You are on page 1of 6

INTERVENSI TERAPI YOGA TERHADAP PASCA TRAUMA SYNDROME

DISORDERS PADA KORBAN SELAMAT BENCANA GEMPA BUMI


PENANGANAN JANGKA PANJANG : A SYSTEMATIC REVIEW
Dwi Anggraini
S1 Ilmu Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surabaya
Jalan Sutorejo No. 59, Surabaya
Email : anggie4895@gmail.com
Abstrack

Latar Belakang : PTSD dan depresi adalah gangguan mental yang paling umum timbul
setelah gempa bumi. PTSD perkiraan prevalensi bervariasi, dengan sebagian besar berada di
kisaran 20-40%, dalam studi bencana yang berfokus (Bromet et al., 2016). Ulasan terbaru
menunjukkan bahwa hampir 1 dari 4 korban gempa mengembangkan PTSD (Dai et al.,
2016). Terkait bencana gejala sisa psikologis bisa bertahan selama bertahun-tahun, namun
gejala sisa jangka panjang dan faktor risiko mereka cenderung menerima sedikit perhatian
penelitian. 13 tahun telah berlalu, dan tidak ada studi yang ada telah memeriksa prevalensi
jangka panjang gangguan mental dan prediktor terkait antara korban gempa dewasa di
Indonsia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meninjau prevalensi factor resiko dan
penanganan PTSD menggunakan terapi yoga dengan meninjau penelitian yg sudah
dilakukan.

Metode : Pencarian artikel literatur sistematis berasal dari 4 database dilakukan dengan
kualitas penelitian itu dinilai. Sebanyak Enam studi (N= 6) dipilih dan ditinjau. Masing
masing 2 cross-sectional study terdiri dari 2 topik PTSD, 2 systematic review terdiri 2 topik
intervensi yoga terhadap PTSD, 1 A community-based controlled trial terdiri dari 1 topik
terapi yoga pada korban bencana gempa bumi, 1 Survey study terdiri dari survey PTSD.

Hasil : Sebanyak 6 artikel yang didapatkan oleh peneliti terdiri dari 3 jurnal membahas
tentang prevalensi, faktor resiko, predictor PTSD pada korban bencana gempa bumi dan 3
jurnal membahas tentang efek terapi yoga, hubungan terapi yoga dengan PTSD dan
mekanisme terapi yoga terhadap saraf otonom untuk menurukan PTSD. 3 dari artikel
tersebut 6 artikel yang membahas efektifitas terapi yoga memiliki hasil bahwa terapi yoga
secara signifikan menurukan keparahan dan prevalensi PTSD pada korban bencana alam
gempa bumi. 3 artikel lainnya yang membahas tentang prevalensi PTSD memiliki hasil
bahwa jenis kelamin perempuan,belum menikah, kehilangan anggota keluarga,
miskin,kondisi kesehatan yg buruk meningkatkan prevalensi dan termasuk faktor resiko dari
PTSD korban bencana alam gempa bumi.

Kesimpulan : Sebanyak 6 artikel yang didapatkan oleh peneliti terdiri dari 3 jurnal
membahas tentang prevalensi, faktor resiko, predictor PTSD pada korban bencana gempa
bumi dan 3 jurnal membahas tentang efek terapi yoga, hubungan terapi yoga dengan PTSD
dan mekanisme terapi yoga terhadap saraf otonom untuk menurukan PTSD. Temuan ini
mungkin memiliki implikasi untuk pasca-gempa program kesehatan mental di masa depan.
Temuan-temuan dukungan berfokus pada upaya pasca-gempa untuk perawat psikiatri untuk
menyediakan layanan kesehatan mental yang efektif dan berkelanjutan seperti intervensi
kelompok, terapi keluarga, individu konseling atau Psychopharmacology pengobatan untuk
korban berduka, terutama bagi mereka yang berisiko tinggi untuk gejala PTSD.

Keyword : PTSD, Intervensi Yoga, Systematic Review

1.1 Latar Belakang

Secara global, orang di negara-negara kurang berkembang dan daerah lebih cenderung
menjadi dampak dari bencana alam, dan sejumlah besar orang meninggal dari segala macam
bencana di negara-negara (Wang et al., 2000). Namun, karena dukungan keuangan terbatas
dan perhatian publik, sedikit penelitian pasca bencana dilakukan di negara-negara
berkembang. Bencana Gempa bumi merupakan sebuah ancaman besar bagi penduduk pantai
di kawasan Pasifik dan lautan-lautan lainnya di dunia. Indonesia merupakan salah satu
negara di dunia yang mempunyai tingkat gempa yang sangat tinggi. Hal ini dikarenakan
indonesia terletak diantara tiga lempeng aktif dunia, yaitu lempeng Eurasia, Indo-Australia
dan Pasifik. Konsekuensi tumbukan lempeng tersebut mengakibatkan negara Indonesia
rawan bencana geologi diantaranya Gempa bumi, Letusan Gunung Api, Tsunami, Gerakan
Tanah dan lain-lain.
Pada tanggal 26 Desember 2004 terjadi Gempa bumi dan tsunami dengan 9.3 Skala
Richter di Nanggroe Aceh Darussalam. Kejadian Tsunami di daerah Aceh dipicu oleh
Gempa Besar yang terjadi di bawah laut akibat adanya zona subduksi, yaitu menunjamnya
lempeng Indo-Australia dengan Eurasia. Kemudian tanggal 28 Maret 2005 terjadi Gempa
dengan 8,7 Skala Richter di Nias Barat di kota Sirombu, Mandrehe dan sekitarnya.
Kemudian, belum satu bulan kejadian beruntun tersebut terjadi, disusul gempa bumi yang
mengguncang Padang, Lampung, menerus sampai Jawa barat Selatan. Menurut U.S
Geological Survey “di Indonesia, gempa dan tsunami menyebabkan lebih dari 126.000
korban jiwa meninggal dunia, puluhan gedung hancur oleh gempa utama, terutama di
Meulaboh dan Banda Aceh di ujung Sumatra. Di Banda Aceh, sekitar 50% dari semua
bangunan rusak terkena tsunami”. Tsunami menghantam pantai barat Aceh dan Sumatra
Utara, sehingga banyak menimbulkan korban jiwa dan bangunan.

PTSD dan depresi adalah gangguan mental yang paling umum timbul setelah gempa
bumi. PTSD perkiraan prevalensi bervariasi, dengan sebagian besar berada di kisaran 20-
40%, dalam studi bencana yang berfokus (Bromet et al., 2016). Ulasan terbaru menunjukkan
bahwa hampir 1 dari 4 korban gempa mengembangkan PTSD (Dai et al., 2016). Mengingat
fakta ini, ada kebutuhan untuk penelitian lebih lanjut tentang konsekuensi kesehatan mental
dari gempa bumi yang parah di Indonesia.

Terkait bencana gejala sisa psikologis bisa bertahan selama bertahun-tahun, namun
gejala sisa jangka panjang dan faktor risiko mereka cenderung menerima sedikit perhatian
penelitian. Sebuah tinjauan sistematis terbaru menemukan bahwa jumlah artikel jurnal yang
diterbitkan pada konsekuensi kesehatan gempa bumi cenderung turun drastis 2 tahun setelah
kejadian tersebut (Xiao et al., 2011). Untuk yang terbaik dari pengetahuan kita, sangat
sedikit penelitian hingga saat ini difokuskan pada kesehatan mental dampak jangka panjang
pada bencana ini. 13 tahun telah berlalu, dan tidak ada studi yang ada telah memeriksa
prevalensi jangka panjang gangguan mental dan prediktor terkait antara korban gempa
dewasa di Indonsia. Penelitian lebih lanjut tentang hasil psikiatri jangka panjang dari gempa
di Indonesia diperlukan.

2.1. Metode
2.1.1. Pencarian

Pencarian Studi literatue di pubmed, proquest, science direct, google Scholar Dengan
menggunakan kata kunci “PTSD in Earthquake”, “PTSD”, “PTSD Intervention”, “PTSD
After Natural Disaster”, “Yoga for PTSD”, Effect Yoga on survivor earthquake with
PTSD”. pencarian dimulai dari tanggal 10 april 2017- 20 april 2017.

2.1.2. Seleksi Studi

Dalam pencarian jurnal didapatkan sebanyak 30 artikel dan di seleksi karena tahunnya,
hanya manuscript saja, penerbitan yg sudah terlalu tua, artikelnya tidak spesifik membahas
PTSD pada gempa bumi. Setelah diseleksi dengan kriteria tersebut didapatkan hasil
Sebanyak 6 artikel yang dipakai untuk penelitian ini.

3.1. Hasil

Sebanyak 6 artikel yang didapatkan oleh peneliti terdiri dari 3 jurnal membahas tentang
prevalensi, faktor resiko, predictor PTSD pada korban bencana gempa bumi dan 3 jurnal
membahas tentang efek terapi yoga, hubungan terapi yoga dengan PTSD dan mekanisme
terapi yoga terhadap saraf otonom untuk menurukan PTSD. 3 dari artikel tersebut 6 artikel
yang membahas efektifitas terapi yoga memiliki hasil bahwa terapi yoga secara signifikan
menurukan keparahan dan prevalensi PTSD pada korban bencana alam gempa bumi. 3
artikel lainnya yang membahas tentang prevalensi PTSD memiliki hasil bahwa jenis
kelamin perempuan,belum menikah, kehilangan anggota keluarga, miskin,kondisi kesehatan
yg buruk meningkatkan prevalensi dan termasuk faktor resiko dari PTSD korban bencana
alam gempa bumi.

4.1. Diskusi

Dalam penelitian Ozdemir et. al. (2015), meneliti hubungan PTSD dengan kualitas
hidup, putus asa, keinginan bunuh diri, dan efek mediational disosiasi patologis pada
sambungan tersebut. 583 subyek yang sebagian besar mengalami gempa parah berpartisipasi
dalam studi setelah dua tahun bencana.Hasil Temuan bahwa perempuan, lajang, Terpaparan
gempa, dan memiliki keinginan bunuh diri lebih besar prediktor yang signifikan terhadap
keparahan gejala PTSD. Peran-fisik, Bodily-Pain, Kesehatan Umum dan sub skala peran-
emosional dari SF-36 yang berbanding terbalik dikaitkan dengan keparahan gejala PTSD.
Hal ini sejalan dengan temuan penelitian yang dilakukan oleh Jing Guo et. al. (2017) bahwa
Delapan tahun setelah gempa Wenchuan, 11,8% responden memiliki PTSD
symptomalogical, dan 24,8% responden mengalami kemungkinan depresi. Hasil penelitian
juga menunjukkan bahwa jenis kelamin perempuan, pendidikan rendah, kesehatan yang
dirasakan, miskin, dan pengalaman traumatis setelah gempa dikaitkan dengan kemungkinan
yang lebih tinggi dari kedua PTSD dan depresi di antara korban. Meskipun ke 2 penelitian
di atas berbeda dengan temuan Xiuying Hu et. al. (2016) Hu mengatakan prevalensi
kemungkinan PTSD di korban berduka menurun secara signifikan dari 38,9% pada 6 bulan
untuk 16,8% pada 18 bulan pasca-gempa. Seiring dengan berlalunya waktu PTSD yg
dialami korban menurun.

Sedangkan beberapa literatur menyebutkan bahwa terapi yoga dapat menurunkan


keparahan atau menurunkan prevalensi PTSD yang dialami oleh korban gempa bumi hal ini
di dukung oleh penelitian Caitlin R. Nolan, (2016) bahwa Ada bukti sementara untuk
mendukung pengaruh dari TSY dalam mengurangi PTSD, depresi, dan kecemasan
simtomatologinya untuk wanita dengan PTSD; ada juga penetapan bukti sementara
kemungkinan melaksanakan Trauma-Sensitive Yoga (TSY) sebagai intervensi kesehatan
mental ajuvan, terutama bagi individu yang non-responsif terhadap psikoterapi berbasis
kognitif. Temuan-temuan kualitatif berbicara dengan sejumlah manfaat dari latihan yoga
dirangsang oleh partisipasi TSY berpusat pada fenomena perwujudan damai. Statement ini
juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Kolbrun Thordardottir et. al. (2014)
menemukan dari 60 sampel yang sukarela diteliti untuk diberikan intervensi Program yoga
dilakukan dua kali seminggu selama enam minggu, dalam situasi yang normal di antara
penduduk di masyarakat.menghasilkan peserta dalam kedua kelompok menunjukkan
perbaikan yang signifikan dalam stres dan beberapa gejala stres yang berhubungan seperti
tidur, konsentrasi, kesejahteraan, kualitas hidup, depresi dan kecemasan dari pra pasca-
intervensi. Dari temuan diatas timbul pertanyaan bagaimana bisa terjadi seperti itu ?
bagaimana mekanismenya ? maka penelitian yang dilakukan oleh C.C. Streeter et. al (2012)
akan menjawab pertanyaan tersebut, Streeter mengungkapkan bahwa beberapa faktor seperti
menginduksi stres (1) ketidakseimbangan sistem saraf otonom (ANS) dengan penurunan
sistem saraf parasimpatis (PNS) dan peningkatan simpatik sistem saraf (SNS) aktivitas, (2)
underactivity dari asam amino-butirat gamma (GABA) sistem, primer sistem
neurotransmitter inhibisi, dan (3) peningkatan beban allostatic. Hal ini mendukung hipotesis
bahwa praktek-praktek berbasis yoga (4) underactivity benar dari PNS dan sistem GABA di
bagian melalui stimulasi saraf vagus, jalur perifer utama dari PNS, dan (5) mengurangi
beban allostatic. Depresi, epilepsi, post traumatic stress disorder (PTSD), dan sakit kronis
contoh kondisi medis yang diperburuk oleh stres, memiliki variabilitas denyut jantung yang
rendah (HRV) dan aktivitas GABAergic rendah, menanggapi agen farmakologis yang
meningkatkan aktivitas sistem GABA, dan menunjukkan perbaikan gejala dalam
menanggapi intervensi berbasis yoga.

5.1. Kesimpulan

Sebanyak 6 artikel yang didapatkan oleh peneliti terdiri dari 3 jurnal membahas tentang
prevalensi, faktor resiko, predictor PTSD pada korban bencana gempa bumi dan 3 jurnal
membahas tentang efek terapi yoga, hubungan terapi yoga dengan PTSD dan mekanisme
terapi yoga terhadap saraf otonom untuk menurukan PTSD. Temuan ini mungkin memiliki
implikasi untuk pasca-gempa program kesehatan mental di masa depan. Temuan-temuan
dukungan berfokus pada upaya pasca-gempa untuk perawat psikiatri untuk menyediakan
layanan kesehatan mental yang efektif dan berkelanjutan seperti intervensi kelompok, terapi
keluarga, individu konseling atau Psychopharmacology pengobatan untuk korban berduka,
terutama bagi mereka yang berisiko tinggi untuk gejala PTSD.

You might also like