Professional Documents
Culture Documents
KEPERAWATAN KELUARGA
CULTURALLY SENSITIVE NURSING CARE
OLEH SGD 3 :
6. Jelaskan minimal 3 contoh budaya keluarga yang ada di Indonesia yang dapat
menimbulkan ketegangan dalam pemberian perawatan kesehatan!
a. Tradisi pada budaya masyarakat suku sasak yang melapisi rumah
mereka dengan kotoran sapi dan kerbau, maka secara tidak langsung
penyakit yang mungkin timbul dari kebiasaan ini antara lain diare,
cacingan, gatal-gatal, sesak nafas, keracunan yang diakibatkan dari
gas metana yang dihasilkan oleh kotoran sapi dan kerbau. Seperti
yang diketahui kotoran hewan khususnya sapi dan kerbau
mengandung cacing pita (taenia solium dan taenia saginata) sehingga
tidak menutup kemungkinan masyarakat tersebut menderita penyakit
cacingan
b. Tradisi pada budaya yang berikutnya adalah pemberian nasi papah,
yaitu nasi papah juga dapat menjadi media penyebaran penyakit
antara ibu dengan bayi, dimana jika seorang ibu yang menderita
penyakit infeksi menular yang berhubungan dengan gigi dan mulut
serta pernafasan, maka akan sangat mudah untuk ditularkan pada
bayinya, musalnya tuberculosis. Dari segi kebersihan dan keamanan
pangan nasi papah masih dipertanyakan juga, karena anak bisa
tertular penyakit yang diderita ibu melalui air liur, sedangkan dari segi
kuantitas dan kualitas nilai gizi merugikan bayi, karena ibu-ibu akan
mendapatkan sari makanan sedangkan bayinya akan mendapatkan
ampasnya
c. Wanita hamil dianjurkan untuk minum minyak kelapa satu sendok
makan perhari menjelang kelahiran yang maksudnya agar proses
persalinan berjalan dengan lancar. Namun ini jelas tidak berkaitan,
semua unsur makanan akan dipecah dalam usus halus menjadi asam
amino, glukosa, asam lemak agar mudah diserap oleh usus
8. Apabila anda bertemu dengan keluarga yang menolak intervensi yang anda
berikan dengan alasan yang dimiliki keluarga padahal intervensi itu penting
untuk kesehatan klien, apa yang akan anda lakukan, jelaskan!
Dalam menghadapi hal tersebut tindakan yang bisa dilakukan adalah (Pieter,
2017) :
a. Menyediakan waktu untuk menciptakan komunikasi dan hubungan
interpersenal yang baik dengan keluarga secara teratur sebelum
melakukan komunikasi terapeutik
b. Tentukan strategi komunikasi terapeutik yang efektif yang sesuai dengan
kondisi keluarga terutama kondisi budaya dan kepercayaan keluarga
c. Setelah adanya komunikasi yang terjalin dengan baik, dapat dilakukan
komunikasi terapeutik. Dalam melaksanakan komunikasi terapeutik,
harus mampu digali secara mendalam alasan keluarga menolak intervensi
yang akan diberikan.
d. Identifikasi dan merumuskan (memilah-milah) alasan penolakan yang
diberikan oleh keluarga. Dengan merumuskan hal tersebut, akan
membantu untuk mengetahui apakah alasan yang diberikan keluarga
merupakan alasan yang mutlak tidak dapat diubah atau masih
memungkinkan untuk diubah setelah diberikan penjelasan lebih lanjut
e. Kita harus memberikan informasi yang benar, jujur, dan mudah
dimengerti oleh keluarga mengenai pentingnya intervensi yang akan kita
berikan kepada keluarga. Penjelasan yang diberikan diharapkan akan
membantu untuk menyakinkan keluarga mengenai seberap penting
keluarga membutuhkan intervensi yang diberikan, dan manfaat yang akan
diperoleh keluarga dari intervensi tersebut
f. Kita dapat melakukan komunikasi yang tujuannya adalah untuk
mendorong keluarga untuk mau menerima intervensi yang akan kita
berikan setelah keluarga mendapat intervensi yang adekuat
g. Menyampaikan alternatif pilihan intervensi kepada keluarga yang
memungkinkan untuk dilakukan, yang sesuai dengan budaya,
kepercayaan, dan kebiasaan keluarga
h. Menunjukkan sikap penerimaan terhadap alasan yang disampaikan oleh
keluarga. Sikap menerima tidak berarti menyetujui. Apabila setelah
diberikan penjelasan dan pilihan alternatif, keluarga tetap menolak
intervensi yang akan diberikan, kita harus mampu mempertahankan sikap
penerimaan. Hindarkan ekspresi wajah dan gerakan tubuh yang
menunjukkan ketidaksetujuan seperti mengerutkan kening atau
menggelengkan kepala seakan tidak percaya.
9. Buatlah satu contoh ketegangan budaya yang dapat terjadi antara perawat dan
keluarga dan lengkapi dengan solusinya. Pembahasan dilakukan berdasarkan
artikel jurnal dengan tahun penerbitan maksimal 10 tahun terakhir.
Contoh:
Budaya menjenguk orang sakit atau mengunjungi pasien ke Rumah Sakit
merupakan budaya yang turun temurun terjadi di kalangan masyarakat
Indonesia. Mereka datang untuk menjenguk kerabat atau keluarga yang sakit
karena hal tersebut sebagai bentuk kepedulian dan dianggap sebagai aktivitas
sosial dan religius. Namun, para pengunjung kerap menyalahi aturan, mereka
biasanya sering menjenguk melebihi batas waktu lama kunjungan, hal ini
dapat menggangu jadwal istirahat pasien yang membutuhkan istirahat yang
cukup. Tidak hanya itu, mereka sering beramai-ramai menjenguk keluarga
atau kerabatnya yang sakit sehingga sedikit membuat keributan. Risiko
terkena infeksi nosokomial juga dapat terjadi apabila pengunjung tidak
mematuhi aturan. Keluarga pasien sering kali tidak menghiraukan aturan yang
ada di Rumah sakit, bahkan mereka sering bernegosiasi kepada petugas
kesehatan yang ada di Rumah sakit agar jam kunjungan lebih fleksibel.
Padahal, pasien perlu istirahat dan privasi setiap petugas kesehatan melakukan
tindakan. Seringkali perawat menegur kebiasaan keluarga pasien yang seperti
itu, namun keluarga pasien menganggap perawat tersebut tidak memiliki jiwa
toleransi budaya yang baik. Pasien kerap kali menyayangkan hal tersebut
karena beranggapan mereka sudah berupaya untuk datang dan ingin
menjenguk. Padahal hal tersebut dilakukan perawat guna mendukung proses
penyembuhan pasien.
Berdasarkan jurnal milik Rose Lima et al (2015) menyatakan bahwa dalam
mengatasi masalah ketegangan budaya di Rumah Sakit tidak hanya berfokus
pada pencarian titik terang dari masing – masing perbedaan budaya yang
diterapkan. Adanya komunikasi dari tenaga kesehatan terutama perawat
terkait kebijakan dan struktur perawatan di rumah sakit dengan keluarga
pasien dapat menjadi salah satu solusi dalam menangani masalah tersebut.
Jurnal tersebut juga menyatakan bahwa seharusnya dalam menangani
ketegangan budaya, kebijakan rumah sakit juga memegang andil di dalamnya.
Oleh sebab itu, kebijakan rumah sakit harus dibuat se-holistik mungkin dalam
memandang definisi perawatan dari berbagai pandangan budaya yang ada.
Selain itu, jurnal milik Cang Wong (2009) juga menyatakan bahwa terdapat
solusi dalam mencegah ketegangan budaya di rumah sakit adalah salah
satunya dengan pemberian materi “transcultural nursing” pada calon perawat
pada saat mereka menjalani pendidikan. Jurnal tersebut menyatakan dengan
adanya materi tersebut, calon perawat dapat memiliki pengalaman dan
gambaran sedini mungkin terkait bagaimana cara memandang definisi
“perawatan yang baik” dari tiap budaya dan saat berprofesi nanti bisa
memanajemen konflik budaya pasien dengan baik. Selain itu, jurnal tersebut
juga menyebutkan bahwa institusi keperawatan atau tenaga medis lain harus
memiliki suatu upaya atau aktivitas yang menyangkut pada komunitas dengan
budaya yang berbeda agar mendapat gambaran nyata terkait nilai budaya yang
diterapkan. Terdapat beberapa program yang disarankan dalam penerapan
solusi ini, diantaranya adalah dengan membuka kelas program khusus dan
seminar yang menyajikan pembicara yang berkompeten dalam membahas
“transcultural nursing”.
DAFTAR PUSTAKA
Asmadi. (2008). Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Cang Wong et al. (2009). Nursing Responses to Transcultural Encounters : What Nurses
Draw on When Faced with a Patient from Another Culture. The Permanette Journal
Vol. 13 (3); 31 – 37
Leininger, M. (1991). Culture Care Diversity & Universality: A Theory of Nursing. New
York: National League for Nursing Press.
Rima Lima et al. (2015). Conflicts between healthcare professionals and families of a
multi-ethnic patient population during critical care: an ethnographic study. Critical
Care Journal Vol. 19; 1 – 13