You are on page 1of 46

BAB I

PENDAHULUAN

Bronkopneumonia disebut juga pneumonia lobularis yaitu suatu peradangan pada


parenkim paru yang terlokalisir yang biasanya mengenai bronkiolus dan juga mengenai alveolus
disekitarnya berupa distribusi berbentuk bercak-bercak (patchy distribution), yang sering
menimpa anak-anak dan balita, yang disebabkan oleh bermacam-macam etiologi seperti bakteri,
virus, jamur dan benda asing.1 Pneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah
kesehatan utama pada anak di Negara berkembang. Pneumonia merupakan penyebab utama
morbiditas dan mortalitas anak berusia dibawah lima tahun (balita).2
Usia pasien merupakan peranan penting pada perbedaan dan kekhasan pneumonia anak,
terutama dalam spectrum etiologi, gambaran klinis dan strategi pengobatan.3 Penyebab tersering
pneumonia bakterial adalah Streptococcus pneumoniae. Virus lebih sering ditemukan pada anak
usia <5 tahun dan respiratory syncytial virus (RSV) merupakan penyebab tersering pada anak
usia <3 tahun.. Sementara itu, bakteri yang paling banyak ditemukan pada apusan tenggorokan
pasien usia 2-59 bulan adalah Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus aureus, dan
Hemophilus influenzae.4
Diare sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan dunia terutama pada negara
berkembang. Masalah tersebut terlihat dari besar dan tingginya angka kesakitan dan kematian
akibat diare. Di dunia terdapat 1,7 miliar kasus diare yang terjadi setiap tahunnya. Menurut data
WHO pada tahun 2013, diare merupakan penyakit kedua penyebab kematian pada anak usia
dibawah lima tahun. Diare diperkirakan menyebabkan 1,87 juta kematian setiap tahunnya
diseluruh dunia pada balita.5
Diare akut berlangsung selama 3-7 hari, sedangkan diare persisten terjadi selama ≥ 14
hari. Secara klinis penyebab diare terbagi menjadi enam kelompok, yaitu infeksi, malabsorbsi,
alergi, keracunan makanan, imunodefisiensi dan penyebab lainnya, seperti gangguan fungsional
dan malnutrisi.6 Diare merupakan penyakit yang paling sering terjadi pada anak dibawah lima
tahundengan sering disertai muntah, apabila tidak segera diberi pertolongan pada anak dapat
mengakibatkan dehidrasi. Rotavirus adalah penyebab utama tersering penyakit gastroenteritis
pada balita di dunia. Perkiraan terdapat 453.000 balita meninggal setiap tahunnya.7
BAB II

LAPORAN KASUS
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An.D
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 4 bulan
Alamat : Gunung Sirah, Darma
Suku Bangsa : Sunda
Agama : Islam
Pendidikan :-
Orang tua / Wali
Ayah Ibu
Nama A N
Umur 28 tahun 24 tahun
Alamat Gunung sirah, darma Gunung sirah, darma
Pekerjaan Wiraswasta Ibu rumah tangga
Pendidikan SMA SMA
Suku Sunda Sunda
Agama Islam islam
Hubungan dengan orang tua: Pasien merupakan anak kandung

II. ANAMNESIS
Dilakukan secara alloanamnesis dengan Ny. N, orangtua kandung pasien.
Lokasi : UGD RSUD 45 Kuningan
Tanggal/Waktu : 09 April 2018, pukul 15.40 WIB
Tanggal masuk ruangan : 09 April 2018, pukul 16.15 WIB
Keluhan utama : Sesak nafas dan BAB cair
A. KELUHAN UTAMA :
Sesak nafas sejak 2 hari SMRS dan BAB cair 2 hari SMRS.
B. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG :
Sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit pasien sesak nafas, sesak nafas muncul secara
tiba-tiba, sesak terus menerus dan anak sulit tidur karena sesak, suara mengik disangkal oleh ibu.
Sesak nafas tidak dicetuskan oleh faktor apapun baik oleh cuaca dingin maupun aktifitas, selain
sesak pasien juga mengalami batuk dan pilek sejak 8 hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit,
batuk yang awalnya kering namun sekarang seperti berdahak namun sulit keluar, selain itu pilek
dengan cairan ingus yang berwarna bening, menurut ibu demam pun dirasakan sejak semalam
dan diukur menggunakan termometer di ketiak terlihat panas 38,7oC, kejang dan mengigil
disangkal, dan ibu langsung mengkompres menggunakan air hangat. Tidak ada riwayat tersedak
selumnya. Pasien baru pertama kali mengalami sesak selama ini dan tidak ada anggota keluarga
pasien yang mengalami hal serupa. Adanya kontak dengan penderita TBC disangkal oleh ibu
pasien.

Sejak 2 hari sebelum masuk Rumah Sakit (SMRS) BAB cair.BAB cair lebih dari 5kali
perhari,berwarna kekuningan, terdapat ampas,terdapat lendir, tidak terdapat darah dan tidak
terdapat bau amis. Orangtua pasien juga mengatakan pasien muntah lebih dari 1kali per hari,
berisi air dan susu. Pasien terlihat gelisah dan rewel, selalu ingin minum dan terlihat haus. Mulut
dan lidah tampak kering. Kelopak mata terlihat cekung, dan menangis namun tidak keluar air
mata. Pasien sudah minum susu botol karena menurut pengakuan ibu pasien, ASI ibu pasien
sudah hanya sedikit keluar sejak 2 minggu yang lalu. Menurut pengakuan ibu pasien,terkadang
botol susu tidak dicuci dengan cara dimasukkan ke air mendidih dan hanya dicuci menggunakan
air sumur.
C. RIWAYAT KEHAMILAN / KELAHIRAN
Morbiditas Anemia (-), hipertensi (-), diabetes mellitus (-),
kehamilan penyakit jantung (-), penyakit paru (-), merokok (-),
infeksi (-), minum alkohol (-)
KEHAMILAN Perawatan antenatal Rutin kontrol ke bidan 1 kali setiap bulan pada
trimester pertama dan tiap minggu menjelang masa
persalinan. Riwayat imunisasi dan konsumsi
suplementasi selama kehamilan (+)
Tempat persalinan Puskesmas
Penolong persalinan Bidan
Spontan per vaginam
Cara persalinan
Penyulit: (-)
Masa gestasi Cukup Bulan (40 minggu)
Berat lahir: 3000 gram
KELAHIRAN Keadaan bayi
Panjang lahir: 49 cm
Lingkar kepala: (ibu tidak ingat)
Langsung menangis: (+)
Kemerahan: (+)
Nilai APGAR: (ibu tidak tahu)
Kelainan bawaan: (-)
Kesimpulan riwayat kehamilan dan kelahiran: Pasien lahir spontan pervaginam, tanpa
penyulit selama kehamilan maupun persalinan, cukup bulan, berat badan lahir cukup.

D. RIWAYAT PERKEMBANGAN
Pertumbuhan gigi pertama : Belum tumbuh (Normal: 5-9 bulan)
Gangguan perkembangan mental: Tidak ada
Motorik halus:
Mengikuti objek bergerak : 2 bulan(Normal 0-3 bulan)
Berusaha mencapai mainan : 4 bulan (Normal 4-6 bulan)
Pindah benda antar tangan : Belum dapat dilakukan (Normal 6-9 bulan)
Mulai pincer grasp : Belum dapat dilakukan (Normal 9-12 bulan)
Motorik kasar:
Tengkurap : Belum dapat dilakukan (Normal: 3-5 bulan)
Duduk : Belum dapat dilakukan (Normal: 6-9 bulan)
Berdiri : Belum dapat dilakukan (Normal: 9-12 bulan)
Berjalan : Belum dapat dilakukan (Normal: 12-18 bulan)
Personal-sosial::
Mengenal wajah : Tidak diketahui (Normal 0-1 bulan)
Respon tersenyum : Umur 2 bulan (Normbulan)
Bermain mainan : Belum dapat dilakukan (Normal 4-6 bulan)
Menyuap sendiri : Belum dapat dilakukan (Normal 6-9 bulan)
Bisa melambai : Belum dapat dilakukan (Normal 9-12 bulan)
Bahasa:
Waspada bunyi bel : 3 minggu (Normal 0-1 bulan)
Cooing : Umur 2 bulan (Normal 2-3 bulan)
Tertawa & menangis : Belum dapat dilakukan (Normal 3-5 bulan)
Mengoceh spontan : Belum dapat dilakukan (Normal 6-9 bulan)
Mengucapkan kata : Belum dapat dilakukan (Normal: 9-12 bulan)
Kesimpulan riwayat pertumbuhan dan perkembangan: tidak terdapat kertelambatan dalam
pertumbuhan dan perkembangan pasien baik sesuai usia.

E. RIWAYAT MAKANAN

Umur
ASI/PASI Buah / Biskuit Bubur Susu Nasi Tim
(bulan)
0–4 ASI - - -
4-saat ini Susu formula + ASI - - -
Kesimpulan riwayat makanan: Riwayat makanan tidak baik.

RIWAYAT IMUNISASI

Vaksin Dasar ( umur ) Ulangan ( umur )


Hepatitis B 0 bulan 1 bulan -
Polio 0 bulan 2 bulan 4bulan
BCG 2 bulan - -
DPT / PT 2 bulan 4bulan -
Campak - - -
Rotavirus - - -
Kesimpulan riwayat imunisasi : Imunisasi dasar sudah sesuai jadwal sampai umur 4 bulan.
F. RIWAYAT KELUARGA
Riwayat Pernikahan
Ayah / Wali Ibu / Wali
Nama Tn. A Ny.An
Perkawinan ke- 1 1
Umur saat menikah 26 tahun 22 tahun
Pendidikan terakhir Tamat SMA Tamat SMA
Agama Islam Islam
Suku bangsa Jawa Jawa
Keadaan kesehatan Sehat Sehat
Kosanguinitas - -
Penyakit, bila ada - -

Riwayat Penyakit Keluarga :


Pada anggota keluarga pasien tidak ada yang menderita gejala atau penyakit yang sama seperti
yang dialami oleh pasien. Tidak ada yang mengalami sesak atau batuk lama.
Riwayat Kebiasaan Keluarga:
Pada anggota keluarga ada memiliki kebiasaan merokok, yaitu ayah pasien.
Kesimpulan Riwayat Keluarga: Tidak ada anggota keluarga yang mengalami gejala dan
penyakit yang serupa dengan pasien namun ayah pasien memiliki kebiasaan merokok.

G. RIWAYAT PENYAKIT YANG PERNAH DIDERITA


Penyakit Umur Penyakit Umur Penyakit Umur
Alergi (-) Difteria (-) Penyakit jantung (-)
Cacingan (-) Diare (-) Penyakit ginjal (-)
DBD (-) Kejang (-) Radang paru (-)
Otitis (-) Morbili (-) TBC (-)
Parotitis (-) Operasi (-) Lain-lain: - -
Kesimpulan Riwayat Penyakit yang pernah diderita : Pasien belum pernah mengalami penyakit yang
sama sebelumnya

H. RIWAYAT LINGKUNGAN PERUMAHAN


Pasien tinggal bersama ibu dan ayah pasien, Menurut ibu pasien keadaan Lingkungan
sekitar rumah tidak begitu padat penduduk, ventilasi dan pencahayaan baik. Rumah terletak di
pinggir jalan. Untuk Sehari-hari seperti mandi, cuci dengan air sumur. Dan air untuk minum
selalu dimasak.
Kesimpulan Keadaan Lingkungan: Lingkungan rumah tidak begitu padat penduduk.
Kebersihan lingkungan dan pribadi cukup. Penyediaan air bersih cukup.

I. RIWAYAT SOSIAL EKONOMI


Ayah pasien bekerja sebagai wiraswasta penghasilan kurang lebih Rp. 2.500.000/bulan.
Sedangkan ibu pasien merupakan ibu rumah tangga. Menurut ibu pasien penghasilan tersebut
pas-pasan untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari.
Kesimpulan sosial ekonomi: Penghasilan ayah pasien tersebut pas-pasan untuk memenuhi
kebutuhan pokok sehari-hari.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Dilakukan pada tanggal 09 April 2018 pukul 16.00 WIB

Keadaan umum

 Kesan sakit : Tampak sakit sedang


 Kesadaran : E4 V5 M6
 Kesan gizi : Gizi cukup
 Keadaan lain : Pucat (-), Ikterik (-), Oedem (-), sesak (+)
Data Antropometri
Berat Badan sekarang : 6 kg
Panjang Badan : 61 cm
Status Gizi
BB / TB = Z score: 0 s/d - 1 SD = normal
Status gizi diatas berdasarkan kurva WHO, pasien termasuk dalam kategori gizi normal.
Tanda vital
Nadi : 132 x / menit, volume cukup, kanan kiri equal, reguler
Respirasi : 50 x / menit, reguler
Suhu : 37,2 o C, suhu axilla (diukur dengan termometer digital)
STATUS GENERALIS
KEPALA : Normosefali, ubun-ubun besar cekung (+)
RAMBUT : Rambut hitam, lebat, distribusi merata dan tidak mudah dicabut
WAJAH : Wajah simetris, tidak ada pembengkakan, luka atau jaringan parut
MATA :
Visus : tidak dilakukan Ptosis : -/-
Sklera ikterik : -/- Lagofthalmus : -/-
Konjungtiva anemis : -/- Cekung : -/-
Exophthalmus : -/- Kornea jernih : +/+
Enophtalmus : -/- Strabismus : -/-
Lensa jernih : +/+ Nistagmus : -/-
Refleks konvergensi : tidak dilakukan Pupil : 2mm, bulat, isokor
Refleks cahaya : langsung +/+, tidak langsung +/+
Air mata : tidak ada
TELINGA :
Bentuk : normotia Tuli : -/-
Nyeri tarik aurikula : -/- Nyeri tekan tragus : -/-
Liang telinga : lapang Membran timpani : sulit dinilai
Serumen : -/- Refleks cahaya : sulit dinilai
Cairan : -/- Ruam merah : -/-
HIDUNG :
Bentuk : simetris Napas cuping hidung : +/+
Sekret : +/+ bening Deviasi septum :-
Mukosa hiperemis : -/-
BIBIR : Mukosa berwarna merah muda, kering (+), sianosis (-), pucat (-)
MULUT : Trismus (-), oral hygiene cukup baik, halitosis (-), mukosa gusi berwarna merah
muda, mukosa pipi berwarna merah muda, arcus palatum simetris dengan mukosa
palatum berwarna merah muda
LIDAH : Normoglosia, mukosa berwarna merah muda, hiperemis (-), atrofi papil (-),
tremor (-), lidah kotor (-), kering (+)
TENGGOROKAN : Sulit dinilai
LEHER : Bentuk tidak tampak kelainan, edema (-), massa (-), tidak tampak dan tidak
teraba pembesaran tiroid maupun KGB, trakea teraba di tengah
THORAKS :
Jantung

o Inspeksi : Ictus cordis terlihatdi ICS V linea midclavicula sinistra


o Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V linea midclavicula sinistra
o Perkusi : Batas jantung sulit dinilai
o Auskultasi : BJ S1-S2 reguler normal, gallop (-), murmur (-)
Paru

o Inspeksi : Pergerakan dada kanan dan kiri simetris, retraksi interkostal (+)
o Palpasi : Vokal fremitus sama di kedua lapang
o Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
o Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronki (+/+), wheezing (-/-)
ABDOMEN :
o Inspeksi : Datar
o Auskultasi : BU (+) normal
o Palpasi : Supel, turgor kembali cepat(<2 detik), hepar & lien tidak teraba
o Perkusi : Timpani, shifting dullness (-)

GENITALIA : Tidak ada kelainan


KELENJAR GETAH BENING:
Preaurikuler : tidak teraba membesar
Postaurikuler : tidak teraba membesar
Submandibula : tidak teraba membesar
Supraclavicula : tidak teraba membesar
Axilla : tidak teraba membesar
Inguinal : tidak teraba membesar
EKSTREMITAS :
Simetris, tidak terdapat kelainan pada bentuk tulang, posisi tangan dan kaki, serta sikap badan,
tidak terdapat keterbatasan gerak sendi, akral hangat pada keempat ekstremitas, sianosis (-),
edema (-), capillary refill time <2 detik.
KULIT : warna sawo matang merata, tidak ikterik, tidak sianosis,lembab, capillary refill time
<2 detik

III. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Tanggal 09-10 April 2018

Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan

Hemoglobin 12,0 g/dl 10,1 – 12,8

Jumlah leukosit 18,01 103 /µL (H) 6.0-17.0

Hematokrit 38,9 % 32.0-44.0

Jumlah trombosit 430 ribu//µL 150-450

Hitung Jenis leukosit

Basofil 0.0 % 0.0 – 1.0

Eosinofil 0.0 % (L) 1.0 – 6.0

Batang 0.0 % (L) 2.0 – 6.0

Segmen 58.0 % (H) 25.0 – 50.0

Limfosit 40 % (L) 60.0 – 77.0

Monosit 9.0 % 2.0 – 9.0

KIMIA KLINIK

Pemeriksaan Elektrolit

Natrium 143 mmoL/L 135-145

Kalium 4.8 mol/L 3.5 – 5.1

Chlorida 110 mmol/L 95 - 110

Analisa Faeces
Faeces lengkap Hasil Rujukan normal

Makroskopik
- Warna Kuning Lembek
- Konsistensi Lembek Negatif
- Lendir
Positif Negatif
- Darah
Negatif Negatif

Mikroskopik
- Leukosit 2-3/LPB Negatif
- Eritrosit 0-1/LPB Negatif
- Telur cacing
Negatif Negatif
- Amoeba
Negatif Negatif
- Lemak
Negatif Negatif

IV. PEMERIKSAAN RADIOLOGI


Rontgen thorax tanggal 10 April 2018

Thorax :
Cor tidak membesar
Sinus dan diafragma normal
Pulmo :
Hill tertutup bayangan
jantung
Corakan bronkovaskuler
bertambah
Tampak infiltrate di
suprahiler dan parakardial
kanan
Tampak bayangan opak di
paratrakea (timus)
Kesan:
Bronkhopneumonia
RESUME

Sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS) pasien sesak nafas. Sesak nafas muncul
secara tiba-tiba, sesak terus menerus dan anak sulit tidur karena sesak, suara mengik disangkal
oleh ibu pasien. Selain itu, pasien juga mengalami batuk pilek sejak 8 hari sebelum masuk rumah
sakit (SMRS), awalnya batuk kering namun sekarang berdahak namun sulit keluar, ingus
berwarna bening. Semalam juga pasien mengalami demam diukur menggunakan thermometer
ketiak 38,7 oC. Sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS) juga pasien mengalami BAB
cair sebanyak >5 kali perhari, berwarna kekuningan, terdampat ampas dan lender, tidak ada
darah dan bau amis. Pasien juga muntah lebih dari 1kali perhari, berisi air dan susu. Pasien
terlihat lebih rewel, selalu ingin minum dan terlihat haus. Mulut dan lidah tampak kering,
kelopak mata cekung dan menangis tapi tidak keluar air mata. Sekitar 2 minggu lalu pasien
sudah mulai meminum susu formula karena ASI ibu sangat sedikit keluar. Botol susu jarang
direbus dan hanya dicuci menggunakan air sumur.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos mentis dengan keadaan umum
tampak sakit sedang. Tanda vital, nadi 132x/menit, napas 50x/menit, suhu 37,2°C. Status gizi
pasien baik. Pemeriksaan fisik terdapat ubun-ubun besar kepala cekung, air mata tidak ada, napas
cuping hidung, terdapat sekret bening hidung, bibir kering, retraksi interkostal, dan pada
auskultasi thorax terdengar ronki di kedua lapang paru.
Pemeriksaan laboratorium darah didapatkan peningkatan leukosit 18,01 103 /µL. Pada
pemeriksaan feses rutin didapatkan adanya lender dan leukosit 2-3/LPB. Pada pemeriksaan
rontgen thorax tampak infiltrate di suprahiler dan parakardial kanan.

IV. DIAGNOSIS KERJA


Bronkopneumonia
Diare cair akut dehidrasi ringan sedang

V. DIAGNOSIS BANDING
Bronkhiolitis
VI. PENATALAKSANAAN
 O2 1-2 lpm
 IVFD RL 150 tpm mikro dalam 3 jam
 Ampicilin 4 x 150mg i.v
 Colsancetine 4 x 150 mg i.v
 Ventolin nebules ½ per8 jam
 Flixotide nebules ½ per8 jam
 Paracetamol drops 3 x 0,6 ml p.o
 L-Bio 2x1/2 sachet (p.o)
 Zinc drop 1x1 ml (p.o)

Non-medika Mentosa:
 Tirah baring
 Menjaga kebersihan anak dan sekitarnya
 Berikan anak ASI lebih banyak, hati-hati resiko anak tersedak.

VII. PROGNOSIS
Ad Vitam : Ad Bonam
Ad Functionam : Ad Bonam
Ad Sanationam : Ad Bonam
BAB 3

ANALISA KASUS

Diagnosis bronkopneumonia berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan


penunjang. Terdapat sesak napas, takipneu,napas cuping hidung, retraksi interkostal, dan pada
auskultasi thorax terdengar ronkhi di kedua lapang paru. Pemeriksaan laboratorium darah
didapatkan peningkatan leukosit 17,01 103 /µL.Pemeriksaan radiologi didapatkan infiltrate di
suprahiler dan pericardial dextra. Hal tersebut sesuai dengan kriteria diagnosis
bronkopneumonia, yaitu :
• Sesak nafas disertai dengan pernapasan cuping hidung dan tarikan dinding dada.
Kriteria takipneu menurut WHO :
Anak umur < 2bulan : ≥ 60 x/menit
Anak umur 2-11 bulan : ≥ 50 x/menit
Anak umur 1-5 tahun : ≥ 40 x/menit
Anak umur ≥ 5 tahun : ≥ 30 x/menit
• Demam
• Ronkhi basah sedang nyaring (crackles)
• Foto thorax menunjukkan gambaran infiltrat difus
• Leukositosis (pada infeksi virus tidak melebihi 20.000/mm3 dengan limfosit predominan,
dan bakteri 15.000-40.000/mm3 neutrofil yang predominan)
Diagnosis lain pasien adalah diare cair akut dehidrasi ringan/sedang. Diagnosis diare cair
akut atas dasar BAB cair lebih dari >5kali perhari,berwarna kekuningan, terdapat ampas dan
terdapat lendir, tidak terdapat darah dan tidak berbau amis. Dehidrasi ringan sedang atas dasar
anak menjadi lebih rewel dan banyak minum. Bagian kelopak mata pasien terlihat cekung,
menangis namun tidak keluar air mata dan pada pemeriksaan fisik di dapatkan ubun-ubun besar
cekung, mata cekung, tidak ada air mata saat menangis dan mukosa bibir kering. Klasifikasi
menurut IDAI 2014 tentang tingkat dehidrasi:
Diare pada pasien kemungkinan disebabkan oleh Rotavirus karena dilihat dari konsistensi yang
cair dan warna kekuningan.

Penatalaksanaan pada pasien dengan diagnosisi bronkopneumonia yaitu pemberian


oksigenasi dengan O2 intranasal 1-2 liter/menit, pemberian cairan dengan RL 150tpm mikro
dalam 3 jam, antibiotik ampicilin 4 x 150 mg iv,kloramfenikol 4 x 150 mg i.v, analgesik dan
antipiretik paracetamol drops 3 x 06 ml p.o, dan inhalasi ventolin/8jam dan inhalasi
flexotide/8jam.Diberikan juga l-bio 2x1/2 sachet, dan zinc drops 1x1ml.

Diberikan antibiotik spektrum luas berupa ampicillin dan kloramfenikol untuk membantu
mengeliminasi bakteri penyebab. Diberikan pula paracetamol untuk menurunkan demam.
Diberikan zinc untuk proses epitelisasi dan dapat menurunkan hipersekresi epitel usus.
Sedangkan pemnerian l-bio untuk mengurangi durasi penyebaran virus dan meningkatkan sekresi
IgA antirotavirus.

Prognosis penderita ini adalah dubia ad bonam karena pada pasien ini telah dilakukan
pengobatan yang adekuat serta belum ada tanda-tanda yang mengarah pada komplikasi.
BAB 4
TINJAUAN PUSTAKA
4.1 BRONKOPNEUMONIA

4.1.1 DEFINISI

Bronkopneumonia disebut juga pneumonia lobularis yaitu suatu peradangan pada


parenkim paru yang terlokalisir yang biasanya mengenai bronkiolus dan juga mengenai alveolus
disekitarnya, yang sering menimpa anak-anak dan balita, yang disebabkan oleh bermacam-
macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing.

4.1.2 EPIDEMIOLOGI

Pneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan utama pada anak di
negara berkembang. Pneumonia merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak
berusia di bawah lima tahun (balita). Diperkirakan hampir seperlima kematian anak diseluruh
dunia, lebih kurang 2 juta anak balita, meninggal setiap tahun akibat pneumonia, sebagian besar
terjadi di Afrika dan Asia Tenggara. Menurut survei kesehatan nasional (SKN) 2001, 27,6%
kematian bayi dan 22,8% kematian balita di Indonesia disebabkan oleh penyakit sistem
repiratori, terutama pneumonia.8
Terdapat berbagai faktor risiko yang menyebabkan tingginya angka mortalitas
pneumonia pada anak balita di negara berkembang. Faktor risiko tersebut adalah: pneumonia
yang terjadi pada masa bayi, berat badan lahir rendah (BBLR), tidak mendapat imunisasi, tidak
mendapat ASI yang adekuat, malnutrisi, defisiensi vitamin A, tingginya prevalens kolonisasi
bakteri patogen di nasofaring, dan tingginya pajanan terhadap polusi udara (polusi industri atau
asap rokok).8

Diagram 1, penyebab kematian anak dibawah 5 tahun menurut WHO 3

4.1.3 ETIOLOGI
Tabel 1. Etiologi Pneumonia pada anak sesuai dengan kelompok usia9
Usia Etiologi yang Sering Etiologi yang Jarang
Lahir-20 hari Bakteri Bakteri
E. colli Bakteri anaerob
Streptococcus group B Streptococcus group D
Listeria moonocytogenes Haemophillus influenzae
Streptococcus pneumoniae
Ureaplasma urealyticum
Virus
Virus Sitomegalo
Virus Herpes Simpleks

Usia Etiologi yang Sering Etiologi yang Jarang


3 minggu-3 bulan Bakteri Bakteri
Chlamydia trachomatis Bordetella pertussis
Streptococcus pneumoniae Haemophillus influenzae tipe
B
Virus Moraxella catharalis
Virus Adeno Staphylococcus aureus
Virus Influenza Ureaplasma urealyticum
Virus Parainflueza 1,2,3 Virus
Respiratory Syncytial virus Virus Sitomegalo

Usia Etiologi yang Sering Etiologi yang Jarang


4 bulan-5 tahun Bakteri Bakteri
Chlamydia pneumoniae Haemophillus influenzae tipe
B
Mycoplasma pneumoniae Moraxella catharalis
Streptococcus pneumoniae Neisseria meningitidis
Virus Staphylococcus aureus
Virus Adeno Virus
Virus Influenza Virus Varisela-Zoster
Virus Parainfluenza
Virus Rino
Respiratory Syncytial virus

Usia Etiologi yang Sering Etiologi yang Jarang


5 tahun-remaja Bakteri Bakteri
Chlamydia pneumoniae Haemophillus influenzae
Mycoplasma pneumoniae Legionella sp
Streptococcus pneumoniae Staphylococcus aureus
Virus
Virus Adeno
Virus Epstein-Barr
Virus Influenza
Virus Parainfluenza
Virus Rino
Respiratory Syncytial virus
Virus Varisela-Zoster
Sumber: Said M. Pneumonia. Buku Ajar Respirologi Anak. Badan Penerbit IDAI.
Jakarta:Cetakan Kedua;350-365

4.1.4 PATOFISIOLOGI1,8
Bakteri Streptococcus pneumoniae umumnya berada di nasopharing dan bersifat
asimptomatik pada kurang lebih 50% orang sehat. Adanya infeksi virus akan memudahkan
Streptococcus pneumoniae berikatan dengan reseptor sel epitel pernafasan. Jika Streptococcus
pneumoniae sampai di alveolus akan menginfeksi sel pneumatosit tipe II. Selanjutnya
Streptococcus pneumoniae akan mengadakan multiplikasi dan menyebabkan invasi terhadap sel
epitel alveolus. Streptococcus pneumoniae akan menyebar dari alveolus ke alveolus melalui pori
dari Kohn. Bakteri yang masuk kedalam alveolus menyebabkan reaksi radang berupa edema dari
seluruh alveolus disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN.
Proses radang dapat dibagi atas 4 stadium yaitu :
1. Stadium I (4 – 12 jam pertama/kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada
daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas
kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan
dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut
mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur
komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan
otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan
perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan
edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus
meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan
gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen
hemoglobin.
2. Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat
dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus
yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan,
sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara
alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini
berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.

Gambar 1. tampak alveolus terisi sel darah merah dan sel sel inflamasi (netrofil)
3. Stadium III (3 – 8 hari)
Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah
paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan
terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih
tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler
darah tidak lagi mengalami kongesti.

Gambar 2. tampak alveolus terisi dengan eksudat dan netrofil

4. Stadium IV (7 – 11 hari)
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan mereda,
sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke
strukturnya semula.
Sebagian besar pneumonia timbul melalui mekanisme aspirasi kuman atau penyebaran
langsung kuman dari respiratorik atas. Hanya sebagian kecil merupakan akibat sekunder dari
bakterimia atau viremia atau penyebaran dari infeksi intra abdomen. Dalam keadaan normal
mulai dari sublaring hingga unit terminal adalah steril. Dalam keadaan sehat, tidak terjadi
pertumbuhan mikroorganisme di paru. Keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme
pertahanan paru. Apabila terjadi ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme
dan lingkungan, maka mikroorganisme dapat masuk, berkembang biak dan menimbulkan
penyakit.
Paru terlindung dari infeksi dengan beberapa mekanisme :
 Filtrasi partikel di hidung
 Pencegahan aspirasi dengan refleks epiglottis
 Ekspulsi benda asing melalui refleks batuk
 Pembersihan kearah kranial oleh mukosiliar
 Fagositosis kuman oleh makrofag alveolar
 Netralisasi kuman oleh substansi imun lokal
 Drainase melalui sistem limfatik.

4.1.5 MANIFESTASI KLINIS 1


Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas selama
beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak sampai 390-400C dan mungkin disertai kejang
karena demam yang tinggi. Anak sangat gelisah, dispnu, pernafasan cepat dan dangkal disertai
pernafasan cuping hidung dan sianosis di sekitar hidung dan mulut. Batuk biasanya tidak
dijumpai pada awal penyakit,anak akan mendapat batuk setelah beberapa hari, di mana pada
awalnya berupa batuk kering kemudian menjadi produktif.
Dalam pemeriksaan fisik akan ditemukan hal-hal sebagai berikut:3
 Penilaian keadan umum anak, frekuensi napas, dan nadi harus dilakukan pada saat awal
pemeriksaan sebelum pemeriksaan lain yang dapat menyebabkan anak gelisah atau rewel.
 Penilaian keadaan umum antara lain meliputi kesadaran dan kemampuan makan/minum.
 Demam (suhu tubuh ≥ 38,5oC) dan sianosis
 Gejala distres pernapasan seperti takipneu, retraksi otot subkosta, epigastrik, interkostal,
suprasternal, batuk, krepitasi, pernapasan cuping hidung, dan penurunan suara paru.
Takipneu berdasarkan WHO:
Usia < 2 bulan ≥ 60 x/menit
Usia 2-12 bulan≥ 50 x/menit
Usia 1-5 tahun ≥ 40 x/menit
Usia 6-12 tahun≥ 28 x/menit
Anak di bawah 5 tahun mungkin tidak menunjukan gejala pneumonia yang klasik. Pada anak
yang demam dan sakit akut, terdapat gejala nyeri yang diproyeksikan ke abdomen. Pada bayi
muda, terdapat gejala pernapasan tak teratur dan hipopneu
 Pada palpasi ditemukan fremitus vokal menurun.
 Pada perkusi lapangan paru redup pada daerah paru yang terkena.
 Pada auskultasi dapat terdengar suara pernafasan menurun. Fine crackles (ronki basah
halus) yang khas pada anak besar bisa tidak ditemukan pada bayi. Dan kadang terdengar
juga suara bronkial.9,10

4.1.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG


a. Pemeriksaan laboratorium
Pada pneumonia virus dan mikoplasma umumnya leukosit dalam batas normal atau sedikit
meningkat. Pada pneumonia bakteri didapatkan leukositosis yang berkisar antara 15.000-
40.000/mm3 dengan predominan PMN. Pada infeksi Chlamydia kadang ditemukan eosinofilia.
Kadang-kadang terdapat anemia ringan dan laju endap darah (LED) yang meningkat. Secara
umum, hasil pemeriksaan darah perifer lengkap dan LED tidak dapat membedakan antara infeksi
virus dan bakteri secara pasti.3,4,9
b. C-Reactive Protein (CRP)
Secara klinis CRP digunakan sebagai alat diagnostik untuk membedakan antara faktor infeksi
dan noninfeksi, infeksi virus dan bakteri, atau infeksi bakteri superfisialis dan profunda. Kadar
CRP biasanya lebih rendah pada infeksi virus dan infeksi bakteri superfisialis daripada infeksi
bakteri profunda. CRP kadang digunakan untuk evaluasi respons terhadap terapi antibiotik.3,4,9
Pemeriksaan CRP dan prokalsitonin juga dapat menunjang pemeriksaan radiologi untuk
mengetahui spesifikasi pneumonia karena pneumokokus dengan nilai CRP ≥ 120 mg/l dan
prokalsitonin ≥ 5 ng/ml.10
c. Pemeriksaan Mikrobiologis
Pemeriksaan mikrobiologik seperti kultur dan pewarnaan gram untuk diagnosis pneumonia anak
tidak rutin dilakukan kecuali pada pneumonia berat,dan jarang didapatkan hasil yang positif.
Untuk pemeriksaan mikrobiologik, spesimen dapat berasal dari usap tenggorok, sekret
nasofaring tidak memiliki nilai yang berarti. Diagnosis dikatakan definitif bila kuman ditemukan
dari darah, cairan pleura, atau aspirasi paru.9
d. Pemeriksaan serologis
Uji serologik untuk medeteksi antigen dan antibodi pada infeksi bakteri tipik mempunyai
sensitivitas dan spesifitas yang rendah. Akan tetapi, diagnosis infeksi Streptokokus grup A dapat
dikonfirmasi dengan peningkatan titer antibodi seperti antistreptolisin O, streptozim, atau
antiDNAse B. Uji serologik IgM dan IgG antara fase akut dan konvalesen pada anak dengan
infeksi pneumonia oleh Chlamydia pneumonia dan Mycoplasma pneumonia memiliki hasil yang
memuaskan tetapi tidak bermakna pada keadaan pneumonia berat yang memerlukan penanganan
yang cepat.3,9
e. Pemeriksaan antigen virus
Pada anak kurang dari 18 bulan, dilakukan pemeriksaan untuk mendeteksi antigen visrus dengan
atau tanpa kultur virus jika fasilitas tersedia.3
f. Pemeriksaan Foto Rontgen Toraks
Foto rontgen toraks proyeksi posterior-anterior merupakan dasar diagnosis utama pneumonia.
Tetapi tidak rutin dilakukan pada pneumonia ringan, hanya direkomendasikan pada pneumonia
berat yang dirawat dan timbul gejala klinis berupa takipneu, batuk, ronki, dan peningkatan suara
pernafasan. Kelainan foto rontgen toraks pada pneumonia tidak selalu berhubungan dengan
gambaran klinis. Umumnya pemeriksaan yang diperlukan untuk menunjang diagnosis
pneumonia hanyalah pemeriksaan posisi AP. Lynch dkk mendapatkan bahwa tambahan posisi
lateral pada foto rontgen toraks tidak meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas penegakkan
diagnosis.2,4,9
Secara umum gambaran foto toraks terdiri dari:
 Infiltrat interstisial, ditandai dengan peningkatan corakan bronkovaskular, peribronchial
cuffing dan overaeriation. Bila berat terjadi pachy consolidation karena atelektasis.
 Infiltrat alveolar, merupakan konsolidasi paru dengan air bronchogram. Konsolidasi dapat
mengenai satu lobus disebut dengan pneumonia lobaris atau terlihat sebagai lesi tunggal
yang biasanya cukup besar, berbentuk sferis, berbatas yang tidak terlalu tegas dan
menyerupai lesi tumor paru disebut sebagai round pneumonia
 Bronkopneumoni ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua paru berupa bercak-
bercak infiltrat yang dapat meluas hingga daerah perifer paru disertai dengan peningkatan
corakan peribronkial.
Foto rontgen tidak dapat menentukan jenis infeksi bakteri, atipik, atau virus. Tetapi gambaran
foto rontgen toraks dapat membantu mengarahkan kecenderungan etiologi. Penebalan
peribronkial, infiltrat interstitial merata dan hiperinflasi cenderung terlihat pada pneumonia virus.
Infiltrat alveolar berupa konsolidasi segmen atau lobar, bronkopneumoni dan air bronchogram
sangat mungkin disebabkan oleh bakteri.9
4.1.7 KRITERIA DIAGNOSIS
Dasar diagnosis pneumonia menurut Henry Gorna dkk tahun 1993 adalah ditemukannya paling
sedikit 3 dari 5 gejala berikut ini :
1. sesak nafas disertai dengan pernafasan cuping hidung dan tarikan dinding dada
2. panas badan
3. Ronkhi basah sedang nyaring (crackles)
4. Foto thorax menunjukkan gambaran infiltrat difus
5. Leukositosis (pada infeksi virus tidak melebihi 20.000/mm3 dengan limfosit predominan, dan
bakteri 15.000-40.000/mm3 neutrofil yang predominan)

4.1.8 PENATALAKSANAAN 1,3


TATALAKSANA
WHO merekomendasikan penggunaan peningkatan frekuensi napas dan retraksi subkosta
untuk mengklasifikasikan pneumonia di Negara berkembang. Namun demikian, kriteria tersebut
mempunyai sensitivitas yang buruk untuk anak malnutrisi dan sering overlapping dengan gejala
malaria.3
Klasifikasi pneumonia (Berdasarkan WHO)3
Bayi kurang dari 2 bulan:
 Pneumonia berat: napas cepat atau retraksi yang berat
 Pneumonia sangat berat: tidak mau menetek/minum, kejang, letargis, demam atau
hipotermia, bradipneu atau pernapasan ireguler
Anak umur 2 bulan-5 tahun:
 Pneumonia ringan: napas cepat
 Pneumonia berat: retraksi
 Pneumonia sangat berat: tidak dapat makan/minum, kejang, letargis, malnutrisi
Kriteria rawat inap3:
Bayi:
 Saturasi oksigen ≤92%, sianosis
 Frekuensi napas >60x/menit
 Distress pernapasan, apneu intermiten, atau grunting
 Tidak mau minum/menetek
 Keluarga tidak bisa merawat di rumah
Anak:
 Saturasi oksigen ≤92%, sianosis
 Frekuensi napas >50x/menit
 Distress pernapasan
 Grunting
 Terdapat tanda dehidrasi
 Keluarga tidak bisa merawat di rumah.
Tatalaksana Umum:
Pasien dengan saturasi oksigen ≤92% pada saat bernapas dengan udara kamar harus
diterapi oksigen dengan kanul nasal, head box, atau sungkup untuk mempertahankan saturasi
oksigen >92%.3
 Pada pneumonia berat atau asupan peroral kurang, diberikan cairan intravena dan lakukan
balans cairan ketat
 Fisioterapi dada tidak bermanfaat dan tidak direkomendasikan untuk anak dengan pneumonia
 Antipiretik dan analgetik dapat diberikan untuk menjaga kenyamanan dan mengkontrol batuk
 Nebulisasi dengan β2 agonis dan atau NaCl dapat diberikan untuk memperbaiki mucocilliary
clearance
 Pasien yang mendapatkan terapi oksigen harus diobservasi setidaknya 4 jam sekali, termasuk
pemeriksaan saturasi oksigen
Pemberian antibiotik:3
 Amoksisilin merupakan pilihan utama untuk antibiotik oral pada anak <5 tahun karena
efektif melawan sebagian besar pathogen yang menyebabkan pneumonia pada anak,
ditoleransi dengan baik, dan murah. Alternatifnya adalah co-amoxiclav, ceflacor, eritromisin,
claritromisin, dan azitromisin
 Mycoplasma pneumoniae lebih sering terjadi pada anak yang lebih tua maka antibiotik
golongan makrolid diberikan sebagai pilihan utama secara empiris pada anak ≥5 tahun
 Makrolid diberikan jika Mycoplasma pneumoniae atau Clamydia pneumoniae dicurigai
sebagai penyebab
 Amoksisilin diberikan sebagai pilihan utama jika Streptococcus pneumoniae sangat mungkin
sebagai penyebab
 Jika Staphylococcus aureus dicurigai sebagai penyebab, diberikan makrolid atau kombinasi
flucloxacillin dengan amoksisilin
 Antibiotik intravena diberikan pada pasien pneumonia yang tidak dapat menerima obet per
oral (misal karena muntah) atau termasuk dalam derajat pneumonia berat
 Antibiotik intravena yang dianjurkan adalah: ampisilin dan kloramfenikol, co-amoxiclav,
ceftriaxone, cefuroxime, dan cefotaxime
 Pemberian antibiotik oral harus dipertimbangkan jika terdapat perbaikan setelah mendapat
antibiotik intravena
Antibiotik untuk Community Acquired Pneumonia (CAP) Rekomendasi UUK (Unit Kerja
Koordinasi) Respirologi:3
Neonatus-2 bulan:
 Ampisilin + gentamisin
>2 bulan:
 Lini pertama adalah ampisilin, bila dalam 3 hari tidak ada perbaikan dapat ditambahkan
kloramfenikol
 Lini kedua adalah ceftriaxone
Bila klinis terdapat perbaikan, antibiotik intravena dapat diganti ke preparat oral dengan
antibiotik golongan yang sama dengan antibiotik intravena sebelumnya.3
Antibiotik yang direkomendasikan untuk pemberian secara intravena pada pasien rawat inap
adalah ampisilin dan kloramfenikol, co-amoxiclav, ceftriaxone, cefuroxime, dan cefotaxime.
Nutrisi:3
 Pada anak dengan distres pernapasan berat, pemberian makanan per oral harus dihindari.
Makanan dapat diberikan lewat nasogastric tube (NGT) atau intravena. Tetapi harus diingat
bahwa NGT dapat menekan pernapasan, khususnya pada bayi/anak dengan ukuran lubang
hidung kecil. Bila memang dibutuhkan, sebaiknya menggunakan ukuran yang terkecil
 Perlu dilakukan pemantauan balans cairan ketat agar anak tidak mengalami overhidrasi
karena pada pneumonia berat terjadi peningkatan sekresi hormone antidiuretik
Kriteria rawat pulang:3
 Gejala dan tanda pneumonia hilang
 Asupan per oral adekuat
 Pemberian antibiotik dapat diteruskan di rumah (per oral)
 Keluarga mengerti dan setuju untuk pemberian terapi dan rencana kontrol
 Kondisi rumah memungkinkan untuk perawatan lanjutan di rumah
Tabel 2. Pilihan Antibiotik Intravena untuk Pneumonia3
Antibiotik Dosis Frekuensi Relative Cost Keterangan
Penisilin G 50.000 unit/kg/kali Tiap 4 jam Rendah S. pneumonia
Dosis tunggal
maks. 4.000.000
unit
Ampisilin 100 mg/kg/hari Tiap 6 jam Rendah
Kloramfenikol 100 mg/kg/hari Tiap 6 jam Rendah
Ceftriaxone 50 mg/kg/kali 1x/hari Tinggi S. pneumonia, H.
Dosis tunggal influenza
maks. 2 gram
Cefuroxime 50 mg/kg/kali Tiap 8 jam Tinggi S. pneumonia, H.
Dosis tunggal influenza
maks. 2 gram
Clindamycin 10 mg/kg/kali Tiap 6 jam Rendah Group A Streptococcus, S.
dosis tunggal maks. aureus, S. pneumoniae
1,2 gram (alternatif untuk anak
yang alergi terhadap
betalactam, lebih jarang
menimbulkan flebitis pada
pemberian IV daripada
eritromisin
Eritromisin 10 mg/kg/kali Tiap 6 jam Rendah S. pneumoniae, Chalydia
Dosis tunggal pneumonia, Mycoplasma
maks. 1 gram pneumonia

4.1.9 KOMPLIKASI
Pneumonia bakterial seringkali menyebabkan cairan inflamasi terkumpul di rongga
pleura, kondisi ini mengakibatkan efusi parapneumonik atau apabila cairan tersebut purulent
disebut empiema. Efusi dalam jumlah kecil tidak memerlukan terapi. Efusi dalam jumlah besar
akan membatasi pernapasan dan harus dilakukan tindakan drainase. Diseksi udara diantara
jaringan paru mengakibatkan timbulnya pneumatokel, atau timbulnya kantung udara. Jaringan
parut pada saluran pernapasan dan parenkim paru akan menyebabkan terjadinya dilatasi bronkus
dan mengakibatkan bronkiektasis dan peningkatan risiko terjadinya infeksi berulang.9
Pneumonia yang menyebabkan terjadinya nekrosis jaringan paru dapat menyebabkan
terjadinya abses paru. Abses paru merupakan kasus yang jarang terjadi pada anak dan umumnya
disebabkan oleh pneumonia aspirasi atau infeksi di belakang bronkus yang mengalami obstruksi.
Lokasi yang seringkali terkena adalah segmen posterior lobus superior dan segmen superior
lobus inferior, dimana materi yang teraspirasi terlokalisir saat anak meminum sesuatu yang
mengakibatkan aspirasi. Bakteri yang biasanya mendominasi adalah bakteri anaerob, bersama
dengan bakteri streptokokus, Escherichia coli, Klebsiella pneumonia, Pseudomonas aeruginosa,
dan Staphylococcus aureus. Pemeriksaan CT-Scan akan menunjukan adanya lesi kavitas,
seringkali adanya air-fluid level yang diliputi oleh inflamasi parenkim. Apabila kavitas tersebut
terhubung dengan bronkus, maka kuman dapat diisolasi dari sputum. Bronkoskopi diagnostic
sebaiknya dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan adanya benda asing dan untuk
mengambil specimen mikrobiologi. Abses paru umumnya memberi respon terhadap terapi
antimikroba dengan menggunakan klindamisisn, penisilin G, atau ampisilin sulbaktam.9
Pneumonia adenovirus berat dapat menyebabkan bronkiolitis obliteran, yaitu proses
inflamasi sub akut dimana saluran pernapasan berkaliber kecil digantikan oleh jaringan parut
sehingga terjadi penurunan volume dan komplians paru. Paru hiperlusen unilateral atau Sweyer
James Syndrome adalah sekuele fokal dari pneumonia nekrotik berat, yaitu sebagian dari paru
mengalami peningkatan translusensi radiologi dan berkaitan dengan infeksi adenovirus tipe 21.9

4.1.10 PROGNOSIS 4,8


Dengan pemberian antibiotik yang tepat dan adekuat yang dimulai secara dini pada
perjalanan penyakit tersebut maka mortalitas selama masa bayi dan masa kanak-kanak dapat di
turunkan sampai kurang 1 % dan sesuai dengan kenyataan ini morbiditas yang berlangsung lama
juga menjadi rendah. Anak dalam keadaan malnutrisi energi protein dan yang datang terlambat
menunjukkan mortalitas yang lebih tinggi.

4.2 DIARE
4.2.1 DEFINISI
Diare adalah buang air besar dengan konsistensi lembek atau cair bahkan dapat berupa air
saja yang frekuensinya lebih dari 3 kali atau lebih dalam sehari.11 Menurut Ikatan Dokter Anak
Indonesia, diare atau penyakit diare adalah bila tinja mengandung air lebih banyak dari normal.
Menurut WHO diare adalah berak cair lebih dari tiga kali dalam 24 jam, dan lebih menitik
beratkan pada konsistensi tinja daripada menghitung frekuensi berak.Hingga kini diare masih
menjadi child killer(pembunuh anak-anak) peringkat pertama di Indonesia. Semua kelompok
usia diserang oleh diare, baik balita, anak-anak dan orang dewasa. Tetapi penyakit diare berat
dengan kematian yang tinggi terutama terjadi pada bayi dan anak balita. Menurut Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, berdasarkan jenisnya diare dibagi empat yaitu :

 Diare Akut
Diare akut yaitu, diare yang berlangsung kurang dari 14 hari (umumnya kurang dari
7 hari). Akibatnya adalah dehidrasi, sedangkan dehidrasi merupakan penyebab
utama kematian bagi penderita diare.
 Disentri
Disentri yaitu, diare yang disertai darah dalam tinjanya. Akibat disentri adalah
anoreksia, penurunan berat badan dengan cepat, dankemungkinan terjadinnya
komplikasi pada mukosa.
 Diare persisten
Diare persisten, yaitu diare yang berlangsung lebih dari 14 hari secara terus menerus.
Akibat diare persisten adalah penurunan berat badan dan gangguan metabolisme.
 Diare dengan masalah lain
Anak yang menderita diare (diare akut dan diare persisten) mungkin juga disertai
dengan penyakit lain, seperti demam, gangguan gizi atau penyakit lainnya.12

Diare akut adalah buang air besar dengan frekuensi yang meningkat dan konsistensi tinja
yang lebih lembek atau cair dan bersifat mendadak datangnya, dan berlangsung dalam waktu
kurang dari 2 minggu. Sedangkan diare kronik adalah diare yang berlangsung lebih dari 14
hari.13

4.2.2 ETIOLOGI

Secara klinis penyebab diare dapat dikelompokkan dalam beberapa golongan. Dari
penyebab diare yang terbanyak adalah diare infeksi.14,15 Penyebab diare secara lengkap
adalah sebagai berikut:

a. Infeksi yang dapat disebabkan:


a. Bakteri, misalnya: Shigella, Salmonela, E. coli, V. cholerae, Clostridia perfringens,
Staphyiccoccus,Bacteroides.
b. Virus ,misalnya: Rotavirus, Norwalk agent
c. Parasit, misalnya: Candida, Ascaris lumbricoides, Trichhiuris trichiura, Strongyloides
stercoralis,Giardia lamblia.
b. Kerusakan mukosa usus halus
Sebagai akibat kerusakan mukosa usus halus akan terjadi defisiensi enzim disakaridase,
intoleransi gula, dan juga malabsorpsi lemak, protein, vitamin, asam empedu, dan
mineral.

c. Gangguan imunologi
Dinding usus mempunyai mekanisme pertahanan yang baik. Bila terjadi defisiensi ‘S.Ig
A’ dapat terjadi bakteri tumbuh lampau. Demikian pula defisiensi cell mediated immunity
dapat menyebabkan tubuh tidak mampu mengatasi infeksi dan infestasi parasit dalam
usus. Hal ini mengakibatkan bakteri, virus, parasit, dan jamur yang masuk dalam usus
tersebut akan berkembang biak dengan leluasa sehingga terjadi bakteri tumbuh lampau
dan berakibat lebih lanjut berupa diare kronik dan malabsorpsi makanan.14

Penyakit diare merupakan salah satu penyakit yang berbasis lingkungan. Faktor yang
dominan adalah sarana air bersih, pembuangan tinja dan limbah. Apabila faktor lingkungan
(terutama air) tidak memenuhi syarat kesehatan karena tercemar bakteri didukung dengan
perilaku manusia yang tidak sehat seperti pembuangan tinja tidak higienis, kebersihan
perorangan dan lingkungan yang jelek, serta penyiapan dan penyimpanan makanan yang
tidak semestinya, maka dapat menimbulkan kejadian diare. Problema-problema kesehatan
yang berkaitan dengan air muncul akibat kurangnya persediaan dan akibat kondisi air yang
sudah tercemar sampai tingkat tertentu. Apabila di dalam air terdeteksi adanya E. coli yang
bersifat fecal, bila dikonsumsi terus-menerus akan berdampak pada timbulnya penyakit
seperti radang usus, diare, infeksi pada saluran kemih dan saluran empedu. Adanya E. coli
dalam air minum menunjukkan bahwa air minum itu pernah terkontaminasi kotoran
manusia dan mungkin dapat mengandung patogen usus, sehingga tidak layak untuk
dikonsumsi.9 Beberapa faktor lain yang menjadi penyebab timbulnya penyakit diare
disebabkan oleh kuman melalui kontaminasi makanan atau minuman yang tercemar tinja
dan atau kontak langsung dengan penderita.16

4.2.3 GEJALA
Diare merupakan keadaan dimana tinjanya encer, dan dapat bercampur darah dan
lendir. Diare dapat menyebabkan cairan tubuh terkuras keluar melalui tinja. Bila penderita
diare banyak sekali kehilangan cairan tubuh maka hal ini dapat menyebabkan kematian .
Penyakit diare pada bayi dan anak dapat menimbulkan dampak yang negatif, yaitu dapat
menghambat proses tumbuh kembang anak yang pada akhirnya dapat menurunkan kualitas
hidup anak. Gejala diare biasanya timbul yang di awali dengan gelisah, suhu tubuh
biasanya meningkat, nafsu makan berkurang atau tidak ada, dan kemudian timbul diare,
tinjanya cair dan di sertai lendir atau lendir dan darah. Pada orang yang terkena diare dapat
menyebabkan terjadinya dehidrasi yang dapat bersifat ringan, sedang, dan berat, dapat pula
terjadi hipoglikemi, intoleransi sekunder akibat kerusakan villi mukosa usus dan defisiensi
enzim laktosa. Disebut dehidrasi ringan jika cairan tubuh yang hilang 5%. Jika cairan yang
hilang lebih dari 10% disebut dehidrasi berat.17

4.2.4 PATOFISIOLOGI

Mekanisme dasar yang menyebabkan timbulnya diare ialah 18,19:


1. Gangguan Osmotik
Akibat terdapatnya makanan atau zat yang tidak dapat diserap akanmenyebabkan
tekanan osmotik dalam rongga usus meninggi, sehingga terjadipergeseran air dan
elektrolit kedalam rongga usus. Cairan yang berlebihan ini akan merangsang usus untuk
mengeluarkan sehingga timbul diare.
2. Gangguan Sekresi
Akibat rangsangan tertentu (misal oleh toksin) pada dinding usus akan
terjadipeningkatan sekresi air dan elektrolit kedalam rongga usus dan selanjutnya diare
timbul karena terdapat peningkatan isi rongga usus.
3. Gangguan Motilitas Usus
Hiperperistaltik akan mengakibatkan berkurangnya kesempatan usus
menyerapmakanan, sehingga timbul diare. Sebaliknya bila peristaltik usus menurun
akanmengakibatkan bakteri tumbuhan berlebihan yang selanjutnya dapat
menimbulkandiare.

Patogenesis Diare Akut :


1. Masuknya jasad renik yang masih hidup ke dalam usus halus setelah berhasilmelewati
rintangan asam lambung.
2. Jasad renik tersebut berkembang biak (multiplikasi) di dalam usus halus.
3. Oleh jasad renik dikeluarkan toksin (toksin diaregenik)
4.Akibat toksin tersebut terjadi hipersekresi yang selanjutnya akan menimbulkan diare.
Patogenesis Diare Kronis; lebih komplek dan faktor – faktor yang menimbulkannya
ialah infeksi bakteri, parasit, malabsorbsi, malnutrisi dan lain – lain.Diare akut
mengakibatkan terjadinya :
a) Kehilangan air dan elektrolit serta gangguan asam basa yang menyebabkan dehidrasi,
asidosis metabolic dan hipokalemia.
b) Gangguan sirkulasi darah dapat berupa renjatan hipovolemik atau pra renjatan sebagai
akibat diare dengan atau tanpa disertai dengan muntah ;perfusi jaringan berkurang
sehingga hipoksia dan asidosis metabolik bertambah berat ; peredaran otak dapat terjadi,
kesadaran menurun (soporokomatosa) dan bila tak cepat diobati, penderita dapat
meniggal.
c) Gangguan gizi yang terjadi akibat keluarnya cairan yang berlebihan karena diare dan
muntah ; kadang- kadang orang tuanya menghentikan pemberian makanan per oral
karena takut bertambahnya muntah dan diare pada anak atau bila makanan tetap
diberikandalam bentuk diencerkan. Hipoglikemia akan lebih sering terjadi pada anak
yang sebelumnya telah menderita malnutrisi atau bayi dengan gagal bertambah berat.
Sebagai akibat hipoglekemia dapat terjadi edema otak yang dapat mengakibatkan
kejang dan koma.8

4.2.5 TATALAKSANA20
Departemen Kesehatan mulaimelakukan sosialisasi Panduan Tata Laksana
Pengobatan diare pada balita yang baru didukung oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia,
dengan merujuk pada panduan WHO. Tatalaksana ini sudah mulai diterapkan di rumah
sakit- rumah sakit. Rehidrasi bukan satu-satunya strategi dalam penatalaksanaan diare.
Memperbaiki kondisi usus dan menghentikan diare juga menjadi cara untuk mengobati
pasien. Untuk itu, Departemen Kesehatan menetapkan lima pilar penatalaksanaan diare
bagi semua kasus diare yang diderita anak balita baik yang dirawat di rumah maupun
sedang dirawat di rumah sakit, yaitu:20

1. Rehidrasi dengan menggunakan oralit baru


2. Zinc diberikan selama 10 hari berturut-turut

3. ASI dan makanan tetap diteruskan

4. Antibiotik selektif

5. Nasihat kepada orang tua

1. Rehidrasi dengan oralit baru, dapat mengurangi rasa mual dan muntah

Berikan segera bila anak diare, untuk mencegah dan mengatasi dehidrasi. Oralit
formula lama dikembangkan dari kejadian luar biasa diare di Asia Selatan yang
terutama disebabkan karena disentri, yang menyebabkan berkurangnya lebih banyak
elektrolit tubuh, terutama natrium. Sedangkan diare yang lebih banyak terjadi akhir-
akhir ini dengan tingkat sanitasi yang lebih banyak terjadi akhir-akhir ini dengan tingkat
sanitasi yang lebih baik adalah disebakan oleh karena virus.Diare karena virus tersebut
tidak menyebakan kekurangan elektrolit seberat pada disentri. Karena itu, para ahli
diare mengembangkan formula baru oralit dengan tingkat osmolaritas yang lebih
rendah. Osmolaritas larutan baru lebih mendekati osmolaritas plasma,sehingga kurang
menyebabkan risiko terjadinya hipernatremia.

Oralit

Oralit baru ini adalah oralit dengan osmolaritas yang rendah. Keamanan oralit ini sama
dengan oralit yang selama ini digunakan, namun efektivitasnya lebih baik daripada
oralit formula lama. Oralit baru dengan low osmolaritas ini juga menurunkan
kebutuhan suplementasi intravena dan mampu mengurangi pengeluaran tinja hingga
20% serta mengurangi kejadian muntah hingga 30%.Selain itu, oralit baru ini juga
telah direkomendasikan oleh WHO dan UNICEF untuk diare akut non-kolera pada
anak.

Tabel 1. Komposisi Oralit Baru

Oralit baru (osmolaritas rendah) Mmol/liter


Natrium 75
Klorida 65
Glucose, anhydrous 75
Kalium 20
Sitrat 10

Ketentuan pemberian oralit formula baru :

a) Beri ibu 2 bungkus oralit formula baru


b) Larutkan 1 bungkus oralit formula baru dalam 1 liter air matang untukpersediaan 24 jam
c) Berikan larutan oralit pada anak setiap kali buang air besar, dengan
d) ketentuan:
Untuk anak berumur < 2 tahun: berikan 50-100 ml tiap kali BAB
Untuk anak 2 tahun atau lebih: berikan 100-200ml tiap BAB
e) Jika dalam waktu 24 jam persediaan larutan oralit masih tersisa, maka sisa larutan harus
dibuang.
2. Zinc diberikan selama 10 hari berturur-turut

Zinc mengurangi lama dan beratnya diare. Zinc juga dapat mengembalikan nafsu
makan anak. Penggunaan zinc ini memang popular beberapa tahun terakhir karena
memilik evidence based yang bagus. Beberapa penelitian telah
membuktikannya.Pemberian zinc yang dilakukan di awal masa diare selam 10 hari ke
depan secara signifikan menurunkan morbiditas dan mortalitas pasien. Lebih lanjut,
ditemukan bahwa pemberian zinc pada pasien anak penderita kolera dapat
menurunkan durasi dan jumlah tinja/cairan yang dikeluarkan. Zinc termasuk
mikronutrien yang mutlak dibutuhkan untuk memelihara kehidupan yang optimal.
Meski dalam jumlah yang sangat kecil, dari segi fisiologis, zinc berperan untuk
pertumbuhan dan pembelahan sel, anti oksidan, perkembangan seksual, kekebalan
seluler, adaptasi gelap, pengecapan, serta nafsu makan. Zinc juga berperan dalam
system kekebalan tubuh dan meripakan mediator potensial pertahanan tubuh terhadap
infeksi. Dasar pemikiran penggunaan zinc dalam pengobatan diare akut didasarkan
pada efeknya terhadap fungsi imun atau terhadap struktur dan fungsi saluran cerna dan
terhadap proses perbaikan epitel saluran cerna selama diare. Pemberian zinc pada diare
dapat meningkatkan absorpsi air dan elektrolit oleh usus halus,meningkatkan
kecepatan regenerasi epitel usus, meningkatkan jumlah brush border apical, dan
meningkatkan respon imun yang mempercepat pembersihan pathogen dari usus.
Pengobatan dengan zinc cocok diterapkan di negara-negara berkembang seperti
Indonesia yang memiliki banyak masalah terjadinya kekurangan zinc di dalam
tubuh karena tingkat kesejahteraan yang rendah dan daya imunitas yang kurang
memadai. Pemberian zinc dapat menurunkan frekuensi dan volume buang air besar
sehingga dapat menurunkan risiko terjadinya dehidrasi pada anak.

Dosis zinc untuk anak-anak :

1) Anak di bawah umur 6 bulan : 10mg (½ tablet) per hari


2) Anak di atas umur 6 bulan : 20 mg (1 tablet) per hari
Zinc diberikan selama 10-14 hari berturut-turut meskipun anak telah sembuh dari
diare. Untuk bayi, tablet zinc dapat dilarutkan dengan air matangatau oralit, Untuk
anak-anak yang lebih besar, zinc dapat dikunyah atau dilarutkan dalam air matang atau
oralit.

3. ASI dan makanan tetap diteruskan sesuai umur anak dengan menu yang sama
pada waktu anak sehat untuk mencegah kehilangan berat badan serta pengganti
nutrisis yang hilang. Pada diare berdarah nafsu makan akan berkurang. Adanya
perbaikan nafsu makan menandakan fase kesembuhan.

4. Antibiotik jangan diberikan kecuali ada indikasi misalnya diare berdarah atau
kolera. Pemberian antibiotic yang tidak rasional justru akan memperpanjang lamanya
diare karena akan megganggu keseimbangan flora usus dan Clostridiumdifficile yang
akan tumbuh dan menyebabkan diare sulit disembuhkan. Selain itu,pemberian antibiotic
yang tidak rasional akan mempercepat resistensi kuman terhadap antibiotic, serta
menambah biaya pengobatan yang tidak perlu. Pada penelitian multiple ditemukan
bahwa telah terjadi peningkatan resistensi terhadap antibiotic yang sering dipakai
seperti ampisilin, tetrasiklin, kloramfenikol, dan trimetoprim sulfametoksazole dalam
15 tahun ini. Resistensi terhadap antibiotik terjadi melalui mekanisme berikut
inaktivasi obat melalui degradasi enzimatik oleh bakteri, perubahan struktur bakteri
yang menjadi target antibiotik dan perubahan permeabilitas membran terhadap
antibiotic.

5. Nasihat pada ibu atau pengasuh: kembali segera jika demam, tinja berdarah,
berulang, makan atau minum sedikit, sangat halus, diare makin sering, atau belum
membaik dalam 3 hari.

Rencana Terapi A : Terapi di rumah untuk mencegah dehidrasi dan malnutrisi

a. Anak-anak tanpa tanda-tanda dehidrasi memerlukan tambahan cairan dan garam untuk
mengganti kehilangan cairan dan elektrolit akibat diare. Jika ini tidak diberikan, tanda-
tanda dehidrasi dapat terjadi.
b. Ibu harus diajarkan cara untuk mencegah dehidrasi di rumah dengan memberikan anak
lebih banyak cairan daripada biasanya, bagaimana mencegah kekurangan gizi dengan
terus memberi makan anak, dan mengapa tindakan-tindakan ini penting. Mereka harus
juga tahu apa tanda-tanda menunjukkan bahwa anak harus dibawa ke petugas kesehatan.
Langkah-langkah tersebut dirangkum dalam empat aturan Rencana Terapi A.
Aturan 1 : Memberikan anak lebih banyak cairan daripada biasanya, untuk
mencegah dehidrasi
Cairan yang diberikan adalah cairan yang mengandung garam (oralit), dapat juga
diberikan air bersih yang matang.
Komposisi larutan oralit baru :
1) Natrium klorida 2,6 gram/liter
2) Glukosa 13,5 gram/liter
3) Kalium klorida 1,5 gram/liter
4) Trisodium sitrat 2,9 gram/liter
Komposisi larutan oralit lama :

1) Natrium klorida 3,5 gram/liter


2) Glukosa 20 gram/liter
3) Kalium klorida 1,5 gram/liter
4) Trisodium sitrat 2,55 gram/liter
Dengan menurunkan osmolaritas dengan mengurangi konsentrasi glukosa dan garam
(NaCl) dimaksudkan untuk menghindari hipertonisitas cairan selama absorpsi cairan
oralit.Cairan yang mengandung garam, seperti oralit, minuman asin (seperti minuman
youghert), atau sayuran dan sup ayam dengan garam. Ajari ibu untuk memasukan garam
(kurang lebih 3g/L) pada minuman yang tidak bergaram (seperti air matang, air teh, jus
buah-buahan yang tidak diberi gula) atau sup selama diare.
Larutan oralit yang dapat dibuat dirumah mengandung 3g/L garam dapur (1 sendok teh
penuh garam) dan 18g/L dari gula dapur (sukrosa) sangat efektif namun tidak dianjurkan
karena seringkali lupa resepnya.Minuman yang tidak boleh diberikan ialah minuman
bersoda, teh manis, jus buah-buahan yang manis. Minuman tersebut dapat menyebabkan
diare osmotik dan hipernatremia. Sedangkan kopi tidak boleh diberikan karena bersifat
diuretik.
Tabel 2. Jumlah cairan yang harus diberikan sesuai umur (WHO 2005)

Umur (tahun) Jumlahcairan yang harusdiberikan

<> 50-100 ml cairan


2-10 100-200 ml cairan
>10 >200 ml atausebanyak yang
merekamau

Aturan 2 : Berikan tambahan zinc (10 - 20 mg) untuk anak, setiap hari selama 10 -
14 hari
Zinc dapat diberikan sebagai sirup atau tablet, dimana formulasinya tersedia
danterjangkau. Dengan memberikan zinc segera setelah mulai diare, durasi dan tingkat
keparahan episode serta risiko dehidrasi akan berkurang. Dengan pemberian zinc selama
10 sampai 14 hari, zinc yang hilang selama diare diganti sepenuhnya dan risiko anak
memiliki episode baru diare dalam 2 sampai 3 bulan ke depan dapat berkurang.

Aturan 3 : Berikan anak makanan untuk mencegah kurang gizi


Diet bayi yang biasanya harus dilanjutkan selama diare dan ditingkatkan
setelahnya. Makanan tidak boleh ditahan dan makanan anak yang biasa tidak boleh
diencerkan. pemberian ASI harus dilanjutkan. Tujuannya adalah untuk memberikan
makanan yang kaya nutrisipada anak. Sebagian besar anak-anak dengan diare cair
mendapatkan kembali nafsu makan mereka setelah dehidrasi diperbaiki, sedangkan
orang-orang dengan diare berdarah seringkali nafsu makan tetap buruk sampai
penyakitnya sembuh. Anak-anak ini harus didorong untuk mau makan secara normal
sesegera mungkin.
Ketika makanan diberikan, gizi yang cukup biasanya diserap untuk mendukung
pertumbuhan dan pertambahan berat badan. Makan juga mempercepat pemulihan fungsi
usus normal, termasuk kemampuan untuk mencerna dan menyerap berbagai nutrisi.
Sebaliknya, pada anak-anak yang dibatasi makannya dan makanan yang diencerkan dapat
menurunkan berat badan, menyebabkan diare lebih lama dan lebih lambat memulihkan
fungsi usus.Secara umum, makanan yang sesuai untuk anak dengan diare adalah sama
dengan yang diperlukan oleh anak-anak yang sehat.

a. Bayi segala usia yang menyusui harus tetap diberi kesempatan untuk menyusui
sesering dan selama mereka inginkan. Bayi sering menyusui lebih dari biasanya
dan ini harus didukung.
b. Bayi yang tidak disusui harus diberikan susu biasa mereka makan (atau susu
formula) sekurang-kurangnya setiap tiga jam, jika mungkin dengan cangkir.
c. Bayi di bawah usia 6 bulan yang diberi makan ASI dan makanan lain harus
diberikan ASI lebih banyak. Setelah anak tersebut sembuh dan meningkatnya
pasokan ASI, makanan lain harus diturunkan.
d. Jika anak usia minimal 6 bulan atau sudah diberikan makanan lunak, ia harus
diberi sereal, sayuran dan makanan lain, selain susu. Jika anak di atas 6 bulan dan
makanan tersebut belum diberikan, maka harus dimulai selama episode diare atau
segera setelah diare berhenti. Daging, ikan atau telur harus diberikan, jika
tersedia. Makanan kaya akan kalium, seperti pisang, air kelapa hijau dan jus buah
segar akan bermanfaat.
Berikan anak makanan setiap tiga atau empat jam (enam kali sehari). Makan porsi
kecil yang Sering, lebih baik daripada makan banyak tetapi lebih jarang. Setelah diare
berhenti, dapat terus memberi makanan dengan energi yang sama dan membrikan satu lagi
makan tambahan daripada biasanya setiap hari selama setidaknya dua minggu. Jika anak
kekurangan gizi, makanan tambahan harus diberikan sampai anak telah kembali berat badan
normal-untuk-height.

Aturan 4 : Bawa anak ke petugas kesehatan jika ada tanda-tanda dehidrasi atau
masalah lainnya

Ibu harus membawa anaknya ke petugas kesehatan jika anak:

a. Buang air besar cair sering terjadi


b. Muntah berulang-ulang
c. Sangat haus
d. Makan atau minum sedikit
e. Demam
f. Tinja Berdarah
g. Anak tidak membaik dalam tiga hari.
Rencana Terapi B: Terapi rehidrasi oral untuk anak-anak dengan dehidrasi ringan-
sedang
Jika berat badan anak diketahui maka hal ini harus digunakan untuk menentukan jumlah
larutan yang tepat. Jumlah larutan ditentukan dari berat badan (Kg) dikalikan 75 ml. Jika berat
badan anak tidak diketahui maka penentuan jumlah cairan ditentukan berdasarkan usia anak.
Seperti yang terlihat pada tabel.
Tabel 3. Penentuan jumlah cairan berdasarkan usia dan berat badan
Jumlah cairan yang harus diberikan dalam 4 jam pertama
Usia <> 4-11 bulan 12-23 bulan 2-4 tahun 5-14 tahun >15 tahun
Berat <> 5-7,9 kg 8-10,9 kg 11-15,9 kg 16-29,9 kg >30 kg
Badan
Jumlah (ml) 200-400 400-600 600-800 800-1200 1200-2200 2200-4000

Pedoman pengobatan dehidrasi pada anak dan dewasa dengan dehidrasi sedang :

a. Jika pasien menginginkan lebih banyak oralit, maka dapat diberikan.


b. Dorong ibu untuk terus menyusui anaknya.
c. Untuk bayi di bawah 6 bulan yang tidak menyusui, jika menggunakan larutan
oralit WHO yanglama yang mengandung 90 mmol / L natrium, juga memberi
100-200ml air bersih selama periode ini. Namun, jika menggunakan larutan oralit
osmolaritas rendah yang baru mengandung 75mmol / L natrium, hal ini tidak
perlu menambah air bersih.
Edema (bengkak) kelopak mata adalah tanda dari over-hidrasi. Jika hal ini terjadi, hentikan
penggunaan oralit, tapi dapat diberi ASI atau air putih, dan makanan. Jangan beri diuretik.
Bila edema telah hilang, lanjutkan pemberian oralit atau cairan rumah sesuai dengan
Rencana Terapi A.

Keluarga harus diajarkan cara memberikan larutan oralit. Larutan dapat diberikan pada
anak-anak menggunakan sendok atau cangkir. Botol minum tidak boleh digunakan. Untuk
bayi dapat digunakan pipet atau syringe.Jika tanda-tanda dehidrasi parah telah muncul,
terapi intravena (IV) harus dimulai sesuai Rencana Terapi C.

Jika anak masih memiliki tanda-tanda yang menunjukkan dehidrasi beberapa, teruskan
terapi rehidrasi oral dengan mengulangi Rencana Terapi B. Pada saat yang sama dimulai
pemberian makanan, susu dan cairan lain, seperti yang dijelaskan dalam Rencana Terapi A,
dan terus menilai kembali anak.

Jika tidak ada tanda-tanda dehidrasi, harus dipertimbangkan rehidrasi telah lengkap. Bila
rehidrasi adalah lengkap:

a. Turgor kulit normal


b. Tidak haus
c. Urin
d. Anak menjadi tenang, tidak lagi mudah marah dan seringkali tertidur.
Ajarkan ibu cara untuk merawat anaknya di rumah dengan larutan oralit dan makanan
seperti pada Rencana Terapi A.Dengan larutan oralit yang sebelumnya, tanda dehidrasi
dapat menetap atau muncul kembali selama pemberian oralit pada 5% anak-anak. Namun
dengan larutan oralit osmolaritas rendah yang baru, diperkirakan kegagalan pengobatan
sebelumnya dapat berkurang menjadi 3%, atau kurang. Penyebab kegagalan tersering ialah:
a. Intake larutan oralit yang kurang (lebih dari 15-20 ml/kg/jam), seperti yang
terjadi pada beberapa anak-anak dengan kolera
b. Tidak cukup asupan larutan oralit karena kelelahan atau kelesuan
c. Sering terjadi muntah-muntah yang parah.
Anak-anak tersebut harus diberikan larutan oralit dengan selang nasogastric (NG) atau
larutan Ringer laktat intravena (IV) (75 ml/kg/4jam), biasanya dilakukan di rumah
sakit.Mulailah untuk memberikan tambahan zinc, seperti dalam Rencana terapi A, segera
setelah anak dapat makan setelah 4 jam pertama periode rehidrasi.

Kecuali untuk ASI, makanan tidak boleh diberikan selama empat jam pertama periode
rehidrasi. Namun, anak-anak yang terus dalam Rencana Terapi B lebih dari empat jam
harus diberikan makanan setiap 3-4 jam seperti yang dijelaskan dalam Rencana terapi A.
Semua anak yang lebih tua dari 6 bulan harus diberikan makanan sebelum pulang. Ini
membantu untuk menekankan kepada para ibu pentingnya terus makan selama diare.

Rencana Terapi C : untuk Pasien dengan Dehidrasi Berat

Pengobatan bagi anak-anak dengan dehidrasi berat adalah rehidrasi intravena cepat,
mengikuti Rencana Terapi C. Jika mungkin, anak harus dirawat di rumah sakit.Anak-
anak yang masih dapat minum, walaupun buruk, harus diberikan oralit secara peroral
sampai infus berjalan. Selain itu, ketika anak dapat minum tanpa kesulitan, semua anak
harus mulai menerima larutan oralit (sekitar 5 ml/kg/jam), yang biasanya dalam waktu 3-
4 jam (untuk bayi) atau 1-2 jam (untuk pasien yang lebih tua). Ini memberikan tambahan
dasar dan potasium, yang mungkin tidak dapat secara memadai disediakan oleh cairan
infus.

Mulai diberi cairan i.v segera. Bila pasien dapat minum berikan oralit sampai cairan i.v
dimulai. Berikan 100 ml/Kg cairan Ringer Laktat (atau cairan normal salin bila ringer
laktat tidak tersedia). Lihat dan rasakan untuk semua tanda-tanda dehidrasi:

a. Jika tanda-tanda dehidrasi berat masih ada, ulangi infus cairan IV seperti
yang diuraikan dalam Rencana terapi C.
b. Jika anak membaik (dapat minum), tetapi masih menunjukkan tanda-tanda
dari dehidrasi sedang, hentikan infus IV dan berikan larutan oralit selama
empat jam, sebagaimana ditetapkan dalam Rencana terapi B.
c. Jika tidak ada tanda-tanda dehidrasi, ikuti Rencana terapi A. Ingatlah bahwa
anak membutuhkan terapi dengan larutan oralit sampai diare berhenti.
Jika fasilitas terapi IV tidak tersedia, tetapi dapat diberikan dalam jangka waktu dekat
(yaitu dalam waktu 30 menit), kirimlah anak untuk pengobatan IV segera. Jika anak dapat
minum, berikan ibu beberapa larutan oralit dan tunjukkan kepadanya cara untuk
memberikannya kepada anaknya selama perjalanan.

Jika terapi IV tidak tersedia di dekatnya, petugas kesehatan yang telah dilatih dapat
memberikan larutan oralit menggunakan selang Naso Gastrik, dengan kecepatan 20 ml/kg
BB /jam selama 6 (enam) jam (total 120 ml/kg BB). Jika perut menjadi bengkak, larutan
oralit harus diberikan perlahan-lahan sampai menjadi kurang buncit.

Jika tidak bisa menggunakan selang NGT namun anak dapat minum, larutan oralit harus
diberikan melalui mulut dengan kecepatan 20 ml/kg BB/jam selama 6 (enam) jam (total
120 ml / kg berat badan). Jika terlalu cepat, anak dapat muntah berulang. Jika terjadi hal
ini, maka memberikan larutan oralit secara lebih lambat sampai muntah mereda.

Anak-anak menerima terapi NGT atau per oral harus dinilai ulang paling sedikit setiap
jam. Jika tanda-tanda dehidrasi tidak membaik setelah tiga jam, anak harus segera dibawa
ke fasilitas terdekat di mana terapi IV tersedia.

Kalau tidak, jika rehidrasi maju memuaskan, anak harus dinilai ulang setelah enam jam
dan keputusan pada perawatan lebih lanjut dibuat seperti yang dijelaskan di atas untuk
terapi IV yang diberikan.Jika tidak ada fasilitas NGT dan tidak dapat dilakukan secara
peroral, anak harus segera dibawa ke fasilitas terdekat di mana terapi IV atau NGT
tersedia.

4.2.6 KOMPLIKASI
Diare pada balita dapat menyebabkan kematian dengan cepat karena pada balita
mudah terjadi dehidrasi yaitu kehilangan sejumlah besar air dan elektrolit dari tubuh baik
melalui tinja, muntah, panas tubuh, daya tahan tubuh yang kurang. Daya tahan tubuh
rendah disebabkan karena asupan gizi yang kurang pada saat di dalam kandungan maupun
saat dalam masa perkembangan, asupan gizi yang tidak terpenuhi tersebut akan
menghambat pertumbuhan dan sangat mempengaruhi angka kesakitan yang tinggi di
kemudian hari. 17
Diare berakibat pada kehilangan cairan dan elektrolit secara mendadak dapat terjadi
berbagai macam komplikasi seperti19:
1. Kehilangan air dan elektrolit (dehidrasi) yang mengakibatkan terjadinya gangguan
keseimbangan asam - basa (asidosis metabolik, hipokalemia dan sebagainnya).
2. 2.Hipokalemia (dengan gejala meterorismus, hipotoni otot, lemah, bradikardi, perubahan
pada elektrokardiogram)
3. Hipoglikemia
4. Intoleransi laktosa sekunder, sebagai akibat defisiensi enzim laktosa karena kerusakan
vili mukosa usus halus.
5. Kejang, terutama pada dehidrasi hipertonik
6.
Malnutrisi energi protein, karena selain diare dan muntah penderita juga mengalami
kelaparan.
4.2.7 PENCEGAHAN
Pemberantasan penyakit diare dapat dilakukan dengan melibatkan berbagai lapisan
masyarakat mulai dari ibu rumah tangga, petugas kesehatan dan masyarakat umum. Usaha
pertama untuk mencegah diare adalah denganmelakukan alih tekhnologi dari tenaga
kesehatan kepada ibu rumah tangga atau keluarga dengan mampu melaksanakan beberapa
pencegahan sepertimemberikan ASI, memperbaiki makanan pendamping ASI,
menggunakan air bersih yang cukup, menggunakan jamban, membuang tinja bayi dengan
baik, dan memberi imunisasi campak.Intervensi air bersih dapat menurunkan insiden
penyakitdiare sebesar 17-27%, sedangkan dampak penyediaan jamban terhadap penurunan
penyakit diare yaitu sebesar 22-24%. Intervensi cuci tangandapat menurunkan kejadian
diare sebesar 33%. Jika ketiga upaya tersebut dilaksanakan bersama-sama secara intensif
sangat mungkin sebagian besar penyakit diare disebabkan oleh mikroba.20
DAFTAR PUSTAKA

1. Bradley JS et al. The Management of Community-Acquired Pneumonia in Infants and


Children Older than 3 Months of Age: Clinical Practice Guidelines by the Pediatric
Infectious Diseases Society and the Infectious Diseases Society of America. Clin Infect
Dis. 2011:53(7):617-30p.

2. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. 6th ed.
Jakarta: EGC; 2005. 804p.

3. Pedoman Pelayanan Medis. Jilid 1. Jakarta: IDAI; 2010. 250-4p.

4. Callistania C, Indrawati W. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. 3rd ed. Jakarta: Media
Aesculapius Fakultas Kedokteran UI; 2014. 174-6p.

5. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2014.


Available at: http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil-kesehatan-
indonesia/profil-kesehatan-indonesia-2014.pdf .Accessed April 20, 2018.

6. Rahmadhani EP, Gustina L, Edison. Hubungan Antara Pemberian ASI Eksklusif dengan
Angka Kejadian Diare Akut Pada Bayi Usia 0-1 Tahun di Puskesmas Kuranji Kota
Padang. Jurnal Kesehatan Andalas.2013;2:62-6.

7. Gastanaduy PA, Sanchez-Uribe E, Esparza-Aguilar M, Desai R, Parashar UD, Patel M, et


al. Effect of Rotavirus Vaccine on Diarrhea Mortality in Different Sosioeconomic
Regions of Mexico. Journal of The American Academy of Pediatrics. 2013;131:2012-
797.

8. Soeparman, Waspadji S. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;
1999. 695-705p.

9. Behrman RE, Vaughan VC. Nelson Ilmu Kesehatan Anak. Bagian 2. 19th ed. Jakarta:
EGC; 2011. 883-889p.

10. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Bandung: PAPDI; 2005.

11. Nasili, Thaha RM , Seweng A. Perilaku Pencegahan Diare Anak Balita Di Wilayah
Bantaran Kali Kelurahan Bataraguru Kecamatan Wolio Kota Bau-Bau. Jurnal Kesehatan
Unhas.2012;3:1-12.

12. Wulandari AP. Hubungan Antara Faktor Lingkungan dan Faktor Sosiodemografi Dengan
Kejadian Diare Pada Balita di Desa Blimbing Kecamatan Sambirejo Kabupaten Sragen
Tahun 2009 (skripsi). Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta; 2009.
13. Sinthamurniwaty. Faktor-Faktor Risiko Kejadian Diare Akut Pada Balita (tesis).
Semarang: Universitas Diponegoro; 2006.

14. Suharyono. Diare Akut: Klinik dan Laboratorik. 1st ed. Jakarta: Rineka Cipta, 2008.

15. Safrudin ANS, Handoyo, Widiyanti DAK. Analisis Faktor-Faktor Resiko yang
Mempengaruhi Kejadian Diare pada Balita di Puskesmas Ambal 1 Kecamatan Ambal
Kabupaten Kebumen. Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan.2009;5:65-79.
16. Nugraheni D. Hubungan Kondisi Fasilitas Sanitasi Dasar dan Personal Hygiene dengan
Kejadian Diare di Kecamatan Semarang Utara Kota Semarang. Jurnal Kesehatan
Masyarakat.2012;1:922-33.
17. Astuti WP, Herniyatun, Yudha HT. Hubungan Pengetahuan Ibu tentang Sanitasi
Makanan dengan Kejadian Diare pada Balita di Lingkup Kerja Puskesmas Klirong I.
Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan.2011;7:101-9.
18. Abdoerrachman,M.H. Ilmu Kesehatan Anak 1. 4th ed. Jakarta.2005. P.283-95.
19. Hendarwanto. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1. 3thed. Jakarta: Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006.p.451-57.
20. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Panduan Sosialisasi Tatalaksana Diare
Balita. Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2011.p.1-
36.

You might also like