propinsi Riau. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor, Bogor.

FAO. 2008. Database Food Balance Sheet. www.faostat.fao.org

Gonzalez, L. 2004. The Theory of Comparative Advantage. http://


www.freerepublic.com/focus/f-news/1101717/posts.

Gittinger, J.P. 1986. Analisa Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. Terjemahan.


Edisi Kedua. UI-Press dan John Hopkins, Jakarta.

Haryono, D. 1991. Keunggulan Komparatif dan Dampak Kebijaksanaan pada


Produksi Kedelai, Jagung dan Ubi Kayu di Propinsi Lampung. Tesis
Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Harian Komentar. 2007. Menteri Pertanian Bakal Resmikan Sillo Dryer di


Bolmong. Berita Bolaang Mongondow, 2 Juni 2007.

Handerson, D.R. 2008. Paul Krugman’s Nobel Prize. The Future of Freedom
Foundation. www.fff.org.
97

http://www.news.roll.co.id/komoditas/23274-komoditi-jagung-kurang-diminati-
buyershtml. 2009. Komoditi Jagung Kurang diminati Buyers. Berita
Jumat 27 Pebruari 2009.

Hadi, P.U. dan B. Wiryono. 2005. Dampak Kebijakan Proteksi Terhadap Ekonomi
Beras di Indonesia. Jurnal Agro Ekonomi, 23 (2) : 159 – 175.

Krugman, P. and A.J. Venables. 1996. Integration, Specialization and Adjusment.


European Economic Review Journal, 40 : 959 – 967.

Martin, X.S., J.Blanke, M.D.Hanouz, T.Geiger, I.Mia and F.Paua. 2008. The Global
Competitiveness Index: Prioritizing the Economic Policy Agenda. The
Global Competitiveness Report 2008-2009. Editor: Porter, M.E. and
K.Schwab. World Economic Forum. www.weforum.org/pdf.
Manado Post. 2005. Crash Program Agribisnis Atasi Krisis. Rubrik Khusus,
Kamis 10 November 2005.

Monke, E.A. and S.K. Pearson. 1989. The Policy Analysis Matrix For
Agricultural Development. Cornell University Press, Ithaca.

Nuryartono, N. 2005. Akankah Indonesia Berswasembada Jagung? Agrimedia, 10


(1) : 35 – 43.

Nugroho, A.A. 2009. Kerugian Masyarakat dari Regulasi Pupuk. Artikel Web
Blog, Jumat Pebruari 2009. http://komentar-ekonomi.blogspot.com/
2009/02/ahmad-adi-nugroho-pegiat-kppu.html.

Pannell, D.J. 1997. Sensitivity Analysis of Normative Economic Models:


Theoretical Framework and Practical Strategies. Journal of
Agricultural Economics, 16 : 139 – 152.

Pearson S., C.Gotsch dan S.Bahri. 2005. Aplikasi Policy Analysis Matrix pada
Pertanian Indonesia. Terjemahan.Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Porter, M.E. 2008. Building the Microeconomic Foundation of Prosperity:


Findings from the Business Competitiveness Index. The Global
Competitiveness Report 2008-2009. Editor: Porter, M.E. and
K.Schwab. World Economic Forum. www.weforum.org/pdf.

Puspadi, K., S.Hastuti dan K.W.Wijayanto, 2005. Preferensi Petani Terhadap


Inovasi Pertanian dan Metode Pembelajaran Pada Agroekosistem Lahan
Kering Kasus Di Kabupaten Lombok Timur. Makalah Hasil Penelitian.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat,
Mataram.http:///ntb.litbang.deptan.go.id/2005/TPH/preferensipetani.doc

Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 2005. Kebijakan


Perberasan Nasional. Berita Puslitbangtan, (34) November 2005.
Puslitbangtan, Bogor.
98

Oktaviani, R. 1991. Efisiensi Ekonomi dan Dampak Kebijaksanaan Insentif


Pertanian pada Produksi Komoditi Pangan di Indonesia. Tesis Magister
Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Ricci, L.A. 1999. Economic Geography and Comparative Advantage:


Agglomeration versus Specialization. European Economic Review
Journal, 43 : 357 – 377.

Simatupang, P. 2002. Subsidi Gas bagi Pabrik Pupuk Vs Subsidi Pupuk bagi
Petani. Kompas, Kamis 19 Juli 2002. http://www.kompas.com

____________. 2004. Justifikasi dan Metode Penetapan Komoditas Strategis.


Indonesian Centre for Agricultural Social Economic Research and
Development (ICASERD) Working Paper, (51) : 1 – 24.

Saptana, S. Friyatno dan Tri Bastuti P. 2008. Analisis Dayasaing Komoditi


Tembakau Rakyat di Klaten Jawa Tengah. Makalah Hasil Penelitian.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
www.pse.litbang.deptan.go.id.

Soekartawi, A.Soeharjo, J.L.Dillon dan J.B.Hardaker. 1986. Ilmu Usahatani dan


Penelitian untuk Pengembangan Petani Kecil. UI-Press, Jakarta.

Suryana, A. 1980. Keuntungan Komparatif dalam Produksi Ubikayu dan Jagung


di Jawa Timur dan Lampung dengan Analisa Penghematan Biaya
Sumberdaya Domestik (BSD). Tesis Magister Sains. Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

_________. 2006. Strategi Kebijakan Penelitian dan Pengembangan Palawija.


Prosiding Seminar Nasional : Pengembangan Agribisnis Berbasis
Palawija di Indonesia: Perannya dalam Peningkatan Ketahanan
Pangan dan Pengentasan Kemiskinan. Bogor, 13 Juli 2006. CAPSA
monograph, (49) : 23 - 50. United Nation of Economic and Social
Commision for Asia and The Pacific.

Sistem Informasi Terpadu Pengembangan Usaha Kecil Bank Indonesia. 2008.


SIPUK BI: Produksi Jagung. www.bi.go.id/sipuk/id/?id=4&no=
10401& idrb=40401.

Squire, L. and G.H. van der Tak. 1976. Economic Analysis of Project. The John
Hopkins University Press, Baltimore.

Suprapto, 2006. Keunggulan Komparatif dan Dampak Kebijakan Produksi


Jagung di Propinsi Jawa Timur. Buletin Penelitian Puslit Universitas
Mercubuana, (10) : 89-106.
99

Syafa’at, N., A.Purwoto, K.M.Noekman, I.S.Anugerah, E.Suryani, Y.Marisa,


A.Askin dan M.Suryadi. 2007. Kaji Ulang Sistem Subsidi dan
Distribusi Pupuk. Makalah Seminar Hasil Penelitian. Pusat Penelitian
Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSE-KB), Bogor.
www.pse.litbang.deptan.go.id

Swastika, D.K.S. 2002. Corn Self-sufficiency in Indonesia: The Past 30 years and
Future Prospects. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 21
(3) : 75 – 83.

Tsakok, I. 1990. Agricultural Price Policy: A Practitioner’s Guide to Partial


Equilibrium Analysis. Cornel University Press, Ithaca.

Yao, S. 1997. Rice Production in Thailand seen through a Policy Analysis Matrix.
Food Policy Journal, 22 (6) : 547 – 560.

World Wild Foundation Indonesia. 2008. Impor Pakan Ternak Naik 48%.
http://rafflesia.wwf.or.id/library/admin/attachment/clips/2006-08-10-
114-0009-001-03-0899.pdf.

www.aphi-net.com. 2008. Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan


(RPPK) 2005.
100

LAMPIRAN
101

Lampiran 1 . Peta Lok asi Penelitia n

PROPINSI SULAWES I UTARA


102

Lampiran 2. Rekap Pendapatan Rata-Rata Rumahtangga Tani Responden


di Kabupaten Bolaang Mongondow Tahun 2008
Kecamatan/ Desa (Rp)
Poigar/
No Resp Bolaang/ Desa Bolaang Timur/ Lolayan/ Desa Lolak/ Desa
Desa
Langagon Desa Bolaang Lolayan Lolak II
Nonapan I
1 20 830 000 33 340 000 23 723 000 27 270 000 16 400 000
2 17 600 000 40 800 000 10 891 500 7 037 500 9 980 000
3 22 095 000 58 000 000 22 546 000 36 546 000 58 560 000
4 6 000 000 4 160 000 41 534 700 11 230 000 30 910 833
5 3 930 000 31 535 000 25 632 600 34 243 000 93 571 250
6 45 206 000 18 077 000 60 580 000 8 268 000 101 514 660
7 13 215 000 54 121 000 20 490 000 10 213 000 9 833 420
8 11 970 000 43 350 500 25 877 800 220 000 6 482 500
9 35 137 500 21 607 500 12 037 100 31 704 000 29 756 000
10 18 150 000 56 175 000 89 000 3 229 000 12 788 000
11 21 750 000 20 700 000 499 500 3 741 000 17 919 500
12 25 725 000 22 460 000 1 600 000 18 933 000 41 353 125
13 21 859 500 28 550 000 6 394 875 3 772 000 28 972 000
14 11 234 500 20 245 750 3 377 000 810 000 5 860 000
15 31 210 000 5 558 000 109 063 000 20 931 000 23 616 000
16 6 252 000 63 505 000 45 538 000 181 170 000 6 392 000
17 13 725 000 18 990 000 67 133 000 29 780 000 12 330 800
18 7 065 000 65 885 000 78 709 000 23 920 000 16 196 700
19 22 050 000 129 840 000 7 951 000 34 925 000 14 716 900
20 44 452 500 38 264 000 7 055 000 43 815 000 5 627 200
Total 399 457 000 775 163 750 570 722 075 531 757 500 542 780 888
Rata-Rata
per Tahun 19 972 850 38 758 188 28 536 104 26 587 875 27 139 044
Rata-Rata
per Bulan 1 664 404 3 229 849.96 2 378 008.65 2 215 656.25 2 262 587.03
103

Lampiran 3. Analisis Finansial dan Ekonomi Usahatani Jagung di


Kabupaten Bolaang Mongondow Tahun 2008
Harga
Jml Fisik Harga Finansial Ekonomi
No. Input Satuan Sosial
(rata-rata) Privat (Rp) (Rp) (Rp)
(Rp)
A. Tradable input
1 Benih hibrida kg/ha 31.00 30 941 41 127 959 157 1 274 944
2 Urea kg/ha 233.13 1 476 4 259 343 992 992 922
3 Ponska kg/ha 102.24 2 505 5 000 256 085 511 187
4 Herbisida liter 7.63 71 759 71 759 547 265 547 265
5 Pestisida cair liter 0.43 66 882 66 882 29 057 29 057

B Faktor Domestik
B.1 Tenaga kerja
1Olah tanah I (manusia) :
a. dalam keluarga HOK 4 13 897 11 118 58 245 46 596
b. luar keluarga HOK 10 39 135 31 308 377 601 302 081
2 Olah tanah I (ternak) :
a. dalam keluarga HTK 0 0 0 0 0
b. luar keluarga HTK 3 73 879 73 879 224 185 224 185
3 Olah tanah I (traktor) HTK 2 113 426 113 426 235 254 235 254
4 Olah tanah II (manusia):
a. dalam keluarga HOK 3 15 000 12 000 42 000 33 600
b. luar keluarga HOK 3 45 000 36 000 146 250 117 000
5 Olah tanah II (ternak):
a. dalam keluarga HTK 0 0 0 0 0
b. luar keluarga HTK 3 70 000 70 000 233 333 233 333
6 Olah tanah II (traktor) HTK 0 0 0 0
7 Garu I (manusia):
a. dalam keluarga HOK 1 15 000 12 000 22 031 17 625
b. luar keluarga HOK 3 50 000 40 000 133 333 106 667
8 Garu I (ternak) :
a. dalam keluarga HTK 0 0 0 0 0
b. luar keluarga HTK 2 74 688 74 688 155 599 155 599
9 Garu II (manusia) :
a. dalam keluarga HOK 2 15 000 12 000 24 000 19 200
b. luar keluarga HOK 4 50 000 40 000 200 000 160 000
10 Garu II (ternak) :
a. dalam keluarga HTK 0 0 0 0 0
b. luar keluarga HTK 2 71 250 71 250 124 688 124 688
11 Garu II (traktor) HTK 0 0 0 0

12 Penanaman :
a. dalam keluarga HOK 2 14 155 11 324 29 538 23 631
b. luar keluarga HOK 8 35 603 28 483 269 397 215 518
c. Ternak (bajak/
larik)) HTK 1 31 280 31 280 31 000 31 000
13 Penyiangan 1 & 2:
a. dalam keluarga HOK 7 14 634 11 707 96 193 76 954
b. luar keluarga HOK 7 35 542 28 434 247 969 198 376
14 Pemupukan 1 & 2:
a. dalam keluarga HOK 2 14 473 11 579 31 524 25 219
104
Lampiran 3. Lanjutan

Harga
Jml Fisik Harga Finansial Ekonomi
No. Input Satuan Sosial
(rata-rata) Privat (Rp) (Rp) (Rp)
(Rp)
b. luar keluarga HOK 4 37 839 30 271 148 114 118 491
15 Pengendalian H&P HOK 3 26 310 26 310 80 181 80 181
16 Panen & kupas tongkol:
a. dalam keluarga HOK 3 14 232 11 386 35 866 28 693
b. luar keluarga HOK 10 34 157 27 325 332 346 265 877
17 Jemur:
a. dalam keluarga HOK 4 13 795 11 036 54 516 43 613
b. luar keluarga HOK 5 35 227 28 182 174 535 139 628
18 Pemipilan:
a. dalam keluarga HOK 1 13 750 11 000 13 750 11 000
b. luar keluarga HOK 15 18 000 14 400 275 400 220 320
c. Alat pipil HTK 1 212 363 212 363 225 499 225 499
19 Pengangkutan
a. dalam keluarga HOK 3 15 556 12 444 47 243 37 794
b. luar keluarga HOK 7 35 227 28 182 229 252 183 401
c. Roda sapi HTK 1 148 970 148 970 100 393 100 393
d. Lainnya (mobil &
bentor) HTK 1 145 278 145 278 161 420 161 420
B.2 Sewa Lahan ha 1.2 1 206 409 1 206 409 1 473 628 1 473 628

B.3 Suku Bunga Modal Rp.2 749 000 25 persen 9.25 persen 687 250 254 283
Sewa alat pipil Rp/kg 1 56 56 56 56
B.4 penyusutan alat:
a. sekop 1.00 17 831 17 831 17 831 17 831
b.cangkul 1.00 18 079 18 079 18 079 18 079
c.parang 2.00 24 403 24 403 48 807 48 807
C Produksi (pipilan) Rp/kg 4 285.75 2 138 2 841 9 160 791 12 176 832

Hasil Penjualan
(Revenue) Rp 9 160 791 12 176 832
3 355
Total Input tradable Rp 2 135 557 376
Total Faktor Domestik :
3 962
a. Tenaga Kerja Rp 4 560 657 836
b. Modal Rp 687 306 254 338
d. penyusutan alat Rp 84 717 84 717
1 473
c. Lahan Rp 1 473 628 628

pendapatan bersih (blm


masuk lahan) Rp 1 692 554 4 519 566
pendapatan bersih
(masuk lahan) Rp 218 926 3 045 938

RC-ratio (di luar lahan) 1.23 1.59


RC-ratio_total 1.02 1.33
105

Lampiran 4. Analisis Finansial dan Ekonomi Usahatani Padi di Kabupaten


Bolaang Mongondow Tahun 2008
Harga
Jml Fisik Harga Finansial Ekonomi
No. Input Satuan Sosial
(rata-rata) Privat (Rp) (Rp) (Rp)
(Rp)
A. Tradable input

1 Benih Padi kg/ha 148.45 2 734 2 545 405 792 377 841
2 Urea kg/ha 199.75 1 476 4 259 294 730 850 729
3 Ponska kg/ha 103.19 2 505 5 000 258 467 515 942
4 Herbisida l/ha 3.48 72 104 72 104 251 048 251 048
5 Pestisida cair l/ha 0.87 66 882 66 882 58 115 58 115

B Faktor Domestik
B.1 Tenaga kerja
1Olah tanah I (manusia) :
a. dalam keluarga HOK 4.05 14 500 11 600 58 750 47 000
b. luar keluarga HOK 28.19 36 214 28 971 1 020 790 816 632
2 Olah tanah I (ternak) :
a. dalam keluarga HTK 3.33 35 000 35 000 116 667 116 667
b. luar keluarga HTK 2.75 87 308 87 308 240 096 240 096
3 Olah tanah I (traktor) HTK 1.89 152 937 152 937 289 487 289 487
4 Olah tanah II (manusia) :
a. dalam keluarga HOK 2.58 15 833 12 667 40 903 32 722
b. luar keluarga HOK 5.00 41 429 33 143 207 143 165 714
5 Olah tanah II (ternak) :
a. dalam keluarga HTK 5.00 35 000 35 000 175 000 175 000
b. luar keluarga HTK 3.13 61 667 61 667 192 708 192 708
6 Olah tanah II (traktor) HTK 1.57 107 024 107 024 168 180 168 180
7 Garu I (manusia) :
a. dalam keluarga HOK 1.76 15 000 12 000 26 413 21 130
b. luar keluarga HOK 2.88 38 750 31 000 111 406 89 125
8 Garu I (ternak) :
a. dalam keluarga HTK 1.73 13 333 13 333 23 077 23 077
b. luar keluarga HTK 1.71 60 577 60 577 103 846 103 846
9 Garu II (manusia) :
a. dalam keluarga HOK 2.07 16 429 13 143 34 031 27 224
b. luar keluarga HOK 2.00 42 500 34 000 85 000 68 000
10 Garu II (ternak) :
a. dalam keluarga HTK 1.56 10 000 10 000 15 625 15 625
b. luar keluarga HTK 1.75 84 167 84 167 147 292 147 292
11 Garu II (traktor) HTK 2.00 50 000 50 000 100 000 100 000

12 Penanaman :
a. dalam keluarga HOK 1.50 14 780 11 824 22 131 17 705
b. luar keluarga HOK 7.22 37 474 29 979 270 507 216 406
c. Ternak (bajak/ larik)) HOK 0 0 0 0 0
13 Sulam :
a. dalam keluarga HOK 1.62 17 308 13 846 27 959 22 367
b. luar keluarga HOK 4.75 46 250 37 000 219 688 175 750
14 Penyiangan 1 & 2:
a. dalam keluarga HOK 5.11 14 881 11 905 76 058 60 847
b. luar keluarga HOK 9.37 38 329 30 663 359 160 287 328
106
Lampiran 4. Lanjutan

Harga
Jml Fisik Harga Finansial Ekonomi
No. Input Satuan Sosial
(rata-rata) Privat (Rp) (Rp) (Rp)
(Rp)
15 Pemupukan 1 & 2:
a. dalam keluarga HOK 1.38 16 250 13 000 22 452 17 961
b. luar keluarga HOK 1.89 40 000 32 000 75 714 60 571
16 Pengendalian H&P HOK 2.30 25 560 25 560 58 848 58 848
17 Panen & rontok:
a. dalam keluarga HOK 1.65 15 760 12 608 25 937 20 750
b. luar keluarga HOK 11.25 48 894 39 115 550 001 440 001
17 Jemur padi:
a. dalam keluarga HOK 3.53 14 796 11 837 52 239 41 791
b. luar keluarga HOK 4.40 35 600 28 480 156 640 125 312
18 Pengangkutan
a. dalam keluarga HOK 2.17 15 000 12 000 32 500 26 000
b. luar keluarga HOK 5.90 28 607 22 885 168 779 135 023
c. Roda sapi HTK 1.39 114 747 114 747 159 950 159 950
d. Lainnya (mobil &
bentor) HTK 0 0 0 0 0
1 539
B.2 Sewa lahan ha 1.12 1 539 083 083 1 717 528 1 717 528

B.3 Modal
9.25
1 Suku bunga modal Rp 3 664 585 25 persen persen 916 146 338 974
2 sewa alat rontok Rp/unit 1.00 413 954 413 954 413 954 413 954
B4 Penyusutan alat:
a. sekop 1.00 17 831 17 831 17 831 17 831
b.cangkul 1.00 18 079 18 079 18 079 18 079
c.parang 2.00 24 403 24 403 48 807 48 807

C Produksi (beras) kg/ha 2 765.57 4 956 4 614 13 705 580 12 761 552

Hasil Penjualan (Revenue) Rp 13 705 580 12 761 552


Total Input tradable Rp 1 268 152 2 053 675
Total Faktor Domestik :
a. Tenaga Kerja Rp 5 434 977 4 706 137
b. Modal Rp 1 330 101 752 929
c. Penyusutan alat Rp 84 717 84 717
d. Lahan Rp 1 717 528 1 717 528

pendapatan bersih (blm


masuk lahan) Rp 5 587 634 5 164 095
pendapatan bersih (masuk
lahan) Rp 3 870 106 3 446 567

RC-ratio (di luar lahan) 1.69 1.68


RC-ratio_total 1.39 1.37
107

Lampiran 5. Koefisien PAM Usahatani Jagung di Kabupaten Bolaang


Mongondow
Faktor Domestik/ non
Revenue Input tradable tradable (Rp) Profit
Uraian (Rp) (Rp) Lahan & (Rp)
Tenaga Kerja
Modal
Privat 9 160 790.63 2 135 557.29 4 560 657 2 245 650 218 926
Sosial 12 176 832.45 3 355 376.11 3 962 836 1 812 683 3 045 938
Divergensi - 3 016 041.83 - 1 219 818.82 597 821 432 968 (-)2 827 011

Parameter Nilai
1. Privat Profitability (PP) Rp 218 926
2. Social Profitability (SP) Rp 3 045 938
3. Output Transfer (OT) Rp - 3 016 041.83
4. Input Transfer (IT) Rp - 1 219 818.82
5. Factor Transfer (FT) Rp 1 030 788.26
6. Net Transfer (NT) Rp - 2 827 011
7. Private Cost Ratio (PCR) 0.97
8. Domestic Resource Cost Ratio (DRCR) 0.65
9. Nominal Protection Coefficient (NPC) :
a. On Tradable Outputs (NPCO) 0.75
b. On Tradable inputs (NPCI) 0.64
10. Effective Protection Coefficient (EPC) 0.80
11. Profitability Coeficient (PC) 0.07
12. Subsidy Ratio to Producers (SRP) -0.23
108

Lampiran 6. Koefisien PAM Usahatani Padi di Kabupaten Bolaang


Mongondow

Faktor Domestik/ non


Revenue Input tradable tradable (Rp) Profit
Uraian (Rp) (Rp) Lahan & (Rp)
Tenaga Kerja
Modal
Privat 13 705 580.09 1 268 151.97 5 434 977 3 132 345 3 870 106
Sosial 12 761 551.72 2 053 674.92 4 706 137 2 555 173 3 446 567
Divergensi 944 028.37 - 785 522.96 728 840 577 172 423 539

Parameter Nilai
1. Privat Profitability (PP) Rp 3 870 106
2. Social Profitability (SP) Rp 3 446 567
3. Output Transfer (OT) Rp 944 028.37
4. Input Transfer (IT) Rp - 785 522.96
5. Factor Transfer (FT) Rp 1 306 012.31
6. Net Transfer (NT) Rp 423 539.02
7. Private Cost Ratio (PCR) 0.69
8. Domestic Resource Cost Ratio (DRCR) 0.68
9. Nominal Protection Coefficient (NPC) :
a. On Tradeble Outputs (NPCO) 1.07
b. On Tradeble inputs (NPCI) 0.62
10. Effective Protection Coefficient (EPC) 1.16
11. Profitability Coeficient (PC) 1.12
12. Subsidy Ratio to Producers (SRP) 0.03
109

Lampiran 7. Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Komoditi Unggulan Sulawesi Utara Tahun 2002 - 2007

2002 2003 2004 2005 2006 2007


No Komoditi Volume Nilai Volume Nilai Volume Nilai Volume Nilai Volume Nilai Volume Nilai
(kg) (US $) (kg) (US $) (kg) (US $) (kg) (US $) (kg) (US $) (kg) (US $)
1. Jagung 7 500 1 500 125 659 10 073 400 785 33 317 0 0 0 0 2 000 000 476 891
2. Panili 2 970 193 050 3 000 214 990 0 0 4 777 1 109 484 7 499 175 822 19 957 357 093
3. Minyak kelapa 260 669 965 103 477 040 173 750 834 78 533 352 28 832 065 14 669 109 223 081 808 30 642 645 222 188 393 142 606 709 362 739 628 273 242 131
4. Karbon aktif 1 437 347 667 676 2 125 440 594 368 120 000 61 038 3 139 257 1 117 760 1 767 234 1 767 234 2 692 592 1 995 547
5. Arang tempurung 3 779 598 359 283 3 564 036 345 043 272 000 34 476 2 739 523 390 642 6 755 529 656 059 7 831 903 876 922
6. Tepung kelapa 13 896 471 19 282 632 9 757 773 6 731 551 1 627 643 1 077 604 14 476 290 15 316 656 7 086 559 4 952 121 6 497 961 6 396 427
7. Bungkil kopra 104 546 407 6 951 147 51 241 500 3 290 707 17 782 934 1 495 019 63 789 337 10 027 685 125 557 032 13 353 483 121 143 419 13 427 629
8. Kopra 21 466 729 4 424 516 16 722 601 2 549 960 2 200 000 717 464 78 738 547 11 671 141 29 798 458 6 060 830 7 830 000 3 592 909
9. Pala 1 470 635 8 882 028 1 104 178 4 784 201 103 195 439 735 1 394 568 5 159 232 2 721 552 11 035 611 1 331 608 6 934 911
10. Fuli 233 288 1 238 935 198 954 1 029 823 26 010 131 961 219 056 1 085 983 488 959 2 651 015 215 650 1 349 241
11. Ikan kaleng 11 344 660 15 693 469 12 061 921 103 343 064 1 736 398 2 732 757 5 563 787 9 004 886 3 247 059 6 084 368 13 732 573 32 979 383
12 Ikan segar 19 866 801 1 173 293 4 413 787 10 582 404 1 076 453 558 021 4 659 125 2 623 750 8 171 595 2 570 815 8 386 122 2 159 012
13. Ikan beku 37 412 960 37 470 987 37 838 765 26 362 316 22 027 375 12 352 858 79 519 618 32 885 193 16 089 767 9 041 431 19 853 002 10 940 026
14. Rumput laut 996 559 396 071 712 629 240 681 63 400 34 870 38 163 24 806 78 344 48 573 60 000 52 621
15. Ikan kayu 2 098 663 6 580 515 1 431 470 4 335 380 552 304 1 990 743 10 442 467 18 728 440 2 194 407 11 063 877 2 791 227 10 690 978
16. Lain-lain 42 454 111 74 182 835 194 422 892 81 627 243 469 337 098 310 650 870 267 725 623 251 546 486 378 072 468 230 393 654 23 286 025 164 910 067
Total 521 684 662 280 974 980 509 475 427 324 575 156 546 157 658 346 979 842 755 531 945 391 334 788 804 224 857 442 461 604 580 411 667 530 381 787

Sumber: Dinas Perindustrian dan Perdagangan Propinsi Sulawesi Utara (2009)

109
110

Lampiran 8. Pola Tanam Usahatani Jagung dan Padi secara Umum di Lokasi Penelitian

Bulan
Usahatani
Januari Pebruari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember

Jagung Bera Bera MT I MT I MT I panen Bera Bera MT II MT II MT II panen

MT I/ MT II/
Padi MT I Bera Bera MT II MT II MT II Bera Bera MT I MT I
panen panen

Keterangan:
MT = Musim Tanam

110

You might also like