You are on page 1of 41

REPUBLIK INDONESIA

UPAYA PENCEGAHAN DAN


PENANGGULANGAN KORUPSI
PADA
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM

BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN


TIM PENGKAJIAN SPKN
2002
SAMBUTAN MENTERI
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA

Pada era demokrasi dan transparansi dewasa ini, aparatur negara tetap menjadi
tumpuan harapan untuk menjadi salah satu dinamisator ke arah pemulihan penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan setelah krisis multi dimensi yang melanda bangsa dan
negara sejak tahun 1997.

Dalam pada itu, berbagai penilaian yang mengindikasikan merajalelanya KKN di negeri
kita, termasuk pada lingkup birokrasi pemerintahan merupakan tantangan tersendiri yang
harus dijawab oleh seluruh aparatur negara. Apabila kita tidak dapat membersihkan diri kita
sendiri secara sungguh-sungguh akan mengakibatkan kepercayaan masyarakat terhadap
aparatur negara semakin rendah, yang pada gilirannya kepercayaan rakyat kepada
pemerintah akan sirna. Upaya yang terencana dan transparan dengan melibatkan seluruh
komponen masyarakat untuk menjadikan pemerintahan yang bersih (clean government)
menuju ke arah kepemerintahan yang baik (good governance) tidak bisa ditunda lagi.

Sehubungan hal tersebut saya menghargai hasil karya BPKP yang merespons surat
Men.PAN Nomor: 37a/M.PAN/2/2002 tanggal 8 Pebruari 2002 tentang Intensifikasi dan
Percepatan Pemberantasan KKN dengan menerbitkan 5 (lima) Buku Pedoman Upaya
Pencegahan dan Penanggulangan Korupsi yaitu di bidang Pengelolaan APBN/APBD,
BUMN/BUMD, Perbankan, Kepegawaian, Sumber Daya Alam dan Pelayanan Masyarakat.

Saya berharap agar seluruh aparat baik yang bertugas di Instansi Pemerintah
Pusat/Daerah, BUMN/BUMD maupun Perbankan dapat menggunakan Buku Pedoman ini dan
mengembangkannya sesuai kondisi lingkungan tugas masing-masing sehingga dapat
mencegah dan menanggulangi kasus-kasus KKN secara efektif dan efisien.

Hendaknya selalu diingat bahwa masyarakat sesungguhnya sangat menghendaki


munculnya jiwa kepeloporan dan sifat keteladanan aparatur negara sebagai panutan mereka
dengan tindakan nyata mencegah dan memberantas KKN. Dimulai langkah yang terpuji serta
kesadaran tinggi dalam menjalankan tugas umum pemerintahan dan pembangunan, kiranya
tingkat kepercayaan masyarakat yang saat ini mengalami degradasi dapat diperbaiki dan
ditingkatkan sehingga penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan menuju kemakmuran
dan kesejahteraan rakyat dapat sukses.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa meridloi upaya kita bersama.

Jakarta, 31 Juli 2002

MENTERI
PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA

FEISAL TAMIN
REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN
(BPKP)

KATA PENGANTAR KEPALA BPKP

Korupsi sudah dianggap sebagai penyakit moral, bahkan ada kecenderungan semakin
berkembang dengan penyebab multifaktor. Oleh karena itu penanganannya perlu dilakukan
secara sungguh-sungguh dan sistematis, dengan menerapkan strategi yang komprehensif -
secara preventif, detektif, represif, simultan dan berkelanjutan dengan melibatkan semua
unsur terkait, baik unsur-unsur Lembaga Tertinggi dan Tinggi Negara, maupun masyarakat
luas.

Dalam rangka memenuhi RENSTRA BPKP Tahun 2000-2004, serta sebagai hasil
koordinasi dengan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara mengenai intensifikasi dan
percepatan pemberantasan KKN, BPKP telah menerbitkan Buku “Upaya Pencegahan dan
Penanggulangan Korupsi Pada Pengelolaan Pelayanan Masyarakat”.

Meskipun Buku ini telah disusun dengan upaya yang maksimal, namun dengan segala
keterbatasan dan kendala yang dihadapi Tim Penyusun, disadari bahwa di dalamnya masih
terdapat banyak kelemahan dan kekurangan baik dari materi yang disajikan maupun cara
penyajiannya, sehingga memerlukan penyempurnaan secara terus-menerus. Untuk itu
masukan yang positif dan konstruktif dari para pembaca dan pemakai buku ini sangat
diharapkan.

Buku ini diharapkan dapat menjadi petunjuk praktis bagi Instansi Pemerintah baik di
Pusat maupun di Daerah serta BUMN/BUMD untuk menanggulangi kasus-kasus korupsi
dalam pengelolaan pelayanan masyarakat, bukan saja bagi Aparat Pengawasan Internal
Pemerintah(APIP)/Satuan Pengawas Intern (SPI) masing-masing, tetapi juga bagi para
pimpinan instansi/BUMN/BUMD yang bersangkutan. Hal ini disebabkan pemberantasan
korupsi bukan semata-mata tanggung jawab APIP/SPI, karena sifat tugasnya lebih pada
penanggulangan korupsi secara detektif dan represif. Penanggulangan korupsi yang lebih
efektif dan efisien adalah secara preventif yang merupakan tanggung jawab manajemen.
Langkah-langkah pencegahan dan penanggulangan korupsi yang disajikan dalam buku ini
merupakan upaya minimal, yang perlu dilaksanakan secara maksimal dan dikembangkan
oleh setiap institusi tersebut di atas secara terus menerus sesuai dengan kompleksitas
permasalahan yang dihadapi. Keberhasilan buku ini sangat tergantung pada upaya pihak-
pihak yang kompeten untuk menjalankannya dengan tindakan yang nyata, konsisten disertai
dengan komitmen yang kuat untuk mencegah dan menanggulangi korupsi secara
berkesinambungan.

Kepada semua pihak yang telah mencurahkan segenap tenaga, pikirannya dan
membantu baik secara moril maupun materiil dalam penyusunan buku ini, termasuk
APIP/SPI yang telah menyampaikan masukan-masukan kami sampaikan ucapan terima kasih
dan penghargaan yang setinggi-tingginya.
Akhirnya, semoga Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa membimbing kita dalam
melaksanakan tugas-tugas Pemerintahan dan Pembangunan, serta upaya pencegahan dan
penanggulangan korupsi ini dapat mencapai tujuan yang diharapkan.

Jakarta, 31 Juli 2002

KEPALA

ARIE SOELENDRO
DAFTAR ISI

Halaman

SAMBUTAN MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA 2


KATA PENGANTAR KEPALA BPKP 3
DAFTAR ISI 5

Bab I UMUM
A. Dasar Pemikiran 6
B. Pengertian Umum 9
C. Tujuan dan Sasaran 10
D. Ruang Lingkup 10
E. Sistim Pengendalian Manajemen pada Pengelolaan Sumber Daya Alam 10
F. Metode Penyajian 11

Bab II UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KORUPSI


PADA PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM
1. Pengelolaan Sumber Daya Kehutanan 12
2. Pengelolaan Sumber Daya Pertambangan Umum 20
3. Pengelolaan Sumber Daya Kelautan 24
4. Pengelolaan Sumber Daya Pertambangan Minyak dan Gas Alam 28

Bab III UPAYA PENANGGULANGAN SECARA REPRESIF


A. Penyelesaian oleh Internal Organisasi 34
B. Penyelesaian oleh Pihak Eksternal melalui Penyerahan Kasus ke 35
Instansi Penyidik

Lampiran : Daftar Kasus/Penyimpangan


TIM PENYUSUN
BAB I
UMUM

A. Dasar Pemikiran

Korupsi telah sejak lama terjadi di Indonesia. Praktik-praktik seperti


penyalahgunaan wewenang, penyuapan, pemberian uang pelicin, pungutan liar,
pemberian imbalan atas dasar kolusi dan nepotisme serta penggunaan uang
negara untuk kepentingan pribadi, oleh masyarakat diartikan sebagai suatu
perbuatan korupsi dan dianggap sebagai hal yang lazim terjadi di negara ini.
Ironisnya, walaupun usaha-usaha pemberantasannya sudah dilakukan lebih dari
empat dekade, praktik-praktik korupsi tersebut tetap berlangsung, bahkan ada
kecenderungan modus operandinya lebih canggih dan terorganisir, sehingga makin
mempersulit penanggulangannya.

Pada buku Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional (SPKN) yang diterbitkan


Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) pada tahun 1999, telah
diidentifikasikan bahwa faktor-faktor penyebab korupsi di Indonesia terdiri atas 4
(empat) aspek, yaitu:

1.Aspek perilaku individu, yaitu faktor-faktor internal yang mendorong


seseorang melakukan korupsi seperti adanya sifat tamak, moral yang kurang
kuat menghadapi godaan, penghasilan yang tidak mencukupi kebutuhan hidup
yang wajar, kebutuhan hidup yang mendesak, gaya hidup konsumtif, malas
atau tidak mau bekerja keras, serta tidak diamalkannya ajaran-ajaran agama
secara benar ;

2.Aspek organisasi, yaitu kurang adanya keteladanan dari pimpinan, kultur


organisasi yang tidak benar, sistem akuntabilitas yang tidak memadai,
kelemahan sistem pengendalian manajemen, manajemen cenderung menutupi
perbuatan korupsi yang terjadi dalam organisasi;

3.Aspek masyarakat, yaitu berkaitan dengan lingkungan masyarakat di mana


individu dan organisasi tersebut berada, seperti nilai-nilai yang berlaku yang
kondusif untuk terjadinya korupsi, kurangnya kesadaran bahwa yang paling
dirugikan dari terjadinya praktik korupsi adalah masyarakat dan mereka sendiri
terlibat dalam praktik korupsi, serta pencegahan dan pemberantasan korupsi
hanya akan berhasil bila masyarakat ikut berperan aktif. Selain itu adanya
penyalahartian pengertian-pengertian dalam budaya bangsa Indonesia.

4. Aspek peraturan perundang-undangan, yaitu terbitnya peraturan


perundang-undangan yang bersifat monopolistik yang hanya menguntungkan
kerabat dan atau kroni penguasa negara, kualitas peraturan perundang-
undangan yang kurang memadai, judicial review yang kurang efektif,
penjatuhan sanksi yang terlalu ringan, penerapan sanksi tidak konsisten dan
pandang bulu, serta lemahnya bidang evaluasi dan revisi peraturan
perundang-undangan.
Prasyarat keberhasilan dalam pencegahan dan penanggulangan korupsi adalah adanya
komitmen dari seluruh komponen bangsa, meliputi komitmen seluruh rakyat secara
konkrit, Lembaga Tertinggi Negara, serta Lembaga Tinggi Negara. Komitmen tersebut
telah diwujudkan dalam berbagai bentuk ketetapan dan peraturan perundang-undangan
di antaranya sebagai berikut:

1. Ketetapan MPR RI Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih


dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

2. Undang-undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih


dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme;

3. Undang-undang No. 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi


yang selanjutnya disempurnakan dengan Undang-Undang No. 20 tahun 2001.

4. Undang-undang No. 20 tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-undang No.


31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

5. Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

6. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 127 Tahun 1999 tentang


Pembentukan Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara dan Sekretariat
Jenderal Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara.

Disamping itu Pemerintah dan DPR sedang memproses penyelesaian Rancangan


Undang-undang tentang Pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pemberantasan korupsi tidak cukup dilakukan hanya dengan komitmen semata karena
pencegahan dan penanggulangan korupsi bukan suatu pekerjaan yang mudah.
Komitmen tersebut harus diaktualisasikan dalam bentuk strategi yang komprehensif
untuk meminimalkan keempat aspek penyebab korupsi yang telah dikemukakan
sebelumnya. Strategi tersebut mencakup aspek preventif, detektif dan represif,
yang dilaksanakan secara intensif dan terus menerus.

BPKP dalam buku SPKN yang telah disebut di muka, telah menyusun strategi preventif,
detektif dan represif yang perlu dilakukan, sebagai berikut :

1. Strategi Preventif

Strategi preventif diarahkan untuk mencegah terjadinya korupsi dengan cara


menghilangkan atau meminimalkan faktor-faktor penyebab atau peluang terjadinya
korupsi. Strategi preventif dapat dilakukan dengan:

1) Memperkuat Dewan Perwakilan Rakyat;

2) Memperkuat Mahkamah Agung dan jajaran peradilan di bawahnya

3) Membangun kode etik di sektor publik ;

4) Membangun kode etik di sektor Parpol, Organisasi Profesi dan Asosiasi Bisnis.

5) Meneliti sebab-sebab perbuatan korupsi secara berkelanjutan.


6) Penyempurnaan manajemen sumber daya manusia (SDM) dan peningkatan
kesejahteraan Pegawai Negeri ;

7) Pengharusan pembuatan perencanaan stratejik dan laporan akuntabilitas


kinerja bagi instansi pemerintah;

8) Peningkatan kualitas penerapan sistem pengendalian manajemen;

9) Penyempurnaan manajemen Barang Kekayaan Milik Negara (BKMN)

10) Peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat ;

11) Kampanye untuk menciptakan nilai (value) anti korupsi secara nasional;

2. Strategi Detektif

Strategi detektif diarahkan untuk mengidentifikasi terjadinya perbuatan korupsi.


Strategi detektif dapat dilakukan dengan :

1) Perbaikan sistem dan tindak lanjut atas pengaduan dari masyarakat;

2) Pemberlakuan kewajiban pelaporan transaksi keuangan tertentu;

3) Pelaporan kekayaan pribadi pemegang jabatan dan fungsi publik;

4) Partisipasi Indonesia pada gerakan anti korupsi dan anti pencucian uang di
masyarakat internasional ;

5) Dimulainya penggunaan nomor kependudukan nasional ;

6) Peningkatan kemampuan APFP/SPI dalam mendeteksi tindak pidana korupsi.

3. Strategi Represif

Strategi represif diarahkan untuk menangani atau memproses perbuatan korupsi


sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Strategi represif dapat
dilakukan dengan :

1) Pembentukan Badan/Komisi Anti Korupsi ;

2) Penyidikan, penuntutan, peradilan, dan penghukuman koruptor besar (Catch


some big fishes);

3) Penentuan jenis-jenis atau kelompok-kelompok korupsi yang diprioritaskan


untuk diberantas ;

4) Pemberlakuan konsep pembuktian terbalik ;

5) Meneliti dan mengevaluasi proses penanganan perkara korupsi dalam sistem


peradilan pidana secara terus menerus ;

6) Pemberlakuan sistem pemantauan proses penanganan tindak pidana korupsi


secara terpadu ;
7) Publikasi kasus-kasus tindak pidana korupsi beserta analisisnya;

8) Pengaturan kembali hubungan dan standar kerja antara tugas penyidik tindak
pidana korupsi dengan penyidik umum, PPNS dan penuntut umum.

Pelaksanaan strategi preventif, detektif dan represif sebagaimana tersebut di atas akan
memakan waktu yang lama, karena melibatkan semua komponen bangsa, baik legislatif,
eksekutif maupun judikatif. Sambil terus berupaya mewujudkan strategi di atas, perlu
dibuat upaya-upaya nyata yang bersifat segera. Upaya yang dapat segera dilakukan
untuk mencegah dan menanggulangi korupsi tersebut antara lain adalah dengan
meningkatkan fungsi pengawasan, yaitu sistem pengawasan internal (built in control),
maupun pengawasan fungsional, yang dipadukan dengan pengawasan masyarakat
(wasmas) dan pengawasan legislatif (wasleg).

Salah satu usaha yang dilakukan dalam rangka peningkatan pengawasan internal dan
fungsional tersebut, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP)
ditugaskan menyusun petunjuk teknis operasional pemberantasan KKN sesuai surat
Menteri PAN Nomor : 37a/M.PAN/2/2002 tanggal 8 Februari 2002. Petunjuk teknis ini
diharapkan dapat digunakan sebagai petunjuk praktis bagi Aparat Pengawasan
Fungsional Pemerintah (APFP)/ Satuan Pengawasan Internal (SPI) BUMN/D dan
Perbankan dalam upaya mencegah dan menanggulangi korupsi di lingkungan kerja
masing-masing.

B. Pengertian Umum

Dalam buku ini yang dimaksud dengan:

1. Upaya preventif adalah usaha pencegahan korupsi yang diarahkan untuk


meminimalkan penyebab dan peluang untuk melakukan korupsi ;

2. Upaya detektif adalah usaha yang diarahkan untuk mendeteksi terjadinya


kasus-kasus korupsi dengan cepat, tepat dengan biaya murah, sehingga dapat
segera ditindaklanjuti ;

3. Upaya represif adalah usaha yang diarahkan agar setiap perbuatan korupsi yang
telah diidentifikasi dapat diproses secara cepat, tepat, dengan biaya murah,
sehingga kepada para pelakunya dapat segera diberikan sanksi sesuai peraturan
perundangan yang berlaku ;

4. Keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun yang
dipisahkan atau yang tidak dipisahkan termasuk di dalamnya segala bagian
kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul, karena :
a. berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat
lembaga Negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah ;
b. berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan
Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan, Badan Hukum, dan
perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang
menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.

5. Sumber daya alam adalah segala kekayaan alam yang terdapat di atas, di
permukaan dan di dalam bumi yang dikuasai oleh Negara.
6. Instansi Pengelola adalah unit organisasi pemerintahan
(Departemen/LPND/BUMN/BUMD/Lainnya) yang ditunjuk Pemerintah Republik
Indonesia untuk mewakili Pemerintah dalam penguasaan/ pemanfaatan sumber
daya alam.

7. Kontrak Kerjasama adalah kontrak perjanjian antara Instansi Pengelola dengan


pihak ketiga (kontraktor) dalam rangka pengelolaan/eksploitasi sumber daya alam
yang penguasaannya dialihkan oleh Pemerintah Republik Indonesia kepada Instansi
Pengelola tersebut.

C. Tujuan dan Sasaran

Buku ini berisi panduan upaya-upaya praktis yang dapat dilakukan untuk mencegah,
mendeteksi dan menindaklanjuti secara represif perbuatan korupsi di bidang
pengelolaan sumber daya alam.

Sasarannya adalah:

1. Terwujudnya sistem pengendalian manajemen yang efisien dan efektif dalam


pengelolaan sumber daya alam yang memiliki daya tangkal terhadap praktek--
praktek korupsi ;
2. Meningkatkan efektifitas sistem pengendalian manajemen dalam pengelolaan
sumber daya alam ;
3. Menurunnya perbuatan korupsi dalam pengelolaan sumber daya alam ;
4. Menurunnya jumlah kerugian keuangan negara sebagai akibat perbuatan korupsi
dalam pengelolaan sumber daya alam ;
5. Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam menginformasikan perbuatan korupsi
dalam pengelolaan sumber daya alam ;
6. Meningkatnya penyelesaian tindak lanjut kasus-kasus yang berindikasi korupsi
dalam pengelolaan sumber daya alam ;
7. Menempatkan tenaga yang andal dalam pelaksanaan tugasnya serta mempunyai
komitmen yang tinggi dalam menegakkan peraturan.

D. Ruang Lingkup

Upaya pencegahan dan penanggulangan korupsi ini berlaku bagi seluruh instansi
pemerintah dan BUMN/BUMD yang melakukan kegiatan pengelolaan sumber daya alam
baik yang ada di atas, di permukaan dan di dalam kandungan bumi termasuk perairan
dalam lingkup Zone Ekonomi Ekslusif (ZEE) negara Indonesia, dengan perhatian utama
pada aspek pengelolaan yang langsung berhubungan dengan kepentingan publik.

E. Sistem Pengendalian Manajemen dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam

Pengelolaan sumberdaya alam yang menyimpang selama ini telah menimbulkan resiko
pencemaran dan perusakan lingkungan hidup sehingga struktur dan fungsi dasar
ekosistem yang menjadi penunjang kehidupan menjadi rusak. Pencemaran dan
perusakan lingkungan hidup merupakan beban sosial yang pada akhimya masyarakat
dan pemerintah harus menanggung biaya pemulihannya.

Pengembangan sistem pengelolaan sumber daya alam sebagai bagian pembangunan


berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup harus diberi dasar hukum yang jelas,
tegas dan menyeluruh guna menjamin kepastian hukum bagi upaya pengelolaan sumber
daya alam.
Keberhasilan pengelolaan sumber daya alam ditentukan oleh kompetensi, moral dan
kemauan aparatur, serta didukung sistem pengendalian manajemen yang efektif dan
efisien, perangkat teknologi yang tepat, prasarana & sarana yang memadai, sehingga
dapat menghasilkan pengelolaan sumber daya alam yang profesional dan bersih dari
korupsi.

Pengendalian Manajemen dalam pengelolaan sumber daya alam ini dimulai dari internal
organisasi, melalui upaya-upaya preventif, yaitu dengan menciptakan sistem
pengendalian manajemen, meliputi :

1. Penataan kembali organisasi dengan memperjelas visi, misi, strategi, kebijakan,


indikator keberhasilan, tujuan, sasaran dan aktivitas-aktivitas kerja yang harus
dilakukan dalam rangka pemenuhan akuntabilitas publik;
2. Penyederhanaan dan penyempurnaan kebijakan;
3. Penataan berbagai macam aspek sumber daya manusia (termasuk reward &
punishment) agar memenuhi tuntutan kebutuhan dan beban kerja;
4. Penyempurnaan sistem dan prosedur pengelolaan sumber daya alam ;
5. Perbaikan metode dan prasarana & sarana kerja ;
6. Penataan sistem pencatatan, pelaporan dan evaluasi agar dapat dimanfaatkan
sebagai alat pengendalian dan pertanggungjawaban ;
7. Peningkatan efektivitas pengawasan internal untuk menjaga agar kualitas
pengelolaan sumber daya alam dapat berjalan sebagaimana mestinya.

Dalam menyusun sistem pengendalian manajemen dalam pengelolaan sumber daya


alam perlu memperhatikan antara lain :

1. Pendayagunaan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat


dengan memperhatikan kelestarian, fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup,
pembangunan yang berkelanjutan, kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat
lokal serta penataan ruang yang pengusahaannya diatur undangundang;
2. Pengalihan penguasaan sumber daya alam dari Pemerintah Republik
Indonesia(prinsipal) kepada Instansi Pengelola (yang mewakili Pemerintah Republik
Indonesia) harus ditetapkan berdasarkan Undang-undang ;
3. Pengalihan pengelolaan (eksploitasi) sumber daya alam dari instansi pengelola
kepada pihak ketiga (kontraktor pengelola) harus ditetapkan dengan perjanjian
kontrak yang mengatur dengan jelas mengenai hak-hak dan kewajiban kedua belah
pihak, serta adanya sanksi administrasi dan keuangan yang jelas dan tegas dalam
hal terjadi penyimpangan.

F. Metode Penyajian

Penyajian buku ini diawali dengan terlebih dahulu menguraikan kasus penyimpangan,
kemudian diikuti dengan cara-cara penanggulangan yang perlu dilakukan, yang meliputi
upaya preventif untuk mencegah terjadinya kasus tersebut dan upaya detektif untuk
mengetahui kemungkinan terjadinya kasus dimaksud. Upaya penindakan secara represif,
disajikan secara umum untuk semua kasus penyimpangan secara keseluruhan di Bab
III.
BAB II

UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KORUPSI


PADA PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM

Penyimpangan dalam pengelolaan sumber daya alam pada umumnya mencakup


penyalahgunaan pemberian dan pelaksanaan ijin, penyalahgunaan pelaksanaan kontrak,
penyalahgunaan wewenang. Kasus-kasus penyimpangan yang disajikan pada bab ini baru
mencakup beberapa kasus berdasarkan temuan hasil pemeriksaan yang dilaporkan oleh
APFP termasuk SPI. Dengan demikian, kasus-kasus yang disajikan belum mencakup seluruh
kasus penyimpangan yang terjadi pada pengelolaan sumber daya alam.

Upaya pencegahan (preventif) penyimpangan/korupsi dalam pengelolaan sumber daya alam


meliputi perbaikan dan peningkatan kualitas sistem pengendalian dan penerapannya, yang
diarahkan sebagai langkah untuk mencegah terjadinya penyimpangan. Upaya-upaya
preventif yang disajikan tidak bersifat mutlak, tetapi hanya merupakan pengendalian
minimum yang perlu dilaksanakan secara maksimum. Oleh karena itu, pimpinan
instansi/direksi perlu mengembangkan sendiri upaya-upaya lain yang dianggap perlu, sesuai
dengan kompleksitas, titik rawan penyimpangan yang dihadapi, dan kesesuaiannya dengan
ketentuan-ketentuan yang berlaku pada masing-masing instansi/organisasi. Sistem
pengendalian manajemen ini perlu terus menerus ditingkatkan keandalannya berdasarkan
umpan balik (feed back) dari hasil upaya detektif dan represif.

Upaya detektif merupakan rangkaian kegiatan yang ditujukan untuk mengidentifikasi


terjadinya penyimpangan dalam pengelolaan sumber daya alam. Upaya detektif ini
dimaksudkan untuk memperoleh alat bukti yang relevan, cukup dan kompeten untuk
mendukung simpulan atas terjadinya penyimpangan sebagai dasar pengambilan tindak
lanjut (upaya represif), dengan tetap berpegang pada asas praduga tak bersalah
(presumption of innosence).

Upaya detektif dalam panduan praktis ini hanya mencakup upaya minimal yang dianggap
penting dilakukan untuk mendeteksi penyimpangan yang terjadi sehingga perlu
dikembangkan sesuai kondisi yang dihadapi di lapangan, yang secara rinci dituangkan dalam
program pemeriksaan (audit program).

Pengembangan upaya preventif dan detektif tersebut sangat perlu dilakukan karena
penyimpangan-penyimpangan yang terjadi pada instansi pengelola pada umumnya
disebabkan adanya kolusi baik antar petugas di dalam instansi tersebut, maupun dengan
pihak luar yang terkait.

Kasus penyimpangan yang terjadi serta upaya-upaya preventif dan detektif dalam
pengelolaan pengelolaan sumber daya alam dapat disajikan sebagai berikut:

1. Pengelolaan Sumber Daya Kehutanan

1) Adanya kolusi antara petugas dengan pengusaha dalam rangka pengesahan


Rencana Karya Tahunan (RKT) dengan cara melaporkan jumlah potensi tegangan
tegak per blok lebih besar dari jumlah sebenarnya sehingga pemegang HPH
memperoleh jatah tebang yang lebih besar dari yang seharusnya menurut Laporan
Hasil Cruising (LHC). Sebagai dampaknya potensi kerusakan hutan produksi menjadi
lebih besar.

Upaya-upaya preventif :
(1) Rencana Karya Tahunan (RKT) harus disusun berdasarkan potensi hutan
yang sesungguhnya sesuai dengan hasil inventarisasi tegakan ;
(2) Jatah tebang yang diberikan tidak boleh melebihi potensi hutan yang
sesungguhnya untuk mencegah terjadinya over cutting dan penebangan di
luar areal HPH ;
(3) RKT harus disetujui oleh pemerintah setempat berdasarkan hasil evaluasi
Laporan Hasil Cruising (LHC) yang dilakukan oleh instansi terkait;
(4) Pemerintah setempat harus menetapkan sanksi administrasi dan keuangan
terhadap pelanggaran proses pengesahan RKT.

Upaya-upaya detektif :

(1) Meneliti hasil-hasil evaluasi LHC yang dilakukan instansi yang berwenang
untuk mengetahui patensi hutan yang sesungguhnya ;
(2) Membandingkan RKT (yang telah disahkan) dengan LHC yang ditetapkan
sesuai dengan ketentuan ;
(3) Membandingkan laporan produksi perusahaan pemegang HPH dengan LHC;
(4) Pemeriksaan fisik ke lapangan, antara lain untuk meyakinkan tidak terjadinya
over cutting, perambahan ke luar area yang ditetapkan, kerusakan
lingkungan, dan sebagainya.

2) Dalam pengajuan ijin baru maupun perpanjangan HPH, pengusaha yang


bersangkutan harus melampirkan hasil pekerjaan pemotretan udara, pemetaan,
inventarisasi hutan dan pemetaan batas areal kerja HPH. Pelaksanaan pemotretan
dan pemetaan tersebut dapat dilaksanakan oleh pemegang HPH sendiri atau pihak
ketiga. Dalam kenyataannya pemberi ijin baru dan perpanjangan ijin HPH tetap
diberikan oleh aparat terkait kepada pemegang HPH walaupun hasil pekerjaan
pemotretan dan pemetaan tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Hal ini
terjadi karena adanya kolusi antara aparat terkait dengan pengusaha HPH maupun
pihak ketiga yang melaksanakan pekerjaan pemotretan dan pemetaan. Dengan ijin
HPH tersebut pengusaha pemegang HPH dapat melaksanakan pengelolaan hutan
tanpa memperhatikan potensi dan batas areal kerja HPH sehingga berpotensi
menimbulkan kerusakan hutan.

Upaya-upaya preventif :

(1) Adanya pengawasan yang ketat terhadap pelaksanaan ijin pengelolan hutan
untuk mencegah adanya penebangan di luar areal kerja HPH dan adanya
pelanggaran penebangan yang tidak memperhatikan TPTI ;
(2) Adanya mekanisme pengecekan silang terhadap hasil pekerjaan pemotretan
dan pemetaan yang dilaksanakan oleh instansi yang berwenang yang
independen ;
(3) Adanya peraturan pengenaan sanksi terhadap aparat terkait dan pengusaha
atas pelanggaran ketentuan perikatan perjanjian secara tegas dan pasti.

Upaya-upaya detektif :

(1) Melakukan penelitian terhadap ijin baru dan perpanjangan ijin HPH apakah
telah didukung dengan data yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku ;
(2) Membandingkan hasil pemotretan dan pemetaan areal kerja HPH yang
dilaksanakan oleh pihak ketiga dengan hasil foto dan pemetaan yang
dilakukan oleh pihak berwenang yang independen;
(3) Melakukan pengecekan ke lapangan untuk mengetahui bahwa kayu yang
ditebang telah sesuai dengan ketentuan TPTI dan areal kerja HPH tidak
menyeberang ke areal kerja HPH yang lain.

3) Aparat terkait melakukan kolusi dengan pengusaha dalam pelaksanaan pekerjaan


pemotretan dan pemetaan kawasan hutan lindung, kawasan konservasi lainnya dan
beberapa lokasi lahan kritis dengan menggunakan potret udara citra airbone radar.
Hasil pekerjaan tersebut yang seharusnya tidak diterima oleh pihak pemberi kerja
ternyata tetap diterima walaupun sebenarnya hasil pekerjaan tersebut tidak
memenuhi syarat kontrak. Dengan hasil yang tidak sesuai dengan kontrak ini
pemerintah tidak dapat memanfaatkan hasil pemotretan dan pemetaan secara
maksimal untuk melakukan perencanaan, pengawasan dan penataan kawasan
hutan lindung, kawasan konservasi lainnya dan beberdpa lokasi lahan kritis.

Upaya-upaya preventif :

(1) Adanya ketentuan pengenaan sanksi terhadap aparat terkait dan pengusaha
atas pelanggaran ketentuan perikatan perjanjian secara tegas dan pasti ;
(2) Adanya mekanisme penegakan pelaksanaan disiplin akuntabilitas publik,
yaitu dalam bentuk pertanggungjawaban kinerja seluruh jajaran birokrasi
departemen yang bersangkutan baik secara individual maupun kolektif
kepada masyarakat atas pelaksanaan pekerjaan yang menjadi tanggung
jawabnya ;
(3) Adanya mekanisme pengecekan silang terhadap hasil pekerjaan pemotretan
dan pemetaan yang dilaksanakan oleh pihak ketiga dibandingkan dengan
hasil yang dilaksanakan oleh instansi yang berwenang yang independen.

Upaya-upaya detektif :

(1) Melakukan penelitian terhadap seluruh tahapan baik administrasi maupun


teknis atas kegiatan pelaksanaan perikatan perjanjian pekerjaan pemotretan
dan pemetaan kawasan hutan lindung, kawasan konservasi dan beberapa
lahan kritis ;
(2) Melakukan penelitian terhadap dokumen administrasi dan teknis atas
pelaksanaan perikatan perjanjian di atas untuk mengetahui apakah sudah
sesuai dengan ketentuan yang berlaku ;
(3) Membandingkan hasil pemotretan dan pemetaan dengan hasil foto dan
pemetaan yang dilakukan oleh pihak berwenang yang independen.

4) Pejabat memberikan ijin pertambangan kepada pengusaha untuk melakukan


penambangan terbuka di kawasan hutan lindung yang mengandung sumber daya
tambang, meskipun bertentangan dengan UU No. 41/1999 dan menimbulkan
dampak negatif terhadap lingkungan. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatan
peneriman daerah, namun pada kenyataannya hal tersebut lebih menguntungkan
pengusaha dan oknum pejabat terkait.

Upaya-upaya preventif :

(1) Adanya ketentuan yang jelas dengan sanksi yang tegas mengenai
(2) kemungkinan melakukan penambangan di lokasi hutan lindung ;
(3) Sosialisasi arti penting dari hutan lindung di lingkungan instansi pemerintah
maupun kepada dunia usaha dan masyarakat umum ;
(4) Sosialisasi ketentuan bahwa konservasi hutan lindung tunduk kepada
konvensi internasional dan merupakan pengecualian dari aspek-aspek
kekuasaan otonom bagi daerah.

Upaya-upaya detektif :

(1) Membanding peta lokasi pertambangan dengan peta RUTR untuk


memastikan bahwa lokasi pertambangan berada atau di luar kawasan hutan
lindung ;
(2) Meneliti lokasi pertambangan untuk meyakinkan bahwa pertambangan
tersebut tidak berada di lokasi hutan lindung berdasarkan peraturan
pemerintah yang menetapkan lokasi kawasan tersebut sebagai hutan
lindung.

5) Adanya kolusi antara petugas dengan perusahaan pemegang HPH dengan


membiarkan kegiatan penebangan hutan yang tidak memenuhi kriteria/batasan
Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) sehingga mengakibatkan kerusakan hutan.

Upaya-upaya preventif

(1) Adanya ketentuan dan sanksi yang tegas bagi aparat terkait dan perusahaan
pemegang HPH untuk melakukan penebangan hutan sesuai kriteria Tebang
Pilih Tanam Indonesia (TPTI);
(2) Adanya sistem pengawasan pada instansi terkait terhadap kegiatan
penebangan hutan oleh perusahaan pemegang HPH ;
(3) Adanya pengawasan dengan melibatkan masyarakat dan LSM di bidang
lingkungan hidup atas kegiatan penebangan hutan oleh perusahaan
pemegang HPH.

Upaya-upaya detektif

(1) Melakukan penelitian terhadap pencatatan dan pelaporan kegiatan


penebangan hutan oleh perusahaan pemegang HPH untuk mengetahui
apakah hasil penebangannya telah sesuai dengan kriteria Tebang Pilih
Tanam Indonesia (TPTI) ;
(2) Melakukan analisa terhadap berbagai laporan yang berkaitan dengan
kegiatan penebangan hutan untuk mengetahui kemungkinan adanya hasil
penebangan yang tidak sesuai ketentuan ;
(3) Melakukan pengujian secara uji petik ke penampungan hasil penebangan
dan bandingkan dengan pencatatan atau pelaporan kegiatan penebangan
hutan oleh perusahaan pemegang HPH untuk mengetahui adanya hasil
penebangan yang tidak dilaporkan atau tidak sesuai dengan kriteria Tebang
Pilih Tanam Indonesia (TPTI) ;
(4) Melakukan penelitian dengan cara sampling terhadap areal hutan bekas
penebangan untuk mengetahui bahwa kayu yang ditebang telah sesuai
dengan ketentuannya (TPTI) ;
(5) Melakukan pengujian sampling melalui wawancara kepada penduduk
setempat untuk mendapatkan informasi mengenai frekwensi pengiriman
kayu hasil penebangan ke luar areal hutan.

6) Perusahaan perkebunan besar swasta (PPBS) pemegang ijin pembukaan


perkebunan yang telah mendapatkan pencadangan lahan ribuan hektar, namun
tidak melakukan kegiatan sebagaimana mestinya sehingga banyak lahan yang
terlantar, karena PPBS hanya mengambil kayunya saja. Hal ini terjadi karena
adanya kolusi antara petugas dengan PPBS dalam pemberian ijin, sedangkan
perusahaan yang bersangkutan tidak memenuhi syarat sebagai PPBS.

Upaya-upaya preventif :

(1) Menetapkan persyaratan-persyaratan yang memadai bagi PPBS untuk


mendapatkan ijin pembukaan perkebunan dalam rangka melindungi
lahan/hutan dan menjaga kesinambungan operasi kerja PPBS;
(2) Menetapkan secara tegas batas hak dan kewajiban, wewenang dan sanksi
atas penggunaan ijin pembukaan perkebunan ;
(3) Instansi yang bertanggungjawab menetapkan peraturan untuk menolak
semua bentuk investasi perkebunan yang akan menebang hutan di kawasan
non budidaya kehutanan dan tidak menerbitkan hak pemanfaatan hasil
hutan (HPHH) skala besar (> 100 hektar) ;
(4) Memperketat pengawasan atas segala kegiatan PPBS di lapangan oleh
Instansi terkait.

Upaya-upaya detektif

(1) Melakukan penelitian apakah persyaratan-persyaratan bagi PPBS untuk


mendapatkan ijin pembukaan perkebunan telah cukup memadai untuk
lahan/hutan yang telah dibuka agar dapat terpelihara kembali termasuk
batas hak dan kewajiban, wewenang dan sanksi yang dikenakan bagi PPBS
yang melanggar;
(2) Melakukan penelitian apakah ijin pembukaan perkebunan untuk kawasan
non budidaya kehutanan telah diberikan kepada PPBS hanya untuk lokasi
lahan/hutan dibawah 100 hektar;
(3) Melakukan penelitian apakah segala kegiatan PPBS di lapangan telah
dilakukan pengawasan yang ketat oleh instansi terkait.

7) Hak Pemanfaatan Hasil Hutan (HPHH) yang diberikan kepada masyarakat setempat,
namun kenyataan di lapangan di laksanakan dan diperlakukan sebagai HPH oleh
pengusaha HPH dan dibiarkan oleh aparat terkait. Hal ini terjadi karena
ketidakmampuan masyarakat setempat dari segi permodalan dan dari segi
pemenuhan prosedur yang ditentukan sehingga masyarakat kehilangan sumber
pendapatan tradisional disamping timbulnya potensi kerusakan hutan.

Upaya-upaya preventif :

(1) Adanya kebijakan yang realistis berkenaan dengan pengikutsertaan


masyarakat setempat dalam mengelola hutan ;
(2) Adanya penyederhanaan peraturan yang memudahkan masyarakat untuk
memenuhi prosedur dalam memperoleh HPHH ;
(3) Sosialisasi peraturan mengenai pengurusan HPHH kepada masyarakat calon
pemegang HPHH ;
(4) Pengawasan yang ketat atas pelaksanaan HPHH, agar benar-benar
dilaksanakan oleh masyarakat (pemegang HPHH) setempat;
(5) Pengawasan yang ketat atas dampak lingkungan dalam pelaksanaan HPHH.

Upaya-upaya detektif

(1) Meneliti apakah penerbitan HPHH telah diberikan dan dilaksanakan oleh
masyarakat setempat, bukan oleh pemegang HPH (pengusaha besar) ;
(2) Melakukan observasi lapangan untuk mengetahui apakah pengelolaan HPHH
dilakukan oleh masyarakat setempat ;
(3) Melakukan pemeriksaan fisik hasil hutan di lapangan untuk mengetahui
apakah pengelolaan HPHH telah memperhatikan dampak lingkungan untuk
menjaga kelestarian hutan ;
(4) Menganalisis laporan hasil pengawasan pengelolaan HPHH oleh
instansi-instansi terkait.

8) Diameter kayu yang ditebang lebih kecil dari ketentuan pemerintah, namun
dilaporkan sebagai kayu yang berdiameter lebih besar dari ukuran minimal,
sehingga terjadi kerusakan potensi kayu bulat dan kepunahan potensi hutan
lainnya. Hal ini terjadi karena petugas sengaja tidak mempermasalahkan
penyimpangan tersebut.

Upaya-upaya preventif :

(1) Pengusaha HPH wajib melaporkan hasil tebangan berdasarkan ukuran garis
tengah pohon yang ditebang, yang disampaikan kepada instansi yang
berwenang ;
(2) Laporan Hasil Produksi (LHP) disusun harus berdasarkan inventarisasi yang
tertuang dalam Berita Acara Inventarisasi Produksi Hasil Hutan (BAIPHH)
yang meliputi: jenis, volume, dan ukuran garis tengah kayu tebangan ;
(3) Inventarisasi produksi hasil hutan dilakukan harus bersama-sama dengan
petugas yang berwenang untuk mengawasi pelaksanaan HPH, dan BAIPHH
yang dibuat untuk itu harus mendapat persetujuan dari instansi yang
berwenang;
(4) Penetapan sanksi administrasi dan keuangan yang tegas kepada pemegang
HPH dan petugas dalam hal adanya pelanggaran atas ukuran garis tengah
kayu tebangan yang tidak sesuai dengan ukuran minimal yang ditetapkan
Pemerintah.

Upaya-upaya detektif :

(1) Mengevaluasi apakah Laporan Hasil Produksi (LHP) telah disusun


berdasarkan inventarisasi yang dituangkan dalam BAIPHH, terutama
mengenai ukuran garis tengah kayu tebangan ;
(2) Membandingkan laporan-laporan mengenai diameter kayu tebangan dengan
laporan hasil produksi ;
(3) Pemeriksaan fisik ke area penebangan untuk meyakinkan bahwa ukuran
kayu yang ditebang sesuai dengan peraturan yang berlaku.

9) Volume kayu bulat yang ditebang dilaporkan lebih kecil dari volume sebenarnya
dengan cara memanipulasi data Surat Angkut Kayu Bulat (SAKB) dan Daftar Kayu
Bulat (DKB). Akibatnya informasi mengenai potensi hutan yang belum ditebang
menyesatkan dan dapat mempercepat terjadinya kerusakan hutan.

Upaya-upaya preventif :

(1) Pengusaha HPH wajib melaporkan hasil tebangan berdasarkan volume kayu
yang ditebang, yang disampaikan kepada instansi yang berwenang;
(2) Dalam ijin HPH ditetapkan dengan tegas agar volume yang dicatat pada
SAKB dan DKB harus sesuai volume sebenamya ;
(3) Dalam ijin HPH ditetapkan sanksi administrasi dan keuangan yang tegas
dalam hal terjadinya manipulasi volume kayu yang ditebang dari areal HPH.
Upaya-upaya detektif :

(1) Melakukan penelitian apakah dalam ijin HPH ditetapkan dengan tegas
volume yang dicatat pada SAKB dan DKB jenis-jenis kayu harus sesuai
volume sebenarnya ;
(2) Membandingkan volume kayu bulat menurut Surat Angkut Kayu Bulat
(SAKB) dan Daftar Kayu Bulat (DKB) dengan Laporan Hasil Produksi (LHP) ;
(3) Membandingkan volume kayu bulat menurut Laporan Hasil Produksi (LHP)
dengan Laporan Hasil Cruising (LHC) ;
(4) Melakukan penelitian apakah dalam ijin HPH ditetapkan sanksi administrasi
dan keuangan yang tegas dalam hal terjadinya manipulasi volume yang
dicatat pada SAKB dan DKB.

10) Melakukan penebangan di luar blok tebangan (over cutting) dengan cara
memperbesar volume maupun jenis potensi kayu pada Laporan Hasil Cruishing
(LHC) dari suatu areal tertentu. Sebagai dampaknya potensi kerusakan hutan
produksi menjadi lebih besar.

Upaya-upaya preventif :

(1) Dalam proses pemberian HPH harus dilakukan pengecekan silang atas foto
citra landsat yang diterima dari pengusaha HPH untuk mengetahui atau
meyakini kebenaran foto oleh pihak berwenang yang independen ;
(2) Pengusahaan hutan harus memiliki tenaga ahli yang mampu melaksanakan
inventarisasi tegakan dengan benar sesuai ketentuan yang berlaku sebagai
dasar penyusunan Rencana Karya Tahunan (RKT) ;
(3) Pengusaha HPH wajib melaporkan hasil tebangan berdasarkan volume dan
jenis kayu yang ditebang, yang disampaikan kepada instansi yang
berwenang;
(4) Laporan Hasil Cruishing (LHC) harus dibuat secara profesional dan sesuai
dengan peraturan yang berlaku ;
(5) RKT harus disusun berdasarkan LHC dan disetujui oleh pemerintah
setempat;
(6) Pemerintah setempat harus menetapkan sanksi administrasi dan keuangan
yang tegas dalam hal terjadinya manipulasi dalam pembuatan LHC dan
penebangan di luar blok tebangan (over cutting).

Upaya-upaya detektif :

(1) Meneliti apakah instansi terkait telah melakukan evaluasi atas pembuatan
LHC dalam menetapkan potensi hutan yang sesungguhnya ;
(2) Membandingkan antara citra landsat dengan LHC dan RKT ;
(3) Melakukan verifikasi apakah RKT yang telah disetujui oleh pemerintah
setempat disusun berdasarkan LHC ;
(4) Membandingkan volume kayu tebangan menurut Laporan Hasil Produksi
(LHP) dengan Laporan Hasil Cruising (LHC) ;
(5) Pemeriksaan fisik ke lapangan, antara lain untuk meyakinkan tidak terjadinya
penebangan kayu di luar areal blok penebangan yang sudah disahkan
berdasarkan RKT;
(6) Melakukan penelitian apakah jatah tebang yang diberikan tidak melebihi
potensi hutan untuk mencegah terjadinya over cutting dan penebangan di
luar areal HPH.
11) Penebangan dan perdagangan liar (illegal logging) oleh perusahaan pemegang HPH
menimbulkan kerugian finansial negara dan dampak sosial serta kerusakan sumber
daya hutan dan lahan sehingga akhirnya berdampak terhadap ketidakseimbangan
dan kerusakan ekosistem dalam tatanan daerah aliran sungai.

Upaya-upaya preventif

(1) Ketentuan yang lebih tegas dan jelas atas pelaksanaan pengelolaan hutan
dengan system HPH, antara lain :
a. RKT disusun berdasarkan blok areal HPH dengan data yang benar bukan
hasil rekayasa;
b. Penyusunan RKT disertai dengan keharusan untuk melakukan
Inventarisasi Tegakan Sebelum Penebangan (LHC 100%) dengan tujuan
untuk mengetahui potensi hutan sesungguhnya agar jatah tebang yang
diberikan tidak melebihi potensi hutan (over cutting) sehingga
kelestarian hutan tetap terjaga.

(2) Pelaksanaan pengawasan di hutan (lokasi penebangan dan penampungan


hasil tebangan yang masih berada di hutan) harus diperketat untuk
menghindari penebangan kayu tanpa izin;
(3) Adanya sanksi (tidak diberikan ijin) bagi pemegang HPH yang dalam
penyusunan RKT tidak berdasarkan pelaksanaan Inventarisasi Tegakan
Sebelum Penebangan (cruising 100%);
(4) Administrasi atas seluruh kegiatan yang berkaitan dengan hasil hutan
dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang berlaku;
(5) (5)Pengawasan atas kegiatan administrasi dan tata usaha hasil hutan
dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Upaya-upaya detektif :

(1) Melakukan verifikasi apakah RKT yang telah disetujui oleh pemerintah
setempat disusun berdasarkan LHC sehingga jatah tebang yang diberikan
sesuai dengan potensi hutan yang ada;
(2) Membandingkan hasil hutan menurut laporan hasil produksi (LHP) dengan
RKT;
(3) Melakukan pengujian laporan-laporan hasil pengawasan yang dilakukan oleh
aparat instansi terkait;
(4) Melakukan penelitian terhadap administrasi kegiatan penebangan, dan
dibandingkan dengan RKT dan LHP-nya.

12) Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) yang diperhitungkan lebih kecil dari sebenarnya
dengan memanipulasi jenis kayu yang ditebang dari hutan negara, dengan
melaporkan jenis kayu yang tarifnya lebih kecil dibanding dengan jenis kayu yang
sebenarnya ditebang. Namun petugas pemeriksa berwenang berkolusi dengan
membiarkan hal tersebut terjadi. Akibatnya instansi berwenang tidak dapat
memonitor keragaman jenis kayu yang ada pada areal hutan negara.

Upaya-upaya preventif :

(1) Dalam ijin HPH ditetapkan dengan tegas potensi hutan menurut jenisjenis
kayu yang ada dalam area HPH ;
(2) Pemerintahan setempat harus menetapkan tarif PSDH menurut potensi
jenis-jenis kayu yang ada dalam areal hutan yang dimilikinya ;
(3) Besarnya tarif PSDH harus mengacu pada tarif yang ditetapkan Menteri
Kehutanan untuk mencegah penyamarataan pembayaran tarif bagi
penebangan jenis pohon yang berbeda khususnya pohon yang dilarang;
(4) Pemerintahan setempat harus menetapkan sanksi administrasi dan
keuangan yang tegas dalam hal terjadinya manipulasi jenis kayu yang
ditebang dari areal HPH.

Upaya-upaya detektif :

(1) Meneliti apakah dalam ijin HPH yang diberikan ditetapkan dengan tegas
potensi hutan menurut jenis-jenis kayu yang ada dalam areal HPH ;
(2) Membandingkan jenis kayu tebangan menurut Laporan Hasil Produksi (LHP)
dengan Laporan Hasil Cruising (LHC) ;
(3) Pemeriksaan fisik ke lapangan, antara lain untuk meyakinkan tidak terjadinya
pelaporan jenis kayu yang ditebang berbeda dengan kondisi yang
sebenarnya.

13) Pengusaha pemegang Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK) hanya menggunakan haknya
untuk memanfaatkan kayu tanpa memenuhi kewajibannya membuka lahan
perkebunan maupun hutan tanaman industri, sehingga menimbulkan degradasi
fungsi hutan. Hal ini terjadi karena adanya persekongkolan dengan oknum pejabat
terkait.

Upaya-upaya preventif :

(1) Pemberian ijin (IPK) harus selektif, dalam hal ini hanya kepada pengusaha
yang mampu melaksanakan kewajibannya ;
(2) Adanya ketentuan mengenai sanksi administrasi dan keuangan atas
pelanggaran yang dilakukan oleh pengusaha pemegang IPK;
(3) Pengawasan yang ketat atas pelaksanaan IPK untuk mengindari adanya
penyalahgunaan peruntukan IPK.

Upaya-upaya detektif :

(1) Meneliti apakah IPK telah dimanfaatkan sesuai dengan peruntukannya ;


(2) Melakukan pengujian apakah pengawasan terhadap pelaksanaan IPK telah
berjalan dengan baik sehingga dapat mengurangi adanya penyalahgunaan
peruntukan IPK;
(3) Meneliti laporan-laporan hasil pengawasan yang dilakukan oleh instansi
terkait atas pelaksanaan IPK ;
(4) Membandingkan realisasi penebangan dengan realisasi penanaman HTI atau
perkebunan ;
(5) Pemeriksaan fisik ke lapangan untuk meyakinkan kebenaran pelaksanaan
IPK.

2. Pengelolaan Sumber Daya Pertambangan Umum

1) Praktek-praktek pertambangan ilegal (PETI)/ pertambangan timah liar/tambang


inkonvensional (TI) yang dilindungi Perda yang jelas-jelas bermasalah dengan
pertambangan dan juga ekspor timah dalam bentuk biji yang dilakukan oleh
PETI/TI, menyebabkan kerugian yang tidak hanya terbatas pada nilai
material/finansial namun juga terhadap kondisi pertambangan timah yang akan
hancur di kemudian hari dan kerusakan lingkungan yang sulit untuk dipulihkan.
Upaya-upaya preventif :

(1) Untuk sementara waktu menyetop ekspor timah hasil penambangan ilegal
PETI/TI tersebut di atas ditetapkan oleh SKB sampai tercapainya upaya--
upaya hasil kaji ulang Perda/aturan terkait ;
(2) Mengkaji ulang Perda-perda bermasalah tersebut dengan melibatkan
berbagai instansi terkait, yakni:
a. Pemberian ijin usaha pertambangan untuk pengolahan dan penjualan
(ekspor) pasir timah ;
b. Pemberian ijin usaha pertambangan rakyat eksplorasi bahan galian
timah ;
(3) Adanya aturan yang mengatur tentang ijin TI sehingga mengurangi
kerusakan lingkungan akibat penambangan liar;
(4) Adanya ketentuan yang melarang ekspor timah berupa biji/pasir timah.

Upaya-upaya detektif :

(1) Melakukan pemeriksaan terhadap segala aturan tentang penambangan dan


ekspor timah, baik yang dikeluarkan Pemda dan Pemerintah Pusat, uji
apakah aturan saling mendukung atau kontradiktif ;
(2) Melakukan pemeriksaan atas jumlah TI yang beroperasi, apakah telah
memiliki ijin dari instansi yang berwenang ;
(3) Melakukan pengujian atas alasan-alasan TI mengekspor timah dalam
bentuk biji/pasir timah ;
(4) Periksa apakah ekspor biji timah yang dilakukan TI melanggar atau tidak
melanggar ketentuan yang berlaku ;

2) Adanya kolusi antara pejabat berwenang dengan pengusaha menimbulkan


penambangan liar dalam pengelolaan sumber tambang di lokasi yang seharusnya
bukan diperuntukan kegiatan penambangan. Adanya kegiatan penambangan liar
tersebut berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan.

Upaya-Upaya Preventif :

(1) Adanya ketentuan yang jelas dan tegas mengenai lokasi peruntukan
penambangan ;
(2) Pendataan secara periodik oleh aparat berwenang terhadap sumber daya
pertambangan yang ada di daerah bersangkutan dan jumlah pengusaha
pertambangan yang ada ;
(3) Ketentuan sanksi yang tegas bagi aparat maupun pengusaha yang
melanggar ketentuan pengelolaan sumber tambang.

Upaya-upaya Detektif :

(1) Melakukan penelitian terhadap ketentuan tentang lokasi peruntukan


penambangan ;
(2) Melakukan pemeriksaan data sumber daya pertambangan yang ada,
pengusaha pertambangan, dan Melakukan pengujian atas pelaksanaan
ketentuan yang berlaku ;
(3) Teliti apakah telah diterapkan sanksi secara tegas dan konsisten terhadap
pelanggar ketentuan pengelolaan sumber tambang.
3) Volume produksi yang dilaporkan lebih kedl dari jumlah sebenarnya karena
sebagian hasil produksi dipergunakan sendiri oleh perusahaan untuk bahan bakar
pembangkit listrik.

Upaya-upaya preventif :

(1) Dalam Kontrak Pengusahaan Penambangan Batubara (KP2B) ditetapkan


dengan jelas bahwa bagian pemerintah diserahkan secara in kind atas
seluruh produksi batubara yang dihasilkan ;
(2) Dalam kontrak ditetapkan sanksi administrasi dan keuangan yang
dikenakan terhadap kontraktor dalam hal terdapat manipulasi perhitungan
volume produksi.

Upaya-upaya detektif :

(1) Melakukan penelitian atas dokumen dasar produksi seperti Laporan


Produksi Harian dan Bulanan serta rincian biaya operasional perusahaan ;
(2) Melakukan penelitian apakah perusahaan mempunyai peralatan seperti
bedding coal atau pembangkit listrik tenaga uap yang menggunakan bahan
bakar batubara ;
(3) Melakukan penelitian apakah batubara yang dipergunakan sendiri termasuk
produk batu bara yang menjadi dasar perhitungan bagian Pemerintah,

4) Volume galian C yang dilaporkan lebih rendah dari volume sebenarnya.

Upaya-upaya preventif :

(1) Dinas Pertambangan harus membentuk Tim Pengawasan dan Penertiban


Galian (TPPG) yang bertugas mengawasi pelaksanaan galian C di daerah
masing-masing ;
(2) Tim TPPG secara periodik melakukan cross cek laporan hasil galian dengan
data pembanding seperti surat angkut hasil galian;
(3) Menetapkan sanksi administrasi dan keuangan dalam hal volume galian
yang dilaporkan lebih rendah dari volume sebenamya.

Upaya-upaya detektif :

(1) Melakukan penelitian kontrak penjualan antara kontraktor Galian C dengan


pembeli beserta seluruh amandemennya untuk mengetahui volume galian
yang akan dijual ;
(2) Melakukan penelitian realisasi volume galian C beserta tagihannya (invoice)
yang dikirimkan kontraktor kepada pembeli ;
(3) Melakukan penelitian spesifikasi, jenis, kecepatan dan kapasitas truk
pengangkut yang dipergunakan kontraktor termasuk perjanjian sewa dan
dokumen tagihan sewa dalam hal truk yang dipergunakan tersebut disewa;
(4) Melakukan verifikasi realisasi pembayaran sewa truk untuk memastikan
kebenaran volume tagihan dan pembayarannya ;
(5) Melakukan verifikasi atas realisasi volume pengangkutan per masingmasing
truk dan membandingkannya dengan kapasitas maksimal truk;
(6) Melakukan verifikasi kebenaran laporan dan membandingkannya dengan
dokumen-dokumen lain seperti surat angkut.

5) Jenis galian C yang dilaporkan pada Laporan Hasil Galian C (LHGC) tidak sesuai
dengan yang sebenarnya.
Upaya-upaya preventif :

(1) Secara periodik harus dilakukan pengambilan sample atas galian C yang
diangkut dan bila diperlukan diuji pada laboratorium independen (seperti
Sucofindo);
(2) Dalam pejanjian kerjasama galian,C harus ditetapkan dengan jelas tarif
retribusi menurut masing-masing jenis hasil galian ;
(3) Dalam pejanjian kerjasama galian C harus ditetapkan dengan jelas sanksi
administrasi dan keuangan yang dikenakan dalam hal terjadi kesalahan
pelaporan jenis galian yang dihasilkan.

Upaya-upaya detektif :

(1) Secara periodik TPPG melakukan pengujian hasil galian yang diangkut dan
bila diperlukan diuji pada laboratorium independen ;
(2) Melakukan verifikasi atas perhitungan retribusi apakah tarif yang dikenakan
sesuai dengan yang ditentukan oleh Gubernur;
(3) Melakukan verifikasi, apakah tarif yang dikenakan sesuai dengan tarif
sesuai jenis hasil galian berdasarkan hasil pengujian di laboratorium
independen.

6) Perusahaan Kontrak Pengusahaan Penambangan Batu Bara (PKP2B)


mengurangkan biaya pengangkutan yang tidak wajar atas hasil penjualan bagian
pemerintah sehingga menimbulkan kerugian bagi pemerintah akibat diperoleh
hasil penjualan batu bara yang rendah.

Upaya-upaya preventif :

(1) Dalam kontrak (PKP2B) harus secara jelas diatur bagian pemerintah dan
ditentukan biaya-biaya yang dapat dikurangkan ;
(2) Adanya pengawasan yang intensif oleh instansi yang berwenang khususnya
atas biaya yang mengurangi hasil penjualan batu bara bagian pemerintah ;
(3) Dalam kontrak ditetapkan sanksi administrasi dan keuangan yang
dikenakan terhadap perusahaan (PKP2B) dalam hal terdapat manipulasi
perhitungan biaya pengangkutan.

Upaya-upaya detektif :

(1) Dapatkan kontrak (PKP2B), laporan keuangan, buku besar biaya, rincian
pengangkutan per-shipment, kontrak dengan pihak ketiga, bukti biaya,
buku besar penjualan dan bukti penjualan ;
(2) Kumpulkan dan rekapitulasi seluruh biaya yang merupakan pengurangan
dari hasil penjualan batu bara bagian pemerintah dan analisis kewajaran
biaya-biaya dan sebagainya ;
(3) Bandingkan besarnya seluruh biaya pengurangan penjualan batu bara
bagian pemerintah dengan total penjualan setahun untuk mendapatkan
biaya per ton ;
(4) Bandingkan biaya per ton hasil analisis dengan biaya yang dibebankan oleh
perusahaan kepada pemerintah ;
(5) Melakukan konfirmasi ke perusahaan pelayaran/pengangkutan ;
(6) Melakukan analisis kewajaran besarnya biaya yang dibebankan ke
pemerintah.
7) Menunda perhitungan dan pembayaran royalti Dana Hasil Penjualan Batubara
(DHPB) hingga saat harga penjualan mengalami penurunan.

Upaya-upaya preventif :

(1) Dalam kontrak Pengusahaan Penambangan Batubara (KP2B) ditetapkan


dengan jelas bahwa bagian pemerintah diserahkan secara in kind di titik
pemrosesan akhir atas setiap produksi batubara yang dilakukan ;
(2) Dalam Kontrak ditetapkan sanksi administrasi dan keuangan yang
dikenakan terhadap kontraktor dalam hal terdapat manipulasi volume
produksi di titik pemrosesan akhir.

Upaya-upaya detektif :

(1) Melakukan penelitian apakah terdapat saldo persediaan batubara bagian


pemerintah dan hutang DHPB pada neraca perusahaan ;
(2) Melakukan verifikasi kebenaran jumlah persediaan batubara dengan cara
membandingkan velume produksi menurut Laporan Produksi dan volume
penjualan dalam Laporan Penjualan ;
(3) Melakukan verifikasi kebenaran persediaan dengan cara merekonsiliasi
persediaan menurut laporan keuangan dan perkiraan (buku besar)
persediaan bagian pemerintah pada waktu yang sama ;
(4) Melakukan penelitian apakah dalam setiap penjualan yang dilakukan
diperhitungkan DHPB yang menjadi bagian Pemerintah;
(5) Melakukan penelitian apakah setiap penjualan yang dilakukan dilaporkan
pada Direktorat Batubara sebagai prinsipal yang mewakili Pemerintah.

3. Pengelolaan Sumber Daya Kelautan

1) Pengerukan dan ekspor pasir laut dilakukan secara ilegal karena hanya berbekal
Ijin Usaha Pertambangan Pasir Laut tanpa Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Hidup (Amdal), namun ekspor tetap dilakukan karena adanya kolusi antara oknum
aparat terkait dengan pengusaha yang bersangkutan sehingga merusak sumber
hayati laut termasuk kesulitan nelayan menangkap ikan.

Upaya-upaya preventif :

(1) Setiap pemberian ijin usaha penambangan harus didukung dengan


pelaksanaan Amdal ;
(2) Setiap pengusaha penambangan pasir laut yang akan mengekspor hasil
tambangannya selain ijin usaha pertambangan juga harus memiliki Ijin
Ekspor;
(3) Adanya ketentuan yang tegas/sanksi atas pelanggaran ekspor pasir laut ;
(4) Adanya ketentuan yang tegas mengenai instansi yang berwenang
menerbitkan Ijin Usaha Pertambangan Pasir Laut;
(5) Adanya kewajiban eskportir untuk memberitahukan secara tertulis tentang
kontrak atau pejanjian penjualan dan realisasinya kepada instansi terkait ;
(6) Ketentuan yang mengatur zona penambangan pasir dan zona penyangga
sehingga wilayah-wilayah lain seperti wilayah penangkapan ikan tetap
terpelihara ;
(7) Meningkatkan efektivitas sistem pengawasan internal dari instansi yang
berwenang terhadap kegiatan penambangan dan ekspor pasir laut.

Upaya-upaya detektif :
(1) Melakukan penelitian terhadap ijin yang dikeluarkan untuk mengetahui
kelengkapan dan keabsahan perijinan penambangan dan ekspor pasir laut
pada instansi berwenang ;
(2) Melakukan penelitian terhadap laporan-laporan dari pengusaha untuk
mengetahui kebenaran pelaksanaan penambangan dan ekspor ;
(3) Melakukan pengujian secara sample terhadap usaha-usaha penambangan
dan ekspor pasir laut untuk mengetahui apakah usaha-usaha tersebut telah
mendapat ijin dari instansi berwenang;
(4) Melakukan pengujian secara detail (menyeluruh) terhadap usaha
penambangan untuk mengetahui kesesuaian zona yang dikeruk dengan
yang diijinkan.

2) Adanya kolusi antara aparat terkait (pemberi ijin dan pengawas) dengan
pengusaha dengan cara melaporkan kandungan mineral dan sumber hasil
tambang lainnya yang terkandung pada pasir taut yang tidak sesuai dengan
kandungan yang sebenarnya, sehingga cadangan mineral dan sumber tambang
lainnya yang mempunyai nilai ekonomi tinggi di wilayah yang bersangkutan hilang.

Upaya-upaya preventif :

(1) Pemberian ijin eksploitasi harus jelas peruntukannya dengan


memperhatikan potensi mineral dan sumber tambang lainnya dengan
mencantumkan syarat khusus mengenai potensi tersebut dengan mengacu
pada hasil penelitian laboratorium ;
(2) Secara periodik harus dilakukan pengambilan sampel atas pasir laut yang
dikapalkan dan kandungan mineralnya harus diuji pada laboratorium
independen;
(3) Dalam kontrak pengerukan dan ekspor pasir laut harus ditetapkan dengan
jelas tarif royalty menurut masing-masing kandungan mineralnya dan
penalti atas penyimpangan dari ijin jenis bahan yang dikeruk;
(4) Pengawasan atas pelaksanaan kontrak pengerukan dan eskpor pasir laut
harus dijalankan dengan rutin.

Upaya-upaya detektif :

(1) Melakukan penelitian apakah ijin eksploitasi yang dikeluarkan memang


benar-benar peruntukkannya dan tidak ada kandungan mineral atau
sumber hasil tambang lainnya ;
(2) Melakukan pengujian kandungan mineral atas sample pasir laut yang
dikapalkan pada laboratorium independen;
(3) Melakukan verifikasi atas perhitungan royalti yang dilakukan dan tarif yang
dikenakan ;
(4) Melakukan verifikasi apakah tarif yang dikenakan sesuai dengan tarif pasir
laut sesuai kandungan mineral berdasarkan hasil pengujian laboratorium
independen.

3) Terjadi penangkapan ikan di lokasi yang tidak sesuai dengan peruntukannya, yaitu
adanya pengoperasian kapal-kapal berkapasitas besar di lokasi yang diperuntukan
bagi kapal-kapal yang berkapasitas lebih kecil. Hal tersebut terjadi karena adanya
kolusi antara pemilik kapal dengan aparat berwenang sehingga mengakibatkan
kerugian bagi nelayan-nelayan kecil dan kelestarian laut.

Upaya-upaya preventif :
(1) Adanya ketentuan yang jelas dan tegas mengenai lokasi-lokasi
pengoperasian kapal penangkap ikan sesuai dengan kapasitas kapal ;
(2) Pemberian ijin penangkapan ikan harus didukung dengan data spesifikasi
dan jenis kapal yang dipergunakan dengan didukung Berita Acara
Pemeriksaan Fisik;
(3) Adanya pengawasan yang kontinyu oleh aparat berwenang terhadap kapal-
kapal yang beroperasi di lokasi penangkapan ikan;
(4) Adanya sanksi yang tegas terhadap pelanggaran lokasi pengoperasian
kapal yang tidak sesuai dengan kapasitas kapal.

Upaya-upaya detektif :

(1) Melakukan penelitian apakah ketentuan yang ada telah mengatur


mengenai lokasi pengoperasian kapal penangkapan ikan dan uji bagaimana
pelaksanaannya ;
(2) Melakukan verifikasi apakah pemberian ijin penangkapan ikan telah
dilengkapi dengan data spesifikasi dan jenis kapal yang dipergunakan dan
didukung dengan Berita Acara Pemeriksaan Fisik;
(3) Melakukan penelitian apakah pengawasan oleh aparat berwenang terhadap
kapal-kapal yang beroperasi di lokasi penangkapan ikan telah dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku ;
(4) Melakukan penelitian apakah pelanggaran lokasi pengoperasian kapal yang
tidak sesuai dengan kapasitas kapal telah dikenakan sanksi yang tegas.

4) Metode penangkapan tidak sesuai dengan metode yang diijinkan instansi


berwenang, mengakibatkan volume hasil tangkapan menjadi lebih besar dari yang
seharusnya dan turut terambilnya ikan yang tidak memenuhi kriteria sehingga
mempengaruhi kelangsungan kelestarian sumber hayati laut.

Upaya-upaya preventif :

(1) Adanya ketentuan yang jelas dan tegas mengenai metode penangkapan
ikan yang diperkenankan ;
(2) Pemberian ijin penangkapan ikan harus didukung dengan data pemakaian
metode penangkapan ikan yang dimiliki kapal yang bersangkutan ;
(3) Adanya pengawasan yang kontinyu oleh aparat berwenang terhadap kapal-
kapal yang beroperasi di lokasi penangkapan ikan;
(4) Adanya sanksi yang tegas terhadap pelanggaran metode penangkapan ikan
yang tidak sesuai dengan ketentuan.

Upaya-upaya detektif :

(1) Melakukan penelitian apakah ketentuan yang ada telah mengatur


mengenai metode penangkapan ikan dan uji bagaimana pelaksanaannya;
(2) Melakukan verifikasi apakah pemberian ijin penangkapan ikan telah
dilengkapi dengan data spesifikasi dan jenis kapal yang dipergunakan dan
didukung dengan Berita Acara Pemeriksaan Fisik;
(3) Melakukan penelitian apakah pengawasan oleh aparat berwenang terhadap
kapal-kapal yang beroperasi di lokasi penangkapan ikan telah dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku ;
(4) Melakukan Penelitian apakah pelanggaran metode penangkapan ikan yang
tidak sesuai dengan ketentuan telah dikenakan sanksi yang tegas.
5) Adanya kolusi antara oknum pengawas dengan kapal asing yang tertangkap
mencuri ikan di wilayah perairan Indonesia, sehingga mengakibatkan kerugian
negara dan kerusakan sumber hayati laut.

Upaya-upaya Preventif :

(1) Adanya peraturan yang jelas mengenai tapal batas perairan nasional ;
(2) Adanya mekanisme dan prosedur tentang tata cara penanganan terjadinya
pencurian ikan oleh kapal asing dengan melibatkan berbagai instansi terkait
secara terpadu ;
(3) Adanya sarana dan prasarana yang memadai untuk melakukan
pengawasan perairan nasional ;
(4) Melibatkan berbagai instansi terkait dalam menindaklanjuti kasus
penangkapan kapal asing di perairan nasional ;
(5) Adanya kerja sama internasional dengan negara tetangga agar dapat
mensosialisasikan tapal batas perairan Indonesia kepada para warga
negaranya yang berkepentingan ;
(6) Adanya sanksi yang tegas terhadap pelanggar perlintasan perairan
Indonesia.

Upaya-upaya Detektif

(1) Melakukan penelitian apakah pelaksanaan penanganan terhadap kapal


asing yang mencuri ikan telah sesuai dengan ketentuan ;
(2) Melakukan pemeriksaan atas laporan pelaksanaan tugas pengawasan
perairan nasional untuk mengetahui bahwa semua kegiatan telah
dilaporkan ;
(3) Melakukan analisa laporan pelaksanaan tugas pengawasan perairan
nasional untuk memperoleh keyakinan bahwa laporan benar ;
(4) Melakukan penelitian apakah kasus-kasus yang dijumpai sudah diproses
lebih lanjut sesuai ketentuan.

6) Pemakaian jaring arat (sejenis pukat harimau) yang digunakan nelayan-nelayan


besar untuk menangkap ikan di perairan Indonesia yang merugikan nelayan kecil
yakni : hasil tangkap berkurang dan merusak jaring nelayan kecil serta merusak
sumber daya alam sekurangnya 30 % sumber hayati laut rusak bahkan hilang. Hal
ini terjadi karena adanya kolusi antara nelayan pemakai jaring arat dengan aparat
pemerintah terkait.

Upaya-upaya preventif :

(1) Memberdayakan peraturan/ketentuan yang berlaku tentang pengaturan


pelarangan pemakaian jaring arat dan peningkatan budidaya perikanan
agar lebih efektif ;
(2) Aparat berwenang dalam pemberian ijin penangkapan ikan lebih selektif
dan tegas mengaitkan persyaratan perijinan dengan pemakaian jenis jaring
kapal yang bersangkutan ;
(3) Peningkatan upaya pengawasan yang lebih efektif dengan menampung
informasi masyarakat nelayan kecil yang dirugikan, dan melibatkan aparat
keamanan dalam menertibkan kapal-kapal pemakai jaring arat.

Upaya-upaya detektif :
(1) Pemeriksaan terhadap peraturan atau ketentuan baik yang dikeluarkan di
daerah atau di pusat apakah telah mengatur pelarangan pemakaian jaring
arat ;
(2) Melakukan pengujian terhadap instansi berwenang apakah telah
menampung dan memperhatikan laporan masyarakat nelayan kecil tentang
kasus pemakaian jaring arat atau kasus sumber hayati laut ;
(3) Melakukan uji petik langsung kepada nelayan kecil, LSM yang peduli
terhadap lingkungan hidup apakah menemukan kasus-kasus pemakaian
jaring arat atau kerusakan sumber hayati;
(4) Melakukan penelitian apakah pelanggaran pemakaian jaring arat telah
diberikan sanksi yang tegas.

7) Terjadi kolusi antara oknum aparat dengan eksportir pasir laut dengan cara
melaporkan volume realisasi eksploitasi hasil laut non ikan berupa pasir laut yang
dikeruk dan diekspor dalam Laporan Realisasi Pengerukan Pasir Laut (LRPPL) lebih
rendah dari volume sebenarnya sehingga batas maksimal pasir laut yang dikeruk
pada suatu lokasi tertentu tidak terkendali sebagaimana mestinya akibatnya terjadi
kerusakan dan hilangnya sumber hayati laut.

Upaya-upaya preventif :

(1) Adanya sistim cross check secara rutin antara data hasil pengawasan kapal
keruk dengan data ekspor pasir laut ;
(2) Setiap LRPPL harus disampaikan ke Tim Pengawasan dan Penertiban
Pengerukan Ekspor Laut (Tim P4) ;
(3) Tim P4 secara periodik melakukan cross cek LRPPL dengan data
pembanding seperti Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB), manifest kapal
dan Bill of Loading (B/L) ;
(4) Menetapkan sanksi keuangan sebesar minimal 4 kali nilai LRPPL yang
volumenya lebih rendah dari volume sebenarnya.

Upaya-upaya detektif :

(1) Melakukan penelitian kontrak penjualan antara Kontraktor Pengelola


dengan Buyer beserta seluruh amandemennya untuk mengetahui volume
pasir yang akan diekspor;
(2) Melakukan penelitian realisasi volume pengapalan pasir laut beserta
tagihannya (invoice) yang dikirimkan kontraktor kepada buyer di luar
negeri;
(3) Melakukan penelitian spesifikasi, jenis, kecepatan dan kapasitas seluruh
kapal yang dipergunakan kontraktor termasuk perjanjian sewa dan
dokumen tagihan sewa dalam hal kapal yang dipergunakan tersebut
disewa ;
(4) Melakukan verifikasi realisasi pembayaran sewa kapal untuk memastikan
kebenaran volume tagihan dan pembayarannya.
(5) Melakukan verifikasi realisasi volume pengapalan per masing-masing kapal
dan membandingkannya dengan kapasitas kapal ;
(6) Melakukan verifikasi kebenaran LRPPL dan membandingkannya dengan
dokumen-dokumen ekspor seperti manifes kapal, bill of lading (B/L) dan
PEB.

4. Pengelolaan Sumber Daya Pertambangan Minyak dan Gas Alam


1) Volume minyak mentah yang diproduksi dilaporkan lebih kecil dari volume dengan
cara melakukan pengukuran dengan metode dan titik serah (delivery point) yang
berbeda.

Upaya-upaya preventif :

(1) Kontrak kerjasama antara Pemerintah/PERTAMINA dengan Kontraktor Bagi


Hasil harus menetapkan dengan jelas titik serah dilakukannya pengukuran
volume minyak mentah yang diproduksi ;
(2) Kontrak kerjasama antara Pemerintah/PERTAMINA dengan Kontraktor Bagi
Hasil harus menetapkan metode pengukuran volume minyak mentah yang
dilakukan pada titik serah ;
(3) Pengukuran volume minyak mentah pada titik serah harus dilakukan secara
bersama-sama oleh petugas Pemerintah/PERTAMINA, petugas Kontraktor
Bagi Hasil dan petugas dari instansi yang independen seperti Pusat
Meteorelogi Deperindag ;
(4) Pengukuran volume minyak mentah pada titik serah harus dilakukan oleh
petugas yang ahli dalam bidangnya.

Upaya-upaya detektif :

(1) Melakukan pengujian apakah dalam kontrak kerjasama antara


Pemerintah/PERTAMINA dengan Kontraktor Bagi Hasil telah ditetapkan
dengan jelas titik serah dilakukannya pengukuran ;
(2) Melakukan pengujian apakah dalam kontrak kerjasama antara
Pemerintah/PERTAMINA dengan Kontraktor Bagi Hasil telah ditetapkan
dengan jelas metode pengukurannya ;
(3) Melakukan pengujian apakah Berita Acara Pengukuran volume minyak
ditandatangani baik oleh petugas Pemerintah/PERTAMINA dan petugas
Kontraktor Bagi Hasil ;
(4) Melakukan verifikasi apakah perhitungan hasil pengukuran telah dilakukan
dengan cermat dan akurat oleh petugas yang ahli dalam bidangnya ;
(5) Melakukan pengujian apakah pengukuran volume minyak dilakukan dengan
memperhitungkan pemuaian/penyusutan volume sesuai suhu saat
pengukuran.

2) Volume gas alam yang diproduksi dilaporkan lebih kecil dari volume sebenamya
karena sebagian dipergunakan sendiri (bahan bakar pembangkit tenaga listrik).

Upaya-upaya preventif :

(1) Kontrak kerjasama antara Pemerintah/PERTAMINA dengan Kontraktor Bagi


Hasil (KBH) harus menetapkan dengan jelas total volume gas yang
diproduksi meliputi seluruh gas alam yang dieksplorasi termasuk yang
langsung dipergunakan sendiri oleh kontraktor;
(2) Pengukuran/pencatatan volume meter gas yang diproduksi harus dilakukan
secara periodik (setiap jam dalam sehari) dan secara berkala harus diuji
secara bersama-sama oleh petugas Pemerintah/PERTAMINA dan petugas
Kontraktor Bagi Hasil ;
(3) Pengukuran/pencatatan volume meter gas harus dilakukan oleh petugas
yang ahli dalam bidangnya ;
(4) Pengukuran/pencatatan tersebut harus disetting dengan peralatan yang
bebas dari penyimpangan.
Upaya-upaya detektif :

(1) Melakukan penelitian apakah dalam kontrak kerjasama antara


Pemerintah/PERTAMINA dengan Kontraktor Bagi Hasil ditetapkan dengan
jelas total volume gas yang diproduksi meliputi seluruh gas alam yang
dieksplorasi termasuk yang langsung dipergunakan sendiri oleh kontraktor ;
(2) Melakukan penelitian apakah pengukuran/pencatatan volume meter gas
yang diproduksi dilakukan secara periodik dan secara berkala diuji secara
bersama-sama oleh petugas Pemerintah/PERTAMINA dan petugas
Kontraktor Bagi Hasil ;
(3) Teliti apakah KBH memiliki alat pembangkit listrik yang mempergunakan
bahan bakar gas;
(4) Membandingkan jumlah gas yang diproduksi dengan jumlah gas dijual dan
melakukan analisis atas perbedaan yang terjadi ;
(5) Melakukan penelitian apakah pengukuran/pencatatan volume meter telah
dilakukan dengan cermat dan akurat oleh petugas yang ahli di bidangnya
dan sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan.

3) Pendistribusian BBM (minyak tanah dan solar) dari PERTAMINA ke penjual (SPBU)
tidak lancar sehingga terjadi kelangkaan BBM dan harga BBM di masVarakat
menjadi lebih mahal, hat ini terjadi karena adanya pihak-pihak penimbun,
pengoplos dan penyelundup BBM menyalahgunakan delivery order (DO) yang
diperoleh dari PERTAMINA.

Upaya-upaya preventif :

(1) Adanya ketentuan pendistribusian BBM yang jelas, tegas dan transparan
kepada masyarakat ;
(2) PERTAMINA hanya memberikan DO untuk penyerahan BBM kepada
SPBU/pangkalan-pangkalan yang terdaftar di catatan PERTAMINA ;
(3) Penyerahan DO kepada pemilik/pengelola pangkalan/SPBU dengan tanda
terima yang ditandatangani dan dicap ;
(4) Adanya monitoring/pengendalian DO yang dibuat sampai dengan DO
didistribusikan ;
(5) Adanya pengawasan daril PERTAMINA terhadap pengelolaan
pendistribusian BBM ;
(6) Adanya sanksi yang tegas terhadap SPBU dan penyalur minyak tanah yang
melanggar perijinan penyaluran.

Upaya-upaya detektif :

(1) Melakukan penelitian atas pelaksanaan ketentuan pendistribusian BBM ;


(2) Melakukan evaluasi/penelitian atas daftar perusahaan pangkalan/SPBU dan
bandingkan dengan tanda terima penyerahan DO;
(3) Melakukan analisis atas berapa jumlah BBM yang disalurkan dengan trend
daya serap BBM disetiap SPBU/Penyalur;
(4) Melakukan pemeriksaan atau pengamatan lapangan atas kewajaran
pendistribusian BBM oleh SPBU/Penyalur.

4) Adanya penimbun BBM yang mengumpulkan dari sejumlah pangkalan, setelah


jumlahnya terkumpul banyak di lokasi penimbunan BBM dengan harga subsidi itu
dijual ke sejumlah tempat industri atau pabrik, bahkan ada yang dijual ke luar
negeri karena adanya perbedaan harga yang mencolok.
Upaya-upaya preventif :

(1) Ketentuan yang jelas dan tegas atas penyerahan distribusi DO;
(2) PERTAMINA hanya menyerahkan DO kepada SPBU/pangkalan- pangkalan
resmi ;
(3) Adanya ketentuan yang mengatur sanksi atas penyalahgunaan Do.

Upaya-upaya detektif :

(1) Melakukan penelitian apakah jumlah DO yang didistribusikan ada tanda


terimanya ;
(2) Melakukan analisis perbandingan antara jumlah BBM yang disalurkan
dengan daya serap BBM disetiap SPBU/Penyalur;
(3) Adanya pemeriksaan dan pengamatan langsung di lapangan atas
kewajaran pendistribusian BBM oleh SPBU/Penyalur.

5) Kesalahan pengukuran volume minyak mentah dalam tangki penimbunan yang


dapat merugikan keuangan negara.

Upaya-upaya preventif :

(1) Kalibrasi tangki penimbunan sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan
atau memperhatikan kondisi tangki yang ada ;
(2) Menyiapkan tenaga yang terlatih dan berintegritas dalam pengukuran ;
(3) Pelaksanaan supervisi secara berkala oleh atasan pengukur atas kebenaran
pelaksanaan pengukuran.

Upaya-upaya detektif :

(1) Membandingkan data-data produksi minyak mentah dengan laporan


persediaan yang ada di dalam tangki secara periodik ;
(2) Melakukan analisis secara berkala atas deviasi yang terjadi dan
membandingkannya dengan toleransi losses yang ditetapkan berdasarkan
peraturan yang berlaku ;
(3) Melakukan tindakan tegas atas kelalaian petugas pengukur.

6) Beberapa kalangan industri tertentu terlibat dalam penyelundupan BBM dalam hat
ini untuk jenis solar, dilakukan dengan meminta DO jauh lebih besar dari
kebutuhannya atau membeli solar dari pasar liar/agen tertentu, sementara DO
solarnya mereka salah gunakan. Praktek seperti ini melibatkan oknum PERTAMINA
dan aparat.

Upaya-upaya preventif:

(1) Seharusnya ada aturan/ketentuan yang mengatur:


a. Penjatahan DO yang disesuaikan dengan kebutuhan BBM industri ;
b. Pemanfaatan DO, bahwa DO yang telah dimiliki sesuai dengan
persyaratan point di atas, benar-benar dimanfaatkan kepentingan
industri yang bersangkutan.
(2) Jika aturan pada point di atas tersebut sudah ada maka penerapan atas
aturan tersebut diawasi secara ketat oleh instansi/aparat berwenang.
Pelanggaran atas aturan tersebut harus dikenakan sanksi yang tegas ;
(3) Pengawasan atas penerapan tersebut berada pada beberapa instansi
terkait, dengan dibuat sistem agar antar instansi pengawas bisa saling
kontrol untuk menghindari kolusi di antaranya, bahkan jika memungkinkan
dengan melibatkan masyarakat, LSM ;
(4) Pembinaan mental/disiplin SDM instansi terkait baik instansi pemberi DO
maupun berbagai instansi yang bertindak atau turut serta mengawasi
penerapan aturan tersebut di atas.

Upaya-upaya detektif :

(1) Melakukan pemeriksaan atas peraturan/ketentuan yang berlaku tentang


pemberian DO solar khususnya kepada industri dan melakukan pengujian
internal control di instansi pemberi DO dan periksa apakah atas penerapan
aturan tersebut juga diawasi instansi/aparat lain, uji efektivitasnya:
a. Jika DO lebih besar dari keperluan, periksa keberadaan sisa/selisih
lebih yang material/janggal tersebut;
b. Jika DO lebih kecil dari keperluan, periksa dari mana industri tersebut
membeli BBM (solar) dalam memenuhi keperluannya dan apakah DO
yang diberikan benar-benar digunakan untuk keperluan industri yang
bersangkutan.
(2) Selama uji petik periksa besarnya DO (solar) yang diberikan kepada
industri tertentu, bandingkan dengan keperluan solar yang sebenarnya
untuk industri yang bersangkutan. Jika terdapat selisih yang material,
periksa keberadaan selisih tersebut.

7) Produksi minyak mentah bagian PERTAMINA dari hasil Technical Asistance


Contract (TAC) tidak diserahkan/dilaporkan ke PERTAMINA sehingga merugikan
keuangan negara. Hal ini terjadi karena adanya kelalaian petugas terkait dalam
memantau pelaksanaan kegiatan TAC.

Upaya-upaya preventif :

(1) Adanya sistem dan prosedur pencatatan dan pelaporan yang memadai di
PERTAMINA atas pelaksanaan kegiatan TAC termasuk yang berkaitan hasil
produksi minyak mentahnya;
(2) Dalam kontrak TAC harus ada klausul yang mewajibkan kontraktor TAC
untuk membuat laporan bulanan produksi minyak mentah kepada
PERTAMINA dan adanya klausul sanksi baik administratif maupun finansial
apabila terdapat ketidakbenaran di dalam pelaporannya;
(3) Pada Bagian Keuangan/Akuntansi harus membuat daftar kontrak-kontrak
TAC yang sedang berjalan sebagai dasar untuk mengecek/merekonsiliasi
kelengkapan dan kebenaran pelaporan hasil produksi minyak mentah oleh
kontraktor;
(4) Bagian Akuntasi harus membuat laporan atas rekapitulasi jumlah produksi
minyak mentah dari tiap-tiap kontraktor TAC secara berkala (bulanan)
berdasarkan laporan yang diterima dari kontraktor TAC;
(5) Pengenaan sanksi yang tegas kepada pegawai yang tidak melaksanakan
kewajibannya dalam penatausahaan hasil produksi minyak mentah kontrak
TAC;
(6) Adanya pengawasan atasan langsung terhadap bawahan yang melakukan
pencatatan produksi minyak mentah hasil kontraktor TAC ;
(7) Pihak PERTAMINA harus melakukan audit terhadap kontraktor yang
bersangkutan atas pelaksanaan kontrak TAC.

Upaya-upaya detektif :
(1) Mendapatkan semua kontrak-kontrak TAC yang sedang berjalan dan
meneliti apakah semua kontraktor TAC tersebut telah membuat laporan
hasil produksi minyak mentahnya secara berkala (bulanan);
(2) Membandingkan antara jumlah produksi minyak mentah berdasarkan
laporan berkala dari kontraktor TAC dengan jumlah yang diserahkan dan
dicatat di Bagian Akuntansi;
(3) Membandingkan jumlah kas-bank/piutang yang timbul atas penyerahan
minyak mentah dari kontraktor TAC dengan laporan rekapitulasi produksi
minyak mentah tiap kontraktor TAC yang dibuat oleh Bagian Akuntasi;
(4) Melakukan audit terhadap kontraktor yang bersangkutan atas pelaksanaan
kontrak TAC termasuk audit atas produksi minyak mentah yang dihasilkan.

8) Penyerahan langsung atas pengelolaan suatu lokasi kuasa pertambangan minyak


bumi dan gas alam (TAC) kepada kontraktor/pihak ketiga tanpa didasarkan pada
suatu proses pelelangan sehingga merugikan PERTAMINA/ negara. Hal ini terjadi
karena adanya indikasi kolusi antara pejabat yang berwenang dalam penyerahan
kuasa pertambangan dengan kontraktor/pihak ketiga.

Upaya-upaya preventif :

(1) Setiap penyerahan pengelolaan lokasi kuasa pertambangan minyak bumi


dan gas alam kepada kontraktor/pihak ketiga harus dilakukan dengan cara
tender/pelelangan yang transparan berdasarkan kriteria-kriteria yang
ditetapkan sebelumnya dan sesuai dengan peraturan yang berlaku;
(2) Menetapkan format kontrak kerja sama pengelolaan lokasi kuasa
pertambangan minyak bumi dan gas alam (TAC) yang menguntungkan
bagi PERTAMINA dan Mitra Kerja. Sebagai contoh penentuan commerciality
area produksi yang perlu dinyatakan secara tegas dalam kontrak;
(3) Administrasi kerjasama TAC harus dilakukan secara tertib untuk
menghindari pencatatan yang dapat merugikan PERTAMINA;
(4) Dalam proses pelelangan lokasi kuasa pertambangan migas harus
menghindarkan adanya conflict of interest dari para pihak terkait.

Upaya-upaya detektif :

(1) Melakukan audit terhadap proses penyerahan kuasa pertambangan minyak


bumi dan gas alam kepada kontraktor/pihak ketiga untuk mengetahui
apakah telah sesuai dengan telah sesuai dengan peraturan yang berlaku
dan tidak terjadi conflict of interest dari para pihak terkait;
(2) Melakukan audit terhadap kontrak kerjasama pengelolaan lokasi kuasa
pertambangan minyak bumi dan gas alam (TAC) untuk memastikan
klausul-klausul tersebut menguntungkan kedua belah pihak;
(3) Melakukan audit terdapat administrasi kerjasama TAC untuk memastikan
tidak adanya kerugian pada PERTAMINA.
BAB III
UPAYA PENANGGULANGAN SECARA REPRESIF

Penyelesaian atas kasus penyimpangan dilakukan secara proporsional sesuai peraturan


perundang-undangan yang berlaku berdasarkan kewenangan masing-masing instansi. Setiap
tahap penyelesaian kasus harus dilakukan pemantauan perkembangannya. Pada dasarnya
setiap kasus tindak pidana korupsi harus ditindaklanjuti melalui peradilan sesuai ketentuan
yang berlaku. Terhadap kasus yang hanya bersifat penyimpangan prosedur tata kerja dan
perlu dilakukan pembinaan secara administratif dapat dilakukan penanganannya secara
internal oleh organisasi yang bersangkutan sesuai ketentuan yang berlaku.

Upaya ini merupakan pelaksanaan tindak lanjut atas kasus penyimpangan yang ditemukan
pada masing-masing unit kerja dari hasil langkah-langkah detektif yang telah memenuhi hal
sebagai berikut:

− Setiap kasus penyimpangan yang telah diidentifikasikan merugikan keuangan negara


dari langkah detektif agar didukung dengan bukti yang memadai termasuk
penjelasan/keterangan tertulis dari pihak yang bertanggung jawab atas penyimpangan
tersebut.

− Setiap kasus penyimpangan harus dilakukan pembahasan melalui pemaparan kasus


untuk menentukan langkah-langkah penyelesaian yang diperlukan. Dalam pemaparan
tersebut, jika perlu, menyertakan pihak dari instansi penyidik guna menentukan ada
tidaknya Tindak Pidana Korupsi/Perdata.

A. Penyelesaian oleh Internal Organisasi

1. Pelaksanaan Tindak Lanjut

1) Pimpinan instansi/unit kerja menindaklanjuti kasus penyimpangan yang


ditemukan melalui :
a. pengenaan sanksi administratif berdasarkan PP 30/1980 tentang Disiplin
Pegawai Negeri Sipil dan atau peraturan lain yang berlaku.
b. pengenaan sanksi TPTGR (Tuntutan Perbendaharaan/Tuntutan Ganti
Rugi) untuk instansi pemerintah sesuai ketentuan yang berlaku yang
selanjutnya dituangkan dalam Surat Kesanggupan dari pejabat/petugas
yang bertanggung jawab.

2) Pimpinan instansi/unit kerja menyerahkan kasus-kasus penyimpangan yang


sanksi TPTGR-nya tidak ditepati kepada kejaksaan untuk diproses secara
perdata;

3) Pimpinan instansi/unit kerja mengambil langkah-langkah tindak lanjut yang


diperlukan untuk menanggulangi akibat penyimpangan yang ditemukan.

2. Pemantauan tindak lanjut

1) Pimpinan instansi/unit kerja memantau pengenaan sanksi administratif dan


pengenaan sanksi TPTGR (Tuntutan Perbendaharaan/Tuntutan Ganti Rugi)
dan atau ketentuan lainnya yang berlaku ;

2) Pimpinan instansi/unit kerja melaporkan tindak lanjut penyelesaian kasus


penyimpangan baik melalui pengenaan PP 30/1980 maupun TPTGR dan atau
ketentuan lainnya yang berlaku kepada Menteri Pendayagunaan Aparatur
Negara dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

B. Penyelesaian oleh Pihak Eksternal melalui Penyerahan Kasus ke Instansi


Penyidik.

1. Pelaksanaan tindak lanjut

1) Pimpinan instansi/unit kerja menyerahkan kasus penyimpangan yang


berindikasi Tindak Pidana Korupsi (TPK) kepada instansi penyidik dan kasus
perdata kepada kejaksaan sesuai dengan prosedur yang berlaku ;

2) Instansi penyidik memproses kasus tindak pidana korupsi/perdata secara


hukum dengan prinsip cepat, tepat dan efisien;

3) Terhadap kasus yang diserahkan ke instansi penyidik yang telah mempunyai


kekuatan hukum tetap, Pimpinan instansi/unit kerja mengenakan sanksi
administrasi berdasarkan PP 30 tahun 1980 dan atau peraturan lain yang
berlaku kepada pegawai yang telah dinyatakan bersalah;

4) Instansi penyidik memberitahukan perkembangan status penanganan kasus


tindak pidana korupsi/perdata kepada instansi pelapor secara berkala.

2. Pemantauan Tindak Lanjut

1) Pimpinan instansi/unit kerja memantau kasus tindak pidana korupsi/ perdata


yang diserahkan kepada instansi penyidik;

2) Pimpinan instansi/unit kerja yang melaporkan kasus tindak pidana


korupsi/perdata yang diserahkan kepada instansi penyidik disertai dengan
perkembangan penanganannya kepada Menteri Pendayagunaan Aparatur
Negara dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Lampiran
DAFTAR KASUS/PENYIMPANGAN
PADA PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM (SDA)

No. Uraian Halaman


I Pengelolaan Sumber Daya Kehutanan
1. Adanya kolusi antara petugas dengan pengusaha dalam 12
rangka pengesahan Rencana Karya Tahunan (RKT) dengan
cara melaporkan jumlah potensi tegangan tegak per blok lebih
besar dari jumlah sebenarnya sehingga pemegang HPH
memperoleh jatah tebang yang lebih besar dari yang
seharusnya menurut Laporan Hasil Cruising (LHC). Sebagai
dampaknya potensi kerusakan hutan produksi menjadi lebih
besar.
2. Dalam pengajuan ijin baru maupun perpanjangan HPH, 13
pengusaha yang bersangkutan harus melampirkan hasil
pekerjaan pemotretan udara, pemetaan, inventarisasi hutan
dan pemetaan batas areal kerja HPH. Pelaksanaan pemotretan
dan pemetaan tersebut dapat dilaksanakan oleh pemegang
HPH sendiri atau pihak ketiga. Dalam kenyataannya pemberi
ijin baru dan perpanjangan ijin HPH tetap diberikan oleh
aparat terkait kepacia pemegang HPH walaupun hasil
pekerjaan pemotretan dan pemetaan tidak sesuai dengan
ketentuan yang berlaku. Hal ini terjadi karena adanya kolusi
antara aparat terkait dengan pengusaha HPH maupun pihak
ketiga yang melaksanakan pekerjaan pemotretan dan
pemetaan. Dengan ijin HPH tersebut pengusaha pemegang
HPH dapat melaksanakan pengelolaan hutan tanpa
memperhatikan potensi dan batas areal kerja HPH sehingga
berpotensi menimbulkan kerusakan hutan.
3. Aparat terkait melakukan kolusi dengan pengusaha dalam 14
pelaksanaan pekerjaan pemotretan dan pemetaan kawasan
hutan lindung, kawasan konservasi lainnya dan beberapa
lokasi lahan kritis dengan menggunakan potret udara citra
airbone radar. Hasil pekerjaan tersebut yang seharusnya tidak
diterima oleh pihak pemberi kerja ternyata tetap diterima
walaupun sebenarnya hasil pekerjaan tersebut tidak
memenuhi syarat kontrak. Dengan hasil yang tidak sesuai
dengan kontrak ini pemerintah tidak dapat memanfaatkan
hasil pemotretan dan pemetaan secara maksimal untuk
melakukan perencanaan, pengawasan dan penataan kawasan
hutan lindung, kawasan konservasi lainnya dan beberapa
lokasi lahan kritis.
4. Pejabat memberikan ijin pertambangan kepada pengusaha 14
untuk melakukan penambangan terbuka di kawasan hutan
lindung yang mengandung sumber daya tambang, meskipun
bertentangan dengan UU No. 41/1999 dan menimbulkan
dampak negatif terhadap lingkungan. Hal ini dimaksudkan
untuk meningkatkan penerimaan daerah, namun pada
kenyataannya hal tersebut lebih menguntungkan pengusaha
dan oknum pejabat terkait.
5. Adanya kolusi antara petugas dengan perusahaan pemegang 15
HPH dengan membiarkan kegiatan penebangan hutan yang
tidak memenuhi criteria/batasan Tebang Pilih Tanam
Indonesia (TPTI) sehingga mengakibatkan kerusakan hutan.
6. Perusahaan perkebunan besar swasta (PPBS) pemegang ijin 15
pembukaan perkebunan yang telah mendapatkan
pencadangan lahan ribuan hektar, namun tidak melakukan
kegiatan sebagaimana mestinya sehingga banyak lahan yang
terlantar, karena PPBS hanya mengambil kayunya saja. Hal ini
terjadi karena adanya kolusi antara petugas dengan PPBS
dalam pemberian ijin, sedangkan perusahaan yang
bersangkutan tidak memenuhi syarat sebagai PPBS.
7. Hak Pemanfaatan Hasil Hutan (HPHH) yang diberikan kepada 16
masyarakat setempat, namun kenyataan di lapangan di
laksanakan dan diperlakukan sebagai HPH oleh pengusaha
HPH dan dibiarkan oleh aparat terkait. Hal ini terjadi karena
ketidakmampuan masyarakat setempat dari segi permodalan
dan dari segi pemenuhan prosedur yang ditentukan sehingga
masyarakat kehilangan sumber pendapatan tradisional
disamping timbulnya potensi kerusakan hutan.
8. Diameter kayu yang ditebang lebih kecil dari ketentuan 17
pemerintah, namun dilaporkan sebagai kayu yang berdiameter
lebih besar dari ukuran minimal, sehingga terjadi kerusakan
potensi kayu bulat dan kepunahan potensi hutan lainnya. Hal
ini terjadi karena petugas sengaja tidak mempermasalahkan
penyimpangan tersebut.
9. Volume kayu bulat yang ditebang dilaporkan lebih kecil dari 17
volume sebenarnya dengan cara memanipulasi data Surat
Angkut Kayu Bulat (SAKB) dan Daftar Kayu Bulat (DKB).
Akibatnya informasi mengenai potensi hutan yang belum
ditebang menyesatkan dan dapat mempercepat terjadinya
kerusakan hutan.
10. Melakukan penebangan di luar blok tebangan (over cutting) 18
dengan cara memperbesar volume maupun jenis potensi kayu
pada Laporan Hasil Cruishing (LHC) dari suatu areal tertentu.
Sebagai dampaknya potensi kerusakan hutan produksi
menjadi lebih besar.
11. Penebangan dan perdagangan liar (illegal logging) oleh 19
perusahaan pemegang HPH menimbulkan kerugian finansial
negara dan dampak sosial serta kerusakan sumber daya hutan
dan lahan sehingga akhirnya berdampak terhadap
ketidakseimbangan dan kerusakan ekosistem dalam tatanan
daerah aliran sungai.
12. Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) yang diperhitungkan lebih 19
kecil dari sebenarnya dengan memanipulasi jenis kayu yang
ditebang dari hutan negara, dengan melaporkan jenis kayu
yang tarifnya lebih kecil dibanding dengan jenis kayu yang
sebenarnya ditebang. Namun petugas pemeriksa berwenang
berkolusi dengan membiarkan hal tersebut terjadi. Akibatnya
instansi berwenang tidak dapat memonitor keragaman jenis
kayu yang ada pada areal hutan negara.
13. Pengusaha pemegang Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK) hanya 20
menggunakan haknya untuk memanfaatkan kayu tanpa
memenuhi kewajibannya membuka lahan perkebunan maupun
hutan tanaman industri, sehingga menimbulkan degradasi
fungsi hutan. Hal ini terjadi karena adanya persekongkolan
dengan oknum pejabat terkait.
II. Pengelolaan Sumber Daya Pertambangan Umum :
1. Praktek-praktek pertambangan ilegal (PETI)/pertambangan 20
timah liar/tambang inkonvensional (TI) yang dilindungi Perda
yang jelas-jelas bermasalah dengan pertambangan dan juga
ekspor timah dalam bentuk biji yang dilakukan oleh PETI/TI,
menyebabkan kerugian yang tidak hanya terbatas pada nilai
material/finansial namun juga terhadap kondisi pertambangan
timah yang akan hancur di kemudian hari dan kerusakan
lingkungan yang sulit untuk dipulihkan.
2. Adanya kolusi antara pejabat berwenang dengan pengusaha 21
menimbulkan penambangan liar dalam pengelolaan sumber
tambang di lokasi yang seharusnya bukan diperuntukan
kegiatan penambangan. Adanya kegiatan penambangan liar
tersebut berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan.
3. Volume produksi yang dilaporkan lebih kecil dari jumlah 22
sebenarnya karena sebahagian hasil produksi dipergunakan
sendiri oleh perusahaan untuk bahan bakar pembangkit listrik.
4. Volume galian C yang dilaporkan lebih rendah dari volume 22
sebenarnya.
5. Jenis galian C yang dilaporkan pada Laporan Hasil Galian C 22
(LHGC) tidak sesuai dengan yang sebenarnya.
6. Perusahaan Kontrak Pengusahaan Penambangan Batu Bara 23
(PKP2B) mengurangkan biaya pengangkutan yang tidak wajar
atas hasil penjualan bagian pemerintah sehingga menimbulkan
kerugian bagi pemerintah akibat diperoleh hasil penjualan
batu bara yang rendah.
7. Menunda perhitungan dan pembayaran royalti Dana Hasil 24
Penjualan Batubara (DHPB) hingga saat harga penjualan
mengalami penurunan.
III. Pengelolaan Sumber Daya Kelautan
1. Pengerukan dan ekspor pasir laut dilakukan secara ilegal 24
karena hanya berbekal Ijin Usaha Pertambangan Pasir Laut
tanpa Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Amdal),
namun ekspor tetap dilakukan karena adanya kolusi antara
oknum aparat terkait dengan pengusaha yang bersangkutan
sehingga merusak sumber hayati laut termasuk kesulitan
nelayan menangkap ikan.
2. Adanya kolusi antara aparat terkait (pemberi ijin dan 25
pengawas) dengan pengusaha dengan cara melaporkan
kandungan mineral dan sumber hasil tambang lainnya yang
terkandung pada pasir laut yang tidak sesuai dengan
kandungan yang sebenarnya, sehingga cadangan mineral dan
sumber tambang lainnya yang mempunyai nilai ekonomi tinggi
di wilayah yang bersangkutan hilang.
3. Terjadi penangkapan ikan di lokasi yang tidak sesuai dengan 25
peruntukannya yaitu adanya pengoperasian kapal-kapal
berkapasitas besar di lokasi yang diperuntukan bagi
kapal-kapal yang berkapasitas lebih kecil. Hal tersebut terjadi
karena adanya kolusi antara pemilik kapal dengan aparat
berwenang sehingga mengakibatkan kerugian bagi
nelayan-nelayan kecil dan kelestarian laut.
4. Metode penangkapan tidak sesuai dengan metode yang 26
diijinkan instansi berwenang, mengakibatkan volume hasil
tangkapan menjadi lebih besar dari yang seharusnya dan turut
terambilnya ikan yang tidak memenuhi kriteria sehingga
mempengaruhi kelangsungan kelestarian sumber hayati laut.
5. Adanya kolusi antara oknum pengawas dengan kapal asing 27
yang tertangkap mencuri ikan di wilayah perairan Indonesia,
sehingga mengakibatkan kerugian negara dan kerusakan
sumber hayati laut.
6. Pemakaian jaring arat (sejenis pukat harimau) yang 27
digunakan nelayan-nelayan besar untuk menangkap ikan di
perairan Indonesia yang merugikan nelayan kecil yakni : hasil
tangkap berkurang dan merusak jaring nelayan kecil serta
merusak sumber daya alam sekurangnya 30% sumber hayati
laut rusak bahkan hilang. Hal ini terjadi karena adanya kolusi
antara nelayan pemakai jaring arat dengan aparat pemerintah
terkait.
7. Terjadi kolusi antara oknum aparat dengan eksportir pasir laut 28
dengan cara melaporkan volume realisasi eksploitasi hasil laut
non ikan berupa pasir laut yang dikeruk dan diekspor dalam
Laporan Realisasi Pengerukan Pasir Laut (LRPPL) lebih rendah
dari volume sebenarnya sehingga batas maksimal pasir laut
yang dikeruk pada suatu lokasi tertentu tidak terkendali
sebagaimana mestinya akibatnya terjadi kerusakan dan
hilangnya sumber hayati laut.
IV Pengelolaan Sumber Daya Pertambangan dan Gas Alam
:
1. Volume minyak mentah yang diproduksi dilaporkan lebih kecil 29
dari volume dengan cara melakukan pengukuran dengan
metode dan titik serah (delivery point) yang berbeda.
2. Volume gas alam yang diproduksi dilaporkan lebih kecil dari 29
volume sebenarnya karena sebagian dipergunakan sendiri
(bahan bakar pembangkit tenaga listrik).
3. Pendistribusian BBM (minyak tanah dan solar) dari PERTAMINA 30
ke penjual (SPBU) tidak lancar sehingga terjadi kelangkaan
BBM dan harga BBM di masyarakat menjadi lebih mahal, hal
ini terjadi karena adanya pihak-pihak penimbun, pengoplos
dan penyelundup BBM menyalahgunakan delivery order (DO)
yang diperoleh dari PERTAMINA.
4. Adanya penimbun BBM yang mengumpulkan dari sejumlah 30
pangkalan, setelah jumlahnya terkumpul banyak di lokasi
penimbunan, BBM dengan harga subsidi itu dijual ke sejumlah
tempat industri atau pabrik, bahkan ada yang dijual ke luar
negeri karena adanya perbedaan harga yang mencolok.
5. Kesalahan pengukuran volume minyak mentah dalam tangki 31
penimbunan yang dapat merugikan keuangan negara.
6. Beberapa kalangan industri tertentu terlibat dalam 31
penyelundupan BBM dalam hal ini untuk jenis solar, dilakukan
dengan meminta DO jauh lebih besar dari kebutuhannya atau
membeli solar dari pasar liar/agen tertentu, sementara DO
solarnya mereka salah gunakan. Praktek seperti ini melibatkan
oknum PERTAMINA dan aparat.
7. Produksi minyak mentah bagian PERTAMINA dari hasil 32
Technical Asistance Contract (TAC) tidak diserahkan/
dilaporkan ke PERTAMINA sehingga merugikan keuangan
negara. Hal ini terjadi karena adanya kelalaian petugas terkait
dalam memantau pelaksanaan kegiatan TAC.
8. Penyerahan langsung atas pengelolaan suatu lokasi kuasa 33
pertambangan minyak bumi dan gas alam kepada
kontraktor/pihak ketiga tanpa didasarkan pada suatu proses
pelelangan sehingga merugikan PERTAMINA/negara. Hal ini
terjadi karena adanya indikasi kolusi antara pejabat yang
berwenang dalam penyerahan kuasa pertambangan dengan
kontraktor/pihak ketiga.
Lampiran

UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KORUPSI


PADA PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM

TIM PENYUSUN

Pengarah : 1. Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan


Pembangunan ;
2. Sekretaris Utama BPKP

Narasumber : 1. Sjahrudin Rasul ;


2. S. Herutomo ;
3. Pontas R. Siahaan ;
4. Imran ;
5. Atjeng Sastrawijaya ;
6. Joko Susilo

Penanggung jawab : Deputi Kepala BPO Bidang Investigasi


Agus Setiasena

Pembantu Penanggung jawab : Direktur Investigasi Hambatan Kelancaran Pembangunan


Gunawan Semedi

Ketua Tim : Teguh. W. Utomo

Anggota : 1. Djadja Sukirman ;


2. Aprinaldi ;
3. Dadang Budiawan ;
4. Djaenal Arifin ;
5. Suprayitno ;
6. Yohanes Sigit Subandriawan

Tim Perbantuan : 1. Wiharto ;


2. Bram Brahmana ;
3. Gatot Wibisono ;
4. I. G. Made Mandita

You might also like