You are on page 1of 16

sucsses

Memahami penyebab masalah legal plyan keshtan

Bab 2
Tinjauan Materi

2.1 Permasalahan Etika Dalam Bidang Kesehatan


Berbagai permasalahan etis yang dihadapi perawat dalam praktik keperawatan telah
menimbulkan konflik antara kebutuhan pasien dengan harapan perawat dan falsafah
keperawatan. Masalah etika keperawatan pada dasarnya merupakan masalah etika kesehatan,
dalam kaitan ini dikenal istilah masalah etika biomedis atau bioetis. Istilah bioetis
mengandung arti ilmu yang mempelajari masalah-masalah yang timbul akibat kemajuan ilmu
pengetahuan terutama dibidang biologi dan kedokteran.

2.2 Beberapa Permasalahan Dasar Etika Kesehatan


Untuk memecahkan berbagai permasalahan bioetis telah dibentuk suatu organisasi
internasional. Para ahli telah mengidentifikasi masalah bioetis yang dihadapi oleh para tenaga
kesehatan, termasuk juga perawat. Permasalahan etis yang akan dibahas disini adalah:
Berkata jujur, AIDS, abortus, menghentikan pengobatan , cairan dan makanan, eutanasia,
transplantasi organ, dan beberapa permasalahan etis yang langsung berkaitan dengan praktik
keperawatan.

1. Berkata Jujur (Truth Telling)


Dalam konteks berkata jujur ada suatu istilah yang disebut desepsi, berasal dari kata decieve
yang berarti membuat orang percaya terhadap suatu hal yang tidak benar, menipu atau
membohongi. Desepsi meliputi berkata bohong, mengingkari atau menolak, tidak
memberikan informasi dan memberikan jawaban tidak sesuai dengan pertanyaan atau tidak
memberikan penjelasan sewaktu informasi dibutuhkan.
Berkata bohong merupakan tindakan desepsi yang paling dramatis karena dalam tindakan ini
seseorang dituntut untuk membenarkan sesuatu yang diyakini salah. Salah satu contoh
tindakan desepsi adalah perawat memberikan obat plasebo dan tidak memberitahu pasien
tentang obat apa yang sebenarnya diberikan tersebut.
Tindakan desepsi ini secara etika tidak dibenarkan. Para ahli etika menyatakan bahwa
tindakan desepsi membutuhkan keputusan yang jelas tentang siapa yang diharapkan
melakukan tindakan tersebut.
Konsep kejujuran (veracity) merupakan prinsip etis yang mendasari berkata jujur. Seperti
juga tugas yang lain, berkata jujur bersifat prima facie (tidak mutlak) sehingga desepsi pada
keadaan tertentu diperolehkan. Berbagai alasan yang dikemukakan dan mendukung posisi
bahwa perawat harus berkata jujur yaitu: merupakan hal yang penting dalam hubungan saling
percaya perawat-pasien, pasien mempunyai hak untuk mengetahui , merupakan kewajiban
moral , menghilangkan cemas dan penderitaan, meningkatkan kerjasama pasien maupun
keluarga dan memenuhi kebutuhan perawat.
Alasan-alasan yang mendukung tindakan desepsi, termasuk berkata bohong, meliputi: pasien
tidak mungkin dpat menerima kenyataan, pasien menghendaki untuk tidak diberi tahu bilang
hal tersebut menyakitkan, secara profesional perawat mempunyai kewajiban tidak melakukan
yang merugikan pasien, dan desepsi mungkin mempunyai manfaat untuk meningkatkan
kerjasama pasien (Freel; lih. McCloskey, 1990)

2. AIDS ( Acquired Immune Deficiency Syndrome)


AIDS pada awalnya ditemukan pada masyarakat gay di Amerika Serikat pada tahun
1980 atau 1981. AIDS juga pada mulanya ditemukan di Afrika. Saat ini, AIDS hampir
ditemukan disetiap negara, termasuk Indonesia.
Karena pada awalnya ditemukan pada masyarakat gay (homoseksual), maka kemudian
muncul anggapan yang tidak tepat bahwa AIDS merupakan gay disease. Pada kenyataannya
AIDS juga mengenai biseksual, heteroseksual, kaum pengguna obat dan prostitusi (Forrester;
lih. McCloskey, 1990).
AIDS tidak saja menimbulkan dampak pada penaktalasaan klinis tetapi juga dampak sosial,
kekhawatiran masyarakat, serta permasalahan hukum dan etika. Karena sifat virus penyebab
AIDS, yaitu HIV yang dapat menular pada orang lain, maka munculah suatu ketakutan
masyarakat untuk berhubungan dengan para penderita AIDS. Lebih tragis lagi, para penderita
AIDS sering diperlakukan tidak adil dan didiskriminasikan. Perilaku diskriminasi ini tidak
saja terjadi dimasyarakat yang lebih paham tentang AIDS, misalnya di Amerika Serikat.
Situasi ini digambarkan dengan jelas, misalnya dalam film Philadelphia yang mengisahkan
seorang gay, Andrew Beckett (diperankan Tom Hanks), yang mengidap virus HIV yang
mendapat perlakuan diskriminasi dari tempat kerjanya maupun masyarakat.
Perawat yang bertanggung jawab merawat pasien AIDS akan mengalami berbagai stres
pribadi, termasuk takut tertular atau menularkan pada keluarga, dan ledakan emosi bila
merawat pasien fase terminal usia muda dengan gaya hidup yang bertentangan dengan gaya
hidup perawat. Pernyataan profesional bagi perawat yang mempunyai tugas merawat pasien
terinfeksi virus HIV membutuhkan klasifikasi nilai-nilai yang diyakini perawat tentang
hubungan homoseksual dan pengguna atau penyalahgunaan obat (Phipps, Long, 1991).
Perawat sangat berperan dalam perawatan pasien, sepanjang infeksi HIV masih ada dengan
berbagai kompikasi sampai kematian tiba. Perawat terlibat dalam pembuatan keputusan
tentang tindakan atau terapi apa yang dapat dihentikan dan tetap menghargai martabat
manusia. Pada saat tidak ada terapi medis lagi yang dapat diberikan pada pasien, perawat
tetap masih melakukan berbagai tindakan yang dapat diberikan kepada pasien seperti:
mengidentifikasi nilai-nilai, menggali makna hidup pasien, memberikan rasa nyaman,
memberikan dukungan manusiawi dan membantu meninggal dunia dengan tentram dan
damai (Phipp, Long, 1991)

3. Abortus
Aborsi secara bahasa adalah pengguguran kandungan janin. Aborsi juga bisa diartikan
dengan penghentian kehamilan secara spontan atau rekayasa.
a. Pihak yang pro menyatakan bahwa aborsi adalah menghentikan kehamilan yang tidak
diinginkan.
b. Pihak yang anti aborsi cenderung mengartikan aborsi sebagai membunuh manusia yang
tidak bersalah.
Menurut hukum-hukum yang berlaku di Indonesia, aborsi atau pengguguran janin termasuk
kejahatan, yang dikenal dengan istilah “Abortus Provocatus Criminalis”
Yang menerima hukuman adalah:
1. Ibu yang melakukan aborsi
2. Dokter atau bidan atau dukun yang membantu melakukan aborsi
3. Orang-orang yang mendukung terlaksananya aborsi
Beberapa pasal yang terkait adalah:
Pasal 229
1. Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruhnya
supaya diobati, dengan diberitahukan atau ditimbulkan harapan, bahwa karena
pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan, diancam dengan pidana penjara paling lama
empat tahun atau denda paling banyak tiga ribu rupiah.
2. Jika yang bersalah, berbuat demikian untuk mencari keuntungan, atau
menjadikan perbuatan tersebut sebagai pencarian atau kebiasaan, atau jika dia
seorang tabib, bidan atau juru obat, pidananya dapat ditambah sepertiga.
3. Jika yang bersalah, melakukan kejahatan tersebut, dalam menjalani pencarian
maka dapat dicabut haknya untuk melakukan pencarian itu.
Pasal 341
Seorang ibu yang, karena takut akan ketahuan melahirkan anak, pada saat anak dilahirkan
atau tidak lama kemudian, dengan sengaja merampas nyawa anaknya, diancam, karena
membunuh anak sendiri, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Ada 3 pandangan dalam menanggapi abortus: pandangan koservatif, moderat, dan liberal.
1. Pandangan Koservatif
Dalam situasi apapun abortus tidak boleh dilakukan ,termasuk dengan alasan penyelamatan,
misal bila kehamilan dilanjutkan maka menyebabkan ibu meninggal dunia.
2. Pandangan Moderat
Merupakan suatu prima facia kesalahan moral, dan penentangan abortus dapat diabaikan
dengan suatu pertimbangan moral yang kuat. Contoh bila abortus dilakukan selama tahap
pre-sentience (sebelum fetus mempunyai kemampuan merasakan), abortus pada hasil
pemerkosaan , kegagalan kontrasepsi.
3. Pandangan Liberal
Secara moral diperbolehkan atas dasar permintaan. Ini mengganggap bahwa fetus belum
menjadi manusia. Fetus hanyalah sekelompok sel-sel yang menempel di dinding rahim
wanita. Secara genetic fetus dapat diangap sbg bakal manusia, tetapi secara moral fetus bukan
manusia.
Di Indonesia tind abortus dilarang sejak tahun 1918 menurut KUHP dlm pasal 346-349
dinyatakan bahwa : barang siapa melakukan sesuatu dengan sengaja yang menyebabkan
keguguran atau matinya kandungan dapat dikenai penjara.

4. Eutanasia
Kata eutanasia berasal dari bahasa Yunani yaitu "eu" (= baik) and "thanatos" (maut,
kematian) yang apabila digabungkan berarti "kematian yang baik". Hippokrates pertama kali
menggunakan istilah "eutanasia" ini pada "sumpah Hippokrates" yang ditulis pada masa 400-
300 SM.
Sumpah tersebut berbunyi: "Saya tidak akan menyarankan dan atau memberikan obat yang
mematikan kepada siapapun meskipun telah dimintakan untuk itu".
Dalam sejarah hukum Inggris yaitu common law sejak tahun 1300 hingga saat "bunuh diri"
ataupun "membantu pelaksanaan bunuh diri" tidak diperbolehkan.
Eutanasia dalam dunia modern
Sejak abad ke-19, eutanasia telah memicu timbulnya perdebatan dan pergerakan di
wilayah Amerika Utara dan di Eropa Pada tahun 1828 undang-undang anti eutanasia mulai
diberlakukan di negara bagian New York, yang pada beberapa tahun kemudian diberlakukan
pula oleh beberapa negara bagian.
Setelah masa Perang Saudara, beberapa advokat dan beberapa dokter mendukung
dilakukannya eutanasia secara sukarela.
Kelompok-kelompok pendukung eutanasia mulanya terbentuk di Inggris pada tahun 1935 dan
di Amerika pada tahun 1938 yang memberikan dukungannya pada pelaksanaan eutanasia
agresif, walaupun demikian perjuangan untuk melegalkan eutanasia tidak berhasil digolkan
di Amerika maupun Inggris.
Pada tahun 1937, eutanasia atas anjuran dokter dilegalkan di Swiss sepanjang pasien yang
bersangkutan tidak memperoleh keuntungan daripadanya.
Pada era yang sama, pengadilan Amerika menolak beberapa permohonan dari pasien yang
sakit parah dan beberapa orang tua yang memiliki anak cacat yang mengajukan permohonan
eutanasia kepada dokter sebagai bentuk "pembunuhan berdasarkan belas kasihan".
Pada tahun 1939, pasukan Nazi Jerman melakukan suatu tindakan kontroversial dalam suatu
"program" eutanasia terhadap anak-anak di bawah umur 3 tahun yang menderita
keterbelakangan mental, cacat tubuh, ataupun gangguan lainnya yang menjadikan hidup
mereka tak berguna. Program ini dikenal dengan nama Aksi T4 ("Action T4") yang kelak
diberlakukan juga terhadap anak-anak usia di atas 3 tahun dan para jompo / lansia.
Eutanasia dalam ajaran Islam
Seperti dalam agama-agama Ibrahim lainnya (Yahudi dan Kristen), Islam mengakui hak
seseorang untuk hidup dan mati, namun hak tersebut merupakan anugerah Allah kepada
manusia. Hanya Allah yang dapat menentukan kapan seseorang lahir dan kapan ia mati (QS
22: 66; 2: 243). Oleh karena itu, bunuh diri diharamkan dalam hukum Islam meskipun tidak
ada teks dalam Al Quran maupun Hadis yang secara eksplisit melarang bunuh diri. Kendati
demikian, ada sebuah ayat yang menyiratkan hal tersebut, "Dan belanjakanlah (hartamu) di
jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan
berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik." (QS
2: 195), dan dalam ayat lain disebutkan, "Janganlah engkau membunuh dirimu sendiri," (QS
4: 29), yang makna langsungnya adalah "Janganlah kamu saling berbunuhan." Dengan
demikian, seorang Muslim (dokter) yang membunuh seorang Muslim lainnya (pasien)
disetarakan dengan membunuh dirinya sendiri.

5. Penghentian pemberian makanan, cairan dan pengobatan


Tindakan penghentian dan pemberian makan kepada pasien oleh perawat secara
hukum diperbolehkan dengan pertimbangan tindakan ini menguntungkan pasien.
(ANA,1988) menyatakan bahwa tindakan penghentian dan pemberian makan kepada pasien
oleh perawat secara hokum diperbolehkan, dengan pertimbangan tindakan ini
menguntungkan pasien (kozier Erz.1991)

6. Transplantasi organ
Pelaksanaan transplantasi organ di Indonesia diatur dalam peraturan pemerintah No.18 tahun
1981, tentang bedah mayat klinis dan bedah mayat anatomis/transplantasi alat dan atau
jaringan tubuh, merupakan pemindahan alat/jar tubuh yang tidak berfungsi dengan baik.
Tindakan transplantasi tdk menyalahi semua agama dan kepercayaan asalkan penentuan saat
mati dan penyelenggaraan jenazah terjamin dan tidak terjadi penyalahgunaan.

A. Masalah Etika Dalam Pelayanan Kesehatan


Menurut Ellis, Hartley (1980) masalah etika tsb meliputi:
1. Evaluasi diri
Evaluasi diri mempunyai hub erat dg pengembangan karier, aspek hukum dan pendidikan
berkelanjutan. Merupakan tanggung jawab etika bagi semua perawat. Dengan evaluasi diri
perawat dpt mengetahui kelemahan, kekurangan, dan kelebihannya sebagai perawat praktisi.
Evaluasi diri mrp salah satu cara melindungi klien dari pemberian perawatan yg buruk
Ellis dan Hartley, menyatakan bahwa evaluasi diri terkadang tidak mudah dilakukan oleh
beberapa perawat. Evaluasi diri sebaiknya dilakukan secara periodik Eavaluasi diri dilakukan
agar perawat menjadi istimewa atau kompeten dl memberikan asuhan keperawatan

2. Evaluasi Kelompok
Tujuan evaluasi kelompok untuk mempertahankan konsistensi kualitas asuhan keperawatan
yg baik, yg merupakan tanggung jawab etis. Evaluasi kelompok dapat dilakukan secara
formal dan informal. Evaluasi secara informal contoh dg observasi langsung saat tindakan
atau mengamati perilaku sesama rekan. Masalah etika muncul saat perawat mengamati rekan
kerjanya yg berperilaku tidak sesuai standar. Evaluasi kelompok secara formal merupakan
tanggung jawab etis perawat dan organisasi profesi Dasar untuk melakukan evaluasi asuhan
keperawatan adalah standar praktek keperawatan yg digunakan untuk mengevaluasi proses
Dasar untuk evaluasi perawatan klien digunakan kriteria hasil. Secara Formal metode
evaluasi kelompok meliputi konfrensi yang membahas berbagai hal yang diamati, wawancara
dg klien atau staf, observasi langsung pada klien dan audit keperawatan berdasarkan catatan
klien.

3. Tanggung jawab terhadap peralatan dan barang


Para tenaga kesehatan seringkali membawa pulang barang-barang kecil spt kassa, kapas, lar.
antiseptik, dll. Sebagian dari mereka tidak tahu apakah hal itu benar atau salah. Bila hal tsb
dibiarkan rumah sakit akan rugi, dan beban pada klien lebih berat.
Perawat harus dapat memberi penjelasan pd orang lain / tenaga kesehatan bahwa mengambil
barang walaupun kecil secara etis tidak dibenarkan karena setiap tenaga kesehatan
mempunyai tanggung jawab terhadap peralatan dan barang di tempat kerja.

4. Merekomendasikan klien pada dokter


Perawat dapat memberikan informasi ttg berbagai altenatif, misalnya bila seorang klien ingin
memeriksa ke dokter ahli kandungan, perawat dapat menyebutkan tiga nama dokter dg
beberapa informasi penting alternative lain ttg keahlian dan pendekatan yg dipakai dokter
pada klien. Secara hukum perawat tidak boleh memberikan kritik ttg dokter kepada klien.

5. Menghadapi asuhan keperawatan yg buruk.


Keperawatan pada dasarnya ditujukan untuk membantu pencapaian kesejahteraan klien.
Perawat harus mampu mengenal/tanggap bila bila ada asuhan keperawatan yg buruk serta
berupaya untuk mengubah keadaan tersebut. Ellis & Hartley (1980) menjelaskan beberapa
tahap yg dapat dilakukan bila perawat menghadapi asuhan yang buruk.
Tahapan-tahapannya yaitu:
a. Pertama, mengumpulkan informasi yg lengkap dan sah, jangan membuat keputusan
berdasarkan gosip, umpatan atau dari satu pihak
b. Kedua, mengetahui siapa saja pembuat keputusan atau yg memiliki pengaruh thd terjadinya
perubahan.
c. membawa masalah kepada pengawas terbawah. Namum belum tentu masalah ini akan
dihiaraukan oleh pengawas.
Pendekatan awal mis: secara sukarela menjadi anggota panitia penilai kelompok. Pendekatan
awal lainnya dg menggunakan sisitem informal, yaitu dg cara mendiskusikan masalah dg
orang yg dipercaya dan berpengaruh dalam system. Bila scr informal td berhasil lakukan
pendekatan formal melalui jalur resmi.

6. Masalah antara peran merawat dan mengobati


Peran perawat scr formal adalah memberikan asuhan keperawatan. Berbagai faktor
menyebabkan peran perawat menjadi kabur dg peran mengobati. Hal ini banyak dialami di
Indonesia, terutama perawat di puskesmas
Hasil penelitian Sciortino (1992) menunjukkan pertentangan antara peran formal dan aktual
perawat merupakan salah satu contoh nyata bagaimana transmisi yg terganggu antara tingkat
nasional dan lokal dapat mempengaruhi fungsi pelayanan. Perawat tidak melakukan apa yg
secara formal diharapkan dan telah diajarkan kepada mereka. Perawat dl melaksanakan tugas
delegatif yaitu dalam pelayanan pengobatan, secara hukum tidak dilindungi.
Perawat yg akan ditugaskn di unit pelayanan (PKM, BP) yg belum ada tenaga medis, perlu
diberikan surat tugas serta uraian tugas yg jelas dari pimpinan. Merupakan aspek legal dl
memberikan pelayanan.

2.3 Teori Dasar Pembuatan Keputusan Etis


Merupakan penuntun untuk membuat keputusan etis praktik profesional. Digunakan bila
terjadi konflik antara prinsip-prinsip dan atura-aturan. Klasifikasi :
1. teleology
2. Deontologi
3. Intiuotiosom
Teori etik digunakan dalam pembuatan keputusan bila terjadi konflik antara prinsip dan
aturan. Secara garis besar teori etik ini dapat diklasifikasikan menjadi:
1. Teleologi
Teleologi berasal dari akar kata Yunani τέλος, telos, yang berarti akhir, tujuan,
maksud, dan λόγος, logos, perkataan. Teleologi adalah ajaran yang menerangkan segala
sesuatu dan segala kejadian menuju pada tujuan tertentu. Istilah teleologi dikemukakan
oleh Christian Wolff, seorang filsuf Jerman abad ke-18. Teleologi merupakan sebuah studi
tentang gejala-gejala yang memperlihatkan keteraturan, rancangan, tujuan, akhir, maksud,
kecenderungan, sasaran, arah, dan bagaimana hal-hal ini dicapai dalam suatu proses
perkembangan. Dalam arti umum, teleologi merupakan sebuah studi filosofis mengenai bukti
perencanaan, fungsi, atau tujuan di alam maupun dalam sejarah. Dalam bidang lain, teleologi
merupakan ajaran filosofis-religius tentang eksistensi tujuan dan "kebijaksanaan" objektif di
luar manusia.
Teologi(yunani) adalah Menjelaskan fenomena berdasarkan akibat yang dihasilkan atau
konsekuensi yang dapat terjadi atau menekankan pada pencapaian hasil dengan kebaikan
maksimal dan ketidakbaikan sekecil mungkin bagi manusia (Kelly, 1987).
Dapat dibedakan menjadi:
1) rute utilitarianisme(Dasar yang dihasilkan/konsekuensi yang terjadi), berprinsip bahwa
manfaat atau nilai suatu tindakan tergantung pada sejauh mana tindakan tersebut memberikan
kebaikan atau kebahagiaan pada manusia.
2) Act utilitarianism(Manfaat/nilai suatu tindakan bergantung pada sejauh mana tindakan
tersebut membawa), tidak melibatkan aturan umum tetapi berupaya menjelaskan pada suatu
situasi tertentu dengan pertimbangan terhadap tindakan apa yang dapat memberikan kebaikan
sebanyak-banyaknya dan ketidakbaikan sekecil-kecilnya. Contoh: bayi lahir cacat lebih baik
meninggal.

2. Deontologi
Kata ini deontologi berasal dari kata Yunani untuk tugas (Deon) dan ilmu (atau
studi) (logo). Dalam filsafat moral kontemporer, deontologi adalah salah satu jenis teori
normatif tentang yang pilihan secara moral diperlukan, dilarang, atau diperbolehkan. Dengan
kata lain, deontologi jatuh dalam domain teori moral yang membimbing dan menilai pilihan
kita tentang apa yang harus kita lakukan (teori deontic), berbeda dengan (aretaic [kebajikan]
teori) yang - fundamental, setidaknya - membimbing dan menilai apa jenis orang (dalam hal
karakter) kita dan harus. Dan dalam domain tersebut, deontologists - orang yang
berlangganan teori deontologi moralitas - berdiri dalam oposisi terhadap consequentialists.
Berbeda dengan teori konsekuensialis, teori deontologi menilai moralitas dari pilihan dengan
kriteria yang berbeda dari negara urusan pilihan-pilihan membawa. Secara kasar,
deontologists dari semua garis berpendapat bahwa beberapa pilihan tidak bisa dibenarkan
oleh efek mereka - bahwa tidak peduli seberapa baik secara moral konsekuensi mereka,
beberapa pilihan secara moral dilarang. Pada rekening deontologis moralitas, agen tidak bisa
membuat pilihan yang salah tertentu, bahkan jika dengan melakukan sehingga jumlah pilihan
yang salah akan diminimalkan (karena agen lain akan dilarang untuk berkecimpung dalam
pilihan yang salah yang serupa). Untuk deontologists, apa yang membuat pilihan yang tepat
adalah sesuai dengan norma moral. Norma-norma tersebut harus ditaati oleh masing-masing
hanya agen moral; seperti norma-keepings tidak dimaksimalkan oleh agen masing-masing.
Dalam hal ini, untuk deontologists, Kanan memiliki prioritas di atas yang Baik. Jika suatu
tindakan yang tidak sesuai dengan Hak, tidak dapat dilakukan, tidak peduli baik itu mungkin
menghasilkan (termasuk bahkan Baik yang terdiri dari bertindak sesuai dengan Kanan). Fry,
1991. Deontologi ada 5 prinsip:
a) Kemurahan hati
b) Keadilan
c) Otonomi
d) Kejujuran
e) Ketaatan

3. Intiuotiosom
Pendekatan ini menyatakan pandangan atau sifat manusia dalam mengetahui hal yang benar
dan salah. Hal tersebut terlepas dari pemikiran rasional atau irasionalnya suatu keadaan.
Contoh: seorang perawat sudah tentu mengtahui bahwa menyakiti pasien merupakan tindakan
yang tidak benar. Hal tersebut tidak perlu diajarkan lagi kepada perawat karena sudah
mengacu pada etika dari seorang perawat yang diyakini dapat membedakan mana yang baik
dan mana yang buruk untuk dilakukan.

2.4 Kerangka Pembuatan Keputusan Etis


Berbagai kerangka model keputusan etis telah dirancang oleh banyak ahli, etika dimana
semua kerangka tersebut berupaya menjawab pertanyaaan dasar tentang etika yang menurut
Fry meliputi:
1. Hal apakah yang membuat tindakan benar adakah benar?
2. Jenis tindakan apakah yang benar?
3. Bagaimana aturan-aturan dapat diterapkan situasi tertentu?
4. Apakah yang harus dilakukan pada situasi tertentu?
Beberapa kerangka model pembuatan keputusan etis keperawatan dikembangkan dengan
mengacu pada kerangka pembuatan kepurusan etika medis (murphy dan murphy, 1976;
Borody, 1981). Beberapa kerangka disusun berdasarkan posisi falsafah praktik keperawatan
(Benjamin dan Curtis, 1986; Aroskar, 1980), sementara model-model lain dikembangkan
berdasarkan proses pemecahan masalah seperti yang diajarkan di pendidikan keperawatan
(Bergman, 1973; Curtin, 1987; Jameton, 1984; Thompson dan Thompson, 1985).
Berikut ini merupakan contoh kerangka model pembuatan keputusan model Jameton yang
ditulis oleh Fry:
Tahap 1, tinjau ulang situasi yang dihadapi
Tahap 2, kumpulkan informasi tambahan
Tahap 3, identifikasi aspek etis dari masalah yang dihadapi
Tahap 4, ketahui atau bedakan posisi pribadi dan posisi moral profesional
Tahap 5, Identifikasi posisi moral dan keunikan individu yang berlainan
Tahap 6, identifikasi konflik-konflik nilai bila ada
Tahap 7, gali siapa yang harus membuat keputusan
Tahap 8, identifikasi rentang tindakan dan hasil yang diharapkan
Tahap 9,Tentukan tindakan dan laksanakan
Tahap 10, Evaluasi hasil dari keputusan/tindakan

2.5 Penyelesaian Masalah Etis


1. Mengembangkan data dasar :
a. Orang yang terlibat : Klien, keluarga klien, dokter, dan perawat
b. Tindakan yang diusulkan : tidak menuruti keinginan klien untuk memberikan penambahan
dosis morphin.
c. Maksud dari tindakan tersebut : agar tidak membahayakan diri klien
d. Konsekuensi tindakan yang diusulkan, bila tidak diberikan penambahan dosis morphin, klien
dan keluarganya menyalahkan perawat dan apabila keluarga klien kecewa terhadap pelayanan
di bangsal mereka bisa menuntut ke rumah sakit.

2. Mengidentifikasi konflik
Penderitaan klien dengan kanker payudara yang sudah mengalami metastase mengeluh nyeri
yang tidak berkurang dengan dosis morphin yang telah ditetapkan. Klien meminta
penambahan dosis pemberian morphin untuk mengurangi keluhan nyerinya. Keluarga
mendukung keinginan klien agar terbebas dari keluhan nyeri.
Konflik yang terjadi adalah :
a. Penambahan dosis pemberian morphin dapat mempercepat kematian klien.
b. Tidak memenuhi keinginan klien terkait dengan pelanggaran hak klien.

3. Tindakan alternatif tentang rangkaian tindakan yang direncanakan dan


konsekuensi tindakan tersebut
a. Tidak menuruti keinginan pasien tentang penambahan dosis obat pengurang nyeri.
Konsekuensi :
1) Tidak mempercepat kematian klien
2) Keluhan nyeri pada klien akan tetap berlangsung
3) Pelanggaran terhadap hak pasien untuk menentukan nasibnya sendiri
4) Keluarga dan pasien cemas dengan situasi tersebut
b. Tidak menuruti keinginan klien, dan perawat membantu untuk manajemen nyeri.
Konsekuensi :
1) Tidak mempercepat kematian pasien
2) Klien dibawa pada kondisi untuk beradaptasi pada nyerinya (meningkatkan ambang nyeri)
3) Keinginan klien untuk menentukan nasibnya sendiri tidak terpenuhi
c. Menuruti keinginan klien untuk menambah dosis morphin namun tidak sering dan apabila
diperlukan. Artinya penambahan diberikan kadang-kadang pada saat tertentu misalnya pada
malam hari agar klien bisa tidur cukup.
Konsekuensi :
1) Risiko mempercepat kematian klien sedikit dapat dikurangi
2) Klien pada saat tertentu bisa merasakan terbebas dari nyeri sehingga ia dapat cukup
beristirahat.
3) Hak klien sebagian dapat terpenuhi.
4) Kecemasan pada klien dan keluarganya dapat sedikit dikurangi.

4. Menentukan siapa pengambil keputusan yang tepat :


Pada kasus di atas dokter adalah pihak yang membuat keputusan, karena dokterlah yang
secara legal dapat memberikan ijin penambahan dosis morphin.
Namun hal ini perlu didiskusikan dengan klien dan keluarganya mengenai efek samping yang
dapat ditimbulkan dari penambahan dosis tersebut.
Perawat membantu klien dan keluarga klien dalam membuat keputusan bagi dirinya.
Perawat selalu mendampingi pasien dan terlibat langsung dalam asuhan keperawatan yang
dapat mengobservasi mengenai respon nyeri, kontrol emosi dan mekanisme koping klien,
mengajarkan manajemen nyeri, sistem dukungan dari keluarga, dan lain-lain.

5. Mendefinisikan kewajiban perawat


a) Memfasilitasi klien dalam manajemen nyeri
b) Membantu proses adaptasi klien terhadap nyeri / meningkatkan ambang nyeri
c) Mengoptimalkan sistem dukungan
d) Membantu klien untuk menemukan mekanisme koping yang adaptif terhadap masalah yang
sedang dihadapi
e) Membantu klien untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan
keyakinannya

6. Membuat keputusan
Dalam kasus di atas terdapat dua tindakan yang memiliki risiko dan konsekuensi masing-
masing terhadap klien. Perawat dan dokter perlu mempertimbangkan pendekatan yang paling
menguntungkan / paling tepat untuk klien. Namun upaya alternatif tindakan lain perlu
dilakukan terlebih dahulu misalnya manajemen nyeri (relaksasi, pengalihan perhatian, atau
meditasi) dan kemudian dievaluasi efektifitasnya. Apabila terbukti efektif diteruskan namun
apabila alternatif tindakan tidak efektif maka keputusan yang sudah ditetapkan antara petugas
kesehatan dan klien/ keluarganya akan dilaksanakan.

Bab 3
Kasus Etika Kesehatan
3.1 Kasus Abortus
Ny. M seorang ibu rumah tangga, umur 35 tahun, mempunyai seorang anak umur 4 tahun,
Ny.M. berpendidikan SMA, dan suami Ny.M bekerja sebagai PNS di suatu kantor kelurahan.
Saat ini Ny.M dirawat di ruang kandungan sejak 3 hari yang lalu.
Sesuai hasil pemeriksaan Ny.M positif menderita kanker rahim grade III, dan dokter
merencanakan untuk dilakukan operasi pengangkatan kanker rahim. Semua pemeriksaan
telah dilakukan untuk persiapan operasi Ny.M. Menjelang dua hari operasi, Ny.M hanya
diam dan tampak cemas dan binggung dengan rencana operasi yang akan dijalaninnya.
Dokter hanya menjelaskan bahwa Ny.m harus dioperasi karena tidak ada tindakan lain yang
dapat dilakukan. Dan dokter memberitahu perawat kalau Ny.M atau keluarganya bertanya,
sampaikan operasi adalah jalan terakhir. Dan jangan dijelaskan tentang apapun, tunggu saya
yang akan menjelaskannya. Saat menghadapi hal tersebut Ny.M berusaha bertanya kepada
perawat ruangan yang merawatnya. Ny.M bertanya kepada perawat beberapa hal, yaitu:
“apakah saya masih bisa punya anak setelah dioperasi nanti”.karena kami masih ingin punya
anak. “apakah masih ada pengobatan yang lain selain operasi” dan “apakah operasi saya bisa
diundur dulu suster”
Dari beberapa pertanyaan tersebut perawat ruangan hanya menjawab secara singkat,
“ibu kan sudah diberitahu dokter bahwa ibu harus operasi”
“penyakit ibu hanya bisa dengan operasi, tidak ada jalan lain”
“yang jelas ibu tidak akan bisa punya anak lagi…”
“Bila ibu tidak puas dengan jawaban saya, ibu tanyakan lansung dengan dokternya…ya.”
Dan setelah menjawab beberapa pertanyaan Ny.M. perawat memberikan surat persetujuan
operasi untuk ditanda tangani, tetapi Ny.M mengatakan “saya menunggu suami saya dulu
suster”, perawat mengatakan “secepatnya ya bu… besok ibu sudah akan dioperasi”tanpa
penjelasan lain, perawat meninggalkan Ny.M.
Sehari sebelum operasi Ny.M berunding dengan suaminya dan memutuskan menolak operasi
dengan alasan, Ny.M dan suami masih ingin punya anak lagi.
Dengan penolakan Ny.M dan suami, perawat mengatakan pada Ny.M dan suami” Ibu ibu
tidak boleh begitu, ibu harus dioperasi agar penyakit ibu tidak parah, kita hanya berusaha”
dan perawat meninggalkan pasien dan suami tanpa penjelasan apapun. Dan setelah penolakan
pasien tersebut, perawat A datang ke Kepala ruangan dan mengatakan bahwa Ny.M menolak
untuk operasi. Ny.M masih ragu karena dokter belum menjelaskan rencana operasi yang akan
dilakukan, Kepala ruangan bertanya kepada perawat A “kenapa tidak dijelaskan” Perawat A
menjawab “pesan dokter, saya tidak boleh menjelaskan tentang operasi tersebut, disuruh
menunggu dokter…”, kepala ruangan mengatakan “ kalau begitu buat surat pernyataan saja”
dan kita sampaikan ke dokter bedahnya. Dan sampai saat ini dokter belum menjelaskan
operasi yang akan dilakukan pada Ny.M dan keluarga. Dan akhirnya pasien pulang. Beberapa
hari kemudian Rumah Sakit mendapat surat keluhan dari keluarga Ny.M yang berisi
ketidakpuasan dari pelayanan dimana Ny.M dirawat. Oleh karena itu pihak Rumah Sakit
(pimpinan) menanggapi surat tersebut dan berusaha mencari tahu kebenaran kasus yang
tejadi pada Ny.M dan akan mengambil tindakan bila ada unsure pelanggaran kode etik dalam
pelayanan kesehatan yang dilakukan staff Rumah Sakit.

3.2 Analisa Kasus


Sebelum menganalisa kasus diatas apakah merupakan pelanggaran etik atau dilema etik, hal
pertama yang harus dilakukan oleh tim pencari fakta adalah mengumpulkan informasi yang
berkaitan dengan beberapa informasi yang diperlukan, baik dari internal maupun exsternal
ruangan termasuk staf yang terlibat, perawat primer, kepala ruangan dan dokter yang
merawat dan pasien/keluarga. Hal-hal lain yang menyangkut prinsip-prinsip moral dalam
pemberian asuhan keperawatan dan berkaitan dengan standarisasi asuhan keperawatan yang
diberikan (SOP). Pada kasus yang melibatkan Ny.M dapat dianalisa dengan beberapa hal
menyangkut nilai-nilai etika, prinsip moral dalam professional keperawatan, Kode etik
keperawatan (PPNI), hak-hak pasien, hak dan kewajiban perawat dan juga bentuk standar
praktek keperawatan yang harus dilaksanakan pada pasien yang akan menjalani operasi. Bila
diidentifikasi masalah-masalah yang mungkin merupakan pelanggaran etik yang terjadi dan
merupakan data dari informasi yang dibutuhkan, adalah sebagai berikut:
1. Berkaitan dengan prinsip-prinsip moral/etik dalam praktek keperawatan, yaitu:
a. Otonomi pasien
Pada kasus Ny.M. bahwa pasien menginginkan informasi yang banyak tentang tindakan
operasi yang akan dilakukan terhadap dirinnya, informasi-informasi yang dibutuhkannya
karena Ny.M berkeinginan bahwa ia masih ingin punya anak lagi dan bila operasi dilakukan
berarti pasien merasa tidak akan mempunyai anak lagi. Tetapi keinginan pasien untuk
mendapat informasi yang lebih banyak tidak terpenuhi, hal inilah yang menjadi dilema bagi
pasien sementara itu kondisi sakitnya akan membuat Ny.M tidak tertolong lagi. Penolakan
Ny.M dan keluarga untuk dilakukan operasi merupakan hak pasien tetapi, hak dan kewajiban
perawat juga untuk dapat memberikan asuhan keperawatan yang optimal dengan membantu
penyembuhan pasien yaitu dengan jalan dilakukan operasi.
b. Advokasi perawat terhadap pasien
Advoaksi perawat yang dapat dilakukan pada kondisi kasus Ny.M, dapat berupa: penjelasan
yang jelas dan terinci tentang kondisi yang dialami Ny.M, melakukan konsultasi dengan tim
medis berkaitan denganmaslah tersebut, juga harus disampaikan bahwa Ny.M ingin
mempunyai anak lagi. Bentuk-bentuk advokasi inilah yang memungkinkan tim baik
keperawatan dan medis akan bersama menjelaskan dengan lengkap dan baik.
2. Berkaitan hak-hak pasien
Pada teori telah dijelaskan bahwa pasien juga mempunyai hak-hak yang harus diperhatikan
oleh perawata dalam praktek keperawatan, diantarannya yang berhubungan dengan kasus
Ny.M. Pasien berhak mendapatkan informasi yang lengkap jelas, pasien berhak memperoleh
informasi terbaru baik dari tim medis dan perawat yang mengelolannya, pasien juga berhak
untuk memilih dan menolak pengobatan ataupun asuhan bila merasa dirinnya tidak berkenan.
Ny.M. merasa bahwa dirinya tidak memperoleh informasi yang diharapkannya, pasien
berharap banyak informasi dan hal-hal yang berkaitan dengan kondisinnya sehingga pasien
dapat memnentukan pilihannya dengan tepat. Apapun pilihan pasien dan keputusan pasien
setelah mendapatkan informasi yang jela merupakan hak automi pasien.
3. Berkaitan Kode Etik Keperawatan (PPNI), yaitu:
a. Kewajiban perawat dalam melaksanakan tugas
Terdapat beberapa kewajiban perawat yang tidak dijalankan dengan baik dalam kasus Ny.M.
diantaranya berkewajiban memberikan informasi, komunikasi kepada pasien, memberikan
peran perlindungan kepada pasien, perawat wajib memberi kesempatan kepada pasien untuk
dapat menentukan pilihan dan memberikan alternative penyelesaian atas kondisi dan
keinginan pasien dalam arti bahwa perawat wajib menghargai pilihan atau autonomi pasien.
Sesuai kode etik keperawatan (PPNI) bahwa perawat senantiasa mengutamakan perlindungan
dan keselamatan pasien dalam melaksanakan tugas keperawatan serta matang dalam
melaksanakan tugas. Bila kewajiban diatas dapat dilaksanakan dengan baik maka dapat
memberikan kesempatan kepada Ny.M dan keluarga dapat berfikir rasional dan logic atas
kondisi yang menimpannya.
b. Hubungan Perawat terhadap Pasien, tenaga kesehatan lain (dokter)
Pada kasus Ny.M terdapat beberapa dilema etik yaitu perawat tidak mampu mengambil suatu
keputusan yang terbaik dari intruksi yang telah disampaikan oleh dokter seharusnya perawat
mengklarifikasi atas apa yang disampaikan oleh tim medis. Dan perlunya tim konsultasi yang
berkaitan dengan masalah-masalah yang terggambar pada kasus Ny.M. tim inilah yang
merupakan kelompok yang baik sebagai tempat untuk menjelaskan kondisi pasien. Tim
inipun akan memberikan alternatif-alternatif atau masukan yang berarti tentang dampak dari
tindakan dan bila tidak dilakukan tindakan. Tim ini juga terdiri dari beberapa profesi yaitu:
medis, keperawatan, dan tenaga lain yang berkaitan dengan masalah Ny.M. Hubungan yang
baik harus diciptakan sehingga pada setiap interaksi dengan pasien terjadi komunikasi yang
terintegrasi dan menyeluruh sehingga informasi yang diberikan kepada pasien dapat sama
dan saling menunjang.
4. Berkaitan nilai-nilai praktek keperawatan professional.
Sifat altruism yang ditunjukan pada pasien Ny.M tidak terlihat sama sekali apalagi
kepedulian “caring” terhadap Ny.M, seakan perawat mengabaikan pasien, selayaknya
perawat menunjukan perhatiannya kepada pasien terhadap isu/kondisi saat ini sehingga
dampak dari tindakan/pengobatan dapat melegakan bagi pasien. Disamping itu nilai
kebebasan dalam menentukan sikap terhadap tindakan/pengobatan yang diambil oleh tim
medis seharusnya perawat menggunakan kapasitasnya secara independent, confidence, serta
menghargai hak pasien.

Nilai yang lain adalah menghargai martabat manusia dengan sikap empathy, respect full,
yang dapat dijalankan oleh perawat menghadapi kasus Ny.M. penting dalam melindungi hak
individu, memperlakukan pasien sesuai keinginannya. Disamping nilai-nilai tersebut penting
juga berkata jujur sesuai kebenaran, walaupun kadang-kandang kebenaran itu akan
memberikan dampak yang tidak selalu baik, tetapi dalam nilai kebenaran ini yang penting
adalah perlu dilihat kondisi, dampak dan apa keinginan pasien sehingga apa yang kita
sampaikan kepada pasien dapat diterima dan dipertimbangkan dengan baik, apapun
keputusannya dapat memberikan keduannya hal yang baik yang telah dilaksanakan.
5. Tinjauan dari standar praktek dan SOP
Didalam standar praktek keperawatan pada pasien yang akan dilakukan operasi harus
dipersiapkan baik fisik dan mental, termasuk memberikan informasi-informasi yang berkaitan
dengan rencana operasi yang akan dilakukan. Saat penanda tanganan persetujuan operasi
harus dijelaskan, walaupun kewajiban memberikan informasi hal tersebut adalah dokter yang
akan melakukan operasi, tetapi perawat harus tetap mendampingi dan memberikan advokasi
dan memberikan penjelasan lain secara lengkap agar pasien dapat menjalani operasi dengan
baik. Didalam setiap SOP-pun hal ini telah diidentifikasi beberapa tindakan yang harus
dilakukan pada pasien yang akan menjalani operasi, maka harus dilihat lagi apakah SOP di
ruangan tersebut telah tersedia dan selalu diperbaharui.

3.3 Penyelesaian Kasus


Menentukan siapa yang terlibat dalam masalah tersebut dan siapa pengambil keputusan yang
tepat.
Perawat tidak membuat keputusan untuk pasien, tetapi perawat membantu dalam membuat
keputusan bagi dirinya dan keluarganya, tetapi dalam hal ini perlu dipikirkan, beberapa hal:
a. Siapa yang sebaiknya terlibat dalam membuat keputusan dan mengapa mereka
ditunjuk.
b. Untuk siapa saja keputusan itu dibuat
c. Apa kriteria untuk menetapkan siapa pembuat keputusan (social, ekonomi,
fisiologi, psikologi dan peraturan/hukum).
d. Sejauh mana persetujuan pasien dibutuhkan
e. Apa saja prinsip moral yang ditekankan atau diabaikan oleh tindakan yang
diusulkan.

Dalam kasus Ny.M. dokter bedah yakin bahwa pembuat keputusan, jadi atau tidaknya untuk
dilakukan operasi adalah dirinya, dengan memperhatikan faktor-faktor dari pasien, dokter
akan memutuskan untuk memberikan penjelasan yang rinci dan memberikan alternatif
pengobatan yang kemungkinan dapat dilakukan oleh Ny.M dan keluarga. Sedangkan perawat
primer seharusnya bertindak sebagai advokasi dan fasilitator agar pasien dan keluarga dapat
membuat keputusan yang tidak merugikan bagi dirinya, sehingga pasien diharapkan dapat
memutuskan hal terbaik dan memilih alternatif yang lebih baik dari penolakan yang
dilakukan.
Bila beberapa kriteria sudah disebutkan mungkin konflik tentang penolakan rencana operasi
dapat diselesaikan atau diterima oleh pasien setelah mendiskusikan dan memberikan
informasi yang lengkap dan valid tentang kondisinya, dilakukan operasi ataupun tidak
dilakukan operasi yang jelas pasien telah mendapat informasi yang jelas dan lengkap
sehingga hak autonomi pasien dapat dipenuhi serta dapat memuaskan semua pihak. Baik
pasien, keluarga, perawat primer, kepala ruangan dan dokter bedahnya.

You might also like