Professional Documents
Culture Documents
Bab 7
KEINOVATIFAN DAN
KATEGORI PENGGUNA INOVASI
Diterjemah oleh Abdillah Hanafi
Bab 7
KEINOVATIFAN DAN
KATEGORI PENGGUNA INOVASI
100%
90
80
Persentase Adopter
70
60
50
40
30
20
0
Perjalanan Waktu
Dengan kata lain, kita mengharapkan distribusi pengguna itu normal karena efek
difusi, yang pada bab 6 didefinisikan sebagai peningkatan kumulatif derajat pengaruh
terhadap seseorang untuk mengadopsi atau menolak suatu inovasi, sebagai hasil
bergeraknya jaringan teman-sebaya mengenai inovasi dalam sistem sosial itu. Pengaruh
ini dihasilkan dari bertambahnya tingkat pengetahuan dan pengadopsian atau penolakan
inovasi itu dalam sistem tersebut. Peng-adopsian suatu inovasi adalah hasil suatu
interaksi manusia melalui jaringan komunikasi antar pribadi. Bila pengguna pertama
inovasi itu membahasnya dengan anggota lain dalam sistem sosial itu, dan masing-
masing dari kedua pengguna itu meneruskan ide baru itu kepada dua temannya lagi, akan
menghasilkan ditribusi yang mengikuti perluasan binomial, suatu fungsi matematis yang
mengikuti bentuk normal bila dilukiskan pergenerasi secara berturut-turut. Proses ini
sama dengan suatu wabah yang menular tak terkendali (Bailey, 1957:29-37, 135-159).
Tentu saja, beberapa asumsi yang mendasar contoh hipotetik ini jarang dijumpai
dalam kenyataan misalnya, para anggota sistem sosial belum sepenuhnya bebas
melakukan interaksi satu sama lain. Rintangan-rintangan status, dan variabel-variabel
yang lain mempengaruhi pola difusi. Efek difusi mulai mendatar setelah separo orang
dalam suatu sistem sosial telah mengadopsi, karena setiap pengguna baru akan semakin
sulit menceritakan gagasan baru itu kepada teman yang belum mengadopsi, karena orang-
orang yang belum mengenai inovasi semakin jarang.
Pada bab2 kami kemukakan bahwa kurva-S difusi itu tinggal landas begitu
jaringan komunikasi antar pribadi mulai bergerak dalam penyebaran penilaian subyektif
mengenai inovasi dari teman ke teman dalam suatu sistem sosial (Gambar 7-1). Wilayah
kurva difusi setelah sekitar 10% pengadopsian dan sampai 20 atau 25% pengadopsian
merupakan inti proses difusi. Setelah titik itu, barangkali mustahil menghentikan
penyebaran ide baru itu lebih luas lagi, seandainya seseorang menghendakinya.
Rampatan 7-1 menyatakan bahwa Distribusi pengguna mengikuti kurva
berbentuk lonceng berdasarkan waktu pengadopsiannya dan mendekati normal. Bukti
yang mendukung pernyataan ini datang dari penyelidikan inovasi pertanian, konsumen,
dan inovasi-inovasi lainnya diberbagai sistem sosial, di AS, India dan negara-negara
lainnya (Rogers 1958; Bose, 1964; Ryan, 1948, Beal dan Rogers, 1960; Dimit, 1945, dan
Humblin dkk, 1973). Beragam rumusan matematik telah dikemukakan untuk
memastikan, menjelaskan, bentuk distribusi pengguna. Namun demikian secara umum
disepakati dari semua karya ini adalah bahwa kurva bentuk-S itu pada hakekatnya
normal. Hal ini punya implikasi penting untuk pengklasifikasian kategori pengguna.
Mayoritas Mayoritas
Awal Akhir
34% 34%
13,5%
Inovator Pemuka Kolot
2,5% 16%
-2 SD -1 SD Mean +1 SD +2 SD
Daerah yang berada disebelah kiri rerata waktu pengadopsian minus 2-SD
(Standar Deviasi) adalah 2,5% orang yang pertama mengadopsi inovasi
terkategorisebagai Inovator. Tiga belas setengah persen berikutnya berada pada daerah
antara 1-SD sampai 2-SD disebelah kiri mean; mereka disebut para pemuka. Tiga puluh
empat persen berikutnya, dinamakan mayoritas awal, berada di daerah 0 sampai 1SD
kesebelah kanan terletak 34% lagi pengadopsian ide baru itu, si mayoritas akhir. Enam
belas persen terakhir di sebut kolot (laggard).
Metode pengklasifikasian pengadopsi ini bukan merupakan pengelompok-an yang
simetrik karena ada tiga kelompok berada di sebelah kiri mean dan dua kategori di
sebelah kanan. Agar simentrik, kelompok laggard harus dibagi dua kategori, misalnya
laggard awal dan laggard akhir, tetapi para laggard kelihatannya merupakan satu kategori
yang jelas homogin. Sama halnya, para Inovator dan pemuka dapat digabung menjadi
satu kelompok agar simetrik, tetapi ciri-ciri mereka yang sangat berbeda menandai
mereka sebagai dua kategori yang berbeda.
Kesulitan lain dalam metode pengklasifikasian pengguna kami adalah
pengadopsian yang tidak sempurna, yang terjadi pada adopsi inovasi belum mencapai
100% penggunaan pada saat kajian terhadapnya dilakukan. Ini berarti bahwa pola
klasifikasi kami tidak lengkap. Tetapi masalah ketidak-sempurnaan pengadopsian
terhapus bila rangkaian inovasi dikombinasi kedalam suatu skala keinovatifan gabungan.
Tiga prinsip pengkategorian telah dikemukakan sebelumnya. Keinovatif-an
sebagai suatu kriteria memenuhi memenuhu kriteria ini. Kelima kategori pengguna telah
mencakup (kecuali non pengguna), terpisah satu sama lain, dan dijabarkan dari satu
prinsip pengklasifikasian. Metode pengkategorian pengguna yang baru saja diuraikan
adalah yang paling banyak dipakai dalam penelitian difusi sekarang.
Lima kategori pengguna yang disajikan kedalam bab ini adalah tipe-tipe ideal.
Tipe ideal adalah pengkonseptualisasian berdasar pengamatan kenyataan dan dirancang
untuk memungkinkan membuat perbandingan. Fungsi tipe ideal adalah untuk
membimbing usaha-usaha penelitian dan bertindak sebagai suatu kerangka untuk sintesa
penemuan-penemuan penelitian.
Sebetulnya tidak ada batas yang tegas dalam kontinum keinovatifan yang telah
kita bagi menjadi lima kategori itu. Tipe ideal bukanlah sekedar rata-rata pengamatan
mengenai suatu kategori pengguna. Perkecualian-perkecualian terhadap tipe ideal pasti
dijumpai. Jika tidak ada perkecualian atau penyimpangan, mungkin tipe ideal tidak
diperlukan. Tipe ideal didasarkan atas abstraksi dan kasus-kasus empirik dan
dimaksutkan sebagai pedoman untuk membuat formulasi teoritik dan penyalidikan
empirik. Bagaimanapun, tipe-tipe ideal itu bukan pengganti bagi penyelidikan-
penyelidikan ini. Kami sekarang akan menyajikan suatu sketsa pendek ciri-ciri penting
masing-masing kategori, yang diikuti dengan rampatan yang lebih rinci.
Inovator: Petualang
Para pengamat telah melihat bahwa petualangan hampir merupakan obsesi para
Inovator. Mereka sangat bergairah mencoba ide-ide baru. Minat yang besar ini membawa
mereka keluar dari lingkar jaringan pergaulan setempat, dan membawanya kepada
hubungan sosial yang lebih kosmopolit. Pola-pola komunikasi dan pertemanan di dalam
klik Inovator memang biasa terjadi, walaupun jarak geografis antara Inovator itu
mungkin cukup jauh. Menjadi seseorang Inovator itu ada persyaratannya. Termasuk di
antaranya memiliki sumber-sumber finansial yang kuat untuk menghadapi kemungkinan
kerugian atas inovasi yang tidak menguntungkan, dan kemampuan untuk memahami dan
menerapkan kemampuan teknologis yang rumit. Inovator harus dapat menanggulangi
ketidakpastian suatu inovasi pada saat ia mengadopsinya.
Nilai yang paling menonjol pada Inovator adalah petualangan. Dia paling suka
pada hal-hal yang menyerempet bahaya, berani mengambil resiko, dan sering terburu
nafsu. Inovator harus siap untuk menerima kerugian jika ide baru yang diadopsinya itu
ternyata tidak berhasil. Sementara Inovator mungkin tidak diterima oleh anggota lain
suatu sistem sosial, Inovator memainkan suatu pe-ranan yang paling penting dalam
proses difusi: bahwa peluncuran ide baru itu ke dalam sistem sosial itu dengan
memasukkan (mengimpor) inovasi dari luar lingkaran/batas-batas sistem. Jadi, Inovator
memainkan peran sebagai pintu masuk arus ide-ide baru ke dalam sistem sosial.
Para pemuka merupakan bagian yang lebih terpadu pada sistem sosial setempat
dibanding para Inovator. Bila para Inovator kosmopolit, para pemuka lokalit. Kelompok
pengguna ini, dibandingkan dengan kelompok pengguna lainnya, punya tingkat
kepemimpinan pendapat terbesar dalam kebanyakan sistem sosial. Para calon pengguna
mencari para pemuka untuk meminta nasehat dan informasi mengenai inovasi. Pemuka
oleh banyak ahli dipandang sebagai “orang yang melihat kecocoka inovasi itu dengan
situasi-kondisi setempat” sebelum menggunakannya. Kelompok pengguna ini umumnya
dicari oleh para agen pembaru untuk dijadikan ”misionaris" lokal untuk mempercepat
proses difusi. Karena para pemuka tidak terlalu jauh dari rata-rata orang dalam
keinovatifan, mereka berperan sebagai model bagi para anggota suatu sistem sosial. Para
pemuka dihormati teman-temannya, dan merupakn pengejawantahan penggunaan ide-ide
baru yang berhasil. Pemuka itu mengetahui bahwa untuk tetap mempertahankan
penghargaan (penghormatan) dari teman-teman dan menjadi posisi sentral dalam struktur
komunikasi sistem itu, dia harus membuat keputusan inovasi yang bijaksana. Maka
peranan pemuka adalah mengurangi ketidakpastian mengenai suatu ide baru dengan
mengadopsiannya, dan kemudian me-nyampaikan penilaian subyektif inovasi ini kepada
teman-teman dekat dengan melalui jaringan-jaringan antar pribadi.
Mayoritas awal mengadopsi ide-ide baru sebelum rata-rata anggota suatu sistem
sosial. Mayoritas awal sering berinteraksi dengan teman-temannya, tetapi jarang
menempati posisi pimpinan. Posisi unik si mayoritas awal di antara orang yang paling
awal dan yang relatif terlambat mengadopsi inovasi menjadikannya sebagai mata rantai
yang penting dalam proses difusi. Mereka memberi saling keterkaitan dalam jaringan-
jaringan sistem itu.
Mayoritas awal mungkin mempertimbangkan dalam waktu cukup lama sebelum
sepenuhnya mengadopsi suatu ide baru. Periode keputusan inovasi mereka relatif lebih
lama daripada si Inovator dan pemuka. “Tidak menjadi orang yang pertama yang
mencoba inovasi, tidak juga menjadi orang yang terakhir dalam menggunakan”, barang
kali menjadi motto si mayoritas awal. Dalam mengadopsi inovasi mereka tenang dan
berhati-hati, tetapi jarang memimpin.
Mayoritas Akhir: Skeptis
Kolot: Tradisional
Laggard adalah orang yang terakhir dalam suatu sistem sosial yang meng-adopsi
suatu inovasi. Mereka hampir tidak ada yang memiliki kepemimpinan pendapat. Mereka
adalah yang paling lokalit dalam pandangan di antara semua kelompok pengguna; banyak
yang mendekati terisolasi dalam jaringan-jaringan sosial. Acuan si laggard adalah masa
lalu. Keputusan-keputusan sering dibuat sebelumnya/terdahulu orang-orang ini
berinteraksi terutama dengan orang-orang yang relatif mempunyai nilai-nilai terdisional.
Bila si laggard mengadopsi suatu inovasi, ini mungkin telah digantikan oleh ide-ide yang
lebih baru yang sekarang digunakan oleh Inovator. Laggard cenderung secara terbuka
(bloko-suto) curiga terhadap inovasi dan agen pembaharu. Orientasi mereka yang
tradisional memperlambat proses keputusan inovasi mereka menjadi sangat lamban,
dengan pengadopsian yang jauh tertinggal dari ilmu pengetahuan tentang suatu ide baru.
Sementara kebanyakan orang di dalam suatu sistem sosial memandang kearah depan
jalan pembaharuan, perhatian si laggard terpaku pada kaca spion (untuk melihat
kebelakang). Hambatan terhadap inovasi ini bagi si laggard mungkin sangat rasional
menurut pandangannya, karena sumbar-sumber mereka terbatas sehingga mereka
haruslah merasa sangat yakin bahwa ide baru itu tidak akan gagal sebelum mereka mau
mengadopsi. Posisi ekonomi sangat kolot yang miskin memaksa orang-orang ini sangat
hati-hati dalam meng-adopsi inovasi.
Banyak pengamat mencatat bahwa "Kolot" adalah nama yang jelek, tidak
diragukan lagi kebenarannya bahwa julukan kategori pengguna ini membawa perbedaan
menyakitkan (sama saja dengan sebutan “kelas bawah” adalah sebutan yang negatif).
Kolot merupakan nama jelek karena kebanyakan "non-kolot" mempunyai kecenderungan
yang kuat untuk memihak inovasi. Para pakar difusi yang menggunakan kategori-
kategori pengguna dalam penelitian-penelitian mereka tidak bermaksud menghina/
merendahkan dengan penggunaan istilah “kolot” itu. Sungguh, bila menggunakan istilah
lain, akan ada juga konotasi negatif. Tetapi adalah salah mengartikan bahwa para Kolot
itu melakukan kesalahan karena mereka relatif terlambat dalam mengadopsi inovasi;
inilah ilustrasi kesalahan individual dimana kesalahan-kesalahan lebih akurat
menggambarkan banyak situasi kolot itu.
CIRI-CIRI KELOMPOK PENGGUNA
Ciri-ciri sosial para pengguna awal umumnya ditandai dengan lebih terdidik, lebih
tinggi status sosialnya, dsb. Mereka lebih kaya, terspesialisasi, dan lebih besar "unit
lahan"nya. Status sosial ekonomi dan keinovatifan agaknya berjalan seiring. Apakah
Inovator itu berinovasi karena dia kaya, ataukah karena mereka kaya karena inovasi?
Jawaban terhadap pertanyaan sebab akibat tidak dapat diberikan hanya berdasar data
korelasional yang ada. Betapapun ada alasan-alasan yang memadai mengapa status sosial
dan keinovatifan berselang-seling. Keuntungan terbesar dipetik oleh orang yang pertama
kali mengadopsi; karena itu Inovator memperoleh keuntungan finansial melalui
inovasinya itu. Beberapa ide baru memerlukan biaya banyak untuk mengadopsinya dan
memerlukan modal awal yang besar. Hanya orang/perusahaan yang kaya saja yang dapat
mengadopsi inovasi-inovasi seperti ini. Karena Inovator adalah orang yang pertama kali
mengadopsi, dia pasti mengambil resiko yang dihindari oleh pengguna akhir, yang tidak
ingin menghadapi ketidakpastian yang tinggi mengenai inovasi ketika inovasi itu pertama
kali di perkenalkan kedalam sistem. Inovator ide-ide baru tertentu mungkin gagal. Dia
harus cukup kaya untuk dapat mengganti kerugian dari kegagalan yang kadang-kadang
terjadi ini. Walaupun kekayaan dan keinovatifan sangat erat hubungannya, faktor-faktor
ekonomi tidak memberi penjelasan yang lengkap tentang perilaku inofatif. Misalnya,
walaupun para Inovator pertanian cenderung kaya, banyak petani kaya yang bukan
Inovator.
Semua rampatan berkenaan status sosial ekonomi dan keinovatifan yang baru saja
disajikan mengasumsi suatu hubungan yang positif dan linier antara kedua pasangan
variabel tsb. Yakni mengasumsi bahwa orang-orang meng-adopsi inovasi sejalan dengan
tingkat status sosial ekonominya; yakni, setiap pertambahan unit penghasilan, lahan, dan
variabel-variabel status sosial ekonomi lainnya, orang itu diharapkan lebih inovatif.
Kelinieran hubungan sosial ekonomi keinovatifan, betapapun mulai dipertanyakan
oleh Prof. Frank Cancian, seorang pakar antropologi Universitas California, pada tahun
1967. Teori Cancian tidak membantah bahwa dan status sosial ekonomi berjalan seiring
sangat erat; yakni orang-orang yang berada pada status sosial paling tinggi adalah yang
paling inovatif, dan yang berada pada status sosial paling rendah adalah yang paling tidak
inoatif. Tetapi antara kedua titik ekstrim ini Cancian menunjukkan bahwa orang-orang
yang berada pada status menengah tinggi, terutama pada awal-awal tahap difusi suatu
inovasi (katakanlah, sampai 25% pengadopsian pada suatu sistem sosial) ketika tingkat
ke-tidakpastian mengenai inovasi masih tinggi. Kemudian, katakanlah setelah terjadi
50% pengadopsian, Cancian mengemukakan bahwa orang-orang menengah atas
mengejar dan melampaui menengah bawah, shingga menghasilkan hubungan yang linier
antara variabel sosial ekonomi dengan keinovatifan.
“Cancian Dip” ini, sebagaimana disebut oleh para peneliti difusi, terlukis dalam
gambar 7-4. Teori Cancian didasarkan pada tingkat ketidakpastian berkenaan dengan
penampilan suatu inovasi, dan seberapa jauh ketidakpastian itu sedikit demi sedikit
berkurang begitu tingkat adopsi suatu inovasi meningkat dalam suatu sistem sosial.
Pemikiran seperti itu tentu saja konsisten dengan tema buku ini. Pada dasarnya Cancian
menyatakan bahwa ketika ketidakpastian itu tinggi (pada awal penyebaran inovasi)
orang-orang kelas menengah bawah lebih inovatif daripada orang-orang menengah atas
didalam sistem sosial karena mereka takut gagal. Selanjutnya, ketika inovasi telah
tersebar lebih luas dan dipandang tidak lagi tak menentu, sumber-sumber sosial ekonomi
yang lebih besar dari orang-orang menengah atas memungkinkan mereka mengadopsi
dengan kecepatan lebih tinggi daripada orang-orang menengah bawah, dan mengejar
serta melampaui mereka dalam hal keinovatifannya. Maka hubungan kurva linier status
sosial ekonomi dengan keinovatifan karena “Cancian Dip” adalah merupakan suatu
kondisi temporer, digantikan oleh hubungan linier berikutnya dalam proses difusi.
Dr. Cancian juga menganggap sangat penting pengukur status sosial ekonomi
lokal daripada stratifikasi masyarakat; yakni status sosial ekonomi diukur sebagai status
relatif seseorang dibanding dengan anggota lain sistem sosialnya, bukan dibandingkan
dengan semua orang lain dinegeri itu. Misalnya, bila Cancian sedang menganalisis data
dari suatu sampel petani Meksiko, dia lebih suka menyatakan penghasilan setiap petani
dalam suatu urutan (rank order) penghasilan dari semua petani di desa yang sama,
daripada menggunakan angka-angka penghasilan yang absolut; maka sesorang dengan
penghasilan satu tahun $1.000 mungkin berada pada lima persen paling atas dari desanya,
tetapi hanya menduduki persentil 60 dari semua orang Meksiko. Dengan kata lain,
Cancian merasakan bahwa posisi sosial relatif dalam sistem lokal seseorang merupakan
prediktor yang lebih baik daripada perilaku inovatif daripada posisi absolut dalam suatu
sistem yang lebih besar (dimana seseorang barangkali tidak membandingkan dirinya
sendiri): “Perilaku itu dipahami lebih baik bila orang dilihat sebagai penghuni posisi
sosial yang dibatasi pada suatu sistem sosial” (Cancian, 1981). Namun demikian, Prof.
Cancian mencatat bahwa pengkuran status sosial ekonomi relatif sering kali sangat sulit
bagi para peneliti difusi. Tidak perlu dikatakan bahwa hipotesis Cancian dip adalah tesis
yang rumit dan sulit dengan data yang empirik. Cancian sendiri telah mempelopori riset
seperti ini, mengemukakan ukuran-ukuran da metodologi-metodologi utama yang
dipergunakan (Cancian, 1967, 1976, 1977, 1979a, 1979b, 1980). Karyanya telah dimulai
dengan bermacam-macam pretes, pembuktian kesalahan, diskusi. Banyak penelitian, baik
yang dilakukan Cancian dan para pakar difusi lainnya, terdiri dari reanalisis perangkat
data yang ada yang tadinya dikumpulkan bukan untuk menguji hipotesis “Cancian Dip”.
Sejauh ini yang paling antusias adalah realisis yang terdiri dari lebih 6.000 petani yang
diwawancarai dalam tiga puluh tiga peneliti yang berbeda; masing-masing dari peneliti
asli memberikan data mereka pada Cancian (1976). Apakah kongklusi yang dapat dicapai
dengan analisis ini? Dalam 23 dari empat puluh sembilan perangkat data (masing-masing
menyajikan suatu sistem pertanian dimana suatu inovasi pertanian mencapai 25%
pengadopsian), “Cancian dip” didukung bahwa orang-orang kelas menengah bawah lebih
inovatif daripada kelas menengah atas. Di dua puluh enam dari empat puluh sembilan
situasi, Cancian dip tidak diketemukan (Cancian, 1979a: 75).
Maka keberlimpahan bukti yang mendukung hipotesis “Cancian dip” belum
diketemukan, walaupun ini berarti tidak lagi aman menduga bahwa status sosial ekonomi
dan keinovatifan itu berhubungan secara linier, terutama pada awal-awal proses difusi.
Bila hanya data dari negara-negara sedang berkembang yang dipergunakan, hipotesis
“Cancian dip” didukung 7 dari sembilan. Bagian kedua dari tesis cancian, bahwa orang-
orang menengah atas natinya mengejar kelompok menengah bawah dalam proses difusi
(sekitar setelah 50% pengadopsian) didukung oleh 25 sampai 24 (Cancian dip, 1976b:
73).
Tentunya penelitian lebih lanjut diperlukan sebelum pandangan Cancian tentang
konservatisme kelas menengah atas dalam mengahadapi ketidakpastian inovasi dapat
diterima atau ditolak. Sampai saat ini Prof. Cancian telah membuat suatu sumbangan
penting dalam mengingatkan para pakar difusi dan para agen pembaru bahwa hubungan
antara status sosial ekonomi (dan barangkali variabel-variabel independen lainnya)
dengan keinovatifan hendaknya tidak diasumsikan linier.
Variabel Kepribadian
Variabel kepribadian yang dihubungkan dengan keinovatifan belum ba-nyak
pendapat perhatian penelitian, sebagian karena sulitnya mengukur dimensi-dimensi
kepribadian dalam wawancara lapangan.
Rampatan 7-11: pengguna awal punya empati lebih besar daripada pengguna akhir.
Empati adalah kemampuan seseorang untuk memproyeksikan dirinya kedalam
peran orang lain. Kemampuan ini merupakan kualitas penting bagi Inovator, yang
harus dapat berfikir counter faktual (di luar fakta), imajinatif, dan mengambil
peran orang lain yang berbeda dengan dirinya agar dapat berkomunikasi efektif
dengannya. Dalam beberapa hal, Inovator harus dapat memproyeksikan (dalam
dirinya) peran orang-orang diluar sistem sosialnya sendiri (karena Inovator adalah
orang yang pertama kali mengadopsi inovasi di dalam sistem sosial setempat):
Inovator pada sistem sosial lain, agen pembaru dan bahkan karyawan litbang.
Rampatan 7-12: “pengguna awal punya kemampuan lebih besar untuk berfikir
abstrak daripada pengguna akhir”. Para Inovator harus dapat menerima ide baru
sebagian besar berdasarkan rangsangan-rangsangan abstrak, misalnya dia terima
dari mediamasa. Tetapi para pengguna berikutnya (lebih akhir) dapat
melihat/mengamati inovasi dari kegiatan teman-temannya secara langsung.
Karena itu tidak memerlukan kemampuan abstraksi.
Rampatan 7-13: “pengguna awal lebih rasional daripada pengguna akhir”.
Rasionalitas bermanfaat dalam kebanyakan cara yang efektif untuk mencapai
tujuan tertentu.
Rampatan 7-14: “pengguna awal lebih tinggi intelengensinya daripada pengguna
akhir“.
Rampatan 7-15: “pengguna awal lebih dapat menghadapi ketidakpastian daripada
pengguna akhir”.
Rampatan 7-16: “pengguna awal lebih positif sikapnya terhadap perubahan daripada
pengguna akhir”.
Rampatan 7-17: “pengguna awal lebih dapat menghadapi ketidakpastian daripada
pengguna akhir”.
Rampatan 7-18: “pengguna awal mempunyai sikap lebih positif terhadap pendidikan
daripada pengguna akhir”.
Rampatan 7-19: “pengguna awal mempunyai sikap positif daripada pengguna akhir”.
Karena kebanyakan inovasi adalah hasil penelitian ilmiah, adalah logis bahwa
Inovator harus lebih menyukai ilmu pengetahuan.
Rampatan 7-20: “pengguna awal kurang fatalistik (menyerap nasib) daripada
pengguna akhir”. Fatalisme adalah seberapa jauh seseorang memandang
ketiadaan kemampuan mengendalikan/ mengatur dirinya dimasa mendatang.
Seseorang cenderung mengadopsi inovasi bila ia percaya bahwa dia bisa
mengendalikan masa depannya daripada hanya berfikir bahwa masa depannya
hanya bergantung pada tafsir semata.
Rampatan 7-21: “pengguna awal lebih mempunyai motif berprestasi lebih tinggi
daripada pengguna akhir”. Motivasi berprestasi adalah suatu nilai sosial yang
menekankan kehendak untuk unggul.
Rampatan 7-22: “penguna awal mempunyai aspirasi lebih tinggi (terhadap pendidikan,
pekerjaan dsb) daripada pengguna akhir”.
Perilaku komunikasi
Rampatan 7-23: “pengguna awal punya partisipasi sosial lebih tinggi daripada
pengguna akhir.
Rampatan 7-24: “pengguna awal lebih keterkaitannya dengan anggota sistem
sosialnya daripada pengguna akhir”.
Rampatan 7-25: “pengguna awal lebih kosmopolit daripada pengguna akhir”.
Jejaring sosial Inovator mungkin lebih banyak diluar sistem sosialnya sendiri daripada di
dalam. Mereka banyak bepergian jauh dan terlibat dalm hal-hal yang berada di luar batas-
batas sistem setempat. Seperti tampak pada bab 2, para Inovator jagung hibrida bepergian
kepusat-pusat kota seperti Des Moines lebih sering daripada rata-rata petani (Ryan dan
Gross, 1943). Para dokter yang inovatif dalam obat-obatan harus lebih sering mengikuti
pertemuan-pertemuan profesional di luar kota daripada yang tidak inovatif (Coleman et al
1966). Kekosmopolitan adalah sejauh mana seseorang berorientasi keluar sistem
sosialnya.
Rampatan 7-26: “pengguna awal sering kontak dengan agen pembaru daripada
pengguna akhir”.
Rampatan 7-27: “pengguna awlsering terpajang saluran media masa daripada
pengguna akhir”.
Rampatan 7-28: “pengguna awal sering mengadakan kontak antar pribadi
daripada pengguna akhir”.
Rampatan 7-8: “pengguna awal lebih banyak mempunyai pengetahuan tentang
inovasi daripada pengguna akhir.
Rampatan 7-30: “pengguna awal mempunyai tingkat kepemimpinan pendapat
lebih tinggi daripada pengguna akhir”. Walaupun keinovatifan dan kepemimpinan
berhubungan positif, seberapa tingkat hubungan yang pasti antara kedua variabel ini
bergantung pada norma-norma yang menyokong perubahan, pemuka cenderung inovatif.
Rampatan 7-31: “pengguna awal cenderung menjadi bagian daripada sistem
yang saling berkaitan tinggi (sistem sosial yang padu) daripada pengguna akhir”.
Perembesan kebawah ide-ide baru secara internal dalam suatu sistem sangat padu adalah
lebih cepat, memungkinkan para anggotanya belajar inovasi lebih cepat.
Gambar 7-5.
Orang-orang atau unit-unit dalam suatu sistem sosial yang paling diharapkan
memperoleh keuntungan dari suatu ide teknologis baru (yakni mereka yang kurang
berpendidikan, miskin) umumnya merupakan orang yang paling akhir mengadosi inovasi
itu. Unit-unit dalam suatu sistem yang mengadopsi pertama kali pada umumnya kurang
diharapkan memperoleh keuntungan dari inovasi itu. Hubungan paradoksal antara
keinovatifan dan kebutuhan terhadap keuntungan inovasi ini cenderung menghasilkan
jurang yang semakin melebar antara golongan sosial ekonomi kuat dan lemah dalam
suatu sistem sosial. Dengan demikian salah satu konsekuensi dari kebanyakan inovasi
teknologis adalah memperluas jurang sosial ekonomi dalam suatu sistem sosial (lebih
rinci dalam bab 11).
Salah satu ilustrasi dalam hal ini adalah pengadopsian alat-alat kontrasepsi (KB)
di negara-negara sedang berkembang. Keluarga elit dimasyarakat ini relatif kecil
jumlahnya walaupun keluarga ini sebetulnya dapat memperoleh banyak anak. Ketika
program keluarga berencana nasional dilancarkan peme-rintah, keluarga-keluarga elit
inilah yang pertama kali mengadopsi inovasi (Rogers, 1973:408). Sementara keluarga elit
rata-rata mempunyai 2-3 anak, keluarga kelas bawah rata-rata mempunyai 5-6 anak (dan
sering kali mereka tidak bisa memberi makan, pakaian atau menekolahkan anaknya itu).
Keluarga-keluarga miskin umumnya tidak mengadopsi inovasi kontraseptif, walaupun
orang mungkin berfikir bahwa keluarga-keluarga itu merasakan kebutuhan yang lebih
kuat terhadap keluarga berencana. Jadi, paradoks itu terjadi di mana orang-orang yang
agaknya membutuhkan suatu inovasi kebanyakan orang yang paling akhir
mengadopsinya. Apakah yang menyebabkan terjadinya paradoks itu? Dalam kasus
keluarga berencana, para keluarga miskin itu percaya bahwa punya banyak anak
(terutama laki-laki) merupakan suatu aset ekonomis, yakni anak laki-laki dapat
membantu kerja di ladang, sekaligus sumber kebanggaan di antara teman-temannya. Para
orang tua miskin tidak percaya kepada petugas yang mengatakan bahwa keluarga kecil
adalah keluarga bahagia. Alasan kedua kecenderungan paradoksal bahwa orang yang
paling membutuhkan justru orang yang paling akhir mengadopsi, adalah bahwa agen
pembaru sering mengikuti srategi segmentasi yang paling sedikit hambatannya, yakni
terutama mereka menghubungi keluarga yang paling elit, yang sering kali respektif
terhadap inovasi (seperti yang ditunjukkan pada rampatan 7-3, 7-5, 7-7, 7-26).
Kebanyakan inoasi kontrasepsi memerlukan setidak-tidaknya beberapa sumber,
ketrampilan, dan/ atau latihan untuk mengadopsi, yang oleh anggota masyarakat yang
bukan elit tidak mungkin memiliki. Misalnya kebanyakan inovasi KB lebih mudah dan
lebih benar digunakan orang tua elit, Karena teknologi-teknologi ini
memerlukanperencanaan waktu, dan pemahaman tentang fungsi reproduksi, dan
ketrampilan lainnya. Maka bila metode-metode KB ini diberikan dalam bentuk program
pemerintah tanpa biaya, elit sosial ekonomi cenderung lebih inovatif, dan yang pertama
mengadopsi.
Paradoks keinovatifan kebutuhan tidak perlu terjadi, tertu saja agen pembaru
dapat melakukan strategi segmentasi “penghambat terbesar”, Dimana usaha komunikasi
dipusatkan pada kelompok-kelompok audien yang paling rendah status sosial
ekonominya, yang merasakan paling sedikit kebutuhan terhadap inovasi, dan sebaliknya
paling akhir mengadopsi (Rogers, 1973: 408). Konsekuensi yang tak mengutamakan
kecenderungan agen pembaru memusatkan usaha mereka pada para klien elit, sementara
mengabaikan kelompok mayoritas akhir dan laggard yang sulit dijangkau, adalah
melebarnya kesenjangan antara yang kaya informasi dan miskin informasi di dalam suatu
sistem sosial )Bab 11).
MEMPREDIKSI KEINOVATIFAN DENGAN TEKNIK KORELASI GANDA
Sejauh ini dalam bab ini kita telah melihat rampatan 2 variabel, masing-masing
terdiri suatu variabel bebas (suatu karakteristik katergori pengguna) yang dihubungkan
dengan variabel bergantung keinovatifan. Tentu saja hasilnya berupa rampatan-rampatan
yang agaknya telalu menyederhanakan kenyataan, dengan memperlakukan masing-
masing variabel bebas terpisah dalam hubungannya dengan keinovatifan. Banyak
variabel yang saling berhubungan satu dengan yang lain, sebagaimana keinovatifan.
Misalnya pendidikan dan status sosial ekonomi adalah juga berhubungan positif satu
sama lain. Teknik-teknik statistik seperti korelasi ganda memungkinkan kita menentukan
beberapa banyak varian dalam keinovatifan dijelaskan secara unik oleh covariannya
dalam pendidikan, sementara menggeser covariance baik keinovaifan dan pendidikan
dengan status sosial (dan variabel bebas lainnya.)
Korelasi ganda adalah prosedur statistik yang dirancang untuk menganalisis dan
menjelaskan varian dalam variabel berganda dalam komponen-komponen yang
dikarenakan efek berbagai variabel bebas. Tujuan pendekatan korelasi ganda adalah
memprediksi maksimum varian dalam variabel bebas, yang dalam kasus ini adalah
keinovatifan. Analisis korelasi ganda mulai digunakan pada pertengahan tahun 1950an,
dan lebih dari 60 kajian telah dilakukan dengan kecenderungan untuk menjelaskan lebih
banyak lagi varian dalam keinovatifan, sampai pada akhir 1960an telah mencapai 80%
varian dalam keinovatifan telah dijelaskan (Rogers dan Shoemaker, 1971: 193). Sebagian
ini mungkin dikarenakan kemajuan analisis data komputer, yang memungkinkan
memasukkan variabel bebas dalam jumlah yang lebih banyak dalam analisis. Selanjutnya,
makin banyak jenis variabel indenpenden yang dimaksukkan dalam kajian-kajian ini,
dimensi-dimensi ekonomik dan psikolog sosial bersama variabel-variabel yang
menunjukkan aspek sosio-struktural.
Pada akhir tahun 1960an, sejumlah analisis korelasi ganda dilakukan terhadap
keinovatifan organisasional, dimana variabel tergantungnya adalah sejauh mana suatu
organisasi (bukan perseorangan) itu inovatif; disini unit analisisnya organisasi. Sebuah
ilustrasi untuk hal ini adalah kajian Mohr (1969) tentang keinovatifan departemen-
departemen kesehatan kecamatan (semacam puskesmas), yang masing-masing organisasi
itu dianggap mempunyai skor keinovatifan yang lebih tinggi kalau mengadopsi ide-ide
kesehatan masyarakat baru. Sekitar 63% varian dalam keinovatifan organisasional
dijelaskan oleh variabel-variabel bebas seperti sumber-sumber yang dimiliki organisasi,
sikap direktur puskesmas, dan berbagai ciri organisasional lainnya (Bab 10).
Kecendurungan lain dalam penelitian prediksi keinovatifan ini adalah
memasukkan variabel-variabel bebas yang menggunakan (1) variabel tingkat sistem, dan
(2) variabel jaringan komunikasi, bersamaan dengan variabel-variabel tingkat individual,
untuk memprediksi keinovatifan seseorang (Rogers dan Kincaid, 1981:239-243).
Misalnya, variabel-variabel bebas tingkat sistem yang dipergunakan Lee (1977)
memasukkan tingkat pendidikan rata-rata di pedesaan Korea dan rata-rata jumlah kontak
agen baru dengan penduduk desa. Variabel jaringan sosial (social network) juga diukur,
misalnya sejauh mana seseorang saling terkaitkan dengan jaringan sosial penduduk
lainnya. Lee (1977) menemukan bahwa variabel-variabel tingkat individual dan jaringan
sosial lebih penting dalam menjelaskan keinovatifan seseorang dalam mengadopsi KB,
daripada variabel-variabel tingkat sistem. Hasil-hasil ini menjelaskan bahwa variabel-
variabel jaringan komunikasi harus dipertimbangkan untuk dicantumkan dalam kajian
yang memprediksi keinovatifan dimasa mendatang (Rogers dan Kincaid, 1981: 242).
Variabel-variabel tingkat sistem (seperti norma sistem) mungkin mempengaruhi perilaku
seseorang (seperti keinovatifan) melalui mata rantai jaringan sosial seseorang.
Kajian-kajian prediksi keinovatifan dimasa mendatang perlu meneruskan
kecenderungan belakangan ini yang memasukkan penganekaragaman yang lebih luas lagi
jenis-jenis variabel bebas, tingkat-tingkat unit analisis, dan mempertimbangkan metode-
metode prediksi lainya untuk melengkapi teknik korelasi ganda (misalnya prediksi klinis
dan metode konfigurasional). Tujuan akhir penelitian yang memprediksi keinovatifan
adalah peningkatan pemahaman antar hubungan yang rumit di antara variabel-variabel
bebas, dalam hubungannya dengan keinovatifan.
Saat ini, penelitian difusi telah terlalu banyak memusatkan perhatian pada (1)
penyelidikan ciri-ciri kategori pengguna, (2) dalam mengkaji suatu rentangan yang agak
terbatas variabel-variabel sifat tersebut. Apakah betul-betul kita butuhkan kajian ke-276
mengenai hubungan antara kependidikan dan keinovatifan? Saya kira bukan itu. Akan
jauh lebih bijaksana menggunakan sumber-sumber penelitian untuk menganalisis
variabel-variabel bebas lainnya yang berhubungan dengan keinovatifan, terutama
variabel jaringan sosial dan variabel-variabel tingkat sistem yang dapat membantu kita
menghindari berlebihan-lebihannya “individualisme”. Penelitian-penelitian masa lalu
mengenai keinovatifan, dimana kebanyakan variabel bebas kajian adalah ciri-ciri
individual yang tidak mencakup hubungan-hubungan antara pribadi yang juga merupakan
bagian penting difusi.
Barangkali disamping penelitian mengenai keinovatifan, para pakar dimasa
mendatang juga harus mengarahkan penelidikannya terhadap aspek-aspek proses difusi
lainnya.
Para peneliti difusi secara tradisional telah membatasi alat-alat penelitian mereka
untuk menguji irisan-irisan atau potong melintang (cross-section) proses difusi itu pada
satu titik waktu. Keterbatasan metordologis telah mengharukan analisis gerak lambat
(slow motion) yang mempertahankan suatu sayap proses tak bergerak sementara
dinamika difusi dapat diamati. Sekarang, dengan pertimbangan-pertimbangan waktu
keluwesan waktu yang di berikan komputer, memungkinkan menyatukan analisis tak
bergerak (stationary) dengan proses yang berlangsung dan menangkap variabel-variabel
yang penting dalam tindakan. Ia dapat di capai dengan teknik simulasi komputer.
Hasil-hasil simulasi komputer adalah reproduksi proses sosial yang berusaha
ditirukan seseorang. Jika proses yang tersimulasi tidak cocok dengan kenyataan,
seseorang tahu bahwa perlu ada penyesuaian-pentesuaian dalam model (atau seperangkat
aturan) yang mengatur proses yang disimulasikan.
Torsten Hagersstrand, seorang geografer kuantitatif di universitas Lund, Swedia,
adalah bapak penelitian simulasi difusi. Karyanya pada simulasi komputer dimulai pada
awal 1950an, tetapi hanya diterbitkan dalam bahasa Swedia sehingga pada beberapa
tahun rintangan bahasa telah mencegah penyebaran karyanya ini ke para peneliti di AS.
Dari pertengahan tahun 1960an, karya Hagerstrand telah mengalami kemajuan dalam
serangkaian penyelidikan yang menarik oleh para geografer kuantitatif dan yang lain.
Contoh-contoh simulasi seperti itu adalah difusi “sumur tanah” di Colorada (Bowden
1965a, 1965b) dan tentang inovasi pertanian di Colombia (Hanneman 1969, 1971) dan
Benzil (Carroll, 1969). Kajian-kajian ini dan lainnya yang serupa menunjukkan bahwa
simulasi komputer memungkinkan sebagai alat untuk mengeksplor kerumitan proses
difusi yang sudah lama tertutup. Betapapun potensi ini belum sepenuhnya direalisasikan.
Dalam contoh yang khas pendekatan Hagerstrand terhadap simulasi difusi, proses
dimulasi dengan pengguna pertama suatu inovasi. Aturan-aturan simulasi memperkirakan
bahwa pengguna berikutnya (1) relatif homofilius dengan pengguna sebelumnya dalam
ciri-ciri sosial ekonominya (Hagerstrand 1952, 1953, 1965 dan 1969). Aturan-aturan
difusi tersimulasi ini dilakukan oleh program komputer yang mengulangnya dalam urutan
“generation”, masing-masing adalah suatu periode waktu misalnya satu bulan dan satu
tahun (Pitts, 1967). Kemudian proses difusi yang disimulasikan itu dibandingkan dengan
data nyata kecepatan adopsi dalam rangka menentukan keefektifan model itu.
RINGKASAN