You are on page 1of 23

BAB I

PENDAHULUAN

Amnion memegang peranan yang sangat penting dalam proses kehamilan

dan persalinan. Amnion pada kehamilan aterm merupakan sebuah membrane yang kuat

dan letur. Selama kehamilan cairan amnion akan menyediakan ruangan bagi janin

untuk bergerak dan berkembang, jika amnion atau ketuban ini tidak ada, rahim akan

mengerut dan menekan rahim, itu terjadi karena terjadinya kebocoran pada cairan

amnion sehingga akan terjadi kelahiran pre aterm.

Semakin tua umur kehamilan maka cairan amnion akan semakin penting

karena untuk pertumbuhan dan perkembangan janin, salah satunya adalah

perkembangan paru-paru dan saluran cerna. Dan cairan amnion ini memiliki peranan

sebagai pelindung atau protektif.selain itu cairan amnion juga berperan sebagai sarana

komunikasi bagi ibu dan janin dan juga dapat digunakan untuk mendiagnosa kelainan-

kelainan dalam proses perkembangan dan pertumbuhan janin.

Jadi, cairan amnion tersebut sangat penting dan kita harus bisa mengetahui

apa saja struktur atau komposisi dan fungsi yang lain dari amnion tersebut (cairan

amnion). Maka dari itu, kami menyusun makalah ini untuk memberikan penjelasan

mengenai amnion, struktur amnion dan fungsi amnion.

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Fisiologi Cairan Amnion

Amnion manusia pertama kali dapat diidentifikasi pada sekitar hari

ke-7 atau ke-8 perkembangan mudigah. Pada awalnya sebuah vesikel kecil yaitu

amnion, berkembang menjadi sebuah kantung kecil yang menutupi permukaan

dorsal mudigah. Karena semakin membesar, amnion secara bertahap menekan

mudigah yang sedang tumbuh, yang mengalami prolaps ke dalam rongga

amnion.

Gambar 1. Kantung amnion pada hari ke-10 (gambar sebelah kiri) dan

kantung amnion pada hari ke-12 ( gambar sebelah Kanan)

Cairan amnion pada keadaan normal berwarna putih agak keruh karena

adanya campuran partikel solid yang terkandung di dalamnya yang berasal dari

lanugo, sel epitel, dan material sebasea. Volume cairan amnion pada keadaan

aterm adalah sekitar 800 ml, atau antara 400 ml -1500 ml dalam keadaan

normal. Pada kehamilan 10 minggu rata-rata volume adalah 30 ml, dan

kehamilan 20 minggu 300 ml, 30 minggu 600 ml. Pada kehamilan 30 minggu,

cairan amnion lebih mendominasi dibandingkan dengan janin sendiri.

2
Cairan amnion diproduksi oleh janin maupun ibu, dan keduanya

memiliki peran tersendiri pada setiap usia kehamilan. Pada kehamilan awal,

cairan amnion sebagian besar diproduksi oleh sekresi epitel selaput amnion.

Dengan bertambahnya usia kehamilan, produksi cairan amnion didominasi oleh

kulit janin dengan cara difusi membran. Pada kehamilan 20 minggu, saat kulit

janin mulai kehilangan permeabilitas, ginjal janin mengambil alih peran tersebut

dalam memproduksi cairan amnion.

Pada kehamilan aterm, sekitar 500 ml per hari cairan amnion di

sekresikan dari urin janin dan 200 ml berasal dari cairan trakea. Pada penelitian

dengan menggunakan radioisotop, terjadi pertukaran sekitar 500 ml per jam

antara plasma ibu dan cairan amnion. Pada kondisi dimana terdapat gangguan

pada ginjal janin, seperti agenesis ginjal, akan menyebabkan oligohidramnion

dan jika terdapat gangguan menelan pada janin, seperti atresia esophagus, atau

anensefali, akan menyebabkan polihidramnion.

2.2 Fungsi Cairan Amnion

Cairan amnion merupakan komponen penting bagi pertumbuhan dan

perkembangan janin selama kehamilan. Pada awal embryogenesis, amnion

merupakan perpanjangan dari matriks ekstraseluler dan di sana terjadi difusi dua

arah antara janin dan cairan amnion. Pada usia kehamilan 8 minggu, terbentuk

uretra dan ginjal janin mulai memproduksi urin. Selanjutnya janin mulai bisa

menelan. Eksresi dari urin, sistem pernafasan, sistem digestivus, tali pusat dan

permukaan plasenta menjadi sumber dari cairan amnion. Telah diketahui bahwa

cairan amnion berfungsi sebagai kantong pelindung di sekitar janin yang

3
memberikan ruang bagi janin untuk bergerak, tumbuh meratakan tekanan uterus

pada partus, dan mencegah trauma mekanik dan trauma termal.

Cairan amnion juga berperan dalam sistem imun bawaan karena

memiliki peptid antimikrobial terhadap beberapa jenis bakteri dan fungi patogen

tertentu. Cairan amnion adalah 98% air dan elektrolit, protein , peptide, hormon,

karbohidrat, dan lipid. Pada beberapa penelitian, komponen-komponen cairan

amnion ditemukan memiliki fungsi sebagai biomarker potensial bagi

abnormalitas-abnormalitas dalam kehamilan. Beberapa tahun belakangan,

sejumlah protein dan peptide pada cairan amnion diketahui sebagai faktor

pertumbuhan atau sitokin, dimana kadarnya akan berubah-ubah sesuai dengan

usia kehamilan. Cairan amnion juga diduga memiliki potensi dalam

pengembangan medikasi stem cell.

2.3 Volume Cairan Amnion

Volume cairan amnion pada setiap minggu usia kehamilan bervariasi,

secara umum volume bertambah 10 ml per minggu pada minggu ke-8 usia

kehamilan dan meningkat menjadi 60 ml per minggu pada usia kehamilan 21

minggu, yang kemudian akan menurun secara bertahap sampai volume yang

tetap setelah usiakehamilan 33 minggu. Normal volume cairan amnion

bertambah dari 50 ml pada saat usia kehamilan 12 minggu sampai 400 ml pada

pertengahan gestasi dan 1000 – 1500 ml pada saat aterm. Pada kehamilan

postterm jumlah cairan amnion hanya 100 sampai 200 ml atau kurang.

Brace dan Wolf menganalisa semua pengukuran yang dipublikasikan

pada 12 penelitian dengan 705 pengukuran cairan amnion secara individual.

4
Variasi terbesar terdapat pada usia kehamilan 32-33 minggu. Pada saat ini, batas

normalnya adalah 400 – 2100 ml.

Gambar 2. Grafik yang menunjukkan perubahan volume cairan amnion

sesuai dengan penambahan usia gestasi dikutip dari Gilbert

2.4 Pengukuran Cairan Amnion

Terdapat 3 cara yang sering dipakai untuk mengetahui jumlah cairan

amnion, dengan teknik single pocket ,dengan memakai Indeks

Cairan Amnion (ICA), dan secara subjektif pemeriksa. Pemeriksaan dengan

metode single pocket pertama kali diperkenalkan oleh Manning dan Platt pada

tahun 1981 sebagai bagian dari pemeriksaan biofisik, dimana 2 ccm dianggap

sebagai batas minimal dan 8 cm dianggap sebagai polihidramnion.

Metode single pocket telah dibandingkan dengan AFI menggunakan

amniosintesis sebagai gold standar. Tiga penelitian telah menunjukkan bahwa

metode pengukuran cairan ketuban dengan teknik Indeks Cairan Amnion (ICA)

memiliki korelasi yang lemah dengan volume amnion sebenarnya (R2 dari 0.55,

0.30 dan 0.24) dan dua dari tiga penelitian ini menunjukkan bahwa

5
teknik single pocket memiliki kemampuan yang lebih baik. Kelebihan cairan

amnion seperti polihidramnion, tidak mempengaruhi fetus secara langsung,

namun dapat mengakibatkan kelahiran prematur. Secara garis besar, kekurangan

cairan amnion dapat berefek negatif terhadap perkembangan paru-paru dan

tungkai janin, dimana keduanya memerlukan cairan amnion untuk berkembang.

Gambar 3. Pengukuran cairan amnion berdasarkan empat kuadran

2.5 Distribusi Cairan Amnion

a. Urin Janin

Sumber utama cairan amnion adalah urin janin. Ginjal janin mulai

memproduksi urin sebelum akhir trimester pertama, dan terus berproduksi

sampai kehamilan aterm. Wladimirof dan Campbell mengukur volume

produksi urin janin secara 3 dimensi setiap 15 menit sekali, dan melaporkan

bahwa produksi urin janin adalah sekitar 230 ml / hari sampai usia

kehamilan 36 minggu, yang akan meningkat sampai 655 ml/hari pada

kehamilan aterm.

6
Rabinowitz dan kawan-kawan, dengan menggunakan teknik yang

sama dengan yang dilakukan Wladimirof dan Campbell, namun dengan cara

setiap 2 sampai 5 menit, dan menemukan volume produksi urin janin

sebesar 1224 ml/hari. Pada tabel menunjukkan rata-rata volume produksi

urin per hari yang didapatkan dari beberapa penelitian. Jadi, produksi urin

janin rata-rata adalah sekitar 1000-1200 ml/ hari pada kehamilan aterm.

b. Cairan Paru

Cairan paru janin memiliki peran yang penting dalam

pembentukan cairan amnion. Pada penelitian dengan menggunakan domba,

didapatkan bahwa paru-paru janin memproduksi cairan sampai sekitar 400

ml/hari, dimana 50% dari produksi tersebut ditelan kembali dan 50% lagi

dikeluarkan melalui mulut. Meskipun pengukuran secara langsung ke

manusia tidak pernah dilakukan, namun data ini memiliki nilai yang

representratif bagi manusia. Pada kehamilan normal, janin bernafas dengan

gerakan inspirasi dan ekspirasi, atau gerakan masuk dan keluar melalui

trakea, paru-paru dan mulut. Jadi jelas bahwa paru-paru janin juga berperan

dalam pembentukan cairan amnion.

c. Gerakan menelan

Pada manusia, janin menelan pada awal usia kehamilan. Pada

janin domba, proses menelan semakin meningkat seiring dengan

meningkatnya usia kehamilan. Sherman dan teman-teman melaporkan

bahwa janin domba menelan secara bertahap dengan volume sekitar 100-300

ml/kg/hari.

7
Banyak teknik berbeda yang dicoba untuk mengukurrata-rata

volume cairan amnion yang ditelan dengan menggunakan hewan, namun

pada manusia, pengukuranyang tepat sangat sulit untuk dilakukan. Pritchard

meneliti proses menelan pada janin dengan menginjeksi kromium aktif pada

kompartemen amniotik, dan menemukan rata-rata menelan janin adalah 72

sampai 262 ml/kg/hari.

Abramovich menginjeksi emas koloidal pada kompartemen

amniotik dan menemukan bahwa volume menelan janin meningkat seiring

dengan bertambahnya usia kehamilan. Penelitian seperti ini tidak dapat lagi

dilakukan pada masa sekarang ini karena faktor etik, namun dari penelitian

di atas jelas bahwa kemampuan janin menelan tidak menghilangkan seluruh

volume cairan amnion dari produksi urin dan paru-paru janin, karena itu,

harus ada mekanisme serupa dalam mengurangi volume cairan amnion.

Gambar 4. Distribusi cairan amnion pada kehamilan Dikutip dari

Gilbert

d. Absorpsi Intramembran

Satu penghalang utama dalam memahami regulasi cairan

amnion adalah ketidaksesuaian antara produksi cairan amnion oleh ginjal

8
dan paru janin, dengan konsumsinya oleh proses menelan. Jika dihitung

selisih antara produksi dan konsumsi cairan amnion, didapatkan selisih

sekitar 500-750 ml/hari, yang tentu saja ini akan menyebabkan

polihidramnion. Namun setelah dilakukan beberapa penelitian, akhirnya

terjawab, bahwa sekitar 200-500 ml cairan amnion diabsorpsi melalui

intramembran. Gambar menunjukkan distribusi cairan amnion pada fetus.

Dengan ditemukan adanya absorbsi intramembran ini, tampak jelas bahwa

terdapat keseimbangan yang nyata antara produksi dan konsumsi cairan

amnion pada kehamilan normal.

2.6 Kandungan Cairan Amnion

Pada awal kehamilan, cairan amnion adalah suatu ultrafiltrat plasma

ibu. Pada awal trimester kedua, cairan ini terdiri dari cairan ekstrasel yang

berdifusi melalui kulit janin sehingga mencerminkan komposisi plasma janin.

Namun setelah 20 minggu, kornifikasi kulit janin menghambat difusi ini dan

cairan amnion terutama terdiri dari urin janin.

Urin janin mengandung lebih banyak urea, kreatinin, dan asam urat

dibandingkan plasma. Selain itu juga mengandung sel janin yang mengalami

deskuamasi, verniks, lanugo dan berbagai sekresi. Karena zat-zat ini bersifat

hipotonik, maka seiring bertambahnya usia gestasi, osmolalitas cairan amnion

berkurang. Cairan paru memberi kontribusi kecil terhadap volume amnion secara

keseluruhandan cairan yang tersaring melalui plasenta berperan membentuk

sisanya. 98% cairan amnion adalah air dan sisanya adalah elektrolit, protein,

peptid, karbohidrat, lipid, dan hormon.

9
Terdapat sekitar 38 komponen biokimia dalam cairan amnion, di

antaranya adalah protein total, albumin, globulin, alkalin aminotransferase,

aspartat aminotransferase, alkalinfosfatase, γ-transpeptidase, kolinesterase,

kreatinin kinase, isoenzim keratin kinase, dehidrogenase laktat, dehidrogenase

hidroksibutirat, amilase, glukosa, kolesterol, trigliserida, High Density

Lipoprotein (HDL), low-density lipoprotein (LDL), very-low-density lipoprotein

(VLDL), apoprotein A1 dan B, lipoprotein, bilirubin total, bilirubin direk,

bilirubin indirek, sodium, potassium, klorid, kalsium, fosfat, magnesium,

bikarbonat, urea, kreatinin, anion gap , urea, dan osmolalitas.

Faktor pertumbuhan epidermis (epidermal growth factor, EGF) dan

factor pertumbuhan mirip EGF, misalnyatransforming growth factor-α, terdapat

di cairan amnion. Ingesti cairan amnion ke dalam paru dan saluran cerna

mungkin meningkatkan pertumbuhan dan diferensiasi jaringan-jaringan ini

melalui gerakan inspirasi dan menelan cairan amnion. Beberapa penanda (tumor

marker) juga terdapat di cairan amnion termasuk α-fetoprotein (AFP), antigen

karsinoembrionik (CEA), feritin, antigen kanker 125 (CA-125), dan 199 (CA-

199).

2.7 Patologi Cairan Amnion

Pada keadaan normal, volume cairan amnion meningkat menjadi 1 liter

atau lebih sedikit pada gestasi 36 minggu, tapi kemudian berkurang. Secara

kasar, cairan amnion yang lebih dari 2000 ml dianggap berlebihan dan disebut

hidramnion, dan kadang-kadang disebut polihidramnion. Pada kasus yang

jarang, uterus mungkin mengandung cairan dalam jumlah yang sangat besar.

10
Pada sebagian besar kasus, yang terjadi adalah hidramnion kronik, yaitu

peningkatan cairan berlebihan secara bertahap. Pada hidramnion akut, uterus

mungkin mengalami peregangan mencolok dalam beberapa hari. Volume cairan

amnion yang kurang dari 200 ml disebut oligohidramnion.

a. Hidramnion

Definisi Hidramnion

Hidramnion dijumpai pada sekitar 1 persen dari semua kehamilan.

Sebagian besar penelitian klinis mendefinisikan hidramnion sebagai cairan

amnion yang lebih besar dari 25 cm. Dengan menggunakan indeks 25 cm

atau lebih, Biggio dan kawan kawan di University of Alabama melaporkan

insidensi 1 persen dari hampir 36.450 kehamilan.

Etiologi Hidramnion

Derajat hidramnion serta prognosisnya berkaitan dengan

penyebabnya. Banyak laporan yang mengalami bias signifikan karena

berasal dari dari pengamatan terhadap wanita yang yang dirujuk untuk

menjalani pemeriksaan ultrasonografi terarah. Penelitian-penelitian lainnya

berbasis populasi, tetapi mungkin masih belum mencerminkan insidensi

yang sebenarnya kecuali apabila dilakukan penapisan ultrasonografi secara

universal. Bagaimanapun, hidramnion yang jelas patologis sering berkaitan

dengan malformasi janin, terutama susunan saraf pusat atau saluran cerna.

Sebagai contoh, hidramnion terdapat pada sekitar separuh kasus anensefalus

dan atresia esophagus. Dalam penelitian oleh Hill dan kawan-kawan (1987)

terhadap pasien-pasien prenatal nonrujukan di Mayo Clinic, kausa

hidramnion ringan teridentifikasi hanya pada sekitar 15 persen kasus.

11
Sebaliknya pada peningkatan volume cairan amnion derajat sedang atau

berat, kausa teridentifikasi pada lebih dari 90 persen kasus.

Tabel 1. Beberapa keadaan yang dapat menyebabkan hidramnion.

Faktor janin Faktor ibu

Anomali kongenital Diabetes tak terkontrol

Obstruksi gastrointestinal Idiopatik

Abnormalitas sistem saraf pusat

- Higroma kistik

- Hidrops non imun

- Aneuploidi

Gejala Klinis

Gejala utama yang meyertai hidramnion terjadi semata-mata karena

faktor mekanis dan terutama disebabkan oleh tekanan di dalam sekitar

uterus yang mengalami overdistensi terhadap organ-organ di dekatnya.

Apabila peregangannya berlebihan, ibu dapat mengalami dispnea dan pada

kasus ekstrim, mungkin hanya dapat bernafas bila dalam posisi tegak.

Sering terjadi edema akibat penekanan sistem vena besar oleh uterus yang

sangat besar, terutama di ekstremitas bawah, vulva, dan dinding abdomen.

Walaupun jarang, dapat terjadi oligouria berat akibat obstruksi ureter oleh

uterus yang sangat besar.

Pada hidramnion kronik, penimbunan cairan berlangsung secara

bertahap dan wanita yang bersangkutan mungkin mentoleransi distensi

abdomen yang berlebihan tanpa banyak mengalami rasa tidak nyaman.

12
Namun pada hidramnion akut, distensi abdomen dapat menyebabkan

gangguan yang cukup serius dan mengancam. Hidramnion akut cenderung

muncul pada kehamilan dini dibandingkan dengan bentuk kronik dan dapat

dengan cepat memperbesar uterus. Hidramnion akut biasanya akan

menyebabkan persalinan sebelum usia gestasi 28 minggu, atau gejala dapat

menjadi demikian parah sehingga harus dilakukan intervensi. Pada sebagian

besar kasus hidramnion kronik, tekanan cairan amnion tidak terlalu tinggi

dibandingkan dengan pada kehamilan normal.

Gejala klinis utama pada hidramnion adalah pembesaran uterus

disertai kesulitan dalam meraba bagian-bagian kecil janin dan mendengar

denyut jantung janin. Pada kasus berat, dinding uterus sangat tegang.

Membedakan antara hidramnion, asites, atau kista ovarium yang besar

biasanya mudah dilakukan dengan evaluasi ultrasonografi. Cairan amnion

dalam jumlah besar hampir selalu mudah diketahui sebagai ruang bebas-

echo yang sangat besar di antara janin dan dinding uterus atau plasenta.

Kadang mungkin ditemui kelainan janin misalnya anensefalus atau defek

tabung syaraf lain, atau anomali saluran cerna.

Penyulit tersering pada ibu yang disebabkan oleh hidramnion adalah

solusio plasenta, disfungsi uterus dan perdarahan pasca persalinan.

Pemisahan dini plasenta yang luas kadang-kadang terjadi setelah air ketuban

keluar dalam jumlah yang besarkarena berkurangnya luas permukaan uterus

di bawah plasenta. Disfungsi uterus dan perdarahan pasca persalinan terjadi

akibat atonia uteri karena overdistensi.

13
Penatalaksanaan Hidramnion

Hidramnion derajat ringan jarang memerlukan terapi. Bahkan yang

derajat sedang dengan sedikit gangguan juga dapat ditangani tanpa

intervensi sampai terjadi persalinan atau sampai selaput ketuban pecah

spontan. Tirah baring jarang berpengaruh pada pasien hidramnion, dan

pemberian diuretika serta pembatasan air dan garam juga biasanya kurang

efektif. Baru-baru ini dilakukan terapi indometasin untuk hidramnion

simtomatik.

 Amniosentesis

Tujuannya adalah untuk meredakan penderitaan ibu, dan cukup

efektif untuk tujuan ini. Namun amniosentesis kadang memicu

persalinan walaupun hanya sebagian kecil cairan yang dikeluarkan.

Elliot dan kawan-kawan (1994) melaporkan hasil-hasil dari 200

amniosentesis pada 94 wanita dengan hidramnion. Kausa umum adalah

transfusi antar kembar (38 %), idiopatik (26 %), anomali janin (17 %)

dan diabetes (12%).

Cara melakukan amniosentesis adalah dengan memasukkan

sebuah kateter plastikyang menutupi secara erat sebuah jarum ukuran 18

melalui dinding abdomen yang telah dianestesi lokal ke dalam kantung

amnion. Jarum ditarik dan set infus intravena disambungkan ke kateter.

Ujung selang yang berlawanan diturunkan ke dalam sebuah silinder

berskala yang diletakkan setinggi lantai dan kecepatan aliran air ketuban

dikendalikan dengan klem putar sehingga dikeluarkan sekitar 500

ml/jam. Setelah sekitar 1500-2000 ml dikeluarkan, ukuran uterus

14
biasanya cukup berkurang sehingga kateter dapat dikeluarkan. Dengan

menggunakan teknik aseptik ketat, tindakan ini dapat diulang sesuai

kebutuhan agar wanita yang bersangkutan merasa nyaman. Elliott dan

kawan-kawan (1994) menggunakan penghisap di dinding dan

mengeluarkan 1000 ml dalam 20 menit (50 ml/menit).

 Terapi Indomestasin

Dalam ulasan terhadap beberapa penelitian,Kramer dan

kawan-kawan (1994) menyimpulkan bahwa indometasin mengganggu

produksi cairan paru atau meningkatkan penyerapannya, mengurangi

produksi urin janin, dan meningkatkan perpindahan cairan melalui

selaput janin. Dosis yang digunakan oleh sebagian besar peneliti

berkisar dari 1,5 – 3 mg/kg/hari. Cabrol dan kawan-kawan (1987)

mengobati 8 wanita dengan hidramnion idiopatik sejak usia gestasi 24-

35 minggu dengan indometasin selama 2-11 minggu.

b. Oligohidramnion

Pada kasus-kasus yang jarang, volume air ketuban dapat turun di

bawah batas normal dan kadang-kadang menyusut hingga hanya beberapa

ml cairan kental. Penyebab keadaan ini belum sepenuhnya dipahami. Secara

umum, oligohidramnion yang timbul pada awal kehamilan jarang dijumpai

dan sering memiliki prognosis buruk. Marks dan Divon (1992) menemukan

oligohidramnion pada 12% dari 511 kehamilan usia 41 minggu atau lebih

pada 121 wanita yang diteliti secara longitudinal terjadi penurunan rata-rata

ICA sebesar 25% perminggu setelah 41 minggu. Akibat berkurangnya

15
cairan, risiko kompresi tali pusat, dan pada gilirannya gawat janin,

meningkat pada semua persalinan, terutama pada persalinan post term.

Kebocoran kronik suatu defek di selaput ketuban dapat mengurangi

volume cairan dalam jumlah bermakna, tetapi seringkali kemudian segera

terjadi persalinan. Pajanan ke inhibitor enzim pengubah-angiotensin (ACE I)

dilaporkan berkaitan dengan oligohidramnion Sebanyak 15 sampai 25 %

kasus berkaitan dengan anomali janin. Pryde dan kawan-kawan (2000)

mampu memvisualisasikan struktur-struktur janin pada hanya separuh dari

wanita yang dirujuk untuk evaluasi ultrasonografi terhadap oligohidramnion

mid trimester. Mereka melakukan amnioinfusi dan kemudian mampu

melihat 77 % dari struktur-struktur yang dicitrakan secara rutin. Identifikasi

anomali terkait meningkat dari 12 menjadi 31 %.

Tabel 2. Beberapa keadaan yang dapat menyebabkan oligohidramnion

Faktor Janin Faktor Ibu

- Agenesis ginjal - Penyakit hipertensi

- Uropati obstruksi - Insufisiensi utero-plasenta

- Pecah selaput ketuban - Sindrom antifosfolipid

- Kehamilan lewat waktu - Dehidrasi-hipovolemi

Hasil luaran janin pada oligohidramnion di kehamilan usia dini

adalah buruk. Shenker dan kawan-kawan (1991) melaporkan 80 kehamilan

semacam itu dan hanya separuh dari janin-janin ini yang selamat. Mercer

dan Brown (1986) melaporkan 34 kehamilan mid trimester yang mengalami

penyulit oligohidramnion dan didiagnosis secara ultrasonografis

16
berdasarkan tidak adanya kantung cairan amnion yang besamya lebih dari 1

cm di semua bidang vertikal. Sembilan (26 persen) dari janin-janin ini

mengalami anomali, dan 10 dari 25 yang secara fenotipe normal mengalami

abortus spontan atau lahir mati karena hipertensi ibu yang parah, hambatan

pertumbuhan janin, atau solusio plasenta. Dari 14 bayi lahir hidup, delapan

lahir preterm dan tujuh meninggal. Enam bayi yang lahir aterm tumbuh

normal.

Bayi yang tadinya normal dapat mengalami akibat dari

oligohidramnion awitan dini yang parah. Perlekatan antara amnion dan

bagian-bagian janin dapat menyebabkan kecacatan serius termasuk

amputasi. Selain,itu, akibat tekanan dari semua sisi, penampakan janin

menjadi aneh, dan kelainan otot-rangka, misalnya kaki gada

(clubfoot) sering terjadi.

Cukup banyaknya cairan amnion yang dihirup olehjanin normal,

seperti dibuktikan oleh Duenhoelter dan Pritchard (1976), mengisyaratkan

bahwa cairan yang terhirup tersebut berperan dalam ekspansi, dan pada

gilirannya, pertumbuhan paru. Namun, Fisk dan kawan-kawan (1992)

menyimpulkan bahwa gangguan pernapasan janin tidak menyebabkan

hipoplasia paru pada oligohidramnion.

Amnioinfusi

Infus kristaloid untuk menggantikan cairan amnion yang

berkurang secara patologis paling sering digunakan selama persalinan untuk

mencegah kompresi tali pusat. Hasil amnioinfusi intrapartum untuk mence-

17
gah morbiditas janin akibat air ketuban tercemar mekonium sering berkaitan

dengan oligohidramnion masih belum jelas.

2.8 Pemeriksaan Yang Menggunakan Cairan Amnion

a. Amniosintesis

Obstetri modern menginginkan deteksi kelainan pada kehamilan

sedini mungkin . Untuk membuat diagnosis terrsebut umumnya dipakai sel-

sel yang terdapat di dalam cairan amnion dengan melakukan amniosintesis.

Amniosintesis pada saat ini lebih sering dilakukan melalui transabdominal.

Penggunaan amniosintesis antara lain digunakan dalam manajamen kelahiran

preterm , dimana dapat mendeteksi secara cepat adanya infeksi intraamnion.

Penggunaan lainnya adalah untuk mendeteksi infeksi sitomegalo virus pada

janin yang dilakukan dengan kultur cairan amnion. Hal ini berkaitan dengan

adanya reaksi rantai polymerase yang digunakan untuk mendeteksi DNA

virus.

Penggunaan lain amniosintesis adalah untuk mendeteksi kadar

alpha AFP dalam cairan amnion .Deteksi kadar alpha feto protein ini

dilakukan jika pada pemeriksaan USG tidak menunjukkan adanya

peningkatan kadar alpha feto protein serum ibu. Amniosintesis sering

digunakan untuk mengkonfirmasi kematangan paru janin, dengan

menggunakan konsentrasi relatif dari surfaktan – aktif fosfolipid.

Amniosintesis untuk diagnostik genetik biasanya dilakukan pada usia

kehamilan 15-20 minggu, beberapa pusat studi telah mengkonfirmasikan

18
pada saat itu amniosintesis cukup aman dilakukan dan mempunyai

keakuratan diagnostik 99%.

Pada wanita yang berusia 35 tahun amniosintesis rutin dilakukan

untuk mendeteksi adanya kelainan genetik, karena terjadinya peningkatan

resiko tersebut . Pada penyakit-penyakit hemolitik dari janin penggunaan

amniosintesis dilakukan untuk mendeteksi kadar bilirubin dalam cairan

amnion. Ketika sel-sel darah janin mengalami hemolisis, menjadi pigmen-

pigmen terutama bilirubin.

Kadar bilirubin dalam cairan amnion berhubungan langsung

dengan derajat hemolisis dan secara tidak langsung memprediksikan anemia

pada janin, pengukuran kadar bilirubin ini menggunakan spektrofometer,

yang dilakukan pada lebih 350 - 700µ rentang panjang gelombang dan nilai-

nilainya ditulis pada suatu kertas semilogaritma dengan panjang gelombang

sebagai koordinat linear dan kepadatan optik sebagai koordinat

logaritma. Selain penggunaan diagnostik, amniosintesis juga digunakan

sebagai terapi seperti kasus-kasus hidroamnion, dengan memindahkan cairan

amnion.

Bantuan USG diperlukan untuk memandu jarum spinal ukuran 20-

22 mencapai kantong amnion dengan menghindari plansenta, tali pusat dan

janin. Inspirasi awal sekitar 1-2 ml , kemudian cairan tersebut dibuang untuk

mengurangi kemungkinan adanya kontaminasi sel-sel ibu, kemudian lebih

kurang 20 ml cairan diambil lagi , kemudian jarum dilepaskan ,Titik luka di

observasi kalau ada perdarahan dan denyut jantung janin dipantau.

Komplikasi kecil seperti bercak perdarahan pada vagina , atau kebocoran

19
amnion berkisar 1-2 %, dan insiden korioamniotis jauh lebih kecil dari 1

dibandingkan 1000 kejadian.

b. Shake Test

Shake test atau test busa diperkenalkan oleh clements dan kawan-

kawan pada tahun 1972, untuk mempersingkat waktu dan mempunyai

akurasi yang lebih tepat dalam mengukur kadar lesitin – sphingomyelin. Tes

ini tergantung kepada kemampuan surfaktan dalam cairan amnion , ketika

dicampur dengan ethanol , untuk mendapatkan busa yang stabil pada batas

air dan cairan.

c. Lumadex- FSI tes

Merupakan suatu tes yang didasarkan dari shake tes untuk

mengidentifikasi aktifitas surfaktan pada cairan amnion.

d. Fluoresen Polarisasi (Microviscometri)

Adalah sebuah tes yang menggunakan mikroviskositas dari lemak

yang terdapat dalam cairan amnion , yang kemudian dicampur dengan suatu

bahan fluorsensi spesifik yang berikatan dengan hidrokarbon dari lemak

surfaktan . Intensitas dari fluoresensi ini diinduksi dengan lampu polarisasi

kemudian akan diukur. Teknik ini cepat dan mudah dilakukan, akan tetapi

biaya yang diperlukan untuk melakukan tes ini cukup mahal.

e. Dipalmitoylphosphatidylcholin (DPPC tes)

Merupakan suatu tes dengan menggunakan pengukuran kadar

Dipalmitoylphosphatidylcholin dalam cairan amnion yang mempunyai

sensitifitas dan spesifisitas 100% dan 96% , yang digunakan untuk

mendeteksi gawat nafas pada janin.

20
f. Pemeriksaan untuk mendiagnosis ketuban pecah dini

Ketuban pecah sebelum waktunya (KPSW), terjadi sekitar 4,5-

7,6% pada kehamilan. Jika terjadi sebelum usia kehamilan 37 minggu, dapat

diindikasikan mungkin terjadi amnionitis , dan ini meningkatkan morbiditas

dan mortalitas ibu dan janin.

Belakangan ini, dengan ditemukan banyaknya jenis protein yang

terkandung dalam amnion, termasuk prolaktin, alfa fetoprotein, fetal

fibronectin, β-HCG, dan IGFB-1 (Insulin-Like Growth Factor Binding

Protein-1), tentu mempermudah dalam mendiagnosis ketuban pecah sebelum

waktunya. Jenis protein yang cukup menjanjikan tampaknya adalah IGFBP-

1.Untuk mendeteksinya, dengan menggunakan dipstick

immunokromatografi, dimana kadarnya pada cairan amnion 100-1000 kali

lebih tinggi daripada dalam serum, dan keberadaannya dalam cairan vagina

menunjukkan keberadaan cairan amnion, yang merupakan pertanda pasti

ketuban pecah sebelum waktunya (KPSW).

21
BAB III

KESIMPULAN

Cairan amnion diproduksi oleh janin maupun ibu, dan keduanya memiliki peran

tersendiri pada setiap usia kehamilan. Cairan amnion merupakan komponen penting

bagi pertumbuhan dan perkembangan janin selama kehamilan. Volume cairan amnion

pada setiap minggu usia kehamilan bervariasi, secara umum volume bertambah 10 ml

per minggu pada minggu ke 8 usia kehamilan dan meningkat menjadi 60 ml per minggu

pada usia kehamilan 21 minggu, yang kemudian akan menurun secara bertahap sampai

volume yang tetap setelah usia kehamilan 33 minggu. Normal volume cairan amnion

bertambah dari 50 ml pada saat usia kehamilan 12 minggu sampai 400 ml pada

pertengahan gestasi dan 1000 – 1500 ml pada saat aterm. Terdapat 3 cara yang sering

dipakai untuk mengetahui jumlah cairan amnion, dengan tehnik single pocket , dengan

memakai Indeks CairanAmnion (ICA), dan secara subjektif pemeriksa.

Sumber utama cairan amnion adalah urin janin. Ginjal janin mulai memproduksi

urin sebelum akhir trimester pertama, dan terus berproduksi sampai kehamilan aterm.

Cairan paru janin memiliki peran yang penting dalam pembentukan cairan amnion.

Kelainan cairan amnion adalah Hidramnion, Oligohidramnion. Cairan amnion sering

digunakan untuk keperluan diagnosis, misalnya untuk mengetahui kematangan paru

janin, mendeteksi gawat nafas pada janin dan mendiagnosis ketuban pecah sebelum

waktunya.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Benson dan Pernoll.2008.Buku Saku Obstetri dan Ginekologi, Ed.9.Jakarta:EGC

2. Prawirohardjo Sarwono, 2015. Ilmu Kebidanan. Jakarta; PT. Bina Pustaka

3. Cunningham, F.Gary.2005.Obstetri Williams,Ed.21,Vol.1.Jakarta:EGC

4. Kusmiyati, Yuni, Heni Puji Wahyunigsih, Sujiyatini.2010.Perawatan Ibu Hamil

(Asuhan Ibu Hamil).Yogyakarta:Fitramaya

5. Rukiyah, Al Yeyeh dan Lia yulianti.2011.Asuhan Kebidanan 1

(Kehamilan).Jakarta:Trans Info Media

6. Sastrawinata, Sulaiman.1983.Obstetri Fisiologi.Bandung: ELEMAN

7. Wiknjosastro H. Ilmu kebidanan, Jakarta : YBPSP; 2002

23

You might also like