Professional Documents
Culture Documents
(Mutiara Aprilina M)
Limfadenitis adalah proses pembesaran dan peradangan pada nodus limfa. Nodus
limfa berukurang beberapa mili hingga 2 cm dan terdistribusi dalam bentuk cluster di seluruh
tubuh. Fungsi utama nodus limfa adalah untuk menyaring mikroorganisme dan sel abnormal
yang terdapat didalam cairan limfa.
1. Multiplikasi sel dalam nodus limfa, termasuk limfosit, sel plasma, monosit dan histiosit
2. Infiltrasi sel diluar nodus, seperti sel-sel ganas dan neutrofil
3. Draining material infeksi berupa abses menuju limfonodi lokal
1. Gejala dari ISPA seperti sakit tenggorokan, sakit telinga, coryza, konjungtivitis, atau
impetigo
2. Demam, irritabilitas, atau anoreksia
3. Kontak dengan hewan, khususnya kucing atau hewan ternak
4. Riwayat kesehatan gigi yang buruk
5. Penggunaan hydantoin dan/atau mesantoin
Sumber: https://emedicine.medscape.com/article/960858-treatment
LIMFADENOPATI
(Mutiara Aprilina M)
A. Definisi
Limdenopati merupakan abnormalitas nodus limfa dari segi ukuran, konsistensi atau
jumlah. Kelenjar getah bening yang memiliki diameter > 10 mm dikategorikan sebagai suatu
limfadenopati, dengan pengecualian untuk kelenjar getah bening epitroklear (diameter > 5
mm) dan inguinal (diameter > 15 mm). Apabila kelenjar getah bening supraklavikula, ilaka
maupun poplitea dapat teraba, hal tersebut dikategorikan sebagai limfadenopati. Pengecualian
pada anak sehat, kelenjar getah bening aksila dan inguinal dapat teraba.
B. Etiologi
1. Infeksi virus dan infeksi bakteri
Ada berbagai infeksi yang menyebabkan limfadenopati generalisata, lokalisata dan
limfadenitis. Infeksi limfadenopati generalisata sering disebabkan oleh virus, bakteri,
jamur dan protozoa (tabel 1). Infeksi yang menyebabkan limfadenopati lokalisata
maupun limfadenitis dapat berasal bukan dari penyakit menular seksual, dapat juga
berasal dari penyakit menular seksual (limfadenopti inguinal primer) serta sindrom
limfokutaneus.
B. Bacterial
Endocarditis
Brucella (brucellosis)
Leptospira interrorgans (leptospirosis)
Streptobacillus moniliformis (bacillary rat-bite fever)
Mycobacterium tuberculosis (tuberculosis)
Treponema pallidum (secondary syphilis)
C. Fungal
Coccidioidesimmitis (coccidioidomycosis)
Histoplasma capsulatum (histoplasmosis)
D. Protozoa
Toxoplasma Gondii (toxoplasmosis)
C. Lymphocutaneous Syndromes
Bacillus anthracis (anthrax)
F. tularensis (ulceroglandular tularemia)
B. henselae (cat-scratch disease)
Pasteurella multocida (dog or cat bite)
Spirillum minus (spirillary rat-bite fever)
Y. pestis (plague)
Nocardia (nocardiosis)
Cutaneous diphtheria (Corynebacterium diphtheria)
Cutaneous coccidioidomycosis (Coccidioides immitis)
Cutaneous histoplasmosis (Histoplasmosis capsulatum)
Cutaneous sporotrichosis (S. schenckii)
2. Keganasan
Keganasan seperti leukemia, neuroblastoma, rhabdomyo-sarkoma dan limfoma juga
dapat menyebabkan limfadenopati. Diagnosis defenitif suatu limfoma membutuhkan
tindakan biopsi eksisi, oleh karena itu diagnosis subtipe limfoma dengan
menggunakan biopsi aspirasi jarum halus masih merupakan kontroversi.
3. Obat-obatan
Obat-obatan dapat menyebabkan limfadenopati generalisata. Limfadenopati dapat
timbul setelah pemakaian obat-obatan seperti fenitoin dan isoniazid. Obat-obatan
lainnya seperti allupurinol, atenolol, captopril, carbamazepine, cefalosporin, emas,
hidralazine, penicilin, pirimetamine, quinidine, sulfonamida, sulindac).
4. Imunisasi
Imunisasi dilaporkan juga dapat menyebabkan limfadenopati di daerah leher, seperti
setelah imunisasi DPT, polio atau tifoid.
5. Penyakit sistemik lainnya
Penyakit lainnya yang salah satu gejalanya adalah limfadenopati adalah penyakit
Kawasaki, penyakit Kimura, penyakit Kikuchi, penyakit Kolagen, penyakit Cat
scratch, penyakit Castleman, Sarcoidosis, Rhematoid arthritis dan Sisestemic lupus
erithematosus (SLE).
D. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan darah dapat diperlukan pada anak dengan limfadenopati. Adanya
leukostosis dengan dominasi netrofil mungkin menunjukkan adanya infeksi bakteri akut.
Leukositosis yang didominasi limfositik dapat dikaitkan dengan infeksi virus Ebstein-
Barr. Leukositosis dengan adanya blast pada hapusan darah tepi diindikasi terjadinya
leukemia. Leukopenia dengan depresi hemoglobin dan trombosit juga mungkin indikasi
adanya keganasan yang melibatkan sumsum tulang. Limfopenia diindikasikan adanya
infeksi HIV atau adanya gangguan immunodefisiensi bawaan. Laju endap darah (LED)
dan kadar C-reaktif protein dapat digunakan sebagai petanda adanya peradangan dan
infeksi dan juga mungkin membantu dalam mengevaluasi pengobatan yang dilakukan.
Kadar enzim hati yang tinggi dapat menunjukkan keterlibatan hati yang disebabkan
infeksi sistemik atau proses infiltratif.
Aspirasi dan kultur KGB membantu dalam mengisolasi organisme penyebab
infeksi dan keputusan antibiotik yang sesuai sebagai penyebab limfadenopati. Aspirasi
dengan jarum halus (fine needle aspiration / FNAB) mungkin menghasilkan diagnosis
sitologi pasti atau awal dan kadang-kadang tidak memerlukan lagi untuk biopsi KGB.
Biopsi eksterna (bila suspek tuberkulosa atau infeksi nontuberkulosa
mycobacterium) atau insisi dan drainase dapat diindikasikan pada anak dengan
limfadenotis unilateral sedang atau berat. Beberapa hal yang diindikasikan untuk
dilakukan biopsi adalah awal pemeriksaan fisik dan riwayat klinis menunjukkan
keganasan, KGB dengan ukuran lebih besar daripada 2,5 cm, pembesaran KGB menetap
atau membesar, pemberian antibiotik yang sesuai gagal untuk mengecilkan node dalam
waktu 2 minggu.
Biopsi KGB akan lebih maksimal hasilnya apabila diperhatikan hal-hal berikut :
1. Biopsi KGB servikal bagian atas dan inguinalis harus dihindari sedangkan biopsi
KGB daerah servikal bawah dan aksilaris lebih mungkin memberikan informasi
yang dapat dipercaya.
2. Biopsi dilakukan pada KGB yang paling besar, tidak pada KGB yang paling
mudah didapat.
3. KGB harus diambil utuh dengan kapsulnya, tidak sedikit demi sedikit.
4. KGB harus dikirim ke ahli patologi dalam media kultur jaringan yang cukup
untuk mencegah jaringan menjadi kering. Jaringan jangan dikenakan cahaya yang
berlebihan dan jangan juga dibungkus dalam kain kasa kering. Sampel yang segar
dan beku harus disisihkan untuk studi tambahan.
Tuberkulosis skin test (TST) dapat diindikasikan untuk menyingkirkan infeksi M.
Tuberkulosis. TST dapat menunjukkan indikasi reaktif pada anak dengan mikobakterium
nontuberculosis tapi tidak sensitif.
Foto toraks merupakan suatu pemeriksaan yang perlu dilakukan dalam evaluasi
limfadenopati kronis lokal atau generalisata dan dapat melihat adanya pelebaran
mediastinum karena limfadenopati dari limfoma dan sarcoid. Dua pertiga dari pasien
yang memiliki Hodgkin limfoma mungkin menunjukkan pelebaran mediastinum pada
foto dada.
USG merupakan salah satu teknik yang dapat dipakai untuk mendiagnosis
limfadenopati servikal. Penggunaan USG untuk mengetahui ukuran, bentuk,
echogenicity, gambaran mikronodular, nekrosis intranodal dan ada tidaknya klasifikasi.
USG dapat dikombinasi dengan biopsi aspirasi jarum halus untuk mendiagnosis
limfadenopati dengan hasil yang lebih memuaskan, dengan nilai sensitivitas 98 % dan
spesivisitas 95%.
CT scan dapat mendeteksi limfadenopati servikalis dengan diameter 5 mm atau
lebih. Satu studi yang dilakukan untuk mendeteksi limfadenopati supraklavikula pada
penderita inonsmall cell lung cancer menunjukkan tidak ada perbedaan sensitivitas yang
signifikan dengan pemeriksaan menggunakan USG atau CT scan.
E. PENATALAKSANAAN
Pengobatan limfadenopati KGB leher didasarkan kepada penyebabnya. Banyak
kasus dari pembesaran KGB leher sembuh dengan sendirinya dan tidak membutuhkan
pengobatan apapun selain observasi. Kegagalan untuk mengecil setelah 4-6 minggu dapat
menjadi indikasi untuk dilaksanakan biopsi KGB. Biopsi dilakukan terutama bila terdapat
tanda dan gejala yang mengarahkan kepada keganasan. KGB yang menetap atau bertambah
besar walau dengan pengobatan yang adekuat mengindikasikan diagnosis yang belum tepat.
Antibiotik perlu diberikan apabila terjadi limfadenitis supuratif yang biasa
disebabkan oleh Staphyilococcus. aureus dan Streptococcus pyogenes (group A). Pemberian
antibiotik dalam 10-14 hari dan organisme ini akan memberikan respon positif dalam 72 jam.
Kegagalan terapi menuntut untuk dipertimbangkan kembali diagnosis dan penanganannya.
Pembedahan mungkin diperlukan bila dijumpai adanya abses dan evaluasi dengan
menggunakan USG diperlukan untuk menangani pasien ini.
MYELOMA MULTIPLE
(Mutiara Aprilina M)
Definisi
Keganasan sel B dari sel plasma yang termasuk golongan Malignant Small Round Cell
Tumor ditandai dengan akumulasi atau proliferasi abnormal sel plasma dalam sumsum
tulang yang memproduksi protein immunoglobulin monoklonal. Proliferasi berlebihan
dalam sumsum tulang menyebabkan matriks tulang terdestruksi dan produksi
imunoglobulin abnormal dalam jumlah besar, dan melalui berbagai mekanisme
menimbulkan gejala dan tanda klinis.
Epidemiologi
Multiple myeloma merupakan 1% dari semua keganasan dan 10% dari tumor
hematologik. Usia yang sering terkena sekitar 40-60 tahun.
Etiologi
Penyebab multiple myeloma belum jelas. Paparan radiasi, benzena, dan pelarut
organik lainnya, herbisida, dan insektisida mungkin memiliki peran. Faktor genetik juga
mungkin berperan pada orang-orang yang rentan untuk terjadinya perubahan yang
menghasilkan proliferasi sel plasma yang memproduksi protein M seperti pada MGUS.
Proses transformasi sel menjadi malignan masih belum diketahui. Namun dapat
ditunjukkan sel limfosit B yang agak dewasa yang termasuk klon sel maligna di darah dan
sumsum tulang, dapat menjadi dewasa dan menjadi sel plasma. Beragam perubahan
kromosom telah ditemukan pada pasien myeloma seperti delesi 13q14, delesi
17q13, dan predominan kelainan pada 11q.
Patofisiologi
Tahap pertama pada perkembangan myeloma adalah munculnya sejumlah sel plasma
clonal yang secara klinis dikenal MGUS (monoclonal gammanopathy of
undetermined significance). Pasien dengan MGUS tidak memiliki gejala atau bukti
dari kerusakan organ, tetapi memiliki 1% resiko progresi menjadi myeloma atau penyakit
keganasan yang berkaitan. Perkembangan sel plasma maligna ini mungkin merupakan
suatu proses multi langkah, diawali dengan adanya serial perubahan gen yang
mengakibatkan penumpukan sel plasma maligna, adanya perkembangan perubahan di
lingkungan mikro sumsum tulang, dan adanya kegagalan sistem imun untuk
mengontrol penyakit. Dalam proses multilangkah ini melibatkan di dalamnya aktivasi
onkogen selular, hilangnya atau inaktivasi gen supresor tumor, dan gangguan regulasi gen
sitokin. Sel plasma menghasilkan beberapa produk berupa paraprotein dan faktor
pengaktivasi osteoklastik (osteoclastic activating factor/OAF). Paraprotein dalam
sirkulasi dapat memberi berbagai komplikasi, seperti hipervolemia,
hiperviskositas, diatesis hemoragik dan krioglobulinemia. Karena pengendapan
rantai ringan, dalam bentuk amiloid atau sejenis, dapat terjadi terutama
gangguan fungsi ginjal dan jantung. Faktor pengaktif osteoklas (OAF) seperti IL1-β,
limfotoksin dan tumor necrosis factor (TNF) bertanggung jawab atas osteolisis dan
osteoporosis yang demikian khas untuk penyakit ini.
Kelainan tersebut pada penyakit ini dapat terjadi fraktur (mikro) yang menyebabkan
nyeri tulang, hiperkalsemia dan hiperkalsiuria. Konsentrasi imunoglobulin dalam serum
sangat menurun, dan neutropenia.
Gagal ginjal pada MM disebabkan oleh karena hiperkalsemia, adanya
deposit mieloid pada glomerulus, hiperurisemia, infeksi yang rekuren, infiltrasi sel
plasma pada ginjal, dan kerusakan tubulus ginjal oleh karena infiltrasi rantai berat yang
berlebihan. Sedangkan anemia disebabkan oleh karena tumor menyebabkan penggantian
sumsum tulang dan inhibisi secara langsung terhadap proses hematopoeisis,
perubahan megaloblastik akan menurunkan produksi vitamin B12 dan asam folat.
Diagnosis
1. Gejala klinis
Dapat bersifat asimtomatik atau simtomatik tergantung ada tidaknya organ yang
terlibat atau disfungsi jaringan termasuk hiperkalsemia, insufisiensi renal, anemia,
dan penyakit tulang.
Nyeri pada tulang
Fraktur patologis seperti fraktur kompresi vertebrae dan fraktur tulang panjang.
Gejala fraktur kompresi vertebrae berupa nyeri punggung, kelemahan, mati rasa,
atau disestesia pada ekstremitas.
Perdarahan yang diakibatkan oleh trombositopenia
Gejala-gejala hiperkalsemia berupa somnolen, nyeri tulang, konstipasi, nausea,
dan rasa haus
2. Pemeriksaan fisik
Pucat yang disebabkan oleh anemia
Ekimosis atau purpura sebagai tanda dari thrombositopeni
Gambaran neurologis seperti perubahan tingkat sensori , lemah, atau carpal tunnel
syndrome
Amiloidosis dapat ditemukan pada pasien multiple myeloma seperti
makroglossia dan carpal tunnel syndrome.
Gangguan fungsi organ visceral seperti ginjal, hati, otak, limpa akibat
infiltrasi sel plasma.
3. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan urin dapat ditemukan adanya proteinuria Bence Jones. Dan pada
apusan darah tepi, didapatkan adanya formasi Rouleaux. Selain itu pada
pemeriksaan darah rutin ditemukan anemia normositik normokrom pada hampir
80% kasus. Jumlah leukosit umumnya normal, namun dapat juga ditemukan
pancytopenia, koagulasi yang abnormal dan peningkatan LED.
4. Pemeriksaan radiologi
X-ray
Gambaran foto x-ray dari multiple myeloma berupa lesi litik multiple,
berbatas tegas, punch out, dan bulat pada calvaria, vertebra, dan pelvis.
Lesi terdapat dalam ukuran yang hampir sama. Lesi lokal ini umumnya
berawal di rongga medulla , mengikis tulang, dan secara progresif
menghancurkan tulang kortikal. Sebagai tambahan, tulang pada pasien
myeloma, dengan sedikit pengecualian, mengalami demineralisasi difus.
CT Scan
CT Scan menggambarkan keterlibatan tulang pada myeloma serta menilai resiko
fraktur pada tulang yang kerusakannya sudah berat. Diffuse osteopenia dapat memberi
kesan adanya keterlibatan myelomatous sebelum lesi litik sendiri terlihat. Pada
pemeriksaan ini juga dapat ditemukan gambaran sumsum tulang yang
tergantikan oleh sel tumor, osseous lisis, destruksi trabekular dan korteks. Namun,
pada umumnya tidak dilakukan pemeriksaan kecuali jika adanya lesi fokal.
MRI
MRI potensial digunakan pada multiple myeloma karena modalitas ini baik untuk
resolusi jaringan lunak.
Tata Laksana
Pada umumnya, pasien membutuhkan penatalaksanaan karena nyeri pada tulang atau
gejala lain yang berhubungan dengan penyakitnya. Regimen awal yang paling sering
digunakan adalah kombinasi antara thalidomide dan dexamethasone. Kombinasi lain
berupa agen nonkemoterapeutik bartezomib dan lenalidomide sedang diteliti.
Bartezomib yang tersedia hanya dalam bentuk intravena merupakan inhibitor proteosom
dan memiliki aktivitas yang bermakna pada myeloma. Lenalidomide , dengan
pemberian oral merupakan turunan dari thalidomide. Hiperkalsemia dapat diterapi
secara agresif, imobilisasi dan pencegahan dehidrasi. Bifosfonat mengurangi
fraktur patologis pada pasien dengan penyakit pada tulang.
Prognosis
Meskipun rara-rata pasien multiple myeloma bertahan kira-kira 3 tahun, beberapa pasien
yang mengidap multiple myeloma dapat bertahan hingga 10 tahun tergantung
pada tingkatan penyakit.
Sumber:
F. Syahrir, Mediarty. Mieloma Multipel dan Penyakit Gamopati Lain. Buku Ajar – Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam, FKUI.
Jakarta: 2006.
G. Palumbo,Antonio M.D. and Anderson,Kenneth M.D. Medical Progress
Multiple Myeloma. The New England Journal of Medicine. 2011.
INKOMPATIBILITAS SISTEM GOLONGAN DARAH ABO
(Mutiara Aprilina M)
Inkompatibilitas ABO adalah kondisi medis dimana golongan darah antara ibu dan
bayi berbeda sewaktu masa kehamilan. Terdapat 4 jenis golongan darah, yaitu A, B, AB dan
O. Golongan darah ditentukan melalui tipe molekul (antigen) pada permukaan sel darah
merah. Sebagai contoh, individu dengan golongan darah A memiliki antigen A, dan golongan
darah B memilki antigen B, golongan darah AB memiliki baik antigen A dan B sedangkan
golongan darah O tidak memiliki antigen. Golongan darah yang berbeda menghasilkan
antibodi yang berbeda-beda. Ketika golongan darah yang berbeda tercampur, suatu respon
kekebalan tubuh terjadi dan antibodi terbentuk untuk menyerang antigen asing di dalam
darah. Inkompatibilitas ABO seringkali terjdai pada ibu dengan golongan darah O dan bayi
dengan golongan darah baik A atau B. Ibu dengan golongan darah O menghasilkan antibodi
anti-A dan anti-B yang cukup kecil untuk memasuki sirkulasi tubuh bayi, menghancurkan sel
darah merah janin. Penghancuran sel darah merah menyebabkan peningkatan produksi
bilirubin, yang merupakan produk sisa. Apabila terlalu banyak bilirubin yang dihasilkan,
akan menyebabkan ikterus pada bayi. Bayi dengan ikterus akan memerlukan fototerapi atau
transfusi ganti untuk kasus berat. Apabila bayi tidak ditangani, bayi akan menderita cerebral
palsy. Sampai saat ini, tidak ada pencegahan yang dapat memperkirakan inkompatibilitas
ABO. Tidak seperti inkompatibilitas Rh, inkompatibilitas ABO dapat terjadi pada kehamilan
pertama dan gejalanya tidak memburuk pada kehamilan berikutnya.
Patogenesis
Penyakit inkompabilitas Rh dan ABO terjadi ketika sistem imun ibu menghasilkan
antibodi yang melawan sel darah merah janin yang dikandungnya. Pada saat ibu hamil,
eritrosit janin dalam beberapa insiden dapat masuk kedalam sirkulasi darah ibu yang
dinamakan fetomaternal microtransfusion. Bila ibu tidak memiliki antigen seperti yang
terdapat pada eritrosit janin, maka ibu akan distimulasi untuk membentuk imun antibodi.
Imun anti bodi tipe IgG tersebut dapat melewati plasenta dan kemudian masuk kedalam
peredaran darah janin sehingga sel-sel eritrosit janin akan diselimuti (coated) dengan antibodi
tersebut dan akhirnya terjadi aglutinasi dan hemolisis, yang kemudian akan menyebabkan
anemia (reaksi hipersensitivitas tipe II). Hal ini akan dikompensasi oleh tubuh bayi dengan
cara memproduksi dan melepaskan sel-sel darah merah yang imatur yang berinti banyak,
disebut dengan eritroblas (yang berasal dari sumsum tulang) secara berlebihan.
Hemolisis yang berkaitan dengan inkompatibilitas ABO terjadi pada fetus bergolongan
darah A atau B dengan ibu bergolongan darah O. Pada ibu bergolongan darah A atau B,
antibodi yang ada biasanya berasal dari kelas IgM dan tidak melintasi plasenta, sementara 1%
dari ibu bergolongan darah O memiliki titer tinggi antibodi kelas IgG terhadap A dan B.
Antibodi ini yang melintasi plasenta dan menyebabkan hemolisis pada fetus.
Hemolisis karena anti-A lebih sering terjadi daripada hemolisis karena anti-B.
Neonatus yang terkena biasanya memiliki hasil positif pada uji Coombs langsung, akan tetapi
hasil uji Coombs yang negatif tidak menyingkirkan adanya penyakit hemolitik isoimun.
Meskipun begitu, hemolisis karena IgG anti-B dapat menjadi parah dan membutuhkan
transfusi pertukaran. Karena antigen A dan B secara luas diekspresikan di berbagai jaringan
selain sel darah merah, hanya sebagian kecil antibodi yang melintasi plasenta dan tersedia
untuk diikat oleh sel darah merah fetus. Penelitian terbaru uji Coombs langsung pada
subkelas IgG pasien dengan inkompatibilitas ABO menunjukkan IgG2 adalah antibodi utama
yang ditransfer melintasi plasenta dengan buruk, dan kurang efisien dalam menyebabkan
hemolisis, sementara IgG1 dicatat terdapat pada 22% neonatus, dan sebagai suatu grup
memiliki kemiripan tingkat hemolisis dan keparahan hiperbilirubinemia.
Sebagai tambahan, sel darah merah fetus tampak memiliki sedikit ekspresi permukaan
antigen A atau B, dan mengakibatkan hanya terdapat sedikit situs yang reaktif. Oleh karena
itu hanya ada sedikit insidens hemolisis signifikan pada neonatus yang terkena. Hal ini
menyebabkan hiperbilirubinemia sebagai manifestasi utama yang tampak (dibandingkan
dengan anemia), dan pada pemeriksaan darah tepi sering terlihat adanya sferosit dalam
jumlah yang besar, serta sedikit eritroblas.
Manifestasi Klinik
Gejala klinik yang muncul pada bayi yang mengalami ikterus akibat inkompatibilitas
ABO adalah anemia yang bermakna dan hiperbilirubinemia. Kriteria yang lazim digunakan
untuk menegakkan hemolisis neonatus akibat inkompatibilitas ABO adalah:
1. Ibu memiliki golongan darah O dengan antibody anti-A dan anti-B di dalam
serumnya, sedangkan janin memiliki golongan darah A, B, atau AB.
2. Ikterus dengan awitan dalam 24 jam pertama.
3. Terdapat anemia, retikulosis, dan eritriblastosis dengan derajat bervariasi.
4. Kausa hemolisis yang lain telah disingkirkan dengan teliti.
Penatalaksanaan
Yang harus diperhatikan sebelum melakukan fototerapi intensif dan atau transfusi
tukar adalah Bilirubin total dan direk, golongan darah (ABO, Rh), Coomb’s Test, serum
albumin, pemeriksaan darah tepi lengkap dengan hitung jenis dan morfologi, dan jumlah
retikulosit. Fototerapi diperbolehkan untuk dilakukan di rumah sakit atau di rumah pada
kadar bilirubin total 2-3 mg/dL untuk bayi dengan usia >= 38 minggu dan sehat. Fototerapi
intensif adalah fototerapi dengan menggunakan sinar blue-green spectrum (panjang
gelombang 430-490 nm) dengan kekuatan 30 uW/cm2. Bayi harus ditutup matanya, dalam
keadaan telanjang dan dalam jarak 45 cm antara sinar dan bayi. Berikan ASI tiap 2 jam, ukur
suhunya tiap 4 jam, dan cek kadar bilirubin tiap 12 jam. Jika kadarnya sudah <10 mg/dL
makan hentikan terapi sinar. Tetapi bila konsentrasi bilirubin tidak juga turun atau justru
cenderung mengalami kenaikan pada bayi yang mendapat fototerapi intensif, kemungkinan
besar telah terjadi hemolisis. Beberapa efek samping fototerapi adalah perubahan suhu tubuh
bayi, konsumsi oksigen, laju napas, dapat timbul kemerahan jika terlalu panas (Bronze Baby
Syndrome), dan hilangnya cairan tubuh (insensible loss).
Transfusi tukar dilakukan jika fototerapi intensif gagal dilakukan. Pada kasus-kasus
yang berat dan jarang terjadi, di mana untuk mengoreksi tingkat anemia atau
hiperbilirubinemia yang sudah berbahaya, penatalaksanaan untuk bayi adalah dengan cara
melakukan transfusi tukar dengan gol darah O yang memiliki tipe Rh sama dengan bayi.11
Transfusi tukar memiliki efek samping untuk bayi, di antaranya bayi bisa mengalami
hipokalsemia, hipoglikemia, gangguan keseimbangan asam basa, pendarahan, infeksi,
hemolysis, dan bisa menyebabkan gangguan kardiovaskular.
Komplikasi
Komplikasi terberat ikterus pada bayi baru lahir adalah ensefalopati bilirubin, atau
kernikterus. Kernikterus terjadi pada keadaan hiperbilirubinemia indirek yang sangat tinggi,
cedera sawar darah-otak, dan adanya molekul yang berkompetisi dengan bilirubin untuk
mengikat albumin. Adanya keadaan berikut ini, seperti hipoksemia, hiperkarbia, hipotermia,
hipoglikemia, hipoalbuminemia, dan hiperosmolalitas, dapat menurunkan ambang toksisitas
bilirubin dengan cara membuka sawar darah otak. Pada bayi cukup bulan tanpa hemolisis,
kernikterus jarang dijumpai pada kadar hemoglobin kurang dari 25 mg/dl (428 µmol/l).
Semakin rendah berat lahir bayi, semakin rendah kadar toksik.
Pada bayi cukup bulan, ensefalopati bilirubin biasanya bermanifestasi pada hari ke-2
dan ke-5. Gambaran klinis ensefalopati bilirubin tidak dapat dibedakan dari sepsis, asfiksia,
perdarahan intraventrikular, dan hipoglikemia. Gejala ensefalopati bilirubin meliputi letargi,
tidak mau makan, dan refleks Moro yang lemah. Pada akhir minggu pertama kehidupan, bayi
menjadi demam dan hipertonik disertai tangisan bernada tinggi (high-pitched cry). Refleks
tendon dan respirasi menjadi terdepresi. Bayi akan mengalami opistotonus disertai
penonjolan dahi ke anterior. Dapat mulai terjadi kejang tonik-klonik umum. Jika bayi dapat
bertahan hidup, gambaran-gambaran klinis ini akan menghilang dalam usia dua bulan,
kecuali sisa kekakuan otot, opistotonus, gerakan irregular, dan kejang. Pada akhirnya anak
tersebut mengalami koreoatetosis, tuli sensorineural, strabismus, kelainan pandangan ke atas,
dan disartria.
Prognosis
Pengukuran titer antibodi dengan tes Coombs indirek < 1:16 berarti bahwa janin
mati dalam rahim akibat kelainan hemolitik tak akan terjadi dan kehidupan janin dapat
dipertahankan dengan perawatan yang tepat setelah lahir. Titer yang lebih tinggi menunjukan
kemungkinan adanya kelainan hemolitik berat. Titer pada ibu yang sudah mengalami
sensitisasi dalam kehamilan berikutnya dapat naik meskipun janinnya Rhesus negatif. Jika
titer antibodi naik sampai secara klinis bermakna, pemeriksaan titer antibodi diperlukan. Titer
kritis tercapai jika didapatkan nilai 1:16 atau lebih. Jika titer di dibawah 1:32, maka prognosis
janin diperkirakan baik. Prognosis inkompatibilitas ABO adalah dubia ad bonam.
Sumber:
1. Kliegman RM, et al. Nelson textbook of pediatrics. 18th ed. Philadelphia: Saunders
Elsevier, 2007.p.772.
1.