You are on page 1of 13

LEARNING TASK

KEPERAWATAN KELUARGA
CULTURALLY SENSITIVE NURSING CARE

OLEH SGD 3 :

PUTU DEWI DIAH PERTIWI (1502105005)


NI MADE AYU PUSPA DEWI (1502105009)
I GEDE ABDI SARYA PERMANA (1502105016)
I GUSTI AGUNG ISTRI AGUNG GAYATRI (1502105021)
KOMANG HADPANI (1502105027)
NI LUH PUTU SANTI DETIANA SARI (1502105034)
NI KADEK DEVI BUDI CAHYANI (1502105049)
A.A GEDE CANDRA DWIPA (1502105056)
NI MADE SRI ARDHIA P (1502105058)
FLORA MARANATHA HASUGIAN (1502105065)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2018
1. Apakah yang dimaksud dengan budaya dan kepercayaan? Jelaskan
perbedaanya!
 Budaya
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu
buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal)
diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.
Kata budaya merupakan bentuk majemuk kata budi-daya yang berarti
cipta, karsa, dan rasa. Budaya atau kebudayaan dalam Bahasa Belanda di
istilahkan dengan kata culturur. Dalam bahasa Inggris culture. Sedangkan
dalam bahasa Latin dari kata colera. Colera berarti mengolah,
mengerjakan, menyuburkan, dan mengembangkan tanah (bertani).
Kemudian pengertian ini berkembang dalam arti culture, yaitu sebagai
segala daya dan aktivitas manusia untuk mengolah dan mengubah alam.
Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan
keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-
kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.
Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun
temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut
sebagai superorganic. Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung
keseluruhan pengertian nilai sosial,norma sosial, ilmu pengetahuan serta
keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi
segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu
masyarakat.
Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan
pengertian nilai sosial,norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan
struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala
pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu
masyarakat.
Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian
mengenai kebudayaan adalah sesuatu yang akan memengaruhi tingkat
pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam
pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu
bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda
yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa
perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola
perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-
lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam
melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
 Kepercayaan
Kepercayaan ada ketika sebuah kelompok percaya pada sifat
terpercaya dan integritas mitra. Kepercayaan adalah ekspektasi yang
dipegang oleh individu bahwa ucapan seseorang dapat diandalkan.
Kelompok terpercaya perlu memiliki integritas tinggi dan dapat dipercaya,
yang diasosiasikan, dengan kualitas yaitu: konsisten, kompeten, jujur, adil,
bertanggungjawab, suka membantu dan baik (Morgan dan Hunt, 2004
dalam Gatot Yulianto dan Purwanto Waluyo, 2004:350).
 Perbedaannya:
Kepercayaan telah menjadi bagian yang melekat dalam kehidupan
manusia, bahkan di era modern sekarang ini, banyak orang yang beragama
tetapi tetap memegang teguh pada kepercayaan tertentu yang merupakan
bagian dari kebudayaan atau tradisi bangsanya. Munculnya kepercayaan
bersifat dari proses pengalaman hidup yang dialami manusia berkaitan
dengan alam lingkungan sekitarnya. Sedangkan kebudayaan mengandung
makna sebagai bentuk perilaku manusia yang ditujukan untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya.
2. Mengapa perawat perlu mengenal budaya klien dan memiliki penguasaan
terhadap kompetensi budaya?
Perawat merupakan petugas kesehatan yang mempunyai peran dominan
dalam membantu pasien sembuh dari penyakit yang dideritanya. Perawat
sebagai ujung tombak pelayanan di rumah sakit, sebagai aktor yang langsung
berhadapan dengan pasien dalam waktu yang lama (Munawaroh, 2018). Oleh
karena itu sangat penting perawat mengenal dan menguasai setiap budaya
klien agar dapat memberikan pelayanan yang terbaik dengan menghargai dan
memahami budaya dari setiap klien. Perbedaan budaya, etnis dan bahasa
nantinya dapat berdampak pada bagaimana seseorang atau kelompok
memperoleh dan menggunakan atau memanfaatkan pelayanan kesehatan. Jika
perawat salah dalam melakukan sesuatu terhadap seseorang atau kelompok
yang dipandang berbeda dalam hal budaya dan pengalaman mereka, maka hal
tersebut akan mengakibatkan pelayanan keperawatan menjadi tidak efektif
dan tidak berkualitas. Hal tersebut tentu saja akan dapat dihindari apabila
perawat yang memilki pengetahuan budaya menyadari dan mampu
menemukan perbedaan budaya, mengintegrasikan pengetahuan budaya
dengan cara yang tepat akan membuat perawatan menjadi lebih mudah dalam
memberikan asuhan keperawatan

3. Apakah dampak bila perawat tidak mengenal budaya klien?


Leininger beranggapan bahwa sangatlah penting memperhatikan
keanekaragaman budaya dan nilai-nilai dalam penerapan asuhan keperawatan
kepada klien. Bila hal tersebut diabaikan oleh perawat, akan mengakibatkan
terjadinya cultural shock.
Cultural shock akan dialami oleh klien pada suatu kondisi dimana perawat
tidak mampu beradaptasi dengan perbedaan nilai budaya dan kepercayaan.
Hal ini dapat menyebabkan munculnya rasa ketidaknyamanan,
ketidakberdayaan dan beberapa mengalami disorientasi. Salah satu contoh
yang sering ditemukan adalah ketika klien sedang mengalami nyeri. Pada
beberapa daerah atau negara diperbolehkan seseorang untuk mengungkapkan
rasa nyerinya dengan berteriak atau menangis. Tetapi karena perawat
memiliki kebiasaan bila merasa nyeri hanya dengan meringis pelan, bila
berteriak atau menangis akan dianggap tidak sopan, maka ketika mendapati
klien tersebut menangis berteriak, maka perawat akan memintanya untuk
bersuara pelan-pelan atau memintanya berdoa atau malah memarahi pasien
karena diangga telah mengganggu pasien lainnya. Kebutaan budaya yang
dialami oleh perawat ini akan berakibat pada penurunan kualitas pelayanan
keperawatan yang diberikan (Lepuan,2013).
4. Bagaimanakah strategi menerapkan intervensi pada keluarga yang
berhubungan dengan budaya klien
Strategi yang dapat digunakan adalah:
a. Mempertahankan budaya
Mempertahankan budaya dilakukan bila budaya pasien tidak bertentangan
dengan kesehatan. Intervensi keperawatan diberikan sesuai dengan nilai-
nilai yang relevan yang telah dimiliki keluarga sehingga keluarga dapat
meningkatkan atau mempertahankan status kesehatannya.
 Mengidentifikasi perbedaan konsep antara keluarga dan perawat
tentang proses keperawatan
 Saat berinteraksi tetap tenang dan tidak terburu-buru
 Mendiskusikan kesenjangan budaya yang dimiliki keluarga dan
perawat
b. Negosiasi budaya
Intervensi pada tahap ini dilakukan untuk membantu keluarga beradaptasi
terhadap budaya tertentu yang lebih menguntungkan kesehatan. Perawat
membantu keluarga agar dapat memilih dan menentukan budaya lain yang
lebih mendukung peningkatan kesehatana
 Menggunakan bahasa yang mudah dipahami oleh keluarga
 Libatkan keluarga dalam perencanaan perawatan
 Bila terdapat konflik yang tidak terselesaikan, lakukan negosiasi
dimana kesepakatan berdasarkan pengetahuan biomedis, pandangan
klien dan standar etik
c. Rekonstruksi budaya
Rekonstruksi budaya dilakukan bila budaya yang dimiliki merugikan
status kesehatan. Perawat berupaya merubah gaya hidup keluarga yang
bertentangan dengan kesehatan.
 Memberikan kesempatan pada keluarga untuk memahami informasi
yang diberikan dan melaksanakannya
 Berikan informasi pada keluarga tentang sistem pelayanan kesehatan
5. Jelaskan pengertian keberagaman budaya di konteks kesehatan khususnya
keperawatan!
Keberagaman budaya atau “Cultural Diversity” adalah keniscayaan yang
ada di bumi Indonesia. Keragaman budaya di Indonesia merupakan sesuatu
yang tidak dapat dipungkiri keberadaannya dan secara historis bangsa
Indonesia memang berangkat dari keanekaragaman budaya.
Keberagaman budaya dalam asuhan keperawatan merupakan bentuk yang
optimal dari pemberian asuhan keperawatan, mengacu pada kemungkinan
variasi pendekatan keperawatan yang dibutuhkan untuk memberikan asuhan
budaya yang menghargai nilai budaya individu, kepercayaan dan tindakan
termasuk kepekaan terhadap lingkungan dari individu yang datang dan
individu yang mungkin kembali (Leininger, 1985 dalam Afifah, 2011)
Keberagaman budaya dalam keperawatan merupakan suatu pola atau persepsi
perawat terhadap tindakan yang dilakukan kepada klien dan keluarga yang
memiliki budaya yang berbeda tetapi mampu melakukan tujuan yang sama
yaitu meningkatkan derajat hidup pasien dan keluarga.
Perawat kerap memiliki latar belakang budaya, etnik dan agama yang
berbeda dengan klien. Itulah mengapa penting bagi perawat untuk memahami
bahwa klien memiliki budaya dan keyakinan yang berbeda. Jika kesadaran
dan kepekaan klien terhadap keunikan keyakinan dan praktik kesehatan serta
penyakit disampaikan kepada perawat, maka terbinalah hubungan yang baik
antara perawat dan klien.

6. Jelaskan minimal 3 contoh budaya keluarga yang ada di Indonesia yang dapat
menimbulkan ketegangan dalam pemberian perawatan kesehatan!
a. Tradisi pada budaya masyarakat suku sasak yang melapisi rumah
mereka dengan kotoran sapi dan kerbau, maka secara tidak langsung
penyakit yang mungkin timbul dari kebiasaan ini antara lain diare,
cacingan, gatal-gatal, sesak nafas, keracunan yang diakibatkan dari
gas metana yang dihasilkan oleh kotoran sapi dan kerbau. Seperti
yang diketahui kotoran hewan khususnya sapi dan kerbau
mengandung cacing pita (taenia solium dan taenia saginata) sehingga
tidak menutup kemungkinan masyarakat tersebut menderita penyakit
cacingan
b. Tradisi pada budaya yang berikutnya adalah pemberian nasi papah,
yaitu nasi papah juga dapat menjadi media penyebaran penyakit
antara ibu dengan bayi, dimana jika seorang ibu yang menderita
penyakit infeksi menular yang berhubungan dengan gigi dan mulut
serta pernafasan, maka akan sangat mudah untuk ditularkan pada
bayinya, musalnya tuberculosis. Dari segi kebersihan dan keamanan
pangan nasi papah masih dipertanyakan juga, karena anak bisa
tertular penyakit yang diderita ibu melalui air liur, sedangkan dari segi
kuantitas dan kualitas nilai gizi merugikan bayi, karena ibu-ibu akan
mendapatkan sari makanan sedangkan bayinya akan mendapatkan
ampasnya
c. Wanita hamil dianjurkan untuk minum minyak kelapa satu sendok
makan perhari menjelang kelahiran yang maksudnya agar proses
persalinan berjalan dengan lancar. Namun ini jelas tidak berkaitan,
semua unsur makanan akan dipecah dalam usus halus menjadi asam
amino, glukosa, asam lemak agar mudah diserap oleh usus

7. Jelaskan teori keperawatan yang bisa digunakan sebagai framework dalam


meberikan asuha keperawatan keluarga yang peka terhadap budaya klien!
Keragaman masyarakat memberikan pengaruh kepada penatalaksanaan
pelayanan kesehatan dan membuktikan bahwa banyak anggota masyarakat
yang tidak memperoleh pelayanan kesehatan yang menyentuh budaya (Dayer-
Berenson, 2009). Giger dan Davidhizar (2013) menyatakan bahwa telah
muncul ketidakselarasan di dalam keperawatan khususnya tentang hal budaya
dikarenakan masih sangat tidak diperhatikannya perbedaan budaya antara
klien dan pemberi perawatan.
Teori keperawatan yang bisa digunakan sebagai framework dalam
memberikan asuhan keperawatan keluarga yang peka terhadap budaya klien
adalah teori dari Madeleine Leininger (1991 dalam Giger dan Davidhizar,
2013) yang menyatakan bahwa sekarang ini sangat dibutuhkan perawat
dengan pendekatan klinis yang lebih dalam tentang klien dengan nilai-nilai
yang berbeda berdasarkan sensitivitas budaya dari masing-masing klien.
Dimensi budaya dan struktur sosial di dalam dunia keperawatan menurut
Leininger dipengaruhi oleh tujuh faktor yaitu teknologi, agama dan falsafah
hidup, faktor sosial dan kekerabatan, nilai budaya dan gaya hidup, politik dan
hukum serta gaya kehidupan (Asmadi, 2008).
Leininger menggambarkan keperawatan transkultural seperti matahari
terbit untuk melihat seperti apa tahapan perawatan budaya sesungguhnya dan
teori tersebut dikenal dengan teori sunrise model (Giger dan Davidhizar,
2013). Teori sunrise model ini menjelaskan tentang bagaimana seorang
perawat sebelum melakukan asuhan keperawatannya kepada klien, keluarga
atau komunitas, perawat tersebut harus terlebih dulu memiliki pengetahuan
dan pandangan yang luas tentang struktur budaya dan sosial, baik pada
lingkungan yang luas maupun lingkungan yang sempit (Giger dan Davidhizar,
2013).
Menurut Leninger asuhan keperawatan yang dilakukan bertujuan untuk
meningkatkan atau memulihkan kondisi klien berlandaskan praktek dan
pengetahuan keperawatan professional yang konseptual, direncanakan, dan
dilaksanakan sesuai sosial budaya (Dayer-Berenson, 2009). Klien menurut
Leninger adalah seseorang yang membutuhkan pelayanan keperawatan tetapi
cenderung meminta bantuan dari orang-orang non-profesional seperti
keluarga atau teman dan akan meminta pertolongan orang professional bila
klien keadaannya memburuk atau menghadapi kematian (Andrews dan Boyle,
2008).
Peran perawat dalam hal ini adalah melakukan intervensi keperawatan
berdasarkan praktek asuhan budaya klien meliputi mempertahankan,
menegosiasi dan merestrukturisasi asuhan berbudaya, menyadari pentingnya
keperawatan transkultural dan memberi dukungan pada klien dan keluarganya
untuk mmpertahankan keyakinan dan tradisinya (Asmadi, 2008). Kesulitan
yang dialami bisanya bersumber dari kurangnya pemahaman tentang latar
belakang budaya dan struktur sosial seseorang. Fokus dari tindakan adalah
menjembatani masalah atau konflik budaya. Intervensi yang dilakukan dengan
cara membina hubungan saling percaya melalui penghargaan terhadap nilai-
nilai budaya, agama dan sosial selain itu juga dengan mengatasi konflik
melalui pendekatan budaya (Andrews dan Boyle, 2008). Evaluasinya adalah
praktek keperawatan transkultural dapat diterapkan dan menjadi salah satu
yang terpenting dan relevan dalam mempertahankan keyakinan dan nilai-nilai
budaya orang lain (Giger dan Davidhizar, 2013).

8. Apabila anda bertemu dengan keluarga yang menolak intervensi yang anda
berikan dengan alasan yang dimiliki keluarga padahal intervensi itu penting
untuk kesehatan klien, apa yang akan anda lakukan, jelaskan!
Dalam menghadapi hal tersebut tindakan yang bisa dilakukan adalah (Pieter,
2017) :
a. Menyediakan waktu untuk menciptakan komunikasi dan hubungan
interpersenal yang baik dengan keluarga secara teratur sebelum
melakukan komunikasi terapeutik
b. Tentukan strategi komunikasi terapeutik yang efektif yang sesuai dengan
kondisi keluarga terutama kondisi budaya dan kepercayaan keluarga
c. Setelah adanya komunikasi yang terjalin dengan baik, dapat dilakukan
komunikasi terapeutik. Dalam melaksanakan komunikasi terapeutik,
harus mampu digali secara mendalam alasan keluarga menolak intervensi
yang akan diberikan.
d. Identifikasi dan merumuskan (memilah-milah) alasan penolakan yang
diberikan oleh keluarga. Dengan merumuskan hal tersebut, akan
membantu untuk mengetahui apakah alasan yang diberikan keluarga
merupakan alasan yang mutlak tidak dapat diubah atau masih
memungkinkan untuk diubah setelah diberikan penjelasan lebih lanjut
e. Kita harus memberikan informasi yang benar, jujur, dan mudah
dimengerti oleh keluarga mengenai pentingnya intervensi yang akan kita
berikan kepada keluarga. Penjelasan yang diberikan diharapkan akan
membantu untuk menyakinkan keluarga mengenai seberap penting
keluarga membutuhkan intervensi yang diberikan, dan manfaat yang akan
diperoleh keluarga dari intervensi tersebut
f. Kita dapat melakukan komunikasi yang tujuannya adalah untuk
mendorong keluarga untuk mau menerima intervensi yang akan kita
berikan setelah keluarga mendapat intervensi yang adekuat
g. Menyampaikan alternatif pilihan intervensi kepada keluarga yang
memungkinkan untuk dilakukan, yang sesuai dengan budaya,
kepercayaan, dan kebiasaan keluarga
h. Menunjukkan sikap penerimaan terhadap alasan yang disampaikan oleh
keluarga. Sikap menerima tidak berarti menyetujui. Apabila setelah
diberikan penjelasan dan pilihan alternatif, keluarga tetap menolak
intervensi yang akan diberikan, kita harus mampu mempertahankan sikap
penerimaan. Hindarkan ekspresi wajah dan gerakan tubuh yang
menunjukkan ketidaksetujuan seperti mengerutkan kening atau
menggelengkan kepala seakan tidak percaya.
9. Buatlah satu contoh ketegangan budaya yang dapat terjadi antara perawat dan
keluarga dan lengkapi dengan solusinya. Pembahasan dilakukan berdasarkan
artikel jurnal dengan tahun penerbitan maksimal 10 tahun terakhir.
Contoh:
Budaya menjenguk orang sakit atau mengunjungi pasien ke Rumah Sakit
merupakan budaya yang turun temurun terjadi di kalangan masyarakat
Indonesia. Mereka datang untuk menjenguk kerabat atau keluarga yang sakit
karena hal tersebut sebagai bentuk kepedulian dan dianggap sebagai aktivitas
sosial dan religius. Namun, para pengunjung kerap menyalahi aturan, mereka
biasanya sering menjenguk melebihi batas waktu lama kunjungan, hal ini
dapat menggangu jadwal istirahat pasien yang membutuhkan istirahat yang
cukup. Tidak hanya itu, mereka sering beramai-ramai menjenguk keluarga
atau kerabatnya yang sakit sehingga sedikit membuat keributan. Risiko
terkena infeksi nosokomial juga dapat terjadi apabila pengunjung tidak
mematuhi aturan. Keluarga pasien sering kali tidak menghiraukan aturan yang
ada di Rumah sakit, bahkan mereka sering bernegosiasi kepada petugas
kesehatan yang ada di Rumah sakit agar jam kunjungan lebih fleksibel.
Padahal, pasien perlu istirahat dan privasi setiap petugas kesehatan melakukan
tindakan. Seringkali perawat menegur kebiasaan keluarga pasien yang seperti
itu, namun keluarga pasien menganggap perawat tersebut tidak memiliki jiwa
toleransi budaya yang baik. Pasien kerap kali menyayangkan hal tersebut
karena beranggapan mereka sudah berupaya untuk datang dan ingin
menjenguk. Padahal hal tersebut dilakukan perawat guna mendukung proses
penyembuhan pasien.
 Berdasarkan jurnal milik Rose Lima et al (2015) menyatakan bahwa dalam
mengatasi masalah ketegangan budaya di Rumah Sakit tidak hanya berfokus
pada pencarian titik terang dari masing – masing perbedaan budaya yang
diterapkan. Adanya komunikasi dari tenaga kesehatan terutama perawat
terkait kebijakan dan struktur perawatan di rumah sakit dengan keluarga
pasien dapat menjadi salah satu solusi dalam menangani masalah tersebut.
Jurnal tersebut juga menyatakan bahwa seharusnya dalam menangani
ketegangan budaya, kebijakan rumah sakit juga memegang andil di dalamnya.
Oleh sebab itu, kebijakan rumah sakit harus dibuat se-holistik mungkin dalam
memandang definisi perawatan dari berbagai pandangan budaya yang ada.
 Selain itu, jurnal milik Cang Wong (2009) juga menyatakan bahwa terdapat
solusi dalam mencegah ketegangan budaya di rumah sakit adalah salah
satunya dengan pemberian materi “transcultural nursing” pada calon perawat
pada saat mereka menjalani pendidikan. Jurnal tersebut menyatakan dengan
adanya materi tersebut, calon perawat dapat memiliki pengalaman dan
gambaran sedini mungkin terkait bagaimana cara memandang definisi
“perawatan yang baik” dari tiap budaya dan saat berprofesi nanti bisa
memanajemen konflik budaya pasien dengan baik. Selain itu, jurnal tersebut
juga menyebutkan bahwa institusi keperawatan atau tenaga medis lain harus
memiliki suatu upaya atau aktivitas yang menyangkut pada komunitas dengan
budaya yang berbeda agar mendapat gambaran nyata terkait nilai budaya yang
diterapkan. Terdapat beberapa program yang disarankan dalam penerapan
solusi ini, diantaranya adalah dengan membuka kelas program khusus dan
seminar yang menyajikan pembicara yang berkompeten dalam membahas
“transcultural nursing”.
DAFTAR PUSTAKA

Afifah E. (2011). Keragaman Budaya Dan Perspektif Transkultural Dalam


Keperawatan. Retriverd from: www.staff.ui.ac.id diakses pada 24 April 2018

Andrews, M. M., & Boyle, J. S. (2008). Transcultural Concepts in Nursing Care.


Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Asmadi. (2008). Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Cang Wong et al. (2009). Nursing Responses to Transcultural Encounters : What Nurses
Draw on When Faced with a Patient from Another Culture. The Permanette Journal
Vol. 13 (3); 31 – 37

Dayer-Berenson, L. (2009). Cultural Competencies for Nurses: Impact On Health and


Illness. Sudbury, Massachusetts: Jones & Bartlett Learning.

Gatot Yulianto, Purwanto Waluyo, (2004). Pengaruh Keefektifan Komunikasi, Kualitas


Teknikal, Kualitas Fungsional dan Kepercayaan Pada Komitmen Keterhubungan
Bandara Ahmad Yani Semarang. Telaah Manajemen, Magister Manajemen STIE
Stikubank Semarang, Vol.1. Edisi 3.

Giger, J. N., & Davidhizar, R. E. (2013). Transcultural Nursing: Assessment And


Intervention, Sixth Edition. St. Louis: Mosby-Year Book, Inc.

Leininger, M. (1991). Culture Care Diversity & Universality: A Theory of Nursing. New
York: National League for Nursing Press.

Lepuan, Refinus.(2013).Aspek Spiritual Budaya Dan Etnik Dalam Keperawatan


.Retrieved 24 April 2018 from
https://docs.google.com/document/d/19lDHIYEpvxSo6iNvusXJTIDuwUpjXbw4
L7_RR4ni9FQ/edit
Lestari dkk. (2014). Pendekatan Kultural Dalam Praktek Keperawatan Profesional Di
Rumah Sakit Jogja International Hospital. Jurnal KesMaDaSka

Maqassary, Ardi. (2016). Pengertian Kebudayaan.retrived from http://www.e-


jurnal.com/2013/10/pengertian-kebudayaan.html

Munawaroh. (2018). Transcultural Nursing dan Perbedaan Suku Ras.


https://id.scribd.com/document/355017937/TRANSCULTURAL-NURSING-
DAN-PERBEDAAN-SUKU-RAS-docx. Diakses pada tanggal 23 april 2018

Nurrohman, Heru. (2013). Program Bimbingan dan Konseling Berbasis Nilai-Nilai


Budaya. Etrieved from: repository.upi.edu/2615/4/T_BP_1101150_Chapter1.pdf

Pieter, HZ.(2017).Dasar-Dasar Komunikasi Bagi Perawat.Jakarta:Kencana. Hal 54-55

Rima Lima et al. (2015). Conflicts between healthcare professionals and families of a
multi-ethnic patient population during critical care: an ethnographic study. Critical
Care Journal Vol. 19; 1 – 13

You might also like