You are on page 1of 20

LAPORAN KASUS

ATRIAL FIBRILASI DENGAN RAPID VENTRICULAR RESPONS


+ RIGHT BUNDLE BRANCH BLOCK

Oleh
dr. Ria Wulandari Soelistijanto

Dokter Pendamping PIDI


dr. Tontowi Jauhari
dr. Nunung

DOKTER INTERNSIP
RUMAH SAKIT BINA SEHAT
JEMBER
2017
BAB I

STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny.A

Tanggal lahir : 01-07-1976

Alamat : Dusun Gumitir, kecamatan Arjasa

Jenis Kelamin : Perempuan

Pekerjaan : Petani

Agama : Islam

Status : Menikah

Tanggal Masuk : 02-01-2018

Jam : 17.00

B. ANAMNESA

Keluhan Utama : Sesak

RPS : pasien datang dengan keluhan sesak mulai tadi pagi, nyeri perut
mulai kemarin, mual (+), muntah (+) 2x, pusing (+), badan terasa
lemas

RPD : Jantung (+), Ginjal (+), lambung (+)

RPS : perokok (-), alkoholik (-)

RP O : Obat tidak dibawa dan lupa nama obatnya


C. PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalis

Keadaan Umum : Lemah

Kesadaran : compos mentis

Tekanan Darah : 100/70 mmHg

Nadi : 200 x/menit

Respirasi : 39 x/menit

Suhu : 36 C

Sp02 : 99 %

BB : 60 kg

A. Kepala Leher

Mata : Konjungtiva : Anemis (-)

Sklera : Icterus (-)

Telinga : Dalam batas normal

Hidung : Nafas cuping hidung (-)

Mulut : sianosis (-)

Leher : Kaku Kuduk (-)

B. Thoraks

Inspeksi :Bentuk :Simetris

Pergerakan :Simetris

Retraksi Intercostal : (-)

Palpasi : Pergerakan Nafas : Normal

Perkusi : Batas Jantung : membesar


Suara Ketuk : Sonor

Auskultasi : Pulmo:suara nafas : Vesikuler +/+, Ronchi +/+, Wheezing -/-

Jantung : S1S2 tunggal, reguler, mur-mur (-), gallop (-)

C. Abdomen

Inspeksi : Perut flat, Jejas (-)

Auskultasi : Bising usus (+)

Palpasi : distended (-), Turgor kulit normal

Hepar & Lien: tidak teraba

Nyeri tekan

Perkusi : Shifting dullness (-)

D. Ekstremitas

Akral Dingin + +

+ +

Oedem - -

+ +
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. ECG
2. HASIL RONTGEN THORAX

Hasil Bacaan :

Cardiomegali

Pulmo : curiga edema paru


3. PEMERIKSAAN HEMATOLOGI (02-01-2018)

PARAMETERS NILAI RUJUKAN

HGB 14,5 (g/dL) L : 13,0 - 18,0

P : 11,5 - 16,5

RBC 4,82 (106/uL) L : 4,5 - 5,5

P : 4,0 - 5,0

HCT 41,6 (%) L : 40,0 - 50,0

P : 37,0 - 45,0

MCV 86,3 (fL) 82,0 - 92,0

MCH 30,1 (pg) 27,0 - 31,0

MCHC 34,9 (g/dL) 32,0 - 37,0

RDW-SD 52,7 (fL) 35 – 47

RDW-CV 18,2 (%) 11,5 - 14,5

WBC 19,82 (103/uL) 4,3 - 10,8

EO 1,2 (%) 1–3

BASO 0,4 (%) 0–2

NEUT 61,3 (%) 50 – 70

LYMPH 31,3 (%) 18 – 42

MONO 5,8 (%) 2 – 11

PLT 623+ (103/uL) 150 – 400

PDW 12,4 (fL) 9,0 – 13,0

MPV 11,2 (fL) 7,2 – 11,1

P-LCR 32,7 (%) 15,0 – 25,0

PCT 0,35 (%) 0,150 – 0,400


Pemeriksaan Hasil Satuan Normal

Kimia klinik

SGOT 56 u/l 5 - 34

SGPT 38 u/l dws : 10-35

Glukosa Sewaktu 85 mg/dL < 200

Urea 54,1 mg/dL 10 - 50

Creatinin 0,89 mg/dL L : 0,7 – 1,4


W : 0,6 – 1,2

E. DIAGNOSIS BANDING

Atrial Fibrilasi Dengan Rapid Ventricular Respons

Right Bundle Branch Block


Supraventricular Tachycardia dengan konduksi aberant
Cardiomegali
Edema paru

F. DIAGNOSIS KERJA

Atrial Fibrilasi Dengan Rapid Ventricular Respons


Right Bundle Branch Block
Cardiomegali
Edema paru

G. PENATALAKSANAAN

AP dr Suryono, Sp.JP :

- Infus PZ 7 tpm
- Inj fargoxin 1 amp
- Inj ketorolac 1 amp extra
- Inj ondancetron 1 amp extra
- Observasi ICU
H. RESUME

Pasien atas nama Ny. A usia 42 tahun datang ke IGD tanggal 02-01-2018 pukul 17.00
dengan keluhan sesak mulai tadi pagi, nyeri perut (+), mual (+), muntah(+), pusing
dan badan terasa lemas. RPD jantung rutin kontrol dan minum obat. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum lemah dan tampak sesak, TD 100/70, N
200x/menit, S 36 C, RR 39x/menit, SpO2 99%, BB 60 kg. Pada pemeriksaan thorax
didapatkan suara rhonki +/+. didapatkan oedem pada ekstremitas bawah. Pada
pemeriksaan penunjang ECG didapatkan irama jantung atrial fibrilasi dengan rapid
ventricular respons dan right bundle branch block. Pada rontgen thorax didapatkan
cardiomegali dan curiga oedem paru Hasil laboratorium didapatkan peningkatan
WBC 19,82 103/uL, PLT 623+ 103/uL, SGOT 56 u/l, SGPT 38 u/l dan urea 54,1
mg/dL. Diagnosa banding untuk pasien ini adalah Atrial Fibrilasi Dengan Rapid
Ventricular Respons, Right Bundle Branch Block, Supraventricular Tachycardia
dengan konduksi aberant, Cardiomegali dan Edema paru. Diagnosa kerja Atrial
Fibrilasi Dengan Rapid Ventricular Respons, Right Bundle Branch Block,
Cardiomegali dan Edema paru. Penatalaksaan di IGD atas perintah dr Suryono, Sp.JP
Infus PZ 7 tpm, Inj fargoxin 1 amp, Inj ketorolac 1 amp extra, Inj ondancetron 1 amp
extra, Observasi ICU

I. OBSERVASI IGD

TGL S O A P
/JAM

2/1/2018 Pasien Kejang RR : 4 x/menit Cardiac arrest RJP


HR : (-) VF Persiapan defib
(19.19) ECG : VF

(19.20) HR : (-) Defib 360 J


RR : 8 x/menit RJP
ECG : VF

(19.22) HR : (-) RPJ


RR : 8 x/menit Inj Adrenalin 1 amp
ECG : VF

(19.24) HR : (-) RJP


RR : 8 x/menit
ECG : VF

(19.26) HR : (-) RJP


RR : 8 x/menit Defib 360 J
ECG : VF Inj Adrenalin 1 amp

(19.28) HR : (-) RJP


RR : 8 x/menit
ECG : VF

(19.30) HR : (-) RJP


RR : 8 x/menit Defib 360 J
ECG : VF Inj Adrenalin 1 amp

(19.32) HR : (-) RJP


RR : 8 x/menit
ECG : VF

(19.34) HR : (-) RJP


RR : 6 x/menit Defib 360 J
ECG : VF Inj Adrenalin 1 amp

(19.36) HR : (-) RJP


RR : 8 x/menit
ECG : VF

(19.40) HR : (-) RJP


RR : 6 x/menit Defib 360 J
ECG : VF Inj Adrenalin 1 amp

(19.42) HR : (-) RJP


RR : 8 x/menit
ECG : VF

(19.44) HR : (-) RJP


RR : 6 x/menit Defib 360 J
ECG : VF Inj Adrenalin 1 amp

(19.46) Napas spontan GCS : 1-1-1 ROSC Inj sulfas atropin 2 amp
HR (+) HR : 45 x/menit
RR : 8 x/menit
ECG : AF

Hasil ECG (19.46)

(19.48) HR : (-) RJP


RR : 6 x/menit Defib 360 J
ECG : VF Inj Adrenalin 1 amp

(19.50) HR : 45 x/menit Inj sulfas atropin 2 amp


RR : 8 x/menit
ECG : VF

(19.52) Apneu HR : (-) RJP


RR : 10 x/menit Cardiac Arrest
ECG : VF

(19.55) HR : (-) RJP


RR : 8 x/menit Defib 360 J
ECG : VF Inj Adrenalin 1 amp

(19.58) HR : 95 x/menit ROSC Lapor dr Suryono,Sp.JP


konsul dr. Sp.An pro
TD : 120/80 mmHg intubasi
RR : 10 x/menit
ECG : AF Konsul dr. Deddy,
Sp.An :
Acc pasang intubasi
setelah anastesi selesai
di ruang OK

(19.59) HR : (-) RJP


RR : 8 x/menit
ECG : VF

(20.04) HR (+) HR : 87 x/menit Bagging


RR : 19 x/menit
Sp02 : 39 - 42 %
GCS : 1-1-1

(20.06) HR : 40 x/menit Bradikardi Inj sulfas atropin 2 amp


RR : 21 x/menit
Sp02 : 35 %
GCS : 1-1-1
(20.11) HR : 75 x/menit Pro ICU
TD : 120/70 mmHg Pro pasang intubasi
RR : 21 x/menit
Sp02 : 86 %
GCS : 1-1-1

Hasil ECG (20.11)

(20.55) HR : (-) RJP


RR : (-) Inj Adrenalin 1 amp
ECG : Asistole

(21.00) HR : 40 x/menit Bradikardi Inj sulfas atropin 1 amp


RR : 8 x/menit
ECG : bradikardi

(21.35) HR : (-) Pasien dinyatakan


meninggal dunia
RR : (-)
TD : (-)
ECG : Asistole
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. ATRIAL FIBRILASI

1. PENGERTIAN

Atrial fibrillasi (AF) adalah gangguan irama jantung yang paling sering
ditemukan, dan prevalensinya meningkat seiring usia populasi.Walaupun sering
terkait dengan penyakit jantung lainnya, AF terkadang muncul pada pasien tanpa
keluhan jantung tertentu. Gangguan hemodinamik dan kejadian tromboemboli
menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas.
Tabel 1.1 Definisi pada tiap klasifikasi Atrial Fibrilasi (AF).

Sumber : 2014 AHA/ACC/HRS Guideline for the Management of Patients With Atrial
Fibrillation: Executive Summary

AF adalah supraventrikular aritmia yang ditandai dengan tidak terkontrolnya


aktivasi atrium diikuti dengan menurunnya aktivitas mekanik atrial. Pada EKG dapat
terlihat gelombang P normal menghilang dan digantikan oleh gelombang fibrilasi
yang bervariasi ukuran, bentuk, dan waktu munculnya serta berhubungan dengan
respon ventrikel ireguler apabila konduksi AV intak. Peningkatan frekuensi denyut
jantung pada AF sebesar 350-650 x/menit, sehingga menyebabkan tidak efektifnya
proses mekanik atau pompa darah jantung.
Gambar 1.6 Gambaran EKG pada atrial fibrillasi.

Sumber : Lilly, LS. Pathophysiology of Heart Disease 4th ed. Lippincott & Wilkins.

Atrial fibrilasi diklasifikasikan menurut kejadian episodenya. Ketika pasien


mengalami dua episode atau lebih, AF dikatakan rekuren. Ketika sudah diterminasi,
AF rekuren dikatakan paroksismal, dan apabila AF terus berlangsung maka dikatakan
persisten. Bila terapi farmakologis dan cardioversi tidak dapat merubah irama AF,
maka dikatakan AF persistent, dan umumnya menuju kepada AF permanen. Definisi
pada tiap klasifikasi terdapat pada Tabel 1.1. tersebut di atas.

Ciri-ciri AF pada gambaran EKG umumnya sebagai berikut:


1. EKG permukaan menunjukkan pola interval RR yang ireguler
2. Tidak dijumpainya gelombang P yang jelas pada EKG permukaan. Kadang-kadang
dapat terlihat aktivitas atrium yang ireguler pada beberapa sadapan EKG, paling
sering pada sadapan V1.
3. Interval antara dua gelombang aktivasi atrium tersebut biasanya bervariasi,
umumnya kecepatannya melebihi 450x/menit.

2. PATOFISIOLOGI (MEKANISME) ATRIAL FIBRILASI


Teori yang melandasi terjadinya AF mencakup proses peningkatan automatisitas pada
1 atau beberapa foci yang terdepolarisasi cepat, dan reentry yang melibatkan 1 atau
beberapa sirkuit. Foci yang tercetus secara cepat dan terlokasi pada 1 atau lebih
tempat pada v.pulmonalis superior dapat menimbulkan AF pada pasien tertentu. Foci
juga bisa terdapat pada atrium kanan dan jarang sekali pada vena cava superior atau
sinus coronarius. Ablasi pada foci tersebut dapat menjadi tindakan kuratif pada
beberapa pasien.
Proses yang abnormal tersebut dapat disebabkan oleh berbagai macam hal
mencakup kelainan struktural maupun elektrikal (fungsional), seperti yang
digambarkan dalam bagan tersebut dibawah. Kelainan struktural dapat diakibatkan
oleh proses fibrosis (atrial remodelling), iskemia, infiltrasi pada atrial myocard (pada
amyloidosis, sarcoidosis, hemochromatosis), dilatasi atrium, dan hipertrofi atrium.
Sementara itu kelainan fungsional salah satunya adalah akibat dari peningkatan
automatisitas ataupun kondisi dimana aliran kation pada sel jantung abnormal.

AV nodal merupakan suatu faktor yang dapat membatasi konduksi selama AF.
AV nodal terlokasi pada anterior dari trigonum Koch, yang dikelilingi oleh sel
transisional. Terdapat 2 jalur impuls dari atrium ke AV nodal yaitu dari posterior
melalui crista terminalis dan dari anterior melalui septum interatrial. Pada suatu kasus
bisa jadi terdapat jalur aksesori (mis.pada sindroma WPW), yang merupakan serabut
otot yang menghubungkan atrium dan ventrikel dan mempunyai kapasitas untuk
konduksi cepat. Konduksi melalui jalur aksesori selama AF berlangsung dapat
menyebabkan very rapid ventricular response dan dapat berakibat fatal. Obat-obatan
seperti digitalis, calcium channel antagonist, dan beta-blocker umumnya diberikan
untuk memperlambat konduksi pada AV nodal selama AF, namun tidak menghentikan
aliran impuls yang melalui jalur aksesori, sehingga dapat meningkatkan konduksi dan
menyebabkan hipotensi ataupun cardiac arrest.
Gambar 1.8 Trigonum Koch
Pada AF, ada 3 faktor yang dapat mempengaruhi fungsi hemodinamik,
yaitu : hilangnya aktivitas mekanik atrial yang sinkron, respon ventrikular yang
irregular, dan nadi yang sangat cepat. Respon ventrikular yang cepat dapat
menurunkan cardiac output, sehingga dapat terjadi hipotensi dan kongesti pulmo.
Hilangnya aktivitas mekanik atrial yang sinkron dapat menyebabkan darah menjadi
stasis di atrium, sehingga meningkatkan risiko thrombus, yang merupakan penyebab
penting dari kejadian stroke. Thrombus yang terkait dengan AF seringkali berasal dari
left atrial appendage (LAA). Namun karena patofisiologi dari thromboembolisme
pada pasien AF belum dapat dijelaskan secara pasti, maka mekanisme yang
menghubungkan faktor risiko stroke iskemik pada AF juga belum dapat secara
lengkap dijabarkan.
Oleh karena itu, fokus tatalaksana pada AF adalah pada tiga aspek,
yaitu: (1) ventricular rate control, (2) mengembalikan ke irama sinus, dan (3)
penilaian kebutuhan antikoagulan untuk mencegah thromboembolisme.

3. EVALUASI KLINIS DAN DIAGNOSIS


Presentasi klinis dari AF tidak selalu simptomatik, bisa jadi asimptomatik,
walaupun pada satu pasien yang sama. Gejala bervariasi dari ventricular rate, status
fungsional jantung, durasi AF, maupun persepsi individual pasien. Disritmia dapat
terjadi pada pertama kali dengan komplikasi emboli ataupun eksaserbasi dari gagal
jantung. Seringkali pasien dijumpai datang dengan keluhan palpitasi, nyeri dada,
sesak napas, kelelahan/ fatigue, ataupun lightheadedness. Sinkop merupakan
komplikasi yang sangat jarang namun serius yang umumnya mengindikasikan
disfungsi sinus nodal, valvular aortic stenosis, HCM, cerebrovascular disease, atau
adanya jalur aksesori pada AV nodal.
Evaluasi inisial untuk pasien yang suspek ataupun terbukti AF meliputi
penentuan karakteristik pola aritmia (apakah paroksismal atau persisten), penentuan
penyebab aritmia, dan penentuan faktor cardiac serta extracardiac. Pada pemeriksaan
fisik dapat dicurigai AF bila adanya nadi irregular, pulsasi vena jugular yang irregular,
dan variasi kerasnya suara bunyi suara jantung satu (S1). Untuk mendiagnosis AF
diperlukan rekam jantung (EKG). Jika episode frekuen, dapat dipasang 24 jam Holter
monitor. Pada kasus AF pada EKG dapat ditemukan irama AF, heart rate 350-650x/m,
tidak adanya gelombang P dan digantikan oleh gelombang fibrillasi, interval RR yang
irregular, bisa juga disertai dengan gambaran bundle branch block, old myocard
infarct, atrial arrythmia lainnya.
Selain itu pemeriksaan penunjang dapat meliputi pemeriksaan laboratorium,
foto rontgen thorax, transthoracic echocardiogram, exercise testing, dan sebagainya
seperti tertera pada tabel berikut di bawah.

Tabel 1.2 Evaluasi klinis inisial pada pasien AF

Tabel 1.3 Pemeriksaan penunjang pada pasien AF

4. TATA LAKSANA PADA FASE AKUT


a. Kendali laju fase akut
Pada pasien dengan hemodinamik stabil dapat diberikan obat yang dapat mengontrol
respon ventrikel. Pemberian penyekat beta atau antagonis kanal kalsium non-
dihidropiridin oral dapat digunakan pada pasien dengan hemodinamik stabil.
Antagonis kanal kalsium non-dihidropiridin hanya boleh dipakai pada pasien dengan
fungsi sistolik ventrikel yang masih baik. Obat intravena mempunyai respon yang lebih
cepat untuk mengontrol respon irama ventrikel. Digoksin atau amiodaron
direkomendasikan untuk mengontrol laju ventrikel pada pasien dengan FA dan gagal
jantung atau adanya hipotensi. Namun pada FA dengan preeksitasi obat terpilih adalah
antiaritmia kelas I (propafenon, disopiramid, mexiletine) atau amiodaron. Obat yang
menghambat NAV tidak boleh digunakan pada kondisi FA dengan preeksitasi karena
dapat menyebabkan aritmia letal. Pada fase akut, target laju jantung adalah 80-100
kpm.41 Rekomendasi obat intravena yang dapat digunakan pada kondisi akut dapat
dilihat di tabel 5.80
Pada layanan kesehatan primer yang jauh dari pusat rujukan sekunder/tersier,
untuk sementara kendali laju dapat dilakukan dengan pemberian obat antiaritmia
oral. Diharapkan laju jantung akan menurun dalam waktu 1-3 jam setelah
pemberian antagonis kanal kalsium (diltiazem 30 mg atau verapamil 80 mg), penyekat
beta (propanolol 20-40 mg, bisoprolol 5 mg, atau metoprolol 50 mg). Dalam hal ini
penting diperhatikan untuk menyingkirkan adanya riwayat dan gejala gagal jantung.
Kendali laju yang efektif tetap harus dengan pemberian obat antiaritmia intravena di
layanan kesehatan sekunder/tersier.
Fibrilasi atrium dengan respon irama ventrikel yang lambat, biasanya membaik dengan
pemberian atropin (mulai 0,5 mg intravena). Bila dengan pemberian atropin pasien
masih simtomatik, dapat dilakukan tindakan kardioversi atau pemasangan pacu jantung
sementara
b. Kendali irama fase akut
Respon irama ventrikel yang terlalu cepat akan menyebabkan gangguan hemodinamik
pada pasien FA. Pasien yang mengalami hemodinamik tidak stabil akibat FA harus
segera dilakukan kardioversi elektrik untuk mengembalikan irama sinus.84 Pasien
yang masih simtomatik dengan gangguan hemodinamik meskipun strategi kendali laju
telah optimal, dapat dilakukan kardioversi farmakologis dengan obat antiaritmia
intravena atau kardioversi elektrik. Saat pemberian obat antiaritmia intravena pasien
harus dimonitor untuk kemungkinan kejadian proaritmia akibat obat, disfungsi nodus
sinoatrial (henti sinus atau jeda sinus) atau blok atrioventrikular. Obat intravena untuk
kardioversi farmakologis yang tersedia di Indonesia adalah amiodaron. Kardioversi
dengan amiodaron terjadi beberapa jam kemudian setelah pemberian
DAFTAR PUSTAKA

A Report of the American College of Cardiology/ American Heart Association Task Force on
Practice Guidelines and the European Society of Cardiology Committee for Practice
Guidelines and Policy Conferences (Committee to Develop Guidelines for the
Management of Patients With Atrial Fibrillation). 2001. ACC/AHA/ESC Guidelines
for the Management of Patients With Atrial Fibrillation : Executive Summary. Journal
of the American College of Cardiology Vol 38, No.4

A Report of the American College of Cardiology/ American Heart Association Task Force on
Practice Guidelines and Heart Rythm Society. 2014. ACC/AHA/ESC Guidelines for
the Management of Patients With Atrial Fibrillation : Executive Summary. Journal of
the American College of Cardiology Vol 64, No.21.

Atrial Fibrillation Clinical Presentation. 2013. (Accessed Sep 27, 2013, at http://emedicine.
medscape.com/article/151066-clinical.)

Lilly, L.S. 2011. Pathophysiology of Heart Disease – A Collaborative Project of Medical


Students and Faculty 5th ed. Lippincott & Wilkins.

You might also like