You are on page 1of 18

ETIKA BISNIS DAN PROFESI

STUDI KASUS PT. FREEPORT INDONESIA

Disusun Oleh:

1. Erma Wulan Sari (W100170008)


2. Nur Alfiani (W10017024)
3. Nur Ulfiati (W10017025)

MAGISTER AKUNTANSI

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

2018

1
A. Latar Belakang Perusahaan
PT. Freeport Indonesia merupakan perusahaan afiliasi dari Freeport-McMoRan
Copper & Gold Inc. Freeport-McMoRan (FCX) merupakan perusahaan tambang
internasional utama dengan kantor pusat di Phoenix, Arizona, Amerika Serikat. PT.
Freeport Indonesia menambang, memproses dan melakukan eksplorasi terhadap bijih
yang mengandung tembaga, emas dan perak yang beroperasi di daerah dataran tinggi
di Kabupaten Mimika Provinsi Papua, Indonesia.Perusahaan ini merupakan perusahaan
penghasil emas terbesar di dunia melalui tambang Grasberg.Visi dari PT. Freeport yaitu
menjadi perusahaan tambang kelas dunia yang menciptakan nilai-nilai unggul dan
menjadi kebanggaan bagi seluruh pemangku kepentingan termasuk karyawan,
masyarakat, dan bangsa. Sedangkan Misi dari PT. Freeport Indonesia yaitu
Berkomitmen untuk secara kreatif mentransformasikan sumber daya alam menjadi
kesejahteraan dan pembangunan yang berkelanjutan melalui praktek-praktek
pertambangan terbaik dengan memprioritaskan kesejahteraan dan ketentraman
karyawan dan masyarakat, pengembangan SDM, tanggung jawab sosial dan
lingkungan hidup, serta keselamatan dan kesehatan kerja.
Awal mula sejarah berdirinya PT. Freeport Indonesia yaitu Pada tahun 1904-
1905 suatu lembaga swasta dari Belanda Koninklijke Nederlandsche Aardrijkskundig
Genootschap (KNAG) yakni Lembaga Geografi Kerajaan Belanda, menyelenggarakan
suatu ekspedisi ke Papua Barat Daya yang tujuan utamanya adalah mengunjungi
Pegunungan Salju yang konon kabarnya ada di Tanah Papua. Catatan pertama tentang
pegunungan salju ini adalah dari Kapten Johan Carstensz yang dalam perjalanan dengan
dua kapalnya Aernem dan Pera ke “selatan” pada tahun 1623 di perairan sebelah selatan
Tanah Papua, tiba-tiba jauh di – pedalaman melihat kilauan salju dan mencatat di dalam
buku hariannya pada tanggal 16 Februari 1623 tentang suatu pegunungan yang “teramat
tingginya” yang pada bagian-bagiannya tertutup oleh salju. Catatan Carsztensz ini
menjadi cemoohan kawan-kawannya yang menganggap Carstensz hanya berkhayal.
Walaupun ekspedisi pertama KNAG tersebut tidak berhasil menemukan
gunung es yang disebut-sebut dalam catatan harian Kapten Carstensz, inilah cikal bakal
perhatian besar Belanda terhadap daerah Papua. Peta wilayah Papua pertama kali dibuat
dari hasil ekspedisi militer ke daerah ini pada tahun 1907 hingga 1915. Ekspedisi-
ekspedisi militer ini kemudian membangkitkan hasrat para ilmuwan sipil untuk
mendaki dan mencapai pegunungan salju. Beberapa ekspedisi Belanda yang terkenal
dipimpin oleh Dr. HA.Lorentz dan Kapten A. Franzen Henderschee. Semua dilakukan

2
dengan sasaran untuk mencapai puncak Wilhelmina (Puncak Sudirman sekarang) pada
ketinggian 4,750 meter. Nama Lorentz belakangan diabadikan untuk nama Taman
Nasional Lorentz di wilayah suku Asmat di pantai selatan.
Pada pertengahan tahun 1930, dua pemuda Belanda Colijn dan Dozy, keduanya
adalah pegawai perusahaan minyak NNGPM yang merencanakan pelaksanaan cita-cita
mereka untuk mencapai puncak Cartensz. Petualangan mereka kemudian menjadi
langkah pertama bagi pembukaan pertambangan di Tanah Papua empat puluh tahun
kemudian. Pada tahun 1936, Jean Jacques Dozy menemukan cadangan Ertsberg atau
disebut gunung bijih, lalu data mengenai batuan ini dibawa ke Belanda. Setelah sekian
lama bertemulah seorang Jan Van Gruisen – Managing Director perusahaan Oost
Maatchappij, yang mengeksploitasi batu bara di Kalimantan Timur dan Sulawesi
Tenggara dengan kawan lamanya Forbes Wilson, seorang kepala eksplorasi pada
perusahaan Freeport Sulphur Company yang operasi utamanya ketika itu adalah
menambang belerang di bawah dasar laut. Kemudian Van Gruisen berhasil meyakinkan
Wilson untuk mendanai ekspedisi ke gunung bijih serta mengambil contoh bebatuan
dan menganalisanya serta melakukan penilaian.
Pada awal periode pemerintahan Presiden Indonesia Ke-2Soeharto, pemerintah
mengambil kebijakan untuk segera melakukan berbagai langkah nyata demi
meningkatkan pembanguan ekonomi. Namun dengan kondisi ekonomi nasional yang
terbatas setelah penggantian kekuasaan, pemerintah segera mengambil langkah
strategis dengan mengeluarkan Undang-undang Modal Asing (UU No. 1 Tahun 1967).
Pimpinan tertinggi Freeport pada masa itu yang bernama Langbourne Williams melihat
peluang untuk meneruskan proyek Ertsberg. Dia bertemu Julius Tahija yang pada
zaman Presiden Soekarno memimpin perusahaan Texaco dan dilanjutkan pertemuan
dengan Jendral Ibnu Sutowo, yang pada saat itu menjabat sebagai Menteri
Pertambangan dan Perminyakan Indonesia. Inti dalam pertemuan tersebut adalah
permohonan agar Freeport dapat meneruskan proyek Ertsberg. Akhirnya dari hasil
pertemuan demi pertemuan yang panjang Freeport mendapatkan izin dari pemerintah
untuk meneruskan proyek tersebut pada tahun 1967. Itulah Kontrak Karya Pertama
Freeport (KK-I). Kontrak karya tersebut merupakan bahan promosi yang dibawa Julius
Tahija untuk memperkenalkan Indonesia ke luar negeri dan misi pertamanya adalah
mempromosikan Kebijakan Penanaman Modal Asing ke Australia.

3
B. Kontrak Karya PT. Freeport Indonesia
Freeport memperoleh kesempatan untuk mendulang mineral di Papua melalui
tambang Ertsberg sesuai Kontrak Karya Generasi I (KK I) yang ditandatangani pada
tahun 1967. Freeport adalah perusahaan asing pertama yang mendapat manfaat dari KK
I. Dalam perjalanannya, Freeport telah berkembang menjadi salah satu raksasa dalam
industri pertambangan dunia, dari perusahaan yang relatif kecil. Hal ini sebagian besar
berasal dari keuntungan yang spektakuler sekaligus bermasalah yang diperoleh dari
operasi pertambangan tembaga, emas, dan perak di Irian Jaya, Papua.
KK I dengan Freeport ini terbilang sangat longgar, karena hampir sebagian
besar materi kontrak tersebut merupakan usulan yang diajukan oleh Freeport selama
proses negosiasi, artinya lebih banyak disusun untuk kepentingan Freeport. Dalam
operasi pertambangan, pemerintah Indonesia tidak mendapatkan manfaat yang
proposional dengan potensi ekonomi yang sangat besar di wilayah pertambangan
tersebut. Padahal bargaining position pemerintah Indonesia terhadap Freeport sangatlah
tinggi, karena cadangan mineral tambang yang dimiliki Indonesia di wilayah
pertambangan Papua sangat besar bahkan terbesar di dunia. Selain itu, permintaan akan
barang tambang tembaga, emas dan perak di pasar dunia relatif terus meningkat.
Dengan kondisi cadangan yang besar, Freepot memiliki jaminan atas future earning.
Apalagi, bila ditambah dengan kenyataan bahwa biaya produksi yang harus dikeluarkan
relatif rendah karena karakteristik tambang yang open pit. Demikian pula emas yang
semula hanya merupakan by-product, dibanding tembaga, telah berubah menjadi salah
satu hasil utama pertambangan.
Freeport sudah sejak lama berminat memperoleh konsesi penambangan
tembaga di Irian Jaya. Kontrak Karya (KK) I Freeport disusun berdasarkan UU No 1/67
tentang Pertambangan dan UU No. 11/67 tentang PMA. Kontrak Karya antara
pemerintah Indonesia dengan Freeport Sulphur Company ini memberikan hak kepada
Freeport Sulphur Company melalui anak perusahaannya (subsidary) Freeport Indonesia
Incorporated (Freeport), untuk bertindak sebagai kontraktor tunggal dalam eksplorasi,
ekploitasi, dan pemasaran tembaga Irian Jaya. Lahan ekplorasi mencangkup areal
seluas 10.908 hektar selama 30 tahun, terhitung sejak kegiatan komersial pertama. KK
I mengandung banyak sekali kelemahan mendasar dan sangat menguntungkan bagi
Freeport.
Adapun Kelemahan- kelemahan dari KK I (Kontrak Karya Generasi ke I) adalah
sebagai berikut:

4
1. Perusahaan yang digunakan adalah Freeport Indonesia Incorporated, yakni sebuah
perusahaan yang terdaftar di Delaware, Amerika Serikat, dan tunduk pada hukum
Amerika Serikat. Dengan kata lain, perusahaan ini merupakan perusahaan asing,
dan tidak tunduk pada hukum Indonesia.
2. Dalam kontrak tidak ada kewajiban mengenai lingkungan hidup, karena pada
waktu penandatanganan KK pada tahun 1967 di Indonesia belum ada UU tentang
Lingkungan Hidup. Sebagai contoh, akibat belum adanya ketentuan tentang
lingkungan hidup ini, sejak dari awal Freeport telah membuang tailing ke Sungai
Aikwa sehingga mengakibatkan kerusakan lingkungan.
3. Pengaturan perpajakan sama sekali tidak sesuai dengan pengaturan dalam UU
Perpajakan yang berlaku, baik jenis pajak maupun strukturnya. Demikian juga
dengan pengaturan dan tarif depresiasi yang diberlakukan. Misalnya Freeport tidak
wajib membayar PBB atau PPN.
4. Tidak sesuainya struktur pajak maupun tarif pajak yang diberlakukan dalam KK I
dirasakan sebagai pelanggaran terhadap keadilan, baik terhadap perusahaan lain,
maupun terhadap Daerah. Freeport pada waktu itu tidak wajib membayar selain
PBB juga, land rent, bea balik nama kendaraan, dan lain-lain pajak yang menjadi
pemasukan bagi Daerah.
5. Tidak ada kewajiban bagi Freeport untuk melakukan community development.
Akibatnya, keberadaan Freeport di Irian Jaya tidak memberi dampak positif secara
langsung terhadap masyarakat setempat. Pada waktu itu, pertambangan tembaga di
Pulau Bougenville harus dihentikan operasinya karena gejolak sosial.
6. Freeport diberikan kebebasan dalam pengaturan manajemen dan operasi, serta
kebebasan dalam transaksi dalam devisa asing. Freeport juga memperoleh
kelonggaran fiskal, antara lain: tax holiday selama 3 tahun pertama setelah mulai
produksi. Untuk tahun berikutnya selama 7 tahun, Freeport hanya dikenakan pajak
sebesar 35%. Setelah itu pajak yang dikenakan meningkat menjadi sekitar 47,75%.
Freeport juga dibebaskan dari segala jenis pajak lainnya dan dari pembayaran
royalti atas penjualan tembaga dan emas kecuali pajak penjualannya hanya 5%.
Keuntungan yang sangat besar terus diraih Freeport, hingga Kontrak Karya I
diperpanjang menjadi Kontrak Karya II yang tidak direnegosiasi secara optimal.
Dengan adanya Kontrak Karya tersebut, Indonesia tidak mendapatkan manfaat
sebanding dengan keuntungan besar yang diraih Freeport. Ketentuan-ketentuan fiskal
dan finansial yang dikenakan kepada Freeport ternyata jauh lebih rendah jika
5
dibandingkan dengan yang berlaku negara-negara Asia dan Amerika Latin.
Perpanjangan Kontrak Karya II seharusnya memberi manfaat yang lebih besar, karena
ditemukannya potensi cadangan baru yang sangat besar di Grasberg. Kontrak telah
diperpanjang pada tahun 1991, padahal Kontrak Karya I baru berakhir pada tahun 1997.
Pada kenyataannya ini adalah kehendak dari orang-orang Amerika di Freeport, dan
merupakan indikasi adanya kepentingan pihak-pihak yang terlibat dalam proses
negosiasi untuk mendapat keuntungan pribadi dari pertambangan di bumi Irian Jaya itu.
Kontrak Karya II tidak banyak mengalami perbaikan untuk memberikan
keuntungan finansial tambahan yang berarti bagi pihak Indonesia. Perubahan yang
terjadi hanyalah dalam hal kepemilikan saham dan dalam hal perpajakan. Sementara
itu, besarnya royalti tidak mengalami perubahan sama sekali, meskipun telah terjadi
perubahan jumlah cadangan emas. Penemuan emas di Grasberg merupakan cadangan
emas terbesar di dunia.
Sedangkan kelemahan-kelamahan yang ada dalam Kontrak Karya II, ketentuan
menyangkut:
1. Royalti atau iuran eksploitasi/produksi (pasal 13), menjelaskan bahwa sistem
royalti dalam kontrak Freeport tidak didasarkan atas prosentase dari penerimaan
penjualan kotor (gross revenue), tetapi dari prosentase penjualan bersih. Penjualan
bersih adalah penjualan kotor setelah dikurangi dengan biaya peleburan (smelting),
biaya pengolahan (refining), dan biaya-biaya lainnya yang dikeluarkan Freeport
dalam penjualan konsentrat.
2. Prosentase royalti (yang didasarkan atas prosentase penerimaan penjualan bersih
juga tergolong sangat kecil, yaitu 1%-3,5% tergantung pada harga konsentrat
tembaga, dan 1% flat fixed untuk logam mulia (emas dan perak).
3. Di dalam kontrak Freeport, besaran iuran tetap untuk wilayah pertambangan yang
dibayarkan berkisar antara US$ 0,025-0,05 per hektar per tahun untuk kegiatan
Penyelidikan Umum (General Survey), US$ 0,1-0,35 per hektar per tahun untuk
kegiatan Studi Kelayakan dan Konstruksi, dan US$ 1,5-3 per hektar per tahun
untuk kegiatan operasi eksplotasi/produksi. Tarif iuran tersebut, di seluruh tahapan
kegiatan, dapat dikatakan sangat kecil, bahkan sangat sulit diterima akal sehat.
Dengan kurs 1 US$ = Rp 9.000 maka besar iuran Rp 225 hingga Rp 27.000 per
hektar per tahun.
4. Sedangkan menyangkut pengawasan atas kandungan mineral yang dihasilkan,
dalam kontrak Freeport tidak ada satu pun yang menyebut secara eksplisit bahwa
6
seluruh operasi dan fasilitas pemurnian dan peleburan harus seluruhnya dilakukan
di Indonesia dan dalam pengawasan Pemerintah Indonesia. Pasal 10 poin 4 dan 5
memang mengatur tentang operasi dan fasilitas peleburan dan pemurnian tersebut
yang secara implisit ditekankan perlunya untuk dilakukan di wilayah Indonesia,
tapi tidak secara tegas dan eksplisit bahwa hal tersebut seluruhnya (100%) harus
dilakukan atau berada di Indonesia. Hingga saat ini, hanya 29% saja dari produksi
konsentrat yang dimurnikan dan diolah di dalam negeri. Sisanya (71%) dikirim ke
luar negeri, di luar pengawasan langsung dari pemerintah Indonesia.
5. Di dalam Kontrak Freeport, tidak ada satu pasal pun yang secara eksplisit mengatur
bahwa pemerintah Indoensia dapat sewaktu-waktu mengakhiri Kontrak Freeport
jika Freeport dinilai melakukan pelanggaran-pelanggaran atau tidak memenuhi
kewajibannya sesuai dengan kontrak. Sebaliknya, pihak Freeport dapat sewaktu-
waktu mengakhiri kontrak tersebut jika mereka menilai pengusahaan
pertambangan di wilayah kontrak pertambangannya sudah tidak menguntungkan
lagi secara ekonomis.

C. Pembangunan dan Perolehan Pendapatan PT. Freeport Indonesia


Sejak tahun 1992-2006 total pemasukan Freeport kepada negara Indonesia
adalah 37 Trilyun, dari hasil pembayaran Pajak Negara dan daerah. Sedangkan
keuntungan Freeport adalah menyuplai 40 ribu ton Emas ke Amerika selama
beroperasi. Pada 1995, ada empat proyek infrastruktur yang mulai dibangun oleh
Freeport di Papua Barat, yakni:
1. Pengembangan pelabuhan Amamapare, dari mana konsentrat emas dan tembaga
diekspor atau nantinya diantarpulaukan. Proyek senilai US$ 100 juta ditangani PT
ALatief P & O Port Development Company (APPDC), perusahaan kongsi antara
ALatief Nusakarya Corporation dengan maskapai angkutan laut P & O Australia
Ltd. Berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak pada pertengahan Mei 1995,
perusahan itu mendapat hak kelola pelabuhan Amamapare selama 10 tahun dan
bisa diperpanjang.
2. Pembangunan sebuah kota baru, Proyek senilai US$ 250 juta, langsung ditangani
AFIC. Kota baru yang diresmikan Soeharto pada awal Desember 1995 dengan
nama Kuala Kencana itu berdiri pada ketinggian 4.200 meter di atas permukaan
laut, seluas 17.400 hektar. Demi, kenyamanan para kapitalis, birokrat, serta

7
kapitalis-birokrat, Kota itu dilengkapi lapangan golf kelas turnamen yang
dirancang pegolf AS, Ben Crenshaw.
3. Freeport memindahkan perkantorannya dari Tembagapura yang diresmikan
Soeharto 23 tahun sebelumnya yang hanya dibangun untuk kapasitas penduduk
1.200 jiwa ke Kuala Kencana. Sedangkan Kuala Kencana sendiri dibangun dengan
kapasitas 25.000 jiwa, sangat luas untuk menampung karyawan Freeport yang
sudah mencapai 12.000 jiwa.
4. Pembangunan sarana pembangkit tenaga listrik bagi tambang emas dan tembaga
yang baru, Grasberg, alias Gunung Bijih Timur.Proyek ini ditangani PT
Puncakjaya Power Corporation, usaha patungan antara Freeport (30%), Power
Link Corporation (30%), Duke Energy dari AS (30%), dan PT Catur Yasa (10%).
5. Pembangunan bandara Timika, Proyek ini mulai dilaksanakan pada Juni 1995
ditangani PT Airfast Aviation Facilities Company (AVCO), yang 45% sahamnya
dikuasai PT Airfast Indonesia, 30% oleh PT Giga Haksa yang merupakan anak
perusahaan Catur Yasa, dan 25% oleh Freeport.Seluruh proyek itu dikoordinasi
oleh PT A Latief Freeport Infrastructure Corporation (AFIC), yang 67 persen
sahamnya dikuasai oleh kelompok A. Latief dan 33 persen sisanya oleh Freeport.
Proyek yang total investasinya mencapai US$50 juta (waktu itu diperhitungkan Rp
125 milyar), terdiri dari pembangunan kawasan bandara terpadu lengkap dengan
segala sarana pendukungnya, serta pengadaan tiga pesawat Twin Otter, dua
pesawat Boeing B 737-200, serta tujuh helikopter.

D. Kronologi Kasus PT. Freeport Indonesia


PT. Freeport Indonesia yang bekerja dibawah naungan PT. Freeport McMoRan
Copper & Gold Inc sudah beroperasi di Papua sekitar 50 tahun. Freeport Indonesia telah
melakukan eksplorasi di dua tempat di Papua, masing-masing tambang Ertsberg (dari
1967 hingga 1988) dan tambang Grasberg (sejak 1988 hingga sekarang), di kawasan
Tembagapura, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua. Freeport-McMoRan berkembang
menjadi perusahaan dengan penghasilan US$ 6,555 miliar pada tahun 2007. Mining
Internasional, sebuah majalah perdagangan menyebut tambang emas Freeport sebagai
tambang yang terbesar di dunia.
Dari tahun ke tahun Freeport terus mereguk keuntungan dari tambang emas,
perak, dan tembaga terbesar di dunia. Para petinggi Freeport terus mendapatkan
fasilitas, tunjangan dan keuntungan yang besarnya mencapai 1 juta kali lipat

8
pendapatan tahunan penduduk Timika, Papua. Keuntungan Freeport tak serta merta
melahirkan kesejahteraan bagi warga sekitar. Kondisi wilayah Timika bagai api dalam
sekam, tidak ada kondisi stabil yang menjamin masa depan penduduk Papua.
Penandatanganan Kontrak Karya (KK) I pertambangan antara pemerintah
Indonesia dengan Freeport pada 1967, menjadi landasan bagi perusahaan ini mulai
melakukan aktivitas pertambangan. Tak hanya itu, KK ini juga menjadi dasar
penyusunan UU Pertambangan Nomor 11/1967, yang disahkan pada Desember 1967
atau delapan bulan berselang setelah penandatanganan KK. Pada Maret 1973, Freeport
memulai pertambangan terbuka di Ertsberg, kawasan yang selesai ditambang pada
tahun 1980an dan menyisakan lubang sedalam 360 meter. Pada tahun 1988, Freeport
mulai mengeruk cadangan raksasa lainnya, Grasberg, yang masih berlangsung saat ini.
Dari eksploitasi kedua wilayah ini sekitar 7,3 juta ton tembaga dan 724, 7 juta ton emas
telah mereka keruk. Pada bulan Juli 2005, lubang tambang Grasberg telah mencapai
diameter 2, 4 kilometer pada daerah seluas 499 ha dengan kedalaman 800m.
Diperkirakan terdapat 18 juta ton cadangan tembaga, dan 1.430 ton cadangan emas
yang tersisa hingga rencana penutupan tambang pada 2041.
Aktivitas Freeport yang berlangsung dalam kurun waktu lama ini telah
menimbulkan berbagai masalah, terutama dalam hal penerimaan negara yang tidak
optimal, peran negara/BUMN untuk ikut mengelola tambang yang sangat minim dan
dampak lingkungan yang sangat signifikan, berupa rusaknya bentang alam pegunungan
Grasberg dan Erstberg. Kerusakan lingkungan telah mengubah bentang alam seluas
166km persegi di daerah aliran sungai Ajkwa.Freeport mulai banyak menarik perhatian
masyarakat setelah terungkapnya berbagai permasalahan dan insiden yang terjadi di
wilayah konsesi pertambangan perusahaan tersebut. Berbagai pendapat, baik dari
media, lembaga swadaya masyarakat, serta akademisi menyoroti masalah yang
berkaitan dengan pencemaran lingkungan, adaptasi sosio-kultural, keterlibatan TNI,
bahkan hal-hal yang berkaitan dengan politik separatis dari kelompok penduduk asli.
Berdirinya PT. Freeport banyak memberikan dampak buruk di daerah Mimika
Papua karena menurut Tim Investigasi Kementerian Lingkungan Hidup menemukkan
adanya indikasi awal adanya pencemaran lingkungan di wilayah kerja pertambangan
PT.Freeport Indonesia yaitu ada limbah yang mencemari lingkungan dari
pertambangan emas dan tembaga. Limbah-limbah tersebut mencemari sungai-sungai
dekat pertambangan sehingga penduduk asli kesulitan untuk mendapatkan air bersih.
Menurut Perhitungan PT. Freeport bahwa penambangan mereka dapat menghasilkan
9
limbah/ bahan buangan sebesar kira-kira 6 Miliar ton lebih dari dua kali bahan-bahan
bumi yang digali untuk membuat terusan panama. Kebanyakan limbah itu dibuang di
pengunungan di sekitar lokasi pertambangan atau ke sistem sungai-sungai yang
mengalir turun ke dataran rendah basah yang dekat dengan Taman Nasional Lorentz
sebuah hutan hujan tropis yang telah diberikan status khusus oleh PBB.
Sebuah penelitian yang bernilai jutaan dolar pada tahun 2002 yang dilakukan
oleh Parametrix yaitu perusahaan konsultan Amerika yang dibayar oleh Freeport serta
Rio Tinto yang merupakan mitra bisnis PT Freeport tidak pernah mengumumkan hasil
penelitian di daerah PT Freeport bahwa bagian hulu sungai dan daerah dataran rendah
basah yang dibanjiri dengan limbah tambang hanya cocok untuk kehidupan makhluk
hidup akuatik. Laporan itu diserahkan ke New York Times oleh Kementerian
Lingkungan Hidup Republik Indonesia. New York Times berkali-kali meminta izin
kepada Freeport dan pemerintah Indonesia untuk mengunjungi tambang dan daerah di
sekitarnya karena untuk itu diperlukan izin khusus bagi wartawan, semua permintaan
itu ditolak.
Freeport hanya memberikan respon secara tertulis. Sebuah surat yang
ditandatangani oleh Stanley S Arkin, penasihat hukum perusahaan ini menyatakan,
Grasberg adalah tambang tembaga dengan emas sebagai produk sampingan, dan bahwa
banyak wartawan telah mengunjungi pertambangan itu sebelum pemerintah Indonesia
memperketat aturan pada 1990-an. Bahan tambang yang dihasilkan oleh PT. Freeport
Indonesia adalah emas, tembaga, silver, Molybdenum, Rhenium dan selama ini hasil
bahan yang di tambang tidak jelas kerena hasil tambang tersebut di angkut dengan kapal
ke luar Indonesia untuk di murnikan sedangkan Molybdenum dan Rhenium adalah
merupakan sebuah hasil samping dari pemrosesan bijih tembaga.
Pengakuan dari ISO 14001 jauh dari kenyataan, terbukti Freeport sama sekali
acuh atau lebih tepatnya tidak bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya sebagai
dampak dari kegiatan operasi tambang contoh nyatanya adalah freeport secara
sembarangan membuang limbah batu ke alam tanpa melalui pengolahan dan
penanganan limbah secara baik dan benar sehingga mengakibatkan turunnya daya
dukung lingkungan sekitar pertambangan, dampak nyata dari pembuangan limbah
sembarang yang dilakukan oleh Freeport adalah hilangnya danau Wanagon, dan
sejumlah danau lainnya yang mempunyai warna indah akibat tertimbun limbah
bebatuan tersebut. Terlebih lagi Freeport membuang sembarang cairan berbahaya yang
merupakan bahan dalam proses pemisahan logam dan berbahaya jika limbah tersebut
10
dibuang secara langsung ke alamyang merupakan habitat hewan air dan kebutuhan
manusia akan air bersih hilang. Tercatat kandungan air tempat Freeport membuang
limbah konsentrasi racun mencapailevel kronis dan mengancam sekitar 75% organisme
air tawar yang hidup didalamnya.
Selain itu PT Freeport McMoran Indonensia pun telah berlaku semena-mena
kepada karyawan Freeport Indonesia yang kebanyakan adalah orang asli Indonesia.
Menurut pengakuan Bapak Tri Puspita selaku Sekretaris Hubungan Industri Serikat
Pekerja Freeport Indonesia, Freeport bersifat eksklusif sehingga akses untuk ke rumah
sakit ataupun mess pun juga sulit. Lebih jauh lagi, standart yang dimiliki pekerja
Freeport dari Indonesia sama dengan seluruh karyawan Freeport yang ada di seluruh
dunia akan tetapi gaji yang diterima oleh pekerja dari Indonesia hanya separuhnya.
Menariknya lagi, menurut laporan dari Investor Daily tanggal 10 Agustus 2009,
dikatakan bahwa pendapatan utama PT Freeport McMoran adalah dari operasi
tambangnya yang ada di Indonesia, yaitu sekitar 60%. Sampai saat ini karyawan
Freeport tengah menjalankan aksi mogok kerja dengan menuntut kenaikan gaji US$ 4
per jam. Sampai sekarang pihak managemen Freeport tidak menyetujui tuntutan
pekerja Indonesia tersebut. Bukan keadilan yang didapatkan pekerja Freeport dari
Indonesia yang menuntut kenaikan gaji akan tetapi tudingan sebagai kelompok
separatis lah yang mereka dapat. Padahal mereka hanya menuntut hak-haknya sebagai
warga negara untuk memperoleh kesejahteraan.
Pada Minggu (27/8/2017) lalu Tim Perundingan Pemerintah dan PT Freeport
Indonesia telah melakukan pertemuan. Perundingan tersebut dilakukan untuk
menyelesaikan perselisihan yang terjadi setelah diberlakukannya Peraturan Pemerintah
(PP) Nomor 1 tahun 2017. Dalam pertemuan tersebut, dari pihak pemerintah hadir
Menteri ESDM Ignasius Jonan selaku Ketua Tim Perundingan Pemerintah dan Menteri
Keuangan Sri Mulyani Indrawati, serta wakil dari Kementeriaan Koordinator
Perekonomian, Kemenko Kemaritiman, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian
LHK, Kementerian BUMN, Sekretariat Negara, dan BKPM. Sementara itu, dari pihak
Freeport hadir President dan CEO Freeport McMoran Richard Adkerson dan direksi
PT Freeport Indonesia.
Perundingan panjang antara pemerintah Indonesia dan PT Freeport Indonesia
akhirnya berujung pada kepastian tentang pelepasan saham kepada pemerintah
Indonesia sebesar 51% dan perpanjangan kontrak di Papua hingga tahun 2041.
Perpanjangan pertama sepuluh tahun sampai 2031 dan kedua sampai 2041. Akan

11
dicantumkan secara detail kalau memenuhi persyaratan maka (perpanjangan) akan
disetujui Freeport juga setuju melepas sahamnya, atau melakukan divestasi, sebesar 51
persen kepada pemerintah Indonesia dan membangun fasilitas pengolahan dan
pemurnian yang harus selesai Januari 2022 dan ada stabilitas penerimaan negara.
Dalam jumpa pers bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani dan CEO Freeport
McMoran Richard Adkerson, sepakat untuk menjaga besaran penerimaan negara yang
lebih besar untuk Indonesia. Oleh karena itu, Freeport Indonesia harus mengubah
statusnya dari Kontrak Karya (KK) menjadi Izin IUPK. "Dengan persyaratan ini
berdasar UU No. 4 tahun 2009 tentang Minerba perpanjangan operasi bisa diperpanjang
2 kali sepuluh tahun sampai 2041."
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengakui bahwa negosiasi tidak mudah
lantaran kedua pihak memiliki posisi berbeda. Indonesia juga harus memastikan
investasi yang akan perusahaan tersebut lakukan dalam tambang bawah tanahnya.
Namun, iamengatakan ada tiga posisi Indonesia yang sudah tidak bisa dinegosiasikan.
Yakni divestasi 51%, pembangunan smelter dalam jangka waktu yang ditetapkan harus
direalisasikan dan jaminan penerimaan negara dari operasi Freeport Indonesia di
Indonesia harus lebih besar dari yang ditetapkan jika dalam status KK.
Negosiasi dengan Freeport Indonesia dimulai pada awal tahun, seiring
diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pelaksana
Kegiatan Tambang Mineral dan Batubara pada Januari 2017. Aturan baru itu mengusik
perusahaan tambang tembaga dan emas raksasa yang beroperasi di Papua sejak akhir
1960an.Regulasi ini mengatur perusahaan tambang mineral yang ingin melakukan
ekspor harus memenuhi beberapa persyaratan. Diantaranya, mengubah status kontrak
karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), membangun smelter
dan divestasi 51 persen. Sementara, Freeport belum memenuhi persyaratan-persyaratan
tersebut. Akhirnya, sejak 10 Februari 2017, Freeport menghentikan kegiatan
produksinya yang berimbas kepada pekerja tambangnya di Mimika, Papua. Puluhan
ribu pekerja pun dirumahkan. Di sisi lain, sengketa Freeport dengan sebagian buruhnya
di Mimika, yang ditandai dengan pemogokan beberapa waktu lalu, berakhir ricuh, dan
berujung pada pemecatan sejumlah besar buruh.
Pada tahun ini pemerintah telah menyelesaikan tahap demi tahap proses
negosiasi pengambilalihan 51% saham PT Freeport Indonesia, setelah sepakat
memberikan 10% saham untuk Pemerintah Daerah Papua. Terlaksananya pemberian
10% saham kepada Papua menjadi tanda bahwa Inalum segera membentuk perusahaan

12
konsorsium bersama BUMD yang dibentuk oleh Pemprov Papua dan Pemkab Mimika.
Pemerintah menargetkan pengambilalihan saham PT Freeport Indonesia (PTFI) sebesar
51% rampung pada Juni 2018. Saat ini, kepemilikian saham Indonesia di perusahaan
tambang asal Amerika Serikat baru sebesar 9,36%. Proses pengambilalihan 51% saham
Freeport Indonesia dilakukan pemerintah dengan mengakuisisi hak participating
interest (PI) Rio Tinto yang sebesar 40% dalam pengolahan tambang Grasberg. Proses
negosiasi dilakukan pemerintah dengan perusahaan tambang multinasional asal
Asutralia.Pengambilalihan 51% saham Freeport ini juga dilakukan dengan mekanisme
korporasi tanpa secuil pun membebani APBN dan APBD. Koprorasi yang dimaksud
adalah Holding BUMN Pertambangan yang dipimpin Inalum dan bekerjasama dengan
BUMD bentukan Pemerintah Provinsi Papua dan Pemerintah Kabupaten Mimika yakni
PT Papua Divestasi Mandiri.

E. Etika Bisnis dalam Perspektif Islam


Etika merupakan seperangkat prinsip moral yang membedakan apa yang benar
dari apa yang salah. Sedangkan bisnis adalah suatu serangkaian peristiwa yang
melibatkan pelaku bisnis, maka etika diperlukan dalam bisnis. Bisnis dalam islam
memposisikan pengertian bisnis yang pada hakikatnya merupakan usaha manusia untuk
mecari keridhaan Allah SWT. Bisnis tidak bertujuan jangka pendek, individual dan
semata-mata keuntungan yang berdasarkan kalkulasi matematika, tetapi bertujuan
jangka pendek sekaligus jangka panjang, yaitu tanggung jawab pribadi dan sosial
dihadap masyarakat, Negara dan Allah SWT.
Dalam ajaran Islam, etika bisnis dalam Islam dibangun atau dilandasi oleh
aksioma-aksioma dari filsafat etika islam, (Beekun, 1996) dalam Sofyan (2011) keenam
aksioma tersebut adalah:
1. Tauhid, unity (kesatuan, keutuhan)
Dalam hal ini semua aspek hidup dan mati adalah satu baik aspek politik, ekonomi,
social, maupun agama adalah berasal dari satu sistem nilai yang paling terintegrasi,
terkait dan konsisten. Tauhid hanya cukup dianggap keyakinan tuhan hanya satu.
Tauhid adalah sistem yang harus dijalankan dalam mengelola kehidupan ini.
2. Adil, equilibrium (keseimbangan, harmoni)
Semua aspek kehidupan harus seimbang agar menghasilkan keteraturan dan
keamanan sosial sehingga kehidupan manusia di dunia dan di akhirat nanti
melahirkan harmoni dan keseimbangan.

13
3. Free will (kebebasan)
Manusia diangkat segai khalifah Allah atau pengganti Allah di bumi untuk
memakmurkannya. Manusia dipersilakan dan mampu berbuat sesuka hatinya tanpa
paksaan, tuhan memberikan koridor yang boleh dan tidak boleh.
4. Responsibility (tanggung jawab)
Karena kebebasan yang diberikan diatas, maka manusia harus memberikan
pertanggungjawabannya annti dihadapan Allah atas segala keputusan dan tindakan
yang dilakukannya.
5. Ihsan, benevolence (kemanfaatan)
Semua keputusan dan tindakan harus menguntungkan manusia baik didunia
maupun diakhirat, selain hal itu seharusnya tidak dilakukan.

F. Kasus PT. Freeport Ditinjau dari Aksioma dalam Filsafat Etika Islam
1. Tauhid, unity (kesatuan, keutuhan)
Jika ditinjau dari aksioma tauhid, unity maka dapat diketahui bahwa PT. Freeport
dalam menjalankan bisnisnya tidak berprinsip pada kesatuan dan keutuhan. Hal ini
dapat terlihat dari sistem yang dijalankan dalam pengelolaan perusahaan yang tidak
sesuai dengan syariat-syariat islam. Hal yang paling menonjol dalam PT Freeport
yang tidak sesuai dengan syariat islam adalah banyak memberikan dampak buruk
di daerah mimika papua salah satunya yaitu pencemaran lingkungan, selain itu PT
Freeport semena-mena pada karyawan yang berasal dari Indonesia. Hal sesuai
dengan Al Baqarah 02 : 11. Dan bila dikatakan kepada mereka: "Janganlah
kamu membuat kerusakan di muka bumi" Mereka menjawab: "Sesungguhnya
kami orang-orang yang mengadakan perbaikan." Dan Asy Syu'araa' 26 : 183.
Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah
kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan.
2. Adil, equilibrium (keseimbangan, harmoni)
Jika ditinjau dari aksioma ini maka dapat diketahui bahwa PT. Freeport dalam
menjalankan bisnisnya tidak berprinsip keadilan dan keseimbangan. Hal ini dapat
terlihat dari penandatangan Kontrak Karya I & II yang sebagian besar
menguntungkan PT. Freeport Indonesia, besarnya pendapatan yang diperoleh
Freeport jauh lebih besar dibandingkan dengan pendapatan yang diperoleh bangsa
Indonesia, padahal sudah jelas bahwa kekayaan hasil pertambangan itu didapat dari
SDA yang ada di Indonesia. Selain itu standart pekerja yang diminta oleh Freeport

14
dari Indonesia sama dengan seluruh karyawan Freeport yang ada di seluruh dunia
akan tetapi gaji yang diterima oleh pekerja dari Indonesia hanya separuh gaji dari
para pekerja Freeport yang ada diluar Indonesia.
3. Free will (kebebasan)
Dalam pandangan aksioma ini manusia dipersilakan dan mampu berbuat sesuka
hatinya tanpa paksaan, tuhan memberikan koridor yang boleh dan tidak boleh.
Aturan ini dimaksudkan untuk kemaslahatan manuisa. Jika ditinjau dalam aksioma
ini PT. Freeport mempunyai kebebasan dalam mengelola sumber daya alam yang
ada di Indonesia dengan tujuan untuk memberikan kemakmuran dari perusahaan
dan masyarakat sekitar. Namun kenyataannya dengan adanya kebebasan tersebut
PT. Freeport justru menyalahgunakan kebebasan itu dengan cara mengeruk
keuntungan yang sebesar-besarnya dari hasil pertambangan tanpa memikirkan
kerugian yang ditanggung oleh masyarakat sekitar pertambangan.
4. Responsibility (tanggung jawab)
Jika ditinjau dari aksioma ini, PT. Freeport belum sepenuhnya bertanggungjawab
atas apa yang diakibatkan dari proses pertambangan, hal ini dapat terlihat dari
Dimana PT Freeport secara sengaja membuang limbah batu dan cairan berbahaya
kebantaran sungai tanpa melalui pengolahan dan penanganan limbah secara baik
dan benar sehingga mengakibatkan turunnya daya dukung lingkungan sekitar
pertambangan, membabat habis semua hutan, dan tidak mensejahterakan penduduk
sekitar melainkan hanya mensejahterakan Amerika serikat yang merupakan basis
dari PT Freepor Mc Moran.
5. Ihsan, benevolence (kemanfaatan)
Jika ditinjau dari benevolence, dengan adanya pertambangan PT. Freeport dapat
memberikan manfaat yaitu tersedianya lapangan pekerjaan bagi warga sekitar.
Namun disisi lain manfaat yang diperoleh rakyat Indonesia lebih kecil
dibandingkan dengan kerugian yang diterima. Hal ini dapat diketahui dari rusaknya
ekosistem, kesulitan warga papua dalam mendapatkan air bersih karena tercemarya
suangai-sungai akibat limbah dari pertambangan dll.

15
G. Kesimpulan
Dari hasil pemaparan kronologis kasus tentang PT. Freeport Indonesia dapat
disimpulkan bahwa dalam menjalankan kegiatan bisnisnya terdapat beberapa tindakan
yang etis maupun tidak etis yang dilakukan oleh PT. Freeport Indonesia. Adapun
tindakan yang tidak etis yang dilakukan oleh PT. Freeport Indonesia diantaranya
adalah:
1. Adanya Kontrak Karya I dan II yang sebagian besar memberikan kerugian
kepada bangsa Indonesia, terutama dalam hal penerimaan negara yang tidak
optimal, peran negara/BUMN untuk ikut mengelola tambang yang sangat
minim.
2. Adanya dampak lingkungan yang sangat signifikan akibat proses
pertambangan, dimana PT. Freeport Indonesia secara sengaja membuang
limbah batu dan cairan berbahaya kebantaran sungai tanpa melalui
pengolahan dan penanganan limbah secara baik dan benar sehingga
mengakibatkan turunnya daya dukung lingkungan sekitar pertambangan.
3. Ketidaksetaraan standart gaji yang diperoleh para pegawai Indonesia
dibandingkan dengan gaji yang diperoleh pegawai Freeport diluar negeri.
Sedangkan tindakan etis yang dilakukan oleh PT. Freeport Indonesia dapat
diketahui dari hasil perundingan antara PT. Freeport dan bangsa Indonesia yang isinya
dalah sebagai berikut:
1. PT. Freeport Indonesia akan menyetujui Penandatanganan divestasi saham
Freeport kepada bangsa Indonesia sebesar 51%. Dengan adanya
penandatangan tersebut diharapkan bangsa Indonesia akan ikut
mendapatkan keuntungan secara optimal yang diperoleh dari hasil kegiatan
pertambangan.
2. PT. Freeport Indonesia akan bersedia membangun smelter yang diminta
oleh Indonesia. Dengan adanya pembangunan smelter diharapakan dapat
menambah nilai jual dari mineral, meningkatkan Investor dalam atau pun
luar negeri serta membuka lapangan kerja baru.
3. PT. Freeport Indonesia akanbersedia mengubah status kontrak karya (KK)
menjadi IUPK.Dengan perubahan status menjadi IUPK Penerimaan negara
secara agregat lebih besar dibanding penerimaan melalui Kontrak Karya
selama ini, yang didukung dengan jaminan fiskal dan hukum yang
terdokumentasi untuk PT Freeport Indonesia.

16
H. Saran
Adapun saran yang dapat diberikan kepada PT. Freeport Indonesia dalam
menjalankan suatu bisnis usaha yaitu PT. Freeport hendaknya memiliki motifasi atau
tujuan untuk mensejahterakan para stakeholder, maupun stockholder tanpa ada tujuan
untuk mendapatkan keuntungan secara pribadi, untuk mencapai suatu tujuan tersebut
diharapkan perusahaan tidak melanggar berbagai etik dalam kegiatan berbisnis. Selain
itu hendaknya PT. Freeport dalam menjalankan bisnisnya memberikan
kebermamanfaat yang lebih besar dibandingkan dengan kerugian yang diperoleh
masyarakat dengan memberikan keadilan dan keseimbangan. Dengan diterapkannya
karakter moral yang baik tersebut diharapkan dalam menjalankan kegiatan bisninya PT.
Freeport akan mencapai tujuan bisnis secara maksimal tanpa harus mengorbankan
pihak lain.

17
REFERENSI

Leonard, Paul. 2014. Etika Bisnis dan Profesi untuk Direktur, Eksekutif, dan Akuntan.
Jakarta: Salemba Empat.

Sofyan S. Harahap. 2011. Etika Bisnis dalam Perspektif Islam. Jakarta: Salemba Empat.

http://serartan.blogspot.co.id/2010/05/latar-belakang-freeport-anda-yg-belum_15.html

http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-39055464

http://ptfi.co.id/id

https://finance.detik.com/energi/d-3621103/sri-mulyani-ri-kuasai-freeport-setelah-50-tahun-
dimiliki-asing

http://fitriasyaviraharani.blogspot.co.id/2017/03/keberadaan-ptfreeport-di-indonesia.html

https://dreamindonesia.me/2013/04/05/benarkah-freeport-adalah-negara-bagian-
amerika/comment-page-1/

18

You might also like