You are on page 1of 15

BAB I

PENDAHULUAN

Peroneal palsy adalah suatu keadaan yang berhubungan dengan gangguan fungsi
dan struktur dari saraf tepi, Nama lain dari penyakit ini adalah peroneal neuropati atau
peroneal nerve injury. Etiologi dari Peroneal palsy antara lain: trauma, radang gangguan
metabolik, kelainan struktur sekitar saraf dan lain-lain sebab.

Banyak saraf tepi yang mudah terkena cedera mekanikal karena panjangnya saraf
tersebut dan perjalanannya yang berada di superfisial. Oleh karena itu kompresi
neuropati khas ditandai oleh terkenanya 1 saraf tepi pada tempat dimana secara anatomi
paling mudah terkena tekanan. Dengan demikian tingkat kerusakan ditentukan oleh
berbagai faktor, tetapi yang paling penting adalah besar dan lamanya tenaga cedera dan
komposisi serta hubungan anatomi dari bagian saraf. Penyempitan jalannya saraf secara
anatomi, kebiasaan atau trauma berulang yang berhubungan dengan pekerjaan dan
keadaan-keadaan yang sangat rentan terhadap cedera tekanan adalah faktor-faktor yang
biasanya memperberat perkembangan kompresi neuropati. Banyak penelitian
melaporkan bahwa neuropati saraf peroneus ataupun percabangannya sering terjadi,
hanya insiden yg pasti belum diketahui.

BAB II
0
PEMBAHASAN

II.1 ANATOMI

Anatomi1

Topografi innervasi pada extremitas inferior, yaitu saraf-saraf yang membentuk


innervasi pada extremitas inferior berasal dari ramus anterior nervus spinalis thoracalis
XII, plexus lumbalis dan plexus sacralis.

a. Ramus anterior nervus spinalis thoracalis XII

Saraf-saraf pada regio glutea berasal dari ramus anterior nervus spinalis thoracalis
XII. Kulit regio glutea dipersarafi oleh ramus cutaneus nervus intercostalis XII,
ramus cutaneus lateralis nervus iliohypogastrici, nervi clunium superiores, nervi
clunium medii, nervi clunium inferiores mediales, dan nervi clunium inferiores
laterales.

b. Plexus lumbalis

Plexus lumbalis dibentuk oleh ramus anterior nervus spinalis L1-L4, seringkali
juga turut dibentuk oleh ramus anterior nervus spinalis thoracalis XII. Plexus ini
berada pada dinding dorsal cavum abdominis, ditutupi oleh m.psoas major. Dari
plexus ini dipercabangkan: n.iliohypogastricus, n.ilioinguinalis, n.genitofemoralis,
n.cutaneus femoris lateralis, n.obturatorius, dan n.femoralis. Percabangan-
percabangan tersebut tadi mempersarafi dinding cavum abdominis di bagian
caudal, regio femoris bagian anterior, dan regio cruralis di bagian medial.

c. Plexus sacralis

1
Plexus sacralis dibentuk oleh ramus anterior nervus spinalis L4-S3(S4) dan berada
di sebelah ventral m.piriformis, dipisahkan dari vasa iliaca interna serta ureter
oleh suatu lembaran fascia (fascia pelvis parietalis). Biasanya a.glutea superior
berjalan di antara n.spinalis S1-S2 atau S2-S3 (n.spinalis L4 membentuk plexus
lumbalis dan juga turut membentuk plexus sacralis). Plexus sacralis melayani
struktur pada pelvis, regio glutea, dan extremitas inferior.

Dari plexus sacralis dipercabangkan: n.gluteus superior, n.gluteus inferior,


n.cutaneus femoris posterior, nn.clunium inferiores mediales, n.ischiadicus, dan
n.musculares.

Nervus ischiadicus adalah saraf yang terbesar dalam tubuh manusia yang
mempersarafi regio cruralis dan pedis serta otot-otot bagian di bagian dorsal regio
femoris, seluruh otot pada crus dan pedis, serta seluruh persendian pada
extremitas inferior. Nervus ischidicus berasal dari medulla spinalis L4-S3 berjalan
melalui foramen infrapiriormis, berada di sebelah lateral n.cutaneus femoris
posterior, berjalan descendens di sebelah dorsal m.rotator triceps, di sebelah
dorsal m.quadratus femoris, di sebelah ventral m.gluteus maximus, di sebelah
dorsal m.adductor magnus, di sebelah ventral caput longum m.biceps femoris,
selanjutnya berada di antara m.biceps femoris dan m.semimembranosus, masuk ke
dalam fossa poplitea, lalu saraf ini bercabang dua menjadi n.tibialis dan
n.peronaeus communis.

Rami musculares dipercabangkan untuk mempersarafi m.biceps femoris


caput longum, m.semitendinosus, m.semimembranosus, dan m.adductor magnus.
Rami musculares ini dipercabangkan dari sisi medial n.ischiadicus sehingga
bagian di sebelah medial n.ischiadicus disebut danger side sedangkan bagian di
sebelah lateral disebut safety side.

Otot-otot kaki penggerak telapak kaki dan jari kaki1

2
Otot-otot kaki, dibagi ke dalam tiga kompartemen yaitu anterior, lateral, dan
posterior. Kompartemen anterior kaki terdiri dari otot-otot dorsifleksi kaki. Dalam
kompartemen anterior, tibialis anterior merupakan otot panjang, tebal terhadap
permukaan lateral tibia. Otot ekstensor hallucis longus adalah otot tipis antara dan
sebagian mendalam untuk tibialis anterior dan otot extensor digitorum longus. Otot
fibularis (peroneus) tertius adalah bagian dari otot ekstensor digitorum longus.

Kompartemen (fibula) lateral kaki berisi dua otot yaitu fibularis (peroneus)
longus dan fibularis (peroneus) brevis. Kompartemen belakang kaki terdiri dari
kelompok otot-otot dangkal dan dalam. Otot-otot superfisial seperti tendon (Achilles)
calcaneal merupakan tendon terkuat tubuh. Otot ini masuk ke dalam tulang calcaneal
dari pergelangan kaki. Otot gastrocnemius adalah otot paling dangkal dan bentuk yang
paling terlihat pada betis. Otot soleus, yang terletak ke dalam gastrocnemius, adalah
otot yang luas dan datar. Otot plantaris adalah otot kecil yang mungkin tidak ada;
sebaliknya, kadang-kadang ada dua dari mereka di setiap kaki. Otot ini berjalan miring
antara otot gastrocnemius dan soleus.

Otot-otot yang letaknya dalam pada kompartemen posterior adalah popliteus,


tibialis posterior, fleksor digitorum longus, dan fleksor hallucis longus. Otot popliteus
adalah otot segitiga yang membentuk lantai atau dasar popliteal fossa. Otot tibialis
posterior adalah otot terdalam pada kompartemen posterior. Otot ini terletak di antara
fleksor digitorum longus dan fleksor hallucis longus. Otot fleksor digitorum longus
lebih kecil dari fleksor hallucis longus.

Otot intrinsik kaki penggerak jari kaki2

Fasia profunda kaki membentuk plantar aponeurosis (fascia) yang memanjang


dari tulang kalkaneus untuk falang jari-jari kaki. Aponeurosis mendukung lengkungan
longitudinal kaki dan membungkus tendon fleksor di kaki. Otot-otot intrinsik kaki
dibagi menjadi dua kelompok yaitu dorsal dan plantar. Hanya ada satu otot dorsal
yaitu ekstensor digitorum brevis.

Otot-otot plantar disusun dalam empat lapisan. Lapisan yang paling dangkal
disebut lapisan pertama. Ada tiga otot pada lapisan pertama. Otot abductor hallucis,
3
yang terletak di sepanjang perbatasan medial tapak kaki, sebanding dengan abductor
pollicis brevis di tangan. Otot fleksor digitorum brevis, yang terletak di tengah-tengah
telapak kaki. Otot abduktor digiti minimi, yang terletak di sepanjang perbatasan
lateral telapak kaki, adalah sebanding dengan otot yang sama di tangan, dan
mengabduksi jari kelingking kaki.

Lapisan kedua terdiri dari quadratus plantae yaitu otot berbentuk persegi
panjang dan otot lumbrikalis, empat otot kecil yang mirip dengan otot lumbrikalis di
tangan.

Lapisan ketiga terdiri dari tiga otot. Otot fleksor hallucis brevis, terletak
berdekatan dengan permukaan plantar metatarsal dan sebanding dengan otot yang sama
di tangan. Otot adductor hallucis memiliki ujung miring dan melintang seperti
adduktor polisis di tangan. Otot fleksor digiti minimi brevis terletak dangkal ke
metatarsal dari jari kelingking kaki.

Lapisan keempat adalah yang terdalam dan terdiri dari dua kelompok otot.
Dorsal interossei adalah empat otot yang mengabduksi jari kaki 2-4, memendekkan
falang proksimal, dan memperpanjang falang distal. Ketiga plantar interossei
mengabduksi jari kaki 3-5, memendekkan falang proksimal, dan memperpanjang falang
distal. Interosei kaki serupa dengan yang di tangan.

4
5
6
II.2 DEFINISI

Keadaan yang ditandai dengan penurunan fungsi sensorik dan motorik pada
tungkai bawah dan kaki akibat lesi pada nervus peroneal. Nama lain dari penyakit ini
adalah peroneal neuropati atau peroneal nerve injury.3

II.3 EPIDEMIOLOGI

Saat ini tidak ada perbedaan ras, maupun jenis kelamin yang lebih cenderung
mengalami peroneal palsy ini namun kasus ini lebih jarang dialami oleh anak-anak 6 .

II.4 ETIOLOGI

Peroneal nerve palsy paling sering diakibatkan oleh duduk bersilang kaki yang
mana menyebabkan saraf peroneal terjepit antara caput fibula dan condylus femur
externa serta patella pada tungkai yang berlawanan. Kondisi ini lebih sering terjadi pada
mereka dengan penurunan berat badan yang sangat atau pada masa konvalesen dari
suatu penyakit atau tindakan operasi. Hilangnya lemak (fat) yang sangat akan
mengurangi proteksi terhadap saraf tersebut, sedangkan penurunan berat badan
memungkinkan pasien merasa enak (comfortable) dengan duduk bersilang kaki.
Kebiasaan duduk bersilang kaki dapat menimbulkan dimple sign yang terdiri dari
daerah pressure atropi berbentuk oval yang mengenai jaringan sampai ke saraf peroneal
di caput fibula.

Selain itu beberapa pekerjaan yang memerlukan berjongkok atau bersujud, seperti
bertani, penambang akan meningkatkan tekanan pada saraf terhadap collum fibula
sehingga menyebabkan terjadinya occupational peroneal palsy juga gangguan fungsi
saraf peroneal dapat terjadi setalah mengalami keseleo atau terkilir pada pergelangan
kaki.

7
Mekanisme lain yang diketahui sebagai penyebab peroneal nerve palsy adalah
trauma langsung, dislokasi lutut, fraktur tibia dan fibula, myxedema pretibial,
intoksikasi ergot dan malposisi diatas meja operasi. Lokalisasi lesi sebagian besar
ditemukan pada collum fibula tempat saraf tersebut bercabang menjadi N.Peroneal
superficial dan profunda. Pada daerah ini tampaknya saraf tersebut paling mudah
mengalami kompresi atau stretching 5 .

II.5 GEJALA KLINIS

Pasien dengan peroneal palsy sering mengalami drop foot (tidak mampu
melakukan gerakan dorsofleksi). Kram pada malam hari dapat terjadi di anterior tungkai
bawah (jika kompresi yang kronis). Jika kompresi akut, gejala cenderung lebih
maksimal di awal. Nyeri bisa terjadi di lokasi kompresi. Gangguan sensorik (misalnya,
kesemutan, mati rasa) di lateral tungkai bawah dan kaki dapat dicatat 4 .

Untuk gejala klinis pastinya dapat dibedakan menurut lesinya antara lain 4 :

 Lesi Pada Kaput Fibula

8
Sebagian besar kelumpuhan saraf peroneus terjadii pada daerah kaput fibula,
dimana saraf tersebut terletak superfisial dan rentan terhadap cedera. Cabang
profunda lebih sering terkena dari pada saraf yang lain. Jika ke 2 cabang
terkena (superfisial dan profuna) menimbulkan parese/paralise jari kaki, dorso
fleksi kaki dan jari kaki, serta bagian lateral distal dari tungkai bawah. Jika
hanya cabang profunda yang terkena, menimbulkan deep peroneal nerve
syndrome.

 Anterior Tibial (Deep Peroneal) Nerve Syndrome

Saraf ini bisa terkena cedera pada kaput fibula atau lebih distal. Kelainan ini
menimbulkan parese/paralise jari kaki dan dorsofleksi kaki. Gangguan
sensoris terbatas pada kulit di sela jari-jari antara jari kaki 1 dan 2. Saraf ini
dapat juga tertekan pada pergelangan kaki, sehingga menyebabkan anterior
tarsal tunnel syndrome yang menimbulkan gejala parese danatropi pada
M.extensor digitorum brevis. Sedangkan gangguan sensoris bisa terdapat atau
tidak pada kulit di sela jari-jari antara kaki 1 dan 2.

 Superficial Peroneal Nerve Syndrome

Lesi bisa pada kaput fibula atau lebih distal. Menimbulkan parese dan atropi
pada M.Peronei dan gangguan eversi kaki. Gangguan sensoris pada kulit
bagian lateral distal tungkai bawah dan dorsum kaki, sedangkan kulit di sela
jari-jari antara jari kaki 1 dan 2 masih baik.

II.6 PATOFISIOLOGI

9
N.Peroneus tersusun oleh serabut-serabut fasikel dan dipisahkan oleh jaringan
ikat, ruang interfasikular dan jaringan ikat yang elastis, keadaan ini memberikan
bantalan sebagai proteksi terhadap tekanan. Serabut-serabut saraf yang terletak
superfisial terahdap tekanan. Serabut-serabut saraf yang terletak superfisial agaknya
melindungi serabut-serabut saraf yang letaknya lebih dalam.

Di lain pihak jika tenaga mekanik externa terjadi secara tangensial atau jika ada
cedera terbatas yang disebabkan oleh pergerakan saraf tubuh terhadap permukaan tulang
yang keras, beberapa fasikel dapat terkena, sedangkan lainnya selamat. Saraf-saraf yang
mempersarafi otot lebih rentan dari pada saraf kulit terhadap efek kompresi. Perbedaan
ini mungkin karena adanya perbedaan sifat biokimiawi dan komposisi serabut yang
terdapat di antara otot dan saraf kulit. Kepentingan komposisi serabut saraf dikatakan
bahwa serabut-serabut tebal yang bermyelin kurang tahan terhadap tekanan daripada
serabut yang tipis dan serabut bermyelin lebih mudah rusak dari pada serabut saraf yang
tidak bermyelin dan 75% serabut saraf kulit tidak bermyelin. Perbedaan dalam
komposisi dan kerentanan terhadap tekanan dapat menpengaruhi efek tekanan secara
keseluruhan pada saraf otot dan saraf kulit Meningkatnya kerentanan saraf terhadap
cedera tekanan

Sekali saraf tepi itu rusak oleh karena penyakit, maka saraf tersebut menjadi lebih
sensitif terhadap efek tekanan. Jadi pada pasien yang menderita malnutrisi, alkoholisme,
diabetes, gagal ginjal, atau Guillain-Barre Syndrome sering terjadi komplikasi pressure
neuropathy. Kelainan tersebut biasanya tampak pada saraf yang lazim berpeluang
terkena tekanan. Penyebab meningkatnya kerentanan tetap tidak diketahui. Disamping
itu faktor genetik juga berperan sebagai predisposisi timbulnya pressure neuropati 5 .

II.7 DIAGNOSIS

10
Diagnosa peroneal palsy ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan dengan foto polos pada lutut dan pergelangan
kaki harus diperoleh untuk mengevaluasi adanya fraktur, lesi massa, atau arthritis jika
ada riwayat yang menunjukkan salah satu etiologi tersebut. Selain itu, MRI Lumbar
dapat memberikan bukti radikulopati L5 jika radiografi negatif. MRI pada lutut dan
pergelangan kaki dapat lebih menjelaskan lesi tulang atau menunjukkan ganglia
intraneural. Pada pemeriksaan elektromiografi terlihat adanya perubahan amplitudo
yang menunjukkan blok konduksi dan kegagalan kkonduksi saraf, kecepatan hantaran
menurun, latensi distal meningkat dan memperlihatkan tanda-tanda denervasi 6 .

Differensial Diagnosis 3 :

 Radikulopati L5
 Post operasi pinggul

 High aciatic mononeuropathy yang mengenai serabut peroneus kommunis

II.8 PENATALAKSANAAN

 Konservatif yaitu dengan mengistirahatkan kaki dan menghindari faktor-


faktor kompresi seperti menyilangkan kaki.
 Tindakan bedah diperlukan jika terdapat lesi akibat terdapat suatu masa
yang mengkrompresi saraf, membebaskan saraf yang tertambat atau
terjepit, dan jika terjadi trauma terbuka dan tumpul yang berat dan
mengkompresi saraf 6 .

II.9 KOMPLIKASI & PROGNOSIS

11
Dekompresi saraf peroneal komunis adalah prosedur yang berguna untuk
memperbaiki sensasi dan kekuatan serta mengurangi nyeri. Sebuah studi retrospektif
mengevaluasi faktor prognostik elektrodiagnostik setelah cedera saraf peroneal pada 39
subjek penelitian. Hasil ini dikaitkan dengan potensial aksi respon otot ekstensor
digitorum brevis dan tibialis anterior: 81% subyek dengan respon tibialis anterior dan
94% dengan ekstensor digitorum brevis memiliki respon yang baik (setidaknya 4 dari 5
pergelangan kekuatan dorsofleksi) dibandingkan dengan mereka yang tidak berespon
baik. Selain itu, semua pasien dengan kompresi nontraumatik memiliki hasil yang baik.

Komplikasi dari penyakit ini yaitu berkurangnya kemapuan berjalan dan sensasi
serta kelemahan atau paralisis pada tungkai bawah dan kaki secara permanen.7

BAB III

KESIMPULAN

Peroneal palsy ditandai dengan penurunan fungsi sensorik dan motorik pada
tungkai bawah dan kaki akibat lesi pada nervus peroneal. Nama lain dari penyakit ini
adalah peroneal neuropati atau peroneal nerve injury.

12
Peroneal palsy dapat terjadi sekunder terhadap trauma langsung, kompresi, cedera
peregangan, iskemia, infeksi, atau penyakit inflamasi. Peroneal nerve palsy paling
sering diakibatkan oleh duduk bersilang kaki, beberapa pekerjaan yang memerlukan
berjongkok atau bersujud, seperti bertani, penambang.

Komplikasi dari penyakit ini yaitu berkurangnya kemapuan berjalan dan sensasi
serta kelemahan atau paralisis pada tungkai bawah dan kaki secara permanen.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sherwood L. Fisiologi Manusia. Jakarta : EGC. 2001


2. Tortora GJ, Derrickson B. Principles of anatomy and physiology. 12nd ed.
United States of America : John Wiley & Sons, Inc; 2009.

3. Agarwal, P. 2012. Peroneal Mononeuropathy.


<http://emedicine.medscape.com> [diakses 3 Agustus 2014].

13
4. Baima, J. & Krivickas, L. 2008. Evaluation and Treatment of Peroneal
Neurophaty. Curr Rev Musculoskelet Med. 1(2): 147–153.

5. Kennedy JG, Baxter DE.2008. Nerve disorders in dancers. Clin Sports Med.
27(2):329-34.

6. Sotaniemi K.A. 1984. Slimmer’s Paralysis—Peroneal Neuropathy During


Weight Reduction. J Neurol Neurosurgery Psychiatry. 47(5):564–6.

7. Campellone, JV. 2013. Common peroneal nerve dysfunction. <


http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000791.htm> [diakses 3
Agustus 2014]

14

You might also like