Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
LAPORAN KASUS
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An.D
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 4 bulan
Alamat : Gunung Sirah, Darma
Suku Bangsa : Sunda
Agama : Islam
Pendidikan :-
Orang tua / Wali
Ayah Ibu
Nama A N
Umur 28 tahun 24 tahun
Alamat Gunung sirah, darma Gunung sirah, darma
Pekerjaan Wiraswasta Ibu rumah tangga
Pendidikan SMA SMA
Suku Sunda Sunda
Agama Islam islam
Hubungan dengan orang tua: Pasien merupakan anak kandung
II. ANAMNESIS
Dilakukan secara alloanamnesis dengan Ny. N, orangtua kandung pasien.
Lokasi : UGD RSUD 45 Kuningan
Tanggal/Waktu : 09 April 2018, pukul 15.40 WIB
Tanggal masuk ruangan : 09 April 2018, pukul 16.15 WIB
Keluhan utama : Sesak nafas dan BAB cair
A. KELUHAN UTAMA :
Sesak nafas sejak 2 hari SMRS dan BAB cair 2 hari SMRS.
B. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG :
Sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit pasien sesak nafas, sesak nafas muncul secara
tiba-tiba, sesak terus menerus dan anak sulit tidur karena sesak, suara mengik disangkal oleh ibu.
Sesak nafas tidak dicetuskan oleh faktor apapun baik oleh cuaca dingin maupun aktifitas, selain
sesak pasien juga mengalami batuk dan pilek sejak 8 hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit,
batuk yang awalnya kering namun sekarang seperti berdahak namun sulit keluar, selain itu pilek
dengan cairan ingus yang berwarna bening, menurut ibu demam pun dirasakan sejak semalam
dan diukur menggunakan termometer di ketiak terlihat panas 38,7oC, kejang dan mengigil
disangkal, dan ibu langsung mengkompres menggunakan air hangat. Tidak ada riwayat tersedak
selumnya. Pasien baru pertama kali mengalami sesak selama ini dan tidak ada anggota keluarga
pasien yang mengalami hal serupa. Adanya kontak dengan penderita TBC disangkal oleh ibu
pasien.
Sejak 2 hari sebelum masuk Rumah Sakit (SMRS) BAB cair.BAB cair lebih dari 5kali
perhari,berwarna kekuningan, terdapat ampas,terdapat lendir, tidak terdapat darah dan tidak
terdapat bau amis. Orangtua pasien juga mengatakan pasien muntah lebih dari 1kali per hari,
berisi air dan susu. Pasien terlihat gelisah dan rewel, selalu ingin minum dan terlihat haus. Mulut
dan lidah tampak kering. Kelopak mata terlihat cekung, dan menangis namun tidak keluar air
mata. Pasien sudah minum susu botol karena menurut pengakuan ibu pasien, ASI ibu pasien
sudah hanya sedikit keluar sejak 2 minggu yang lalu. Menurut pengakuan ibu pasien,terkadang
botol susu tidak dicuci dengan cara dimasukkan ke air mendidih dan hanya dicuci menggunakan
air sumur.
C. RIWAYAT KEHAMILAN / KELAHIRAN
Morbiditas Anemia (-), hipertensi (-), diabetes mellitus (-),
kehamilan penyakit jantung (-), penyakit paru (-), merokok (-),
infeksi (-), minum alkohol (-)
KEHAMILAN Perawatan antenatal Rutin kontrol ke bidan 1 kali setiap bulan pada
trimester pertama dan tiap minggu menjelang masa
persalinan. Riwayat imunisasi dan konsumsi
suplementasi selama kehamilan (+)
Tempat persalinan Puskesmas
Penolong persalinan Bidan
Spontan per vaginam
Cara persalinan
Penyulit: (-)
Masa gestasi Cukup Bulan (40 minggu)
Berat lahir: 3000 gram
KELAHIRAN Keadaan bayi
Panjang lahir: 49 cm
Lingkar kepala: (ibu tidak ingat)
Langsung menangis: (+)
Kemerahan: (+)
Nilai APGAR: (ibu tidak tahu)
Kelainan bawaan: (-)
Kesimpulan riwayat kehamilan dan kelahiran: Pasien lahir spontan pervaginam, tanpa
penyulit selama kehamilan maupun persalinan, cukup bulan, berat badan lahir cukup.
D. RIWAYAT PERKEMBANGAN
Pertumbuhan gigi pertama : Belum tumbuh (Normal: 5-9 bulan)
Gangguan perkembangan mental: Tidak ada
Motorik halus:
Mengikuti objek bergerak : 2 bulan(Normal 0-3 bulan)
Berusaha mencapai mainan : 4 bulan (Normal 4-6 bulan)
Pindah benda antar tangan : Belum dapat dilakukan (Normal 6-9 bulan)
Mulai pincer grasp : Belum dapat dilakukan (Normal 9-12 bulan)
Motorik kasar:
Tengkurap : Belum dapat dilakukan (Normal: 3-5 bulan)
Duduk : Belum dapat dilakukan (Normal: 6-9 bulan)
Berdiri : Belum dapat dilakukan (Normal: 9-12 bulan)
Berjalan : Belum dapat dilakukan (Normal: 12-18 bulan)
Personal-sosial::
Mengenal wajah : Tidak diketahui (Normal 0-1 bulan)
Respon tersenyum : Umur 2 bulan (Normbulan)
Bermain mainan : Belum dapat dilakukan (Normal 4-6 bulan)
Menyuap sendiri : Belum dapat dilakukan (Normal 6-9 bulan)
Bisa melambai : Belum dapat dilakukan (Normal 9-12 bulan)
Bahasa:
Waspada bunyi bel : 3 minggu (Normal 0-1 bulan)
Cooing : Umur 2 bulan (Normal 2-3 bulan)
Tertawa & menangis : Belum dapat dilakukan (Normal 3-5 bulan)
Mengoceh spontan : Belum dapat dilakukan (Normal 6-9 bulan)
Mengucapkan kata : Belum dapat dilakukan (Normal: 9-12 bulan)
Kesimpulan riwayat pertumbuhan dan perkembangan: tidak terdapat kertelambatan dalam
pertumbuhan dan perkembangan pasien baik sesuai usia.
E. RIWAYAT MAKANAN
Umur
ASI/PASI Buah / Biskuit Bubur Susu Nasi Tim
(bulan)
0–4 ASI - - -
4-saat ini Susu formula + ASI - - -
Kesimpulan riwayat makanan: Riwayat makanan tidak baik.
RIWAYAT IMUNISASI
Keadaan umum
o Inspeksi : Pergerakan dada kanan dan kiri simetris, retraksi interkostal (+)
o Palpasi : Vokal fremitus sama di kedua lapang
o Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
o Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronki (+/+), wheezing (-/-)
ABDOMEN :
o Inspeksi : Datar
o Auskultasi : BU (+) normal
o Palpasi : Supel, turgor kembali cepat(<2 detik), hepar & lien tidak teraba
o Perkusi : Timpani, shifting dullness (-)
KIMIA KLINIK
Pemeriksaan Elektrolit
Analisa Faeces
Faeces lengkap Hasil Rujukan normal
Makroskopik
- Warna Kuning Lembek
- Konsistensi Lembek Negatif
- Lendir
Positif Negatif
- Darah
Negatif Negatif
Mikroskopik
- Leukosit 2-3/LPB Negatif
- Eritrosit 0-1/LPB Negatif
- Telur cacing
Negatif Negatif
- Amoeba
Negatif Negatif
- Lemak
Negatif Negatif
Thorax :
Cor tidak membesar
Sinus dan diafragma normal
Pulmo :
Hill tertutup bayangan
jantung
Corakan bronkovaskuler
bertambah
Tampak infiltrate di
suprahiler dan parakardial
kanan
Tampak bayangan opak di
paratrakea (timus)
Kesan:
Bronkhopneumonia
RESUME
Sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS) pasien sesak nafas. Sesak nafas muncul
secara tiba-tiba, sesak terus menerus dan anak sulit tidur karena sesak, suara mengik disangkal
oleh ibu pasien. Selain itu, pasien juga mengalami batuk pilek sejak 8 hari sebelum masuk rumah
sakit (SMRS), awalnya batuk kering namun sekarang berdahak namun sulit keluar, ingus
berwarna bening. Semalam juga pasien mengalami demam diukur menggunakan thermometer
ketiak 38,7 oC. Sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS) juga pasien mengalami BAB
cair sebanyak >5 kali perhari, berwarna kekuningan, terdampat ampas dan lender, tidak ada
darah dan bau amis. Pasien juga muntah lebih dari 1kali perhari, berisi air dan susu. Pasien
terlihat lebih rewel, selalu ingin minum dan terlihat haus. Mulut dan lidah tampak kering,
kelopak mata cekung dan menangis tapi tidak keluar air mata. Sekitar 2 minggu lalu pasien
sudah mulai meminum susu formula karena ASI ibu sangat sedikit keluar. Botol susu jarang
direbus dan hanya dicuci menggunakan air sumur.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos mentis dengan keadaan umum
tampak sakit sedang. Tanda vital, nadi 132x/menit, napas 50x/menit, suhu 37,2°C. Status gizi
pasien baik. Pemeriksaan fisik terdapat ubun-ubun besar kepala cekung, air mata tidak ada, napas
cuping hidung, terdapat sekret bening hidung, bibir kering, retraksi interkostal, dan pada
auskultasi thorax terdengar ronki di kedua lapang paru.
Pemeriksaan laboratorium darah didapatkan peningkatan leukosit 18,01 103 /µL. Pada
pemeriksaan feses rutin didapatkan adanya lender dan leukosit 2-3/LPB. Pada pemeriksaan
rontgen thorax tampak infiltrate di suprahiler dan parakardial kanan.
V. DIAGNOSIS BANDING
Bronkhiolitis
VI. PENATALAKSANAAN
O2 1-2 lpm
IVFD RL 150 tpm mikro dalam 3 jam
Ampicilin 4 x 150mg i.v
Colsancetine 4 x 150 mg i.v
Ventolin nebules ½ per8 jam
Flixotide nebules ½ per8 jam
Paracetamol drops 3 x 0,6 ml p.o
L-Bio 2x1/2 sachet (p.o)
Zinc drop 1x1 ml (p.o)
Non-medika Mentosa:
Tirah baring
Menjaga kebersihan anak dan sekitarnya
Berikan anak ASI lebih banyak, hati-hati resiko anak tersedak.
VII. PROGNOSIS
Ad Vitam : Ad Bonam
Ad Functionam : Ad Bonam
Ad Sanationam : Ad Bonam
BAB 3
ANALISA KASUS
Diberikan antibiotik spektrum luas berupa ampicillin dan kloramfenikol untuk membantu
mengeliminasi bakteri penyebab. Diberikan pula paracetamol untuk menurunkan demam.
Diberikan zinc untuk proses epitelisasi dan dapat menurunkan hipersekresi epitel usus.
Sedangkan pemnerian l-bio untuk mengurangi durasi penyebaran virus dan meningkatkan sekresi
IgA antirotavirus.
Prognosis penderita ini adalah dubia ad bonam karena pada pasien ini telah dilakukan
pengobatan yang adekuat serta belum ada tanda-tanda yang mengarah pada komplikasi.
BAB 4
TINJAUAN PUSTAKA
4.1 BRONKOPNEUMONIA
4.1.1 DEFINISI
4.1.2 EPIDEMIOLOGI
Pneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan utama pada anak di
negara berkembang. Pneumonia merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak
berusia di bawah lima tahun (balita). Diperkirakan hampir seperlima kematian anak diseluruh
dunia, lebih kurang 2 juta anak balita, meninggal setiap tahun akibat pneumonia, sebagian besar
terjadi di Afrika dan Asia Tenggara. Menurut survei kesehatan nasional (SKN) 2001, 27,6%
kematian bayi dan 22,8% kematian balita di Indonesia disebabkan oleh penyakit sistem
repiratori, terutama pneumonia.8
Terdapat berbagai faktor risiko yang menyebabkan tingginya angka mortalitas
pneumonia pada anak balita di negara berkembang. Faktor risiko tersebut adalah: pneumonia
yang terjadi pada masa bayi, berat badan lahir rendah (BBLR), tidak mendapat imunisasi, tidak
mendapat ASI yang adekuat, malnutrisi, defisiensi vitamin A, tingginya prevalens kolonisasi
bakteri patogen di nasofaring, dan tingginya pajanan terhadap polusi udara (polusi industri atau
asap rokok).8
4.1.3 ETIOLOGI
Tabel 1. Etiologi Pneumonia pada anak sesuai dengan kelompok usia9
Usia Etiologi yang Sering Etiologi yang Jarang
Lahir-20 hari Bakteri Bakteri
E. colli Bakteri anaerob
Streptococcus group B Streptococcus group D
Listeria moonocytogenes Haemophillus influenzae
Streptococcus pneumoniae
Ureaplasma urealyticum
Virus
Virus Sitomegalo
Virus Herpes Simpleks
4.1.4 PATOFISIOLOGI1,8
Bakteri Streptococcus pneumoniae umumnya berada di nasopharing dan bersifat
asimptomatik pada kurang lebih 50% orang sehat. Adanya infeksi virus akan memudahkan
Streptococcus pneumoniae berikatan dengan reseptor sel epitel pernafasan. Jika Streptococcus
pneumoniae sampai di alveolus akan menginfeksi sel pneumatosit tipe II. Selanjutnya
Streptococcus pneumoniae akan mengadakan multiplikasi dan menyebabkan invasi terhadap sel
epitel alveolus. Streptococcus pneumoniae akan menyebar dari alveolus ke alveolus melalui pori
dari Kohn. Bakteri yang masuk kedalam alveolus menyebabkan reaksi radang berupa edema dari
seluruh alveolus disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN.
Proses radang dapat dibagi atas 4 stadium yaitu :
1. Stadium I (4 – 12 jam pertama/kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada
daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas
kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan
dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut
mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur
komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan
otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan
perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan
edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus
meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan
gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen
hemoglobin.
2. Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat
dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus
yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan,
sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara
alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini
berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.
Gambar 1. tampak alveolus terisi sel darah merah dan sel sel inflamasi (netrofil)
3. Stadium III (3 – 8 hari)
Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah
paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan
terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih
tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler
darah tidak lagi mengalami kongesti.
4. Stadium IV (7 – 11 hari)
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan mereda,
sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke
strukturnya semula.
Sebagian besar pneumonia timbul melalui mekanisme aspirasi kuman atau penyebaran
langsung kuman dari respiratorik atas. Hanya sebagian kecil merupakan akibat sekunder dari
bakterimia atau viremia atau penyebaran dari infeksi intra abdomen. Dalam keadaan normal
mulai dari sublaring hingga unit terminal adalah steril. Dalam keadaan sehat, tidak terjadi
pertumbuhan mikroorganisme di paru. Keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme
pertahanan paru. Apabila terjadi ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme
dan lingkungan, maka mikroorganisme dapat masuk, berkembang biak dan menimbulkan
penyakit.
Paru terlindung dari infeksi dengan beberapa mekanisme :
Filtrasi partikel di hidung
Pencegahan aspirasi dengan refleks epiglottis
Ekspulsi benda asing melalui refleks batuk
Pembersihan kearah kranial oleh mukosiliar
Fagositosis kuman oleh makrofag alveolar
Netralisasi kuman oleh substansi imun lokal
Drainase melalui sistem limfatik.
4.1.9 KOMPLIKASI
Pneumonia bakterial seringkali menyebabkan cairan inflamasi terkumpul di rongga
pleura, kondisi ini mengakibatkan efusi parapneumonik atau apabila cairan tersebut purulent
disebut empiema. Efusi dalam jumlah kecil tidak memerlukan terapi. Efusi dalam jumlah besar
akan membatasi pernapasan dan harus dilakukan tindakan drainase. Diseksi udara diantara
jaringan paru mengakibatkan timbulnya pneumatokel, atau timbulnya kantung udara. Jaringan
parut pada saluran pernapasan dan parenkim paru akan menyebabkan terjadinya dilatasi bronkus
dan mengakibatkan bronkiektasis dan peningkatan risiko terjadinya infeksi berulang.9
Pneumonia yang menyebabkan terjadinya nekrosis jaringan paru dapat menyebabkan
terjadinya abses paru. Abses paru merupakan kasus yang jarang terjadi pada anak dan umumnya
disebabkan oleh pneumonia aspirasi atau infeksi di belakang bronkus yang mengalami obstruksi.
Lokasi yang seringkali terkena adalah segmen posterior lobus superior dan segmen superior
lobus inferior, dimana materi yang teraspirasi terlokalisir saat anak meminum sesuatu yang
mengakibatkan aspirasi. Bakteri yang biasanya mendominasi adalah bakteri anaerob, bersama
dengan bakteri streptokokus, Escherichia coli, Klebsiella pneumonia, Pseudomonas aeruginosa,
dan Staphylococcus aureus. Pemeriksaan CT-Scan akan menunjukan adanya lesi kavitas,
seringkali adanya air-fluid level yang diliputi oleh inflamasi parenkim. Apabila kavitas tersebut
terhubung dengan bronkus, maka kuman dapat diisolasi dari sputum. Bronkoskopi diagnostic
sebaiknya dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan adanya benda asing dan untuk
mengambil specimen mikrobiologi. Abses paru umumnya memberi respon terhadap terapi
antimikroba dengan menggunakan klindamisisn, penisilin G, atau ampisilin sulbaktam.9
Pneumonia adenovirus berat dapat menyebabkan bronkiolitis obliteran, yaitu proses
inflamasi sub akut dimana saluran pernapasan berkaliber kecil digantikan oleh jaringan parut
sehingga terjadi penurunan volume dan komplians paru. Paru hiperlusen unilateral atau Sweyer
James Syndrome adalah sekuele fokal dari pneumonia nekrotik berat, yaitu sebagian dari paru
mengalami peningkatan translusensi radiologi dan berkaitan dengan infeksi adenovirus tipe 21.9
4.2 DIARE
4.2.1 DEFINISI
Diare adalah buang air besar dengan konsistensi lembek atau cair bahkan dapat berupa air
saja yang frekuensinya lebih dari 3 kali atau lebih dalam sehari.11 Menurut Ikatan Dokter Anak
Indonesia, diare atau penyakit diare adalah bila tinja mengandung air lebih banyak dari normal.
Menurut WHO diare adalah berak cair lebih dari tiga kali dalam 24 jam, dan lebih menitik
beratkan pada konsistensi tinja daripada menghitung frekuensi berak.Hingga kini diare masih
menjadi child killer(pembunuh anak-anak) peringkat pertama di Indonesia. Semua kelompok
usia diserang oleh diare, baik balita, anak-anak dan orang dewasa. Tetapi penyakit diare berat
dengan kematian yang tinggi terutama terjadi pada bayi dan anak balita. Menurut Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, berdasarkan jenisnya diare dibagi empat yaitu :
Diare Akut
Diare akut yaitu, diare yang berlangsung kurang dari 14 hari (umumnya kurang dari
7 hari). Akibatnya adalah dehidrasi, sedangkan dehidrasi merupakan penyebab
utama kematian bagi penderita diare.
Disentri
Disentri yaitu, diare yang disertai darah dalam tinjanya. Akibat disentri adalah
anoreksia, penurunan berat badan dengan cepat, dankemungkinan terjadinnya
komplikasi pada mukosa.
Diare persisten
Diare persisten, yaitu diare yang berlangsung lebih dari 14 hari secara terus menerus.
Akibat diare persisten adalah penurunan berat badan dan gangguan metabolisme.
Diare dengan masalah lain
Anak yang menderita diare (diare akut dan diare persisten) mungkin juga disertai
dengan penyakit lain, seperti demam, gangguan gizi atau penyakit lainnya.12
Diare akut adalah buang air besar dengan frekuensi yang meningkat dan konsistensi tinja
yang lebih lembek atau cair dan bersifat mendadak datangnya, dan berlangsung dalam waktu
kurang dari 2 minggu. Sedangkan diare kronik adalah diare yang berlangsung lebih dari 14
hari.13
4.2.2 ETIOLOGI
Secara klinis penyebab diare dapat dikelompokkan dalam beberapa golongan. Dari
penyebab diare yang terbanyak adalah diare infeksi.14,15 Penyebab diare secara lengkap
adalah sebagai berikut:
c. Gangguan imunologi
Dinding usus mempunyai mekanisme pertahanan yang baik. Bila terjadi defisiensi ‘S.Ig
A’ dapat terjadi bakteri tumbuh lampau. Demikian pula defisiensi cell mediated immunity
dapat menyebabkan tubuh tidak mampu mengatasi infeksi dan infestasi parasit dalam
usus. Hal ini mengakibatkan bakteri, virus, parasit, dan jamur yang masuk dalam usus
tersebut akan berkembang biak dengan leluasa sehingga terjadi bakteri tumbuh lampau
dan berakibat lebih lanjut berupa diare kronik dan malabsorpsi makanan.14
Penyakit diare merupakan salah satu penyakit yang berbasis lingkungan. Faktor yang
dominan adalah sarana air bersih, pembuangan tinja dan limbah. Apabila faktor lingkungan
(terutama air) tidak memenuhi syarat kesehatan karena tercemar bakteri didukung dengan
perilaku manusia yang tidak sehat seperti pembuangan tinja tidak higienis, kebersihan
perorangan dan lingkungan yang jelek, serta penyiapan dan penyimpanan makanan yang
tidak semestinya, maka dapat menimbulkan kejadian diare. Problema-problema kesehatan
yang berkaitan dengan air muncul akibat kurangnya persediaan dan akibat kondisi air yang
sudah tercemar sampai tingkat tertentu. Apabila di dalam air terdeteksi adanya E. coli yang
bersifat fecal, bila dikonsumsi terus-menerus akan berdampak pada timbulnya penyakit
seperti radang usus, diare, infeksi pada saluran kemih dan saluran empedu. Adanya E. coli
dalam air minum menunjukkan bahwa air minum itu pernah terkontaminasi kotoran
manusia dan mungkin dapat mengandung patogen usus, sehingga tidak layak untuk
dikonsumsi.9 Beberapa faktor lain yang menjadi penyebab timbulnya penyakit diare
disebabkan oleh kuman melalui kontaminasi makanan atau minuman yang tercemar tinja
dan atau kontak langsung dengan penderita.16
4.2.3 GEJALA
Diare merupakan keadaan dimana tinjanya encer, dan dapat bercampur darah dan
lendir. Diare dapat menyebabkan cairan tubuh terkuras keluar melalui tinja. Bila penderita
diare banyak sekali kehilangan cairan tubuh maka hal ini dapat menyebabkan kematian .
Penyakit diare pada bayi dan anak dapat menimbulkan dampak yang negatif, yaitu dapat
menghambat proses tumbuh kembang anak yang pada akhirnya dapat menurunkan kualitas
hidup anak. Gejala diare biasanya timbul yang di awali dengan gelisah, suhu tubuh
biasanya meningkat, nafsu makan berkurang atau tidak ada, dan kemudian timbul diare,
tinjanya cair dan di sertai lendir atau lendir dan darah. Pada orang yang terkena diare dapat
menyebabkan terjadinya dehidrasi yang dapat bersifat ringan, sedang, dan berat, dapat pula
terjadi hipoglikemi, intoleransi sekunder akibat kerusakan villi mukosa usus dan defisiensi
enzim laktosa. Disebut dehidrasi ringan jika cairan tubuh yang hilang 5%. Jika cairan yang
hilang lebih dari 10% disebut dehidrasi berat.17
4.2.4 PATOFISIOLOGI
4.2.5 TATALAKSANA20
Departemen Kesehatan mulaimelakukan sosialisasi Panduan Tata Laksana
Pengobatan diare pada balita yang baru didukung oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia,
dengan merujuk pada panduan WHO. Tatalaksana ini sudah mulai diterapkan di rumah
sakit- rumah sakit. Rehidrasi bukan satu-satunya strategi dalam penatalaksanaan diare.
Memperbaiki kondisi usus dan menghentikan diare juga menjadi cara untuk mengobati
pasien. Untuk itu, Departemen Kesehatan menetapkan lima pilar penatalaksanaan diare
bagi semua kasus diare yang diderita anak balita baik yang dirawat di rumah maupun
sedang dirawat di rumah sakit, yaitu:20
4. Antibiotik selektif
1. Rehidrasi dengan oralit baru, dapat mengurangi rasa mual dan muntah
Berikan segera bila anak diare, untuk mencegah dan mengatasi dehidrasi. Oralit
formula lama dikembangkan dari kejadian luar biasa diare di Asia Selatan yang
terutama disebabkan karena disentri, yang menyebabkan berkurangnya lebih banyak
elektrolit tubuh, terutama natrium. Sedangkan diare yang lebih banyak terjadi akhir-
akhir ini dengan tingkat sanitasi yang lebih banyak terjadi akhir-akhir ini dengan tingkat
sanitasi yang lebih baik adalah disebakan oleh karena virus.Diare karena virus tersebut
tidak menyebakan kekurangan elektrolit seberat pada disentri. Karena itu, para ahli
diare mengembangkan formula baru oralit dengan tingkat osmolaritas yang lebih
rendah. Osmolaritas larutan baru lebih mendekati osmolaritas plasma,sehingga kurang
menyebabkan risiko terjadinya hipernatremia.
Oralit
Oralit baru ini adalah oralit dengan osmolaritas yang rendah. Keamanan oralit ini sama
dengan oralit yang selama ini digunakan, namun efektivitasnya lebih baik daripada
oralit formula lama. Oralit baru dengan low osmolaritas ini juga menurunkan
kebutuhan suplementasi intravena dan mampu mengurangi pengeluaran tinja hingga
20% serta mengurangi kejadian muntah hingga 30%.Selain itu, oralit baru ini juga
telah direkomendasikan oleh WHO dan UNICEF untuk diare akut non-kolera pada
anak.
Zinc mengurangi lama dan beratnya diare. Zinc juga dapat mengembalikan nafsu
makan anak. Penggunaan zinc ini memang popular beberapa tahun terakhir karena
memilik evidence based yang bagus. Beberapa penelitian telah
membuktikannya.Pemberian zinc yang dilakukan di awal masa diare selam 10 hari ke
depan secara signifikan menurunkan morbiditas dan mortalitas pasien. Lebih lanjut,
ditemukan bahwa pemberian zinc pada pasien anak penderita kolera dapat
menurunkan durasi dan jumlah tinja/cairan yang dikeluarkan. Zinc termasuk
mikronutrien yang mutlak dibutuhkan untuk memelihara kehidupan yang optimal.
Meski dalam jumlah yang sangat kecil, dari segi fisiologis, zinc berperan untuk
pertumbuhan dan pembelahan sel, anti oksidan, perkembangan seksual, kekebalan
seluler, adaptasi gelap, pengecapan, serta nafsu makan. Zinc juga berperan dalam
system kekebalan tubuh dan meripakan mediator potensial pertahanan tubuh terhadap
infeksi. Dasar pemikiran penggunaan zinc dalam pengobatan diare akut didasarkan
pada efeknya terhadap fungsi imun atau terhadap struktur dan fungsi saluran cerna dan
terhadap proses perbaikan epitel saluran cerna selama diare. Pemberian zinc pada diare
dapat meningkatkan absorpsi air dan elektrolit oleh usus halus,meningkatkan
kecepatan regenerasi epitel usus, meningkatkan jumlah brush border apical, dan
meningkatkan respon imun yang mempercepat pembersihan pathogen dari usus.
Pengobatan dengan zinc cocok diterapkan di negara-negara berkembang seperti
Indonesia yang memiliki banyak masalah terjadinya kekurangan zinc di dalam
tubuh karena tingkat kesejahteraan yang rendah dan daya imunitas yang kurang
memadai. Pemberian zinc dapat menurunkan frekuensi dan volume buang air besar
sehingga dapat menurunkan risiko terjadinya dehidrasi pada anak.
3. ASI dan makanan tetap diteruskan sesuai umur anak dengan menu yang sama
pada waktu anak sehat untuk mencegah kehilangan berat badan serta pengganti
nutrisis yang hilang. Pada diare berdarah nafsu makan akan berkurang. Adanya
perbaikan nafsu makan menandakan fase kesembuhan.
4. Antibiotik jangan diberikan kecuali ada indikasi misalnya diare berdarah atau
kolera. Pemberian antibiotic yang tidak rasional justru akan memperpanjang lamanya
diare karena akan megganggu keseimbangan flora usus dan Clostridiumdifficile yang
akan tumbuh dan menyebabkan diare sulit disembuhkan. Selain itu,pemberian antibiotic
yang tidak rasional akan mempercepat resistensi kuman terhadap antibiotic, serta
menambah biaya pengobatan yang tidak perlu. Pada penelitian multiple ditemukan
bahwa telah terjadi peningkatan resistensi terhadap antibiotic yang sering dipakai
seperti ampisilin, tetrasiklin, kloramfenikol, dan trimetoprim sulfametoksazole dalam
15 tahun ini. Resistensi terhadap antibiotik terjadi melalui mekanisme berikut
inaktivasi obat melalui degradasi enzimatik oleh bakteri, perubahan struktur bakteri
yang menjadi target antibiotik dan perubahan permeabilitas membran terhadap
antibiotic.
5. Nasihat pada ibu atau pengasuh: kembali segera jika demam, tinja berdarah,
berulang, makan atau minum sedikit, sangat halus, diare makin sering, atau belum
membaik dalam 3 hari.
a. Anak-anak tanpa tanda-tanda dehidrasi memerlukan tambahan cairan dan garam untuk
mengganti kehilangan cairan dan elektrolit akibat diare. Jika ini tidak diberikan, tanda-
tanda dehidrasi dapat terjadi.
b. Ibu harus diajarkan cara untuk mencegah dehidrasi di rumah dengan memberikan anak
lebih banyak cairan daripada biasanya, bagaimana mencegah kekurangan gizi dengan
terus memberi makan anak, dan mengapa tindakan-tindakan ini penting. Mereka harus
juga tahu apa tanda-tanda menunjukkan bahwa anak harus dibawa ke petugas kesehatan.
Langkah-langkah tersebut dirangkum dalam empat aturan Rencana Terapi A.
Aturan 1 : Memberikan anak lebih banyak cairan daripada biasanya, untuk
mencegah dehidrasi
Cairan yang diberikan adalah cairan yang mengandung garam (oralit), dapat juga
diberikan air bersih yang matang.
Komposisi larutan oralit baru :
1) Natrium klorida 2,6 gram/liter
2) Glukosa 13,5 gram/liter
3) Kalium klorida 1,5 gram/liter
4) Trisodium sitrat 2,9 gram/liter
Komposisi larutan oralit lama :
Aturan 2 : Berikan tambahan zinc (10 - 20 mg) untuk anak, setiap hari selama 10 -
14 hari
Zinc dapat diberikan sebagai sirup atau tablet, dimana formulasinya tersedia
danterjangkau. Dengan memberikan zinc segera setelah mulai diare, durasi dan tingkat
keparahan episode serta risiko dehidrasi akan berkurang. Dengan pemberian zinc selama
10 sampai 14 hari, zinc yang hilang selama diare diganti sepenuhnya dan risiko anak
memiliki episode baru diare dalam 2 sampai 3 bulan ke depan dapat berkurang.
a. Bayi segala usia yang menyusui harus tetap diberi kesempatan untuk menyusui
sesering dan selama mereka inginkan. Bayi sering menyusui lebih dari biasanya
dan ini harus didukung.
b. Bayi yang tidak disusui harus diberikan susu biasa mereka makan (atau susu
formula) sekurang-kurangnya setiap tiga jam, jika mungkin dengan cangkir.
c. Bayi di bawah usia 6 bulan yang diberi makan ASI dan makanan lain harus
diberikan ASI lebih banyak. Setelah anak tersebut sembuh dan meningkatnya
pasokan ASI, makanan lain harus diturunkan.
d. Jika anak usia minimal 6 bulan atau sudah diberikan makanan lunak, ia harus
diberi sereal, sayuran dan makanan lain, selain susu. Jika anak di atas 6 bulan dan
makanan tersebut belum diberikan, maka harus dimulai selama episode diare atau
segera setelah diare berhenti. Daging, ikan atau telur harus diberikan, jika
tersedia. Makanan kaya akan kalium, seperti pisang, air kelapa hijau dan jus buah
segar akan bermanfaat.
Berikan anak makanan setiap tiga atau empat jam (enam kali sehari). Makan porsi
kecil yang Sering, lebih baik daripada makan banyak tetapi lebih jarang. Setelah diare
berhenti, dapat terus memberi makanan dengan energi yang sama dan membrikan satu lagi
makan tambahan daripada biasanya setiap hari selama setidaknya dua minggu. Jika anak
kekurangan gizi, makanan tambahan harus diberikan sampai anak telah kembali berat badan
normal-untuk-height.
Aturan 4 : Bawa anak ke petugas kesehatan jika ada tanda-tanda dehidrasi atau
masalah lainnya
Pedoman pengobatan dehidrasi pada anak dan dewasa dengan dehidrasi sedang :
Keluarga harus diajarkan cara memberikan larutan oralit. Larutan dapat diberikan pada
anak-anak menggunakan sendok atau cangkir. Botol minum tidak boleh digunakan. Untuk
bayi dapat digunakan pipet atau syringe.Jika tanda-tanda dehidrasi parah telah muncul,
terapi intravena (IV) harus dimulai sesuai Rencana Terapi C.
Jika anak masih memiliki tanda-tanda yang menunjukkan dehidrasi beberapa, teruskan
terapi rehidrasi oral dengan mengulangi Rencana Terapi B. Pada saat yang sama dimulai
pemberian makanan, susu dan cairan lain, seperti yang dijelaskan dalam Rencana Terapi A,
dan terus menilai kembali anak.
Jika tidak ada tanda-tanda dehidrasi, harus dipertimbangkan rehidrasi telah lengkap. Bila
rehidrasi adalah lengkap:
Kecuali untuk ASI, makanan tidak boleh diberikan selama empat jam pertama periode
rehidrasi. Namun, anak-anak yang terus dalam Rencana Terapi B lebih dari empat jam
harus diberikan makanan setiap 3-4 jam seperti yang dijelaskan dalam Rencana terapi A.
Semua anak yang lebih tua dari 6 bulan harus diberikan makanan sebelum pulang. Ini
membantu untuk menekankan kepada para ibu pentingnya terus makan selama diare.
Pengobatan bagi anak-anak dengan dehidrasi berat adalah rehidrasi intravena cepat,
mengikuti Rencana Terapi C. Jika mungkin, anak harus dirawat di rumah sakit.Anak-
anak yang masih dapat minum, walaupun buruk, harus diberikan oralit secara peroral
sampai infus berjalan. Selain itu, ketika anak dapat minum tanpa kesulitan, semua anak
harus mulai menerima larutan oralit (sekitar 5 ml/kg/jam), yang biasanya dalam waktu 3-
4 jam (untuk bayi) atau 1-2 jam (untuk pasien yang lebih tua). Ini memberikan tambahan
dasar dan potasium, yang mungkin tidak dapat secara memadai disediakan oleh cairan
infus.
Mulai diberi cairan i.v segera. Bila pasien dapat minum berikan oralit sampai cairan i.v
dimulai. Berikan 100 ml/Kg cairan Ringer Laktat (atau cairan normal salin bila ringer
laktat tidak tersedia). Lihat dan rasakan untuk semua tanda-tanda dehidrasi:
a. Jika tanda-tanda dehidrasi berat masih ada, ulangi infus cairan IV seperti
yang diuraikan dalam Rencana terapi C.
b. Jika anak membaik (dapat minum), tetapi masih menunjukkan tanda-tanda
dari dehidrasi sedang, hentikan infus IV dan berikan larutan oralit selama
empat jam, sebagaimana ditetapkan dalam Rencana terapi B.
c. Jika tidak ada tanda-tanda dehidrasi, ikuti Rencana terapi A. Ingatlah bahwa
anak membutuhkan terapi dengan larutan oralit sampai diare berhenti.
Jika fasilitas terapi IV tidak tersedia, tetapi dapat diberikan dalam jangka waktu dekat
(yaitu dalam waktu 30 menit), kirimlah anak untuk pengobatan IV segera. Jika anak dapat
minum, berikan ibu beberapa larutan oralit dan tunjukkan kepadanya cara untuk
memberikannya kepada anaknya selama perjalanan.
Jika terapi IV tidak tersedia di dekatnya, petugas kesehatan yang telah dilatih dapat
memberikan larutan oralit menggunakan selang Naso Gastrik, dengan kecepatan 20 ml/kg
BB /jam selama 6 (enam) jam (total 120 ml/kg BB). Jika perut menjadi bengkak, larutan
oralit harus diberikan perlahan-lahan sampai menjadi kurang buncit.
Jika tidak bisa menggunakan selang NGT namun anak dapat minum, larutan oralit harus
diberikan melalui mulut dengan kecepatan 20 ml/kg BB/jam selama 6 (enam) jam (total
120 ml / kg berat badan). Jika terlalu cepat, anak dapat muntah berulang. Jika terjadi hal
ini, maka memberikan larutan oralit secara lebih lambat sampai muntah mereda.
Anak-anak menerima terapi NGT atau per oral harus dinilai ulang paling sedikit setiap
jam. Jika tanda-tanda dehidrasi tidak membaik setelah tiga jam, anak harus segera dibawa
ke fasilitas terdekat di mana terapi IV tersedia.
Kalau tidak, jika rehidrasi maju memuaskan, anak harus dinilai ulang setelah enam jam
dan keputusan pada perawatan lebih lanjut dibuat seperti yang dijelaskan di atas untuk
terapi IV yang diberikan.Jika tidak ada fasilitas NGT dan tidak dapat dilakukan secara
peroral, anak harus segera dibawa ke fasilitas terdekat di mana terapi IV atau NGT
tersedia.
4.2.6 KOMPLIKASI
Diare pada balita dapat menyebabkan kematian dengan cepat karena pada balita
mudah terjadi dehidrasi yaitu kehilangan sejumlah besar air dan elektrolit dari tubuh baik
melalui tinja, muntah, panas tubuh, daya tahan tubuh yang kurang. Daya tahan tubuh
rendah disebabkan karena asupan gizi yang kurang pada saat di dalam kandungan maupun
saat dalam masa perkembangan, asupan gizi yang tidak terpenuhi tersebut akan
menghambat pertumbuhan dan sangat mempengaruhi angka kesakitan yang tinggi di
kemudian hari. 17
Diare berakibat pada kehilangan cairan dan elektrolit secara mendadak dapat terjadi
berbagai macam komplikasi seperti19:
1. Kehilangan air dan elektrolit (dehidrasi) yang mengakibatkan terjadinya gangguan
keseimbangan asam - basa (asidosis metabolik, hipokalemia dan sebagainnya).
2. 2.Hipokalemia (dengan gejala meterorismus, hipotoni otot, lemah, bradikardi, perubahan
pada elektrokardiogram)
3. Hipoglikemia
4. Intoleransi laktosa sekunder, sebagai akibat defisiensi enzim laktosa karena kerusakan
vili mukosa usus halus.
5. Kejang, terutama pada dehidrasi hipertonik
6.
Malnutrisi energi protein, karena selain diare dan muntah penderita juga mengalami
kelaparan.
4.2.7 PENCEGAHAN
Pemberantasan penyakit diare dapat dilakukan dengan melibatkan berbagai lapisan
masyarakat mulai dari ibu rumah tangga, petugas kesehatan dan masyarakat umum. Usaha
pertama untuk mencegah diare adalah denganmelakukan alih tekhnologi dari tenaga
kesehatan kepada ibu rumah tangga atau keluarga dengan mampu melaksanakan beberapa
pencegahan sepertimemberikan ASI, memperbaiki makanan pendamping ASI,
menggunakan air bersih yang cukup, menggunakan jamban, membuang tinja bayi dengan
baik, dan memberi imunisasi campak.Intervensi air bersih dapat menurunkan insiden
penyakitdiare sebesar 17-27%, sedangkan dampak penyediaan jamban terhadap penurunan
penyakit diare yaitu sebesar 22-24%. Intervensi cuci tangandapat menurunkan kejadian
diare sebesar 33%. Jika ketiga upaya tersebut dilaksanakan bersama-sama secara intensif
sangat mungkin sebagian besar penyakit diare disebabkan oleh mikroba.20
DAFTAR PUSTAKA
2. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. 6th ed.
Jakarta: EGC; 2005. 804p.
4. Callistania C, Indrawati W. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. 3rd ed. Jakarta: Media
Aesculapius Fakultas Kedokteran UI; 2014. 174-6p.
6. Rahmadhani EP, Gustina L, Edison. Hubungan Antara Pemberian ASI Eksklusif dengan
Angka Kejadian Diare Akut Pada Bayi Usia 0-1 Tahun di Puskesmas Kuranji Kota
Padang. Jurnal Kesehatan Andalas.2013;2:62-6.
8. Soeparman, Waspadji S. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;
1999. 695-705p.
9. Behrman RE, Vaughan VC. Nelson Ilmu Kesehatan Anak. Bagian 2. 19th ed. Jakarta:
EGC; 2011. 883-889p.
11. Nasili, Thaha RM , Seweng A. Perilaku Pencegahan Diare Anak Balita Di Wilayah
Bantaran Kali Kelurahan Bataraguru Kecamatan Wolio Kota Bau-Bau. Jurnal Kesehatan
Unhas.2012;3:1-12.
12. Wulandari AP. Hubungan Antara Faktor Lingkungan dan Faktor Sosiodemografi Dengan
Kejadian Diare Pada Balita di Desa Blimbing Kecamatan Sambirejo Kabupaten Sragen
Tahun 2009 (skripsi). Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta; 2009.
13. Sinthamurniwaty. Faktor-Faktor Risiko Kejadian Diare Akut Pada Balita (tesis).
Semarang: Universitas Diponegoro; 2006.
14. Suharyono. Diare Akut: Klinik dan Laboratorik. 1st ed. Jakarta: Rineka Cipta, 2008.
15. Safrudin ANS, Handoyo, Widiyanti DAK. Analisis Faktor-Faktor Resiko yang
Mempengaruhi Kejadian Diare pada Balita di Puskesmas Ambal 1 Kecamatan Ambal
Kabupaten Kebumen. Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan.2009;5:65-79.
16. Nugraheni D. Hubungan Kondisi Fasilitas Sanitasi Dasar dan Personal Hygiene dengan
Kejadian Diare di Kecamatan Semarang Utara Kota Semarang. Jurnal Kesehatan
Masyarakat.2012;1:922-33.
17. Astuti WP, Herniyatun, Yudha HT. Hubungan Pengetahuan Ibu tentang Sanitasi
Makanan dengan Kejadian Diare pada Balita di Lingkup Kerja Puskesmas Klirong I.
Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan.2011;7:101-9.
18. Abdoerrachman,M.H. Ilmu Kesehatan Anak 1. 4th ed. Jakarta.2005. P.283-95.
19. Hendarwanto. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1. 3thed. Jakarta: Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006.p.451-57.
20. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Panduan Sosialisasi Tatalaksana Diare
Balita. Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2011.p.1-
36.