You are on page 1of 10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sirih Hijau (Piper betle Linn.).

2.1.1 Klasifikasi

Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliphyta

Kelas : Magnolipsida

Ordo : Piperales

Family : Piperaceae

Genus : Piper

Spesies : Piper betle L.

(Pradhan et al., 2013)

Gambar 2.1 Tanaman Sirih (Piper betle Linn.)

2.1.2 Deskripsi tanaman

Sirih merupakan tanaman terna, tumbuh merambat atau menjalar

menyerupai tanaman lada. Tinggi tanaman bisa mencapai 15 m, tergantung pada

7
8

kesuburan media tanam dan media untuk merambat. Batang sirih berwarna

cokelat kehijauan, berbentuk bulat, berkerut, dan beruas yang merupakan tempat

keluarnya akar. Morfologi daun sirih berbentuk jantung, berujung runcing,

tumbuh berselang-seling, bertangkai, teksturnya agak kasar jika diraba, dan

mengeluarkan bau khas aromatis jika diremas. Panjang daun 6-17,5 cm dan lebar

3,5-10 cm. Sirih memiliki bunga majemuk yang berbentuk bulir dan merunduk.

Bunga sirih dilindungi oleh daun pelindung yang berbentuk bulat panjang dengan

diameter 1 mm. Buah terletak tersembunyi atau buni, berbentuk bulat, berdaging,

dan berwarna kuning kehijauan hingga hijau keabu-abuan. Tanaman sirih

memiliki akar tunggang yang bentuknya bulat dan berwarna cokelat kekuningan

(Koensoemardiyah, 2010).

2.1.3 Tempat tumbuh

Sirih bisa tumbuh subur di daerah tropis dengan ketinggian 300-1.000 m di

atas permukaan laut (dpl) dan tumbuh subur pada tanah yang kaya akan zat

organik dan cukup air. Kandungan minyak atsiri dipengaruhi oleh keadaan

lingkungan seperti suhu udara, kelembaban, komposisi mineral dan kandungan air

pada tempat tumbuh (Koensoemardiyah, 2010). Tumbuhan sirih (P. betle Linn.)

memerlukan iklim sejuk dan kelembapan tinggi untuk kehidupannya, dimana

apabila tanaman sirih dipaparkan pada panas yang ekstrem, daunnya akan berubah

menjadi hijau tua dan renyah. Pada iklim sejuk daun sirih akan berwarna hijau

muda (Reijntjes dkk., 1999).


9

2.1.4 Kandungan daun sirih hijau

Kandungan dari daun sirih yaitu minyak atsiri, alkaloid, flavonoid, fenol dan

steroid (Mursito, 2003 ; Srisadono, 2008). Terdapat pula katekin dan tannin yang

termasuk senyawa polifenol (Damayanti, 2005). Selain itu, daun sirih juga

mengandung enzim diastase dan gula. Biasanya, daun sirih muda mengandung

diastase, gula dan minyak atsiri lebih banyak dibandingkan dengan daun sirih tua.

Sementara itu, kandungan taninnya relatif sama (Moeljanto dan Mulyono, 2003).

2.2 Minyak Atsiri

Minyak atsiri adalah salah satu kandungan tanaman yang sering disebut

dengan “minyak terbang” atau volatile oils. Dinamakan demikian didasarkan atas

sifat minyak atsiri yang mudah menguap. Minyak atsiri juga disebut essential oil

(dari kata essence) karena memberikan bau khas pada tanaman

(Koensoemardiyah, 2010).

Pada tanaman, minyak atsiri mempunyai tiga fungsi yaitu: membantu proses

penyerbukan dan menarik beberapa jenis serangga atau hewan, mencegah

kerusakan tanaman oleh serangga atau hewan, dan sebagai cadangan makanan

bagi tanaman (Sudaryani dan Sugiharti, 1998).

Secara kimia, minyak atsiri bukan merupakan senyawa tunggal, melainkan

tersusun dari berbagai macam komponen yang terdiri dari turunan terpena dan

fenilpropanoid (Zuzarte and Salgueiro, 2015). Penyusun minyak atsiri dari

kelompok terpenoid terdiri dari monoterpen dan seskuiterpen, berupa isopren C10
10

dan C15 yang titik didihnya berbeda. Titik didih monoterpena 140-180 ºC, titik

didih seskuiterpen > 200 ºC (Harbone, 1987).

Pemerian minyak atsiri adalah berupa cairan jernih, tidak berwarna, tetapi

selama penyimpanan akan mengental dan berwarna kekuningan atau kecoklatan.

Hal tersebut terjadi karena minyak atsiri dapat mengalami oksidasi dan

resinifikasi (berubah menjadi damar atau resin) (Koensoemardiyah, 2010). Untuk

mencegahnya, minyak atsiri harus disimpan dalam bejana gelas yang berwarna

gelap, diisi penuh, ditutup rapat, serta disimpan di tempat yang kering dan sejuk

(Gunawan dan Mulyani, 2004). Pada umumnya minyak atsiri tidak dapat

bercampur dengan air, tetapi cukup dapat larut hingga dapat memberikan baunya

kepada air walaupun kelarutannya sangat kecil. Minyak atsiri sangat mudah larut

dalam pelarut organik seperti etanol, eter dan kloroform (Gunawan dan Mulyani,

2004). Minyak atsiri sirih bersifat tidak larut dalam alkohol 70% dan 80%, larut

dalam alkohol 90% (Novalny, 2006).

2.3 Kandungan Minyak Atsiri Daun Sirih Hijau (Piper betle Linn.)

Daun sirih mengandung minyak atsiri hingga 4% yang terdiri dari kavikol,

hidroksikavikol, kavibetol, estragol, eugenol, metil eugenol, karvakrol dan

seskuiterpen (Mursito, 2003). Berdasarkan analisis komponen kimia penyusun

minyak atsiri P. betle dengan GC-MS diketahui bahwa komponen penyusun

minyak atsiri P. betle antara lain eugenol (28,44%), safrol (27,48%), metil

isoeugenol (2,60%), eugenil asetat (1,72%), metil eugenol (1,46%), dan

hidroksikavikol (0,53%) (Saxena et al., 2014). Minyak atsiri P. Betle Linn. juga
11

mengandung kavibetol asetat (16.9%), 4-allylphenyl acetate (9.4%) dan 4-

allylphenol (7.2%) (Row et al., 2009).

2.4 Aktivitas Antibakteri Daun Sirih Hijau (Piper betle Linn.)

Berdasarkan penelitian Putri (2010), dibuktikan bahwa ekstrak etanol daun

sirih hijau mempunyai aktivitas antibakteri terhadap P. acnes dengan MIC sebesar

0,25%. Hasil KLT Bioautografi menunjukkan bahwa golongan senyawa dari

ekstrak etanol daun sirih hijau yang memiliki aktivitas antibakteri terhadap P.

acnes adalah senyawa golongan flavonoid dan polifenol. Potensi antibakteri daun

sirih hijau juga dibuktikan dalam penelitian Widyaningtyas (2014) yang

menyatakan bahwa ekstrak etanol terpurifikasi daun sirih hijau pada konsentrasi

20 mg/mL mampu menghambat pertumbuhan bakteri P. acnes yang secara

statistik tidak berbeda signifikan (p>0.05) dibandingkan dengan antibiotik

doksisiklin.

Menurut (Suppakul et al. 2006) aktivitas antibakteri minyak atsiri daun P.

betle Linn. telah terbukti mampu menghambat pertumbuhan bakteri Gram positif.

Pada penelitian tersebut diperoleh hasil bahwa minyak atsiri daun sirih hijau

mampu menghambat pertumbuhan bakteri Bacillus cereus, Enterococcus faecalis,

Listeria monocytogenes, Micrococcus luteus dan Staphylococcus aureus dengan

MIC berturut-turut yaitu: 50 µL/mL, 25 µL/mL, 12,5 µL/mL, 25 µL/mL dan 100

µL/mL. Bakteri yang digunakan dalam penelitian tersebut termasuk bakteri Gram

positif yang memiliki persamaan terhadap struktur dinding sel dengan bakteri P.

acnes.
12

2.5 Acne Vulgaris (Jerawat)

Jerawat adalah penyakit kompleks dengan beberapa faktor patogenik yang

secara bersama-sama bertindak menimbulkan jerawat (Kim and Webster, 2008),

seperti peningkatan produksi sebum, kornifikasi duktal, inflamasi dan kolonisasi

bakteri P. acnes (Jappe, 2003). Proses timbulnya acne dapat dilihat pada gambar

2.2.

Gambar 2.2 Proses Timbulnya Jerawat (Jappe, 2003)


Berdasarkan gambar 2.2 dapat diketahui bahwa ketika terjadi peningkatan

produksi hormon, maka produksi sebum juga akan mengalami peningkatan.

Peningkatan sebum mengakibatkan terjadinya penurunan asam linoleat. Asam

linoleat berpartisipasi dalam pembentukan lamella lipid intraseluler, sehingga

kekurangan asam linoleat mengakibatkan rusaknya penghalang (barrier) epitel

folikular, yang memungkinkan asam lemak bebas yang dihasilkan dari aktivitas
13

lipase bakteri dan/atau metabolisme sebosit masuk ke dalam epitel dan

menginduksi terjadinya defisiensi asam lemak esensial lokal (Jappe, 2003). Selain

itu, penurunan asam linoleat dapat mengakibatkan terjadinya hiperkornifikasi

duktal. Epitel folikel rambut bagian atas akan menjadi hiperkeratotik dan

mengalami peningkatan kemampuan kohesi antar keratinosit. Keratinosit dapat

menjadi respon imun kulit. Regulasi ini merupakan mekanisme pertahanan yang

bertujuan memproteksi kulit yang normal dengan keberadaan mikroorganisme-

mikroorganisme (Nagy, 2005).

Peningkatan sebum juga mengakibatkan terjadinya peningkatan kolonisasi

dari bakteri P. acne. Sebum merupakan campuran kompleks lipid yang sekitar

50% penyusunnya adalah trigliserida. Trigliserida merupakan sumber yang kaya

akan karbon bagi bakteri P. acnes yang dapat memproduksi lipase (Kim and

Webster, 2008). Hasil pemecahan trigliserida adalah asam lemak bebas yang

merupakan mediator pemicu terjadinya inflamasi (Vijayalakshmi et al., 2011).

Selain itu, P. acnes berkontribusi dalam memicu inflamasi pada acne dengan

melepaskan enzim-enzim yang menyebabkan rupturnya dinding folikel dan

rusaknya jaringan oleh lipase, protease, dan hyaluronidase (Lee et al., 2010).

2.6 Propionibacterium acnes

Propionibacterium acnes adalah mikroorganisme paling dominan yang

terdapat pada daerah yang kaya akan kelenjar sebaseous pada kulit manusia

(Jappe, 2003). Klasifikasi Propionibacterium acnes secara ilmiah adalah sebagai

berikut:
14

Kingdom : Bacteria

Phylum : Actinobacteria

Class : Actinobacteridae

Order : Actinomycetales

Family : Propionibacteriaceae

Genus : Propionibacterium

Spesies : Propionibacterium acnes

(Kirschbaum and Kligman, 1963)

Bakteri ini memiliki ciri-ciri berbentuk batang tak teratur yang terlihat pada

pewarnaan Gram positif, dapat berbentuk filamen bercabang atau campuran antara

bentuk batang/filamen dengan bentuk kokoid (Putri, 2010). Uji yang dapat

dilakukan untuk mengidentifikasi bakteri P. acnes dapat dilihat pada tabel 2.1

berikut:

Tabel 2.1 Uji identifikasi bakteri P. acnes

No Uji yang dilakukan Hasil


1 Pengecatan Gram Berwarna ungu
Campuran berbentuk batang dan
2 Pengamatan mikroskop
kokus
3 Katalase +
4 H2S -
(Koneman et al., 1994)

2.7 Destilasi Air

Metode destilasi yang paling banyak dilakukan untuk memperoleh minyak

atsiri adalah metode hidrodistilasi. Metode hidrodistilasi dibagi menjadi 3, yaitu

destilasi air (water distillation), destilasi air dan uap (water and steam distillation)
15

dan destilasi uap (steam distillation) (Koensoemardiyah. 2010). Pada penelitian

ini metode destilasi untuk memperoleh minyak atsiri dauh sirih hijau P. betle

Linn. yang digunakan adalah metode destilasi air (water distillation). Metode

destilasi air adalah metode paling sederhana dari ekstraksi minyak atsiri. Teknik

ini adalah teknik yang cukup umum untuk mengekstraksi minyak atsiri dalam

skala laboratorium (Banerjee, 2013). Dalam metode ini, bahan yang akan disuling

diletakkan dalam sebuah labu. Selanjutnya, ke dalam labu tersebut ditambahkan

sejumlah air hingga sampel terbenam namun tidak memenuhi labu agar ruang

yang cukup untuk proses penguapan tetap tersedia. Jumlah air yang ditambahkan

harus cukup untuk membuat bahan bergerak bebas dalam air mendidih, sehingga

over heating secara lokal dapat dihindari (Ravindran and Babu, 2004). Air akan

terserap masuk ke dalam bahan tanaman selama proses perebusan dan minyak

atsiri yang terkandung dalam sel-sel tumbuhan akan berdifusi melalui dinding sel

dengan cara osmosis. Setelah minyak atsiri telah menyebar keluar dari dalam sel-

sel, minyak atsiri akan menguap dan terbawa oleh aliran uap menuju kondensor

dan hasilnya akan ditampung pada labu destilat (Baser and Buchbauer, 2010).

2.8 KLT Bioautografi Kontak

Bioautografi merupakan metode pengukuran sederhana, murah, hemat

waktu dan tidak memerlukan peralatan yang canggih untuk memperoleh ada atau

tidaknya aktivitas dari suatu senyawa (Choma and Grzelak, 2010). Terdapat 3

jenis metode bioautografi yaitu: Bioautografi Kontak, Bioautografi Agar Overlay

dan Bioautografi Langsung. Pada penelitian ini, metode bioautografi yang


16

digunakan adalah bioautografi kontak. Pada metode bioautografi kontak, agen

antimikroba akan berdifusi dari plat KLT yang telah dielusi pada petri yang telah

berisi agar dan inokulum bakteri. Kromatogram ditempatkan menghadap ke

bawah ke lapisan agar yang telah diinokulasi dengan mikroorganisme uji selama

beberapa waktu untuk memberi waktu agen antimikroba untuk berdifusi.

Selanjutnya, plat KLT diangkat dan media diinkubasi. Zona hambat pada

permukaan agar yang sesuai dengan spots pada plat kromatografi diindikasikan

sebagai senyawa antimikroba. Waktu inkubasi untuk pertumbuhan bakteri

berkisar antara 16 dan 24 jam (Dewanjee, et al., 2015). Keuntungan dari

bioautografi kontak yaitu merupakan metode yang mudah untuk dilakukan dan

hasilnya dapat terlihat jelas tanpa harus menggunakan reagent MTT. Bila zona

hambat kurang jelas dalam satu atau dua hari dapat diteruskan hingga mikroba uji

tumbuh dengan baik (Kusumaningtyas, 2008).

You might also like