You are on page 1of 18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Menurut International Statistical Classification of Disease,Injuries and Causes of

Death, Edisi X (ICD-X, WHO), kematian ibu adalah kematian seorang wanita yang

terjadi selama kehamilan, sampai dengan 42 hari setelah berakhirnya kehamilan,

tanpa memperhatikan lama dan tempat terjadinya kehamilan, yang disebabkan oleh

atau dipicu oleh kehamilannya, atau penanganan kehamilannya, tetapi bukan

karena kecelakaan.4

B. Klasifikasi

Menurut ICD-X, WHO tersebut kematian ibu dibedakan menjadi dua kelompok,

yaitu sebagai berikut:

1. Direct obstetric deaths, yaitu kematian ibu yang langsung disebabkan oleh

komplikasi obstetri pada masa hamil, bersalin, dan nifas atau kematian yang

disebabkan oleh suatu tindakan atau berbagai hal yang terjadi akibat tindakan

tersebut yang dilakukan selama hamil, bersalin, dan nifas.

2. Indirect obstetric deaths, yaitu kematian ibu yang disebabkan oleh suatu

penyakit, bukan komplikasi obstetri, berkembang atau bertambah berat akibat

kehamilan atau persalinan.


Prawirohardjo pada tahun 2011 membedakan kematian ibu atas : 1. Kematian

langsung, yaitu kematian yang terjadi sebagai akibat komplikasi kehamilan,

persalinan, nifas dan segala intervensi atau penanganan yang tidak tepat dari

komplikasi tersebut. 2. Kematian tidak langsung, yaitu kematian yang merupakan

akibat dari penyakit yang sudah ada atau penyakit yang timbul sewaktu kehamilan

yang berpengaruh terhadap kehamilan, misalnya malaria, anemia, tuberculosis,

HIV/AIDS, dan penyakit kardiovaskuler. Secara global 80% kematian ibu

tergolong kematian ibu langsung. Penyebab langsung ini umumnya disebabkan

oleh perdarahan, HDK, sepsis, partus macet, komplikasi aborsi tidak aman, dan

sebab-sebab lain.5

C. Indikator

Angka Kematian Ibu (AKI) Indikator yang umum digunakan dalam kematian ibu

adalah AKI atau Maternal Mortality Ratio (MMR). Defenisi AKI adalah jumlah

ibu yang meninggal selama kehamilan, bersalin dan nifas yang dikarenakan oleh

faktor kehamilannya per 100.000 kelahiran hidup. Angka ini mencerminkan risiko

obstetri yang dihadapi seorang ibu sewaktu dia hamil. Jika ibu hamil beberapa kali

maka risikonya meningkat, dan digambarkan sebagai risiko kematian ibu sepanjang

hidupnya, yaitu probabilitas menjadi hamil dan probabilitas kematian karena

kehamilan sepanjang masa reproduksi. Selain hal tersebut di atas, AKI juga

mencerminkan keberhasilan pembangunan kesehatan suatu negara, merefleksikan

status kesehatan ibu selama hamil dan nifas, kualitas pelayanan kesehatan serta

kondisi lingkungan sosial dan ekonomi.6


D. Epidemiologi

Setiap tiga menit, dimanapun di Indonesia, satu anak balita meninggal dunia. Selain

itu setiap jam, satu perempuan meninggal dunia ketika melahirkan atau karena

sebab-sebab yang berhubungan dengan kehamilan. Tahun 2010, sekitar 800 wanita

meninggal setiap harinya dengan penyebab yang berkaitan dengan kehamilan dan

persalinan, hampir semua kematian (99%) terjadi di negara berkembang, dimana

mortalitas yang lebih tinggi di area pedesaan, komunitas miskin dan berpendidikan

rendah. Setengah dari kematian ibu terjadi di sub-Sahara Afrika dan sepertiga

lainnya di Asia Selatan. Negara maju melaporkan 16 kematian ibu per 100.000

kelahiran hidup dan negara berkembang melaporkan 240 kematian ibu per 100.000

kelahiran hidup.7

Data tren AKI dari tahun 1990-2012 menunjukkan Indonesia masuk dalam daftar

AKI tertinggi diantara beberapa negara-negara ASEAN seperti Malaysia, Thailand,

Philipina, Vietnam, dan Myanmar. Lebih dari 9.500 ibu di Indonesia meninggal

setiap tahun, sebagai perbandingan, kematian ibu di Filipina sekitar 1.900, di

Thailand sekitar 420, dan di Malaysia hanya sekitar 240 setiap tahunnya.8

Data WHO (2014) mengenai AKI negara-negara ASEAN tahun 2010,

menunjukkan AKI Indonesia (228 per 100.000 kelahiran hidup) jauh di atas AKI

negara-negara ASEAN, dimana Malaysia 29 per 100.000 kelahiran hidup, Philipina

99 per 100.000 kelahiran hidup, Thailand 48 per 100.000 hidup, Brunei 24 per

100.000 kelahiran hidup, dan Singapura 3 per 100.000 kelahiran hidup. 14 Secara
global, lima penyebab utama kematian ibu adalah perdarahan,HDK, infeksi, partus

lama/macet dan abortus. Kematian ibu di Indonesia telah didominasi oleh tiga

penyebab utama kematian yaitu perdarahan, HDK, dan infeksi. Proporsi ketiga

penyebab kematian ini telah berubah dimana perdarahan dan infeksi semakin

menurun, sedangkan HDK proporsinya semakin meningkat, hampir 30% kematian

ibu di Indonesia pada tahun 2011 disebabkan oleh HDK, sementara di dunia

didominasi oleh perdarahan.

Masalah KIA di negara berkembang, seperti Indonesia antara lain adalah sebagian

besar kematian terjadi di rumah, sebagian besar (60%) kematian ibu terjadi setelah

persalinan, 50% kematian ibu terjadi pada masa nifas, sebagian besar kematian

terjadi tanpa pertolongan dari tenaga profesional, keterlambatan akses pada

pelayanan berkualitas, sebagian besar keluarga tidak mengetahui tanda bahaya bagi

ibu dan bayi, terbatasnya transportasi dan sumberdaya sebagai faktor yang

berhubungan dengan keterlambatan akses pelayanan kesehatan, sebagian besar

komplikasi kehamilan mempengaruhi risiko pada ibu dan bayi, status sosial dan

budaya berhubungan dengan kematian ibu dan anak.

Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, yang berhubungan dengan

pelayanan kesehatan ibu antara lain, terdapat 1.534 kematian ibu dengan jumlah

kelahiran hidup adalah 49.605. Masih dijumpai (23,9%) perempuan yang menikah

pada umur risiko tinggi (20 minggu, paritas 3-4, dan >4 terbanyak menyebabkan

kematian ibu, pendidikan tidak sekolah/tamat SD lebih banyak menyebabkan

kematian, dan tempat ibu meninggal lebih banyak di RS pemerintah. Berdasarkan


data Riset Fasilitas Kesehatan (Rifaskes) Tahun 2011, hanya 6% kota di Sumatera

yang memiliki 4 Puskesmas Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Dasar

(PONED) dan 55% Kabupaten yang memiliki minimal 4 Puskesmas PONED, dan

hanya 21,0% proporsi RSU Pemerintah yang memenuhi kriteria-kriteria Pelayanan

Obstetri Neonatal Emergensi Komprehensif (PONEK).3

E. Determinan

Menurut Depkes dalam Fibriana pada tahun 2007, faktor-faktor yang

mempengaruhi kematian ibu adalah faktor medik, faktor non medik, dan faktor

pelayanan kesehatan. Faktor medik, meliputi faktor empat terlalu (terlalu muda,

terlalu tua, terlalu banyak, dan terlalu dekat), komplikasi kehamilan, persalinan,

dan nifas yang merupakan penyebab langsung kematian maternal (meliputi

perdarahan, infeksi, keracunan kehamilan, komplikasi akibat partus lama, trauma

persalinan), keadaan dan gangguan yang memperburuk derajat kesehatan ibu

selama hamil (kekurangan gizi, anemia, bekerja fisik berat selama kehamilan).

Faktor non medik yang berkaitan dengan ibu dan menghambat upaya penurunan

kesakitan dan kematian maternal, meliputi terbatasnya pengetahuan ibu tentang

bahaya kehamilan resiko tinggi, ketidakberdayaan sebagian besar ibu hamil di

pedesaan dalam pengambilan keputusan untuk dirujuk, ketidakmampuan sebagian

ibu hamil untuk membayar biaya transport dan perawatan di RS. Faktor pelayanan

kesehatan yang belum mendukung upaya penurunan kesakitan dan kematian

maternal antara lain berkaitan dengan cakupan pelayanan KIA, yang meliputi

belum mantapnya jangkauan pelayanan KIA dan penanganan kelompok berisiko,


rendahnya cakupan ANC dan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan,

pertolongan persalinan yang dilakukan di rumah oleh dukun bayi yang tidak

mengetahui tanda-tanda kehamilan. Hal itu semua berkaitan dengan terlambat

mengambil keputusan merujuk, mencapai RS rujukan, mendapatkan pertolongan

di RS rujukan, dan penolong persalinan bukan tenaga kesehatan.11

Menurut Skiner dalam Notoatmojo pada tahun 2010, perilaku kesehatan adalah

respon seseorang terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sehat-sakit,

penyakit, dan faktor-faktor yang mempengaruhi sehat-sakit (kesehatan seperti

lingkungan, makanan, minuman, dan pelayanan kesehatan. Dengan perkataan lain

perilaku kesehatan adalah semua aktivitas atau kegiatan seseorang baik yang dapat

diamati (observable) maupun yang tidak dapat diamati (unobservable) yang

berkaitan dengan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan. Pemeliharaan

kesehatan ini mencakup.12

Tidak ada rekomendasi dalam asuhan kehamilan dimana ibu hamil sama sekali

tidak boleh melakukan aktivitas pekerjaan rumah atau bekerja di luar rumah, yang

penting diperhatikan adalah keseimbangan dan toleransi dalam pekerjaan. Karena

pada kenyataannya pekerjaan selain berhubungan dengan pemeliharaan kesehatan

juga berhubungan dengan penghasilan keluarga.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pekerjaan bagi ibu hamil adalah apakah

pekerjaan itu berisiko bagi ibu hamil. Contoh aktivitas yang berisiko bagi ibu hamil
adalah aktivitas yang meningkatkan stress, berdiri lama sepanjang hari,

mengangkat beban yang berat, paparan suhu yang ekstrim, dan paparan radiasi.

Perlu disampaikan bahwa ibu hamil tetap boleh melakukan aktivitas pekerjaannya

tetapi amati apakah aktivitas pekerjaan tersebut berisiko atau tidak terhadap

kehamilan dan kesehatan ibu. Nasehatkan apakah keuntungan yang didapat lebih

besar dari risiko pekerjaannya.13

Seorang ibu hamil ikut membantu dalam menambah penghasilan keluarga

diasumsikan mereka lebih banyak mengeluarkan tenaga dan pikiran, yang mana hal

ini dapat mempengaruhi kesehatan janin dan ibu hamil. Pada kehamilan trisemester

I dan II, ibu yang bekerja tidak begitu mempengaruhi keadaan bayi tetapi pada

trisemester III hal ini dapat mempengaruhi terjadinya prematuritas.13

a. Pendapatan Keluarga

Kemampuan ekonomi yang sering dinyatakan dalam pendapatan keluarga

mencerminkan kemampuan masyarakat dari segi ekonomi dalam memenuhi

kebutuhan hidupnya termasuk kebutuhan akan kesehatan. Pendapatan juga

mempengaruhi kemampuan dalam mengakses pelayanan kesehatan sehingga

ibu hamil dengan pendapatan yang tinggi dapat dengan teratur memeriksakan

dirinya ke fasilitas kesehatan yang diinginkannya sehingga kasus yang tidak

diinginkan dapat cepat ditangani.

Menurut Kemenkes dalam Sriningsih pada tahun 2011. wanita-wanita dari

keluarga dengan pendapatan rendah (<US$1/hari) memiliki risiko kurang lebih


300 kali untuk menderita kesakitan dan kematian ibu bila dibanding dengan

mereka yang memiliki pendapatan yang lebih baik.14

b. Faktor Sosial Budaya

Fakta di berbagai kelompok masyarakat di Indonesia, masih banyak ibu-ibu

yang menganggap kehamilan sebagai hal yang biasa, alamiah, dan kodrati.

Mereka merasa tidak perlu memeriksakan kehamilannya secara rutin ke bidan

atau dokter. Hal ini mengakibatkan tidak terdeteksinya faktor-faktor risiko

tinggi yang mungkin dialami, risiko ini baru diketahui pada saat persalinan

yang seringkali kasusnya sudah terlambat dan dapat menyebabkan kematian.

Faktor-faktor sosial budaya yang mempengaruhi kehamilan dan persalinan

antara lain adalah adanya kepercayaan-kepercayaan terhadap konsep

kehamilan, pantangan makanan, pantangan perbuatan, dan dukungan suami.15

Di Jawa Tengah misalnya, ada kepercayaan bahwa ibu hamil pantang makan

telur karena dapat mempersulit persalinan dan pantang makan daging karena

dapat menyebabkan perdarahan yang banyak. Di Jawa Barat, ibu yang

kehamilannya memasuki bulan ke-8 dan 9 sengaja harus mengurangi

makanannya agar bayi yang dikandungnya kecil dan mudah dilahirkan.

Pada masa persalinan, masih dijumpai perilaku, kebiasaan, dan adat istiadat

yang salah antara lain, mengolesi vagina dengan minyak kelapa dengan maksud

untuk memperlancar persalinan, memasukkan tangan ke dalam vagina dengan

maksud mengeluarkan plasenta, setelah persalinan ibu duduk dengan posisi


bersandar dan kaki diluruskan ke depan dimana hal tersebut dapat

menyebabkan perdarahan. Pada masa pasca persalinan, adanya perilaku

mengurut perut yang diyakini dapat mengembalikan rahim ke posisi semula,

memasukkan ramuan-ramuan seperti daun-daunan ke dalam vagina dengan

maksud untuk membersihkan darah karena proses persalinan, dan meminum

jamu-jamu tertentu yang bertujuan untuk memperkuat tubuh. Hal tersebut

justru dapat menimbulkan terjadinya infeksi dan komplikasi pada masa nifas.

Pada kebudayaan Jawa, dalam menyambut kelahiran anak, orangtua memasuki

keadaan prihatin, terutama ibu akan mengurangi makan, melakukan pantangan-

pantangan lainnya dan melakukan slametan untuk menjamin kehamilan dan

proses kelahiran dengan baik.

Pada masyarakat Batak, sering dijumpai memberikan nira/tuak/bir hitam pada

ibu pasca persalinan dengan anggapan untuk mengembalikan tenaga ibu

sehabis melahirkan sehingga ibu cepat sehat dan membuat arang di bawah atau

di samping ibu untuk menjaga ibu dan bayinya tetap hangat.

c. Keputusan Murujuk

Menurut Kalangie dalam Jemaulana, pengambilan keputusan terhadap

perawatan medis apa yang akan dipilih dilakukan oleh anggota keluarga,

kerabat dewasa keluarga dalam lingkungan kekerabatan sehingga tidak jarang

nasehat-nasehat yang diberikan tetangga dan kawan-kawan turut juga

mempengaruhi.16
Menurut Siagian dalam Jemaulana, beberapa model-model pengambilan

keputusan, yaitu:17

1. Model Optimasi, yaitu dengan mempertimbangkan keterbatasan yang ada,

seseorang berusaha mencapai hasil yang terbaik yang mungkin dicapai.

2. Model satisficing, yaitu yang ide pokoknya adalah bahwa usaha ditujukan

pada apa yang mungkin dilakukan “sekarang dan di sini” bukan pada

sesuatu yang mungkin optimal tetapi tidak realitas dan oleh karenanya tidak

mungkin dicapai.

3. Model mixed scaning, yaitu bahwa setiap orang pengambil keputusan

menghadapi dilema dalam memilih suatu langkah tertentu, suatu

pendahuluan harus diambil tentang sampai sejauh mana sarana dan

prasarana akan digunakan untuk mencari dan menilai berbagai fungsi dan

kegiatan yang akan dilakukan. Keputusan fundamental dibuat setelah

dilakukan pengkajian terhadap berbagai alternatif-alternatif yang relevan.

4. Model heuristik, yaitu merupakan model yang didasarkan pada rasionalitas.

Faktor-faktor internal seperti persepsi dan keyakinan yang terdapat dalam

diri seorang pengambil keputusan lebih berpengaruh daripada faktor

eksternal seperti pengaruh orang terdekat. Seorang pengambil keputusan

lebih mendasarkan keputusannya pada konsep-konsep yang dimilikinya,

berdasarkan persepsi sendiri tentang situasi masalah yang dihadapi.

Meskipun ibu merupakan komponen yang paling penting dalam keluarga,

namun posisi mereka dalam pengambilan keputusan sering sangat lemah di


samping itu suami mereka sangat kurang pengetahuannya dalam kesehatan

reproduksi karena selama ini pihak suami belum dilibatkan secara menyeluruh

sehingga peranannya dalam meningkatkan kesehatan ibu dan anak masih belum

memadai. Dalam struktur masyarakat Indonesia yang sangat paternalistik,

peran suami, atau orangtua, keluarga dekat si ibu sangat menentukan dalam

pemilihan tempat pelayanan kesehatan.18,19

Keterlambatan pengambilan keputusan di tingkat masyarakat menurut

Kemenkes, dapat disebabkan oleh beberapa hal berikut ini :20

1. Ibu terlambat mencari pertolongan tenaga kesehatan walaupun akses

terhadap tenaga kesehatan tersedia 24/7 (24 jam dalam sehari dan 7 hari

dalam seminggu), oleh karena masalah tradisi/kepercayaan dalam

pengambilan keputusan di keluarga, dan ketidakmampuan menyediakan

biaya non medis dan biaya medis lainnya.

2. Keluarga terlambat merujuk karena tidak mengerti tanda bahaya yang

mengancam nyawa ibu.

3. Tenaga kesehatan terlambat melakukan pencegahan dan/atau

mengidentifikasi komplikasi secara dini. Hal ini dikarenakan kompetisi

tenaga kesehatan tidak optimal, antara lain kemampuan untuk melakukan

APN (Asuhan Persalinan Normal) sesuai standar dan penanganan pertama

keadaan GDON (Gawat Darurat Obstetri dan Neonatal).

4. Tenaga kesehatan tidak mampu mengadvokasi pasien dan keluarganya akan

pentingnya merujuk tepat waktu untuk menyelamatkan nyawa ibu.


d. Faktor Pelayanan Kesehatan

ANC

Ibu hamil sebaiknya dianjurkan untuk mengunjungi bidan atau dokter sedini

mungkin, semenjak ia merasa dirinya hamil untuk mendapatkan

pelayanan/asuhan ANC. Setiap kehamilan dapat berkembang menjadi masalah

atau komplikasi setiap saat. Itulah sebabnya mengapa ibu hamil memerlukan

pemantauan selama kehamilannya.

Menurut Prawirohardjo, tujuan asuhan antenatal adalah :21

1. Memantau kemajuan kehamilan untuk memastikan kesehatan ibu dan

tumbuh kembang bayi

2. Meningkatkan dan mempertahankan kesehatan fisik, mental, dan sosial ibu

dan bayi

3. Mengenali secara dini adanya ketidaknormalan atau komplikasi yang

mungkin terjadi selama hamil, termasuk riwayat penyakit secara umum,

kebidanan, dan pembedahan.

4. Mempersiapkan persalinan cukup bulan, melahirkan dengan selamat ibu

maupun bayinya dengan trauma seminimal mungkin


5. Mempersiapkan ibu agar masa nifas berjalan normal dan pemberian ASI

eksklusif

6. Mempersiapkan peran ibu dan keluarga dalam menerima kelahiran bayi

agar dapat tumbuh kembang secara normal

Adapun kebijakan program asuhan ANC sebaiknya dilakukan paling sedikit 4

kali kunjungan selama kehamilan, yaitu satu kali pada triwulan pertama, satu

kali pada triwulan kedua, dan dua kali pada triwulan ketiga.

Pelayanan yang dilakukan pada ANC adalah standar minimal yang dikenal

dengan ’’7T’’ yaitu:

1. Timbang berat badan

2. Ukur tekanan darah

3. Ukur tinggi fundus uteri

4. Pemberian imunisasi TT lengkap

5. Pemberian tablet zat besi, minimum 90 tablet selama kehamilan

6. Tes terhadap penyakit menular seksual

7. Temu wicara dalam rangka persiapan rujukan

Tenaga Pemeriksa Kesehatan

Menurut Kemenkes pada tahun 2012, dalam pelayanan kesehatan ibu dan anak,

dikenal beberapa jenis tenaga yang memberi pertolongan persalinan yakni, dokter

umum, dokter spesialis kandungan, dan bidan.


Dalam Permenkes No.369/Menkes/SK/III/2007 dikatakan, defenisi Bidan menurut

International Confederation of Midwives (ICM) yang dianut dan diadopsi oleh

seluruh organisasi bidan di seluruh dunia dan diakui oleh WHO dan Federation of

International Gynecologist Obstetrition (FIGO), bidan adalah seseorang yang telah

mengikuti program pendidikan bidan yang diakui di negaranya, telah lulus dari

pendidikan tersebut, serta memenuhi kualifikasi untuk didaftar (diregister) dan atau

memiliki izin yang sah (lisensi) untuk melakukan praktik bidan.

Ikatan Bidan Indonesia (IBI) menetapkan bahwa bidan Indonesia adalah seorang

perempuan yang lulus dari pendidikan Bidan yang diakui Pemerintah dan

organisasi profesi di wilayah negara Republik Indonesia serta memiliki kompetensi

dan kualifikasi untuk diregister, sertifikasi dan atau secara sah mendapat lisensi

untuk menjalankan praktik kebidanan.

Bidan diakui sebagai tenaga profesional yang bertanggungjawab dan akuntabel,

yang bekerja sebagai mitra perempuan untuk memberikan dukungan, asuhan, dan

nasehat selama masa hamil, masa persalinan, dan masa nifas, memimpin persalinan

atas tanggungjawab sendiri dan memberikan asuhan kepada bayi baru lahir dan

bayi. Asuhan ini mencakup upaya pencegahan, promosi persalinan normal, deteksi

komplikasi pada ibu dan anak, dan akses medis atau bantuan lain yang sesuai, serta

melaksanakan tindakan kegawatdaruratan.


Kewenangan Bidan sesuai Permenkes No. 1464 Tahun 2010 Tentang Izin dan

Penyelenggaraan Praktek Bidan, meliputi:

1. Kewenangan normal, yaitu melakukan pelayanan KIA, pelayanan

kesehatan reproduksi, dan KB.

2. Kewenangan dalam menjalankan program pemerintahan.

3. Kewenangan menjalankan praktik di daerah yang tidak memiliki dokter.

Penolong persalinan oleh dukun terkait pengetahuannya tentang keadaan

fisiologis dan patologis dalam kehamilan, persalinan, serta nifas sangat terbatas

oleh karena apabila timbul komplikasi dukun tidak mampu mengatasinya,

bahkan tidak menyadari akibatnya. Mereka bekerja hanya berdasarkan

pengalaman saja dan kurang profesional.

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1464/Menkes/Per/X/2010 tidak

memperbolehkan lagi dukun bayi sebagai tenaga penolong persalinan tetapi

hanya sebagai pendamping dari bidan yang merupakan penolong persalinan

yang telah direkomendasikan Menteri Kesehatan.

Puskesmas mampu PONED adalah puskesmas rawat inap yang mampu

menyelenggarakan pelayanan obstetri dan neonatal emergency/komplikasi

tingkat dasar dalam 24 jam sehari dan 7 hari seminggu.23


Tenaga pelaksana yang berfungsi sebagai tim inti pelaksana PONED harus yang

sudah terlatih dan bersertifikat dari Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat)

tenaga kesehatan yang telah mendapat sertifikasi sebagai penyelenggara

Pusdiklat PONED.

Tim inti pelaksana puskesmas PONED minimal terdiri dari 1 orang Dokter

Umum, 1 orang Bidan (minimal Diploma tiga), dan 1 orang Perawat (minimal

Diploma tiga), yang selalu siap on side selama 24 jam sehari dan 7 hari

seminggu.

Tim inti pelaksana RS PONEK pada hakekatnya sama dengan puskesmas

PONED yang dibantu oleh dokter kebidanan, dokter anak, dakter/petugas

anestesi, dokter penyakit dalam, dan dokter spesialis lain yang berhubungan.

Penanganan Adekuat

Menurut Prawirohardjo (2009), kebijakan pelayanan asuhan persalinan adalah:

1. Semua persalinan harus dihadiri dan dipantau oleh petugas kesehatan

terlatih.

2. Rumah bersalin dan tempat rujukan dengan fasilitas memadai untuk

menangani kegawatdaruratan obstetric dan neonatal harus tersedia 24 jam.

3. Obat-obatan essensial, bahan, dan perlengkapan harus tersedia bagi seluruh

petugas terlatih.
Akses

Akses adalah kemudahan penggunaan fasilitas pelayanan kesehatan oleh

individu dengan kebutuhan akan pelayanan kesehatan. Kemudahan akses ke

sarana pelayanan kesehatan berhubungan dengan beberapa faktor penentu,

antara lain jarak tempat tinggal dan waktu tempuh ke sarana pelayanan

kesehatan, serta status sosial ekonomi dan budaya.

Menurut Permatasar, faktor aksesibilitas pelayanan kesehatan dikelompokkan

dalam 3 kategori, yaitu: 23

1. Aksesibilitas fisik

Aksesibilitas fisik terkait dengan ketersediaan pelayanan kesehatan atau

jaraknya terhadap pengguna pelayanan. Akses fisik dapat dihitung dari

waktu tempuh, jarak tempuh, jenis transportasi, dan kondisi dari pelayanan

kesehatan. Sarana pelayanan kesehatan yang paling mudah dijangkau berada

pada jarak kurang dari 1 km.

Pengukuran akses pelayanan kesehatan dapat dilihat dari waktu tempuh dari

lokasi pemukiman sasaran pelayanan dasar dan puskesmas ke fasilitas

puskesmas PONED paling lama 1 jam dengan transportasi umum.24

2. Aksesibilitas ekonomi

Aksesibilitas ekonomi dari sisi pengguna dapat dilihat dari kemampuan

finansial seseorang untuk mengakses pelayanan kesehatan. Pemanfaatan

fasilitas pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh harga atau biaya yang

dibebankan kepada pengguna jasa pelayanan tersebut, sehingga apabila


biaya dari pelayanan kesehatan tertentu mudah untuk dijangkau maka orang

akan cenderung untuk berobat ke sana.

3. Aksesibilitas Sosial

Aksesibilitas sosial adalah kondisi nonfisik dan nonfinansial yang

mempengaruhi pengambilan keputusan untuk menggunakan pelayanan

kesehatan. Aksesibilitas sosial berhubungan dengan dapat atau tidak

diterimanya pelayanan kesehatan itu secara sosial, kepercayaan, dan

perilaku.

You might also like