Professional Documents
Culture Documents
B. Defenisi
SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisystem yang
disebabkan oleh banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan
dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa
peningkatan sistem imun dan produksi autoantibodi yang
berlebihan (Albar, 2003).
Terbentuknya autoantibodi terhadap dsDNA, berbagai macam
ribonukleoprotein intraseluler, sel-sel darah, dan fosfolipid dapat
menyebabkan kerusakan jaringan (Albar, 2003) melalui mekanisme
pengaktivan komplemen (Epstein, 1998).
Penyakit lupus merupakan penyakit sistem daya tahan, atau
penyakit auto imun, dimana tubuh pasien lupus membentuk antibodi yang
salah arah, merusak organ tubuh sendiri, seperti ginjal, hati, sendi, sel darah
merah, leukosit, atau trombosit. Antibodi seharusnya ditujukan untuk melawan
bakteri ataupun virus yang masuk ke dalam tubuh.
C. Klasisifikasi SLE
Penyakit Lupus dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu discoid
lupus, systemic lupus erythematosus, dan lupus yang diinduksi oleh obat.
Discoid Lupus
Lesi berbentuk lingkaran atau cakram dan ditandai oleh batas
eritema yang meninggi, skuama, sumbatan folikuler, dan telangiektasia.
Lesi ini timbul di kulit kepala, telinga, wajah, lengan, punggung, dan
dada. Penyakit ini dapat menimbulkan kecacatan karena lesi ini
memperlihatkan atrofi dan jaringan parut di bagian tengahnya serta
hilangnya apendiks kulit secara menetap (Hahn, 2005).
Systemic Lupus Erythematosus
SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang
disebabkan oleh banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan
dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa
peningkatan sistem imun dan produksi autoantibodi yang berlebihan
(Albar, 2003). Terbentuknya autoantibodi terhadap dsDNA, berbagai
macam ribonukleoprotein intraseluler, sel-sel darah, dan fosfolipid dapat
menyebabkan kerusakan jaringan (Albar, 2003) melalui mekanime
pengaktivan komplemen (Epstein, 1998).
Lupus yang diinduksi oleh obat
Lupus yang disebabkan oleh induksi obat tertentu khususnya pada
asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi
obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga
memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal
ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk
kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing
tersebut (Herfindal et al., 2000).
D. Etiologi
Hingga kini faktor yang merangsang sistem pertahanan diri untuk
menjadi tidak normal belum diketahui. Ada kemungkinan faktor genetik,
kuman, virus, sinar ultraviolet, dan obat-obatan tertentu.
Penyakit Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) ini lebih kerap ditemui
di kalangan kaum wanita. Ini menunjukkan bahwa hormon yang terdapat pada
wanita mempunyai peranan besar, walau bagaimanapun perkaitan antara
Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) dan hormon wanita saat ini masih dalam
kajian. Penyakit Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) bukanlah suatu
penyakit keturunan. Walau bagaimanapun, mewarisi gabungan gen tertentu
meningkatkan lagi risiko seseorang itu mengidap penyakit Sistemik Lupus
Erythematosus (SLE).
Faktor genetik mempunyai peranan yang sangat penting dalam
kerentanan dan ekspresi penyakit SLE. Sekitar 10% – 20% pasien SLE
mempunyai kerabat dekat (first degree relative) yang menderita SLE. Angka
kejadian SLE pada saudara kembar identik (24-69%) lebih tinggi daripada
saudara kembar non-identik (2-9%). Penelitian terakhir menunjukkan bahwa
banyak gen yang berperan antara lain haplotip MHC terutama HLA-DR2 dan
HLA-DR3, komponen komplemen yang berperan pada fase awal reaksi
pengikatan komplemen yaitu C1q, C1r, C1s, C3, C4, dan C2, serta gen-gen
yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin, dan sitokin (Albar, 2003) .
Faktor lingkungan yang menyebabkan timbulnya SLE yaitu sinar UV
yang mengubah struktur DNA di daerah yang terpapar sehingga menyebabkan
perubahan sistem imun di daerah tersebut serta menginduksi apoptosis dari sel
keratonosit. SLE juga dapat diinduksi oleh obat tertentu khususnya pada
asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat
menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan
kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon
sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi
antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut (Herfindal et al.,
2000). Makanan seperti wijen (alfafa sprouts) yang mengandung asam amino
L-cannavine dapat mengurangi respon dari sel limfosit T dan B sehingga dapat
menyebabkan SLE (Delafuente, 2002).
Selain itu infeksi virus dan bakteri juga menyebabkan perubahan pada
sistem imun dengan mekanisme menyebabkan peningkatan antibodi antiviral
sehingga mengaktivasi sel B limfosit nonspesifik yang akan memicu
terjadinya SLE (Herfindal et al., 2000).
E. Patofis (Patofisiologis)
F. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik secara umum yang sering timbul pada pasien SLE
adalah rasa lelah, malaise, demam, penurunan nafsu makan, dan penurunan
berat badan (Hahn, 2005). Gejala muskuloskeletal berupa artritis, atralgia, dan
mialgia umumnya timbul mendahului gejala yang lain. Yang paling sering
terkena adalah sendi interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut, pergelangan
tangan, metakarpofalangeal, siku, dan pergelangan kaki (Delafuente, 2002).
Gejala di kulit dapat berupa timbulnya ruam kulit yang khas dan
banyak menolong dalam mengarahkan diagnosa SLE yaitu ruam kulit
berbentuk kupu-kupu (butterfly rash) berupa eritema yang agak edematus pada
hidung dan kedua pipi. Dengan pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat
sembuh tanpa bekas. Pada bagian tubuh yang terkena sinar matahari dapat
timbul ruam kulit yang terjadi karena hipersensitivitas (photohypersensitivity).
Lesi cakram terjadi pada 10% – 20% pasien SLE. Gejala lain yang timbul
adalah vaskulitis eritema periungual, livido retikularis, alopesia, ulserasi, dan
fenomena Raynaud (Delafuente, 2002).
Gejala SLE pada jantung sering ditandai adanya perikarditis,
miokarditis, gangguan katup jantung (biasanya aorta atau mitral) termasuk
gejala endokarditis Libman-Sachs. Penyakit jantung pada pasien umumnya
dipengaruhi oleh banyak faktor seperti hipertensi, kegemukan, dan
hiperlipidemia. Terapi dengan kortikosteroid dan adanya penyakit ginjal juga
dapat meningkatkan resiko penyakit jantung pada pasien SLE (Delafuente,
2002).
Gejala lain yang juga sering timbul adalah gejala pada paru yang
meliputi pleuritis dan efusi pleura. Pneumonitis lupus menyebabkan demam,
sesak napas, dan batuk. Gejala pada paru ini jarang terjadi namun mempunyai
angka mortalitas yang tinggi. Nyeri abdomen terjadi pada 25% kasus SLE.
Gejala saluran pencernaan (gastrointestinal) lain yang sering timbul adalah
mual, diare, dan dispepsia. Selain itu dapat pula terjadi vaskulitis, perforasi
usus, pankreatitis, dan hepatosplenomegali (Delafuente, 2002).
Gejala SLE pada susunan saraf yaitu terjadinya neuropati perifer
berupa gangguan sensorik dan motorik yang umumnya bersifat sementara
(Albar,2003). Gejala lain yang juga timbul adalah disfungsi kognitif, psikosis,
depresi, kejang, dan stroke (Delafuente, 2002).
Gejala hematologik umumnya adalah anemia yang terjadi akibat
inflamasi kronik pada sebagian besar pasien saat lupusnya aktif. Pada pasien
dengan uji Coombs-nya positif dapat mengalami anemia hemolitik.
Leukopenia (biasanya limfopenia) sering ditemukan tetapi tidak memerlukan
terapi dan jarang kambuh. Trombositopenia ringan sering terjadi, sedangkan
trombositopenia berat disertai perdarahan dan purpura terjadi pada 5% pasien
dan harus diterapi dengan glukokortikoid dosis tinggi. Perbaikan jangka
pendek dapat dicapai dengan pemberian gamaglobulin intravena. Bila hitung
trombosit tidak dapat mencapai kadar yang memuaskan dalam 2 minggu, harus
dipertimbangkan tindakan splenektomi (Delafuente, 2002).
Antikoagulan lupus (AL) termasuk dalam golongan antibodi
antifosfolipid. Antikoagulan ini diketahui berdasarkan perpanjangan waktu
tromboplastin parsial (PTT) dan kegagalan penambahan plasma normal untuk
memperbaiki perpanjangan waktu tersebut. Antibodi terhadap kardiolipin
(aCL) dideteksi dengan pemeriksaan ELISA. Manifestasi klinis AL dan aCL
adalah trombositopenia, pembekuan darah pada vena atau arteri yang
berulang, keguguran berulang, dan penyakit katup jantung. Bila AL disertai
dengan hipoprotombinemia atau trombositopenia, maka dapat
terjadi perdarahan.
Yang lebih jarang timbul adalah antibodi terhadap faktor pembekuan
(VIII, IX); adanya antibodi tersebut tidak dapat menyebabkan pembekuan
darah sehingga perdarahan terjadi terus-menerus (Hahn, 2005). Pada wanita
dengan SLE yang mengalami kehamilan maka dikhawatirkan akan
mempercepat penyebaran penyakit selama kehamilan dan pada periode awal
setelah melahirkan. Selain itu juga dapat terjadi aborsi secara spontan atau
kelahiran prematur. Kemungkinan terjadinya preeklamsia atau hipertensi
yang disebabkan kehamilan juga dapat memperparah penyakitnya
(Delafuente, 2002). Gejala klinik pada kerusakan ginjal dapat dilihat dari
tingginya serum kreatinin atau adanya proteinuria. Penyakit ginjal pada pasien
SLE sering disebut lupus nefritis. Menurut WHO, lupus nefritis dapat dibagi
menjadi beberapa kelompok berdasarkan biopsi ginjalnya yaitu kelas I
(normal/minimal mesangial), kelas II (mesangial), kelas III (focal
proliferative), kelas IV (diffuse proliferative), dan kelas V (membranous
glomerulonephritis). Selama perjalanan penyakit pasien dapat mengalami
progesivitas dari satu kelas ke kelas yang lain. Pada pasien dengan lupus
nefritis terutama ras Afrika – Amerika dapat terjadi peningkatan serum
kreatinin, penurunan respon terhadap obat-obat imunosupresan, hipertensi,
dan sindrom nefrotik yang persisten (Delafuente, 2002).
Tanda atau gejala lainnya dari SLE telah dinyatakan oleh “American
College of Rheumatology” yaitu 11 kriteria untuk klasifikasi SLE. Kesebelas
kriteria tersebut antara lain:
Ruam malar
Ruam discoid
Fotosensitivitas (sensitivitas pada cahaya)
Ulserasi (semacam luka) di mulut atau nasofaring
Artritis
Serositis (radang membran serosa), yaitu pleuritis (radang pleura) atau
perikarditis (radang perikardium)
Kelainan ginjal, yaitu proteinuria (adanya protein pada urin) persisten >0.5
gr/hari
Kelainan neurologik, yaitu kejang-kejang
Kelainan hematologik, yaitu anemia hemolitik atau leucopenia
Kelainan imunologik, yaitu ditemukan adanya sel LE positif atau anti
DNA positif
Adanya antibodi antinuklear.
Selain itu, gejala atau tanda lainnya yang sering ditemukan antara
lain penurunan berat badan, demam, dan kelainan tulang seperti pada arthritis.
G. Komplikasi
Vaskulitis : kondisi peradangan pembuluh darah yang ditandai dengan
kematian jaringan, jaringan parut, dan proliferasi dari dinding pembuluh
darah, yang dapat mengakibatkan penyumbatan pembuluh darah.
Perikarditis : suatu kondisi medis yang ditandai dengan peradangan pada
perikardium (kantung berlapis ganda yang mengelilingi jantung).
Myocarditis : peradangan pada otot jantung atau miokardium.
Anemia Hemolitik : kurangnya kadar hemoglobin akibat kerusakan pada
eritrosit yang lebih cepat daripada kemampuan sumsum tulang untuk
menggantinya kembali.
Intra Vaskuler Trombosis
Hypertensi
Kerusakan Ginjal Permanen
Gangguan Pertumbuhan
Keperawatan
Diet
Restriksi diet ditentukan oleh terapi yang diberikan. Sebagian besar
pasien memerlukan kortikosteroid, dan saat itu diet yang diperbolehkan
adalah yang mengandung cukup kalsium, rendah lemak, dan rendah
garam. Pasien disarankan berhati-hati dengan suplemen makanan dan
obat tradisional.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1. Identitas
a. Penyakit Lupus Eritematosus Sistemik bisa terjadi pada wanita maupun
pria, namun penyakit ini sering diderita oleh wanita, dengan
perbandingan wanita dan pria 8 : 1.
b. Biasa ditemukan pada ras-ras tertentu seperti Negro, Cina, dan Filiphina.
c. Lebih sering pada usia 20-40 tahun, yaitu pada usia produktif.
d. Faktor ekonomi dan geografis tidak mempengaruhi distribusi penyakit
ini.
2. Keluhan Utama
Pada umumnya pasien mengeluh mudah lelah, lemah, nyeri, kaku,
demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta
citra diri pasien.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Perlu dikaji tentang riwayat penyakit dahulu, apakah pernah menderita
penyakit ginjal atau manifestasi SLE yang serius, atau penyakit autoimun
yang lain.
4. Riwayat Penyakit Sekarang
a. Perlu dikaji yaitu gejala apa yang pernah dialami pasien (misalnya ruam
malar-fotosensitif, ruam diskoid-bintik-bintik eritematosa menimbul,
Artralgia/arthritis, demam, kelelahan, nyeri dada pleuritik, perikarditis,
bengkak pada pergelangan kaki, kejang, ulkus dimulut.
b. Mulai kapan keluhan dirasakan.
c. Faktor yang memperberat atau memperingan serangan.
d. keluhan-keluhan lain yang menyertai.
5. Riwayat Pengobatan
Kaji apakah pasien mendapat terapi dengan Klorpromazin, metildopa,
hidralasin, prokainamid, dan isoniazid, dilantin, penisilamin, dan kuinidin.
6. Riwayat Penyakit Keluarga
Perlu dikaji apakah dalam keluarga ada yang pernah mengalami penyakit
yang sama atau penyakit autoimun yang lain.
7. Pemeriksaan Fisik
Dikaji secara sistematis
B1 ( Breath )
Irama dan kecepatan nafas, kesimetrisan pergerakan nafas, penggunaan otot
nafas tambahan, sesak, suara nafas tambahan (rales, ronchii), nyeri saat
inspirasi, produksi sputum, reaksi alergi . Patut dicurigai terjadi pleuritis
atau efusi pleura. .
B2 ( Blood )
Tanda-tanda vital, apakah ada nyeri dada, suara jantung ( S1,S2,S3), bunyi
systolic click ( ejeksi click pulmonal dan aorta ), bunyi mur-mur. Friction
rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura.
Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan
gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan
permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan
B3 ( Brain )
Mengukur tingkat kesadaran ( efek dari hipoksia ) Glasgow Coma Scale
secara kuantitatif dan respon otak ; compos mentis sampai coma (kualitatif),
orientasi klien. Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan
kejang-kejang
B4 ( Bladder )
Pengukuran urine tampung ( menilai fungsi ginjal ), warna urine
(menilai filtrasi glomelorus),
B5 ( Bowel )
Pola makan, nafsu makan, muntah, diare, berat badan dan tinggi badan.,
turgor kulit. Nyeri perut, nyeri tekan, apakah ada hepatomegali, pembesaran
limpa.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
kerusakan integritas kulit berhubungan dengan proses penyakit.
Nyeri berhubungan dengan inflamasi atau kerusakan jaringan.
Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan pada penampilan fisik.
Resiko infeksi berhubungan dengan kerusakan kulit, leukopenia, penurunan
hemoglobin
Intoleransi aktivitas fisik berhubungan dengan kelemahan atau keletihan
akibat anemia.
C. INTERVENSI
DAFTAR PUSTAKA