You are on page 1of 41

Refleksi Kasus April 2018

“MANAJEMEN JALAN NAPAS DENGAN INTUBASI


ENDOTRAKEAL PADA OPERASI OPEN FRAKTUR
SUPRACONDILER HUMERUS DEXTRA”

Disusun Oleh:
Putri Auliyah
N 111 16 007

Pembimbing Klinik:
dr. Muhammad Rizal, Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2018
BAB I
PENDAHULUAN

Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai


tindakan meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang
mengalami pembedahan, pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif pasien
gawat, terapi inhalasi dan penanggulangan nyeri menahun.
Salah satu usaha yang mutlak harus dilakukan oleh seorang dokter anestesi
adalah menjaga berjalannya fungsi organ tubuh pasien secara normal tanpa pengaruh
yang berarti akibat proses pembedahan tersebut. Pengelolaan jalan nafas menjadi
salah satu bagian yang terpenting dalam suatu tindakan anestesi.Karena beberapa efek
dari obat-obatan yang dipergunakan dalam anestesi dapat mempengaruhi keadaan
jalan nafas berjalan dengan baik.
Salah satu usaha untuk menjaga jalan napas pasien adalah dengan melakukan
tindakan intubasi endotrakheal, yakni dengan memasukkan suatu pipa ke dalam
saluran pernapasan bagian atas. Karena syarat utama yang harus diperhatikan dalam
anestesi umum adalah menjaga agar jalan napas selalu bebas dan napas dapat berjalan
dengan lancar serta teratur.
Tahap akhir dari pelaksanaan intubasi adalah ekstubasi. Dalam pelaksanaan
ekstubasi dapat terjadi gangguan pernapasan yang merupakan komplikasi yang sering
kita temui pasca anestesi. Komplikasi bisa terjadi setelah dilaksanakannya ekstubasi
seperti : pengeluaran sekret dari mulut yang menyumbat jalan napas, edema laring,
dan bisa terjadi spasme laring. Komplikasi pernapasan pasca anestesi bisa
menyebabkan hipoventilasi dan hipoksemia.
Gejala komplikasi kadang-kadang datangnya tidak diduga kendatipun
tindakan anestesi sudah dilaksanakan dengan baik. Keberhasilan dalam mengatasi
komplikasi tergantung dari deteksi gejala dini dan tindakan koreksi untuk mencegah
keadaan yang lebih buruk.

2
Teknik dan alat alat anestesi yang dipakai untuk bayi dan anak anak pada
umumnya berbeda dengan alat yang dipakai oleh dewasa.Anatomi dan fisiologi pada
bayi dan anak anak berbeda dengan dewasa juga psikologisnya sangat berbeda.Oleh
karena hal tersebut maka pengelolaan dan tehniknyaberbeda dengan dewasa.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Fraktur supracondiler Humeri


A. Defenisi
Fraktur suprakondiler humeri adalah fraktur yang terjadi pada bagiansepertiga
distal tulang humerus setinggi kondilus humeri tepat proksimaltroklea dan
capitulum humeri, yang melewati fossa olekrani.Garis frakturnyaberjalan
melalui apeks coronoid dan fossa olecranon. Fraktur ini sering terjadipada
anak – anak

B. Eidemiologi
Fraktur ini sering terjadi pada anak – anak, yaitu sekitar 65 % dariseluruh
kasus patah tulang lengan atas. Mayoritas fraktur suprakondiler padaanak –
anak terjadi pada usia 3 – 10 tahun, dengan puncak kejadiannya padausia 5
dan 7 tahun. Dan biasanya paling sering ditemukan pada anak laki –laki
daripada anak perempuan dengan perbandingan 2 : 1

C. Etiologi
Penyebab dari fraktur supracondiler humerus adalah adanya riwayat
trauma atau cedera, kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh dari ketinggian dan
sidewipe injuries

D. Patofisiologi
Trauma yang terjadi pada tulang humerus dapat menyebabkan fraktur.Fraktur
dapat berupa fraktur tertutup ataupun terbuka.Fraktur tertutup tidak disertai
kerusakan jaringan lunak di sekitarnya sedangkan fraktur terbuka biasanya
disertai kerusakan jaringan lunak seperti otot tendon, ligamen, dan pembuluh
darah. Tekanan yang kuat dan berlebihan dapat mengakibatkan fraktur

4
terbuka karena dapat menyebabkan fragmen tulang keluar menembus kulit
sehingga akan menjadikan luka terbuka dan akan menyebabkan peradangan
dan kemungkinan terjadinya infeksi Tertariknya segmen tulang disebabkan
karena adanya kejang otot pada daerah fraktur menyebabkan disposisi pada
tulang sebab tulang berada pada posisi yang kaku.
Daerah suprakondiler humeri merupakan daerah yang relatif lemah pada
ekstremitas atas.Di daerah ini terdapat titik lemah, dimana tulang humerus
menjadi pipih disebabkan adanya fossa olecranon di bagian posterior dan
fossa coronoid di bagian anterior.Maka mudah dimengerti daerah ini
merupakan titik lemah bila ada trauma didaerah siku.Terlebih pada anak-anak
sering dijumpai fraktur di daerah ini.Bila terjadi oklusi a. brachialis dapat
menimbulkan komplikasi serius yang disebut dengan Volkmann’s
Ischemia.A. brachialis terperangkap dan kingking pada daerah
fraktur.Selanjutnya a. brachialis sering mengalami kontusio dengan atau tanpa
robekan intima.

5
A. Anatomi jalan napas
Ada dua gerbang untuk masuk ke jalan nafas pada manusia yaitu hidung yang
menuju nasofaring (pars nasalis), dan mulut yang menuju orofaring (pars
oralis). Kedua bagian ini dipisahkan oleh palatum pada bagian anteriornya,
tapi kemudian bergabung di bagian posterior dalam faring. Faring berbentuk
U dengan struktur fibromuskuler yang memanjang dari dasar tengkorak
menuju kartilago krikoid pada jalan masuk ke esofagus. Bagian depannya
terbuka ke dalam rongga hidung, mulut, laring, nasofaring, orofaring dan
laringofaring (pars laryngeal).
Nasofaring dipisahkan dari orofaring oleh garis imaginasi mengarah ke
posterior. Pada dasar lidah, secara fungsional epiglotis memisahkan orofaring
dari laringofaring (atau hipofaring). Epiglotis mencegah terjadinya aspirasi
dengan menutup glotis- gerbang laring- pada saat menelan. Laring adalah
suatu rangka kartilago yang diikat oleh ligamen dan otot. Laring disusun oleh
9 kartilago: tiroid, krikoid, epiglotis, dan (sepasang) aritenoid, kornikulata dan
kuneiforme.

6
B. Evaluasi Jalan Napas
Tujuan evaluasi jalan nafas adalah untuk menghindari gagalnya
penanganan jalan nafas dengan menerapkan cara alternatif pada pasien yang
diduga akan sulit diventilasi dan/atau diintubasi. Kesulitan mask ventilation
terjadi bila terdapat penutupan yang inadekuat antara wajah pasien dan mask,
terdapat kebocoran oksigen dari face mask, atau terdapat resistensi aliran
masuk (inflow) atau aliran keluar (outflow) oksigen yang berlebihan. Kesulitan
laringoskopi terjadi bila tidak ada bagian glotis yang terlihat setelah usaha
laringoskopi dilakukan banyak kali.
Pasien dianggap memiliki kesulitan jalan nafas jika anestesiolog
mengalami kesulitan untuk memberikan ventilasi dengan facemask pada jalan
nafas bagian atas, kesulitan mengintubasi trakea , atau keduanya.
Untuk memperkirakan adanya kesulitan mask ventilation atau
kesulitan intubasi endotrakea, setiap pasien yang menerima perawatan
anestesi harus menjalani anamnesis dan pemeriksaan fisis jalan nafas yang
komprehensif. Pasien harus ditanyai mengenai komplikasi jalan nafas pernah
terjadi sewaktu dianestesi dulu. Riwayat trauma selama penanganan jalan

7
nafas sebelumnya pada bibir, gigi, gusi, atau mulut pasien dapat menandakan
adanya kesulitan jalan nafas. Demikian pula halnya, jika pasien
memberitahukan bahwa dilakukan usaha yang berkali-kali untuk
“memasukkan selang pernafasan” atau bahwa ia “terbangun” pada intubasi
sebelumnya, maka harus dipertimbangkan adanya kesulitan jalan nafas.
Kondisi medis yang biasanya meramalkan adanya kesulitan jalan nafas
antara lain riwayat trauma atau operasi wajah baru-baru ini atau pada masa
lampau, artritis reumatoid, hamil, epiglotitis, perlengketan servikal
sebelumnya, massa leher, Down’s syndrome, dan sindrom genetik lainnya
seperti Treacher-Collins dan Pierre-Robin yang berkaitan dengan kelainan
wajah. Dengan anamnesis yang positif, maka harus ditinjau dokumentasi
mengenai penanganan jalan nafas sebelumnya.
Berbagai hasil pemeriksaan fisis telah dihubungkan dengan kesulitan
jalan nafas:
Komponen pemeriksaan fisis jalan nafas preoperatif.
Komponen Temuan yang mencurigakan
- Panjang incisivus atas - Relatif panjang
- Hubungan incisivus maksilla - “Overbite” yang jelas (incisivus
dan mandibula saat rahang maksilla di anterior terhadap incisivus
dikatupkan biasa mandibula)
- Hubungan incisivus maksilla - Incisivus mandibula pasien di anterios
dan mandibula saat rahang (di depan) incisivus maksilla
dibuka
- Jarak antar-incisivus - <3 cm
(pembukaan mulut)
- Kemampuan uvula terlihat - Tidak terlihat saat lidah dijulurkan saat
pasien dalam posisi duduk (misalnya
Mallampati kelas >II)

8
- Bentuk palatum - Sangat melengkung atau sempit
- Kelainan ruang submandibula - Kaku, berindurasi, ditutupi massa, atau
tidak kenyal
- Jarak tiromentalis - <3 buku jari atau 6-7 cm
- Panjang leher - Pendek
- Ketebalan leher - Tebal (ukuran leher >17 inci)
- Kisaran gerakan kepala dan - Pasien tidak bisa menyentuh ujung
leher dagu pada dada atau tidak bisa
mengekstensikan lehernya
Diproduksi kembali atas izin Caplan RA, Benumof JA, Berry FA
(2003) Practice guidelines for the management of the kesulitan jalan nafas
an updated report by the American Society of Anesthesiologist’sTask Force

Gambar.Sistem klasifikasi Mallampati

9
Setiap pasien yang mendapat perawatan anestesi harus diperiksa secara
menyeluruh untuk mencari adanya gambaran ini. Pemeriksaan yang adekuat
sulit dilaksanakan tanpa partisipasi dan kerja sama yang aktif dari pasien.
Maksudnya, pemeriksaan yang semata-mata dilakukan dengan inspeksi
mungkin tidak hanya tidak lengkap, tetapi juga tidak akurat.
Pemeriksaan yang paling sering dilakukan untuk mengevaluasi pasien
untuk menemukan adanya kesulitan intubasi adalah penentuan sesuatu yang
disebut Kelas Mallampati (Mallampati Class). Sistem klasifikasi ini, pertama
kali dikembangkan pada tahun 1985, digunakan untuk memprediksi kesulitan
intubasi menilai secara fungsional rasio ukuran lidah seseorang terhadap rongga
mulutnya.
Meningkatnya kesulitan melakukan laringoskopi direk dihubungkan
dengan hasil pemeriksaan Kelas Mallampati III dan IV. Meskipun suatu
prediktor yang mencurigai adanya kesulitan penanganan jalan nafas mungkin
saja penting secara klinis, sebaiknya dilakukan pemeriksaan yang lebih banyak
dan lebih prediktif melalui skrining berbagai prediktor pada setiap pasien.
Selama anestesi, angka terjadinya kesulitan intubasi berkisar 3-18%.
Kesulitan dalam intubasi ini berhubungan dengan komplikasi yang serius,
terutama bila intubasi tersebut gagal. Hal ini merupakan salah satu
kegawatdaruratan yang akan ditemui oleh dokter anestesi.
Kesukaran yang sering dijumpai dalam intubasi endotrakheal biasanya
dijumpai pada pasien-pasien dengan :
a. Otot-otot leher yang pendek dengan gigi geligi yang lengkap.
b. Recoding lower jaw dengan angulus mandibula yang tumpul. Jarak
antara mental symphisis dengan lower alveolar margin yang melebar
memerlukan depresi rahang bawah yang lebih lebar selama intubasi.
c. Mulut yang panjang dan sempit dengan arcus palatum yang tinggi
d. Gigi incisium atas yang menonjol (rabbit teeth).

10
e. Kesukaran membuka rahang, seperti multiple arthritis yang menyerang
sendi temporomandibuler, spondilitis servical spine.
f. Abnormalitas pada servical spine termasuk achondroplasia karena
fleksi kepala pada leher di sendi atlantooccipital.
g. Kontraktur jaringan leher sebagai akibat combusio yang menyebabkan
fleksi leher.

C. Alat-alat yang Digunakan


1) Oral & Nasal Airway
Hilangnya tonus otot jalan nafas bagian atas (misalnya kelemahan dari
otot genioglosus) pada pasien yang dianestesi menyebabkan lidah dan
epiglotis jatuh kebelakang kearah dinding posterior faring. Mengubah posisi
kepala atau jaw thrust merupakan teknik yang disukai untuk membebaskan
jalan nafas. Untuk mempertahankan jalan nafas bebas, jalan nafas buatan
(artificial airway) dapat dimasukkan melalui mulut atau hidung untuk
menimbulkan adanya aliran udara antara lidah dengan dinding faring bagian
posterior.
Pasien yang sadar atau dalam anestesi ringan dapat terjadi batuk atau
spasme laring pada saat memasang jalan nafas artifisial bila refleks laring
masih intak. Pemasangan oral airway kadang-kadang difasilitasi dengan
penekanan refleks jalan nafas dan kadang-kadang dengan menekan lidah
dengan spatel lidah. Oral airway dewasa umumnya berukuran kecil (80
mm/Guedel No 3), medium (90 mm/Guedel no 4), dan besar (100 mm/Guedel
no 5).
Panjang nasal airway dapat diperkirakan sebagai jarak antara lubang
hidung ke lubang telinga, dan kira-kira 2-4 cm lebih panjang dari oral airway.
Disebabkan adanya resiko epistaksis, nasal airway tidak boleh digunakan
pada pasien yang diberi antikoagulan atau anak dengan adenoid. Juga, nasal
airway jangan digunakan pada pasien dengan fraktur basis cranii. Setiap pipa

11
yang dimasukkan melalui hidung (nasal airway, pipa nasogastrik, pipa
nasotrakheal) harus dilubrikasi. Nasal airway lebih ditoleransi daripada oral
airway pada pasien dengan anestesi ringan.

2) Face Mask
Penggunaan face mask dapat memfasilitasi pengaliran oksigen atau
gas anestesi dari sistem pernafasan ke pasien dengan pemasangan face
mask yang rapat Lingkaran dari face mask disesuaikan dengan bentuk
muka pasien.Orifisium face mask dapat disambungkan ke sirkuit mesin
anestesi melalui konektor. Tersedia berbagai model face mask. Face mask
yang transparan dapat mengobservasi uap gas ekspirasi dan muntahan.
Face mask yang dibuat dari karet berwarna hitam cukup lunak untuk
menyesuaikan dengan bentuk muka yang tidak umum. Retaining hook
dipakai untuk mengaitkan head scrap sehingga face mask tidak perlu terus
dipegang. Beberapa macam face mask untuk pediatrik di disain untuk
mengurangi dead space.

Bila face mask dipegang dengan tangan kiri, tangan kanan digunakan
untuk melakukan ventilasi dengan tekanan positif dengan memeras
breathing bag. Face mask dipasang dimuka pasien dan sedikit ditekan pada

12
badan face mask dengan ibu jari dan telunjuk. Jari tengah dan jari manis
menarik mandibula untuk ekstensi sendi atlantooccipital. Tekanan jari-jari
harus pada mandibula, jangan pada jaringan lunak yang menopang dasar
lidah karena dapat terjadi obstruksi jalan nafas. Jari kelingking ditempatkan
dibawah sudut rahang dan digunakan untuk jaw thrust manuver yang paling
penting untuk dapat melakukan ventilasi pasien.

Pada situasi yang sulit, diperlukan dua tangan untuk mendapatkan jaw
thrust yang adekuat dan face. Obstruksi selama ekspirasi dapat disebabkan
karena tekanan kuat dari face mask atau efek ball-valve dari jaw thrust.
Kadang-kadang sulit memasang face maks rapat kemuka. Membiarkan gigi
palsu pada tempatnya (tapi tidak dianjurkan) atau memasukkan gulungan kasa
ke rongga mulut mungkin dapat menolong mengatasi kesulitan ini. Ventilasi
tekanan normalnya jangan melebihi 20 cm H2O untuk mencegah masuknya
udara ke lambung.
Kebanyakan jalan nafas pasien dapat dipertahankan dengan face mask
dan oral atau nasal airway. Ventilasi dengan face mask dalam jangka lama
dapat menimbulkan cedera akibat tekanan pada cabang saraf trigeminal atau
fasial. Disebabkan tidak adanya tekanan positif pada jalan nafas selama nafas
spontan, hanya diperlukan tekanan minimal pada face mask supaya tidak
bocor. Bila face mask dan ikatan masker digunakan dalam jangka lama maka
posisi harus sering dirubah untuk menghindari cedera. Hindari tekanan pada
mata, dan mata harus diplester untuk menghindari resiko aberasi kornea.

3) IntubasiEndotrakeal
a. Defenisi
Intubasi adalah memasukan pipa ke dalam rongga tubuh melalui
mulut atau hidung. Intubasi terbagi menjadi 2 yaitu intubasi orotrakeal
(endotrakeal) dan intubasi nasotrakeal. Intubasi endotrakeal adalah

13
tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam trakea melalui rima glottis
dengan mengembangkan cuff, sehingga ujung distalnya berada kira-kira
dipertengahan trakea antara pita suara dan bifurkasio trakea. Intubasi
nasotrakeal yaitu tindakan memasukan pipa nasal melalui nasal dan
nasopharing ke dalam oropharing.

b. Tujuan
Tujuan dilakukannya intubasi yaitu sebagai berikut:
a.Mempermudah pemberian anestesi.
b.Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan
kelancaran pernapasan.
c.Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi lambung (pada keadaan tidak
sadar, lambung penuh dan tidak ada refleks batuk).
d.Mempermudah pengisapan sekret trakeobronkial.
e.Pemakaian ventilasi mekanis yang lama.

c. Indikasi
Indikasi intubasi endotrakeal adalah sebagai berikut :

14
a. Untuk patensi jalan napas, intubasi endotrakeal di indikasikan untuk
menjamin ventilasi, oksigenasi yang adekuat dan menjamin keutuhan
jalan napas.
b. Operasi daerah kepala, leher atau jalan napas atas.
c. Diperlukan untuk kontrol dan pengeluaran secret pulmo
d. Diperlukan proteksi jalan napas pada pasien yang tidak sadar atau
depresi reflex muntah.
e. Adanya penyakit atau kelainan jalan napas atas ( tumor supraglotis
dan subglotis.
f. Aplikasi pada ventilasi tekanan positif

c. Kontraindikasi
Beberapa kontra indikasi bagi dilakukannya intubasi endotrakheal
antara lain :
1. Beberapa keadaan trauma jalan nafas atau obstruksi yang tidak
memungkinkan untuk dilakukannya intubasi. Tindakan yang harus
dilakukan adalah cricothyrotomy pada beberapa kasus.
2. Trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang
vertebra servical, sehingga sangat sulit untuk dilakukan intubasi.

Dalam prediksi kesulitan intubasi sering di pakai 8T yaitu : Teeth,


Tongue, Temporo mandibula joint, Tonsil, Torticolis, Tiroid notch/TMD,
Tumor, Trakea

Mnemonic "LEMON" adalah Metode yang bermanfaat untuk fokus


pada evaluasi untuk jalan napas yang berpotensi sulit.

15
L = Look.
Untuk setiap pasien yang mungkin membutuhkan intubasi, dokter
harus selalu melihat, karakteristik yang mungkin memprediksi napas
berpotensi sulit.Ini termasuk, antara lain, obesitas, micrognathia, bukti operasi
kepala dan leher sebelumnya atau iradiasi, kehadiran rambut wajah, kelainan
gigi (gigi yang buruk, gigi palsu, gigi besar), wajah sempit, langit-langit tinggi
dan melengkung, leher pendek atau leher yang tebal, dan trauma wajah atau
leher.

E = Evaluasi 3-3-2 rule.


3-3-2 rule menyatakan bahwa pada pasien dengan anatomi relatif
normal berlaku: pembukaan mulut normal adalah tiga (dari pasien)
fingerbreadths; dimensi rahang yang normal juga akan memungkinkan tiga
fingerbreadths antara mentum dan tulang hyoid; dan kedudukan dari kartilago
tiroid harus dua fingerbreadths bawah tulang hyoid.

M = Mallampati.
Mallampati menyatakan bahwa ada hubungan antara apa yang dilihat
pada visualisasi faring peroral dan yang terlihat dengan laringoskopi. Untuk
melakukan evaluasi Mallampati, dengan pasien duduk, pasien memperpanjang
lehernya, membuka mulutnya penuh, menonjolkan lidahnya, dan berkata "ah."
Visualisasikan jalan napas, mencari lidah, langit-langit lunak dan keras, uvula,
dan pilar tonsil.

O = Obstruksi.
Evaluasi untuk stridor, benda asing, dan bentuk lain dari obstruksi sub
dan supraglottic harus dilakukan pada setiap pasien sebelum laringoskopi.

mobilitas N = Neck.

16
Pasien dengan artritis degeneratif atau arthritis mungkin memiliki
gerakan leher terbatas, dan ini harus dinilai untuk menjamin kemampuan
untuk extensi leher selama laringoskopi dan intubasi.Pasien yang dicurigai
cedera tulang belakang leher traumatis , dan mereka yang memakai neck
collar,gerakannya akan terbatas

d. Persiapan intubasi
Persiapan untuk intubasi termasuk mempersiapkan alat‐alat dan
memposisikan pasien.ETT sebaiknya dipilih yang sesuai. Pengisian cuff ETT
sebaiknya di tes terlebih dahulu dengan spuit 10 milliliter. Jika menggunakan
stylet sebaiknya dimasukkan ke ETT.Berhasilnya intubasi sangat tergantung
dari posisi pasien, kepala pasien harus sejajar dengan pinggang anestesiologis
atau lebih tinggi untuk mencegah ketegangan pinggang selama
laringoskopi.Persiapan untuk induksi dan intubasi juga melibatkan
preoksigenasi rutin.Preoksigenasi dengan nafas yang dalam dengan oksigen
100 %.
Persiapan alat untuk intubasi antara lain :
STATICS
Scope
Yang dimaksud scope di sini adalah stetoskop dan
laringoskop.Stestoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung
serta laringoskop untuk melihat laring secara langsung sehingga bisa
memasukkan pipa trake dengan baik dan benar. Secara garis besar,
dikenal dua macam laringoskop:
a. Bilah/daun/blade lurus (Miller, Magill) untuk bayi-anak-dewasa.
b. Bilah lengkung (Macintosh) untuk anak besar-dewasa.

17
Pilih bilah sesuai dengan usia pasien. Yang perlu diperhatikan
lagi adalah lampu pada laringoskop harus cukup terang sehingga
laring jelas terlihat.

Gambar Laringoscope

Tube
Yang dimaksud tubes adalah pipa trakea. Pada tindakan
anestesia, pipa trakea mengantar gas anestetik langsung ke dalam
trakea dan biasanya dibuat dari bahan standar polivinil klorida.Ukuran
diameter pipa trakea dalam ukuran milimeter.Bentuk penampang pipa
trakea untuk bayi, anak kecil, dan dewasa berbeda. Untuk bayi dan
anak kecil di bawah usia lima tahun, bentuk penampang melintang
trakea hampir bulat, sedangkan untuk dewasa seperti huruf D. Oleh
karena itu pada bayi dan anak di bawah lima tahun tidak menggunakan
kaf (cuff) sedangkan untuk anak besar-dewasa menggunakan kaf
supaya tidak bocor. Alasan lain adalah penggunaan kaf pada bayi-anak
kecil dapat membuat trauma selaput lendir trakea dan postintubation
croup.
Pipa trakea dapat dimasukkan melalui mulut (orotracheal tube)
atau melalui hidung (nasotracheal tube). Nasotracheal tube umumnya

18
digunakan bila penggunaan orotracheal tube tidak memungkinkan,
mislanya karena terbatasnya pembukaan mulut atau dapat
menghalangi akses bedah.Namun penggunaan nasotracheal
tube dikontraindikasikan pada pasien dengan farktur basis kranii.

Ukuran pipa trakea yang tampak pada tabel di bawah ini :


Usia Diameter (mm) Skala French Jarak Sampai
Bibir
Prematur 2,0-2,5 10 10 cm
Neonatus 2,5-3,5 12 11cm
1-6 bulan 3,0-4,0 14 11 cm
½-1 tahun 3,0-3,5 16 12 cm
1-4 tahun 4,0-4,5 18 13 cm
4-6 tahun 4,5-,50 20 14 cm
6-8 tahun 5,0-5,5* 22 15-16 cm
8-10 tahun 5,5-6,0* 24 16-17 cm
10-12 tahun 6,0-6,5* 26 17-18 cm
12-14 tahun 6,5-7,0 28-30 18-22 cm
Dewasa 6,5-8,5 28-30 20-24 cm
wanita
Dewasa pria 7,5-10 32-34 20-24 cm
*Tersedia dengan atau tanpa kaf
Cara memilih pipa trakea untuk bayi dan anak kecil:
Diameter dalam pipa trakea (mm) = 4,0 + ¼ umur (tahun)
Panjang pipa orotrakeal (cm) = 12 + ½ umur (tahun)
Panjang pipa nasotrakeal (cm) = 12 + ½ umur (tahun)

19
Pipa endotrakea adalah suatu alat yang dapat mengisolasi jalan nafas,
mempertahankan patensi, mencegah aspirasi serta mempermudah
ventilasi, oksigenasi dan pengisapan.

Gambar Pipa endotrakeal

Anatomi laring dan rima glotis harus dikenal lebih dulu. Besar
pipa trakea disesuaikan dengan besarnya trakea. Besar trakea tergantung
pada umur. Pipa endotrakea yang baik untuk seorang pasien adalah yang
terbesar yang masih dapat melalui rima glotis tanpa trauma. Pada anak
dibawah umur 8 tahun trakea berbentuk corong, karena ada penyempitan
di daerah subglotis (makin kecil makin sempit). Oleh karena itu pipa
endaotrakeal yang dipakai pada anak, terutama adalah pipa tanpa balon
(cuff). Bila dipakai pipa tanpa balon hendaknya dipasang kasa yang
ditempatkan di faring di sekeliling pipa tersebut untuk mencegah aspirasi
untuk fiksasi dan agar tidak terjadi kebocoran udara inspirasi. Bila
intubasi secara langsung (memakai laringoskop dan melihat rima glotis)
tidak berhasil, intubasi dilakukan secara tidak langsung (tanpa melihat
trakea) yang juga disebut intubasi tanpa lihat (blind). Cara lain adalah
dengan menggunakan laringoskop serat optic.
Untuk orang dewasa dan anak diatas 6 tahun dianjurkan untuk
memakai pipa dengan balon lunak volume besar tekanan rendah, untuk
anak kecil dan bayi pipa tanpa balon lebih baik.Balon sempit volume kecil

20
tekanan tinggi hendaknya tidak dipakai karena dapat menyebabkan
nekrosis mukosa trakea. Pengembangan balon yang terlalu besar dapat
dihindari dengan memonitor tekanan dalam balon (yang pada balon lunak
besar sama dengan tekanan dinding trakea dan jalan nafas) atau dengan
memakai balon tekanan terbatas. Pipa hendaknya dibuat dari plastik yang
tidak iritasif.
Ukuran penggunaan bervariasi bergantung pada usia pasien. Untuk
bayi dan anak kecil pemilihan diameter dalam pipa (mm) = 4 + ¼ umur
(tahun).
Pemakaian pipa endotrakea sesudah 7 sampai 10 hari hendaknya
dipertimbangkan trakeostomi, bahkan pada beberapa kasus lebih dini.Pada
hari ke-4 timbul kolonisasi bakteri yang dapat menyebabkan kondritis
bahkan stenosis subglotis.
Kerusakan pada laringotrakea telah jauh berkurang dengan adanya
perbaikan balon dan pipa.Jadi trakeostomi pada pasien koma dapat
ditunda jika ekstubasi diperkirakan dapat dilakukan dalam waktu 1-2
minggu. Akan tetapi pasien sadar tertentu memerlukan ventilasi
intratrakea jangka panjang mungkin merasa lebih nyaman dan diberi
kemungkinan untuk mampu berbicara jika trakeotomi dilakukan lebih dini
Size PLAIN Size CUFFED
2,5 mm 4,5 mm
3,0 mm 5,0 mm
3,5 mm 5,5 mm
4,0 mm 6,0 mm
4,5 mm 6,5 mm
5,0 mm 7,0 mm
5,5 mm 7,5 mm

21
Tabel Ukuran Pipa Endotrakeal
Airway
Airway yang dimaksud adalah alat untuk menjaga terbukanya
jalan napas yaitu pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau
pipa hidung-faring (naso-tracheal airway).Pipa ini berfungsi untuk
menahan lidah saat pasien tidak sadar agar lidah tidak menyumbat
jalan napas.

Tape
Tape yang dimaksud adalah plester untuk fiksasi pipa supaya tidak
terdorong atau tercabut.
Introducer
Introducer yang dimaksud adalah mandrin atau stilet dari
kawat yang dibungkus plastik (kabel) yang mudah dibengkokkan
untuk pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukkan.

Gambar Stylet

22
Connector
Connector yang dimaksud adalah penyambung antara pipa
dengan bag valve mask ataupun peralatan anesthesia.
Suction
Suction yang dimaksud adalah penyedot lender, ludah dan
cairan lainnya.

Gambar Alat-alat Intubasi Endotrakeal


Intubasi Orotrakeal
Laringoskop dipegang oleh tangan kiri. Dengan mulut pasien terbuka lebar,
blade dimasukan pada sisi kanan dari orofaring dengan hati-hati untuk menghindari
gigi. Geserkan lidah ke kiri dan masuk menuju dasar dari faring dengan pinggir blade.
Ujung dari blade melengkung dimasukkan ke valekula, dan ujung blade lurus
menutupi epiglotis. Handle diangkat menjauhi pasien secara tegak lurus dari
mandibula pasien untuk melihat pita suara. Terperangkapnya lidah antara gigi dan
blade serta pengungkitan dari gigi harus dihindari.
ETT diambil dengan tangan kanan, dan ujungnya dilewatkan melalui pita
suara yang terbuka (abduksi). Balon ETT harus berada dalam trakea bagian atas tapi
dibawah laring. Langingoskop ditarik dengan hati-hati untuk menghindari kerusakan
gigi. Balon dikembungkan dengan sedikit udara yang dibutuhkan agar tidak ada
kebocoran selama ventilasi tekanan positif, untuk meminimalkan tekanan yang

23
ditransmisikan pada mukosa trakea. Merasakan pilot balon bukan metode yang dapat
dipercaya untuk menentukan tekanan balon yang adekuat.
Setelah intubasi, dada dan epigastrium dengan segera diauskultasi dan
capnograf dimonitor untuk memastikan ETT ada di intratrakeal. Jika ada keragu-
raguan tentang apakah pipa dalam esophagus atau trakea, cabut lagi ETT dan
ventilasi pasien dengan face mask. Sebaliknya, jika sudah yakin, pipa dapat diplester
atau diikat untuk mengamankan posisi. Walaupun deteksi kadar CO2 dengan
capnograf merupakan konfirmasi terbaik untuk menentukan letak ETT di trakea, kita
tetap tidak dapat mengabaikan terjadinya intubasi bronkial. Manifestasi dini dari
intubasi bronkial adalah peningkatan tekanan respirasi puncak. Lokasi pipa yang tepat
dapat dikonfirmasi dengan palpasi balon pada sternal notch sambil menekan pilot
balon dengan tangan lainnya. Balon jangan ada diatas level kartilago krikoid, karena
lokasi intralaringeal yang lama dapat menyebabkan suara serak pada post operasi dan
meningkatkan resiko ekstubasi yang tidak disengaja. Posisi pipa dapat dilihat dengan
radiografi dada, tapi ini jarang diperlukan kecuali dalam ICU.
Hal yang diuraikan diatas diambil dari pasien tidak sadar. Intubasi lewat
mulut ini biasanya kurang ditoleran pada pasien yang sadar. Jika perlu, dalam kasus
terakhir, sedasi intravena, penggunaan lokal anestetik spray dalam orofaring, regional
blok saraf akanmemperbaiki penerimaan pasien.
Kegagalan intubasi jangan diikuti dengan pengulangan intubasi kembali
karena hasilnya akan sama. Perubahan harus dilakukan untuk meningkatkan
keberhasilan, seperti mengatur kembali posisi pasien, penurunan ukuran pipa,
pemasangan mandrin, memilih blade yang berbeda, mencoba lewat hidung atau
meminta bantuan dokter anestesi lainnya.
Jika pasien juga sulit untuk ventilasi dengan face mask, pilihan pengelolaan
jalan nafas yang lain (contoh LMA, combitube, krikotirotomi dengan jet ventilasi,
trakeostomi). Petunjuk yang dikembangkan oleh ASA untuk penanganan jalan nafas
yang sulit, termasuk algoritma rencana terapi.

24
e. Komplikasi
1. Selama intubasi
a) Trauma gigi geligi
b) Laserasi bibir, gusi, laring
c) Merangsang saraf simpatis (hipertensi-takikardi)
d) Intubasi bronkus
e) Intubasi esophagus
f) Aspirasi
g) Spasme bronkus

2. Setelah ekstubasi
a) Spasme laring
b) Aspirasi
c) Gangguan fonasi
d) Edema glottis-subglotis
e) Infeksi laring, faring, trakea

f. Ekstubasi
Ekstubasi ditunda sampai pasien benar-benar sadar, jika intubasi
kembali akan menimbulkan kesulitan ataupun pasca ekstubasi ada risiko
aspirasi. Ekstubasi dikerjakan umumnya pada anesthesia sudah ringan dengan
catatan tidak akan terjadi spasme laring. Sebelum ekstubasi bersihkan rongga
mulut laring faring dari secret dan cairan lainnya.

TEKNIK PEMASANGAN INTUBASI ENDOTRAKEAL


a. Beritahukan pada penderita atau keluarga mengenai prosedur
tindakan yang akan dilakukan, indikasi dan komplikasinya, dan
mintalah persetujuan dari penderita atau keluarga ( informed consent)

25
b. Cek alat yang diperlukan, pastikan semua berfungsi dengan baik dan
pilih pipa endotrakeal ( ET) yang sesuai ukuran. Masukkan stilet ke
dalam pipa ET. Jangan sampai ada penonjolan keluar pada ujung
balon, buat lengkungan pada pipa dan stilet dan cek fungsi
balon dengan mengembangkan dengan udara 10 ml. Jika fungsi
baik, kempeskan balon. Beri pelumas pada ujung pipa ET sampai daerah
cuff.
c. Letakkan bantal kecil atau penyangga handuk setinggi 10 cm di
oksiput dan pertahankan kepala sedikit ekstensi. (jika resiko fraktur
cervical dapat disingkirkan)
d. Bila perlu lakukan penghisapan lendir pada mulut dan faring .
e.Lakukan hiperventilasi minimal 30 detik melalui bag masker dengan
Fi O2 100 %.
f. Buka mulut dengan cara cross finger dan tangan kiri memegang
Laringoskop.
g. Masukkan bilah laringoskop dengan lembut menelusuri mulut sebelah
kanan, sisihkan lidah ke kiri. Masukkan bilah sedikit demi
sedikit sampai ujung laringoskop mencapai dasar lidah, perhatikan
agar lidah atau bibir tidak terjepit di antara bilah dan gigi pasien.
g. Angkat laringoskop ke atasdan ke depan dengan kemiringan 30
samapi 40 sejajar aksis pengangan. Jangan sampai menggunakan gigi
sebagai titik tumpu.
h. Bila pita suara sudah terlihat tahan tarikan atau posisi laringoskop
dengan menggunakan kekuatan siku dan pergelangan tangan. Masukkan
pipa ET dari sebelah kanan mulut ke faring sampai bagian proksimal
dari cuff ET melewati pita suara ± 1 –2 cm atau pada orang dewasa atau
kedalaman pipa ET ±19 -23 cm
i. Angkat laringoskop dan stilet pipa ET dan isi balon dengan
udara 5 –10 ml. Waktu intubasi tidak boleh lebih dari 30 detik.

26
j. Hubungan pipa ET dengan ambubag dan lakukan ventilasi sambil
melakukan auskultasi ( asisten), pertama pada lambung, kemudaian
pada paru kanan dan kiri sambil memperhatikan pengembangan
dada.Bila terdengar gurgling pada lambung dan dada tidak
mengembang, berarti pipa ET masuk ke esofagus dan pemasangan
pipa harus diulangi setelah melakukan hiperventilasi ulang selama
30 detik. Berkurangnya bunyi nafas di atas dada kiri biasanya
mengindikasikan pergeseran pipa ke dalam bronkus utama kanan dan
memerlukan tarikan beberapa cm dari pipa ET.
k. Setelah bunyi nafas optimal dicapai, kembangkan balon cuff dengan
menggunakan spuit 10 cc.
l. Lakukan fiksasi pipa dengan plester agar tak terdorong atau tercabut
m. Pasang orofaring untuk mencegah pasien menggigit pipa ET jika
mulai sadar.
n. Lakukan ventilasi terus dengan oksigen 100 % ( aliran 10 sampai 12
liter per menit)

27
BAB III

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
1. Nama : An. A
2. Jenis Kelamin : laki-laki
3. Usia : 10 Tahun
4. Berat Badan : 27 kg
5. Agama : Islam
6. Pekerjaan : pelajar
7. Alamat : Kabupaten Toli-toli
8. Tanggal Operasi : 02 / 04/ 2018
9. Diagnosa Pra Bedah : Open fraktur Supracondiler Humerus Dextra
10. Tindakan : Pro Orif + debridement
11. Jenis anestesi : Anestesi umum (General Anestesi)
12. Teknik anestesi : Intubasi

B. ANAMNESIS
 Keluhan Utama : Nyeri di bagian Tangan sebelah kanan
 Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien masuk RS dengan Rujukan dari RSUD Mokopido dengan
diagnosa open fraktur supracondiler humeri dextra. Pasien mengeluh nyeri
pada tangan sebelah kanan akibat ditabrak sepeda motor saat sementara
berjalan kaki sekitar 5 hari yang lalu. Tangan tidak dapat digerakkan sejak 2
hari terakhir dan terasa nyeri. Mual (-), muntah (-), sakit kepala (-), pingsan (-
), Buang air besar (BAB) dan buang air kecil (BAK) lancar seperti biasa.
 Riwayat Penyakit Sebelumnya
o Riwayat alergi (-)
o Riwayat asthma (-)

28
o Riwayat penyakit jantung (-)
o Riwayat operasi sebelumnya (-)

C. PERSIAPAN PRE OPERASI


Pemeriksaan Fisik Pre Operasi
• B1 (Breath):Airway : bebas, gurgling/snoring/crowing:-/-/-, RR: 22
x/mnt, Mallampati : 2, JMH: 6 cm, , Riwayat asma (-) alergi (-), batuk (-
), sesak (-) leher pendek (-), gerak leher bebas, tonsil (T1-T1), faring
hiperemis (-),pernapasan bronkovesikular (+/+), suara pernapasan
tambahan ronchi (-/-), wheezing (-/-),
• B2 (Blood):Akral :Hangat TD : 100/70 mmHg, HR : 68x/mnt, reguler,
masalah pada sistem cardiovaskuler (-).
• B3 (Brain):kesadaran : CM, Pupil: isokor Ø 2 mm / 2mm, RC +/+
• B4 (Bladder):BAK (+), frekuensi 5-6 kali sehari warna : kuning jernih
• B5 (bowel) Abdomen: peristaltik (+), Mual (-), muntah (-).Nyeri tekan (-)
• B6 Back & Bone : Edema ekstremitas bawah (-), ekstremitas atas tampak
edema,nyeri tekan dan fraktur pada region supracondilar humerus
dextra
• Mallampati :2
• ASA : II
Pemeriksaan Lab
Parameter Hasil Satuan Range Normal
RBC 4,2 106/mm3 3,80-5,20
Hemoglobin (Hb) 10,9 g/dL 11,7-15,5
Hematokrit 35,5 % 37,0-47,0
PLT 298 103/mm3 150-500
WBC 8,0 103/mm3 4,0-10,0

29
CT 7’ Menit 4-10
BT 3’ Menit 1-5

HbsAg Non Reaktif Non Reaktif

D. DI KAMAR OPERASI
Hal-hal yang perlu dipersiapkan di kamar operasi antara lain adalah:
a. Meja operasi dengan asesoris yang diperlukan
b. Mesin anestesi dengan sistem aliran gasnya
c. Alat-alat resusitasi (STATICS)
d. Obat-obat anestesia yang diperlukan.
e. Obat-obat resusitasi, misalnya; adrenalin, atropine, aminofilin, natrium
bikarbonat dan lain-lainnya.
f. Tiang infus, plaster dan lain-lainnya.
g. Alat pantau tekanan darahAlat-alat pantau yang lain dipasang sesuai dengan
indikasi, misalnya; “Pulse Oxymeter” dan “Capnograf”.
h. Kartu catatan medic anestesia
i. Selimut penghangat
Tabel Komponen STATICS

S Scope Stetoscope untuk mendengarkan suara paru dan


jantung.

Laringo-Scope: pilih bilah atau daun (blade) yang


sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang.

T Tubes Pipa trakea, pilih sesuai ukuran pasien

30
A Airways Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau
pipa hidung-faring (nasi-tracheal airway). Pipa ini
menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk
mengelakkan sumbatan jalan napas.

T Tapes Plaster untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau


tercabut.

I Introducer Mandarin atau stilet dari kawat dibungkus plastic


(kabel) yang mudah dibengkokkan untuk pemandu
supaya pipa trakea mudah dimasukkan. Pada pasien ini
tidak digunakan introducel atau stilet.

C Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anastesia.

S Suction Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.

 Data Anestesia
1. Jenis anestesi : Anestesi umum (General Anestesi)
2. Teknik anestesi : Intubasi Endotrakeal
3. Obat : Isofluran
4. E.T.T No. : 5.0
5. Lama anestesi : 09.40 – 11.30 (1 jam50 menit)
6. Lama operasi : 09.50 – 11.20 (1 jam 30 menit)
7. Anestesiologi: dr. A. Donny T, Sp.An
8. Ahli Bedah : dr. Sri Sikspsiriani, Sp.OT
9. Infus: 1 line di tangan kiri

a. Pre-operatif

- Pasien puasa 8 jam pre-operatif


- Infus futrolit 500 ml
- Keadaan umum dan tanda vital dalam batas normal

31
- Persetujuan tindakan anestesi dan operasi

b. Intraoperatif

140

120

100

80
sistol
60 diastol

40 nadi

20

Keterangan: mulai operasimulai anastesi

- Perdarahan selama operasi: ± 400 cc.


- Jumlah cairan yang diberikan selama pembedahan :
RL 700 cc

Jumlah medikasi
- Isofluran
- Midazolam 2 mg
- Fentanyl 60 mg
- Propofol 50 mg
- Tramus 15 m

32
TERAPI CAIRAN :

BB : 27 kg
EBV : 80 cc/kg BB x 27 kg = 2160 cc
Jumlah perdarahan : ± 400 cc
% perdarahan :400/2160 x 100% = 18,51 %

Pemberian Cairan
 Cairan masuk :
- Pre operatif : Futrolit500 cc
- Durante operatif :
o Kristaloid RL700 cc
- Total input cairan : 1200 cc
 Cairan keluar :
Durante operatif
- Perdarahan ± 400 cc

PERHITUNGAN CAIRAN
a. Input yang diperlukan selama operasi
1. Cairan Maintanance (M) : (4x10) + (2x10) + (1x7) = 67 ml/jam
2. Cairan defisit pengganti puasa (P) : lama puasa x maintenance = 8 x 67 = 536
ml – 500 ml (cairan yang masuk saat puasa) = 36 ml
3. Stress Operasi Besar : 8 cc x 27 kg = 216 cc
4. Cairan defisit darah selama operasi ( Darah = 400 ml x 3 = 1200 ml )

Total kebutuhan cairan selama 1 jam 30 menit operasi = (67 x 2 ) + 36 + 216 +


1200 = 1.586ml

33
b. Cairan masuk :

Kristaloid : 700 ml
Whole blood : -
Total cairan masuk :700 ml

c. Keseimbangan kebutuhan:

Cairan masuk – cairan dibutuhkan = 700ml – 1586ml = -886ml

d. Perhitungan cairan pengganti darah :

Transfusi + 3x cairan kristaloid = volume perdarahan

0 + 3x = 400

3x=400

X : 3 x 400 = 1200 ml

Untuk mengganti kehilangan darah 400 cc diperlukan± 1200 cairan kristaloid.

C. Post Operatif
1. Tekanan darah, nadi, pernapasan, aktivitas motorik.
2. Memasang O2 3 L/menit nasal kanul.
3. Memberikan antibiotik profilaksis, antiemetik, H2 reseptor bloker dan
analgetik.
TD: 110/70 mmHg
Nadi : 66 x/menit
RR: 16 x/menit
GCS E4V5M6, KU baik

34
Skor pemulihan pasca anestesi
Steward score
Pergerakan = Gerak bertujuan (2)
Pernafasan = Batuk (2)
Kesadaran = Menangis (2)
Skor steward = 6

35
BAB IV
PEMBAHASAN

Pada dasarnya baik pada anak maupun dewasa tujuan anestesi adalah sama, yaitu
menghilangkan rasa sakit dan membuat nyaman pasien selama operasi berlangsung
dan setelahnya. General anesthesia merupakan jenis anestesi yang sering digunakan
untuk pasien yang akan menjalani operasi. Selama operasi berlangsung, tanda vital
akan dipantau melalui monitor fungsi tubuh secara umum yaitu denyut nadi, nafas,
tekanan darah, dan saturasi oksigen. Selain itu, intubasi diperlukan untuk membuka
jalan nafas pada anestesi umum.
Anastesi yang digunakan pada kasus ini adalah dengan general anastesi dimana lebih
menguntungkan pada kasus ini. Sedangkan tekniknya dengan menggunakan intubasi
endotrakeal,Teknik anestesinya semi closed inhalasi dengan pemasangan
endotrakheal tubeØukuran 5.karena dengan teknik ini saturasi oksigen bisa
ditingkatkan, jalan napas terjaga bebas, dan dosis obat anestesi dapat dikontrol
dengan mudah.
Sebelum dilakukan operasi, pasien diperiksa terlebih dahulu, meliputi
anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang untuk menentukan status fisik
(ASA), serta ditentukan rencana jenis anestesi yang akan dilakukan yaitu general
anestesi dengan intubasi. Setelah dilakukan pemeriksaan tentang keadaan umum Pada
pasien ini, pemeriksaan fisik ataupun laboratorium menunjukkan adanya gangguan
yang dapat menjadi kontraindikasi dilakukannya tindakan yaitu hemoglobin yang
rendah dan pasien tergolong dalam status fisik ASA II
Sebelum dilakukan operasi pasien diberikan cairan Futrolit 500 CC.
Pemberian cairan pre operatif ini bertujuan untuk mengganti hilangnya cairan selama
8 jam puasa yang dilakukan sebelum operasi.Pemberian maintenance cairan sesuai
dengan berat badan pasien yaitu (4x10kg) + (2x10kg) + (1x7), sehingga kebutuhan
cairan maintenance pasien selama operasiadalah sekitar 134 cc. Sebelum dilakukan
operasi pasien dipuasakan selama 8jam.Tujuan puasa untuk mencegah terjadinya

36
aspirasi isi lambung karena regurgitasi atau muntah pada saat dilakukannya tindakan
anestesi akibat efek samping dari obat-obat anastesi yang diberikan sehingga refleks
laring mengalami penurunan selama anestesia. Penggantian puasa juga harus dihitung
dalam terapi cairan ini yaitu 8xmaintenance. Sehingga kebutuhan cairan yang harus
dipenuhi selama 8 jam ini adalah 536 cc/8jam.
Pada kasus ini,obat obatan medikasi tambahan yang diberikanadalahMidazolam
2 mg untuk efek sedatif.Midazolam merupakan golongan benzodiazepin merupakan
agen obat antiansietas yang bekerja dengan cara berikatan dengan reseptor di
beberapa tempat di sistem saraf pusat termasuk sistem limbik dan formatio
retikularis, menghasilkan efek sedasi yang dimediasi oleh sistem reseptor GABA,
meningkatkan permeabilitas membran neuron yaitu pertukaran ion Cl - sehingga
menghambat efek inhibisi GABA. Kemudian pasien diberikan Fentanil 60 µg
intravena digunakan sebagai analgesi opioid.Fentanil adalah analgesik narkotik yang
poten, bisa digunakan sebagai tambahanuntuk general anastesi yang memiliki kerja
cepat dan efek durasi kerja kurang lebih 30 menitsetelah dosis tunggal.
Induksi pada pasien ini dilakukan dengan anastesi intravena yaitu Propofol 50
mg I.V Larutan emulsi dengan konsentrasi 1%, metabolism sangat cepat terutama
karena biotransformasi, memiliki efek induksi yang cepat, dengan distribusi dan
eliminasi yang cepat. Selain itu juga propofol dapat menghambat transmisi neuron
yang hancur oleh GABA. Obat anestesi ini mempunyai efek kerjanya yang cepat dan
dapat dicapai dalam waktu 30 detik.Onset dan pemulihan cepat seperti halnya
pentothal, tetapi tidak ada hangover dan gangguan psikomotor. Insidens mual dan
muntah yang rendah menyebabkan penderita lebih cepat imobilisasi.
Pemeliharaan atau maintanance adalah tahapan dimana pembedahan dapat
berlangsung dengan baik (untuk para ahli bedah). Yang digunakan adalah anestesi
inhalasi sebab eksresinya melalui sistem respirasi sehingga dengan adanya gangguan
fungsi ginjal tidak akan merubah obat-obat tersebut, obat-obat yang bisa dipakai
antara lain isoflouran, halotan, desfluran, dan sevofluran. Pada pasien ini digunakan
pemeliharaan dengan Isofluran.Isofluran adalah obat anestesi isomer dari enfluran,

37
merupakan cairan tidak berwarna dan berbau tajam, menimbulkan iritasi jalan nafas
jika dipakai dengan konsentrasi tinggi menggunakan sungkup muka. Tidak mudah
terbakar, tidak terpengaruh cahaya dan proses induksi dan pemulihannya relatif cepat
dibandingkan dengan obat-obat anestesi inhalasi yang ada pada saat ini tapi masih
lebih lambat dibandingkan dengan sevofluran.
Efek depresinya terhadap SSP sesuai dengan dosis yang diberikan.Pada dosis
anestesi tidak menimbulkan vasodilatasi dan perubahan sirkulasi serebrum serta
mekanisme autoregulasi aliran darah otak tetap stabil. Kelebihan lain yang dimiliki
oleh isofluran adalah penurunan konsumsi oksigen otak. Sehingga dengan demikian
isofluran merupakan obat pilihan untuk anestesi pada kraniotomi, karena tidak
berperngaruh pada tekanan intrakranial, mempunyai efek proteksi serebral dan efek
metaboliknya yang menguntungkan pada tekhnik hipotensi kendali.
Sebelum dilakukan intubasi diberikan pelumpuh otot terlebih dahulu yakni
bisa digunakan golongan non depolarisasi seperti yang diberikan pada pasien ini yaitu
tramus 15 mg, non-depolarising agent bekerja antagonis terhadap neurotransmitter
asetilkolin melalui ikatan reseptor site pada motor-end-plate.Dapat digunakan pada
berbagai tindakan bedah dan untuk memfasilitasi ventilasi terkendali. Intubasi
endotrakeal biasanya sudah dapat dilakukan dalam 90 detik setelah injeksi intravena
0,5 – 0,6 mg/kg.
Setelah pelumpuh otot bekerja barulah dilakukan intubasi dengan laringoskop
blade lengkung yang disesuaikan dengan anatomis leher pasien dengan metode chin-
lift dan jaw-trust yang berfungsi untuk meluruskan jalan nafas antara mulut dengan
trakea. Setelah jalan nafas dalam keadaan lurus barulah dimasukkan pipa
endotrakeal. Pada pasien ini digunakan ETT dengan cuff nomor 5.0. Pemasangan
ETT pada pasien ini 1 kali dilakukan.
Setelah ETT terfiksasi dilaksanakan pembedahan yang diikuti dengan rumatan
atau yang biasa dikenal dengan maintenance menggunakan O2 + Isofluran ditambah
dengan pemberian cairan parenteral yakni kristaloid untuk mensubstitusi cairan, baik
darah maupun cairan tubuh lainnya, yang keluar selama pembedahan.

38
Beberapa saat setelah pasien dikeluarkan dari ruang operasi, didapatkan pada
pemeriksaan fisik tekanan darah 110/ 70 mmHG, nadi 66 x/menit, dan laju respirasi
16 x/menit

39
BAB V
KESIMPULAN

Pemeriksaan pra anestesi memegang peranan penting pada setiap operasi yang
melibatkan anestesi.Pemeriksaan yang teliti memungkinkan kita mengetahui kondisi
pasien dan memperkirakan masalah yang mungkin timbul sehingga dapat
mengantisipasinya.
Pada kasus ini dilakukan penatalaksanaan anestesi umum dengan teknik intubasi
endotrakeal dengan ETTØukuran 5.0 pada operasi fraktur terbuka supracondiler
dextra pada seorang anak laki-laki, usia 10 tahun, status fisik ASA II. indikasi
dilakukannya teknik intubasi adalah Untuk patensi jalan napas, menjamin ventilasi,
oksigenasi yang adekuat dan menjamin keutuhan jalan napas.
Untuk mencapai hasil maksimal dari anestesi seharusnya permasalahan yang ada
diantisipasi terlebih dahulu sehingga kemungkinan timbulnya komplikasi anestesi
dapat ditekan seminimal mungkin.
Dalam kasus ini selama operasi berlangsung tidak ada hambatan yang berarti
baik dari segi anestesi maupun dari tindakan operasinya.Selama di ruang pemulihan
juga tidak terjadi hal yang memerlukan penanganan serius.Secara umum pelaksanaan
operasi dan penanganan anestesi berlangsung dengan baik.

40
DAFTAR PUSTAKA

GwinnuETT CL. 2014. Catatan Kuliah Anestesi Klinis Edisi 3. Penerbit EGC:
Jakarta

Dobson MB. 2012. Penuntun Praktis Anestesi. Penerbit EGC: Jakarta

Karjadi W. 2000. Anestesiologi dan Reanimasi Modul Dasar Untuk Pendidikan


Kedokteran. DIKTI: Jakarta

Orebaugh SL. 2007. Atlas Of Airway Management Techniques and Tools.


Philadelphia: LippincoETT, Williams, and Wilkins.

Morgan GE et al. Clinical Anesthesiology. 4th edition. New York: Lange Medical
Book. 2006.

Peterson GN, Domino KB, Caplan RA et al. 2005. Management of The Difficult
Airway: A Closed Claims Analysis. Anesthesiology 103:33–39

Caplan RA, Benumof JA, Berry FA. 2003. Practice Guidelines For The Management
Of The Difficult Airway: An Updated Report by The American Society of
Anesthesiologist’s Task Force on Management of The Difficult Airway.
Anesthesiology 98:1269–1277

Mallampati SR, GaETT SP, Gugino LD et al. 1985. A Clinical Sign to Predict
Difficult Tracheal Intubation: a Prospective Study. Can J Anaesth 32:429

Hagberg CA (ed). 2007. Benumof ’s Airway Management, 2nd edn. Philadelphia:


Mosby Elsevier.

41

You might also like