You are on page 1of 10

Iqbal menduga adanya perundungan di dunia maya masih terkait dengan

perundungan yang dilakukan secara langsung atau tatap muka. “Faktor


lainya cyberbullying karena orang tua dan sekolah kebanyakan tidak siap
mengantisipasinya, dibandingkan bullying tradisional,” katanya.
Ada beberapa dampak yang akan terjadi akibat adanya tindakan
perundungan itu. Si anak bisa saja mengalami performa akademis yang
semakin buruk atau perilaku si anak pun bisa berubah. “Dampak lain yang
paling parah, cyberbullying bisa akibatkan anak bunuh diri,” kata Iqbal.
Juru bicara Komunitas Action, Ghivo Pratama, komunitas yang bergerak di
bidang anti kekerasan terhadap anak, mengatakan perundungan terjadi
karena ada ketimpangan sosial yang terjadi di antara anak-anak itu. Ada
kemungkinan mereka pun belum paham atas berbagai perbedaan toleransi
yang ada. “Toleransi itu bisa berupa agama, suku, budaya, warna kulit, dan
juga sosial ekonomi,” kata Ghivo. Baca: Kenali 7 Tanda Anak Potensial Menjadi
Pelaku Bullying

Menurut Ghivo, ada beberapa aturan yang bisa dilakukan untuk mencegah
terjadinya perisakan di dunia maya itu. Bisa dengan meningkatkan kepekaan
bagi orang tua dan guru untuk melihat kondisi perisakan yang dilakukan. Ia
menyarankan agar sekolah peka melihat interaksi yang terjadi antara siswa
di lingkungan sekolah. Di rumah pun begitu. Para orang tua harus kembali
menanamkan budaya diskusi dengan anak. Caranya bisa dalam momen
makan malam, melakukan obrolan santai untuk mengetahui aktivitas anak
seharian, mengajak anak lebih terbuka khususnya jika ada masalah. “Bisa
juga dengan menyiapkan konselor sebaya yang merupakan teman-teman
anak itu sendiri,” katanya.

Data Organisasi Dunia di Bidang Anak (UNICEF) pada 2016 menyebutkan


sebanyak 41 hingga 50 persen remaja di Indonesia dalam rentang usia 13
hingga 15 tahun pernah mengalami tindakan cyberbullying. Beberapa
tindakan di antaranya adalah doxing atau mempublikasi data personal orang
lain, cyber stalking atau penguntitan di dunia maya yang berujung pada
penguntitan di dunia nyata. Ada pula perilaku revenge porn atau penyebaran
foto dan video dengan tujuan balas dendam yang dibarengi dengan tindakan
intimidasi dan pemerasan.
Studi Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit di Amerika Serikat yang
diterbitkan Journal of American Medical Association menunjukkan pergeseran tindak
percobaan bunuh diri pada anak dan remaja. Kenaikan paling tajam terjadi pada anak
perempuan berusia 10-14 tahun. Kasus percobaan bunuh diri pada anak perempuan di usia
tersebut meningkat hampir tiga kali lipat dari 2009 sampai 2015.

Medan-andalas Sejak 2003, setiap 10 September diperingati sebagai Hari Pencegahan Bunuh Diri
Sedunia (World Suicide Prevention Day). Untuk itu, kata Dr dr Elmeida Effendy MKed KJ SpKJ (K),
masyarakat diharapkan meningkatkan kesadaran pentingnya mengenali tanda risiko bunuh diri
terhadap keluarga terdekat. Peringatan ini dibuat, lanjutnya, karena tingginya angka bunuh diri dan
kesadaran masyarakat masih kurang terhadap hal tersebut. Di Indonesia, ia menyebutkan, angka
bunuh diri mencakup lebih dari 10 ribu kasus per tahun. Karenanya, Psikiater harus berperan aktif
dalam mengurangi kasus bunuh diri tersebut, bukan hanya dengan cara kuratif, tetapi juga dalam
hal preventif.

"Setiap tahun, berdasarkan data WHO 2017, orang meninggal karena bunuh diri mencapai 800.000
kasus. Sedangkan percobaan bunuh diri 25 kali lipat dari angka tersebut. Setiap 40 detik satu orang
meninggal karena bunuh diri. Data WHO berlaku secara universal, untuk Medan belum ada data
yang jelas," terangnya, Minggu (10/9) di Medan. Menurutnya, masih rendahnya kesadaran
masyarakat terkait bunuh diri. Tindakan ini bisa dicegah asal kita memberikan perhatian dan peduli
terhadap orang-orang sekitar. "Sebaiknya kenali tanda orang yang berisiko ingin bunuh diri,"
ujarnya.

Tanda risiko bunuh diri tersebut di antaranya, sering membicarakan kematian, mengutarakan
keputusasaan, marah tiba-tiba, suka menyakiti diri sendiri, pengguna narkoba atau pemabuk,
menarik diri dari orang-orang sekitar dan kehilangan minat. Orang yang mengalami gangguan jiwa,
seperti bipolar, depresi, skizofrenia dan gangguan kepribadian juga sangat berisiko bunuh diri.
"Untuk menghindari risiko bunuh diri, keluarga bisa memberikan perhatian ekstra, rangkul dan ajak
bicara, lalu bujuk untuk berkonsultasi ke psikiater atau psikolog," sarannya.

Ia menilai, banyak hal mempengaruhi orang bunuh diri. Misalnya, rasa putus asa, tidak berguna dan
bersalah yang berlebihan. Kemudian, seseorang tersebut biasanya terjerat persoalan ekonomi,
percintaan, kehilangan pekerjaan, korban bullying, tahanan penjara dan mengalami gangguan jiwa
tertentu. Pada orang-orang yang lemah, mudah terpengaruh jika menonton atau membaca tentang
cara bunuh diri. Oleh karenanya, sangat tidak dianjurkan melihat, apalagi dalam kondisi mental yang
labil.

"Untuk itu, keluarga harus terus memberikan semangat, tidak boleh menyalahkan, selalu amati
gerak geriknya dan jangan dibiarkan sendiri," sarannya lagi. Selain itu, lanjutnya, riwayat keluarga
lain yang pernah bunuh diri bisa menjadi pemicu bunuh diri orang lain di sekitarnya. Mereka
umumnya mencontoh dari yang telah dilakukan orang sebelumnya dan tersugesti membunuh di

Di negara-negara kaya, kasus laki-laki yang meninggal karena bunuh diri 3 kali lebih
banyak dari perempuan, sedangkan di negara-negara berpenghasilan menengah rasio
bunuh diri laki-laki terhadap perempuan jauh lebih rendah pada 1,5 pria terhadap wanita.
Untuk kaitannya dengan tingkatan usia, secara global, diketahui bahwa bunuh diri adalah
penyebab kematian tertinggi kedua untuk mereka yang berusia 15-29 tahun. Akan tetapi,
tidak menutup kemungkinan untuk mereka yang berusia di atas 29 tahun, seperti halnya
Chester Bennington, maupun Chris Cornell.
Amerika Serikat, negara asal Chester Bennington, menjadi penyumbang kasus bunuh diri
terbanyak pada tahun 2012, yaitu sebanyak 43.361 kasus, dan 34.055 kasus di antaranya
terjadi pada pria. Artinya, rata-rata kasus bunuh diri di Amerika Serikat adalah 12,1 per
100.000 populasi (19,4 pada laki-laki dan 5,2 pada perempuan, berdasarkan usia yang
telah distandarisasikan). Sebuah peningkatan rata-rata dibandingkan tahun 2000 yang
'hanya' 9,8 per 100.000 populasi (16,2 pada laki-laki dan 3,8 pada perempuan, berdasarkan
usia yang telah distandardisasikan). Bahkan, tahun 2015 telah mencapai 14,3 per 100.000
populasi.
Bagaimana dengan di Indonesia? Laporan WHO 2012 menyatakan terdapat 9105 kasus
bunuh diri di Indonesia, yang mana 5206 kasus di antaranya terjadi pada perempuan.
Artinya, rata-rata kejadian bunuh diri pada tahun 2012 adalah 4,3 per 100.000 populasi (3,7
pada laki-laki dan 4,9 pada perempuan, berdasarkan usia yang telah distandardisasikan).
Namun, telah menurun menjadi 2,9 per 100.000 populasi pada tahun 2015.
Kenapa Orang-Orang Bunuh Diri?
Faktor resiko seseorang memutuskan untuk bunuh diri, di antaranya (NIMH, 2017):

1. Depresi, gangguan mental lainnya, dan gangguan penyalahgunaan zat tertentu


(termasuk alkohol, CDC (2016));
2. Dalam kondisi medis tertentu;
3. Sakit kronis;
4. Pernah mencoba bunuh diri sebelumnya;
5. Riwayat keluarga yang memiliki gangguan mental lainnya, dan gangguan
penyalahgunaan zat tertentu;
6. Riwayat keluarga yang pernah bunuh diri;
7. Kekerasan dalam keluarga, termasuk fisik dan pelecehan seksual;
8. Menyimpan senjata api di rumah;
9. Baru keluar dari penjara;
10. Terekspos pada perilaku bunuh diri orang lain, seperti anggota keluarga, teman sebaya,
atau selebriti

Sulit sebenarnya untuk mencari tahu apa sebabnya orang ingin bunuh diri. Berbagai faktor
dapat melatarbelakangi hal tersebut, mulai dari faktor sosial, psikologis, budaya, dan faktor-
faktor lainnya yang menuntun manusia kepada perilaku bunuh diri. Stigma yang melekat
pada gangguan mental dan bunuh diri berarti banyak orang merasa tidak dapat mencari
pertolongan. Ini tentu menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagi para pemangku kebijakan.
WHO memaparkan bahwa salah satu penyebab dari peningkatan kasus atau usaha bunuh
diri adalah masalah "akses". Maksudnya bagaimana? Begini, salah satu cara terpopuler
mengakhiri hidup berdasarkan laporan WHO tahun 2012 adalah minum pestisida, gantung
diri, dan penggunaan senjata api. Walaupun tidak menutup kemungkinan ada metode
lainnya. Membatasi akses terhadap hal-hal tersebut dapat menjadi salah satu cara
mengurangi tingkat bunuh diri di suatu negara. Hal ini tentu memerlukan kerja sama dan
kolaborasi dari banyak pihak tapi bukan tidak mungkin untuk dilakukan.
Pembatasan Akses adalah Kunci
Korea Selatan adalah salah satu negara yang dikenal memiliki rata-rata kematian akibat
bunuh diri tertinggi dibandingkan dengan negara berpenghasilan tinggi lainnya. Pada tahun
2015, tercatat rata-rata kematian akibat bunuh diri adalah sebanyak 28,3 per 100.000
populasi, dimana rata-rata bunuh diri pada laki-laki 2,5 kali lebih besar dari perempuan.
Selama tahun 2006-2010 diketahui bahwa metode terpopuler untuk bunuh diri masyarakat
Korea Selatan adalah penggunaan pestisida.
Langkah yang diambil Korea Selatan pada tahun 2011 adalah pembatalan reregistrasi
paraquat (sejenis herbisida pelindung tanaman) and melarang penjualannya pada tahun
2012. Kebijakan tersebut cukup ampuh karena jika dibandingkan data kasus bunuh diri
pada tahun 2010 (34,1 per 100.000 populasi), tren bunuh diri di Korea Selatan sebetulnya
menurun. Pelarangan paraquat diklaim sebagai salah satu kebijakan yang efektif, ditambah
lagi hasil panen para petani di Korea Selatan tidak terganggu dengan kebijakan tersebut.
India juga melakukan hal yang sama. Salah satu negara Asia dengan penduduk terpadat ini
memiliki rata-rata kasus bunuh diri 15,7 per 100.000 populasi. Pembatasan akses terhadap
pestisida, yang notabene bertanggung jawab terhadap 4 dari 10 kasus bunuh diri di India,
terbukti efektif mencegah kasus bunuh diri. Ada cerita menarik ketika sepasang suami istri
bertengkar di India, dimana sang suami merasa sedih akan hal tersebut. Sang suami yang
kala itu sedang mabuk merasa depresi dan berusaha mengakhiri hidupnya dengan
mencari-cari botol pestisida. Namun, ia tidak menemukannya. Kenapa? Karena di daerah
tempat ia tinggal disediakan fasilitas khusus penyimpanan pestisida. Sehingga, tidak ada
rumah tangga yang menyimpan pestisida. Alhasil, sang suami tadi gagal bunuh diri.
image:
https://alibaba.kumpar.com/kumpar/image/upload/c_fill,g_face,f_jpg,q_auto,fl_progressive,fl_lo
ssy,w_800/fasilitas_pestisida_india_kozqz7.jpg
Fasilitas penyimpanan pestisida di suatu daerah di India (Foto: Sarojini Manikandan/WHO)
Meningkatkan Kesehatan Psikologis dan Emosional Masyarakat
Guyana, sebagai negara berkembang di Afrika, memiliki rata-rata tingkat kematian bunuh
diri yang cukup tinggi, yaitu 44,2 per 100.000 populasi di tahun 2012. Diketahui bahwa
masalah emosional dan psikologis adalah penyebab utama tren bunuh diri di Guyana. Tren
ini mendapatkan perhatian tersendiri dari WHO.
WHO menciptakan "Mental Health Gap Action Programme" (mhGAP). Sebuah program
yang memang dirancang khusus untuk negara berpendapatan rendah sampai sedang.
Tujuannya adalah untuk memberikan pelayanan mental, neurologis, dan gangguan akibat
zat tertentu.
image:
https://alibaba.kumpar.com/kumpar/image/upload/c_fill,g_face,f_jpg,q_auto,fl_progressive,fl_lo
ssy,w_800/guyana_WHO_inyrbk.jpg
Anggota Pan American Health Organization (PAHO) dan WHO di Guyana (Foto: Angela
Hoyte/PAHO)
Program tersebut cukup efektif di Guyana. Rata-rata kasus bunuh diri pada tahun 2015
menjadi sebesar 29,0 per 100.000 populasi. Menurun dibandingkan tahun 2012. Krystle
Fraser, salah satu dokter yang diterjunkan ke Guyana mengatakan bahwa titik kunci
keberhasilan tersebut adalah bahwa dalam hal mengelola depresi, tidak hanya
menggunakan metode pengobatan, tetapi juga edukasi psikososial. Di Guyana didirikan
klinis psikiatri yang mudah diakses oleh masyarakat, sehingga tim dokter tahu apa
sebenarnya motif utama masyarakat ingin bunuh diri.
Pendekatan Holistik ala Jepang
Jika bicara kasus bunuh diri, nampaknya agak kurang lengkap jika tidak membahas
Jepang. Negeri matahari terbit dikenal memiliki masyarakat yang tingkat malunya cukup
tinggi, hingga bunuh diri malah menjadi solusi. Ini tentu sudah bukan rahasia umum.
Akan tetapi, tetap saja fenomena bunuh diri merupakan suatu hal yang meresahkan. Atas
dasar ini, pada bulan Mei 2005, organisasi nonpemerintah, LIFELINK, berkolaborasi
dengan anggota parlemen Jepang untuk mengorganisir forum pertama untuk bunuh diri. Di
forum tersebut, LIFELINK dan organisasi nonpemerintah lainnya mengajukan proposal
mendesak untuk pencegahan bunuh diri secara menyeluruh.
image:
https://alibaba.kumpar.com/kumpar/image/upload/c_fill,g_face,f_jpg,q_auto,fl_progressive,fl_lo
ssy,w_800/yasuyuki_Shimizu_julkmg.jpg

Yasuyuki Shimizu, salah seorang dibalik LIFELINK (foto: Tomohiro Osaki/Japan Times)
Selanjutnya, sebuah kelompok parlementer bipartisan dibentuk pada tahun 2006 untuk
mendukung pembentukan kebijakan pencegahan bunuh diri. Anggota Dewan Penasihat
dari partai mayoritas dan minoritas memutuskan untuk bersama-sama mempromosikan
pencegahan bunuh diri sebagai kebijakan nasional dan untuk melindungi kehidupan
masyarakat (WHO, 2017).
Pada tahun 2007, pemerintah telah mengambil serangkaian langkah, termasuk
memperkuat penelitian mengenai penyebab bunuh diri secara medis dan sosial,
menyiapkan lebih banyak hotline, mengadakan seminar untuk para pemimpin kota, dan
meningkatkan dukungan untuk orang-orang yang mencoba bunuh diri dan untuk keluarga
terdekat (Otake, 2017).
Jepang, dan hampir seluruh dunia, sempat mengalami krisis ekonomi di tahun 2008. Isu
finansial tentunya aman sensitif dan rentan memicu bunuh diri. Apa yang dilakukan
pemerintah Jepang? Mereka mengamankan dana pada tahun 2009 melalui “Regional
comprehensive suicide prevention emergency strengthening fund”. Itu adalah dana yang
disiapkan untuk mencegah kejadian bunuh diri, termasuk digunakan untuk meningkatkan
kesadaran publik secara intensif melalui kampanye yang kala itu gencar dilakukan pada
bulan Maret, saat rata-rata kasus bunuh diri terlihat meningkat. Tahun 2010, pemerintah
Jepang menetapkan bulan Mei sebagai Bulan Pencegahan Bunuh Diri Nasional.
Jepang menjadi semakin terbuka untuk masalah bunuh diri ini, yang hasilnya memudahkan
untuk pengumpulan data dan promosi pencegahan bunuh diri itu sendiri. Hasilnya?
Diketahui bahwa kasus bunuh diri di Jepang pada 2016 adalah sebanyak 21.897 kasus,
adalah yang terendah selama 22 tahun. Akan tetapi, 'pekerjaan rumah' bangsa Jepang
belum selesai sampai di sini karena walaupun menurun, tetap saja bunuh diri adalah
penyebab kematian nomor satu masyarakat berusia 15-39 tahun.
Faktor Protektif Lainnya
Dari beberapa pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa pentingnya akses terhadap
pestisida (dan juga racun lainnya) dan kemudahan mengakses fasilitas kesehatan yang
memberikan konsultasi mental dan psikologis adalah salah satu faktor penting dalam
penurunan angka bunuh diri. Namun, ini juga tidak dapat dilepaskan dari dukungan sesama
masyarakat dan keluarga. Kepedulian harus ditingkatkan jangan sampai kita membiarkan
teman atau keluarga kita bunuh diri. Pastikan kita selalu terkoneksi atau terhubung dengan
orang-orang yang kita sayangi.
Agama dan budaya juga dapat membantu mengurangi kasus bunuh diri. Sebagian besar
agama di dunia melarang pengikutnya bunuh diri. Hal ini dapat menjadi semacam
pengingat bagi mereka yang kepikiran untuk mengakhiri hidupnya sendiri.
Well, hidu

Read more at https://kumparan.com/katondio-bayumitra-wedya/usaha-dunia-menurunkan-


angka-bunuh-diri#c3BfXLiVXvi2sHGs.99

Maramis, W.F., 2005, Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa, Cetakan kesembilan, Surabaya : Airlangga
University Press.

Mustikasari, 2007, Penelitian Bunuh Diri, (online), available : http://www.inna-


ppni.or.id/index.php?name=News&file=print&sid=175 Diakses 7 Oktober 2009.

Rumah Sakit Jiwa Lawang, 2007, Membangun Kesadaran-Mengurangi Resiko Gangguan Mental dan
Bunuh Diri, (online), available : http://rsjlawang.com/artikel_070309a.html Diakses 7 Oktober 2009.
Diakses 7 Oktober 2009.
Stuart dan Sundden, 1995, Buku Saku Keperawatan Jiwa, Edisi 3, Jakarta : EGC.

Suwanto, 2009, Bunuh Diri, (online), available : http://ezcobar.com/dokter-online/dokter15/index.php?


Diakses 7 Oktober 2009.

Wangmuba, 2009, Bunuh Diri dan Psikologis, (online), available :


http://wangmuba.com/2009/04/13/bunuh-diri-dan-psikologi/ Diakses 7 Oktober 2009

Yosep, I., 2009, Keperawatan Jiwa, Edisi Revisi, Bandung : Refika Aditama

You might also like