You are on page 1of 31

I.

Pendahuluan
Kematian perinatal terbanyak disebabkan oleh asfiksia. Hal ini ditemukan baik di lapangan
maupun di rumah sakit rujukan di Indonesia.1 Dua pertiga kematian janin terjadi sebelum
persalinan.2 Asfiksia lahir menempati penyebab kematian bayi ke 3 di dunia dalam periode awal
kehidupan (WHO, 2012). Setiap tahunnya kira-kira 3% (3,6 juta) dari 120 juta bayi baru lahir
mengalami asfiksia, hampir 1 juta bayi ini meninggal. WHO menyatakan bahwa AKB akibat
asfiksia di kawasan Asia Tenggara menempati urutan kedua yang paling tinggi yaitu sebesar 142 per
1000 setelah Afrika. Indonesia merupakan negara dengan AKB dengan asfiksia tertinggi kelima
untuk negara ASEAN pada tahun 2011 yaitu 35 per 1000, dimana Myanmar 48 per 1000, Laos dan
Timor Laste 48 per 1000, Kamboja 36 per 10001
Gawat janin secara klinik diartikan sebagai keadaan yang berhubungan dengan hipoksia atau
asfiksia. Pada persalinan, gawat janin disebabkan oleh beberapa mekanisme diantaranya penurunan
oksigen inspirasi ibu, penurunan aliran darah uteroplasenta, oklusi aliran darah umbilikus dan
perdarahan. 5
Adapun janin yang berisiko tinggi untuk mengalami gawat janin adalah janin yang
pertumbuhannya terhambat, janin dari ibu yang menderita diabetes, janin preterm dan kehamilan
lewat waktu, janin dengan kelainan letak, janin dengan kelainan bawaan atau infeksi. Gawat janin
dalam persalinan dapat terjadi pada persalinan yang berlangsung lama, induksi persalinan dengan
oksitosin, ada perdarahan atau infeksi, insufisiensi pada postterm dan preeklampsia. 6
Adanya cara untuk mengetahui tingkat hipoksia pada gawat janin sangat berguna untuk
menyelamatkan janin. Sekarang dengan pengawasan denyut jantung janin secara elektronik dan
pemeriksaan darah janin, tingkat hipoksia secara lebih dini dapat diketahui. 1
Salah satu upaya untuk menurunkan angka kematian perinatal yang disebabkan oleh
penyulit-penyulit hipoksia janin dalam rahim antara lain dengan melakukan pemantauan
kesejahteraan janin dalam rahim. Pada dasarnya pemantauan ini bertujuan untuk mendeteksi adanya
gangguan yang berkaitan hipoksia janin dalam rahim, seberapa jauh gangguan tersebut dan akhirnya
menentukan tindak lanjut dari hasil pemantauan tersebut. 7
Pemantauan janin dapat dilakukan pada waktu antepartum dan intrapartum. Pemantauan
janin antepartum dapat dilakukan dengan beberapa metoda yaitu menghitung jumlah gerakan janin,
penilaian pertumbuhan janin, test denyut jantung janin, profil biofisik, Doppler velosimetri dengan
memakai kardiotokografi dan USG. Sedangkan pemantauan janin intrapartum dapat dimonitor
dengan kardiotokografi dan pemeriksaan darah kulit kepala janin.2,8
II. Laporan Kasus
2.1.Identitas Pasien
Nama : Ny. T
Usia : 21 tahun
Alamat : KP Malabar RT 02 RW 08 Banjarsari Pangalengan
Pekerjaan : IRT
Rekam medis : 0001645xxx
Masuk Rumah Sakit : 08 November 2017
Jam Masuk : 23.00 WIB

2.2.Anamnesis
Dikirim Oleh : RS Soreang
Dengan Keterangan/Surat : G1P0A0 parturien serotinus fase laten presentasi kepala fase
laten , kecurigaan bayi besar, bayi distres
Keluhan Utama : Mules mules
Anamnesa Khusus:
G1P0A0 merasa hamil 9 bulan datang dengan keluhan mules-mules yang semakin sering
dan bertambah kuat sejak ± 5 jam SMRS dan keluar lendir bercampur darah. Keluar cairan banyak
dari jalan lahir disangkal. Gerak anak dirasakan ibu. Keluhan riwayat tekanan darah tinggi, kencing
manis, asma disangkal pasien Karena keluhannya, ibu berobat bidan kemudian dirujuk ke RS
Soreang karena ruangan penuh kemudian pasien dirujuk ke RSHS.

2.3. Riwayat Obstetri

1. Hamil ini.
Keterangan Tambahan
Menikah : I ♀, 19 tahun, SMP, IRT
♂, 23 tahun, SMP, Buruh

Haid terakhir : 28/01/2017


Taksiran persalinan : 29/09/2017
Prenatal care : Bidan : 6 kali
KB : (-)
2.4 Status Presens
Keadaan Umum : sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Tensi : 120/80 mmHg
Nadi : 92 x/menit
Pernafasan : 20 x/menit
Suhu : 36,5 oC
TB : 158 cm
BB : 88 kg

BMI : 35,25 kg/m2

2.5. Pemeriksaan Obstetri


Pemeriksaan Luar
TFU : 42 cm
LP : 103 cm
LA : kepala, 2/5, punggung kanan
His : 3-4x/10’/40” kuat
BJA : 170-90-180x/min
TBBA : 4200 gram

Pemeriksaan Dalam
Vulva : tidak ada kelainan
Vagina : tidak ada kelainan
Portio : tipis lunak
O/ : 3-4 cm
Ketuban : (+)
Kepala : Station 0, ubun- ubun kecil kanan depan

Pemeriksaan Panggul
Promontorium : tidak teraba
Linea inominata : teraba 1/3 – 1/3
Sacrum : konkaf
Spina ischiadica : tidak menonjol
Arcus Pubis : > 900
Dinding samping : lurus
Kesan panggul : baik

2.6 Pemeriksaan Penunjang

Hb : 12.0 gr/dL Leukosit : 26.410 /mm3


Ht : 37,4 % Trombosit : 318.000 /mm3
Eritrosit : 4.70 x 106 MCV : 78.4
MCH : 25.2 MCHC : 32.1
GDS : 136 gr/dl
2.7 Diagnosis

G1P0A0 parturien aterm kala I fase aktif; gawat janin; suspek makrosomia

2.8.Rencana Pengelolaan:
- Admission test
- Pemeriksaan laboratorium darah lengkap, PT, APTT, INR
- Inform consent pasien dan keluarga
- Resusitasi Intaruterin : ibu miring kekiri, Oksigen 3-4 l/menit dan RL tetesan cepat
- Rencana seksio sesarea
- Hubungi perinatologi
- Konsul anestesi dan OK emergensi
- Observasi Keadaan umum, tanda vital, His, Bunyi jantung anak
- Lapor DPJP: setuju diagnosis dan tindakan
Admission Test

Baseline 160-170 bpm

Variabilitas < 5

Akselerasi (+)

Deselerasi (+)

Kesan : kategori III


Observasi

Jam HIS BJA Tekanan Nadi Respirasi Keterangan


(x/menit) Darah (x/menit) (x/menit)
(mmHg)

23.00 - 00.00 3-4x/10’/40 160-80-152 120/80 84 20 (-)


Kuat

00.00 - 00.30 3-4x/10’/40 150-90-170 110/70 88 20


Kuat

Jam 00.30 Pasien diantar ke OK emergensi

Jam 00.35: Ibu tiba di OK EMG

Dilakukan PL : His = 3-4/10’/40 kuat


BJA= 160 -80 - 96 x/menit
Jam 00.55 : Operasi dimulai
Jam 01.00 : Lahir bayi ♀dengan meluksir kepala

BB = 4450 gram PB = 54 cm, APGAR 1’ = 6 5’ = 9


Disuntikkan oksitosin 10 IU intramural, Kontraksi baik
Jam 01.03 : Lahir plasenta dengan tarikan ringan pada tali pusat B = 680 gram
Ukuran = 22.x 22 x 2 cm
Jam 01.55 : Operasi selesai
Perdarahan selama operasi ± 400 cc
diuresis selama operasi ± 200 cc

D/ Pra Bedah : G1P0A0 parturien aterm kala I fase aktif; gawat janin; suspek makrosomia
D/ Paska Bedah : P1A0 partus maturus dengan seksio sesarea atas indikasi gawat janin;
makrosomia
Laporan Operasi

- Dilakukan tindakan a dan antiseptik di daerah abdomen dan sekitarnya.


- Dilakukan insisi mediana inferior sepanjang + 10 cm
- Setelah peritoneum dibuka tampak dinding depan uterus.
- Plika vesikouterina diidentifikasi, digunting melintang.
- Kandung kemih disisihkan ke bawah dan ditahan dengan retraktor abdomen.
- SBR disayat konkaf, bagian tengahnya ditembus oleh jari
penolong dan diperlebar ke kiri dan kanan.
Jam 01.00 : lahir bayi ♀ dengan meluksir kepala BB = 4450 gram PB = 54 cm,
APGAR : 1’ = 6, 5’ = 9 Disuntikkan oksitosin 10 IU intramural,
kontraksi baik
Jam 01.03: Lahir placenta dengan tarikan ringan pada tali pusat
B = 680 gram, Ukuran = 22 x 22 x 2 cm
- SBR dijahit dua lapis. Lapisan pertama dijahit secara jelujur.
- Lapisan ke dua dijahit secara jelujur. Setelah yakin tidak ada perdarahan, dilakukan
reperitonealisasi dengan peritoneum kandung kencing.
- Rongga abdomen dibersihkan dari darah dan bekuan darah.
- Fascia dijahit dengan PGA no. 1, kulit dijahit secara subkutikuler.
- Perdarahan selama operasi 400 cc
- Diuresis selama operasi 200 cc

Tanggal/
CATATAN INSTRUKSI
Jam

9/11/2017 Follow Up Post Partum P :


S : Keluhan : - - Sesuai catatan
02.00
O : KU: compos mentis pengobatan:
TD: 110/80 mmHg R : 20 x/mnt - Ceftriaxon 2x1
N: 88 x/mnt S : 360 C gram IV
Abdomen: Datar lembut - Kaltrofen 2x 200
DM -/ PS-/PP-/NT- mg supp
Tanggal/
CATATAN INSTRUKSI
Jam

TFU 2 jari bawah pusat, kontraksi baik - Cek Hb Post


Luka tertutup verban partum, transfusi
Perdarahan (-), Diuresis (+) bila Hb < 8 gr/dL,
A: P1A0 partus maturus dengan seksio - Observasi keadaan
sesarea atas indikasi gawat janin; makrosomia umum, tanda vital,
kontraksi,
perdarahan
9/11/2017 Follow Up Stase ruangan P :
S : Keluhan : - - Sesuai catatan
06.00
O : KU: compos mentis pengobatan:
POD 0 TD: 110/80 mmHg R : 20 x/mnt - Ceftriaxon 2x1
N: 88 x/mnt S : 360 C gram IV
ASI -/- - Kaltrofen 2x 200
Abdomen: Datar lembut mg supp
DM -/ PS-/PP-/NT- - Cek Hb Post
TFU 2 jari bawah pusat, kontraksi baik partum, transfusi
Luka tertutup verban bila Hb < 8 gr/dL,
Perdarahan (-), - Observasi keadaan
A: P1A0 partus maturus dengan seksio umum, tanda vital,
sesarea atas indikasi gawat janin; makrosomia kontraksi,
perdarahan

9/11/2017 Follow Up Jaga obgin P :


S : Keluhan : - - Sesuai catatan
15.30
O : KU: compos mentis pengobatan:
POD 0 TD: 110/80 mmHg R : 20 x/mnt - Ceftriaxon 2x1
N: 88 x/mnt S : 360 C gram IV
ASI -/- - Kaltrofen 2x 200
Abdomen: Datar lembut mg supp

7
Tanggal/
CATATAN INSTRUKSI
Jam

DM -/ PS-/PP-/NT- - Cek Hb Post


TFU 2 jari bawah pusat, kontraksi baik partum, transfusi
Luka tertutup verban bila Hb < 8 gr/dL,
Perdarahan (-), Diuresis (+) - Observasi keadaan
A: P1A0 partus maturus dengan seksio umum, tanda vital,
sesarea atas indikasi gawat janin; makrosomia kontraksi,
perdarahan

10/9/2017 Follow Up Jaga obgin P :


S : Keluhan : - - Sesuai catatan
06.00
O : KU: compos mentis pengobatan:
POD I TD: 110/80 mmHg R : 20 x/mnt - Ceftriaxon 2x1
N: 88 x/mnt S : 360 C gram IV
ASI -/- - Kaltrofen 2x 200
Abdomen: Datar lembut mg supp
DM -/ PS-/PP-/NT- - Observasi keadaan
TFU 2 jari bawah pusat, kontraksi baik umum, tanda vital,
Luka tertutup verban kontraksi,
Perdarahan (-), Diuresis (+) perdarahan
A: P1A0 partus maturus dengan seksio
sesarea atas indikasi gawat janin; makrosomia

10/9/2017 Follow Up Jaga obgin P :


S : Keluhan : - - Sesuai catatan
16.00
O : KU: compos mentis pengobatan:
POD I TD: 110/80 mmHg R : 20 x/mnt - Ceftriaxon 2x1
N: 88 x/mnt S : 360 C gram IV
ASI -/- - Kaltrofen 2x 200

8
Tanggal/
CATATAN INSTRUKSI
Jam

Abdomen: Datar lembut mg supp


DM -/ PS-/PP-/NT- - Observasi keadaan
TFU 2 jari bawah pusat, kontraksi baik umum, tanda vital,
Luka tertutup verban kontraksi,
Perdarahan (-), Diuresis (+) perdarahan
A: P1A0 partus maturus dengan seksio
sesarea atas indikasi gawat janin; makrosomia

11/9/2017 Follow Up Stase ruangan P:


S : Keluhan : - - Cefadroksil
06.00
O : KU: compos mentis 2x500 mg po
POD II TD: 110/80 mmHg R : 20 x/mnt - Asam mefenamat
N: 88 x/mnt S : 360 C 3x500 mg po
ASI +/+ Observasi
Abdomen: Datar lembut keadaan umum,
DM -/ PS-/PP-/NT- tanda vital,
TFU 2 jari bawah pusat, kontraksi baik perdarahan
Luka tertutup verban
Perdarahan (-), Diuresis (+)
A: P1A0 partus maturus dengan seksio
sesarea atas indikasi gawat janin; makrosomia

11/9/2017 Follow Up Jaga obgin P:


S : Keluhan : - - Cefadroksil
16.00
O : KU: compos mentis 2x500 mg po
POD II TD: 110/80 mmHg R : 20 x/mnt - Asam mefenamat
N: 88 x/mnt S : 360 C 3x500 mg po

9
Tanggal/
CATATAN INSTRUKSI
Jam

ASI -/- Observasi


Abdomen: Datar lembut keadaan umum,
DM -/ PS-/PP-/NT- tanda vital,
TFU 2 jari bawah pusat, kontraksi baik perdarahan
Luka tertutup verban
Perdarahan (-), BAK (+)
A: P1A0 partus maturus dengan seksio
sesarea atas indikasi gawat janin; makrosomia

12/9/2017 Follow Up Stase ruangan P:


S : Keluhan : - - Cefadroksil
16.00
O : KU: compos mentis 2x500 mg po
POD III TD: 110/80 mmHg R : 20 x/mnt - Asam mefenamat
N: 88 x/mnt S : 360 C 3x500 mg po
ASI -/- Observasi
Abdomen: Datar lembut keadaan umum,
DM -/ PS-/PP-/NT- tanda vital,
TFU 2 jari bawah pusat, kontraksi baik perdarahan
Luka lering terawat - R/ Rawat Jalan
Perdarahan (-), BAK (+)
A: P1A0 partus maturus dengan seksio
sesarea atas indikasi gawat janin; makrosomia

III. Permasalahan
1. Apakah kasus ini dapat terdeteksi saat ANC dan kapan sebaiknya kasus ini dapat dirujuk?
2. Bagaimana penatalaksanaan pada pasien ini ditempat rujukan?

10
3. Mengapa pasien ini terjadi gawat janin?

IV. Pembahasan
1. Apakah kasus ini dapat terdeteksi saat ANC dan kapan sebaiknya kasus ini dapat dirujuk?

Antenatal Care adalah pelayanan yang diberikan pada ibu hamil untuk memonitor,
mendukung kesehatan ibu dan mendeteksi ibu apakah ibu hamil normal atau
bermasalah. (Rukiah, Yulianti, Maemunah, & Susilawati, 2013)
Tujuan kunjungan
a) Memantau kemajuan kehamilan untuk memastikan kesehatan ibu dan tumbuh kembang
bayi.
b) Meningkatkan dan mempertahankan kesehatan fisik,maternal dan sosial ibu dan bayi.
c) Mengenali secara dini ketidaknormalan atau komplikasi yang mungkin terjadi selama
hamil, termasuk riwayat penyakit secara umum, kebidanan dan pembedahan.
d) Mempersiapkan persalinan yang cukup bulan, melahirkan dengan selamat ibu dan
bayinya dengan trauma seminimal mungkin.
e) Mempersiapkan ibu agar nifas berjalan normal dan pemberian ASI eksklusif.
f) Mempersiapkan peran ibu dan keluarga dapat menerima kelahiran bayi agar dapat
tumbuh kembang secara normal. (Rukiah, Yulianti, Maemunah, & Susilawati, 2013)
Jadwal kunjungan
Sebaiknya setiap wanita hamil memeriksakan diri ketika haidnya terlambat
sekurang kurangnya satu bulan. Pemeriksaan dilakukan setiap 6 minggu sampai
kehamilan. Sesudah itu,pemeriksaan dilakukan setiap 2 minggu. Dan sesudah 36 minggu.
Kunjungan kehamilan sebaiknya dilakukan paling sedikit 4 kali selama kehamilan.
a) Satu kali pada trimester pertama
b) Satu kali pada trimester kedua
c) Dua kali pada trimester ketiga. (Rukiah, Yulianti, Maemunah, & Susilawati, 2013)
b. Pelayanan antenatal terpadu

11
Pelayanan antenatal terpadu adalah pelayanan antenatal komprehensif dan berkualitas
yang diberikan kepada semua ibu hamil serta terpadu dengan program lain yang
memerlukan intervensi selama kehamilannya.
Tujuan ANC terpadu adalah untuk memenuhi hak setiap ibu hamil memperoleh
pelayanan antenatal yang berkualitas, sehingga mampu menjalani kehamilan dengan sehat,
bersalin dengan selamat, dan melahirkan bayi yang sehat. (Sari, Ulfa, & Daulay, 2015)
c. Standar asuhan kebidanan
Standar asuhan minimal kehamilan termasuk dalam "14T".
1) Ukur Berat badan dan Tinggi Badan ( T1 ).
Dalam keadaan normal kenaikan berat badan ibu dari sebelum hamil dihitung dari TM I
sampai TM III yang berkisar anatar 9-13,9 kg dan kenaikan berat badan setiap minggu yang
tergolong normal adalah 0,4 - 0,5 kg tiap minggu mulai TM II. Berat badan ideal untuk ibu
hamil sendiri tergantung dari IMT (Indeks Masa Tubuh) ibu sebelum hamil. Indeks massa
tubuh (IMT) adalah hubungan antara tinggi badan dan berat badan. Ada rumus tersendiri
untuk menghitung IMT anda yakni :

IMT = Berat Badan (kg)/(Tinggi Badan (cm))2


Tabel 2.4 Klasifikasi Nilai IMT
Kategori IMT Rekomendasi
(kg)
Rendah < 19,8 12,5 – 18
Normal 19,8 – 26 11,5 – 16
Tinggi 26 – 29 7 – 11,5
Obesitas > 29 >7
Gemeli - 16 – 20,5
Sumber : (Prawirohadjo, 2013)
Prinsip dasar yang perlu diingat: berat badan naik perlahan dan bertahap, bukan
mendadak dan drastis. Pada trimester II dan III perempuan dengan gizi baik dianjurkan
menambha berat badan 0,4 kg. Perempuan dengan gizi kurang 0,5 kg gizi baik 0,3 kg.
Indeks masa tubuh adalah suatu metode untuk mengetahui penambahan optimal, yaitu:
a) 20 minggu pertama mengalami penambahan BB sekitar 2,5 kg
b) 20 minggu berikutnya terjadi penambahan sekitar 9 kg
c) Kemungkinan penambahan BB hingga maksimal 12,5 kg. (Sari, Ulfa, & Daulay, 2015)

12
Pengukuran tinggi badan ibu hamil dilakukan untuk mendeteksi faktor resiko
terhadap kehamilan yang sering berhubungan dengan keadaan rongga panggul.
2) Ukur Tekanan Darah (T2)
Diukur dan diperiksa setiap kali ibu datang dan berkunjung. Pemeriksaan tekanan
darah sangat penting untuk mengetahui standar normal, tinggi atau rendah. Tekanan darah
yang normal 110/80 - 120/80 mmHg.
3) Ukur Tinggi Fundus Uteri (T3)
Tujuan pemeriksaan TFU menggunakan tehnik Mc. Donald adalah menentukan
umur kehamilan berdasarkan minggu dan hasilnya bisa di bandingkan dengan hasil
anamnesis hari pertama haid terakhir (HPHT) dan kapan gerakan janin mulai dirasakan.
TFU yang normal harus sama dengan UK dalam minggu yang dicantumkan dalam
HPHT.
4) Pemberian Tablet Fe sebanyak 90 tablet selama kehamilan (T4)
Tablet ini mengandung 200mg sulfat Ferosus 0,25 mg asam folat yang diikat
dengan laktosa. Tujuan pemberian tablet Fe adalah untuk memenuhi kebutuhan Fe pada
ibu hamil dan nifas, karena pada masa kehamilan kebutuhannya meningkat seiring
pertumbuhan janin. Zat besi ini penting untuk mengkompensasi penigkatan volume
darah yang terjadi selama kehamilan dan untuk memastikan pertumbuhan dan
perkembangan janin.
5) Pemberian Imunisasi TT (T5)
Imunisasi tetanus toxoid adalah proses untuk membangun kekebalan sebagai
upaya pencegahan terhadap infeksi tetanus. Vaksin tetanus yaitu toksin kuman tetanus
yang telah dilemahkan dan kemudian dimurnikan. Pemberian imunisasi tetanus toxoid
(TT) artinya pemberian kekebalan terhadap penyakit tetanus kepada ibu hamil dan bayi
yang dikandungnya.
Umur kehamilan mendapat imunisasi TT :
a) Imunisasi TT sebaiknya diberikan sebelum kehamilan 8 bulan untuk mendapatkan
imunisasi TT lengkap (BKKBN, 2005).
b) TT1 dapat diberikan sejak diketahui positif hamil dimana biasanya diberikan pada
kunjungan pertama ibu hamil ke sarana kesehatan (Depkes RI, 2000).

13
Jadwal Imunisasi TT :
Sesuai dengan WHO, jika seorang ibu yang tidak pernah diberikan imunisasi
tetanus maka ia harus mendapatkan paling sedikitnya dua kali (suntikan) selama
kehamilan (pertama pada saat kunjungan antenatal dan kedua pada empat minggu
kemudian)Jarak pemberian (interval) imunisasi TT 1 dengan TT 2 minimal 4 minggu
(Saifuddin dkk, 2001 ; Depkes RI, 2000) . (Sari, Ulfa, & Daulay, 2015)

Tabel 2.5 Jadwal Pemberian Imunisasi Tetanus Toksoid

Lama %
Antigen Interval
perlindungan Perlindungan
-
TT 1 Pada kunjungan -
antenatal pertama
3 tahun
TT 2 4 minggu setelah 80
TT1
5 tahun
TT 3 6 bulan setelah 95
TT2
10 tahun
TT 4 1 tahun setelah 99
TT3
25 tahun/seumur
TT 5 1 taun setelah TT4 99
hidup
Sumber : (Saifuddin dalam Sari, Ulfa, & Daulay, 2015)
6) Pemeriksaan Hb (T6)
Pemeriksaan Hb yang sederhana yakni dengan cara Talquis dan dengan cara Sahli.
Pemeriksaan Hb dilakukan pada kunjungan ibu hamil pertama kali, lalu periksa lagi
menjelang persalinan. Pemeriksaan Hb adalah salah satu upaya untuk mendeteksi
Anemia pada ibu hamil.
7) Pemeriksaan Protein urine (T7)
Pemeriksaan ini berguna untuk mengetahui adanya protein dalam urin ibu hamil.
Adapun pemeriksaannya dengan asam asetat 2-3% ditujukan pada ibu hamil dengan
riwayat tekanan darah tinggi, kaki oedema. Pemeriksaan protein urin ini untuk
mendeteksi ibu hamil kearah preeklampsia.
8) Pemeriksaan VDRL (Veneral Disease Research Lab) (T8)
Pemeriksaan Veneral Desease Research Laboratory (VDRL) adalah untuk
mengetahui adanya treponema pallidum/ penyakit menular seksual, antara lain syphilis.

14
Pemeriksaan kepada ibu hamil yang pertama kali datang diambil spesimen darah vena ±
2 cc. Apabila hasil tes dinyatakan postif, ibu hamil dilakukan pengobatan/rujukan.
Akibat fatal yang terjadi adalah kematian janin pada kehamilan < 16 minggu, pada
kehamilan lanjut dapat menyebabkan premature, cacat bawaan.
9) Pemeriksaan urine reduksi (T9)
Untuk ibu hamil dengan riwayat DM. bila hasil positif maka perlu diikuti
pemeriksaan gula darah untuk memastikan adanya Diabetes Melitus Gestasioal.
Diabetes Melitus Gestasioal pada ibu dapat mengakibatkan adanya penyakit berupa pre-
eklampsia, polihidramnion, bayi besar.
10) Perawatan Payudara (T10)
Senam payudara atau perawatan payudara untuk ibu hamil, dilakukan 2 kali sehari sebelum
mandi dimulai pada usia kehamilan 6 Minggu.
11) Senam Hamil ( T11 )
Senam hamil bermanfaat untuk membantu ibu hamil dalam mempersiapkan
persalinan. Adapun tujuan senam hamil adalah memperkuat dan mempertahankan
elastisitas otot-otot dinding perut, ligamentum, otot dasar panggul, memperoleh
relaksasi tubuh dengan latihan-latihan kontraksi dan relaksasi.
12) Pemberian Obat Malaria (T12)
Diberikan kepada ibu hamil pendatang dari daerah malaria juga kepada ibu hamil
dengan gejala malaria yakni panas tinggi disertai mengigil dan hasil apusan darah yang
positif. Dampak atau akibat penyakit tersebut kepada ibu hamil yakni kehamilan muda
dapt terjadi abortus, partus prematurus juga anemia.
13) Pemberian Kapsul Minyak Yodium (T13)
Diberikan pada kasus gangguan akibat kekurangan Yodium di daerah endemis
yang dapat berefek buruk terhadap tumbuh kembang manusia.
14) Temu wicara / Konseling ( T14 ).(Pantiawati & Suryono, 2010).

Pelayanan Standar Asuhan 17 T


Tabel 2.6 Jenis Pemeriksaan Pelayanan Antenatal Terpadu
Jenis Trimester Trimester
No Trimester I Keterangan
Pemeriksaan II III
1 Keadaan    Rutin

15
Umum
2 Suhu Badan    Rutin
Tekanan
3    Rutin
Darah
4 Berat Badan    Rutin
5 LILA    Rutin
6 TFU   Rutin
Presentasi
7   Rutin
Janin
8 DJJ   Rutin
Pemeriksaan
9   Rutin
HB
Golongan
10  Rutin
Darah
11 Protein Urin  ·  ·  · Rutin
Atas
12 Gula Darah  ·  ·  ·
indikasi
Darah Atas
13  ·  ·  ·
Malaria indikasi
Atas
14 BTA  ·  ·  ·
indikasi
Atas
15 Darah Sifilis  ·  ·  ·
indukasi
Atas
16 Serologi HIV  ·  ·  ·
indikasi
Atas
17 USG  ·  ·  ·
indikasi
Sumber : (Kementrian Kesehatan RI, 2015)

Pembahasan

Pada kasus ini seharusnya pada saat ANC di bidan kecurigaan akan bayi besar
dapat ditemukan karena menurut Cunningham et al., (2013), ciri-ciri bahwa seorang Ibu
mengandung bayi makrosomia antara lain sebagai berikut : 1. Uterus lebih besar dari
biasanya atau tidak sesuai dengan usia kehamilan. 2. Tinggi fundus pada kehamilan aterm
lebih dari 40 cm. 3. Taksiran Berat Badan Janin (TBBJ) lebih dari 4000 gram.

Pada kasus ini pasien seharusnya sudah dirujuk lebih awal setelah dicurigai uterus
lebih besar dari usia kehamilan yang seharusnya. Terbukti pada pemeriksaan tinggi fundus
uteri saat dirujuk 42 cm dan berat badan bayi saat lahir 4450. Pada kasus ini, pasien biasa
melakukan pemeriksaan kehamilan di bidan sebanyak 6 kali. Pasien Pemeriksaan satu kali
pada trimester pertama, dua kali pada trimester kedua dan tiga kali pada trimester ketiga.

16
Selama kehamilan pasien mengalami kenaikan berat badan 12 kg, dari berat badan sebelum
hamil 76 kg menjadi 88 kg. Pasien dikategorikan menurut indeks masa tubuh sebagai
obesitas. Salah satu faktor terjadinya bayi besar atau makrosomia adalah obesitas.

Pada suatu penelitian kohort prospektif menunjukan bahwa peningkatan BMI


berkorelasi dengan peningkatan kejadian aspirasi mekonium, gawat janin dan rendahnya
apgar skor.Wanita dengan obesitas, pregestasional diabetes, gestasional diabetes berisiko
untuk melahirkan bayi makrosomia, yaitu bayi dengan berat badan >90 persentil (LGA,
Large for Gestasional Age) atau >4,5kg atau > 2 SD. Dalam penelitian menunjukkan dari
100 bayi yang lahir dengan LGA, 11 diantaranya berasal dari ibu dengan obesitas,
sedangkan 4 lahir dari ibu dengan pregestasional diabetes, hal tersebut menunjukkan bahwa
prevalensi bayi LGA lebih sering pada wanita dengan obesitas dibandingkan wanita dengan
pregestasional diabetes (Buschur, 2012).Dari literatur disebutkan bahwa kadar trigliserid
wanita obesitas merupakan prediktor yang baik untuk memperkirakan bayi makrosomia
pada wanita tersebut baik dengan atau tanpa disertai diabetes dalam kehamilan (Shaikh,
2010).

Beberapa keadaan pada ibu dapat menyebabkan terjadinya kelahiran bayi besar /
Baby giant. Faktor-faktor tersebut diantaranya :

1. Ibu yang menderita Diabetes Mellitus (DM) sebelum dan selama kehamilan.
Kadar gula darah ibu hamil penderita Diabetes Melitus tergolong tinggi. Kondisi inilah
yang memberi peluang janin untuk tumbuh melebihi ukuran rata-rata. Jika fungsi
plasenta dan tali pusaT baik, maka si calon bayi dapat tumbuh makin subur.
2. Ibu mempunyai riwayat melahirkan bayi besar.
Ibu yang pada kehamilan pertama melahirkan Baby giant berpeluang besar melahirkan
anak kedua dengan kondisi yang sama pada kehamilan berikutnya.
3. Faktor genetik
Obesitas dan overweight yang dialami ayah-ibu dapat menurun pada bayi.
4. Pengaruh kecukupan gizi
Porsi makanan yang dikonsumsi ibu hamil akan berpengaruh terhadapa bobot janin.
Asupan gizi yang berlebih bisa mengakibatkan bayi lahir dengan berat diatas rata-rata.

17
Pola makan ibu yang tidak seimbang atau berlebihan juga mempengaruhi kelahiran bayi
besar.

2. Bagaimana penatalaksanaan pada pasien ini ditempat rujukan?


Pada pasien ini seharusnya bisa dilakukan tindakan di fasilitas kesehatan tingkat II
dan tidak perlu dirujuk ke faskes tingkat III karena terjadi gawat janin dan kecurigaan bayi
besar. Penatalaksanaan pada kasus ini yang tepat adalah karena terjadinya gawat janin pada
pasien yang harus segera dilahirkan dengan seksio sesarea untuk mencegah terjadinya
kematian janin. Selain itu, Tindakan terminasi kehamilan seksio sesarea dilakukan dengan
pertimbangan pencegahan distosia bahu akibat perkembangan lebih lanjut ukuran janin dan
melihat usia gestasi yang sudah cukup bulan (40 minggu), kemudian perlu diingatkan
kembali semakin bertambahnya usia kehamilan diatas 40 minggu (posterm) dapat
meningkatkan morbiditas dan mortalitas ibu dan janin. Kekhawatiran utama melahirkan
bayi makrosomia adalah distosia bahu dan risiko kelumpuhan permanen pleksus brakialis

Berat badan lahirnya yang meningkat menjadi predisposisi distosia dan cedera
neonatalterutama termasuk fraktur klavikula dan cidera pleksus brakialis, dimana risiko
21
terbesar bayi berat badan 4500 g . Tingkat kematian janin meningkat untuk bayi dengan
berat> 5000 gram dalam persalinan vagina Boulet dkk..Tindakan dapat mengurangi risiko
kematian neonatal sebesar 15% untuk berat bayi > 5000 g.21 Meski ada konsensus tentang
klinis. Nilai ambang batas untuk pada makrosomia masih kontroversial antara 2 nilai, 4000
g dan 4500 g, sebagian besar studi merekomendasikan perkiraan berat badan janin lebih dari
22.23
5000 g sebagai ambang batas untuk pemilihan seksio sesarea , sedangkan lebih dari
4500 g biasanya disebut sebagai ambang batas kritis dalam praktik klinis.17 Menurut studi
tentang Langer dkk. dan Saleh dkk., distosia Risiko pada pasien diabetes meningkat dengan
berat lahir dari> 4250 g .18.19

3. Mengapa pasien ini terjadi gawat janin?


Pada pasien ini terdapat gangguan irama jantung janin, kesan pada hasil kardiotokografi
adalah deselerasi variabel . Pengertian gawat janin adalah keadaan hipoksia janin intrauterin
yang secara klinis bermanifestasi berupa perubahan frekuensi, irama dan kualitas denyut
jantung janin. 9

18
Patofisiologi
Afinitas terhadap oksigen, kadar hemoglobin, dan kapasitas angkut oksigen pada janin
lebih besar dibandingkan orang dewasa. Demikian juga halnya dengan curah jantung dan
kecepatan arus darah. Dengan demikian penyaluran oksigen melalui plasenta ke janin dan
jaringan perifer dapat terselenggara dengan relatif baik. Dalam kondisi normal jika pasokan
oksigen adekuat, glikolisis aerobik terjadi pada janin dan glikogen diubah menjadi asam piruvat
yang dioksidasi melalui siklus Kreb. Bila plasenta mengalami penurunan fungsi akibat dari
perfusi ruang intervili yang berkurang, maka penyaluran oksigen dan ekskresi CO2 akan
terganggu, sehingga menimbulkan hipoksia dimana saturasi oksigen turun di bawah 55%
(normal 65%), akan timbul glikolisis anaerobik, yang menghasilkan penumpukan asam laktat
dan piruvat sehingga timbul asidosis metabolik dan penurunan pH. Ion H+ pada awalnya
menstimulasi dan kemudian mendepresi sino-aurikuler node dan timbullah takikardia dan
bradikardia. Juga menstimulasi para simpatis yang menyebabkan hiperperistaltik dan relaksasi
spinkter anus sehingga keluarlah mekonium. Kekurangan oksigen yang terus menerus dapat
1,8,9
menyebabkan kematian janin.
Profil kardiovaskuler pada gawat janin
Pada gawat janin ringan, tekanan darah dan frekuensi denyut jantung janin sangat sedikit
atau tidak berubah, tetapi katekolamin mulai meningkat. Peningkatan katekolamin yang banyak
akan menyebabkan hipertensi dan frekuensi denyut jantung mulai menurun.5
Meskipun curah jantung tidak berubah pada hipoksemia sedang, tetapi distribusi curah
jantung mengalami peubahan. Resistensi vaskuler menurun pada otak, jantung dan glandula
adrenal janin. Sehingga aliran darah meningkat dan oksigen darah ke jantung, otak dan adrenal
menetap dan meningkat. Organ perifer dan splannikus seperti ginjal, usus, otot dan kulit
mengalami vasokontriksi sehingga meningkatkan alirah darah ke organ-organ vital. Ketika
hipoksia atau asfiksia lama, terjadi aliran darah seperti ini bertahan hingga terjadi asidemia
(asidosis). Akibat stres dan asidosis curah jantung menurun hingga menyebabkan bradikardi. 5
Etiologi
Etiologi dari gawat janin adalah :10,11
1. Maternal, yaitu kardiovaskular, hematologi, pulmologi, endokrin, solusio plasenta,
gangguan vaskular kolagen, agen infeksi, faktor lingkungan

19
2. uteroplasenta, yaitu hiperstimulasi uterus, hipertonus, takisistole, solusio plasenta, infark
plasenta, chorioamnionitis, perkembangan kongenital, ukuran /berat plasenta, usia
plasenta, tumor nontrofoblas plasenta, pembuluh darah plasenta patologi
3. Janin, yaitu oligohidramnion, prolap tali pusat.
Adapun janin yang beresiko tinggi untuk mengalami gawat janin adalah janin yang
pertumbuhannya terhambat, janin dari ibu yang menderita diabetes, janin preterm dan kehamilan
lewat waktu, janin dengan kelainan letak, janin dengan kelainan bawaan atau infeksi. Gawat
janin dalam persalinan dapat terjadi pada persalinan yang berlangsung lama, induksi persalinan
dengan oksitosin, ada perdarahan atau infeksi, insufisiensi pada postterm dan preeklampsia. 6
Gawat janin iatrogenik
Gawat janin iatrogenik adalah gawat janin yang timbul akibat tindakan medik atau
kelalaian penolong. Risiko dari praktek yang dilakukan telah mengungkapkan patofisiologi
gawat janin iatrogenik akibat dari pengalaman pemantauan jantung.
Kejadian yang dapat menimbulkan gawat janin iatrogenik adalah:
 Posisi tidur ibu
Posisi terlentang dapat menimbulkan tekanan pada aorta dan vena kava sehingga menimbulkan
hipotensi. Oksigenisasi dapat diperbaiki dengan perubahan posisi tidur menjadi miring ke kiri
atau semilateral.
 Infus oksitosin
Bila kontraksi uterus menjadi hipertonik atau sangat kerap, maka relaksasi uterus terganggu,
yang berarti penyaluran arus darah uterus mengalami hiperstimulasi. Pengawasan kontraksi
harus ditujukan agar kontraksi dapat timbul seperti kontraksi fisiologik.
 Anestesi epidural
Blokade sistem simpatik dapat berakibat penurunan arus darah vena, curah jantung dan
penyaluran darah uterus. Obat anestesi epidural dapat menimbulkan kelainan pada denyut
jantung janin yaitu berupa penurunan variabilitas, bahkan dapat terjadi deselerasi lambat.
Diperkirakan obat-obat tersebut mempunyai pengaruh terhadap otot jantung janin dan
vasokonstriksi arteri uterina. Obat-obat yang banyak mempengaruhi hal tersebut adalah
mepivacaine, lidocaine, sedangkan bupivacaine sedikit pengaruhnya. Chlorprocaine diduga
tidak mempengaruhi sama sekali.1

20
Gambaran Spesifik dari Gawat Janin (3)
Hipoksemia adalah penurunan tekanan oksigen dengan sedikit atau tanpa perubahan pH,
karbondioksida atau substrat metabolik, meskipun akhirnya pada hipoksemia dapat terjadi
asidosis metabolik. Hipoksemia ditandai dengan peningkatan vasopresin arginin, kortisol, opioid
endogen, aktivitas plasma renin, efinefrin dan norepinefrin.
Hipoksia sendiri juga menstimulasi aktivitas kemoreseptor perifer untuk mempengaruhi
sistem kardiovaskuler janin dengan 2 cara. Pertama, kerja kemoreseptor pada jalur reflek untuk
meningkatkan vagal dan menekan denyut jantung janin. Mekanisme ini menyebabkan deselerasi
lambat jantung janin yang mengalami distress. Kedua, stimulasi kemoreseptor menyebabkan
meningkatnya aktivitas simpatis dan menyebabkan hipertensi arterial dan redistribusi cardiac
output cepat terjadi. Peningkatan tekanan darah arterial menyebabkan bradikardi melalui
mekanisme baroreseptor.
Acidemia yaitu penurunan pH bisa terjadi pada keadaan lanjut dari gawat janin. Pada
hipoksemia hanya O2 yang mempengaruhi janin, tapi bila hipoksia makin memburuk
menyebabkan janin mengalami proses metabolisme anaerob yang menimbulkan asam laktat,
sehingga menyebabkan asidosis metabolik.
Efek kombinasi dari hipoksia dan asidemia mnyebabkan makin menurunnya denyut
jantung janin, peningkatan proses redistribusi curah jantung, dan peningkatan tekanan darah. 5
Diagnosis
Diagnosis gawat janin saat persalinan didasarkan pada denyut jantung janin yang
abnormal. Diagnosis lebih pasti jika disertai air ketuban hijau dan kental/ sedikit. Diagnosis
gawat janin dalam persalinan dapat diketahui dengan teknik pengawasan atau pemantauan
elektronik jantung janin dan teknik pemeriksaan darah janin. 1,6
Identifikasi gawat janin berdasarkan pola denyut jantung janin tidaklah tepat dan masih
kontroversi. Ahli dalam interpretasi pola denyut jantung janin juga selalu tidak sepakat antara
sesamanya. Pemantauan secara elektronik tidak lebih efektif dalam menurunkan angka skor
Apgar rendah saat lahir dan morbiditas neurologis jangka panjang. Ayres de Campos dkk (1999)
meneliti tentang ketidaksepakatan terhadap interpretasi pola denyut jantung janin berhubungan
dengan pola, apakah normal, suspicious atau patologis. 12

21
 JUMLAH GERAKAN JANIN
Persepsi maternal terhadap berkurangnya gerakan janin mungkin sebagai tanda
impending kematian janin. Penilaian ini tidak memerlukan biaya. Dengan tampilan yang
sistematik, terutama pada populasi risiko rendah dapat mendeteksi bahaya janin yang tidak
dicurigai.2
Terdapat beberapa teknik berbeda yang dipercayai pada penilaian maternal terhadap
gerakan janin. Tidak ada data yang menunjukkan salah satu teknik lebih superior,terdapat range
yang lebar waktu yang dibutuhkan dalam memonitor gerakan janin.
 Teknik Cardiff
Dimulai pada pukul 9 pagi, wanita harus berbaring atau duduk dan kosentrasi pada gerakan
janin. Gerakan ini harus dicatat berapa lama sampai berjumlah 10 gerakan janin. Pencatatan
ini harus ada pada saat kunjungan antenatal. Jika janin tidak bergerak 10 kali sampai pukul 9
malam, harus dilakukan penilaian lebih lanjut.
 Teknik Sadovsky
Selama satu jam setelah makan wanita harus berbaring, dan kosentrasi pada gerakan janin.
Empat gerakan harus dirasakan dalam satu jam. Jika empat gerakan tidak terasa dalam satu
jam, pasien harus dimonitor gerakan janinnya pada jam kedua. Bila setelah dua jam, empat
gerakan belum terasa, pasien harus melakukan penilaian lebih lanjut. Waktu test janin dan
jumlah gerakan harus dicatat dan terdapat dalam kunjugan antenatal.2,4, 13
 KARDIOTOKOGRAFI
Kardiotokografi (KTG) merupakan salah satu alat elektronik yang digunakan untuk
melakukan pemantauan kesejahteraan janin dalam rahim, melalui penilaian pola denyut jantung
janin dalam hubungannya dengan adanya kontraksi ataupun aktifitas janin dalam rahim.7
Cara pemantauan ini bisa dilakukan secara langsung (invasif/internal) yakni dengan alat
pemantau yang dimasukkan dalam rongga rahim menggunakan elektroda spiral untuk menilai
DJJ dan variabilitas serta kateter tekanan intrauterus yang berfungsi untuk menilai aktivitas
uterus dan tekanan intrauterus, atau secara tidak langsung (non invasif/eksternal) yakni dengan
alat yang dipasang pada dinding perut ibu untuk menilai DJJ dan aktivitas uterus. Pada saat ini
cara eksternal yang lebih populer karena bisa dilakukan selama antenatal ataupun intranatal,
praktis, aman, dengan nilai prediksi positif yang kurang lebih sama dengan cara internal yang
lebih invasif. 14

22
Mekanisme Pengaturan Denyut Jantung Janin

Seperti telah diketahui bahwa mekanisme pengaturan denyut jantung janin dipengaruhi
oleh beberapa faktor antara lain melalui:7,10,15
1. Sistem syaraf simpatis, yang sebagian besar berada didalam miokardium. Rangsangan syaraf
simpatis, misalnya dengan obat beta-adrenergic akan meningkatkan frekuensi denyut jantung
janin, menambah kekuatan kontraksi jantung dan meningkatkan volume curah jantung.
Dalam keadaan stress, sistim syaraf simpatis ini berfungsi mempertahankan aktivitas jantung.
Hambatan pada syaraf simpatis, misalnya dengan obat propanolol, akan menurunkan
frekuensi dan sedikit mengurangi variabilitas denyut jantung janin.
2. Sistem syaraf parasimpatis, yang terutama terdiri dari serabut n. vagus yang berasal dari
batang otak. Sistim syaraf ini akan mengatur nodus SA, VA dan neuron yang terletak
diantara atrium dan ventrikel jantung. Rangsangan n. vagus, misalnya dengan asetilkolin,
akan menurunkan frekuensi denyut jantung janin, sedangkan hambatan n. vagus, misalnya
dengan atropin, akan meningkatkan frekuensi denyut jantung janin.
3. Baroreseptor, yang letaknya pada arkus aorta dan sinus karotid. Bila tekanan meningkat
maka reseptor ini akan merangsang n. vagusdan n. glosofaringeus, yang akibatnya akan
terjadi penekanan aktivitas jantung yang berupa penurunan frekuensi denyut jantung janin.
4. Kemoreseptor, yang terdiri dari 2 bagian, yakni bagian perifer yang terletak di daerah karotid
dan korpus aorta serta bagian sentral yang terletak pada batang otak. Reseptor ini berfungsi
mengatur perubahan kadar O2 dan CO2 dalam darah serta cairan otak. Bila kadar O2
menurun dan CO2 meningkat, akan terjadi reflek dari reseptor sentral yang berupa takhikardi
dan peningkatan tekanan darah untuk memperlancar aliran darah meningkatkan kadar O2 dan
menurunkan kadar CO2. Keadaan hipoksia atau hiperkapnea akan mempengaruhi reseptor
perifer dan menimbulkan reflek bradikardi. Hasil interaksi dari kedua macam reseptor
tersebut akan menyebabkan bradikardi dan hipertensi.
5. Susunan syaraf pusat. Variabilitas denyut jantung janin akan meningkat sesuai dengan
aktivitas otak dan gerakan janin. Pada keadaan janin tidur , aktivitas otak menurun maka
variabilitas denyut jantung janin juga akan menurun. Rangsangn hipothalamus akan
menyebabkan takhikardi.

23
6. Sistim hormonal juga berperan dalam pengaturan denyut jantung janin. Pada keadaan stres,
misalnya asfiksia, maka medula adrenal akan mengeluarkan epinefrin dan nor-epinefrin
dengan akibat takhikardi, peningkatan kekuatan kontraksi jantung dan tekanan darah.

gambar 1. Faktor yang mempengaruhi denyut jantung janin15

Karakteristik Gambaran Denyut Jantung Janin7


Gambaran denyut jantung janin dalam pemeriksaan kardiotokografi ada dua macam :
1. Denyut jantung janin basal (Basal fetal heart rate), yakni frekuensi dasar (baseline rate) dan
variabilitas (variability) denyut jantung janin saat uterus dalam keadaan istirahat (relaksasi).
2. Perubahan periodik (reactivity), merupakan perubahan denyut jantung janin yang terjadi saat
ada gerakan janin atau kontraksi uterus.

Pembahasan
Pada pasien ini terdapat gangguan irama jantung janin, kesan pada hasil kardiotokografi adalah
deselerasi variabel

24
Deselerasi 7,10,13,15
Merupakan respon parasimpatis ( n. vagus ) melalui reseptor-reseptor (baroreseptor /
kemoreseptor) sehingga menyebabkan penurunan frekuensi denyut jantung janin.
a. Deselerasi variabel.7,10,13,15
Ciri-ciri deselerasi variabel ini adalah :
- Gambaran deselerasi yang bervariasi, baik saat timbulnya, lamanya, amplitudo dan
bentuknya.
- Saat dimulai dan berakhirnya deselerasi terjadi dengan cepat dan penurunan frekuensi
dasar denyut jantung janin (amplitudo) bisa sampai 60 dpm.
- Biasanya terjadi akselerasi sebelum (akselerasi pra deselerasi) atau sesudah
(akselerasi pasca deselerasi) terjadinya deselerasi
- Deselerasi variabel dianggap berat apabila memenuhi rule of sixty yaitu deselerasi
mencapai 60 dpm atau lebih dibawah frekuensi dasar denyut jantung janin dan
lamanya deselerasi lebih dari 60 detik.
- Bila terjadi deselerasi variabel yang berulang terlalu sering atau deselerasi variabel
yang memanjang (prolonged) harus waspada terhadap kemungkinan terjadinya
hipoksia janin yang berlanjut.
Deselerasi variabel dapat timbul bersamaan atau tanpa takisistole. Bila deselerasi variabel
timbul disertai peningkatan frekuensi denyut jantung basal dan penurunan variabilitas maka janin
dalam keadaan gawat.7

Deselerasi variabel ini sering terjadi akibat penekanan tali pusat pada masa hamil atau
kala I. Penekanan tali pusat ini bisa oleh karena lilitan tali pusat, tali pusat menumbung atau
jumlah air ketuban berkurang (oligohidramnion). Selama variabilitas denyut jantung janin masih
baik, biasanya janin tidak mengalami hipoksia yang berarti (lihat skema 2.). Penanganan yang
dianjurkan pada keadaan ini adalah perubahan posisi ibu, reposisi tali pusat bila ditemukan
adanya tali pusat terkemuka atau menumbung, pemberian oksigen pada ibu, amnio-infusion
untuk mengatasi oligohidramnion bila memungkinkan dan terminasi persalinan bila diperlukan.7
Deselerasi variabel tidak berbahaya bila timbul dan menghilangnya deselerasi variabel
berlangsung cepat, variabilitas DJJ masih normal, terdapat akselerasi DJJ pada saat deselerasi.
Derajat beratnya deselerasi variabel :15
• Derajat ringan: - penurunan DJJ tidak mencapai 80 dpm.

25
- lamanya < 30 detik.
• Derajat sedang: - penurunan DJJ mencapai 70 - 80dpm.
- lamanya 30 – 60 detik.
• Derajat berat : - penurunan DJJ sampai di bawah 70 dpm.
- lamanya > 60 detik.

Gambar.5. Deselerasi variabel

Kontraksi Uterus

Penekanan arteri tali pusat

Hipertensi janin Hipoksia janin

Baroreseptor Kemoreseptor

Rangsangan vagus Hipoksi miokard

Deselerasi variabel

Skema 2. Mekanisme terjadinya deselerasi variabel akibat penekanan tali pusat.7

b. Deselerasi dini.
Ciri-ciri deselerasi dini adalah :

26
 Timbul dan menghilangnya bersamaan / sesuai dengan kontraksi uterus. Gambaran
deselerasi ini seolah merupakan cermin kontraksi uterus.
 Penurunan amplitudo tidak lebih dari 20 dpm.
 Lamanya deselerasi kurang dari 90 detik.
 Frekuensi dasar dan variabilitas masih normal.
Deselerasi dini sering terjadi pada persalinan normal / fisiologis dimana terjadi kontraksi
uterus yang periodik dan normal. Deselerasi saat ini disebabkan oleh penekanan kepala janin
oleh jalan lahir yang mengakibatkan hipoksia dan merangsang refleks vagal.(lihat skema1)

Kontraksi Uterus

Tekanan kepala janin

Aliran darah ke otak berkurang

Rangsangan Vagus

Deselerasi Dini

Skema 1. Mekanisme terjadinya deselerasi dini oleh karena tekanan kepala janin

Gambar. 4. Deselerasi dini.7

27
c. Deselerasi lambat.7,10,13,15
Deselerasi lambat merupakan petunjuk adanya gangguan transport nutrisi fetomaternal.

Deselerasi lambat timbul bersamaan dengan penurunan variabilitas pada insufisiensi kronis

seperti preeklamsia, diabetes melitus dan PJT.

Ciri-ciri deselerasi lambat adalah :


 Timbulnya sekitar 20-30 detik setelah kontraksi uterus dimulai.
 Berakhirnya sekitar 20-30 detik setelah kontraksi uterus menghilang.
 Lamanya kurang dari 90 detik (rata-rata 40-60 detik).
 Timbul berulang pada setiap kontraksi, dan beratnya sesuai dengan intensitas kontraksi
uterus.
 Frekuensi dasar denyut jantung janin biasanya normal atau takhikardi ringan. Akan tetapi
pada keadaan hipoksia yang berat bisa bradikardi.

Adapun deselerasi lambat dapat terjadi pada beberapa keadaan yang pada dasarnya
semuanya bersifat patologis. Penurunan aliran darah pada sirkulasi ibu akan menyebabkan janin
mengalami hipoksia. Apabila janin masih mempunyai cadangan O2 yang mencukupi dan masih
mampu mengadakan kompensasi ke dan tersebut maka tidak tampak adanya gangguan pada
gambaran kardiotokografi selama tidak ada stres yang lain. Bila terjadi kontraksi uterus , maka
aliran darah ke plasenta akan semakin berkurang dan akan memperberat keadaan hipoksia janin.
Keadaan terakhir ini akan menyebabkan rangsangan pada kemoreseptor dan n. vagus dan
terjadilah deselerasi lambat tersebut. Jarak waktu antara timbulnya kontraksi dan terjadinya
deselerasi sesuai dengan waktu yang diperlukan untuk rangsangan kemoreseptor dan n. vagus.
Pada fase awal, dimana tingkat hipoksia belum sampai menyebabkan hipoksia otak dan tubuh
masih mampu mengadakan kompensasi untuk mempertahankan sirkulasi otak, variabilitas
denyut jantung janin biasanya masih normal. Akan tetapi bila keadaan hipoksia makin berat atau
berlangsung lebih lama maka jaringan otak akan mengalami hipoksia dan otot jantung pun
mengalami depresi oleh karena hipoksia, sebagai akibatnya adalah variabilitas denyut jantung
janin akan menurun dan akhirnya menghilang sebelum janin akhirnya mati dalam rahim.7

28
Kontraksi uterus

Insufisiensi utero-plasenta

Kemoreseptor

A A
S Respon adrenergik S
I I
D Depresi D
O miokard Hipertensi janin O
S S
I I
S Baroreseptor S
(+) (-)

Respon parasimpatis

Deselerasi lambat

Skema 3. Mekanisme terjadinya deselerasi lambat oleh karena insufisiensi utero-plasental.7

Gambar. 6. Deselerasi lambat dengan variabilitas normal.

Gambar. 7. Deselerasi lambat dengan variabilitas rendah.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Wiknjosastro GH. Gawat Janin. Ilmu Bedah Kebidanan. Editor Wiknjosastro H et al.
Edisi Pertama, Cetakan kelima. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta
2000: 52 – 60
2. Figueroa R. Antepartum Fetal Monitoring. Withrop University Hospital.
3. Di Guiseppi C. Intrapartum Electronic Fetal Monitoring.In Periodic Health Examination.
Canadian Task Force; 443-441
4. Davies G.A.L. Antenatal Fetal Assessment. Journal SOGC Cinical Practice Guidelines,
Canada 2000.
5. Recee EA. Fetal Cardiovaskuler physiology under normal and stress condition in
Medicine of the fetus and mother, JB Lippincott Co. Philadelphia. 1992 : 136 – 38
6. Saifuddin AB. Gawat Janin. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal, edisi pertama cetakan kedua 2001.JNPKKR POGI – Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawiroharjo, Jakarta 2001, 334
7. Abadi A. Kardiotokografi Janin. Ilmu Kedokteran Fetomaternal. R Hariadi. Edisi
perdana. Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI. Surabaya, 2004
8. Dastur AE. Intrapartum fetal distress. J Obstet Gynecol India Vol. 55, No. 2 :
March/April 2005
9. Dutta DC. Fetal Distress. Textbook of Obstetric. 5 th ed. New Central book Agency.
Calcuta. 1998. 38 : 654 -45
10. Turnell RW. Fetal Heart Rate Monitoring, NST,BPP,and Monitoring in Labour. Fetal
Health Surveillance, 2004
11. Endjun JJ. Clinical Application of Cardiotocography. Fetomaternal Division, Jakarta
2006
12. The Use of elektronic fetal monitoring : The use and interpretation of cardiotocography
in intrapartum fetal surveillance( Guideline C-html) May 2001.
13. Harman CR. Assessment of Fetal Health. In Maternal-Fetal Medicine. Ed 5th. Elsevier
Inc USA, Philadelphia 2004, 357-403

30
14. Tucker SM. Pemantauan dan Pengkajian Janin. Edisi 4. Penerbit Buku Kedokteran EGC,
2005
15. Endjun JJ. Basic Cardiotocography. Fetomaternal Division, Jakarta 2006
16. Cunningham FG. Intrapartum Assessment. In William Obstetrics. Mc Graw Hill
Companies,Inc, US 2013 .443-472
17. McFarland LV, Raskin M, Daling JR, Benedetti TJ. Erb/ Duchenne’s palsy: a
consequence of fetal macrosomia and method of delivery. Obstet Gynecol 1986; 68: 784-
8.
18. Langer O, Berkus MD, Huff RW, Samueloff A. Shoulder dystocia: should the fetus
weighing greater than or equal to 4000 grams be delivered by cesarean section? Am J
Obstet Gynecol 1991; 165: 831-7.
19. Saleh A, Al-Sultan SM, Moria AM, Rakaf FI, Turkistani YM, Al-Onazi SH. Fetal
macrosomia greater than or equal to 4000 grams. Comparing maternal and neonatal
outcomes in diabetic and nondiabetic women. Saudi Med J 2008; 29: 1463- 9.
20. Herbst MA. Treatment of suspected fetal macrosomia: a costeff ectiveness analysis. Am J
Obstet Gynecol 2005; 193: 1035-9.
21. Boulet SL, Salihu HM, Alexander GR. Mode of delivery and the survival of macrosomic
infants in the United States, 1995- 1999. Birth 2006; 33: 278-83.
22. Walsh CA, Mahony RT, Foley ME, Daly L, O’Herlihy C. Recurrence of fetal
macrosomia in non-diabetic pregnancies. J Obstet Gynaecol 2007; 27: 374-8.
23. Boulet SL, Salihu HM, Alexander GR. Mode of delivery and birth outcomes of
macrosomic infants. J Obstet Gynaecol 2004; 24: 622-9.

31

You might also like