You are on page 1of 22

REFERAT

TETANUS

Disusun Oleh :

Teofilos Lambang Christian

1261050026

Dokter Pembimbing :

dr. Persadaan Bukit, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK

PERIODE 11 DESEMBER 2017 – 24 FEBRUARI 2018

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA

JAKARTA
BAB I
PENDAHULUAN

Tetanus adalah penyakit akut yang disebabkan oleh eksotoksin yang dihasilkan oleh

bentuk vegetatif kuman Clostridim tetani 1. Angka kejadian tetanus bergantung pada jumlah

masyarakat yang tidak kebal dan tingkat populasi masyarakat tidak kebal terhadap kuman

Clostridium tetani terutama pada daerah risiko tinggi dengan cakupan imunisasi DTP yang

rendah 2.

Di amerika serikat kasus ini sangat langka, yaitu dengan hanya lebih dari 20% kasus

pada orang – orang berusia kurang dari 20 tahun. Sedangkan pada tetatnus neonatorum angka

kematian sangat tinggi yaitu 400.000 kematian di seluruh dunia. MNT(Maternal Neonatal

Tetanus) masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di 15 negara dimana merupakan

negara berkembang 3.

Tingkat pencemaran biologik lingkungan pertanian dan peternakan juga merupakan

faktor penentu dikarenakan kuman tersebut hidup dalam tanah(terutama pertanian dan

peternakan) dan di dalam usus binatang, seperti kuda, hewan ternak, dan herbivora lainnya.

Spora C. tetani akan menghasilkan eksotoksin dalam bentuk vegetatif pada konsisi yang

anaerob, toksin inilah menyebabkan blokade pada simpul yang menyalurkan impuls pada

tonus otot, sehingga tonus otot meningkat dan menimbulkan kekakuan. Bila tonus otot makin

meningkat, akan timbul kejang 2.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI

Tetanus adalah penyakit dengan tanda kekakuan otot(spasme) tanpa disertai

penurunan kesadaran. Tetanus adalah penyakit akut yang disebabkan oleh eksotoksin yang

dihasilkan oleh bentuk vegetatif kuman Clostridim tetani 1. Eksostoksin(tetanospasmin) yang

dihasilkan oleh kuman tersebut terdapat pada sinaps ganglion sumsum tulang belakang,

sambungan neuro muskular dan saraf otonom 1,2.

ETIOLOGI

Kuman Clostridium tetani :

Gambar 1. Clostridium tetani

- Merupakan kuman basil Gram-positif dengan spora(tahan pada suhu tinggi,

kekeringan, dan disinfektans) pada ujungnya, seperti bentuk genderang

- Obligat anaerob (vegetatif pada lingkungan anaerob) dan bergerak menggunakan

flagela
- Menghasilkan oksitoksin yang kuat

Kuman hidup dalam tanah(terutama pertanian dan peternakan) dan di dalam usus

binatang, seperti kuda, hewan ternak, dan herbivora lainnya. Selain itu dapat ditemukan 2

sampai 30% pada flora normal fecal manusia 1. Spora dapat menyebar dan bertahan dalam

kondisi yang tidak menguntungkan selama bertahun – tahun, bahkan dapat bertahan di suhu

cukup (bukan autoclav). Spora akan menghasilkan eksotoksin dalam bentuk vegetatif pada

konsisi yang anaerob, yang dapat mati dengan antibiotik, suhu tinggi, dan disinfektan yang

standar 2,4.

Kuman tetanus terdapat pada sinaps ganglion sumsum tulang belakang, sambungan

neuro muskular dan saraf otonom. Eksotoksin yang dihasilkan oleh kuman tersebut lah yang

menyebabkan otot spasme. Tetanus adalah kontaminan luka yang tidak menyebabkan

kerusakan jaringan atau peradangan. Dosis letal manusia terhadap toksin tetanus diperkirakan

10-5 mg/kg 1,4.

Penyebab utama kematian neonatus adalah asfiksia neonatorum, infeksi, dan berat

lahir rendah. Kejadian penyakit ini sangat berhubungan dengan aspek pelayanan kesehatan

neonatal, terutama pelayanan persalinan (persalinan yang bersih dan aman), khususnya

perawatan tali pusat 5.

EPIDEMIOLOGI

Angka kejadian tetanus bergantung pada jumlah masyarakat yang tidak kebal, tingkat

populasi masyarakat tidak kebal, tingkat pencemaran biologik lingkungan pertanian dan

peternakan, dan adanya luka pada kulit atau mukosa, terutama pada daerah risiko tinggi
dengan cakupan imunisasi DTP yang rendah. Serta pada anak laki – laki lebih tinggi angka

kejadiannya dibandingkan perempuan dikarenakan tingkat aktivitas fisiknya 2.

Di amerika serikat kasus ini sangat langka, yaitu dengan hanya lebih dari 20% kasus

pada orang – orang berusia kurang dari 20 tahun. Sedangkan pada tetatnus neonatorum angka

kematian sangat tinggi yaitu 400.000 kematian di seluruh dunia, dan merupakan penyebab

kematian neonatus sebesar 23% sampai 73% dan 25 sampai 30% di tahun pertama pada

negara berkembang. Pada mayoritas kasus anak – anak dengan tetanus terjadi pada anak –

anak yang tidak diimunisasi dengan vaksin DPT 1,3,4.

Reservoir utama kuman ini adalah tanah yang mengandung kotoran hewan ternak,

sehingga risiko penyakit ini di lingkungan pertanian sangat besar. Selain itu C. tetani yang

tahan terhadap kekeringan dapat bertahan dan dapat bertebaran dimana – mana, misalnya

dalam debu jalanan, lampu operasi, bubuk antiseptik(dermatol), ataupun pada alat suntik dan

operasi 1,2.

Port d’ entre (buku ajar infeksi pada pediatri)

- Luka tusuk, patah tulang komplikasi kecelakaan, gigitan binatang, luka bakar yang

luas

- Luka operasi, luka yang tidak dibersihkan dengan baik

- Otitis media, karies gigi, luka kronik

- Pemotongan tali pusat yang tidak steril


Gambar 2. Eliminasi tetanus ibu hamil dan bayi (MNTE)

Ke 15 negara di mana MNT masih merupakan masalah kesehatan masyarakat meliputi:

Afghanistan, Angola, Republik Afrika Tengah, Chad, Kongo DR, Guinea, Kenya, Mali ,

Nigeria, Pakistan, Papua Nugini, Somalia, Sudan, Sudan Selatan dan Yaman 3.
Gambar 3. Imunisasi DTP3 pada bayi 2016
PATOGENESIS

Gambar 4. Proses terjadinya tetanus

1. Spora masuk ke dalam tubuh berada dalam lingkungan anaerobik, berubah menjadi

bentuk vegetatif dan bertambah banyak dengan cepat, setelah bakteri mati dan

mengalami lisis, toksin akan dilepaskan 1. Lalu dalam jaringan anaerob, terjadilah

penurunan potensial oksidasi reduksi jaringan dan turunnya tekanan oksigen jaringan

akibat pus, nekrosis jaringan atau akibat adanya benda asing seperti pecahan kaca,

bambu, dan sebagainya 2.

2. Toksin awalnya merambat dari tempat luka melalui motor endplate dan aksis silinder

saraf tepi ke kornu anterior sumsum tulang belakang dan menyebar ke seluruh

susunan sistem saraf pusat. Reseptor khusus pada ganglion menyebabkan fragmen C.

toksin tetanus menempel erat dan kemudian melalui proses perlekatan dan

internalisasi, toksin kemudian diangkut ke arah sel secara ekstra aksional dan

menimbulkan perubahan potensial membran dan gangguan enzim yang menyebabkan


kolin esterase tidak aktif, sehingga kadar asetilkolin menjadi sangat tinggi pada sinaps

yang terkena. Toksin menyebabkan blokade pada simpul yang menyalurkan impuls

pada tonus otot, sehingga tonus otot meningkat dan menimbulkan kekakuan. Bila

tonus otot makin meningkat, akan timbul kejang terutama pada otot yang besar 2,4.

Gambar 5. Mekanisme aksi toksin tetanus

Dampak toksin:

- Pada ganglion pra sumsum tulang belakang dampak disebabkan oleh eksotoksin yang

memblok sinaps jalur antagonis, lalu keseimbangan dan koordinasi impuls berubah

sehingga tonus otot meningkat dan menjadi kaku

- Pada otak dampak disebabkan oleh toksin yang menempel pada gangliosida serebri

yang menyebabkan kekakuan dan kejang


- Pada saraf autonom dampak disebabkan jika toksin mengenai saraf simpatis dan

menimbulkan gejala keringat berlebih, hipertermia, hipotensi, hipertensi, aritmia,

heart block atau takikardia

MANIFESTASI KLINIS

Gambar 6. Tetanus pada anak

Tetanus memiliki 2 bentuk klinis yaitu umum dan lokal. Bentuk umum

merupakan penyebab dari distribusi penyebaran dari toksin. Sedangkan bentuk lokal,

disebabkan oleh distribusi penyebaran toksin pada wilayah poert d entry. Pada anak –

anak bentuk lokal sangat jarang terjadi 1.

Pada bentuk lokal, gejala berupa kekakuan pada satu atau sedikit kelompok

otot, seperti rahang, otot – otot menelan di kerongkongan, atau otot pada bagian tubuh

lainnya. Sedangkan pada bentuk generalisata, lebih umum terjadi terkhusus pada

negara berkembang 1.

Variasi masa inkubasi sangat lebar, biasanya adalah 2 – 14 hari tetapi mungkin

dapat selama bulanan setelah perlukaan. Semakin lama masa inkubasi, semakin ringan
gejala yang akan timbul. Derajat berat penyakit selain berdasarkan klinis yang tampak

juga dapat diperkirakan dari lama inkubasi atau lama dari periode onset 1,4.

Kekakuan dimulai dari otot setempat atau trismus, kemudian menjalar ke

seluruh tubuh, tanpa disertai adanya gangguan kesadaran. Kekakuan tetanus sangat

khas yaitu berupa fleksi kedua lengan dan ekstensi pada kedua kaki, fleksi pada

telapak kaki, dan tubuh melengkung bagai busur 2.

Tetanus pada neonatus yaitu bentuk infantil dari tetanus umum, gejala muncul

dalam 2 – 14 hari sejak kelahiran dimana terjadi kesulitan makan (menghisap dan

menelan), terkait kelaparan, dan menangis. Lalu adanya paralisis atau gerakan yang

berkurang, kekakuan dan rigiditas terhadap sentuhan, dan spasme dengan atau tanpa

opisthotonus merupakan beberapa karakteristik pada kondisi ini 4.

DIAGNOSIS

1. Anamnesis:

- Adakah luka tusuk, luka kecelakaan/patah tulang terbuka, luka dengan nanah, luka

bekas gigitan binatang

- Apakah pernah keluar nanah dari telinga

- Apakah ada gigi berlubang

- Apakah sudah pernah mendapat imunisasi DT atau TT, kapan imunisasi terakhir

- Selang waktu timbulnya trismus/spasme lokal pertama dengan kejang pertama 2

- Pada tetanus neonatorum apakah perawatan tali pusat tidak higienis, terdapat

pemberian dan ada penambahan suatu zat pada talip usat. Apakah bayi sadar, sering

mengalami kekakuan spasme), terutama bila terangsang atau tersentuh, bayi malas

minum 5.
2. Pemeriksaan Fisik

- Trismus

Merupakan kekakuan otot mengunyah (otot maseter) sehingga sukar membuka mulut.

- Risus sardonicus

Terjadi sebagai akibat kekakuan otot mimik, sehingga tampak dahi mengkerut, mata

agak tertutup, dan sudut mulut tertarik keluar dan kebawah.

- Opistotonus

Kekakuan otot yang menunjang tubuh seperti: otot punggung, otot leher, otot badan,

dan trunk muscle. Kekakuan yang sangat berat dapat menyebabkan badan

melengkung dan berbentuk seperti busur.

- Otot dinding perut kaku seperti papan

Bila kekakuan makin berat maka akan timbul, akan timbul kejang umum yang

awalnya hanya muncul jika dirangsang misalnya dengan dicubit, digerakkan secara

kasar, atau terkena sinar yang kuat

- Gangguan pernapasan

Terjadi akibat kekakuan otot laring atau kejang yang terjadi terus – menerus yang

dapat menimbulkan anoksia dan kematian, pengaruh toksin pada saraf autonom yang

menyebabkan gangguan sirkulasi(gangguan sirkulasi atau kelainan pembuluh darah),

dapat pula menyebabkan suhu tubuh yang tinggi atau berkeringat banyak, kekakuan

otot sfingter dan otot polos lain sehingga terjadi retentio alvi, retentio urinae, atau

spasme laring, patah tulang panjang, dan kompresi tulang belakang 2

- Pada neonatus dapat dilihat Bayi sadar, terjadi spasme otot berulang, mulut mencucu

seperti mulut ikan (carper mouth) sehingga sulit menyusu, trimus (mulut sukar dibuka),

perut teraba keras (perut papan), opistotonus (ada sela antara punggung bayi dengan
alas, saat bayi ditidurkan), tali pusat biasanya kotor dan berbau, dan anggota gerak spastik

(boxing position) 5.

3. Pemeriksaan lab

- LCS normal, leukosit normal atau sedikit meningkat

- Biakan kuman khusus untuk kuman anaerob

DIAGNOSIS BANDING

- Pada diagnosa banding seperti meningitis, meningoensefalitis, atau ensefalitis tidak

ditemukan tanda – tanda klinis seperti trismus dan risus sardonikus. Selain itu dapat

dijumpai adanya gangguan kesadaran dan kelainan likuor serebrospinal

- Pada tetani disebabkan oleh karena hipokalsemia secara klinis dijumpai adanya

spasme karpopedal

- Pada kondisi seperti keracunan strihnin muncul jika anak terlalu banyak meminum

tonikum

- Pada rabies dapat dijumpai gejala hidrofobia dan kesukaran menelan, sedangkan pada

anamnesis diketahui adanya riwayat digigit hewan pada waktu epidemi

- Pada trismus oleh karena proses lokal, seperti mastoiditis, OMSK, abses tonsilar,

biasanya asimetris

TATA LAKSANA
1. Pencegahan

Pencegahan sangat penting dilakukan mengingat pengobatan tetanus dan tidak

murah, sehingga upaya pencegahan yang dapat dilakukan adalah:

a. Perawatan luka

Dilakukan terutama pada luka tusuk, luka kotor, atau luka yang diduga

tercemar spora tetanus, perawatan luka juga dilakukan guna mencegah timbul

jaringan anaerob

b. Pemberian ATS dan Toksoid Tetanus pada luka

Profilaksis pemberian ATS hanya efektif pada luka baru yaitu luka < 6 jam,

dan harus segera dilanjutkan dengan imunisasi aktif

c. Imunisasi aktif yang dilakukan yaitu DPT, Td, atau Toksoid Tetanus. Jenis imunisasi

tergantung dari golongan umur dan jenis kelamin. Vaksin DTP (Difteri, Tetanus,

Pertusis) dan vaksinasi dilakukan sebanyak 5 kali pada usia:

o 2, 4, 6, 18 bulan, (4 – 6) tahun

o Atau 2,3,4, 18 bulan, SD kelas 1.

Vaksin DTP dapat diberikan bersama dengan vaksin lain. Untuk anak usia > 7

tahun diberikan vaksinasi Td atau Tdap. Vaksin Td/Tdap melindungi terhadap

tetanus, difteri, dan pertusis harus diulang tiap 10 tahun sekali 6.

Vaksin DTP tidak boleh diberikan pada kondisi:

o Anak sakit berat dengan demam tinggi, vaksinasi dapat dilakukan setelah anak

sembuh dari sakit. Atau anak sakit ringan tanpa demam dapat dilakukan

vaksinasi

o Anak yang mendapat reaksi alergi berat setelah vaksinasi pertama kali DTP

tidak diperbolehkan mendapat vaksinasi selanjutnya


o Kejang atau pingsan segera setelah vaksinasi dengan DTP

o Anak menangis keras dan terus – menerus selama > 3 jam setelah vaksinasi

Efek samping vaksin DTP

- Efek samping ringan:

o demam (terjadi pada 1 dari 4 anak)

o kemerahan dan terjadi bengkak pada tempat suntikan (terjadi pada 1 dari 4

anak)

o rasa sakit pada tempat suntikan (terjadi pada 1 dari 4 anak), namun efek

samping tersebut lebih sering terjadi pada vaksinasi ke-4 dan ke-5 dan

berlangsung selama 1 – 7 hari (terjadi pada 1 dari 30 anak)

o Rewel (1 diantara 3 anak)

o Nafsu makan berkurang (1 diantara 10 anak)

o Muntah (1 diantara 50 anak)

o efek samping yang timbul 1 – 3 hari setelah vaksinasi adalah kejang (terjadi 1

dari 14 ribu anak), menangis terus menerus > 3 jam (terjadi 1 dari 1000 anak),

dan demam tinggi 39 C (terjadi 1 dari 16 ribu anak)

Efek samping berat (jarang sekali terjadi)

- reaksi alergi berat(syok) terjadi pada 1 diantara 1 juta dosis

- kejang berulang lama, koma, dan penurunan kesadaran pernah dilaporkan

namun sangat jarang terjadi

Apabila timbul gejala – gejala seperti reaksi alergi berat(biduran seluruh

badan, edema muka, bengkak bibir, bengkak kelopak mata, sesak napas, denyut
jantung/nadi meningkat, pusing dan lemas), demam, dan perubahan perilaku segera

bawa ke rumah sakit terdekat. Gejala – gejala tersebut timbul beberapa menit sampai

2 jam setelah vaksinasi 6,7.

PENGOBATAN 2,4,5

1. Perawatan Umum

a. Pada hari pertama perlu pemberian cairan intravena, sekaligus memberi obat –

obatan dan bila sampai hari ketiga infus belum dapat dilepas, sebaiknya

pertimbangkan untuk memberikan cairan parenteral. Jika kejang sudah mereda

dapat dipertimbangkan untuk menggunakan sonde lambung untuk makanan

dan obat – obatan dengan perhatian khusus supaya tidak terjadi aspirasi

b. Menjaga saluran nafas tetap bebas, pada kasus yang berat perlu trakeostomi

c. Memberi tambahan O2 dengan sungkup (masker)

d. Mengurangi spasme dan mengatasi kejang

 Dosis diazepam yang direkomendasikan adalah 0.1 – 0.3 mg/Kg/BB

dengan interval 2 – 4 jam sesuai gejala klinis

 Umur < 2 tahun: 8 mg/Kg/BB/hari per oral dalam dosis 2 – 3 mg/3 jam

 Saat terjadi kejang diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan BB < 12

tahun dan 10 mg untuk anak > 12 tahun

 Alternative lain bayi diberikan dosis inisial 0.1 – 02 mg/Kg/BB iv

untuk mengatasi spasme akut, diikuti infus kontinu 15 – 40

mg/Kg/BB/hari. Setelah 5 -7 hari dosis diazepam diturunkan perlahan

5 – 10 mg/hari. Jika dosis dizepam telah tercapai tapi anak masih

kejang atau spasme laring, maka pertimbangan tindakan selanjutnya

adalah perawatan ICU sehingga otot dapat dilumpuhkan dan mendapat

bantuan pernapasan mekanik.


 Terapi antikonvulsan dengan dosis rumatan telah memberikan respon

klinis yang diharapkan, maka dosis dipertahankan selama 3 – 5 hari,

pengurangan dosis dilakukan bertahap (berkisar antara 20% dari dosis

setiap dua hari. Terapi tambahan yang dapat diberikan adalah

fenobarbital dan morfin jika pasien dirawat di ICU karena terjadi risiko

terjadi depresi pernapasan.

e. Jika karies gigi atau OMSK dicurigai sebagai port d’ entree, maka diperlukan

konsultasi dengan dokter gigi/THT

2. Pengobatan Khusus

a. Antibiotik

Lini I: metronidazol iv/oraldengan dosis inisial 15 mg/KgBB dilanjutkan dosis

30 mg/KgBB/hari dengan interval setiap 6 jam selama 7 – 10 hari.

Metronidazol efektif untuk mengurangi kuman C. tetani bentuk vegetatif

Lini II: penisilin prokain 50,000 – 100.000/kgBB/hari selama 7 – 10 hari, jika

terdapat hipersensitif terhadap penisilin maka dapat diganti tetrasiklin 50

mg/KgBB/hari (anak>8 tahun)

b. Anti serum

ATS dosis 100.000 IU dengan 50.000 IU (IM) dan 50.000 IU (IV). Pemberian

ATS yang perlu diwaspadai adalah reaksi anafilasis. Pada tetanus anak

pemberian antiserum dapat disertai dengan imunisasi aktif DT setelah anak

pulang dari rumah sakit. Bila fasilitas tersedia dapat diberikam HTIG (Human

Tetanus Immune Globulin) 3.000 – 6.000 IU


PROGNOSIS 7

Faktor – faktor penentu prognosis tetanus adalah menggunakan Phillips score dan

Dakar score:

Phillips score
Faktor Skor
Masa inkubasi:
* < 48 jam 5
* 2 - 5 hari 4
* 5 - 10 hari 3
* 10 - 14 hari 2
* > 14 hari 1
Lokasi infeksi
* Organ dala dan umbilikus 5
* Kepala, leher, dan badan 4
* Perifer proksimal 3
*Perifer distal 2
* Tidak diketahui 1
Status proteksi
* Tidak ada 10
* Mungkin ada atau imunisasi pada ibu bagi pasien - pasien neonatus 8
* Terlindungi > 10 tahun 4
* Terlindungi < 10 tahun 2
* Proteksi lengkap 0
Faktor - faktor komplikasi
* Cedera atau penyakit yang mengancam nyawa 10
* Cedera berat atau penyakit yang tidak segera mengancam nyawa 8
* Cedera atau penyakit yang tidak mengancam nyawa 4
* Cedera atau penyakit minor 2
* ASA grade I 0
DakarScore

Skor
Faktor prognosis
Score 1 Score 0

Periode inkubasi < 7 hari 7 hari atau lebih atau tidak diketahui

Periode onset < 2 hari 2 hari atau lebih

Umbilikus, luka bakar, uterus, fraktur terbuka, Selain dari yang telah disebut atau tidak
Tempat masuk
luka operasi, injeksi intramuskular diketahui

Spasme Ada Tidak ada

Demam > 38.4 o C < 38.4 o C

Dewasa > 120 kali/menit dan neonatus > 150 Dewasa < 120 kali/menit dan neonatus < 15
Takikardi
kali/menit kali/menit
BAB III
PENUTUP

Tetanus adalah penyakit dengan tanda kekakuan otot(spasme) tanpa disertai

penurunan kesadaran yang disebabkan oleh eksotoksin yang dihasilkan oleh bentuk vegetatif

dari kuman Clostridim tetani. Kuman tersebut merupakan kuman basil Gram-positif dengan

spora pada ujungnya yang berbentuk seperti genderang, memiliki flagel untuk bergerak, dan

dapat bertahan pada kondisi yang kurang menguntungkan(suhu tinggi, kekeringan, dan

disinfektans). Dalam bentuk vegetatif pada suasana yang anaerob, akan menghasilkan

oksitoksin yang kuat.

Spora masuk ke dalam tubuh berada dalam lingkungan anaerobik, berubah menjadi

bentuk vegetatif dan bertambah banyak dengan cepat, toksin baru akan dilepaskan saat

bakteri lisis. Toksin merambat dari tempat luka melalui motor endplate dan aksis silinder

saraf tepi ke kornu anterior sumsum tulang belakang dan menyebar ke seluruh susunan sistem

saraf pusat. Toksin tersebut menyebabkan blokade pada simpul yang menyalurkan impuls

pada tonus otot, sehingga tonus otot meningkat dan menimbulkan kekakuan. Bila tonus otot

makin meningkat, akan timbul kejang terutama pada otot yang besar.

Kekakuan dimulai dari otot setempat atau trismus, kemudian menjalar ke seluruh

tubuh, tanpa disertai adanya gangguan kesadaran. Kekakuan tetanus sangat khas yaitu berupa

fleksi kedua lengan dan ekstensi pada kedua kaki, fleksi pada telapak kaki, dan tubuh

melengkung bagai busur. (buku ajar infeksi pada pediatri).

Tata laksana pada tetanus terbagi dalam pencegahan dan pengobatan. Pencegahan

yang dapat dilakukan adalah perawatan luka, terutama pada luka tusuk, luka kotor, atau luka

yang diduga tercemar spora tetanus, pemberian ATS dan Toksoid Tetanus pada luka, dan
imunisasi aktif yang dilakukan yaitu DPT, Td, atau Toksoid Tetanus. Selain itu pada

pengobatan, yang diperlukan yaitu pengobatan umum dan khusus.


DAFTAR PUSTAKA

1. Overturf GD. Tetanus. In: Rudolph AM, Rudolph CD, Hostetter MK, Lister G,

Siegel NJ. Rudolph’s pediatric. Ed. 22. McGraw-Hill Education; 2011. P1103-5

2. Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI. Buku ajar infeksi & pediatri

tropis ed. 2. Cetakan keempat. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak

Indonesia; 2015. P322-9

3. World Health Organization. Maternal and Neonatal Tetanus Elimination (MNTE).

Available from: http://who.int/immunization/diseases/MNTE_initiative/en

4. Amon SS. Tetanus (Clostridium tetani). In: Kliegman RM, Stanton BF, St Geme

III JW, Schor NF, Bohrman RE. Nelson textbook of pediatrics. Ed 20.

Philadelphia: Elsevier Inc.; 2016. P1432-4

5. Pudjiadi AH, Hegat B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED.

Pedoman pelayanan medis ikatan dokter anak indonesia. Jakarta: Badan Penerbit

Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2009. P315-8

6. Ranuh IGN, Suyitno H, Hadinegoro SR, Kartasasmita CB, Ismoedijanto,

Soedjatmiko, penyunting Pedoman Imunisasi di Indonesia. Edisi 5. Jakarta: Badan

Penerbit IDAI; 2014

7. Center of Disease Control and Prevention.

http://www.cdc.gov/vaccines/hcp/vis/index.html

You might also like