Professional Documents
Culture Documents
Pada era demokrasi dan transparansi dewasa ini, aparatur negara tetap menjadi
tumpuan harapan untuk menjadi salah satu dinamisator ke arah pemulihan penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan setelah krisis multi dimensi yang melanda bangsa dan
negara sejak tahun 1997.
Dalam pada itu, berbagai penilaian yang mengindikasikan merajalelanya KKN di negeri
kita, termasuk pada lingkup birokrasi pemerintahan merupakan tantangan tersendiri yang
harus dijawab oleh seluruh aparatur negara. Apabila kita tidak dapat membersihkan diri kita
sendiri secara sungguh-sungguh akan mengakibatkan kepercayaan masyarakat terhadap
aparatur negara semakin rendah, yang pada gilirannya kepercayaan rakyat kepada
pemerintah akan sirna. Upaya yang terencana dan transparan dengan melibatkan seluruh
komponen masyarakat untuk menjadikan pemerintahan yang bersih (clean government)
menuju ke arah kepemerintahan yang baik (good governance) tidak bisa ditunda lagi.
Sehubungan hal tersebut saya menghargai hasil karya BPKP yang merespons surat
Men.PAN Nomor: 37a/M.PAN/2/2002 tanggal 8 Pebruari 2002 tentang Intensifikasi dan
Percepatan Pemberantasan KKN dengan menerbitkan 5 (lima) Buku Pedoman Upaya
Pencegahan dan Penanggulangan Korupsi yaitu di bidang Pengelolaan APBN/APBD,
BUMN/BUMD, Perbankan, Kepegawaian, Sumber Daya Alam dan Pelayanan Masyarakat.
Saya berharap agar seluruh aparat baik yang bertugas di Instansi Pemerintah
Pusat/Daerah, BUMN/BUMD maupun Perbankan dapat menggunakan Buku Pedoman ini dan
mengembangkannya sesuai kondisi lingkungan tugas masing-masing sehingga dapat
mencegah dan menanggulangi kasus-kasus KKN secara efektif dan efisien.
MENTERI
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
FEISAL TAMIN
REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN
(BPKP)
Korupsi sudah dianggap sebagai penyakit moral, bahkan ada kecenderungan semakin
berkembang dengan penyebab multifaktor. Oleh karena itu penanganannya perlu dilakukan
secara sungguh-sungguh dan sistematis, dengan menerapkan strategi yang komprehensif -
secara preventif, detektif, represif, simultan dan berkelanjutan dengan melibatkan semua
unsur terkait, baik unsur-unsur Lembaga Tertinggi dan Tinggi Negara, maupun masyarakat
luas.
Dalam rangka memenuhi RENSTRA BPKP Tahun 2000-2004, serta sebagai hasil
koordinasi dengan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara mengenai intensifikasi dan
percepatan pemberantasan KKN, BPKP telah menerbitkan Buku “Upaya Pencegahan dan
Penanggulangan Korupsi Pada Pengelolaan Pelayanan Masyarakat”.
Meskipun Buku ini telah disusun dengan upaya yang maksimal, namun dengan segala
keterbatasan dan kendala yang dihadapi Tim Penyusun, disadari bahwa di dalamnya masih
terdapat banyak kelemahan dan kekurangan baik dari materi yang disajikan maupun cara
penyajiannya, sehingga memerlukan penyempurnaan secara terus-menerus. Untuk itu
masukan yang positif dan konstruktif dari para pembaca dan pemakai buku ini sangat
diharapkan.
Buku ini diharapkan dapat menjadi petunjuk praktis bagi Instansi Pemerintah baik di
Pusat maupun di Daerah serta BUMN/BUMD untuk menanggulangi kasus-kasus korupsi
dalam pengelolaan pelayanan masyarakat, bukan saja bagi Aparat Pengawasan Internal
Pemerintah(APIP)/Satuan Pengawas Intern (SPI) masing-masing, tetapi juga bagi para
pimpinan instansi/BUMN/BUMD yang bersangkutan. Hal ini disebabkan pemberantasan
korupsi bukan semata-mata tanggung jawab APIP/SPI, karena sifat tugasnya lebih pada
penanggulangan korupsi secara detektif dan represif. Penanggulangan korupsi yang lebih
efektif dan efisien adalah secara preventif yang merupakan tanggung jawab manajemen.
Langkah-langkah pencegahan dan penanggulangan korupsi yang disajikan dalam buku ini
merupakan upaya minimal, yang perlu dilaksanakan secara maksimal dan dikembangkan
oleh setiap institusi tersebut di atas secara terus menerus sesuai dengan kompleksitas
permasalahan yang dihadapi. Keberhasilan buku ini sangat tergantung pada upaya pihak-
pihak yang kompeten untuk menjalankannya dengan tindakan yang nyata, konsisten disertai
dengan komitmen yang kuat untuk mencegah dan menanggulangi korupsi secara
berkesinambungan.
Kepada semua pihak yang telah mencurahkan segenap tenaga, pikirannya dan
membantu baik secara moril maupun materiil dalam penyusunan buku ini, termasuk
APIP/SPI yang telah menyampaikan masukan-masukan kami sampaikan ucapan terima kasih
dan penghargaan yang setinggi-tingginya.
Akhirnya, semoga Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa membimbing kita dalam
melaksanakan tugas-tugas Pemerintahan dan Pembangunan, serta upaya pencegahan dan
penanggulangan korupsi ini dapat mencapai tujuan yang diharapkan.
KEPALA
ARIE SOELENDRO
DAFTAR ISI
Halaman
Bab I UMUM
A. Dasar Pemikiran 6
B. Pengertian Umum 9
C. Tujuan dan Sasaran 10
D. Ruang Lingkup 10
E. Sistim Pengendalian Manajemen pada Pengelolaan Sumber Daya Alam 10
F. Metode Penyajian 11
A. Dasar Pemikiran
Pemberantasan korupsi tidak cukup dilakukan hanya dengan komitmen semata karena
pencegahan dan penanggulangan korupsi bukan suatu pekerjaan yang mudah.
Komitmen tersebut harus diaktualisasikan dalam bentuk strategi yang komprehensif
untuk meminimalkan keempat aspek penyebab korupsi yang telah dikemukakan
sebelumnya. Strategi tersebut mencakup aspek preventif, detektif dan represif,
yang dilaksanakan secara intensif dan terus menerus.
BPKP dalam buku SPKN yang telah disebut di muka, telah menyusun strategi preventif,
detektif dan represif yang perlu dilakukan, sebagai berikut :
1. Strategi Preventif
4) Membangun kode etik di sektor Parpol, Organisasi Profesi dan Asosiasi Bisnis.
11) Kampanye untuk menciptakan nilai (value) anti korupsi secara nasional;
2. Strategi Detektif
4) Partisipasi Indonesia pada gerakan anti korupsi dan anti pencucian uang di
masyarakat internasional ;
3. Strategi Represif
8) Pengaturan kembali hubungan dan standar kerja antara tugas penyidik tindak
pidana korupsi dengan penyidik umum, PPNS dan penuntut umum.
Pelaksanaan strategi preventif, detektif dan represif sebagaimana tersebut di atas akan
memakan waktu yang lama, karena melibatkan semua komponen bangsa, baik legislatif,
eksekutif maupun judikatif. Sambil terus berupaya mewujudkan strategi di atas, perlu
dibuat upaya-upaya nyata yang bersifat segera. Upaya yang dapat segera dilakukan
untuk mencegah dan menanggulangi korupsi tersebut antara lain adalah dengan
meningkatkan fungsi pengawasan, yaitu sistem pengawasan internal (built in control),
maupun pengawasan fungsional, yang dipadukan dengan pengawasan masyarakat
(wasmas) dan pengawasan legislatif (wasleg).
Salah satu usaha yang dilakukan dalam rangka peningkatan pengawasan internal dan
fungsional tersebut, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP)
ditugaskan menyusun petunjuk teknis operasional pemberantasan KKN sesuai surat
Menteri PAN Nomor : 37a/M.PAN/2/2002 tanggal 8 Februari 2002. Petunjuk teknis ini
diharapkan dapat digunakan sebagai petunjuk praktis bagi Aparat Pengawasan
Fungsional Pemerintah (APFP)/ Satuan Pengawasan Internal (SPI) BUMN/D dan
Perbankan dalam upaya mencegah dan menanggulangi korupsi di lingkungan kerja
masing-masing.
B. Pengertian Umum
3. Upaya represif adalah usaha yang diarahkan agar setiap perbuatan korupsi yang
telah diidentifikasi dapat diproses secara cepat, tepat, dengan biaya murah,
sehingga kepada para pelakunya dapat segera diberikan sanksi sesuai peraturan
perundangan yang berlaku ;
4. Keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun yang
dipisahkan atau yang tidak dipisahkan termasuk di dalamnya segala bagian
kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul, karena :
a. berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat
lembaga Negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah ;
b. berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan
Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan, Badan Hukum, dan
perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang
menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.
5. Sumber daya alam adalah segala kekayaan alam yang terdapat di atas, di
permukaan dan di dalam bumi yang dikuasai oleh Negara.
6. Instansi Pengelola adalah unit organisasi pemerintahan
(Departemen/LPND/BUMN/BUMD/Lainnya) yang ditunjuk Pemerintah Republik
Indonesia untuk mewakili Pemerintah dalam penguasaan/ pemanfaatan sumber
daya alam.
Buku ini berisi panduan upaya-upaya praktis yang dapat dilakukan untuk mencegah,
mendeteksi dan menindaklanjuti secara represif perbuatan korupsi di bidang
pengelolaan sumber daya alam.
Sasarannya adalah:
D. Ruang Lingkup
Upaya pencegahan dan penanggulangan korupsi ini berlaku bagi seluruh instansi
pemerintah dan BUMN/BUMD yang melakukan kegiatan pengelolaan sumber daya alam
baik yang ada di atas, di permukaan dan di dalam kandungan bumi termasuk perairan
dalam lingkup Zone Ekonomi Ekslusif (ZEE) negara Indonesia, dengan perhatian utama
pada aspek pengelolaan yang langsung berhubungan dengan kepentingan publik.
Pengelolaan sumberdaya alam yang menyimpang selama ini telah menimbulkan resiko
pencemaran dan perusakan lingkungan hidup sehingga struktur dan fungsi dasar
ekosistem yang menjadi penunjang kehidupan menjadi rusak. Pencemaran dan
perusakan lingkungan hidup merupakan beban sosial yang pada akhimya masyarakat
dan pemerintah harus menanggung biaya pemulihannya.
Pengendalian Manajemen dalam pengelolaan sumber daya alam ini dimulai dari internal
organisasi, melalui upaya-upaya preventif, yaitu dengan menciptakan sistem
pengendalian manajemen, meliputi :
F. Metode Penyajian
Penyajian buku ini diawali dengan terlebih dahulu menguraikan kasus penyimpangan,
kemudian diikuti dengan cara-cara penanggulangan yang perlu dilakukan, yang meliputi
upaya preventif untuk mencegah terjadinya kasus tersebut dan upaya detektif untuk
mengetahui kemungkinan terjadinya kasus dimaksud. Upaya penindakan secara represif,
disajikan secara umum untuk semua kasus penyimpangan secara keseluruhan di Bab
III.
BAB II
Upaya detektif dalam panduan praktis ini hanya mencakup upaya minimal yang dianggap
penting dilakukan untuk mendeteksi penyimpangan yang terjadi sehingga perlu
dikembangkan sesuai kondisi yang dihadapi di lapangan, yang secara rinci dituangkan dalam
program pemeriksaan (audit program).
Pengembangan upaya preventif dan detektif tersebut sangat perlu dilakukan karena
penyimpangan-penyimpangan yang terjadi pada instansi pengelola pada umumnya
disebabkan adanya kolusi baik antar petugas di dalam instansi tersebut, maupun dengan
pihak luar yang terkait.
Kasus penyimpangan yang terjadi serta upaya-upaya preventif dan detektif dalam
pengelolaan pengelolaan sumber daya alam dapat disajikan sebagai berikut:
Upaya-upaya preventif :
(1) Rencana Karya Tahunan (RKT) harus disusun berdasarkan potensi hutan
yang sesungguhnya sesuai dengan hasil inventarisasi tegakan ;
(2) Jatah tebang yang diberikan tidak boleh melebihi potensi hutan yang
sesungguhnya untuk mencegah terjadinya over cutting dan penebangan di
luar areal HPH ;
(3) RKT harus disetujui oleh pemerintah setempat berdasarkan hasil evaluasi
Laporan Hasil Cruising (LHC) yang dilakukan oleh instansi terkait;
(4) Pemerintah setempat harus menetapkan sanksi administrasi dan keuangan
terhadap pelanggaran proses pengesahan RKT.
Upaya-upaya detektif :
(1) Meneliti hasil-hasil evaluasi LHC yang dilakukan instansi yang berwenang
untuk mengetahui patensi hutan yang sesungguhnya ;
(2) Membandingkan RKT (yang telah disahkan) dengan LHC yang ditetapkan
sesuai dengan ketentuan ;
(3) Membandingkan laporan produksi perusahaan pemegang HPH dengan LHC;
(4) Pemeriksaan fisik ke lapangan, antara lain untuk meyakinkan tidak terjadinya
over cutting, perambahan ke luar area yang ditetapkan, kerusakan
lingkungan, dan sebagainya.
Upaya-upaya preventif :
(1) Adanya pengawasan yang ketat terhadap pelaksanaan ijin pengelolan hutan
untuk mencegah adanya penebangan di luar areal kerja HPH dan adanya
pelanggaran penebangan yang tidak memperhatikan TPTI ;
(2) Adanya mekanisme pengecekan silang terhadap hasil pekerjaan pemotretan
dan pemetaan yang dilaksanakan oleh instansi yang berwenang yang
independen ;
(3) Adanya peraturan pengenaan sanksi terhadap aparat terkait dan pengusaha
atas pelanggaran ketentuan perikatan perjanjian secara tegas dan pasti.
Upaya-upaya detektif :
(1) Melakukan penelitian terhadap ijin baru dan perpanjangan ijin HPH apakah
telah didukung dengan data yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku ;
(2) Membandingkan hasil pemotretan dan pemetaan areal kerja HPH yang
dilaksanakan oleh pihak ketiga dengan hasil foto dan pemetaan yang
dilakukan oleh pihak berwenang yang independen;
(3) Melakukan pengecekan ke lapangan untuk mengetahui bahwa kayu yang
ditebang telah sesuai dengan ketentuan TPTI dan areal kerja HPH tidak
menyeberang ke areal kerja HPH yang lain.
Upaya-upaya preventif :
(1) Adanya ketentuan pengenaan sanksi terhadap aparat terkait dan pengusaha
atas pelanggaran ketentuan perikatan perjanjian secara tegas dan pasti ;
(2) Adanya mekanisme penegakan pelaksanaan disiplin akuntabilitas publik,
yaitu dalam bentuk pertanggungjawaban kinerja seluruh jajaran birokrasi
departemen yang bersangkutan baik secara individual maupun kolektif
kepada masyarakat atas pelaksanaan pekerjaan yang menjadi tanggung
jawabnya ;
(3) Adanya mekanisme pengecekan silang terhadap hasil pekerjaan pemotretan
dan pemetaan yang dilaksanakan oleh pihak ketiga dibandingkan dengan
hasil yang dilaksanakan oleh instansi yang berwenang yang independen.
Upaya-upaya detektif :
Upaya-upaya preventif :
(1) Adanya ketentuan yang jelas dengan sanksi yang tegas mengenai
(2) kemungkinan melakukan penambangan di lokasi hutan lindung ;
(3) Sosialisasi arti penting dari hutan lindung di lingkungan instansi pemerintah
maupun kepada dunia usaha dan masyarakat umum ;
(4) Sosialisasi ketentuan bahwa konservasi hutan lindung tunduk kepada
konvensi internasional dan merupakan pengecualian dari aspek-aspek
kekuasaan otonom bagi daerah.
Upaya-upaya detektif :
Upaya-upaya preventif
(1) Adanya ketentuan dan sanksi yang tegas bagi aparat terkait dan perusahaan
pemegang HPH untuk melakukan penebangan hutan sesuai kriteria Tebang
Pilih Tanam Indonesia (TPTI);
(2) Adanya sistem pengawasan pada instansi terkait terhadap kegiatan
penebangan hutan oleh perusahaan pemegang HPH ;
(3) Adanya pengawasan dengan melibatkan masyarakat dan LSM di bidang
lingkungan hidup atas kegiatan penebangan hutan oleh perusahaan
pemegang HPH.
Upaya-upaya detektif
Upaya-upaya preventif :
Upaya-upaya detektif
7) Hak Pemanfaatan Hasil Hutan (HPHH) yang diberikan kepada masyarakat setempat,
namun kenyataan di lapangan di laksanakan dan diperlakukan sebagai HPH oleh
pengusaha HPH dan dibiarkan oleh aparat terkait. Hal ini terjadi karena
ketidakmampuan masyarakat setempat dari segi permodalan dan dari segi
pemenuhan prosedur yang ditentukan sehingga masyarakat kehilangan sumber
pendapatan tradisional disamping timbulnya potensi kerusakan hutan.
Upaya-upaya preventif :
Upaya-upaya detektif
(1) Meneliti apakah penerbitan HPHH telah diberikan dan dilaksanakan oleh
masyarakat setempat, bukan oleh pemegang HPH (pengusaha besar) ;
(2) Melakukan observasi lapangan untuk mengetahui apakah pengelolaan HPHH
dilakukan oleh masyarakat setempat ;
(3) Melakukan pemeriksaan fisik hasil hutan di lapangan untuk mengetahui
apakah pengelolaan HPHH telah memperhatikan dampak lingkungan untuk
menjaga kelestarian hutan ;
(4) Menganalisis laporan hasil pengawasan pengelolaan HPHH oleh
instansi-instansi terkait.
8) Diameter kayu yang ditebang lebih kecil dari ketentuan pemerintah, namun
dilaporkan sebagai kayu yang berdiameter lebih besar dari ukuran minimal,
sehingga terjadi kerusakan potensi kayu bulat dan kepunahan potensi hutan
lainnya. Hal ini terjadi karena petugas sengaja tidak mempermasalahkan
penyimpangan tersebut.
Upaya-upaya preventif :
(1) Pengusaha HPH wajib melaporkan hasil tebangan berdasarkan ukuran garis
tengah pohon yang ditebang, yang disampaikan kepada instansi yang
berwenang ;
(2) Laporan Hasil Produksi (LHP) disusun harus berdasarkan inventarisasi yang
tertuang dalam Berita Acara Inventarisasi Produksi Hasil Hutan (BAIPHH)
yang meliputi: jenis, volume, dan ukuran garis tengah kayu tebangan ;
(3) Inventarisasi produksi hasil hutan dilakukan harus bersama-sama dengan
petugas yang berwenang untuk mengawasi pelaksanaan HPH, dan BAIPHH
yang dibuat untuk itu harus mendapat persetujuan dari instansi yang
berwenang;
(4) Penetapan sanksi administrasi dan keuangan yang tegas kepada pemegang
HPH dan petugas dalam hal adanya pelanggaran atas ukuran garis tengah
kayu tebangan yang tidak sesuai dengan ukuran minimal yang ditetapkan
Pemerintah.
Upaya-upaya detektif :
9) Volume kayu bulat yang ditebang dilaporkan lebih kecil dari volume sebenarnya
dengan cara memanipulasi data Surat Angkut Kayu Bulat (SAKB) dan Daftar Kayu
Bulat (DKB). Akibatnya informasi mengenai potensi hutan yang belum ditebang
menyesatkan dan dapat mempercepat terjadinya kerusakan hutan.
Upaya-upaya preventif :
(1) Pengusaha HPH wajib melaporkan hasil tebangan berdasarkan volume kayu
yang ditebang, yang disampaikan kepada instansi yang berwenang;
(2) Dalam ijin HPH ditetapkan dengan tegas agar volume yang dicatat pada
SAKB dan DKB harus sesuai volume sebenamya ;
(3) Dalam ijin HPH ditetapkan sanksi administrasi dan keuangan yang tegas
dalam hal terjadinya manipulasi volume kayu yang ditebang dari areal HPH.
Upaya-upaya detektif :
(1) Melakukan penelitian apakah dalam ijin HPH ditetapkan dengan tegas
volume yang dicatat pada SAKB dan DKB jenis-jenis kayu harus sesuai
volume sebenarnya ;
(2) Membandingkan volume kayu bulat menurut Surat Angkut Kayu Bulat
(SAKB) dan Daftar Kayu Bulat (DKB) dengan Laporan Hasil Produksi (LHP) ;
(3) Membandingkan volume kayu bulat menurut Laporan Hasil Produksi (LHP)
dengan Laporan Hasil Cruising (LHC) ;
(4) Melakukan penelitian apakah dalam ijin HPH ditetapkan sanksi administrasi
dan keuangan yang tegas dalam hal terjadinya manipulasi volume yang
dicatat pada SAKB dan DKB.
10) Melakukan penebangan di luar blok tebangan (over cutting) dengan cara
memperbesar volume maupun jenis potensi kayu pada Laporan Hasil Cruishing
(LHC) dari suatu areal tertentu. Sebagai dampaknya potensi kerusakan hutan
produksi menjadi lebih besar.
Upaya-upaya preventif :
(1) Dalam proses pemberian HPH harus dilakukan pengecekan silang atas foto
citra landsat yang diterima dari pengusaha HPH untuk mengetahui atau
meyakini kebenaran foto oleh pihak berwenang yang independen ;
(2) Pengusahaan hutan harus memiliki tenaga ahli yang mampu melaksanakan
inventarisasi tegakan dengan benar sesuai ketentuan yang berlaku sebagai
dasar penyusunan Rencana Karya Tahunan (RKT) ;
(3) Pengusaha HPH wajib melaporkan hasil tebangan berdasarkan volume dan
jenis kayu yang ditebang, yang disampaikan kepada instansi yang
berwenang;
(4) Laporan Hasil Cruishing (LHC) harus dibuat secara profesional dan sesuai
dengan peraturan yang berlaku ;
(5) RKT harus disusun berdasarkan LHC dan disetujui oleh pemerintah
setempat;
(6) Pemerintah setempat harus menetapkan sanksi administrasi dan keuangan
yang tegas dalam hal terjadinya manipulasi dalam pembuatan LHC dan
penebangan di luar blok tebangan (over cutting).
Upaya-upaya detektif :
(1) Meneliti apakah instansi terkait telah melakukan evaluasi atas pembuatan
LHC dalam menetapkan potensi hutan yang sesungguhnya ;
(2) Membandingkan antara citra landsat dengan LHC dan RKT ;
(3) Melakukan verifikasi apakah RKT yang telah disetujui oleh pemerintah
setempat disusun berdasarkan LHC ;
(4) Membandingkan volume kayu tebangan menurut Laporan Hasil Produksi
(LHP) dengan Laporan Hasil Cruising (LHC) ;
(5) Pemeriksaan fisik ke lapangan, antara lain untuk meyakinkan tidak terjadinya
penebangan kayu di luar areal blok penebangan yang sudah disahkan
berdasarkan RKT;
(6) Melakukan penelitian apakah jatah tebang yang diberikan tidak melebihi
potensi hutan untuk mencegah terjadinya over cutting dan penebangan di
luar areal HPH.
11) Penebangan dan perdagangan liar (illegal logging) oleh perusahaan pemegang HPH
menimbulkan kerugian finansial negara dan dampak sosial serta kerusakan sumber
daya hutan dan lahan sehingga akhirnya berdampak terhadap ketidakseimbangan
dan kerusakan ekosistem dalam tatanan daerah aliran sungai.
Upaya-upaya preventif
(1) Ketentuan yang lebih tegas dan jelas atas pelaksanaan pengelolaan hutan
dengan system HPH, antara lain :
a. RKT disusun berdasarkan blok areal HPH dengan data yang benar bukan
hasil rekayasa;
b. Penyusunan RKT disertai dengan keharusan untuk melakukan
Inventarisasi Tegakan Sebelum Penebangan (LHC 100%) dengan tujuan
untuk mengetahui potensi hutan sesungguhnya agar jatah tebang yang
diberikan tidak melebihi potensi hutan (over cutting) sehingga
kelestarian hutan tetap terjaga.
Upaya-upaya detektif :
(1) Melakukan verifikasi apakah RKT yang telah disetujui oleh pemerintah
setempat disusun berdasarkan LHC sehingga jatah tebang yang diberikan
sesuai dengan potensi hutan yang ada;
(2) Membandingkan hasil hutan menurut laporan hasil produksi (LHP) dengan
RKT;
(3) Melakukan pengujian laporan-laporan hasil pengawasan yang dilakukan oleh
aparat instansi terkait;
(4) Melakukan penelitian terhadap administrasi kegiatan penebangan, dan
dibandingkan dengan RKT dan LHP-nya.
12) Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) yang diperhitungkan lebih kecil dari sebenarnya
dengan memanipulasi jenis kayu yang ditebang dari hutan negara, dengan
melaporkan jenis kayu yang tarifnya lebih kecil dibanding dengan jenis kayu yang
sebenarnya ditebang. Namun petugas pemeriksa berwenang berkolusi dengan
membiarkan hal tersebut terjadi. Akibatnya instansi berwenang tidak dapat
memonitor keragaman jenis kayu yang ada pada areal hutan negara.
Upaya-upaya preventif :
(1) Dalam ijin HPH ditetapkan dengan tegas potensi hutan menurut jenisjenis
kayu yang ada dalam area HPH ;
(2) Pemerintahan setempat harus menetapkan tarif PSDH menurut potensi
jenis-jenis kayu yang ada dalam areal hutan yang dimilikinya ;
(3) Besarnya tarif PSDH harus mengacu pada tarif yang ditetapkan Menteri
Kehutanan untuk mencegah penyamarataan pembayaran tarif bagi
penebangan jenis pohon yang berbeda khususnya pohon yang dilarang;
(4) Pemerintahan setempat harus menetapkan sanksi administrasi dan
keuangan yang tegas dalam hal terjadinya manipulasi jenis kayu yang
ditebang dari areal HPH.
Upaya-upaya detektif :
(1) Meneliti apakah dalam ijin HPH yang diberikan ditetapkan dengan tegas
potensi hutan menurut jenis-jenis kayu yang ada dalam areal HPH ;
(2) Membandingkan jenis kayu tebangan menurut Laporan Hasil Produksi (LHP)
dengan Laporan Hasil Cruising (LHC) ;
(3) Pemeriksaan fisik ke lapangan, antara lain untuk meyakinkan tidak terjadinya
pelaporan jenis kayu yang ditebang berbeda dengan kondisi yang
sebenarnya.
13) Pengusaha pemegang Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK) hanya menggunakan haknya
untuk memanfaatkan kayu tanpa memenuhi kewajibannya membuka lahan
perkebunan maupun hutan tanaman industri, sehingga menimbulkan degradasi
fungsi hutan. Hal ini terjadi karena adanya persekongkolan dengan oknum pejabat
terkait.
Upaya-upaya preventif :
(1) Pemberian ijin (IPK) harus selektif, dalam hal ini hanya kepada pengusaha
yang mampu melaksanakan kewajibannya ;
(2) Adanya ketentuan mengenai sanksi administrasi dan keuangan atas
pelanggaran yang dilakukan oleh pengusaha pemegang IPK;
(3) Pengawasan yang ketat atas pelaksanaan IPK untuk mengindari adanya
penyalahgunaan peruntukan IPK.
Upaya-upaya detektif :
(1) Untuk sementara waktu menyetop ekspor timah hasil penambangan ilegal
PETI/TI tersebut di atas ditetapkan oleh SKB sampai tercapainya upaya--
upaya hasil kaji ulang Perda/aturan terkait ;
(2) Mengkaji ulang Perda-perda bermasalah tersebut dengan melibatkan
berbagai instansi terkait, yakni:
a. Pemberian ijin usaha pertambangan untuk pengolahan dan penjualan
(ekspor) pasir timah ;
b. Pemberian ijin usaha pertambangan rakyat eksplorasi bahan galian
timah ;
(3) Adanya aturan yang mengatur tentang ijin TI sehingga mengurangi
kerusakan lingkungan akibat penambangan liar;
(4) Adanya ketentuan yang melarang ekspor timah berupa biji/pasir timah.
Upaya-upaya detektif :
Upaya-Upaya Preventif :
(1) Adanya ketentuan yang jelas dan tegas mengenai lokasi peruntukan
penambangan ;
(2) Pendataan secara periodik oleh aparat berwenang terhadap sumber daya
pertambangan yang ada di daerah bersangkutan dan jumlah pengusaha
pertambangan yang ada ;
(3) Ketentuan sanksi yang tegas bagi aparat maupun pengusaha yang
melanggar ketentuan pengelolaan sumber tambang.
Upaya-upaya Detektif :
Upaya-upaya preventif :
Upaya-upaya detektif :
Upaya-upaya preventif :
Upaya-upaya detektif :
5) Jenis galian C yang dilaporkan pada Laporan Hasil Galian C (LHGC) tidak sesuai
dengan yang sebenarnya.
Upaya-upaya preventif :
(1) Secara periodik harus dilakukan pengambilan sample atas galian C yang
diangkut dan bila diperlukan diuji pada laboratorium independen (seperti
Sucofindo);
(2) Dalam pejanjian kerjasama galian,C harus ditetapkan dengan jelas tarif
retribusi menurut masing-masing jenis hasil galian ;
(3) Dalam pejanjian kerjasama galian C harus ditetapkan dengan jelas sanksi
administrasi dan keuangan yang dikenakan dalam hal terjadi kesalahan
pelaporan jenis galian yang dihasilkan.
Upaya-upaya detektif :
(1) Secara periodik TPPG melakukan pengujian hasil galian yang diangkut dan
bila diperlukan diuji pada laboratorium independen ;
(2) Melakukan verifikasi atas perhitungan retribusi apakah tarif yang dikenakan
sesuai dengan yang ditentukan oleh Gubernur;
(3) Melakukan verifikasi, apakah tarif yang dikenakan sesuai dengan tarif
sesuai jenis hasil galian berdasarkan hasil pengujian di laboratorium
independen.
Upaya-upaya preventif :
(1) Dalam kontrak (PKP2B) harus secara jelas diatur bagian pemerintah dan
ditentukan biaya-biaya yang dapat dikurangkan ;
(2) Adanya pengawasan yang intensif oleh instansi yang berwenang khususnya
atas biaya yang mengurangi hasil penjualan batu bara bagian pemerintah ;
(3) Dalam kontrak ditetapkan sanksi administrasi dan keuangan yang
dikenakan terhadap perusahaan (PKP2B) dalam hal terdapat manipulasi
perhitungan biaya pengangkutan.
Upaya-upaya detektif :
(1) Dapatkan kontrak (PKP2B), laporan keuangan, buku besar biaya, rincian
pengangkutan per-shipment, kontrak dengan pihak ketiga, bukti biaya,
buku besar penjualan dan bukti penjualan ;
(2) Kumpulkan dan rekapitulasi seluruh biaya yang merupakan pengurangan
dari hasil penjualan batu bara bagian pemerintah dan analisis kewajaran
biaya-biaya dan sebagainya ;
(3) Bandingkan besarnya seluruh biaya pengurangan penjualan batu bara
bagian pemerintah dengan total penjualan setahun untuk mendapatkan
biaya per ton ;
(4) Bandingkan biaya per ton hasil analisis dengan biaya yang dibebankan oleh
perusahaan kepada pemerintah ;
(5) Melakukan konfirmasi ke perusahaan pelayaran/pengangkutan ;
(6) Melakukan analisis kewajaran besarnya biaya yang dibebankan ke
pemerintah.
7) Menunda perhitungan dan pembayaran royalti Dana Hasil Penjualan Batubara
(DHPB) hingga saat harga penjualan mengalami penurunan.
Upaya-upaya preventif :
Upaya-upaya detektif :
1) Pengerukan dan ekspor pasir laut dilakukan secara ilegal karena hanya berbekal
Ijin Usaha Pertambangan Pasir Laut tanpa Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Hidup (Amdal), namun ekspor tetap dilakukan karena adanya kolusi antara oknum
aparat terkait dengan pengusaha yang bersangkutan sehingga merusak sumber
hayati laut termasuk kesulitan nelayan menangkap ikan.
Upaya-upaya preventif :
Upaya-upaya detektif :
(1) Melakukan penelitian terhadap ijin yang dikeluarkan untuk mengetahui
kelengkapan dan keabsahan perijinan penambangan dan ekspor pasir laut
pada instansi berwenang ;
(2) Melakukan penelitian terhadap laporan-laporan dari pengusaha untuk
mengetahui kebenaran pelaksanaan penambangan dan ekspor ;
(3) Melakukan pengujian secara sample terhadap usaha-usaha penambangan
dan ekspor pasir laut untuk mengetahui apakah usaha-usaha tersebut telah
mendapat ijin dari instansi berwenang;
(4) Melakukan pengujian secara detail (menyeluruh) terhadap usaha
penambangan untuk mengetahui kesesuaian zona yang dikeruk dengan
yang diijinkan.
2) Adanya kolusi antara aparat terkait (pemberi ijin dan pengawas) dengan
pengusaha dengan cara melaporkan kandungan mineral dan sumber hasil
tambang lainnya yang terkandung pada pasir taut yang tidak sesuai dengan
kandungan yang sebenarnya, sehingga cadangan mineral dan sumber tambang
lainnya yang mempunyai nilai ekonomi tinggi di wilayah yang bersangkutan hilang.
Upaya-upaya preventif :
Upaya-upaya detektif :
3) Terjadi penangkapan ikan di lokasi yang tidak sesuai dengan peruntukannya, yaitu
adanya pengoperasian kapal-kapal berkapasitas besar di lokasi yang diperuntukan
bagi kapal-kapal yang berkapasitas lebih kecil. Hal tersebut terjadi karena adanya
kolusi antara pemilik kapal dengan aparat berwenang sehingga mengakibatkan
kerugian bagi nelayan-nelayan kecil dan kelestarian laut.
Upaya-upaya preventif :
(1) Adanya ketentuan yang jelas dan tegas mengenai lokasi-lokasi
pengoperasian kapal penangkap ikan sesuai dengan kapasitas kapal ;
(2) Pemberian ijin penangkapan ikan harus didukung dengan data spesifikasi
dan jenis kapal yang dipergunakan dengan didukung Berita Acara
Pemeriksaan Fisik;
(3) Adanya pengawasan yang kontinyu oleh aparat berwenang terhadap kapal-
kapal yang beroperasi di lokasi penangkapan ikan;
(4) Adanya sanksi yang tegas terhadap pelanggaran lokasi pengoperasian
kapal yang tidak sesuai dengan kapasitas kapal.
Upaya-upaya detektif :
Upaya-upaya preventif :
(1) Adanya ketentuan yang jelas dan tegas mengenai metode penangkapan
ikan yang diperkenankan ;
(2) Pemberian ijin penangkapan ikan harus didukung dengan data pemakaian
metode penangkapan ikan yang dimiliki kapal yang bersangkutan ;
(3) Adanya pengawasan yang kontinyu oleh aparat berwenang terhadap kapal-
kapal yang beroperasi di lokasi penangkapan ikan;
(4) Adanya sanksi yang tegas terhadap pelanggaran metode penangkapan ikan
yang tidak sesuai dengan ketentuan.
Upaya-upaya detektif :
Upaya-upaya Preventif :
(1) Adanya peraturan yang jelas mengenai tapal batas perairan nasional ;
(2) Adanya mekanisme dan prosedur tentang tata cara penanganan terjadinya
pencurian ikan oleh kapal asing dengan melibatkan berbagai instansi terkait
secara terpadu ;
(3) Adanya sarana dan prasarana yang memadai untuk melakukan
pengawasan perairan nasional ;
(4) Melibatkan berbagai instansi terkait dalam menindaklanjuti kasus
penangkapan kapal asing di perairan nasional ;
(5) Adanya kerja sama internasional dengan negara tetangga agar dapat
mensosialisasikan tapal batas perairan Indonesia kepada para warga
negaranya yang berkepentingan ;
(6) Adanya sanksi yang tegas terhadap pelanggar perlintasan perairan
Indonesia.
Upaya-upaya Detektif
Upaya-upaya preventif :
Upaya-upaya detektif :
(1) Pemeriksaan terhadap peraturan atau ketentuan baik yang dikeluarkan di
daerah atau di pusat apakah telah mengatur pelarangan pemakaian jaring
arat ;
(2) Melakukan pengujian terhadap instansi berwenang apakah telah
menampung dan memperhatikan laporan masyarakat nelayan kecil tentang
kasus pemakaian jaring arat atau kasus sumber hayati laut ;
(3) Melakukan uji petik langsung kepada nelayan kecil, LSM yang peduli
terhadap lingkungan hidup apakah menemukan kasus-kasus pemakaian
jaring arat atau kerusakan sumber hayati;
(4) Melakukan penelitian apakah pelanggaran pemakaian jaring arat telah
diberikan sanksi yang tegas.
7) Terjadi kolusi antara oknum aparat dengan eksportir pasir laut dengan cara
melaporkan volume realisasi eksploitasi hasil laut non ikan berupa pasir laut yang
dikeruk dan diekspor dalam Laporan Realisasi Pengerukan Pasir Laut (LRPPL) lebih
rendah dari volume sebenarnya sehingga batas maksimal pasir laut yang dikeruk
pada suatu lokasi tertentu tidak terkendali sebagaimana mestinya akibatnya terjadi
kerusakan dan hilangnya sumber hayati laut.
Upaya-upaya preventif :
(1) Adanya sistim cross check secara rutin antara data hasil pengawasan kapal
keruk dengan data ekspor pasir laut ;
(2) Setiap LRPPL harus disampaikan ke Tim Pengawasan dan Penertiban
Pengerukan Ekspor Laut (Tim P4) ;
(3) Tim P4 secara periodik melakukan cross cek LRPPL dengan data
pembanding seperti Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB), manifest kapal
dan Bill of Loading (B/L) ;
(4) Menetapkan sanksi keuangan sebesar minimal 4 kali nilai LRPPL yang
volumenya lebih rendah dari volume sebenarnya.
Upaya-upaya detektif :
Upaya-upaya preventif :
Upaya-upaya detektif :
2) Volume gas alam yang diproduksi dilaporkan lebih kecil dari volume sebenamya
karena sebagian dipergunakan sendiri (bahan bakar pembangkit tenaga listrik).
Upaya-upaya preventif :
3) Pendistribusian BBM (minyak tanah dan solar) dari PERTAMINA ke penjual (SPBU)
tidak lancar sehingga terjadi kelangkaan BBM dan harga BBM di masVarakat
menjadi lebih mahal, hat ini terjadi karena adanya pihak-pihak penimbun,
pengoplos dan penyelundup BBM menyalahgunakan delivery order (DO) yang
diperoleh dari PERTAMINA.
Upaya-upaya preventif :
(1) Adanya ketentuan pendistribusian BBM yang jelas, tegas dan transparan
kepada masyarakat ;
(2) PERTAMINA hanya memberikan DO untuk penyerahan BBM kepada
SPBU/pangkalan-pangkalan yang terdaftar di catatan PERTAMINA ;
(3) Penyerahan DO kepada pemilik/pengelola pangkalan/SPBU dengan tanda
terima yang ditandatangani dan dicap ;
(4) Adanya monitoring/pengendalian DO yang dibuat sampai dengan DO
didistribusikan ;
(5) Adanya pengawasan daril PERTAMINA terhadap pengelolaan
pendistribusian BBM ;
(6) Adanya sanksi yang tegas terhadap SPBU dan penyalur minyak tanah yang
melanggar perijinan penyaluran.
Upaya-upaya detektif :
(1) Ketentuan yang jelas dan tegas atas penyerahan distribusi DO;
(2) PERTAMINA hanya menyerahkan DO kepada SPBU/pangkalan- pangkalan
resmi ;
(3) Adanya ketentuan yang mengatur sanksi atas penyalahgunaan Do.
Upaya-upaya detektif :
Upaya-upaya preventif :
(1) Kalibrasi tangki penimbunan sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan
atau memperhatikan kondisi tangki yang ada ;
(2) Menyiapkan tenaga yang terlatih dan berintegritas dalam pengukuran ;
(3) Pelaksanaan supervisi secara berkala oleh atasan pengukur atas kebenaran
pelaksanaan pengukuran.
Upaya-upaya detektif :
6) Beberapa kalangan industri tertentu terlibat dalam penyelundupan BBM dalam hat
ini untuk jenis solar, dilakukan dengan meminta DO jauh lebih besar dari
kebutuhannya atau membeli solar dari pasar liar/agen tertentu, sementara DO
solarnya mereka salah gunakan. Praktek seperti ini melibatkan oknum PERTAMINA
dan aparat.
Upaya-upaya preventif:
Upaya-upaya detektif :
Upaya-upaya preventif :
(1) Adanya sistem dan prosedur pencatatan dan pelaporan yang memadai di
PERTAMINA atas pelaksanaan kegiatan TAC termasuk yang berkaitan hasil
produksi minyak mentahnya;
(2) Dalam kontrak TAC harus ada klausul yang mewajibkan kontraktor TAC
untuk membuat laporan bulanan produksi minyak mentah kepada
PERTAMINA dan adanya klausul sanksi baik administratif maupun finansial
apabila terdapat ketidakbenaran di dalam pelaporannya;
(3) Pada Bagian Keuangan/Akuntansi harus membuat daftar kontrak-kontrak
TAC yang sedang berjalan sebagai dasar untuk mengecek/merekonsiliasi
kelengkapan dan kebenaran pelaporan hasil produksi minyak mentah oleh
kontraktor;
(4) Bagian Akuntasi harus membuat laporan atas rekapitulasi jumlah produksi
minyak mentah dari tiap-tiap kontraktor TAC secara berkala (bulanan)
berdasarkan laporan yang diterima dari kontraktor TAC;
(5) Pengenaan sanksi yang tegas kepada pegawai yang tidak melaksanakan
kewajibannya dalam penatausahaan hasil produksi minyak mentah kontrak
TAC;
(6) Adanya pengawasan atasan langsung terhadap bawahan yang melakukan
pencatatan produksi minyak mentah hasil kontraktor TAC ;
(7) Pihak PERTAMINA harus melakukan audit terhadap kontraktor yang
bersangkutan atas pelaksanaan kontrak TAC.
Upaya-upaya detektif :
(1) Mendapatkan semua kontrak-kontrak TAC yang sedang berjalan dan
meneliti apakah semua kontraktor TAC tersebut telah membuat laporan
hasil produksi minyak mentahnya secara berkala (bulanan);
(2) Membandingkan antara jumlah produksi minyak mentah berdasarkan
laporan berkala dari kontraktor TAC dengan jumlah yang diserahkan dan
dicatat di Bagian Akuntansi;
(3) Membandingkan jumlah kas-bank/piutang yang timbul atas penyerahan
minyak mentah dari kontraktor TAC dengan laporan rekapitulasi produksi
minyak mentah tiap kontraktor TAC yang dibuat oleh Bagian Akuntasi;
(4) Melakukan audit terhadap kontraktor yang bersangkutan atas pelaksanaan
kontrak TAC termasuk audit atas produksi minyak mentah yang dihasilkan.
Upaya-upaya preventif :
Upaya-upaya detektif :
Upaya ini merupakan pelaksanaan tindak lanjut atas kasus penyimpangan yang ditemukan
pada masing-masing unit kerja dari hasil langkah-langkah detektif yang telah memenuhi hal
sebagai berikut:
TIM PENYUSUN