You are on page 1of 19

KONSEP TEORI

A. Anatomi dan Fisiologi Organ


Sistem Imun (bahasa Inggris: immune system) adalah sistem
pertahanan manusia sebagai perlindungan terhadap infeksi dari makromolekul
asing atau serangan organisme, termasuk virus, bakteri, protozoa dan parasit.
Sistem imun terdiri dari ratusan mekanisme dan proses yang berbeda
yang semuanya siap bertindak begitu tubuh kita diserang oleh berbagai bibit
penyakit seperti virus, bakteri, mikroba, parasit dan polutan. Sebagai contoh
adalah cytokines yang mengarahkan sel-sel imun ke tempat infeksi, untuk
melakukan proses penyembuhan.
Organ –Organ dalam Sistem Imun (Organ Limfoid) :
Berdasarkan fungsinya :
1. Organ Limfoid Primer : organ yang terlibat dalam sintesis/ produksi sel
imun, yaitu kelenjar timus dan susmsum tulang.
2. Organ Limfoid Sekunder : organ yang berfungsi sebagai tempat
berlangsungnya proses-proses reaksi imun. Misalnya : nodus limfe, limpa,
the loose clusters of follicles, peyer patches, MALT (Mucosa Assosiated
Lymphoid Tissue), tonsil.

B. Defenisi
SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisystem yang
disebabkan oleh banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan
dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa
peningkatan sistem imun dan produksi autoantibodi yang
berlebihan (Albar, 2003).
Terbentuknya autoantibodi terhadap dsDNA, berbagai macam
ribonukleoprotein intraseluler, sel-sel darah, dan fosfolipid dapat
menyebabkan kerusakan jaringan (Albar, 2003) melalui mekanisme
pengaktivan komplemen (Epstein, 1998).
Penyakit lupus merupakan penyakit sistem daya tahan, atau
penyakit auto imun, dimana tubuh pasien lupus membentuk antibodi yang
salah arah, merusak organ tubuh sendiri, seperti ginjal, hati, sendi, sel darah
merah, leukosit, atau trombosit. Antibodi seharusnya ditujukan untuk melawan
bakteri ataupun virus yang masuk ke dalam tubuh.

C. Klasisifikasi SLE
Penyakit Lupus dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu discoid
lupus, systemic lupus erythematosus, dan lupus yang diinduksi oleh obat.
 Discoid Lupus
Lesi berbentuk lingkaran atau cakram dan ditandai oleh batas
eritema yang meninggi, skuama, sumbatan folikuler, dan telangiektasia.
Lesi ini timbul di kulit kepala, telinga, wajah, lengan, punggung, dan
dada. Penyakit ini dapat menimbulkan kecacatan karena lesi ini
memperlihatkan atrofi dan jaringan parut di bagian tengahnya serta
hilangnya apendiks kulit secara menetap (Hahn, 2005).
 Systemic Lupus Erythematosus
SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang
disebabkan oleh banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan
dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa
peningkatan sistem imun dan produksi autoantibodi yang berlebihan
(Albar, 2003). Terbentuknya autoantibodi terhadap dsDNA, berbagai
macam ribonukleoprotein intraseluler, sel-sel darah, dan fosfolipid dapat
menyebabkan kerusakan jaringan (Albar, 2003) melalui mekanime
pengaktivan komplemen (Epstein, 1998).
 Lupus yang diinduksi oleh obat
Lupus yang disebabkan oleh induksi obat tertentu khususnya pada
asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi
obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga
memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal
ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk
kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing
tersebut (Herfindal et al., 2000).

D. Etiologi
Hingga kini faktor yang merangsang sistem pertahanan diri untuk
menjadi tidak normal belum diketahui. Ada kemungkinan faktor genetik,
kuman, virus, sinar ultraviolet, dan obat-obatan tertentu.
Penyakit Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) ini lebih kerap ditemui
di kalangan kaum wanita. Ini menunjukkan bahwa hormon yang terdapat pada
wanita mempunyai peranan besar, walau bagaimanapun perkaitan antara
Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) dan hormon wanita saat ini masih dalam
kajian. Penyakit Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) bukanlah suatu
penyakit keturunan. Walau bagaimanapun, mewarisi gabungan gen tertentu
meningkatkan lagi risiko seseorang itu mengidap penyakit Sistemik Lupus
Erythematosus (SLE).
Faktor genetik mempunyai peranan yang sangat penting dalam
kerentanan dan ekspresi penyakit SLE. Sekitar 10% – 20% pasien SLE
mempunyai kerabat dekat (first degree relative) yang menderita SLE. Angka
kejadian SLE pada saudara kembar identik (24-69%) lebih tinggi daripada
saudara kembar non-identik (2-9%). Penelitian terakhir menunjukkan bahwa
banyak gen yang berperan antara lain haplotip MHC terutama HLA-DR2 dan
HLA-DR3, komponen komplemen yang berperan pada fase awal reaksi
pengikatan komplemen yaitu C1q, C1r, C1s, C3, C4, dan C2, serta gen-gen
yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin, dan sitokin (Albar, 2003) .
Faktor lingkungan yang menyebabkan timbulnya SLE yaitu sinar UV
yang mengubah struktur DNA di daerah yang terpapar sehingga menyebabkan
perubahan sistem imun di daerah tersebut serta menginduksi apoptosis dari sel
keratonosit. SLE juga dapat diinduksi oleh obat tertentu khususnya pada
asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat
menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan
kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon
sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi
antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut (Herfindal et al.,
2000). Makanan seperti wijen (alfafa sprouts) yang mengandung asam amino
L-cannavine dapat mengurangi respon dari sel limfosit T dan B sehingga dapat
menyebabkan SLE (Delafuente, 2002).
Selain itu infeksi virus dan bakteri juga menyebabkan perubahan pada
sistem imun dengan mekanisme menyebabkan peningkatan antibodi antiviral
sehingga mengaktivasi sel B limfosit nonspesifik yang akan memicu
terjadinya SLE (Herfindal et al., 2000).

E. Patofis (Patofisiologis)

Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang


menyebabkan peningkatan autoimun yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini
ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana
terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan
lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti
hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat
antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam
penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-obatan. .
Patofiologi penyakit SLE dihipotesiskan sebagai berikut : adanya satu atau
beberapa faktor pemicu yang tepat pada individu yang mempunyai predisposisi
genetik akan menghasilkan tenaga pendorong abnormal terhadap sel TCD 4+,
mengakibatkan hilangnya toleransi sel T terhadap sel-antigen.
Sebagai akibatnya munculah sel T autoreaktif yang akan menyebabkan
induksi serta ekspansi sel B, baik yangmemproduksi autoantibodi maupun yang
berupa sel memori. Ujud pemicu ini masih belum jelas. Sebagian dari yang diduga
termasuk didalamnya ialah hormon seks, sinar ultraviolet dan berbagai macam
infeksi.
Pada SLE, autoantibodi yang terbentuk ditujukan terhadap antigen yang
terutamaterletak pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein
histon dan non histon.Kebanyakan diantaranya dalam keadaan alamiah terdapat
dalam bentuk agregat protein dan atau kompleks protein RNA yang disebut partikel
ribonukleoprotein (RNA). Ciri khas autoantigen ini ialah bahwa mereka tidak
tissue-spesific dan merupakan komponen integral semua jenis sel.Antibodi ini
secara bersama-sama disebut ANA (anti-nuclear antibody). Dengan antigennya
yang spesifik, ANA membentuk kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi.
Telah ditunjukkan bahwa penanganan kompleks imun pada SLE terganggu. Dapat
berupa gangguan klirens kompleks imun besar yang larut, gangguan pemprosesan
kompleks imun dalam hati, dan penurun Uptake kompleks imun pada limpa.
Gangguan-gangguan ini memungkinkan terbentuknya deposit kompleks
imun di luar sistem fagosit mononuklear. Kompleks imun ini akan mengendap pada
berbagai macam organ dengan akibat terjadinya fiksasi komplemen pada organ
tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan
substansi penyebab timbulnya reaksi radang. Reaksi radang inilah
yangmenyebabkan timbulnya keluhan/ gejala pada organ atau tempat yang
bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit dan sebagainya.
Bagian yang penting dalam patofisiologi ini ialah terganggunya mekanisme
regulasi yang dalam keadaan normal mencegah autoimunitas patologis pada
individu yang resisten.

F. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik secara umum yang sering timbul pada pasien SLE
adalah rasa lelah, malaise, demam, penurunan nafsu makan, dan penurunan
berat badan (Hahn, 2005). Gejala muskuloskeletal berupa artritis, atralgia, dan
mialgia umumnya timbul mendahului gejala yang lain. Yang paling sering
terkena adalah sendi interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut, pergelangan
tangan, metakarpofalangeal, siku, dan pergelangan kaki (Delafuente, 2002).
Gejala di kulit dapat berupa timbulnya ruam kulit yang khas dan
banyak menolong dalam mengarahkan diagnosa SLE yaitu ruam kulit
berbentuk kupu-kupu (butterfly rash) berupa eritema yang agak edematus pada
hidung dan kedua pipi. Dengan pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat
sembuh tanpa bekas. Pada bagian tubuh yang terkena sinar matahari dapat
timbul ruam kulit yang terjadi karena hipersensitivitas (photohypersensitivity).
Lesi cakram terjadi pada 10% – 20% pasien SLE. Gejala lain yang timbul
adalah vaskulitis eritema periungual, livido retikularis, alopesia, ulserasi, dan
fenomena Raynaud (Delafuente, 2002).
Gejala SLE pada jantung sering ditandai adanya perikarditis,
miokarditis, gangguan katup jantung (biasanya aorta atau mitral) termasuk
gejala endokarditis Libman-Sachs. Penyakit jantung pada pasien umumnya
dipengaruhi oleh banyak faktor seperti hipertensi, kegemukan, dan
hiperlipidemia. Terapi dengan kortikosteroid dan adanya penyakit ginjal juga
dapat meningkatkan resiko penyakit jantung pada pasien SLE (Delafuente,
2002).
Gejala lain yang juga sering timbul adalah gejala pada paru yang
meliputi pleuritis dan efusi pleura. Pneumonitis lupus menyebabkan demam,
sesak napas, dan batuk. Gejala pada paru ini jarang terjadi namun mempunyai
angka mortalitas yang tinggi. Nyeri abdomen terjadi pada 25% kasus SLE.
Gejala saluran pencernaan (gastrointestinal) lain yang sering timbul adalah
mual, diare, dan dispepsia. Selain itu dapat pula terjadi vaskulitis, perforasi
usus, pankreatitis, dan hepatosplenomegali (Delafuente, 2002).
Gejala SLE pada susunan saraf yaitu terjadinya neuropati perifer
berupa gangguan sensorik dan motorik yang umumnya bersifat sementara
(Albar,2003). Gejala lain yang juga timbul adalah disfungsi kognitif, psikosis,
depresi, kejang, dan stroke (Delafuente, 2002).
Gejala hematologik umumnya adalah anemia yang terjadi akibat
inflamasi kronik pada sebagian besar pasien saat lupusnya aktif. Pada pasien
dengan uji Coombs-nya positif dapat mengalami anemia hemolitik.
Leukopenia (biasanya limfopenia) sering ditemukan tetapi tidak memerlukan
terapi dan jarang kambuh. Trombositopenia ringan sering terjadi, sedangkan
trombositopenia berat disertai perdarahan dan purpura terjadi pada 5% pasien
dan harus diterapi dengan glukokortikoid dosis tinggi. Perbaikan jangka
pendek dapat dicapai dengan pemberian gamaglobulin intravena. Bila hitung
trombosit tidak dapat mencapai kadar yang memuaskan dalam 2 minggu, harus
dipertimbangkan tindakan splenektomi (Delafuente, 2002).
Antikoagulan lupus (AL) termasuk dalam golongan antibodi
antifosfolipid. Antikoagulan ini diketahui berdasarkan perpanjangan waktu
tromboplastin parsial (PTT) dan kegagalan penambahan plasma normal untuk
memperbaiki perpanjangan waktu tersebut. Antibodi terhadap kardiolipin
(aCL) dideteksi dengan pemeriksaan ELISA. Manifestasi klinis AL dan aCL
adalah trombositopenia, pembekuan darah pada vena atau arteri yang
berulang, keguguran berulang, dan penyakit katup jantung. Bila AL disertai
dengan hipoprotombinemia atau trombositopenia, maka dapat
terjadi perdarahan.
Yang lebih jarang timbul adalah antibodi terhadap faktor pembekuan
(VIII, IX); adanya antibodi tersebut tidak dapat menyebabkan pembekuan
darah sehingga perdarahan terjadi terus-menerus (Hahn, 2005). Pada wanita
dengan SLE yang mengalami kehamilan maka dikhawatirkan akan
mempercepat penyebaran penyakit selama kehamilan dan pada periode awal
setelah melahirkan. Selain itu juga dapat terjadi aborsi secara spontan atau
kelahiran prematur. Kemungkinan terjadinya preeklamsia atau hipertensi
yang disebabkan kehamilan juga dapat memperparah penyakitnya
(Delafuente, 2002). Gejala klinik pada kerusakan ginjal dapat dilihat dari
tingginya serum kreatinin atau adanya proteinuria. Penyakit ginjal pada pasien
SLE sering disebut lupus nefritis. Menurut WHO, lupus nefritis dapat dibagi
menjadi beberapa kelompok berdasarkan biopsi ginjalnya yaitu kelas I
(normal/minimal mesangial), kelas II (mesangial), kelas III (focal
proliferative), kelas IV (diffuse proliferative), dan kelas V (membranous
glomerulonephritis). Selama perjalanan penyakit pasien dapat mengalami
progesivitas dari satu kelas ke kelas yang lain. Pada pasien dengan lupus
nefritis terutama ras Afrika – Amerika dapat terjadi peningkatan serum
kreatinin, penurunan respon terhadap obat-obat imunosupresan, hipertensi,
dan sindrom nefrotik yang persisten (Delafuente, 2002).
Tanda atau gejala lainnya dari SLE telah dinyatakan oleh “American
College of Rheumatology” yaitu 11 kriteria untuk klasifikasi SLE. Kesebelas
kriteria tersebut antara lain:
 Ruam malar
 Ruam discoid
 Fotosensitivitas (sensitivitas pada cahaya)
 Ulserasi (semacam luka) di mulut atau nasofaring
 Artritis
 Serositis (radang membran serosa), yaitu pleuritis (radang pleura) atau
perikarditis (radang perikardium)
 Kelainan ginjal, yaitu proteinuria (adanya protein pada urin) persisten >0.5
gr/hari
 Kelainan neurologik, yaitu kejang-kejang
 Kelainan hematologik, yaitu anemia hemolitik atau leucopenia
 Kelainan imunologik, yaitu ditemukan adanya sel LE positif atau anti
DNA positif
 Adanya antibodi antinuklear.
Selain itu, gejala atau tanda lainnya yang sering ditemukan antara
lain penurunan berat badan, demam, dan kelainan tulang seperti pada arthritis.

G. Komplikasi
 Vaskulitis : kondisi peradangan pembuluh darah yang ditandai dengan
kematian jaringan, jaringan parut, dan proliferasi dari dinding pembuluh
darah, yang dapat mengakibatkan penyumbatan pembuluh darah.
 Perikarditis : suatu kondisi medis yang ditandai dengan peradangan pada
perikardium (kantung berlapis ganda yang mengelilingi jantung).
 Myocarditis : peradangan pada otot jantung atau miokardium.
 Anemia Hemolitik : kurangnya kadar hemoglobin akibat kerusakan pada
eritrosit yang lebih cepat daripada kemampuan sumsum tulang untuk
menggantinya kembali.
 Intra Vaskuler Trombosis
 Hypertensi
 Kerusakan Ginjal Permanen
 Gangguan Pertumbuhan

I. Pemeriksaan Penunjang dan Diagnostik


Untuk mengeahui pasien SLE dapat dilakukan pemeriksaan penunjang
dan diagnostik berikut:
 Pemeriksaan anti-nuclear antibodi (ANA)
Pemeriksaan untuk menentukan apakah auto antibodi terhadap inti
sel sering muncul di dalam darah.
 Pemeriksaan anti ds DNA (Anti double stranded DNA)
Untuk menentukan apakah pasien memiliki antibodi terhadap materi
genetik di dalamsel.
 Pemeriksaan anti-Sm antibody
Untuk menentukan apakah ada antibodi terhadap Sm (protein yang
ditemukan dalam sel proin inti)
 Pemeriksaan untuk mendeteksi keberadaan immune complexes
(kekebalan ) di dalam darah.
 Pemeriksaan untuk menguji tingkat total dari serum complement
(kelompok protein yang dapat terjadi pada reaksi kekebalan)
 Pemeriksaan sel LE (LE cell prep)
 Pemeriksaan darah untuk mencari keberadaan jenis sel tertentu yang
dipengaruhi membesarnya antibodi terhadap lapisan inti sel lain.
Pemeriksaan ini jarang digunakan jika dibandingkan dengan pemeriksaa
ANA, karena pemeriksaan ANA lebih peka untuk mendeteksi penyakit
lupus dibandingkan dengan LE cell prep.
 Pemeriksaan darah lengkap, leukosit, thrombosit
 Urine Rutin
 Antibodi Antiphospholipid
 Biopsy Kulit
 Biopsy Ginjal

J. Penatalaksanaan Medis dan Keperawatan


Medis
 Preparat NSAID untuk mengatasi manifestasi klinis minor dan dipakai
bersama kortikosteroid, secara topikal untuk kutaneus (abses kulit ).
 Obat antimalaria untuk gejala kutaneus, muskuloskeletal dan sistemik
ringan SLE
 Kortikosteroid, jika membaik dilakukan tapering off.
 AINS (Aspirin 80 mg/hr sampai dua minggu sebelum TP).
 Imunosupresan (Azethiprine 2-3 mg/kg per oral).
 Siklofospamid, diberikan pada kasus yang mengancam jiwa 700-1000
mg/m luas permukaan tubuh, bersama dengan steroid selama 3 bulan
setiap 3 minggu.

Keperawatan
Diet
Restriksi diet ditentukan oleh terapi yang diberikan. Sebagian besar
pasien memerlukan kortikosteroid, dan saat itu diet yang diperbolehkan
adalah yang mengandung cukup kalsium, rendah lemak, dan rendah
garam. Pasien disarankan berhati-hati dengan suplemen makanan dan
obat tradisional.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1. Identitas
a. Penyakit Lupus Eritematosus Sistemik bisa terjadi pada wanita maupun
pria, namun penyakit ini sering diderita oleh wanita, dengan
perbandingan wanita dan pria 8 : 1.
b. Biasa ditemukan pada ras-ras tertentu seperti Negro, Cina, dan Filiphina.
c. Lebih sering pada usia 20-40 tahun, yaitu pada usia produktif.
d. Faktor ekonomi dan geografis tidak mempengaruhi distribusi penyakit
ini.
2. Keluhan Utama
Pada umumnya pasien mengeluh mudah lelah, lemah, nyeri, kaku,
demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta
citra diri pasien.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Perlu dikaji tentang riwayat penyakit dahulu, apakah pernah menderita
penyakit ginjal atau manifestasi SLE yang serius, atau penyakit autoimun
yang lain.
4. Riwayat Penyakit Sekarang
a. Perlu dikaji yaitu gejala apa yang pernah dialami pasien (misalnya ruam
malar-fotosensitif, ruam diskoid-bintik-bintik eritematosa menimbul,
Artralgia/arthritis, demam, kelelahan, nyeri dada pleuritik, perikarditis,
bengkak pada pergelangan kaki, kejang, ulkus dimulut.
b. Mulai kapan keluhan dirasakan.
c. Faktor yang memperberat atau memperingan serangan.
d. keluhan-keluhan lain yang menyertai.
5. Riwayat Pengobatan
Kaji apakah pasien mendapat terapi dengan Klorpromazin, metildopa,
hidralasin, prokainamid, dan isoniazid, dilantin, penisilamin, dan kuinidin.
6. Riwayat Penyakit Keluarga
Perlu dikaji apakah dalam keluarga ada yang pernah mengalami penyakit
yang sama atau penyakit autoimun yang lain.
7. Pemeriksaan Fisik
Dikaji secara sistematis
B1 ( Breath )
Irama dan kecepatan nafas, kesimetrisan pergerakan nafas, penggunaan otot
nafas tambahan, sesak, suara nafas tambahan (rales, ronchii), nyeri saat
inspirasi, produksi sputum, reaksi alergi . Patut dicurigai terjadi pleuritis
atau efusi pleura. .
B2 ( Blood )
Tanda-tanda vital, apakah ada nyeri dada, suara jantung ( S1,S2,S3), bunyi
systolic click ( ejeksi click pulmonal dan aorta ), bunyi mur-mur. Friction
rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura.
Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan
gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan
permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan
B3 ( Brain )
Mengukur tingkat kesadaran ( efek dari hipoksia ) Glasgow Coma Scale
secara kuantitatif dan respon otak ; compos mentis sampai coma (kualitatif),
orientasi klien. Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan
kejang-kejang
B4 ( Bladder )
Pengukuran urine tampung ( menilai fungsi ginjal ), warna urine
(menilai filtrasi glomelorus),
B5 ( Bowel )
Pola makan, nafsu makan, muntah, diare, berat badan dan tinggi badan.,
turgor kulit. Nyeri perut, nyeri tekan, apakah ada hepatomegali, pembesaran
limpa.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
 kerusakan integritas kulit berhubungan dengan proses penyakit.
 Nyeri berhubungan dengan inflamasi atau kerusakan jaringan.
 Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan pada penampilan fisik.
 Resiko infeksi berhubungan dengan kerusakan kulit, leukopenia, penurunan
hemoglobin
 Intoleransi aktivitas fisik berhubungan dengan kelemahan atau keletihan
akibat anemia.
C. INTERVENSI

Diagnosa Keperawatan/ Rencana keperawatan


Masalah Kolaborasi
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

Kerusakan integritas kulit NOC : NIC : Pressure Management


berhubungan dengan : Tissue Integrity : Skin and Mucous  Anjurkan pasien untuk
Eksternal : Membranes menggunakan pakaian yang longgar
- Hipertermia atau hipotermia Wound Healing : primer dan sekunder  Hindari kerutan pada tempat tidur
- Substansi kimia Setelah dilakukan tindakan  Jaga kebersihan kulit agar tetap
- Kelembaban keperawatan selama….. kerusakan bersih dan kering
- Faktor mekanik (misalnya : integritas kulit pasien teratasi dengan  Mobilisasi pasien (ubah posisi
alat yang dapat kriteria hasil: pasien) setiap dua jam sekali
menimbulkan luka, tekanan,  Integritas kulit yang baik bisa  Monitor kulit akan adanya
restraint) dipertahankan (sensasi, kemerahan
- Immobilitas fisik elastisitas, temperatur, hidrasi,  Oleskan lotion atau minyak/baby oil
- Radiasi pigmentasi) pada derah yang tertekan
- Usia yang ekstrim  Tidak ada luka/lesi pada kulit  Monitor aktivitas dan mobilisasi
- Kelembaban kulit  Perfusi jaringan baik pasien
- Obat-obatan  Menunjukkan pemahaman  Monitor status nutrisi pasien
Internal : dalam proses perbaikan kulit  Memandikan pasien dengan sabun
- Perubahan status metabolik dan mencegah terjadinya dan air hangat
- Tonjolan tulang sedera berulang  Kaji lingkungan dan peralatan yang
- Defisit imunologi  Mampu melindungi kulit dan menyebabkan tekanan
- Berhubungan dengan mempertahankan kelembaban  Observasi luka : lokasi, dimensi,
dengan perkembangan kulit dan perawatan alami kedalaman luka, karakteristik,warna
- Perubahan sensasi  Menunjukkan terjadinya cairan, granulasi, jaringan nekrotik,
- Perubahan status nutrisi proses penyembuhan luka tanda-tanda infeksi lokal, formasi
(obesitas, kekurusan) traktus
- Perubahan status cairan  Ajarkan pada keluarga tentang luka
- Perubahan pigmentasi dan perawatan luka
- Perubahan sirkulasi  Kolaburasi ahli gizi pemberian diae
- Perubahan turgor TKTP, vitamin
(elastisitas kulit)  Cegah kontaminasi feses dan urin
 Lakukan tehnik perawatan luka
DO: dengan steril
- Gangguan pada bagian  Berikan posisi yang mengurangi
tubuh tekanan pada luka
- Kerusakan lapisa kulit
(dermis)
- Gangguan permukaan kulit
(epidermis)

Diagnosa Keperawatan/ Masalah Rencana keperawatan


Kolaborasi
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Nyeri akut berhubungan dengan: NOC : NIC :
Agen injuri (biologi, kimia, fisik,  Pain Level,  Lakukan pengkajian nyeri secara
psikologis), kerusakan jaringan  pain control, komprehensif termasuk lokasi,
 comfort level karakteristik, durasi, frekuensi,
DS: Setelah dilakukan tinfakan kualitas dan faktor presipitasi
- Laporan secara verbal keperawatan selama …. Pasien tidak  Observasi reaksi nonverbal dari
DO: mengalami nyeri, dengan kriteria hasil: ketidaknyamanan
- Posisi untuk menahan nyeri  Mampu mengontrol nyeri (tahu  Bantu pasien dan keluarga untuk
- Tingkah laku berhati-hati penyebab nyeri, mampu mencari dan menemukan dukungan
- Gangguan tidur (mata sayu, menggunakan tehnik  Kontrol lingkungan yang dapat
tampak capek, sulit atau gerakan nonfarmakologi untuk mengurangi mempengaruhi nyeri seperti suhu
kacau, menyeringai) nyeri, mencari bantuan) ruangan, pencahayaan dan
- Terfokus pada diri sendiri  Melaporkan bahwa nyeri berkurang kebisingan
- Fokus menyempit (penurunan dengan menggunakan manajemen  Kurangi faktor presipitasi nyeri
persepsi waktu, kerusakan proses nyeri  Kaji tipe dan sumber nyeri untuk
berpikir, penurunan interaksi  Mampu mengenali nyeri (skala, menentukan intervensi
dengan orang dan lingkungan) intensitas, frekuensi dan tanda  Ajarkan tentang teknik non
- Tingkah laku distraksi, contoh : nyeri) farmakologi: napas dala, relaksasi,
jalan-jalan, menemui orang lain  Menyatakan rasa nyaman setelah distraksi, kompres hangat/ dingin
dan/atau aktivitas, aktivitas nyeri berkurang  Berikan analgetik untuk mengurangi
berulang-ulang)  Tanda vital dalam rentang normal nyeri: ……...
- Respon autonom (seperti  Tidak mengalami gangguan tidur  Tingkatkan istirahat
diaphoresis, perubahan tekanan  Berikan informasi tentang nyeri
darah, perubahan nafas, nadi dan seperti penyebab nyeri, berapa lama
dilatasi pupil) nyeri akan berkurang dan antisipasi
- Perubahan autonomic dalam tonus ketidaknyamanan dari prosedur
otot (mungkin dalam rentang dari Monitor vital sign sebelum dan
lemah ke kaku)
sesudah pemberian analgesik
- Tingkah laku ekspresif (contoh :
gelisah, merintih, menangis, pertama kali
waspada, iritabel, nafas
panjang/berkeluh kesah)
- Perubahan dalam nafsu makan
dan minum

Diagnosa Keperawatan/ Masalah Rencana keperawatan


Kolaborasi
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

Gangguan body image berhubungan NOC: NIC :


dengan:  Body image Body image enhancement
Biofisika (penyakit kronis),  Self esteem - Kaji secara verbal dan
kognitif/persepsi (nyeri kronis), Setelah dilakukan tindakan nonverbal respon klien
kultural/spiritual, penyakit, krisis keperawatan selama …. gangguan terhadap tubuhnya
situasional, trauma/injury, pengobatan body image - Monitor frekuensi mengkritik
(pembedahan, kemoterapi, radiasi) pasien teratasi dengan kriteria hasil: dirinya
DS:  Body image positif - Jelaskan tentang pengobatan,
- Depersonalisasi bagian tubuh  Mampu mengidentifikasi perawatan, kemajuan dan
- Perasaan negatif tentang tubuh kekuatan personal prognosis penyakit
- Secara verbal menyatakan  Mendiskripsikan secara faktual - Dorong klien mengungkapkan
perubahan gaya hidup perubahan fungsi tubuh perasaannya
DO :  Mempertahankan interaksi sosial - Identifikasi arti pengurangan
- Perubahan aktual struktur dan melalui pemakaian alat bantu
fungsi tubuh - Fasilitasi kontak dengan
- Kehilangan bagian tubuh individu lain dalam kelompok
- Bagian tubuh tidak berfungsi kecil

Diagnosa Keperawatan/ Masalah Rencana keperawatan


Kolaborasi
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

Risiko infeksi NOC : NIC :


 Immune Status  Pertahankan teknik aseptif
Faktor-faktor risiko :  Knowledge : Infection control
- Prosedur Infasif  Risk control
 Batasi pengunjung bila perlu
- Kerusakan jaringan dan Setelah dilakukan tindakan  Cuci tangan setiap sebelum dan
peningkatan paparan lingkungan keperawatan selama…… pasien tidak sesudah tindakan keperawatan
- Malnutrisi mengalami infeksi dengan kriteria  Gunakan baju, sarung tangan
- Peningkatan paparan lingkungan hasil: sebagai alat pelindung
patogen  Klien bebas dari tanda dan gejala  Ganti letak IV perifer dan dressing
- Imonusupresi infeksi sesuai dengan petunjuk umum
- Tidak adekuat pertahanan  Menunjukkan kemampuan untuk  Gunakan kateter intermiten untuk
sekunder (penurunan Hb, mencegah timbulnya infeksi menurunkan infeksi kandung
Leukopenia, penekanan respon  Jumlah leukosit dalam batas kencing
inflamasi) normal
- Penyakit kronik  Menunjukkan perilaku hidup
 Tingkatkan intake nutrisi
- Imunosupresi sehat  Berikan terapi
- Malnutrisi  Status imun, gastrointestinal, antibiotik:.................................
Pertahan primer tidak adekuat genitourinaria dalam batas  Monitor tanda dan gejala infeksi
normal sistemik dan lokal
(kerusakan kulit, trauma jaringan,  Pertahankan teknik isolasi k/p
gangguan peristaltik)  Inspeksi kulit dan membran
mukosa terhadap kemerahan,
panas, drainase
 Monitor adanya luka
 Dorong masukan cairan
 Dorong istirahat
 Ajarkan pasien dan keluarga tanda
dan gejala infeksi
 Kaji suhu badan pada pasien
neutropenia setiap 4 jam

Diagnosa Keperawatan/ Masalah Rencana keperawatan


Kolaborasi
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

Intoleransi aktivitas NOC : NIC :


Berhubungan dengan :  Self Care : ADLs  Observasi adanya pembatasan
 Tirah Baring atau imobilisasi  Toleransi aktivitas klien dalam melakukan aktivitas
 Kelemahan menyeluruh  Konservasi eneergi  Kaji adanya faktor yang
 Ketidakseimbangan antara Setelah dilakukan tindakan menyebabkan kelelahan
suplei oksigen dengan keperawatan selama …. Pasien  Monitor nutrisi dan sumber energi
kebutuhan bertoleransi terhadap aktivitas dengan yang adekuat
Gaya hidup yang dipertahankan. Kriteria Hasil :  Monitor pasien akan adanya
 Berpartisipasi dalam aktivitas kelelahan fisik dan emosi secara
DS: fisik tanpa disertai peningkatan berlebihan
 Melaporkan secara verbal tekanan darah, nadi dan RR  Monitor respon kardivaskuler
adanya kelelahan atau  Mampu melakukan aktivitas terhadap aktivitas (takikardi,
kelemahan. sehari hari (ADLs) secara disritmia, sesak nafas, diaporesis,
 Adanya dyspneu atau mandiri pucat, perubahan hemodinamik)
ketidaknyamanan saat  Keseimbangan aktivitas dan  Monitor pola tidur dan lamanya
beraktivitas. istirahat tidur/istirahat pasien
DO :  Kolaborasikan dengan Tenaga
Rehabilitasi Medik dalam
 Respon abnormal dari tekanan merencanakan progran terapi yang
darah atau nadi terhadap tepat.
aktifitas  Bantu klien untuk mengidentifikasi
 Perubahan ECG : aritmia, aktivitas yang mampu dilakukan
iskemia  Bantu untuk memilih aktivitas
konsisten yang sesuai dengan
kemampuan fisik, psikologi dan
sosial
 Bantu untuk mengidentifikasi dan
mendapatkan sumber yang
diperlukan untuk aktivitas yang
diinginkan
 Bantu untuk mendpatkan alat
bantuan aktivitas seperti kursi roda,
krek
 Bantu untuk mengidentifikasi
aktivitas yang disukai
 Bantu klien untuk membuat jadwal
latihan diwaktu luang
 Bantu pasien/keluarga untuk
mengidentifikasi kekurangan
dalam beraktivitas
 Sediakan penguatan positif bagi
yang aktif beraktivitas
 Bantu pasien untuk
mengembangkan motivasi diri dan
penguatan
 Monitor respon fisik, emosi, sosial
dan spiritual

DAFTAR PUSTAKA

Nursing Interventions Classification (NIC) : Fifth Edition. Missouri : Mosby


Elsevier.
Nursing Outcomes Classification (NOC) : Fourth Edition.Missouri : Mosby
Elsevier.
Reeves, Charlere J. 2001.Keperawatan Medikal Bedah.Jakarta:Salemba Medika
Smeltzer. Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth. Edisi 8. Volume 3. Jakarta : EGC.
Wiley, John dan Sons Ltd. 2009. NANDA International : 2009-2011. United
Kingdom : Markono Print Media.
http://id.scribd.com/doc/89493724/Patofisiologi-Lupus diakses pada tanggal 27
desember 2014 14.30
ttp://www.medicastore.com : 2004 pada tanggal 26 desember 2014 18.27

You might also like