You are on page 1of 111

KAJIAN PERENCANAAN DAN PEMANFAATAN RUANG

DI KAWASAN CAGAR BIOSFER CIBODAS

RIZA EFENDY

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kajian Perencanaan dan
Pemanfaatan Ruang di Kawasan Cagar Biosfer Cibodas adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, September 2015

Riza Efendy
NIM A156130354
RINGKASAN

RIZA EFENDY. Kajian Perencanaan dan Pemanfaatan Ruang di Kawasan Cagar


Biosfer Cibodas. Dibimbing oleh BABA BARUS dan ERNAN RUSTIADI.

Cagar biosfer merupakan salah satu konsep pengelolaan kawasan yang


mengintegrasikan antara fungsi lindung dan fungsi budidaya. Cagar Biosfer
Cibodas (CBC) merupakan salah satu dari sepuluh cagar biosfer yang ada di
Indonesia. Cagar Biosfer Cibodas berada di kawasan Gunung Gede Pangrango
dan sekitarnya. Secara administratif berada di tiga Kabupaten yaitu Kabupaten
Bogor, Cianjur dan Sukabumi. Pengelolaan Cagar Biosfer Cibodas dibagi dalam
tiga zona yaitu area inti, zona penyangga dan area transisi. Area inti berupa
kawasan konservasi dan sebagian besar wilayahnya merupakan hutan hujan tropis.
Pada zona penyangga dan transisi merupakan wilayah pemanfaatan dan
pemukiman penduduk. Seiring dengan pertambahan jumlah penduduk,
pertumbuhan ekonomi dan perubahan penggunaan/penutupan lahan di Cagar
Biosfer Cibodas, telah terjadi penurunan fungsi lindung kawasan yang ditandai
dengan semakin banyaknya permasalahan lingkungan yang terjadi di sekitar
kawasan CBC maupun didaerah hilir yang sering dikaitkan dengan kerusakan
lingkungan di kawasan CBC.
Tujuan penelitian ini adalah untuk: (1) menganalisis penggunaan/ penutupan
lahan di Kawasan CBC, (2) menganalisis perencanaan pola ruang di Kawasan
CBC, (3) menganalisis tingkat perkembangan desa dan tingkat kemiskinan di
Kawasan CBC, (4) menyusun tipologi pemanfaatan ruang, dan (5) menyusun
arahan kebijakan pengelolaan Kawasan Cagar Biosfer Cibodas. Metode yang
digunakan untuk menganalisis penggunaan/penutupan lahan dengan interpretasi
visual citra Landsat TM 8 Tahun 2014. Analisis perencanaan pola ruang dengan
analisis SIG yaitu overlay antara peta penggunaan/penutupan lahan dengan peta
rencana pola ruang Provinsi Jawa Barat, Kabupaten Bogor, Cianjur dan
Sukabumi. Analisis tingkat perkembangan wilayah desa menggunakan analisis
skalogram berdasarkan variabel kelompok data aksesibilitas, fasilitas pendidikan,
fasilitas kesehatan dan fasilitas ekonomi. Tipologi pemanfaatan ruang disusun
berdasarkan parameter-parameter sosial ekonomi wilayah yaitu tingkat
perkembangan wilayah dan tingkat kemiskinan dan aspek fisik lahan yaitu
penggunaan/penutupan lahan dan kemiringan lereng di setiap desa. Kedua
parameter tersebut masing-masing dikelompokkan dengan analisis klaster
berhirarki dengan metode Ward’s dan K’means cluster sehingga dihasilkan klaster
desa sosial ekonomi wilayah dan klaster desa fisik lahan. Arahan kebijakan
pengelolaan disusun menggunakan analisis deskriptif dari hasil-hasil analisis
tujuan sebelumnya.
Hasil analisis menunjukkan bahwa penggunaan/penutupan lahan di Cagar
Biosfer Cibodas didominasi oleh kelas hutan dengan luas 25 738.66 ha atau 29.38
% dari luas wilayah. Selanjutnya berturut-turut adalah tanaman pertanian lahan
kering dengan luas (23 092.10 ha. 26.36 %), tanaman pertanian lahan basah (16
997.81 ha, 19.40 %), lahan terbangun (12 066.22 ha, 13.77 %), perkebunan (4
910.32 ha, 5.61 %), belukar/ semak (4 060.54 ha, 4.64 %), rumput/tanah kosong
(663.49 ha, 0.76 %) dan tubuh air (73.95 ha, 0.08 %). Berdasarkan proporsi setiap
kelas penggunaan/ penutupan lahan masih menunjukkan kondisi yang baik karena
persentase penggunaan/ penutupan lahan berupa vegetasi masih dominan dan
sebaran lahan terbangun lebih banyak berada pada area transisi. Salah satu
permasalahan penggunaan/penutupan lahan di kawasan CBC adalah adanya
penggunaan/penutupan lahan yang tidak sesuai dengan fungsi area inti dan perlu
segera diselesaikan.
Hasil analisis perencanaan pola ruang di Kawasan CBC menunjukkan
bahwa beberapa penggunaan/penutupan lahan saat ini tidak sesuai dengan alokasi
rencana pola ruang yang telah dibuat dan dapat menimbulkan permasalahan dalam
pelaksanaannya. Permasalahan ini terdapat di semua Kabupaten. Selain itu,
diantara dokumen perencanaan pola ruang Provinsi Jawa Barat, Kabupaten Bogor,
Cianjur dan Sukabumi terdapat penggunaan nomenklatur yang tidak sama dalam
penamaan fungsi kawasan sehingga dapat menimbulkan perbedaan persepsi dalam
memahami dokumen perencanaan.
Pada analisis skalogram dihasilkan Indeks Perkembangan Desa (IPD) yang
menggambarkan tingkat perkembangan desa tersebut. Nilai IPD tertinggi adalah
66.95 dan nilai IPD terendah adalah 3.70 dengan nilai rataan 15.83. Berdasarkan
perkembangan wilayahnya desa-desa yang ada di Cagar Biosfer Cibodas terbagi
menjadi desa hirarki I sebanyak 18 desa (12.41 %), desa hirarki II sebanyak 31
desa (21.38 %) dan desa hirarki III sebanyak 96 desa (66.21 %). Berbanding
terbalik dengan tingkat kemiskinan dimana desa dengan tingkat kemiskinan tinggi
sebanyak 22 desa (15.17 %), tingkat kemiskinan sedang sebanyak 41 desa (28.28
%) dan tingkat kemiskinan rendah sebanyak 82 desa (56.55 %).
Berdasarkan skenario penyusunan tipologi, di kawasan Cagar Biosfer
Cibodas terdapat sembilan tipologi desa. Tipologi pada zona penyangga
didominasi oleh tipologi desa S1 F3 sedangkan pada area transisi didominasi oleh
tipologi desa S3 F1. Pembuatan tipologi merupakan salah satu pendekatan dalam
penyusunan arahan kebijakan pengelolaan yang spesifik dan sesuai dengan
kondisi yang ada. Arahan kebijakan pengelolaan Cagar Biosfer Cibodas dengan
membagi kawasan CBC menjadi empat wilayah pengelolaan yaitu Wilayah
Pengelolaan Area Inti, Wilayah Pengelolaan Bogor, Wilayah Pengelolaan Cianjur
dan Wilayah Pengelolaan Sukabumi. Arahan kebijakan difokuskan pada
penyelesain permasalahan yang terkait dengan penggunaan/ penutupan lahan,
tingkat perkembangan desa, tingkat kemiskinan, topografi dan perencanaan pola
ruang yang prioritas penanganannya disesuaikan dengan tipologi desa.

Kata kunci : Cagar Biosfer Cibodas, rencana pola ruang, tingkat perkembangan
desa, tipologi desa, wilayah pengelolaan
SUMMARY

RIZA EFENDY. Study of Planning and Spatial Utilization in Cibodas Biosphere


Reserve Area. Supervised by BABA BARUS and ERNAN RUSTIADI.

Biosphere reserve is a management concept that harmonize between society


and nature. Cibodas Biosphere Reserve (CBR) is one of ten biosphere reserves in
Indonesia. Cibodas Biosphere Reserve is in the region of Mount Gede-Pangrango
and surroundings. Administratively CBR is located in Bogor, Cianjur and
Sukabumi Regency. Cibodas Biosphere Reserve is divided into three zones: the
core areas, buffer zones and transition areas. Core areas are conservation areas
which dominated by tropical rain forest. The population growth and increase of
economic activities in its surrounding areas have an impact on land use/cover
changes in the CBR. This land use/cover changes have been followed by a decline
in the protective function of CBR which is marked by the increasing number of
environmental problems in the CBR as well as its downstream area.
The objectives of this study were to: (1) analyze the land use/cover in the
area of CBR, (2) analyzing the planning of spatial patterns in the area of CBR, (3)
analyze the level of rural development and poverty levels in the area of CBR, (4)
develop a typology of villages in the area of CBR, and (5) developing policy
directives management of CBR. The method used to analyze the land use/cover
with a visual interpretation of Landsat TM 8 2014. To analyze the spatial-pattern
plan, we employed GIS analysis that overlay the map of land use/cover with
spatial plan maps of West Java province as well as Bogor, Cianjur and Sukabumi
Regencies. A schallogram analysis, which based on accessibility as well as
education, health, and economic facilities data set was employed to analyze the
level of village development. The typology of villages was developed based on
socioeconomic characteristics (regional economic growth and poverty level) and
some physical aspects (land use/cover and slope) in each village. Each of the
parameters grouped by hierarchical clustering analysis using Ward's method and
K' means clustering. Direction of management policy was compiled using
descriptive analysis of the results of previous objectives.
The analysis showed that the land use/cover classes are dominated by forest
with an area of 25 738.66 ha or 29.38% of the total area, followed by dry-land
agriculture (23 092.10 ha, 26.36%), ricefield (16 997.81 ha, 19.40%), built-up
area (12 066.22 ha, 13.77%), plantations (4 910.32 ha, 5.61%), shrub/bush (4
060.54 ha, 4.64%), grassland/ abandon land (663.49 ha, 0.76%) and water body
(73.95 ha, 0.08%). Based on the proportion of each land use/ cover class still
showed a good condition due to the percentage of vegetation are still the dominant
form and distribution of constructed land more are in the transition area. One of
the main issues in CBR is the presence of land use/cover that is not consistent
with the function of the core of biosphere reserve area
Results of the analysis on the existing spatial pattern of CBR showed that
some land use/cover was currently not in accordance with the spatial plan. and can
cause problems in implementation. These conditions can cause problems in their
implementation and controlling. This problem is present in all districts. Moreover,
the different spatial plan documents are not using consistence nomenclature in
naming area function so that can make a difference of perception in understanding
the planning documents.
Schallogram analysis generates Village Development Index (VDI), which
describes the level of development of the village. Based on the level of
development, the villages are divided into 3 hierarchical. The hierarchy I have 18
villages (12.41 %) with high level of development, the hierarchy II has 31
villages (21.38 %) with moderate level of development and the hierarchy III have
96 villages (66.21 %) with a low level of development. It's inversely proportional
to the level of poverty in which village with high poverty levels, as many as 22
villages (15.17%), intermediate poverty rates as much as 41 villages (28.28%) and
lower poverty rates as much as 82 villages (56.55%).
Based on scenario of typology, there are nine village types in CBR. The
buffer zone is dominated by S1-F3 village type while in the transition area is
dominated by S3-F1 type. The management policy of CBR focused to solve of
socioeconomic and physical land problems. Making the typology is one approach
in the preparation of specific management policy directives and in accordance
with the conditions of the CBR. Directives on management policy of CBR by
dividing the CBR region into four regions, namely the Core Management Area,
Bogor Management Area, Cianjur Management Area and Sukabumi Management
Area. Policy focused on completion of the land use/cover problems, the level of
rural development, poverty, topography and planning the spatial use which
handling priority adapted to the rural typology.

Keywords : Cibodas Biosphere Reserve, level of village development,


management area, village tipology, spatial pattern plan
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KAJIAN PERENCANAAN DAN PEMANFAATAN RUANG
DI KAWASAN CAGAR BIOSFER CIBODAS

RIZA EFENDY

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Omo Rusdiana, MScForestTrop
Judul Tesis : Kajian Perencanaan dan Pemanfaatan Ruang di Kawasan Cagar
Biosfer Cibodas
Nama : Riza Efendy
NIM : A156130354

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Ir Baba Barus, MSc Dr Ir Ernan Rustiadi, MAgr


Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana


Ilmu Perencanaan Wilayah

Prof Dr Ir Santun R.P. Sitorus Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 26 Juni 2015 Tanggal Lulus:


PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2014 sampai
dengan Januari 2015 ini ialah pengelolaan kawasan yang mengintegrasikan antara
fungsi lindung dan fungsi budidaya pada kawasan dengan status internasional
yang ditetapkan oleh UNESCO yaitu Cagar Biosfer. Adapun judul tesis ini adalah
Kajian Perencanaan dan Pemanfaatan Ruang di Kawasan Cagar Biosfer Cibodas.
Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan
kepada:
1. Dr Ir Baba Barus, MSc selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr Ir Ernan
Rustiadi, MAgr selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak
memberikan arahan, saran dan bimbingan dalam penyusunan tesis ini.
2. Dr Ir Omo Rusdiana, MScForestTrop selaku penguji luar komisi yang telah
memberikan koreksi dan masukan bagi penyempurnaan tesis ini.
3. Ketua Program Studi serta segenap dosen pengajar dan staf pada Program
Studi Ilmu Perencanaan Wilayah, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor.
4. Kepala Pusat Pembinaan Pendidikan dan Pelatihan Perencanaan
(Pusbindiklatren) Badan Perencanaan Pembangunan Nasional beserta
jajarannya atas kesempatan beasiswa yang diberikan kepada penulis.
5. Ayah Usman Iskandar (alm) dan ibu tercinta Narti Sunarti, Abah Apandi
Nurdin dan Amih Neni serta seluruh keluarga yang senantiasa mendoakan
dan memberikan dukungan bagi penulis.
6. Istri tercinta Ika Sartika dan anak-anakku tersayang Putri Azka F. Nizma,
Ayudhia Shazia H. Nizma dan Davian Alif Haafidz untuk segala doa,
dukungan, kesabaran dan kasih sayangnya.
7. Teman-teman PWL 2013 Kelas Bappenas untuk kebersamaan, diskusi, canda
tawa dan semangatnya.
8. Kang Heri Suheri dan Kang Ade Bagja dari BBTNGGP yang telah membantu
dalam pengumpulan data dan diskusi-diskusi yang menarik, serta semua
pihak yang berperan dalam proses penulisan tesis ini yang tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2015

Riza Efendy
DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL viii


DAFTAR GAMBAR ix
DAFTAR LAMPIRAN ix
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 3
Tujuan Penelitian 3
Manfaat Penelitian 4
Ruang Lingkup Penelitian 4
2 TINJAUAN PUSTAKA 5
Cagar Biosfer 5
Perencanaan Ruang Wilayah 6
Pengembangan Wilayah 8
Hirarki Wilayah 10
Penggunaan dan Penutupan Lahan 10
Penginderaan Jauh 11
Sistem Informasi Geografis 12
3 METODE 15
Kerangka Pemikiran 15
Lokasi dan Waktu Penelitian 18
Bahan dan Alat 18
Metode Pengumpulan Data 19
Metode dan Teknik Analisis 20
Analisis Penggunaan/Penutupan Lahan 20
Analisis Perencanaan Pola Ruang di Cagar Biosfer Cibodas 22
Analisis Perkembangan Wilayah dan Tingkat Kemiskinan 22
Tipologi Pemanfaatan Ruang di Cagar Biosfer Cibodas 25
Arahan Kebijakan Pengelolaan 26
4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 27
Cagar Biosfer Cibodas 27
Administrasi 27
Iklim 28
Hidrologi 28
Topografi 28
Perkembangan Batas dan Zonasi Cagar Biosfer Cibodas 29
5 HASIL DAN PEMBAHASAN 33
Penggunaan/Penutupan Lahan di Cagar Biosfer Cibodas 33
Analisis Perencanaan Pola Ruang di Kawasan CBC 45
Analisis Perkembangan Wilayah 52
Perkembangan Wilayah dan Tingkat Kemiskinan 58
Tipologi Pemanfaatan Ruang di Cagar Biosfer Cibodas 62
Arahan Kebijakan Pengelolaan 65
6 SIMPULAN DAN SARAN 76
Simpulan 76
Saran 78
DAFTAR PUSTAKA 79
LAMPIRAN 83
RIWAYAT HIDUP 93
DAFTAR TABEL

1 Tujuan, Jenis Data, Sumber Data, Teknik Analisis Dan Keluaran 19


2 Rincian wilayah administratif kabupaten, kecamatan dan desa di Cagar
Biosfer Cibodas 27
3 Kemiringan lereng di kawasan Cagar Biosfer Cibodas 29
4 Struktur Penggunaan/Penutupan Lahan di Cagar Biosfer Cibodas 33
5 Luas Penggunaan/Penutupan Lahan berdasarkan Kemiringan Lereng 36
6 Struktur penggunaan/penutupan lahan di Cagar Biosfer Cibodas per
Kabupaten 37
7 Penggunaan/Penutupan Lahan di Setiap Zona Cagar Biosfer Cibodas 39
8 Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan fungsi Area Inti di setiap
Kabupaten 41
9 Penggunaan/penutupan lahan aktual di kawasan CBC pada rencana pola
ruang Provinsi Jawa Barat 46
10 Penggunaan/penutupan lahan aktual di kawasan CBC pada rencana pola
ruang Kabupaten Bogor 48
11 Penggunaan/penutupan lahan aktual di kawasan CBC pada rencana pola
ruang Kabupaten Cianjur 49
12 Penggunaan/penutupan lahan aktual di kawasan CBC pada rencana pola
ruang Kabupaten Sukabumi 50
13 Perbandingan nomenklatur fungsi kawasan dalam Rencana Pola Ruang
Provinsi, Kabupaten Bogor, Cianjur dan Sukabumi di kawasan CBC 51
14 Parameter Hirarki Wilayah 52
15 Rincian jumlah desa berdasarkan tingkat perkembangan desa di
kawasan CBC 53
16 Rekapitulasi jumlah desa di Cagar Biosfer Cibodas berdasarkan tingkat
hirarkinya di setiap Kabupaten 54
17 Jumlah Hirarki Desa di Setiap Zona 58
18 Proporsi jumlah penduduk miskin setiap Kabupaten 59
19 Perbandingan tingkat perkembangan desa dengan tingkat kemiskinan 59
20 Perbandingan tingkat perkembangan desa dengan tingkat kemiskinan
per Kabupaten 60
21 Sebaran tingkat kemiskinan berdasarkan zonasi cagar biosfer 61
22 Jumlah desa berdasarkan tipologi desa di setiap Kabupaten 64
23 Tipologi desa di setiap wilayah pengelolaan Bogor, Cianjur dan
Sukabumi 69
24 Arahan kebijakan pengelolaan kawasan CBC 72
DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka Pemikiran Penelitian 16


2 Diagram Alir Tahapan Penelitian 17
3 Peta Lokasi Cagar Biosfer Cibodas 18
4 Peta kemiringan lereng di Cagar Biosfer Cibodas 29
5 Peta Cagar Biosfer Cibodas Batas Lama (1977-2012) 31
6 Peta Cagar Biosfer Cibodas saat ini (2012 – sekarang) 32
7 Struktur Penggunaan/Penutupan Lahan di Cagar Biosfer Cibodas 34
8 Peta Penggunaan/Penutupan Lahan di Cagar Biosfer Cibodas 34
9 Grafik Penggunaan/Penutupan Lahan Cagar Biosfer Cibodas di setiap
Kabupaten 38
10 Grafik Penggunaan/Penutupan Lahan di Setiap Zona CBC 40
11 Peta Penggunaan/Penutupan Lahan di Area Inti Cagar Biosfer Cibodas 41
12 Peta Penggunaan/Penutupan Lahan di Zona Penyangga CBC 43
13 Peta Penggunaan/Penutupan Lahan di Area Transisi CBC 44
14 Peta rencana pola ruang Provinsi Jawa Barat di Kawasan CBC 47
15 Peta rencana pola ruang Kabupaten Bogor, Cianjur dan Sukabumi di
Kawasan CBC 47
16 Grafik komposisi hirarki desa di setiap Kabupaten 55
17 Peta Tingkat Perkembangan Desa di Cagar Biosfer Cibodas 56
18 Struktur penggunaan/penutupan lahan di setiap tingkatan hirarki 57
19 Grafik perbandingan tingkat perkembangan desa dan tingkat
kemiskinan di Kawasan CBC 60
20 Peta sebaran tingkat kemiskinan dan perkembangan wilayah di CBC 62
21 Diagram penyusunan tipologi desa di Cagar Biosfer Cibodas 63
22 Peta tipologi desa di Cagar Biosfer Cibodas 65
23 Peta pembagian wilayah pengelolaan di kawasan CBC 66
24 Peta desa prioritas penanganan permasalahan perkembangan wilayah 74
25 Peta desa prioritas penanganan permasalahan tingkat kemiskinan 74
26 Peta desa prioritas penanganan permasalahan ancaman konversi lahan 75
27 Peta desa prioritas penanganan permasalahan fungsi resapan air 75

DAFTAR LAMPIRAN

1 Confussion matrix hasil verifikasi uji akurasi hasil klasifikasi 83


2 Variabel awal analisis skalogram 83
3 Variabel terkoreksi analisis faktor untuk analisis skalogram 84
4 Hasil Analisis Skalogram pada desa-desa di Cagar Biosfer Cibodas 85
5 Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan Area Inti 88
6 Tingkat Kemiskinan dan Perkembangan Wilayah di Setiap Desa 89
1

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Cagar Biosfer merupakan suatu kawasan yang ditunjuk dan ditetapkan oleh
UNESCO melalui program Man and Biosphere (MAB). Program MAB dibentuk
untuk meningkatkan kualitas hubungan antara manusia dengan lingkungannya
yang didasarkan pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Salah satunya adalah
untuk mengatasi permasalahan pemanfaatan sumber daya hayati yang dirasakan
dampaknya serta menimbulkan “biodiversity lost”, kemunduran kualitas
lingkungan dan tidak terencananya tata guna lahan.
Pengelolaan cagar biosfer menggunakan sistem zonasi dimana wilayah
cagar biosfer dibagi menjadi tiga zona yaitu (1) Area Inti adalah kawasan
konservasi atau kawasan lindung dengan luas yang memadai, mempunyai
perlindungan hukum jangka panjang, untuk melestarikan keanekaragaman hayati
beserta ekosistemnya; (2) Zona Penyangga, adalah wilayah yang mengelilingi
atau berdampingan dengan area inti dan teridentifikasi, untuk melindungi area inti
dari dampak negatif kegiatan manusia. Hanya kegiatan-kegiatan yang sesuai
dengan tujuan konservasi yang dapat dilakukan, dan (3) Area Transisi adalah
wilayah terluar dan terluas yang mengelilingi atau berdampingan dengan zona
penyangga. Kegiatan-kegiatan pengelolaan sumberdaya alam secara lestari dan
model-model pembangunan berkelanjutan dipromosikan dan dikembangkan
(MAB-LIPI 2010). Cagar biosfer merupakan kawasan yang tepat untuk
mengimplementasikan pendekatan pembangunan berkelanjutan (sustainable
development) dengan membangun tiga pilar yaitu ekonomi, sosial dan lingkungan
(BBTNGGP 2012). Cagar biosfer merupakan salah satu konsep pengelolaan
kawasan yang mengintegrasikan antara fungsi lindung dan fungsi budidaya.
Cagar Biosfer Cibodas (CBC) merupakan salah satu dari sepuluh cagar
biosfer yang ada di Indonesia dengan ekosistem terbesar merupkan hutan hujan
pegunungan. Kawasan CBC memiliki berbagai fungsi penting, salah satunya
adalah fungsi ekologis seperti pengendali banjir, erosi, pencemaran, dan
pengendalian iklim global. Kawasan CBC merupakan kawasan yang amat penting
dalam fungsi hidrologis bagi masyarakat yang tinggal disekitarnya. Kawasan ini
menjadi bagian dari Daerah Aliran Sungai (DAS) yang amat penting dan
merupakan daerah tangkapan air bagi sungai Ciliwung, Citarum, Cimandiri dan
Cisadane.
Sejak ditetapkannya sebagai cagar biosfer pada tahun 1977, penggunaan/
penutupan lahan di Cagar Biosfer Cibodas terutama pada zona penyangga dan
area transisi banyak mengalami perubahan. Peningkatan jumlah penduduk
merupakan salah satu faktor pendorong terjadinya konversi lahan karena dengan
bertambahnya penduduk maka kebutuhan akan lahan semakin bertambah pula.
Kepentingan banyak pihak untuk memanfaatkan potensi kawasan cagar biosfer
turut mempercepat laju konversi lahan. Bentuk-bentuk pemanfaatan lahan yang
dilakukan untuk pemenuhan kebutuhan hidup diantaranya adalah kegiatan
pertanian, pemukiman, perkebunan, dan kegiatan lainnya. Penelitian Hesaki
(2012) menunjukkan adanya pertambahan luasan permukiman sebesar 3 207.04
2

ha atau 4.22 % di kawasan Cagar Biosfer Cibodas (dengan batas lama) dalam
kurun waktu 12 tahun (1999-2011).
Tingkat kesejahteraan yang rendah pada masyarakat di sekitar hutan juga
sering dikaitkan sebagai penyebab kerusakan hutan. Aji et al. (2011) menyatakan
jumlah penduduk miskin di sekitar hutan di Indonesia sangat besar bahkan
diperkirakan lebih besar dari jumlah penduduk miskin di desa-desa di luar hutan
dan di daerah perkotaan. Salim (1991) menyatakan bahwa masalah lingkungan
yang dihadapi negara-negara berkembang banyak ditimbulkan oleh kemiskinan
yang memaksa rakyat merusak lingkungan alam. Hutan ditebangi terutama untuk
memperoleh tanah yang dirasakan semakin langka di negara berkembang yang
banyak penduduk. Kayu bakar adalah energi utama bagi rakyat kecil di pedesaan
untuk memasak dan pemanasan. Selama pilihan lain bagi sumber energi tidak
tersedia dalam jangkauan daya beli rakyat maka masyarakat terpaksa membabat
hutan untuk memperoleh kayu bakar.
Untuk melestarikan fungsi kawasan CBC perlu dilakukan pengelolaan
secara bijaksana dengan memperhatikan keseimbangan ekologis dan kepentingan
generasi sekarang dan mendatang. Pendekatan pembangunan berkelanjutan
merupakan pendekatan yang paling sesuai. Namun demikian, pelaksanaan
pembangunan berkelanjutan tidak dapat dilaksanakan dengan mudah. Lokasinya
yang strategis di dekat ibukota negara serta keindahan panoramanya, kawasan ini
lebih banyak dikembangkan untuk pembangunan ekonomi dan seringkali masalah
sosial dan lingkungan banyak diabaikan. Kan perencanaan dan pemanfaatan ruang
di kawasan Cagar Biosfer Cibodas diperlukan untuk mendapatkan gambaran
tipologi pemanfaatan ruang yang ada di kawasan Cagar Biosfer Cibodas saat ini.
Dinamika pemanfaatan ruang tidak selalu mengarah pada optimalisasi
pemanfaatan sumberdaya yang ada, hal ini terutama disebabkan oleh terus
meningkatnya kebutuhan ruang sejalan dengan perkembangan kegiatan budidaya
sementara keberadaan ruang bersifat terbatas.
Berbagai teknik analisis seperti teknik penginderaan jauh dan sistem
informasi geografi (SIG) dapat digunakan untuk memberikan gambaran
penggunaan lahan. Informasi spasial memberikan data atau informasi yang
komplek dan lebih akurat. Informasi spasial yang akurat dapat diperoleh melalui
integrasi antara teknologi penginderaan jauh yang menghasilkan peta lokasi suatu
wilayah dipadukan dengan Sistem Informasi Geografis merupakan salah satu
alternatif informasi spasial yang up to date. Kemajuan teknologi ini mengantarkan
kita lebih mudah dalam menganalisis kondisi tata ruang di suatu wilayah dan
menunjang proses perencanaan terutama pengumpulan dan penyediaan data
spasial. Analsis terhadap kondisi perkembangan wilayah dan tingkat kemiskinan
digunakan untuk mendapatkan informasi kondisi sosial ekonomi wilayah. Untuk
mendapatkan informasi secara keruangan, hasil analisis pada kondisi sosial
ekonomi wilayah juga disajikan secara spasial. Selanjutnya, berpedoman pada
hasil kajian ini dapat dibentuk tipologi setiap desa sehingga dapat dijadikan
sebagai bahan pertimbangan dalam membuat perencanaan kebijakan pengeloaan
di kawasan Cagar Biosfer Cibodas.
3

Perumusan Masalah

Kawasan CBC memiliki berbagai fungsi ekologis seperti pengendali banjir,


erosi, pencemaran dan pengendalian iklim global. Selain itu, berfungsi sebagai
penyangga kehidupan secara langsung, seperti sumber air minum dan habitat
beranekaragam makhluk hidup. Kawasan CBC merupakan kawasan yang amat
penting dalam fungsi hidrologis bagi masyarakat yang tinggal disekitarnya.
Kawasan ini menjadi bagian dari Daerah Aliran Sungai (DAS) yang amat penting
dan merupakan daerah tangkapan air bagi sungai Ciliwung, Citarum, Cimandiri,
dan Cisadane.
Seiring dengan pertambahan jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi dan
perubahan penggunaan/penutupan lahan di Cagar Biosfer Cibodas, telah terjadi
penurunan fungsi lindung kawasan. Terjadinya penurunan fungsi lindung di
kawasan CBC salah satunya ditandai dengan semakin seringnya terjadi bencana
banjir pada wilayah hilir (Jakarta) yang sering dihubungkan dengan kerusakan
lingkungan pada daerah hulunya yaitu daerah Puncak dan sekitarnya. Tingkat
kesejahteraan masyarakat yang tinggal di kawasan CBC yang rendah juga sering
dituding sebagai salah satu penyebab kerusakan hutan. Oleh karena itu kehidupan
masyarakat di kawasan CBC harus sejahtera melalui berbagai aktivitas ekonomi
namun dengan tetap menjaga kelestarian kawasan CBC. Informasi tentang kondisi
aktual penggunaan/ penutupan lahan, perencanaan pola ruang, perkembangan
wilayah, tingkat kemiskinan dan tipologi pemanfaatan ruang di Cagar Biosfer
Cibodas merupakan hal penting untuk diketahui untuk membuat perencanaan dan
arahan kebijakan pengelolaan yang sesuai dengan kondisi setempat.
Berdasarkan uraian rumusan masalah tersebut, disusun pertanyaan
penelitian (research question) sebagai berikut:
1. Bagaimana kondisi penggunaan/penutupan lahan di kawasan Cagar Biosfer
Cibodas saat ini?
2. Bagaimana perencanaan pola ruang di kawasan Cagar Biosfer Cibodas?
3. Bagaimana tingkat perkembangan wilayah desa dan tingkat kemiskinan yang
ada di kawasan Cagar Biosfer Cibodas?
4. Bagaimana tipologi pemanfaatan ruang di kawasan Cagar Biosfer Cibodas ?
5. Bagaimana kebijakan pengelolaan di Kawasan Cagar Biosfer Cibodas?

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :


1. Menganalisis penggunaan/penutupan lahan di Cagar Biosfer Cibodas
2. Menganalisis perencanaan pola ruang di Cagar Biosfer Cibodas
3. Menganalisis tingkat perkembangan desa dan tingkat kemiskinan di wilayah
sekitar Cagar Biosfer Cibodas
4. Menyusun tipologi pemanfaatan ruang di Cagar Biosfer Cibodas
5. Menyusun arahan kebijakan pengelolaan Cagar Biosfer Cibodas
4

Manfaat Penelitian

Hasil kajian dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat


sebagai berikut:
1. Sebagai bahan masukan bagi Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede
Pangrango dan Balai Besar KSDA Jawa Barat dalam membuat rencana
pengelolaan kawasan area inti Cagar Biosfer Cibodas.
2. Sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi pemerintah daerah Kabupaten
Bogor, Cianjur dan Sukabumi dalam menyusun perencanaan di wilayah-
wilayah yang masuk dalam kawasan Cagar Biosfer Cibodas
3. Menambah khasanah ilmu pengetahuan dan bahan pustaka bagi penelitian-
penelitian selanjutnya.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini dibatasi dengan penekanan pada kajian aspek
fisik lahan dan sosial ekonomi wilayah pada desa-desa di kawasan Cagar Biosfer
Cibodas. Oleh karena itu, batasan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Aspek fisik lahan yang dikaji meliputi penggunaan/penutupan lahan dan
tingkat kemiringan lereng. Pemggunaan/penutupan lahan diperoleh melalui
interpretasi Citra Satelit resolusi rendah hingga menengah, sedangkan
kemiringan lereng dari hasil pengolahan data SRTM.
2. Aspek sosial ekonomi wilayah terdiri dari tingkat perkembangan wilayah dan
tingkat kemiskinan. Tingkat perkembangan wilayah di analisis melalui
jumlah dan jenis fasilitas yang dimiliki pada unit desa-desa yang berada
dalam kawasan Cagar Biosfer Cibodas, sedangkan tingkat kemiskinan
diperoleh dari proporsi jumlah penduduk miskin di setiap desa.
3. Arahan kebijakan pengelolaan dibatasi pada sintesis hasil analisis sebelumnya.
5

2 TINJAUAN PUSTAKA

Cagar Biosfer

Cagar Biosfer adalah situs yang ditunjuk oleh berbagai negara melalui
kerjasama program Man and Biosphere (MAB-UNESCO) untuk mempromosikan
konservasi keanekaragaman hayati dan pembangunan berkelanjutan, berdasarkan
pada upaya masyarakat lokal dan ilmu pengetahuan yang handal. Sebagai
kawasan yang menggambarkan keselarasan hubungan antara pembangunan
ekonomi, pemberdayaan masyarakat dan perlindungan lingkungan, melalui
kemitraan antara manusia dan alam, cagar biosfer adalah kawasan yang ideal
untuk menguji dan mendemonstrasikan pendekatan-pendekatan yang mengarah
kepada pembangunan berkelanjutan pada tingkat regional. Usulan penetapan
cagar biosfer diajukan oleh pemerintah nasional. Setiap calon cagar harus
memenuhi kriteria tertentu dan sesuai dengan persyaratan minimum sebelum
dimasukan kedalam jaringan dunia (MAB-LIPI). Dalam Undang-undang No 5
Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya,
definisi cagar biosfer adalah suatu kawasan yang terdiri dari ekosistem asli,
ekosistem unik, dan atau ekosistem yang telah mengalami degradasi yang
keseluruhan unsur alamnya dilindungi dan dilestarikan bagi kepentingan
penelitian dan pendidikan.
Cagar Biosfer menjadi kawasan yang konsepnya menggambarkan
keselarasan hubungan antara pembangunan ekonomi, pengembangan sosial
melalui pemberdayaan masyarakat dan konservasi lingkungan, dimana
keseimbangan hubungan manusia dan alam tetap dijaga, sehingga cagar biosfer
merupakan kawasan yang sempurna untuk mengimplementasikan pendekatan
pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dengan membangun tiga
pilar yaitu ekonomi, sosial dan lingkungan secara selaras dan seimbang, pada
tingkat lokal (tapak).
Konsep cagar biosfer dijelaskan dalam Seville Strategy (UNESCO 1996)
bahwa keunggulan dari penerapan konsep cagar biosfer terletak pada perpaduan
tiga fungsi yang dimilikinya yaitu:
1) fungsi konservasi, untuk melestarikan sumber daya genetik, jenis, ekosistem
dan lansekap;
2) fungsi pembangunan, untuk memacu pembangunan ekonomi dan
kesejahteraan manusia, dan
3) fungsi pendukung logistik, untuk mendukung proyek percontohan,
pendidikan dan pelatihan lingkungan, dan penelitian dan pemantauan yang
berhubungan dengan masalah-masalah konservasi dan pembangunan
berkelanjutan di tingkat lokal, nasional dan dunia.
Dalam rangka mengintegrasikan ketiga fungsi tersebut, maka penerapannya
diatur dengan sistem pembagian wilayah atau zonasi di wilayah cagar biosfer
yaitu di bagi menjadi 3 zonasi berdasarkan fungsi dan perannya yaitu (Purwanto
2012):
(a) Area inti (core area): sebagai area untuk pelestarian dan harus mempunyai
perlindungan hukum jangka panjang untuk melestarikan keanekaragaman
hayati, memantau ekosistem yang tidak terganggu dan melakukan penelitian
6

yang tidak merusak serta kegiatan-kegiatan lain yang sifatnya pasif seperti
pendidikan dan pelatihan. Area inti dari 6 Cagar Biosfer yang ada di
Indonesia berupa Taman Nasional yang kepemilikan lahannya berada di
Negara. Hal ini bukan berarti area inti cagar biosfer harus berupa Taman
Nasional. Area inti kawasan cagar biosfer dapat juga berupa kawasan milik
pribadi, milik organisasi non pemerintah, tanah masyarakat, kawasan milik
swasta atau dapat juga milik masyarakat adat yang diperuntukkan untuk
kawasan konservasi. Pada prinsipnya area inti harus berupa kawasan
konservasi atau kawasan lindung yang dilindungi secara formal oleh aturan
pemerintah atau secara informal oleh masyarakat adat (lembaga adat).
(b) Zona penyangga (buffer zone) yaitu wilayah yang mengelilingi atau
berdampingan atau bersebelahan dengan area inti dan jelas fungsinya adalah
untuk melindungi area inti dari dampak kegiatan manusia. Wilayah zona
penyangga dapat berupa suatu kawasan milik masyarakat baik individu atau
suatu lembaga, swasta dan lain-lainnya. Pengelolaan kawasan penyangga
tetap berada pada pemiliknya dan cara-cara pengelolaannya harus mengikuti
ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh peraturan pemerintah. Sehingga
kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan di zona ini adalah kegiatan yang
secara ekologi dapat dipertanggungjawabkan seperti penelitian, pendidikan,
pelatihan, ekoturisme dan pemanfaatan keanekaragaman hayati yang
berkelanjutan atau yang dapat diperbaruhi (renewable resources).
(c) Area transisi adalah kawasan terluas yang merupakan kawasan untuk
kerjasama dengan masyarakat lokal. Kawasan ini berdampingan dengan zona
penyangga. Area transisi adalah milik masyarakat baik secara individual,
organisasi, lembaga swasta, atau badan hukum lainnya. Area ini merupakan
tempat melaksanakan kegiatan pengembangan berbagai model pembangunan
berkelanjutan, dimana berbagai pihak pemilik kawasan ini bersama-sama
dengan pemangku kepentingan lainnya mengembangkan pengelolaan
sumberdaya alam di kawasan tersebut.
Zona penyangga dan area transisi berfungsi sebagai koridor yang fungsinya
adalah melindungi dan menjamin fungsi area inti sebagai kawasan konservasi
sumber daya alam hayati. Agar pengelolaan kawasan cagar biosfer memiliki
efektivitas tinggi, maka setiap zonasi harus memiliki batas yang jelas. Kepastian
tentang batas zonasi kawasan cagar biosfer diperlukan dalam implementasi
pengembangan setiap zona atau area di kawasan cagar biosfer.

Perencanaan Ruang Wilayah

Ruang adalah wadah pada lapisan atas permukaan bumi termasuk apa yang
ada di atasnya dan yang ada di bawahnya sepanjang manusia masih dapat
menjangkaunya (Tarigan 2005). Definisi ruang menurut UU No. 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan
ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat
manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara
kelangsungan hidupnya. Ruang itu terbatas dan jumlahnya relatif tetap sedangkan
aktivitas manusia dan pesatnya perkembangan penduduk memerlukan
ketersediaan ruang untuk beraktivitas yang senantiasa berkembang setiap hari. Hal
7

ini mengakibatkan kebutuhan akan ruang semakin tinggi. Oleh karena itu,
penggunaan ruang yang ada harus ditata sedemikian rupa dan melalui
perencanaan ruang wilayah yang baik sehingga dapat mewujudkan ruang
kehidupan yang nyaman, produktif dan berkelanjutan.
Tarigan (2005) menjelaskan bahwa perencanaan ruang wilayah adalah
perencanaan penggunaan/pemanfaatan ruang wilayah, yang intinya adalah
perencanaan penggunaan lahan (land use planning) dan perencanaan pergerakan
pada ruang tersebut. Perencanaan ruang wilayah pada dasarnya adalah
menetapkan ada bagian-bagian wilayah (zona) yang dengan tegas diatur
penggunaannya (jelas peruntukannya) dan ada bagian-bagian wilayah yang
kurang diatur/tidak diatur penggunaannya. Dalam prakteknya perencanaan ruang
wilayah diimplementasikan dalam bentuk tata ruang wilayah.
Purwanto (2012) menerangkan bahwa pemahaman tentang tata ruang dalam
arti luas mencakup keterkaitan dan keserasian tata guna lahan, tata guna air, tata
guna udara serta alokasi sumber daya melalui koordinasi dan upaya penyelesaian
konflik antar kepentingan yang berbeda. Asas penataan ruang menurut undang-
undang penataan ruang adalah sebagai berikut, pertama, pemanfaatan ruang bagi
semua kepentingan secara terpadu, berdaya guna dan berhasil guna, serasi dan
seimbang dan berkelanjutan; dan kedua, keterbukaan, persamaan, keadilan dan
perlindungan hukum.
Asas tersebut di atas memberi isyarat 3 (tiga) aspek pokok yang harus
diperhatikan dalam penataan ruang. Pertama, aspek lingkungan hidup fisik
umumnya dan sumber daya alam khususnya yang dimanfaatkan; kedua, aspek
masyarakat termasuk aspirasi sebagai pemanfaat; ketiga, aspek pengelola
lingkungan fisik oleh pemerintah yang dibantu masyarakat, yang mengatur
pengelolaannya dengan memperhatikan dan mempertimbangkan kondisi dan
potensi lingkungan fisik serta kebutuhan masyarakat agar pemanfaatan ruang
tersebut dapat dilaksanakan secara berkelanjutan.
Penataan ruang merupakan bentuk intervensi positif atas kehidupan sosial
dan lingkungan guna meningkatkan kesejahteraan yang berkelanjutan. Secara
lebih spesifik, penataan ruang dilakukan sebagai : (1) Optimasi pemanfaatan
sumberdaya (mobilisasi dan alokasi pemanfaatan sumberdaya) guna terpenuhinya
efisiensi dan produktifitas, (2) Alat dan wujud distribusi sumberdaya guna
terpenuhinya prinsip pemerataan, keberimbangan dan keadilan, serta (3) Menjaga
keberlanjutan (sustainability) pembangunan. Selain itu, tujuan penataan ruang
adalah upaya (4) menciptakan rasa aman dan (5) kenyamanan ruang (Rustiadi et
al. 2011).
Selanjutnya Rustiadi et al. (2011) menjelaskan bahwa proses penataan
ruang mempunyai landasan-landasan penting yang perlu diperhatikan sebagai
falsafah yakni (1) sebagai bagian dari upaya memenuhi kebutuhan masyarakat
untuk melakukan perubahan atau upaya mencegah terjadinya perubahan yang
tidak diinginkan; (2) menciptakan keseimbangan pemanfaatan sumberdaya di
masa sekarang dan masa yang akan datang (pembangunan berkelanjutan), (3)
disesuaikan dengan kapasitas pemerintah dan masyarakat untuk
mengimplementasikan perencanaan yang disusun, (4) upaya melakukan
perubahan yang lebih baik secara terencana, (5) sebagai suatu sistem yang
meliputi kegiatan perencanaan, implementasi dan pengendalian pemanfaatan
8

ruang dan (6) dilakukan jika dikehendaki adanya perubahan struktur dan pola
pemanfaatan ruang, artinya tidak dilakukan tanpa sebab atau kehendak.
Penataan ruang secara prinsip harus didasarkan pada karakteristik, daya
dukung dan daya tampung lingkungan, sehingga dapat dicapai keserasian,
keselarasan, dan keseimbangan subsistemnya. Mengacu pada Pasal (17) ayat (3)
bahwa Rencana Pola Ruang meliputi peruntukan kawasan lindung dan kawasan
budidaya. Menurut ayat (4) peruntukan kawasan lindung dan kawasan budidaya
meliputi peruntukan ruang untuk kegiatan pelestarian lingkungan, sosial, budaya,
ekonomi, pertahanan, dan keamanan. Kemudian pada ayat (5) disebutkan dalam
rangka pelestarian lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dalam
rencana tata ruang wilayah ditetapkan kawasan hutan paling sedikit 30 (tiga
puluh) persen dari luas daerah aliran sungai.

Pengembangan Wilayah

Wilayah menurut Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan


Ruang didefinisikan sebagai ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta
segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek
administratif dan/atau aspek fungsional. Rustiadi et al. (2011) berpandangan
bahwa kerangka klasifikasi konsep wilayah yang mampu menjelaskan berbagai
konsep wilayah yang dikenal selama ini adalah: (1) wilayah homogen (uniform);
(2) wilayah sistem/fungsional; dan (3) wilayah perencanaan/ pengelolaan
(planning region atau programming region). Penetapan wilayah perencanaan/
pengelolaan salah satunya adalah pewilayahan komoditas, berdasarkan faktor
alamiah dan non alamiah.
Wilayah dapat dibagi menjadi tipologi-tipologi wilayah berdasarkan sifat
hubungannya, fungsi masing-masing komponennya atau berdasarkan
pertimbangan sosial, ekonomi, maupun politis lainnya. Diantara tipologi-tipologi
yang ada terdapat salah satu tipologi yang disebut dengan tipologi wilayah nodal,
yang merupakan pengembangan dari konsep sel hidup. Dalam penjabaran wilayah
nodal ini, wilayah diasumsikan sebagai suatu sel hidup yang terdiri dari inti dan
plasma, yang masing-masing mempunyai fungsi yang saling mendukung. Inti
dalam hal ini diasumsikan sebagai pusat kegiatan industri dan pusat pasar serta
pusat inovasi, sedangkan plasma atau hinterland merupakan pusat pemasok bahan
mentah, tenaga kerja, dan pusat pemasaran barang-barang hasil industri yang
diproduksi di pusat (inti) (Rustiadi et al. 2003).
Berdasarkan konsep wilayah nodal tersebut, pusat atau hinterland suatu
wilayah dapat ditentukan berdasarkan kelengkapan fungsi pelayanan dalam suatu
wilayah. Kelengkapan fungsi dalam suatu wilayah dapat diidentifikasi dengan
menggunakan parameter jumlah dan jenis fasilitas umum, industri dan jumlah
penduduknya. Parameter tersebut kemudian digunakan sebagai alat penentu dalam
menentukan hirarki atau tingkat perkembangan suatu wilayah. Semakin lengkap
jumlah dan jenis fasilitas umum, industri dan penduduk dengan kualitas dan
kuantitas yang tinggi maka semakin tinggi pula hirarki wilayah tersebut. Pusat
kota merupakan kawasan dengan jumlah dan jenis fasilitas umum, industri dan
penduduk dengan kualitas dan kuantitas yang tinggi.
9

Glason dalam Tarigan (2005) mengklasifikasikan region/wilayah


berdasarkan fase kemajuan perekonomian menjadi:
1) fase pertama yaitu wilayah formal yang berkenaan dengan keseragaman/
homogenitas. Wilayah formal adalah suatu wilayah geografik yang seragam
menurut kriteria tertentu, seperti keadaan fisik geografi, ekonomi, sosail dan
politik.
2) fase kedua yaitu wilayah fungsional yang berkenaan dengan koherensi dan
interdependensi fungsional, saling hubungan antar bagian-bagian dalam
wilayah tersebut. Kadang juga disebut wilayah nodal atau polarized region dan
terdiri dari satuan-satuan yang heterogen seperti desa-kota yang secara
fungsional saling berkaitan.
3) fase ketiga yaitu wilayah perencanaan yang memperlihatkan koherensi atau
kesatuan keputusan-keputusan ekonomi.
Pengembangan wilayah tidak terlepas dari penggunaan/pemanfaatan
sumberdaya. Oleh karena itu, pengembangan wilayah memerlukan perencanaan
penggunaan lahan yang strategis agar dapat memberikan keuntungan ekonomi
wilayah (strategic land-use development planning). Perencanaan penggunaan
lahan merupakan salah satu kegiatan dalam upaya mengoptimalkan pemanfaatan
sumberdaya lahan. Tujuannya untuk mengetahui potensi pengembangan wilayah
dan daya dukung wilayah melalui proses inventarisasi dan penilaian
keadaan/kondisi lahan, potensi dan pembatas-pembatas suatu daerah tertentu
(Djakapermana 2010). Pemanfaatan sumberdaya alam dilakukan dengan
memberdayakan masyarakat dan bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup
masyarakat.
Pendekatan yang diterapkan dalam pengembangan wilayah di Indonesia
sangat beragam karena dipengaruhi oleh perkembangan teori dan model
pengembangan wilayah serta tatanan sosial-ekonomi, sistem pemerintahan dan
administrasi pembangunan. Pengembangan wilayah dengan memperhatikan
potensi pertumbuhan akan membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi
berkelanjutan melalui penyebaran penduduk lebih rasional, meningkatkan
kesempatan kerja dan produktifitas (Mercado 2002). Pendekatan ini
mengelompokkan kegiatan ekonomi atas sektor-sektor yang seragam atau
dianggap seragam. Pendekatan kewilayahan dilakukan bertujuan melihat
pemanfaatan ruang serta interaksi berbagai kegiatan dalam ruang wilayah
sehingga terlihat perbedaan fungsi ruang yang satu dengan ruang yang lainnya.
Perbedaan fungsi tersebut terjadi karena perbedaan lokasi, perbedaan potensi, dan
perbedaan aktivitas utama pada masing-masing ruang yang harus diarahkan untuk
bersinergi agar saling mendukung penciptaan pertumbuhan yang serasi dan
seimbang.
Tujuan utama dari pengembangan wilayah adalah menyerasikan berbagai
kegiatan pembangunan sektor dan wilayah, sehingga pemanfaatan ruang dan
sumber daya yang ada di dalamnya dapat optimal mendukung kegiatan kehidupan
masyarakat sesuai dengan tujuan dan sasaran pembangunan wilayah yang
diharapkan. Optimal berarti dapat dicapai tingkat kemakmuran yang sesuai dan
selaras dengan aspek sosial budaya dan dalam alam lingkungan yang
berkelanjutan (Rustiadi et al. 2011).
10

Hirarki Wilayah

Hirarki suatu wilayah sangat terkait dengan hirarki fasilitas kepentingan


umum di masing-masing wilayah. Hirarki wilayah dapat membantu untuk
menentukan fasilitas apa yang harus ada atau perlu dibangun di masing-masing
wilayah. Fasilitas kepentingan umum bukan hanya menyangkut jenisnya, tetapi
juga kapasitas pelayanan dan kualitasnya.
Jenis fasilitas itu mungkin harus ada di seluruh wilayah, tetapi kapasitas dan
kualitas layanannya harus berbeda. Makin maju suatu wilayah, semakin beragam
fasilitas yang disediakan sehingga makin luas wilayah pengaruhnya (Tarigan
2005). Rustiadi et al. (2011) menyatakan bahwa secara teoritis hirarki wilayah
sebenarnya ditentukan oleh tingkat kapasitas pelayanan wilayah yang ditunjukkan
oleh kapasitas secara totalitas yang tidak terbatas infrastruktur fisiknya saja tetapi
juga kapasitas kelembagaan, sumberdaya manusia serta kapasitas
perekonomiannya. Secara fisik dan operasional, sumberdaya yang paling mudah
dinilai dalam penghitungan kapasitas pelayanan adalah sumberdaya buatan
(sarana dan prasarana pada pusat-pusat wilayah). Secara sederhana, kapasitas
pelayanan infrastruktur atau prasarana wilayah dapat diukur dari (1) jumlah sarana
pelayanan (2) jumlah jenis sarana pelayanan yang ada, serta (3) kualitas sarana
pelayanan (Rustiadi et al. 2011).
Hasil penelitian Muiz (2009) di Kabupaten Sukabumi dengan menggunakan
analisis skalogram dihasilkan hirarki desa pada setiap kecamatan pada tahun 2006
yaitu desa dengan tingkat hirarki I adalah desa-desa dengan tingkat perkembangan
tinggi memiliki Indek Perkembangan Desa (IPD) > 128.7 sebanyak 26 desa dan
terdapat pada 20 kecamatan. Desa dengan hirarki II yaitu desa-desa yang memiliki
tingkat perkembangan sedang dengan tingkat IPD antara 89.5 sampai 128.67
sebanyak 107 desa dan tersebar di semua kecamatan di kabupaten Sukabumi
kecuali kecamatan Bantargadung, Cidahu, Curugkembar, Parakansalak dan
Waluran. Desa dengan tingkat hirarki III yaitu desa-desa yang memiliki tingkat
perkembangan rendah, dengan IPD <89.75 adalah desa-desa yang paling banyak
jumlahnya di kabupaten Sukabumi.

Penggunaan dan Penutupan Lahan

Lahan didefinisikan sebagai suatu kesatuan lingkungan fisik yang terdiri


dari tanah, tata air, iklim, vegetasi dan segala aktivitas manusia yang
mempengaruhi pengembangannya. Pengetahuan mengenai penggunaan dan
penutupan lahan merupakan hal penting dalam kegiatan perencanaan dan
pengelolaan suatu kawasan yang berhubungan dengan keadaan permukaan bumi.
Penggunaan lahan dan pentupan lahan dapat memiliki pengertian yang sama
untuk hal-hal tertentu, tetapi sebenarnya mengandung penekanan yang berbeda.
Penggunaan lahan mengandung aspek menyangkut aktivitas pemanfaatan lahan
oleh manusia sedangkan penutupan lahan lebih bernuansa fisik (Rustiadi et al.
2009).
Tutupan lahan menggambarkan unsur-unsur seperti vegetasi, batuan atau
bangunan-bangunan yang merepresentasikan permukaan bumi, sedangkan
penggunaan lahan menggambarkan suatu persil lahan yang digunakan untuk
11

agrikultur, tempat tinggal, industri, atau lainnya (Sabins 1997). Lillesand dan
Kiefer (1997) menjelaskan bahwa penutupan lahan memiliki keterkaitan dengan
keadaan penampakan permukaan bumi atau apa yang ada di atas sebuah lahan
sedangkan penggunaan lahan berhubungan dengan suatu aktivitas yang dilakukan
oleh manusia pada suatu bidang lahan tertentu. Menurut Malingreau (1979),
penggunaan lahan merupakan campur tangan manusia baik secara permanen atau
periodik terhadap lahan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan, baik
kebutuhan kebendaan, spiritual maupun gabungan keduanya. Penggunaan lahan
merupakan unsur penting dalam perencanaan wilayah. Bahkan menurut Campbell
(1996) disamping sebagai faktor penting dalam perencanaan, pada dasarnya
perencanaan kota adalah perencanaan penggunaan lahan.
Penggunaan lahan dapat ke dalam dua golongan besar yaitu penggunaan
lahan pertanian dan penggunaan lahan bukan pertanian. Penggunaan lahan
pertanian dibedakan berdasarkan atas penyediaan air dan komoditi yang diusahan
dan dimanfaaatkan atau atas jenis tumbuhan atau tanaman yang terdapat atas
lahan tersebut. Penggunaan lahan bukan pertanian dapat dibedakan ke dalam
lahan kota atau desa (pemukiman), industri, rekreasi, pertambangan dan
sebagainya (Arsyad 2006).
Informasi pemanfaatan ruang aktual yang meliputi penggunaan lahan dan
penutupan lahan, diperlukan untuk menggambarkan kondisi fisik wilayah secara
aktual. Informasi pemanfaatan ruang aktual akan sangat membantu dalam analisis
potensi fisik suatu wilayah secara utuh. Untuk itu diperlukan alat bantu yang
mampu memberikan gambaran tutupan lahan secara luas, cepat, konsisten dan
terkini yaitu citra satelit dengan alat analisisnya Sistem Informasi Geografi (SIG).

Penginderaan Jauh

Penginderaan jauh (remote sensing) merupakan salah satu cara untuk


memperoleh data permukaan bumi yang dapat dipercaya dan akurat untuk
kebutuhan analisis berbagai bidang ilmu. Penginderaan jauh mengandalkan
keunikan dan karakteristik panjang gelombang yang berbeda, yang dipancarkan
setiap obyek di permukaan bumi. Penginderaan jauh adalah ilmu atau seni untuk
memperoleh informasi tentang objek, daerah atau suatu gejala, dengan jalan
menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat, tanpa kontak
langsung dengan objek, daerah atau gejala yang akan dikaji (Lillesand dan Kiefer
1997).
Secara visual, data penginderaan jauh ditampilkan berupa citra yang
tersusun dari berbagai jumlah piksel. Piksel (pixel/ picture element) adalah unit
terkecil dari sebuah citra dan merupakan unit dasar spasial dalam ruang-ruang sel
(sekumpulan sel). Piksel atau sel memiliki sifat yang sangat dinamis dan bebas.
Setiap sel memiliki nilai digital unik yang membedakan dengan sel lainnya. Agar
dapat membaca kedinamisan piksel dengan presisi harus memperhatikan kualitas
citra berdasarkan prosentase tutupan awan yang minimal.
Metode perekaman atau pengumpulan data penginderaan jauh (inderaja)
dilakukan dengan menggunakan alat pengindera (sensor) yang terpasang pada
pesawat terbang atau satelit (Lillesand dan Kiefer 1997). Aplikasi satelit
penginderaan jauh saat ini mampu memberikan data atau informasi tentang
12

sumberdaya alam di daratan dan sumberdaya alam di lautan secara teratur dan
periodik, sehingga kebutuhan akan data inderaja pada sebuah citra dalam bentuk
digital mudah tersedia dan memungkinkan dilakukan penganalisaan menggunakan
komputer secara kuantitatif dan konsisten. Untuk tujuan pemetaan dan
pengumpulan data spasial, teknologi inderaja terbukti lebih hemat waktu dan
biaya, bila dibanding dengan cara teristris sehingga penjelajahan lapangan dapat
dikurangi.
Penggunaan foto udara sebagai sumber informasi sudah meluas dalam
berbagai aplikasi. Hanya saja untuk dapat memanfaatkan foto udara tersebut
diperlukan kemampuan mengamati keseluruhan tanda yang berkaitan dengan
objek atau fenomena yang diamati. Tanda-tanda tersebut dinamakan
kunci pengenalan atau biasa disebut dengan unsur-unsur interpretasi. Unsur-unsur
tersebut meliputi : rona/warna, tekstur, bentuk, ukuran, pola, situs, asosisasi, dan
konvergensi bukti (Sutanto 1994).
Pemanfaatan data penginderaan jauh sejak akhir 30 tahun-an secara
ekstensif digunakan untuk mengamati perubahan lingkungan dan tutupan lahan
(Colby dan Keating 1998). Umumnya, dari beberapa penelitian (1994-2007)
menggunakan beragam citra resolusi sedang hasil perekaman seperti Landsat
Multispectral Scanning System (MSS), Thematic Mapper (TM), SPOT dan Aster,
guna memperoleh informasi tutupan lahan. Informasi perubahan lingkungan
maupun tutupan lahan pada penelitian tersebut diperoleh melalui identifikasi
berbagai kombinasi komposit kanal (band composite) yang hasilnya sangat
bergantung dari panjang gelombang dan nilai spectral yang diterimanya, maupun
teknik klasifikasi yang digunakan. Adapun tingkat akurasinya, sangat tergantung
dari kemampuan spasial, spektral masing-masing sensor dan prosentase tutupan
awan saat perekaman.
Penggunaan penginderaan jauh dapat digunakan untuk memantau
penggunaan lahan yaitu dengan memanfaatkan citra Land Satellite (Landsat).
Lillesand dan Kiefer (1997) menyampaikan bahwa satelit Landsat digunakan
untuk merekam data sumber daya alam dengan cara sistematik, berulang dengan
resolusi sedang. Lisnawati (2006) melakukan identifikasi jenis-jenis penutupan
lahan dengan memanfaatkan citra penginderaan jauh yaitu citra landsat ETM+
yang digunakan untuk menginterpretasi jenis-jenis penggunaan lahan.

Sistem Informasi Geografis

Menurut Karsidi (2004) Sistem informasi geografis (SIG) merupakan suatu


sistem berbasis spasial yang mampu mengolah dan menyajikan informasi secara
spasial pula. Aronof dalam Barus (2000) menjelaskan bahwa Sistem Informasi
Geografi (SIG) adalah suatu sistem informasi berbasis komputer yang mempunyai
kemampuan untuk menangani data yang bereferensi geografis yang mencakup
pemasukan, manajemen data (penyimpanan data dan pemanggilan lagi),
manipulasi dan analisis, dan pengembangan produk dan pencetakan (Aronof
dalam Barus 2000). Dalam pengertian yang lebih luas SIG tidak hanya
menyangkut komponen perangkat lunak (software) dan perangkat keras
(hardware) tetapi juga pengguna (user) dan organisasinya serta data yang dipakai,
sebab tanpa komponen-komponen ini SIG tidak dapat operasional (Durana dalam
13

Barus 2000). Jadi berdasarkan definisi-definisi tersebut di atas dapat ditarik


kesimpulan bahwa SIG mencakup empat komponen utama yaitu: perangkat keras,
perangkat lunak, organisasi (manajemen) dan pengguna (Barus 2000).
Pemanfaatan SIG ini akan sangat berguna dalam kaitannya dengan dinamika
penggunaan lahan, terlebih lagi dengan ketersediaan model-model aplikatif yang
mampu menyajikan aspek dinamika keruangan. Sistem Informasi Geografis
merupakan suatu teknologi informasi yang berkaitan dengan pengumpulan dan
pengolahan data berkoordinat geografis (Barus dan Wiradisastra 2000). Menurut
Prahasta (2005) serta Barus dan Wiradisastra (2000) SIG mempunyai empat
komponen utama dalam menjalankan prosesnya antara lain :
1. Data input : komponen ini bertugas mengumpulkan dan mempersiapkan data
spasial dan atribut dari berbagai sumber serta bertanggung jawab
mengkonversi atau mentransformasikan data ke dalam format yang diminta
perangkat lunak, baik dari data analog maupun data digital lain atau dari
bentuk data yang ada menjadi bentuk yang dapat dipakai dalam SIG.
2. Data manajemen : Komponen ini mengorganisasikan baik data spasial maupun
non spasial (atribut) ke dalam sebuah basis data sedemikian rupa sehingga
mudah untuk dilakukan pemanggilan, pemutakhiran (updating) dan
penyuntingan (editing).
3. Data manipulasi dan analisis : Komponen ini melakukan manipulasi dan
permodelan data untuk menghasilkan informasi sesuai dengan tujuan.
Komponen perangkat lunak yang memiliki kedua fungsi tersebut merupakan
kunci utama dalam menentukan keandalan sistem SIG yang digunakan.
Kemampuan analisis data spasial melalui algoritma atau pemodelan secara
matematis merupakan pembeda suatu SIG dengan sistem informasi yang lain.
4. Data output : Komponen ini berfungsi menghasilkan keluaran seluruh atau
sebagian basis data dalam bentuk (a) cetak lunak (softcopy) berupa produk
pada tampilan monitor monokrom atau warna, (b) cetak keras (hardcopy) yang
bersifat permanen dan dicetak pada kertas, mylar, film fotografik atau bahan-
bahan sejenis, seperti peta, tabel dan grafik dan (c) elektronik berbentuk berkas
(file) yang dapat dibaca oleh komputer.
Menurut Barus dan Wiradisastra (2000) aplikasi SIG telah banyak
dimanfaatkan dalam berbagai bidang seperti pengelolaan dalam penggunaan lahan
di bidang pertanian, perkebunan dan kehutanan. Di bidang bisnis dan perencanaan
pelayanan seperti analisis wilayah pasar dan prospek pendirian suatu bisnis baru.
Di bidang lingkungan aplikasi SIG digunakan dalam analisis erosi dan
dampaknya, analisis daerah rawan banjir, kebakaran atau lahan kritis dan analisis
kesenjangan. Seperti juga penginderaan jauh yang telah diaplikasikan oleh
berbagai kalangan dan kepentingan, maka aplikasi SIG telah digunakan baik oleh
kalangan swasta, perguruan tinggi maupun pemerintah daerah. Aplikasi SIG untuk
tugas dan kewenangan pemerintah daerah sebagian besar berkaitan dengan data
geografis dengan memanfaatkan keandalan SIG antara lain : kewenangan di
bidang pertanahan, pengembangan ekonomi, perencanaan penggunaan lahan,
kesehatan, perpajakan, infrastruktur (jaringan jalan, perumahan, transportasi),
informasi kependudukan, pengelolaan darurat dan pemantauan lingkungan.
Pemanfaatan aplikasi SIG diasosiasikan juga dengan analisis spasial.
Terdapat beberapa pengertian tentang analisis spasial (O’Sullivan et al. 2003)
diantaranya adalah:
14

- Spatial data manipulation, yang biasanya disebut analisis spasial dalam


terminologi yang digunakan oleh perangkat lunak SIG
- Spatial statistical Analysis, menggunakan metode statistik untuk memeriksa
data spasial dalam menentukan apakah data spasial tersebut sesuai atau tidak
sesuai secara relatif terhadap model statistik.
- Spatial Modelling, membuat konstruksi model untuk memprediksi hasil
secara spasial. Misalnya model spasial yang digunakan untuk memprediksi
arus penduduk dan barang antar beberapa lokasi atau untuk membuat
optimasi lokasi-lokasi penempatan fasilitas (Wilson dalam O’Sullivan 2003).
Dalam prakteknya seringkali ketiga makna analisis spasial tersebut di atas
dimanfaatkan dalam suatu aktifitas tertentu yang bagian-bagian di dalamya
memerlukan analisis spasial dalam pengertian tersebut di atas. Dalam bentuk yang
lebih integratif pada setiap tahapan proses analisis yang memanfaatkan data
spasial sebagai input, ketiga bentuk analisis spasial tersebut sangat diperlukan.
Fungsi analisis dalam SIG (Aronof dalam Barus 2000) secara umum dapat
dikelompokkan menjadi 4 kelompok, yaitu: (1) Fungsi Pemanggilan/ klasifikasi/
pengukuran data; (2) Fungsi tumpang tindih/overlay; (3) Fungsi tetangga, (4)
fungsi jaringan/keterkaitan.
15

3 METODE

Kerangka Pemikiran

Cagar Biosfer Cibodas merupakan daerah hulu dari empat sungai besar yang
mengalir ke daerah Jakarta dan sekitarnya yaitu Ciliwung, Cisadane, Citarum dan
Cimandiri. Sebagian besar wilayah ini adalah hutan hujan tropis dan pada wilayah
penyangga merupakan wilayah pemanfaatan dan pemukiman penduduk.
Berdasarkan posisi geografisnya, kawasan ini menjadi daerah pelindung atau
penyangga wilayah di bawahnya. Oleh karenanya kawasan yang sebagian besar
merupakan kawasan budidaya ini berfungsi menjadi kawasan penyangga
kehidupan baik bagi daerah sekitarnya maupun bagi daerah yang jauh di hilir,
sehingga penetapan kawasan ini sebagai cagar biosfer dan dikelola dengan konsep
cagar biosfer menjadi sangat tepat. Dalam konsep cagar biosfer, suatu kawasan
mempunyai fungsi konservasi, fungsi pembangunan dan fungsi pendukung
logistik yaitu untuk mendukung pendidikan, penelitian dll.
Mengingat kondisi kawasan ini sebagai daerah penyangga kehidupan untuk
wilayah Bogor, Puncak, Cianjur dan Sukabumi bahkan sampai Jakarta,
pendekatan pembangunan berkelanjutan merupakan konsep pembangunan yang
tepat untuk diterapkan. Namun demikian, kawasan ini cenderung lebih
dikembangkan untuk pembangunan ekonomi dimana masalah sosial dan
lingkungan banyak diabaikan. Potensi wisata yang ada di sebelah utara Cagar
Biosfer Cibodas menjadi daya tarik masyarakat untuk bermukim di daerah
tersebut sehingga penambahan jumlah penduduk terus meningkat dan dampaknya
adalah semakin meningkatnya kebutuhan akan lahan dan mendorong terjadinya
konversi lahan. Hal ini tentu akan berpengaruh pada ekologi kawasan Cagar
Biosfer Cibodas baik pada area inti, zona penyangga dan area transisi.
Terganggunya proses penyerapan air, semakin tingginya run off, meningkatnya
laju erosi, berkurangnya ketersediaan air tanah merupakan beberapa tanda bahwa
kondisi kawasan sudah terganggu. Oleh karena itu, informasi mengenai
penggunaan/penutupan lahan aktual penting untuk diketahui. Untuk mengetahui
kondisi aktual penggunaan/penutupan lahan di Cagar Biosfer Cibodas dapat
diperoleh melalui interpretasi citra.
Kesejahteraan masyarakat di kawasan CBC beragam hal ini ditandai dengan
kondisi tingkat perkembangan wilayah dan tingkat kemiskinan yang juga beragam.
Di beberapa tempat, perkembangan wilayah begitu cepat namun di beberapa
tempat lain perkembangan wilayah berjalan dengan lambat. Pada prinsipnya
semua masyarakat harus hidup sejahtera, karena masalah lingkungan yang
dihadapi negara-negara berkembang banyak ditimbulkan oleh kemiskinan yang
memaksa rakyat merusak lingkungan alam (Salim 1991). Oleh karena itu
diperlukan perencanaan pengelolaan Cagar Biosfer Cibodas yang terintegrasi dan
melibatkan fihak-fihak yang berkepentingan pada kondisi Cagar Biosfer Cibodas.
Banyak pendekatan yang dapat digunakan untuk menghasilkan perencanaan
yang sesuai dengan kondisi dan situasi wilayah tersebut. Salah satunya adalah
dengan pendekatan membuat tipologi pemanfaatan ruang di wilayah tersebut.
Pengelompokkan berdasarkan tipologi bertujuan untuk mengelompokkan wilayah
yang memiliki kemiripan karakteristik berdasarkan parameter yang digunakan
16

sehingga arahan kebijakan yang disusun tidak di buat secara general tetapi
disesuaikan dengan kondisi setiap tipologinya.
Penelitian ini mencoba untuk menyusun tipologi pemanfaatan ruang di
kawasan Cagar Biosfer Cibodas berdasarkan parameter sosial ekonomi yaitu
berupa tingkat perkembangan wilayah dan tingkat kemiskinan dan aspek fisik
lahan yaitu berupa penggunaan/penutupan lahan dan tingkat kemiringan lereng
yang dilakukan pada unit desa. Untuk memahami alur penelitin ini maka kerangka
pemikiran penelitian disajikan pada Gambar 1 dan diagram alir tahapan penelitian
pada Gambar 2.

Cagar Biosfer Cibodas

Fungsi Fungsi Dukungan


Fungsi Konservasi Pembangunan Logistik

Perkembangan Fakta Peningkatan Jumlah


Wilayah Penduduk

Tingkat Rencana Pola Ruang Penggunaan/


Perkembangan Desa Provinsi/Kabupaten Penutupan Lahan

Tingkat Kemiskinan Kondisi Fisik Lahan

Titik Kondisi
Aktual

Tipologi Pemanfaatan Ruang di Cagar Biosfer Cibodas


Arah

Tujuan Arahan Kebijakan Pengelolaan Cagar Biosfer Cibodas

Gambar 1 Kerangka Pemikiran Penelitian


17

Pengumpulan Data

Data Podes Tahun 2011 Citra Landsat 2014, RTRW Provinsi,


Google Satelite Map RTRW Kabupaten,
Kebijakan, Peraturan,
Laporan terkait CBC
Variabel Perkembangan
Wilayah Interpretasi dan
Klasifikasi metode
Visual (Digitize on
Screen) Data SRTM
Analisis Faktor metode
Komponen Utama

Peta Penggunaan/ Peta


Penutupan Lahan Kemiringan
Variabel Terkoreksi Lereng
aktual

Jumlah Penduduk
Analisis Skalogram Miskin
(Data PPLS 2011)

Indeks Perkembangan Tingkat


Desa (Hirarki Desa) Kemiskinan Analisis Klaster
berhirarki metode
Ward’s dan K’mean
Cluster

Klaster Desa Klaster Desa


Sosial Ekonomi Fisik Lahan

Tipologi Pemanfaatan Ruang

Analisis Deskriptif

Arahan Kebijakan Pengelolaan


Cagar Biosfer Cibodas

Gambar 2 Diagram Alir Tahapan Penelitian


18

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Cagar Biosfer Cibodas yang ditetapkan pada


tahun 1977 dengan area inti pada saat itu berupa Cagar Alam Cibodas-Gunung
Gede (1040 ha), Cagar Alam Gunung Gede Pangrango (14.000 ha), Taman
Wisata Situ Gunung (100 ha) dan Cagar Alam Cimungkat (56 ha), yang kemudian
menjadi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) seluas seluas 15.196
ha yang ditetapkan pada tahun 1980. Sejak tahun 2012 Cagar Biosfer Cibodas
batasnya di revisi dengan area inti saat ini adalah Taman Nasioanl Gunung Gede
Pangrango, Taman Wisata Alam Talaga Warna, Cagar Alam Talaga Warna dan
Taman Wisata Alam Jember. Cagar Biosfer Cibodas secara administratif terletak
di tiga wilayah kabupaten yaitu Kabupaten Bogor, Cianjur, dan Sukabumi.
Penelitian dilaksanakan dari bulan Mei 2014 sampai dengan Januari 2015 mulai
dari penyusunan proposal, pengambilan data di lapangan, pengolahan data dan
penulisan tesis. Peta lokasi penelitian disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3 Peta Lokasi Cagar Biosfer Cibodas

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Cira Landsat 8 TM


tahun 2014 path 122 row 65, Data SRTM, Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI), peta
Rencana Pola Ruang Provinsi Jawa Barat, Peta Rencana Pola Ruang Kabupaten
Bogor, Cianjur dan Sukabumi, Peta Administrasi Kabupaten, Peta Administrasi
Desa, Peta Cagar Biosfer Cibodas, Peta Lereng, data Podes tahun 2011, data
jumlah penduduk miskin (TNP2K - PPLS 2011) serta dokumen dan peraturan
yang berkaitan dilokasi penelitian.
19

Alat yang digunakan adalah seperangkat komputer yang dilengkapi dengan


software : ArcGIS 10.1, SPSS 17, STATISTICA 7 dan Microsoft Excel.

Metode Pengumpulan Data

Jenis data terdiri dari data primer dan data skunder. Data primer meliputi :
(1) Interpretasi penggunaan/penutupan lahan dari data penginderaan jauh (Citra
Landsat TM 8 tahun 2014 path 122 row 65), interpretasi kemiringan lereng dari
data Shuttle Radar Topographic Mission (SRTM) dan (2) pengamatan lapangan
untuk verifikasi penggunaan lahan. Data sekunder berupa Peta Rencana Pola
Ruang Provinsi Jawa Barat, Peta Rencana Pola Ruang Kabupaten Bogor, Cianjur
dan Sukabumi, data sosial meliputi jumlah penduduk, jumlah jenis dan fasilitas
desa, aksesibilitas, fasilitas pendidikan, faasilitas kesehatan dan fasilitas ekonomi
dengan sumber data potensi desa (PODES 2011), data jumlah penduduk miskin
dengan sumber data PPLS 2011. Penelusuran dokumen, laporan, kebijakan dan
peraturan terkait Cagar Biosfer Cibodas diperoleh dari Balai Besar Gunung Gede
Pangarngo dan MAB-LIPI. Matrik hubungan antara tujuan, jenis data, sumber
data, teknik analisis, dan keluaran yang diharapkan tertera pada Tabel 1.

Tabel 1 Tujuan, Jenis Data, Sumber Data, Teknik Analisis Dan Keluaran

Teknik
No Tujuan Jenis Data Sumber Data Keluaran
Analisis
1 Menganalisis - Citra Landsat TM - USGS - Interpretasi - Peta penggunaan/
penggunaan/ 8 tahun 2014 - Google Citra, metode penutupan lahan
penutupan lahan saat - Google Satellite Earth Visual tahun 2014
ini Map - Balai Besar - Overlay SIG (Keluaran 1)
- Peta Kawasan TNGGP
Cagar Biosfer, - Bappeda
- Peta Administrasi
- Peta Rencana Pola
Ruang RTRW
2 Mengnalisis - Peta Rencana Pola - Bappeda - Overlay SIG - Kondisi aktual
Perencanaan Pola Ruang Provinsi/ Prov. Jawa - Analisis rencana pola
Ruang Kabupaten Barat Deskriptif ruang yang
- Keluaran 1 - Bappeda - Matrik diperbandingkan
Kab. Perbandingan dengan kondisi
Cianjur, Nomenklatur aktual
Bogor dan penggunaan/penu
Sukabumi tupan lahan
- Matrik
perbandingan
nomenklatur
3 Menganalisis - Data Podes Tahun - BPS Kab. - Analisis - Hirarki Wilayah
perkembangan 2011 Cianjur, Skalogram Desa dan Indeks
wilayah desa dan - Data Jumlah Bogor dan - Analisis Perkembangan
tingkat kemiskinan Penduduk Miskin Sukabumi Faktor untuk Desa (Keluaran
- TNP2K memilih 2)
(PPLS variabel - Peta Hirarki
2011) - Overlay SIG Wilayah Desa
(Keluaran 3)
20
Tabel 1. (Lanjutan)
Teknik
No Tujuan Jenis Data Sumber Data Keluaran
Analisis
4 Menyusun tipologi - Hasil Keluaran 1 - TNP2K - Cluster - Tipologi
pemanfaatan ruang di - Hasil Keluaran 2 (PPLS Analysis pemanfaatan
Cagar Biosfer - Hasil Keluaran 3 2011) metode ruang (Keluaran
Cibodas. - Jumlah Penduduk - Data SRTM Ward’s dan 4)
Miskin K-Mean
- Peta Kemiringan Cluster
Lereng - Overlay SIG
- Analisis
Deskriptif
5 Menyusun arahan - Hasil Keluaran 1 - Hasil - Sintesa Hasil - Arahan kebijakan
kebijakan - Hasil Keluaran 2 analisis - Analisis pengelolaan CBC
pengelolaan - Hasil Keluaran 3 tujuan Deskriptif
- Hasil Keluaran 4 sebelumnya

Metode dan Teknik Analisis

Analisis Penggunaan/Penutupan Lahan


Analisis penggunaan/penutupan lahan bertujuan untuk mendapatkan
informasi penggunaan/penutupan lahan saat ini di kawasan Cagar Biosfer Cibodas.
Informasi pemanfaatan ruang berupa penggunaan lahan dan penutupan lahan,
diperlukan untuk menggambarkan kondisi fisik wilayah secara aktual. Informasi
pemanfaatan ruang aktual akan sangat membantu dalam analisis potensi fisik
suatu wilayah secara utuh. Untuk itu diperlukan alat bantu yang mampu
memberikan gambaran tutupan lahan secara luas, cepat, konsisten dan terkini
yaitu citra satelit dengan alat analisisnya Sistem Informasi Geografi (SIG).
Tahapan proses klasifikasi penggunaan/penutupan lahan di kawasan Cagar
Biosfer Cibodas adalah sebagai berikut:
1) Rektifikasi Citra, citra Landsat terlebih dahulu dilakukan rektifikasi/koreksi
geometri agar posisinya sesuai dengan posisi objek di permukaan bumi. Proses
koreksi geometrik yang dilakukan menggunakan hubungan matematik antara
koordinat piksel dalam citra satelit dengan koordinat piksel sebenarnya di
lapangan dengan mengambil beberapa titik sebagai Ground Control Point
(GCP). Akurasi koreksi geometrik ditunjukkan dengan nilai RMS-error (root
mean square-error), semakin kecil nilai RMS-error menunjukkan tingkat
ketepatan GCP semakin tinggi. Uji keakuratan citra hasil koreksi geometrik
dapat dilakukan dengan cara overlay peta hasil koreksi dengan peta referensi
lalu dilihat penyimpangannya.
2) Pemotongan batas area penelitian, pemotongan citra Landsat oleh batas area
penelitian diperlukan untuk memperoleh wilayah yang akan di analisis, yaitu
kawasan Cagar Biosfer Cibodas.
3) Klasifikasi penggunaan/penutupan lahan, Analisis penggunaan/penutupan
lahan aktual ini dilakukan dengan melakukan interpretasi data citra landsat
TM 8 tahun 2014 path 122 row 65. Proses ekstrak data dengan metode visual
dengan melakukan Dijitasi On Screen, citra Google Satellite Map digunakan
untuk membantu dalam mengidentifikasi tipe penggunaan/penutupan lahan.
Dalam proses dijitasi Google Satellite Map juga digunakan untuk memperjelas
kenampakan warna dan rona pada citra Landsat, karena seringkali dengan
21

penampakan rona dan warna citra landsat yang mirip tetapi pada kenyataannya
tipe penggunaan/penutupan lahannya berbeda, begitu pula sebaliknya.
Klasifikasi citra visual dapat didefiniskan sebagai aktivitas visual untuk
mengkaji citra yang menunjukkan gambaran muka bumi yang tergambar di
dalam citra tersebut untuk tujuan identifikasi obyek dan menilai maknanya
(Howard 1991). Interpretasi ini dilakukan dengan pendekatan unsur yang
meliputi: rona (berkaitan dengan warna/derajat keabuan suatu obyek), tekstur
(frekuensi perubahan rona), pola (susunan keruangan obyek), ukuran, bentuk
(berkaitan langsung terhadap bentuk umum, konfigurasi atau kerangka dari
obyek tunggal), bayangan dan situs (lokasi suatu obyek terhadap obyek-obyek
yang lain). Interpretasi visual citra dilakukan dengan kombinasi 3 saluran
dalam format Red Green Blue (RGB) untuk memperoleh warna komposit
yang paling jelas pada setiap kelas penutupan. Dalam penelitian ini, kombinasi
band yang digunakan dalam interpretasi visual citra menggunakan band 6-5-4
yang sesuai untuk analisis vegetasi. Kombinasi band ini mengacu kepada
informasi yang dikeluarkan USGS tentang penggunaan kombinasi band citra
Landsat TM 8. Kelebihan dari metode visual adalah penafsir dapat
memperhitungkan konsteks spasial wilayah pada saat penafsiran dengan
melibatkan lebih dari satu elemen (unit lahan, bentuk lahan, local knowledge
dll) yang tidak mungkin dapat dilakukan dengan metode klasifikasi digital
secara langsung. Keuntungan kedua adalah metode ini cocok untuk daerah
pada ekuator yang banyak tertutup awan.
4) Pengujian Hasil Interpretasi, pengujian kualitas hasil interpretasi
penggunaan/penutupan lahan pada umumnya dilakukan dengan pengecekan
lapangan (ground truth) untuk mengecek kebenaran, ketepatan atau kenyataan
di lapangan. Verifikasi dilakukan pada beberapa lokasi dengan memeriksa
penggunaan/penutupan lahan pada wilayah yang dijadikan sebagai contoh.
Pada kajian ini pengujian hasil interpretasi dan proses verifikasi dilakukan
dengan bantuan Google Earth. Hal ini dengan pertimbangan keterbatasan
dalam menjangkau lokasi-lokasi yang terpencil dan Google Earth dinilai
memiliki resolusi yang baik untuk menampilkan kondisi lapangan. Verifikasi
dilakukan dengan menentukan beberapa titik pada hasil klasifikasi
penggunaan/penutupan lahan dan dibandingkan dengan citra Google Earth
sebagai citra referensi. Hasil verifikasi dibuat dalam bentuk makriks kesalahan
untuk menghitung jumlah sampel yang terklasifikasi dengan benar pada citra
satelit. Makriks kesalahan ini umum disebut confussion matrix. Ukuran tingkat
akurasi biasanya disajikan dengan angka persentase yang menunjukkan estimasi
jumlah informasi yang benar. Validasi yang sering digunakan untuk menguji
kualitas hasil interpretasi penggunaan lahan berbasis data penginderaan jauh ini
adalah overall accuracy. Overall accuracy hanya mempertimbangkan commission
(diagonal) yang dihasilkan pada confusion matrix. Jensen (1986) menyatakan
bahwa pengujian hasil klasifikasi diharapkan mendapatkan nilai overall accuracy
diatas 85 %.
Pengertian tipe penggunaan/penutupan lahan sebagian mengacu pada sistem
standar nasional Indonesia (SNI) nomor 7645 tahun 2010 tentang klasifikasi
penutupan lahan dan sebagian yang lain penggunaan istilah dan pengertiannya
dimodifikasi untuk memperjelas batasan antara satu tipe penggunaan lahan
dengan tipe penggunaan lahan yang lainnya. Area terbangun dicirikan oleh adanya
subtitusi penutup lahan yang bersifat alami atau semi alami oleh penutup lahan
22

yang bersifat artificial dan biasanya kedap air. Dalam interpretasi yang termasuk
kategori area terbangun adalah pemukiman dan jaringan jalan. Untuk hutan
dicirikan dengan liputan vegetasi dominan dan tekstur agak kasar, tipe
penggunaan lahan untuk ladang merupakan area yang digunakan untuk kegiatan
pertanian dengan jenis tanaman semusim di lahan kering. Perkebunan dicirikan
oleh hamparan pepohonan homogen dengan batas-batas yang jelas dan teratur, di
kawasan CBC perkebunan didominasi oleh perkebunan teh.

Analisis Perencanaan Pola Ruang di Cagar Biosfer Cibodas


Analisis perencanaan pola ruang di bertujuan untuk memperoleh informasi
aktual mengenai perencaan pola ruang pada RTRW provinsi dan setiap kabupaten
yang wilayahnya masuk pada kawasan Cagar Biosfer Cibodas. Metode yang
digunakan adalah dengan melakukan overlay GIS antara peta penggunaan/
penutupan lahan dengan peta rencana pola ruang pada RTRW Provinsi dan
RTRW Kabupaten Bogor, Cianjur dan Sukabumi. Selanjutnya dibuat matrik
penggunaan nomenklatur fungsi kawasan yang digunakan disetiap perencanaan
pola ruang baik provinsi maupun Kabupaten. Informasi ini penting untuk
diketahui sebagai salah satu dasar dalam penyusunan arahan kebijakan
pengelolaan Cagar Biosfir Cibodas.

Analisis Perkembangan Wilayah dan Tingkat Kemiskinan


Analisis ini bertujuan untuk mengetahui tingkat perkembangan wilayah dan
tingkat kemiskinan pada desa-desa di kawasan Cagar Biosfer Cibodas. Tingkat
perkembangan wilayah digambarkan dengan hirarki wilayah berdasarkan pada
kelengkapan sarana prasarana yang dimiliki masing-masing wilayah dengan
menggunakan analisis skalogram. Hirarki suatu wilayah ditentukan berdasarkan
pada tingkat perkembangan dan kapasitas pelayanan yang dapat disediakan.
Makin maju suatu wilayah, semakin beragam fasilitas yang disediakan sehingga
makin luas wilayah pengaruhnya (Tarigan 2004). Analisis dilakukan pada unit
wilayah desa sehingga tingkat perkembangan wilayah di kawasan Cagar Biosfer
Cibodas dicerminkan dengan nilai Indeks Perkembangan Desa (IPD). Semakin
tinggi nilai IPD maka semakin tinggi kapasitas pelayanan dan perkembangan
suatu wilayah. Input data yang digunakan adalah data PODES Tahun 2011 dengan
variabel kelompok data aksesibilitas, fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan dan
fasilitas ekonomi.

Memilih Variabel Analisis Skalogram


Hal penting dalam analisis skalogram adalah dalam memilih variabel-
variabel yang akan digunakan. Data yang digunakan adalah data Podes tahun
2011. Pada umumnya variabel dipilih berdasarkan tujuan spesifik penelitian,
namun dalam penelitian ini yang ingin diketahui adalah tingkat perkembangan
wilayah secara keseluruhan sehingga variabel-variabel pada data Podes yang
memungkinkan berpengaruh pada perkembangan wilayah dipilih semua dan
dihasilkan 78 variabel (Lampiran 2).
Analisis statistik dengan menggunakan Analisis Faktor dengan metode
ekstraksi Komponen Utama digunakan untuk mereduksi variabel-variabel terpilih
(78 variabel) dari data Podes 2011 yang tidak berpengaruh nyata pada hasil
analisis skalogram. Hasil dari analisis ini adalah bahwa dari 78 variabel yang
23

tereduksi menjadi 25 variabel (Lampiran 3) yang sesuai dengan asumsi yang


dipersyaratkan dalam analisis faktor. Selanjutnya 25 variabel ini digunakan dalam
analisis skalogram. Analisis faktor ini menggunakan aplikasi SPSS 17. Beberapa
hal yang harus dipenuhi dalam analisis faktor adalah sbb:
a. Uji Determinant of Correlation Matrix, Matrik korelasi dikatakan antar
variabel saling terkait apabila determinan bernilai mendekati nilai 0.
b. Kaiser Meyer Olkin Measure of Sampling (KMO) dan Bartlett Test of
Sphericity, KMO adalah indek perbandingan jarak antara koefisien korelasi
dengan koefisien korelasi parsialnya. Jika jumlah kuadrat koefisen korelasi
parsial di antara seluruh pasangan variabel bernilai kecil jika dibandingkan
dengan jumlah kuadrat koefisien korelasi, maka akan menghasilkan nilai
KMO mendekati 1. Nilai KMO dianggap mencukupi jika lebih dari 0,5.
Sedangkan rumus yang digunakan untuk Bartlett Test of Sphericity adalah
sebagai berikut:
2 +5
= − ln| | −1−
6
Dimana: R = Nilai determinan
n = Jumlah data
p = jumlah variabel
c. Measures of Sampling Adequacy (MSA), dimana nilai MSA pada masing-
masing variabel harus > 0.5. Apabila terdapat variabel yang memiliki nilai
MSA < 0.5 maka proses analisis faktor diulangi dari awal tanpa mengikutkan
variabel-variabel yang tidak memenuhi persyaratan uji MSA. Selanjutnya
dilihat lagi nilainya, jika pada proses tahap ini ternyata masih ada variable
yang tidak memenuhi syarat (MSA < 0.5), maka analisis faktor diulangi lagi
sampai semua variabel memenuhi syarat uji MSA.
d. Uji Communalities, dimana harus memenuhi persyaratan komunalitas yaitu
lebih besar dari 0,5 (communalities > 0.5). Perlu diingat bahwa jika ada
variabel dengan nilai Extraction pada tabel Communalities < 0.5, maka
variabel tersebut tidak memenuhi syarat komunalitas dan harus dikeluarkan
dari pengujian serta harus mengulangi langkah analis faktor dari awal tanpa
mengikutsertakan variabel yang tidak memenuhi syarat komunalitas.
Pengulangan tersebut sama dengan cara pengulangan pada syarat MSA.

Tahapan Analisis Skalogram


Prosedur kerja analisis skalogram adalah sebagai berikut (Panuju et al.
2012):
a. Memilih variabel yang digunakan sebagai penyusun indeks hirarki. Dalam
pemilihan ini, variabel di bagi menjadi dua kelompok, yaitu variabel positif
(Kelompok A) dan variabel negatif (Kelompok B). Variabel positif adalah
variabel yang semakin besar nilainya mencirikan wilayah dengan tingkat
perkembangan lebih tinggi. Sebaliknya, variabel negatif adalah variabel yang
semakin besar nilainya mencirikan hirarki atau tingkat perkembangan yang
lebih rendah. Contoh kelompok A adalah jumlah fasilitas sedangkan contoh
kelompok B adalah variabel jarak menuju fasilitas, waktu tempuh dan ongkos
tempuh ke fasilitas tertentu.
24

b. Menyusun matriks data dalam sheet yang berbeda


c. Menghitung indeks fasilitas per 1000 penduduk pada kelompok A dengan
cara menghitung nilai indeks fasilitas dengan persamaan berikut:

= 1000 ∗

dimana : Aij = indeks fasilitas ke-j pada wilayah ke i


Fij = jumlah fasilitas ke-j di wilayah ke-i
Pi = jumlah penduduk di wilayah ke-i
d. Menghitung Invers Indeks data pada kelompok B dengan menggunakan
persamaan Bij =1/Xij, dimana Bij adalah indeks invers data sedangkan Xij
adalah nilai data wilayah I variabel ke j
e. Menghitung bobot indeks penciri untuk variabel kelompok A dengan
persamaan Iij = Xijn/Xij αj, dimana i=1, 2,....,n menunjukkan jumlah wilayah
dan j=1,2,...,p menunjukkan jumlah variabel penciri. Data ini untuk
menghitung nilai minimum dan standar deviasi untuk kebutuhan tahapan
berikutnya.
f. Melakukan pembakuan indeks untuk seluruh variabel termasuk variabel
kelompok A dan kelompok B, sehingga hasil akhir adalah indeks baku yang
diperoleh dari persamaan berikut:

( − min ( )
Kij =

Kij adalah nilai baku indeks hirarki untuk wilayah ke-i dan ciri ke-j, Iij adalah
nilai bobot indeks penciri untuk wilayah ke-i dan ciri ke-j, min (Xj) adalah
nilai minimum indeks pada ciri ke-j, dan Sj adalah standar deviasi.
g. Mengkelaskan wilayah. Hirarki wilayah dalam hal ini dibagi menjadi 3 yaitu
tinggi, sedang dan rendah. Untuk menyusun kelas hirarki dari indeks baku ini
maka terlebih dahulu di cari parameter-parameter rataan Xj dan standar
deviasi. Wilayah dengan Hirarki I (tingkat perkembangan tinggi) adalah
wilayah-wilayah yang nilai jumlah indeks bakunya paling tidak sama dengan
nilai rataan ditambah dengan standar deviasi. Wilayah berhirarki II adalah
wilayah dengan nilai hirarki paling tidak sama dengan nilai rataan indeksnya.
Wilayah berhirarki III adalah wilayah dengan nilai indeks hirarki kurang dari
nilai rataan indeks diseluruh wilayah.
Hirarki 1 Ʃkij > Rataan (Kij) + Stdev (Kij)
Hirarki 2 Rataan (Kij) < ƩKij < Rataan (Kij) + Stdev (Kij)
Hirarki 3 ƩKij < Rataan (Kij).
Hasil analisis digambarkan pada peta untuk di analisis secara spasial.
Informasi yang diperoleh dari hasil analisis skalogram tersebut adalah:
 Ordo wilayah, yaitu wilayah (unit analisis) yang memiliki ordo tertinggi atau
berfungsi sebagai pusat aktifitas sosial ekonomi. Wilayah hirarki I merupakan
wilayah dengan hirarki lebih tinggi atau memiliki ordo lebih tinggi yang
25

memiliki fasilitas terlengkap secara relatif dibandingkan dengan wilayah


lainnya dan sebaliknya.
 Fasilitas penciri ordo tertinggi, dalam hal ini fasilitas yang berada pada posisi
terkiri merupakan fasilitas yang tersebar luas di seluruh unit lokasi,
sebaliknya yang terkanan merupakan fasilitas yang hanya tersedia di lokasi
tertentu (umumnya lokasi dengan hirarki lebih tinggi). Artinya bahwa fasilitas
terkanan merupakan fasilitas penciri ordo tinggi atau dalam hal ini bisa
dikatakan sebagai fasilitas penciri perkotaan. Jika terkait dengan jarak maka
data jarak terkanan menunjukkan fasilitas tersedia paling langka dan hanya
tersedia di lokasi-lokasi tertentu.

Tingkat Kemiskinan
Tingkat kemiskinan di setiap desa diperoleh dari proporsi jumlah penduduk
miskin pada desa tersebut, selanjutnya dikelompokan menjadi tiga tingkatan
kemiskinan yaitu rendah, sedang dan tinggi. Desa dengan tingkat kemiskinan
rendah adalah desa dengan nilai persentase penduduk miskinnya (%pm) kurang
dari nilai rataan diseluruh desa. Desa dengan tingkat kemiskinan sedang adalah
desa dengan jumlah persentase penduduk miskin diantara nilai rataan dan nilai
rataan ditambah standar deviasi. Desa dengan tingkat kemiskinan tinggi adalah
desa yang nilai persentase penduduk miskinnya paling tidak sama dengan nilai
rataan ditambah dengan standar deviasi.
Rendah % pm < Rataan (%pm)
Sedang Rataan (%pm) < %pm < Rataan (%pm) + Stdev (%pm)
Tinggi %pm > Rataan (%pm) + Stdev (%pm)

Tipologi Pemanfaatan Ruang di Cagar Biosfer Cibodas


Penyusunan tipologi bertujuan untuk mengelompokkan suatu unit
pengamatan berdasarkan kesamaan karakteristik pada setiap kelompok tipologi.
Semakin banyak informasi atau parameter yang digunakan dalam penyusunan
tipologi dapat memberikan informasi yang semakin lengkap, namun disisi lain
dapat menjadikan tipologi yang terbentuk sangat banyak karena banyaknya variasi
kesamaan (homogenitas) setiap parameter. Dalam hal tujuan pembuatan tipologi
untuk pendekatan arahan kebijakan maka banyaknya tipologi menjadi kurang
efektif. Oleh karena itu tipologi pemanfaatan ruang di Cagar Biosfer Cibodas
dalam kajian ini disusun berdasarkan pada dua parameter, yaitu 1) sosial ekonomi
wilayah yang terdiri dari tingkat perkembangan wilayah desa dan tingkat
kemiskinan setiap desa, dan 2) aspek fisik lahan yaitu proporsi penggunaan/
penutupan lahan dan tingkat kemiringan lereng di setiap desa.
Parameter sosial ekonomi diperoleh dari hasil analisis klaster dengan
variabel tingkat perkembangan wilayah dan tingkat kemiskinan. tingkat
perkembangan wilayah diperoleh dari hasil analisis skalogram dan
mengelompokkannya menjadi tiga hirarki yang mencerminkan tingkat
perkembangan desa tersebut. Tingkat kemiskinan diperoleh hasil dari pengkelasan
yang telah dlakukan.
Selanjutnya hasil analisis skalogram dan tingkat kemiskinan dikelompokkan
dengan menggunakan analisis gerombol (Cluster Analisys) berhirarki dengan
metode Ward’s. Ukuran jarak yang digunakan adalah ukuran jarak Euclidean.
26

Klaster yang dihasilkan diolah lagi dengan menggunakan pendekatan metode K-


Mean Cluster untuk membentuk kelompok setiap klaster dan menginterpretasikan
dasar pengelompokan antar klaster. Analisis klaster adalah suatu teknik
mengelompokkan variabel menjadi kelompok atau klaster-klaster berdasarkan
kesamaan karakteristik variabel tersebut (Sharma 1996). Senada dengan hal
tersebut (Johnson dan Wichern 1992 dalam Juaeni et al, 2010) mendefinisikan
analisis klaster adalah suatu teknik multivariat yang memiliki tujuan untuk
mengelompokkan objek-objek yang mempunyai kesamaan karakteristik tertentu
ke dalam klaster-klaster sehingga objek-objek memiliki homogenitas yang tinggi
di dalam klasternya dan mempunyai heterogenitas yang tinggi antar klaster.
Hasilnya adalah klaster desa yang memiliki kemiripan karakteristik pada tingkat
perkembangan wilayah dan tingkat kemiskinannya.
Parameter aspek fisik lahan terdiri dari luas penggunaan/penutupan lahan
aktual dan luas kemiringan lereng di setiap desa di CBC. Data tingkat kemiringan
lereng diperoleh dari hasil analisis data SRTM yang diolah dengan menggunakan
GIS. Selanjutnya setiap kelas penggunaan/ penutupan lahan dan kemiringan
lereng dihitung luasnya di setiap desa dan dipersentasekan dalam bentuk data
tabular. Selanjutnya untuk mengelompokkan desa-desa yang memiliki kemiripan
karakteristik dalam hal luas setiap kelas penggunaan/ penutupan lahan dan luas
setiap tingkat kemiringan lereng, digunakan analisis gerombol (Cluster Analysis)
berhirarki dengan metode Ward’s dan K-means Cluster dengan tahapan
sebagaimana pada parameter sosial ekonomi wilayah. Analisis gerombol ini
dilakukan dengan menggunakan software STATISTICA 7.

Arahan Kebijakan Pengelolaan


Arahan kebijakan pengelolaan dapat disusun berdasarkan berbagai
pendekatan disesuaikan dengan tujuan yang ingin di capai. Pada penelitian ini,
arahan kebijakan pengelolaan Cagar Biosfer Cibodas berdasarkan pada tipologi
desa, dimana desa-desa yang tergabung dalam tipologi yang sama memiliki
karakteristik yang mirip satu sama lain sesuai dengan asumsi dan parameter yang
telah ditetapkan.
Arahan kebijakan pengelolaan dilakukan dengan analisis deskriptif
berdasarkan pada tipologi yang ada. Penelusuran laporan, dokumen terkait Cagar
Biosfer Cibodas, kebijakan dan peraturan yang terkait dengan Cagar Biosfer
Cibodas digunakan untuk memperkaya arahan pengelolaan. Mengingat
keterbatasan penelitian, maka arahan kebijakan pengelolaan lebih bersifat uraian
umum berdasarkan hasil kajian yang telah dilakukan.
27

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Cagar Biosfer Cibodas

Administrasi
Secara administratif pemerintahan, Cagar Biosfer Cibodas terletak pada tiga
kabupaten yaitu Kabupaten Bogor, Cianjur dan Sukabumi. Wilayah kecamatan di
setiap kabupaten berju mlah 6 kecamatan di Kabupaten Bogor, 7 Kecamatan di
Kabupaten Cianjur dan 12 Kecamatan di Kabupaten Sukabumi yang seluruhnya
terdiri dari 145 desa. Rincian nama kecamatan dan desa sebagimana pada Tabel 2.

Tabel 2 Rincian wilayah administratif kabupaten, kecamatan dan desa di Cagar


Biosfer Cibodas
Kabupaten Kecamatan Desa
1 BOGOR 1 Caringin Caringin, Muara Jaya, Ciderum, Pasir Muncang,
Cinagara, Pasir Buncir, Lemah Duhur, Pancawati,
Cimande, Cimande Hilir, Tangkil
2 Ciawi Ciawi, Bendungan, Banjar Sari, Citapen, Banjar
Waru, Banjar Wangi, Teluk Pinang, Jambu Luwuk,
Bojong Murni, Cibedug, Cileungsi
3 Cigombong Cigombong, Wates Jaya, Srogol, Ciburuy
4 Cisarua Cisarua, Cibeureum, Tugu Utara, Citeko, Tugu
Selatan, Kopo
5 Megamendung Sukamanah, Gadog, Sukaresmi, Sukamahi,
Sukamaju, Sukakarya, Kuta, Sukagalih
6 Sukamakmur Sukawangi
2 CIANJUR 1 Cianjur Sawah Gede, Limbangan Sari, Mekarsari, Nagrak,
Sukamaju,
2 Cipanas Cipanas, Sindanglaya, Cimacan, Ciloto, Palasari,
Sindangjaya, Batulawang
3 Cugenang Cijedil, Mangunkerta, Benjot, Galudra, Sukajaya,
Nyalindung, Sarampad, Cirumput, Sukamulya,
Talaga, Gasol, Padaluyu, Cibeureum
4 Gekbrong Gekbrong, Songgom,Cikahuripan, Kebonpeuteuy
5 Pacet Cipendawa, Gadog, Ciherang, Sukanagalih, Cibodas,
Ciputri, Sukatani
6 Sukaresmi Cikanyere
7 Warungkondang Jambudipa, Ciwalen, Sukawangi, Tegallega,
Mekarwangi, Bunikasih, Bunisari
3 SUKABUMI 1 Bojong Genteng Bojong Genteng
2 Caringin Caringin Kulon, Sukamulya, Cikembang, Talaga,
Seuseupan, Cijengkol, Caringin Wetan, Mekarjaya
3 Ciambar Ciambar, Ginanjar, Munjul, Wangunjaya
4 Cibadak Ciheulang Tonggoh
5 Cicurug Tenjoayu, Nyangkowek, Purwasari, Benda,
Nanggerang, Kutajaya
6 Cisaat Gunungjaya, Sukaresmi, Selajambe, Sukasari,
Kutasirna
28
Tabel 2. (Lanjutan)
Kabupaten Kecamatan Desa
7 Kadudampit Kadudampit, Gede Pangrango, Muaradua,
Cikahuripan, Sukamanis, Sukamaju, Undrus
Binangun, Cipetir, Citamiang
8 Nagrak Nagrak Selatan, Nagrak Utara, Girijaya, Cisarua,
Babakan Panjang, Cihanyawar, Pawenang,
Kalaparea, Darmareja, Balekambang
9 Parung Kuda Bojong Kokosan, Parungkuda, Kompa
10 Sukabumi Warnasari, Karawang, Sudajaya Girang, Parungseah,
Sukajaya
11 Sukalarang Sukalarang, Sukamaju
12 Sukaraja Limbangan, Margaluyu, Selaawi, Langensari,
Sukamekar, Cisarua

Iklim
Tipe iklim di kawasan Cagar Biosfer Cibodas termasuk Tipe A (Nilai Q = 5
– 9%). Curah hujan yang tinggi dengan curah hujan tahunan rata-rata berkisar
antara 3 000 mm/tahun – 4 200 mm/tahun, menyebakan kawasan ini merupakan
salah satu daerah terbasah di Pulau Jawa. Suhu udara rata-rata di puncak zona inti
(puncak gunung Gede dan Pangrango) pada siang hari berkisar 10o C dan di
daerah penyangga berkisar 18o C. Pada malam hari suhu udara di puncak Gunung
Gede dan Gunung Pangrango berkisar 5o C.
Namun pada musim kering/kemarau suhu udara di puncak Gunung Gede
maupun di puncak Gunung Pangrango bisa mencapai 0o C. Kelembaban udara
tinggi yakni sekitar 80-90%, sehingga memungkinkan tumbuhannya jenis-jenis
lumut pda batang, ranting dan dedaunan pepohohonan yang ada. Secara umum
angin bertiup di kawasan ini merupakan angin Muson yang berubah arah menurut
musim. Pada musim penghujan, terutama pada bulan Desember- Maret, angin
bertiup dari arah Barat Daya dengan kecepatan cukup tinggi dan seringkali
mengakibatkan kerusakan hutan. Di sepanjang musim kemarau, angin bertiup dari
arah Timur dengan kecepatan rendah.

Hidrologi
Kawasan Cagar Biosfer Cibodas berperan penting dalam penyediaan air
permukaan maupun air bawah tanah karena di dalam kawasan ini terdapat ± 50
sungai dan anak sungai. Pada umumnya sungai-sungai tersebut mengalir
sepanjang tahun dengan debit yang relative tetap dengan fluktuasi yang tidak
tinggi (Kamiharja 2001 dalam Suparman 2012). Sungai-sungai yang berhulu di
area inti kawasan Cagar Biosfer Cibodas ini antara lain Sungai Cimandiri yang
mengalir ke arah selatan dan bermuara di Pelabuhan Ratu, Sungai Cisarua dan
Cinagara mengalir ke arah barat dan menyatu dengan Sungai Ciliwung dan Kali
Angke yang bermuara di Laut Jawa. Sungai Cikundul dan Cijeruk Leutik
mengalir ke arah timur dan menyatu dengan Sungai Citarum. Sungai-sungai
tersebut merupakan sumber pasokan air bersih dan pengairaan untuk pertanian di
Kabupaten Sukabumi, Bogor dan Cianjur.

Topografi
Topografi kawasan Cagar Biosfer Cibodas bervariasi mulai dari kemiringan
lereng datar (< 8%) sampai dengan sangat curam (> 45%). Secara keseluruhan
29

kawasan Cagar Biosfer Cibodas didominasi topografi datar dengan luas sekitar 46
421.95 ha atau 52.99 % dan yang paling sedikit ada pada kemiringan lereng
sangat curam (> 45%) yang berada di puncak Gunung Gede Pangrango. Rincian
kemiringan lereng dan luasnya pada masing-masing zona sebagaimana pada Tabel
3 dan secara spasial pada Gambar 4.

Tabel 3 Kemiringan lereng di kawasan Cagar Biosfer Cibodas


Area Inti Zona Penyangga Area Transisi Jumlah
Kemiringan
Lereng Luas Luas Luas Luas
% % % %
(ha) (ha) (ha) (ha)
< 8% 1531.88 6.15 20023.89 66.23 24866.18 76.57 46421.95 52.99
8% - 15% 6140.08 24.67 7021.58 23.22 4995.99 15.38 18157.64 20.73
16% - 25% 10463.36 42.03 2480.79 8.21 2141.61 6.59 15085.76 17.22
26% - 45% 6448.75 25.91 704.32 2.33 471.33 1.45 7624.40 8.70
> 45% 309.61 1.24 3.73 0.01 0.00 313.35 0.36
Jumlah 24893.68 100.00 30234.31 100.00 32475.10 100.00 87603.10 100.00

Gambar 4 Peta kemiringan lereng di Cagar Biosfer Cibodas

Perkembangan Batas dan Zonasi Cagar Biosfer Cibodas

Cagar Biosfer Cibodas ditetapkan pada tahun 1977 dengan area inti pada
saat itu berupa Cagar Alam Cibodas-Gunung Gede (1040 ha), Cagar Alam
Gunung Gede Pangrango (14 000 ha), Taman Wisata Situ Gunung (100 ha) dan
Cagar Alam Cimungkat (56 ha), yang kemudian menjadi Taman Nasional
30

Gunung-Gede Pangrango (TNGGP) seluas seluas 15 196 ha yang ditetapkan pada


tahun 1980. Cagar Biosfer Cibodas yang secara administratif terletak di tiga
wilayah kabupaten yaitu Kabupaten Bogor, Cianjur, dan Sukabumi mempunyai
batas luar berupa jalan raya lingkar Ciawi, Puncak, Cianjur, Sukabumi, Ciawi.
Secara geografis kawasan ini terletak pada koordinat 106o51’ – 107o02’ BT dan
6o41’ – 6o51’ LS (BBTNGGP 2012).
Penetapan batas buatan berupa jalan raya pada Cagar Biosfer Cibodas
dimaksudkan untuk mempermudah dileniasi di lapangan. Namun demikian,
daerah-daerah penting di sebelah luar jalan dikeluarkan dari sistem pengelolaan
cagar biosfer. Sebagai contoh Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Telaga
Warna yang letaknya sangat berdekatan dan secara ekologis mempunyai
kedekatan dengan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango berada di luar sistem
Cagar Biosfer Cibodas. Zonasi Cagar Biosfer Cibodas ditetapkan dengan area inti
berupa TN Gunung Gede Pangrango dengan Zona Penyangga berupa kawasan
perkebunan, dan desa wisata, serta sisanya berupa Area Transisi.
Luas total Cagar Biosfer Cibodas adalah sekitar 108.000 ha dengan zonasi
yang memperlihatkan batas luar yang jelas, namun batas antar zona, terutama
antara zona penyangga dengan area transisi masih belum terlalu jelas karena
merupakan batas imajiner yang berupa hasil GIS buffering di atas peta dengan
jarak buffer sekitar 2 km dari batas luar kawasan taman nasional. Area Inti berupa
taman nasional yang pada saat ditetapkan luasnya 15.196 ha dengan batas-batas
berupa pal batas taman nasional. Zona Penyangga ditetapkan berupa Perkebunan
Teh PTP Gunung Mas, Taman Safari Indonesia, Peternakan Tapos dan Kampung
Wisata Pancawati dengan luas sekitar 12 700 ha. Zona terluar berupa Area
Transisi merupakan pemukiman dan lahan budidaya lainnya termasuk hutan
produksi (yang dengan Keputusan Menteri Kehutanan No. 174 Tahun 2003 telah
dirubah statusnya menjadi areal perluasan taman nasional) dengan luas area
transisi sekitar 80 104 ha yang seluruhnya dibatasi oleh Jalan Raya Gadog-Ciawi-
Sukabumi-Cianjur-Puncak-Gadog.
Secara umum zonasi Cagar Biosfer Cibodas menunjukkan bentuk yang ideal,
dimana area inti sepenuhnya dikelilingi oleh zona penyangga dan di bagian paling
luar sepenuhnya dikelilingi area transisi. Namun demikian zonasi tersebut
ditetapkan tidak melalui analisis yang lebih mendalam dan hanya dilakukan di
atas peta dan menggunakan kriteria yang terbatas, maka penerapan di lapangan
dapat menimbulkan masalah, terutama karena belum pernah dikonsultasikan
secara publik dan batas-batasnya imajiner, kecuali batas terluar.
Selain itu walaupun penggunaan jalan raya sebagai batas cagar biosfer dapat
memudahkan dalam pengelolaan dan dilineasi, dari sisi ekologis dan penetapan
dasar legal dapat menyulitkan. Banyak desa yang terpotong oleh jalan raya
sehingga hanya sebagian wilayah desa yang masuk dalam sistem cagar biosfer.
Hal tersebut dapat menyulitkan apabila cagar biosfer telah mempunyai dasar legal
dimana ada suatu wilayah administratif (desa) yang hanya sebagian diatur dan
dikenai pembatasan-pembatasan, padahal satu desa mempunyai karakteristik yang
homogen.
Pada tahun 2012 batas dan zonasi Cagar Biosfer Cibodas di revisi dengan
Jalan Lingkar Ciawi-Sukabumi-Cianjur-Cipanas-Ciawi sebagai referensi, namun
dengan memasukkan bagian dari desa yang terpotong jalan, memasukkan Cagar
Alam (CA) danTaman Wisata Alam (TWA) Telaga Warna dan memasukkan
31

desa-desa dengan tutupan lahan baik berdasarkan citra satelit. Kriteria zonasi
ditentukan berdasarkan lokasi administratif desa, pola ruang, pola hidrologi,
kerawanan terhadap bencana dan tutupan lahan. Kriteria-kriteria dan justifikasi
zonasi tersebut adalah sebagai berikut (ITTO Project 2012):
1. Area Inti ditetapkan dengan kriteria kawasan konservasi yaitu TN Gunung
Gede Pangrango, CA Telaga Warna, TWA Telaga Warna dan TWA Jember.
2. Zona Penyangga ditetapkan dengan kriteria seluruh desa yang berbatasan
langsung dengan area inti yaitu taman nasional dan cagar alam dan taman
wisata alam (desa layer ke 1), kawasan dengan tutupan vegetasi baik dilihat
dari citra satelit resolusi tinggi (citra Quickbird liputan tahun 2009) daerah
resapan air, kawasan rawan bencana (KRB) III (selalu terancam aliran lava,
gas beracun dan awan panas) dan kawasan lindung berdasarkan RTRW
sehingga dipandang sesuai sebagai zona peenyangga CBC.
3. Area Transisi ditetapkan berdasarkan desa layer kedua di belakang zona
penyangga, pemukiman berupa kawasan pedesaan yang bukan zona
penyangga, dan KRB II (berpotensi terhadap aliran lava, gas beracun dan
awan panas) dan KRB I (berpotensi dilanda aliran lahar) yang bukan zona
penyangga.

Sumber: ITTO Project (2012)


Gambar 5 Peta Cagar Biosfer Cibodas Batas Lama (1977-2012)
32

Sumber: ITTO Project (2012)


Gambar 6 Peta Cagar Biosfer Cibodas saat ini (2012 – sekarang)
33

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

Penggunaan/Penutupan Lahan di Cagar Biosfer Cibodas

Berdasarkan hasil interpretasi citra diperoleh hasil kelas penggunaan/


penutupan lahan yang di bagi menjadi 8 (delapan) tipe penggunaan/penutupan
lahan sebagai berikut: hutan (H), lahan terbangun (LT), tanaman pertanian lahan
basah (TPLB), tanaman pertanian lahan kering (TPLK), perkebunan (Pk),
rumput/tanah kosong (R), belukar/semak (B) dan tubuh air (TA). Hasil uji akurasi
dan verifikasi menunjukkan bahwa hasil klasifikasi memiliki tingkat akurasi yang
cukup baik dengan nilai Overall accuracy sebesar 90,67 %.
Kelas hutan didominasi oleh hutan konservasi yaitu berupa Taman Nasional,
Taman Wisata Alam dan Cagar Alam serta ada sebagian kecil hutan tanaman
produksi. Lahan terbangun meliputi permukiman baik teratur maupun tidak teratur
dan jalan. Tanaman pertanian lahan kering merupakan kelas gabungan antara
ladang/tegalan (sepanjang tahun) dengan kebun campuran hal ini disebabkan pada
beberapa lokasi, ladang/tegalan dan kebun campuran tidak dapat dipisahkan
dengan tegas mengingat kebun campuran (umumnya tanaman berkayu) memiliki
densitas yang cukup rendah dan diselingi oleh tegalan. Tanaman pertanian lahan
basah berupa sawah baik sawah beririgasi teknis maupun sawah tadah hujan.
Perkebunan dicirikan oleh hamparan pepohonan dengan batas-batas yang jelas
dan teratur, di kawasan CBC perkebunan didominasi oleh perkebunan teh.
Rumput/tanah kosong berupa lapangan berumput, taman berumput dan pada
kawasan TNGGP berupa kawah dan padang edelweiss. Tubuh air berupa danau,
kolam dan sungai.
Hasil perhitungan luas menggunakan GIS, luas Cagar Biosfer Cibodas
adalah 87 603.10 ha. Struktur penggunaan/penutupan lahan di kawasan Cagar
Biosfer Cibodas sebagaimana pada Tabel 4 dan Gambar 7.

Tabel 4 Struktur Penggunaan/Penutupan Lahan di Cagar Biosfer Cibodas


Penggunaan/ Penutupan Luas
Luas (ha)
Lahan (%)
Belukar/Semak 4060.54 4.64
Hutan 25738.66 29.38
Lahan Terbangun 12066.22 13.77
Perkebunan 4910.32 5.61
Rumput/Tanah Kosong 663.49 0.76
TP Lahan Basah 15691.13 17.91
TP Lahan Kering 24398.79 27.85
Tubuh Air 73.95 0.08
Jumlah 87603.10 100.00

Penggunaan/penutupan lahan di kawasan CBC secara keseluruhan


didominasi oleh kelas hutan dengan luas 25 738.66 ha atau 29.38 % dari luas
wilayah (Tabel 4). Penggunaan/penutupan lahan terbesar kedua adalah tanaman
pertanian lahan kering dengan luas 24 398.79 ha atau 27.85 %. Selanjutnya
berturut-turut adalah pertanian lahan basah (15 691.13 ha atau 17.91 %), lahan
34

terbangun (12 066.22 ha atau 13.77 %), perkebunan (4 910.32 ha atau 5.61 %),
belukar/semak (4 060.54 ha atau 4.64 %), rumput/tanah kosong (663.49 ha atau
0.76 %) dan tubuh air (73.95 ha atau 0.08 %). Struktur penggunaan/ penutupan
lahan di Cagar Biosfer Cibodas sebagaimana pada Gambar 7. Peta
penggunaan/penutupan lahan di Cagar Biosfer Cibodas tertera pada Gambar 8.

Gambar 7 Struktur Penggunaan/Penutupan Lahan di Cagar Biosfer Cibodas

Gambar 8 Peta Penggunaan/Penutupan Lahan di Cagar Biosfer Cibodas


35

Pada Gambar 8 dapat dilihat pola sebaran penggunaan/penutupan lahan


untuk masing-masing kelas sebagai berikut :
1. Pola sebaran belukar/semak (B)
Belukar/semak luasannya tidak terlalu luas, sebagian lokasinya berbatasan
langsung dengan hutan pada kaki gunung, dimungkinkan terbentuk dari
suksesi hutan yang terdegradasi. Sebagian besar masih bagian dari area inti,
tersebar mengelompok terutama di bagian selatan dan barat daya area inti.
Sebagian kecil berada di utara dan timur kawasan.
2. Pola sebaran Hutan (H)
Hutan di Cagar Biosfer Cibodas bersifat mengelompok dan terkonsentrasi
berada di tengah Cagar Biosfer Cibodas, hutan di kawasan CBC sebagian
besar merupakan hutan pegunungan dan telah ditetapkan sebagai kawasan
konservasi yaitu sebagai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP).
Pada bagian utara juga terdapat hutan yang secara ekologis masih satu
kesatuan dengan hutan TNGGP, dan juga merupakan hutan konservasi.
Bentuk hutan yang mengelompok memberikan kemudahan dalam
pengelolaannya dibanding jika pola hutan tersebar kecil-kecil. Kelas hutan
merupakan kelas penggunaan/penutupan lahan yang paling dominan di Cagar
Biosfer Cibodas. Selain hutan konservasi, di sebelah timur kawasan CBC
juga terdapat hutan produksi .
3. Pola sebaran Lahan Terbangun (LT)
Lahan terbangun di Cagar Biosfer Cibodas sebagian besar merupakan daerah
permukiman penduduk. Secara umum pola sebaran permukiman di CBC
tersebar merata di sekeliling area inti Cagar Biosfer Cibodas membentuk
kelompok-kelompok permukiman diantara lahan-lahan pertanian dan
sebagian lagi mengelompok memanjang mengikuti arah jalan. Di beberapa
tempat kelompok permukiman ini membentuk kelompok permukiman yang
cukup besar yaitu di sebelah utara dan barat kawasan Cagar Biosfer Cibodas,
sebagian kecil di sebelah timur mengarah ke pusat Kabupaten Cianjur dan
sebagian kecil di arah selatan yang berbatasan langsung dengan Kota
Sukabumi. Jika dilihat dari pola sebarannya, maka wilayah utara kawasan
memiliki konsentrasi lahan terbangun yang lebih mengelompok dibandingkan
di wilayah selatan kawasan. Hal ini terjadi karena wilayah utara merupakan
wilayah tujuan wisata sehingga banyak fasilitas, sarana prasarana dan
aktifitas ekonomi yang menjadi daya tarik masyarakat dan mendorong
meningkatnya jumlah permukiman di wilayah tersebut.
4. Pola sebaran Perkebunan (Pk)
Perkebunan di Cagar Biosfer Cibodas didominasi oleh perkebunan teh yang
tersebar di sebelah utara dan timur kawasan serta sedikit di sebelah selatan
kawasan Cagar Biosfer Cibodas. Umumnya perkebunan di Cagar Biosfer
Cibodas berada di zona penyangga dan berbatasan langsung dengan hutan di
area inti.
5. Pola sebaran rumput/tanah kosong (R)
Rumput/tanah kosong di Cagar Biosfer Cibodas secara aktual berbentuk
padang rumput, lapang golf dan yang berada di area inti merupakan puncak
gunung (kawah) dan padang edelweis. Sebagian juga berada tersebar kecil-
36

kecil di sekitar permukiman. Secara keseluruhan memiliki luas yang kecil


dari luas kawasan Cagar Biosfer Cibodas.
6. Pola sebaran tanaman pertanian lahan basah (TPLB)
Tanaman pertanian lahan basah dalam penelitian ini berupa sawah baik sawah
beririgasi teknis maupun sawah tadah hujan. TPLB di Cagar Biosfer Cibodas
meliputi wilayah yang luas dan merupakan kelas penggunaan/penutupan
lahan terluas ke-tiga yang tersebar di sebelah timur dan selatan kawasan,
sedangkan di bagian barat luasan TPLB tidak terlalu besar. Pada Gambar 9
dapat dilihat bahwa diantara hamparan TPLB yang luas terdapat kelompok-
kelompok kecil permukiman yang tersebar secara acak.
7. Pola sebaran tanaman pertanian lahan kering (TPLK)
Tanaman pertanian lahan kering merupakan kelas penggunaan/ penutupan
lahan terluas ke-dua di Cagar Biosfer Cibodas, meliputi wilayah yang luas
dan banyak tersebar di bagian barat, selatan dan timur kawasan mengelilingi
area inti. Sama halnya dengan TPLB, pada hamparan TPLK juga terdapat
kelompok-kelompok permukiman yang tersebar secara acak.
8. Pola sebaran tubuh air (TA)
Tubuh air di Cagar Biosfer Cibodas berupa sungai, kolam dan danau baik
alami maupun buatan. Secara keseluruhan luasannya kecil. Beberapa tubuh
air yang dapat dideskripsikan adalah berada di bagian selatan dan masih
bagian dari area inti yang juga merupakan salah satu objek wisata Taman
Nasional Gunung Gede Pangrango, sebelah barat berupa danau Lido, dan
sebelah utara yang merupakan bagian kawasan konservasi yaitu Taman
Wisata Alam Telaga Warna.
Penggunaan/penutupan lahan tidak terlepas dari pengaruh faktor fisik
kawasan salah satunya adalah faktor kemiringan lereng. Tidak semua tipe
penggunaan lahan sesuai di semua tingkat kemiringan lereng, ada beberapa tipe
penggunaan lahan yang harus mempertimbangkan kemiringan lereng. Kondisi
penggunaan/penutupan lahan berdasarkan kemiringan lereng sebagaimana Tabel 5.

Tabel 5 Luas Penggunaan/Penutupan Lahan berdasarkan Kemiringan Lereng

Kemiringan Luas Penggunaan/Penutupan Lahan (ha)


Jumlah
Lereng B H LT Pk R TPLB TPLK TA
< 8% 919.69 1374.94 11041.22 2320.87 418.51 14616.92 15668.05 61.74 46421.95
8% - 15% 1485.55 6167.13 954.62 2124.78 110.94 1944.67 5361.80 8.15 18157.64
16% - 25% 1427.46 10792.79 62.77 439.56 88.72 396.14 1874.85 3.47 15085.76
26% - 45% 227.84 7093.88 7.60 25.11 41.90 40.07 187.40 0.59 7624.40
> 45% 309.92 3.43 313.35
Jumlah 4060.54 25738.66 12066.22 4910.32 663.49 16997.81 23092.10 73.95 87603.10

Untuk beberapa tipe penutupan lahan yang sifatnya terbentuk secara alami,
pada umumnya tidak ada masalah berada di lokasi dengan kemiringan lereng
berapapun. Tetapi untuk beberapa tipe penggunaan lahan dimana didalamnya ada
unsur aktivitas dan campur tangan manusia, maka faktor kemiringan lereng
menjadi hal yang harus dipertimbangkan terutama pada lokasi dengan kemiringan
37

lereng curam dan sangat curam. Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa pada tipe
penggunaan lahan TPLB, TPLK dan LT terdapat juga pada lokasi dengan
kemiringan lereng curam. Hal ini menunjukkan bahwa manusia memiliki
kemampuan untuk melakukan konversi lahan pada kemiringan lereng berapapun.
Selain itu terjadinya konversi lahan pada kemiringan lereng curam patut
diwaspadai karena dapat memicu terjadinya bencana longsor.

Penggunaan/Penutupan Lahan setiap Kabupaten


Cagar Biosfer Cibodas secara administratif terbagi ke dalam 3 (tiga)
kabupaten, yaitu Bogor, Cianjur dan Sukabumi. Luas wilayah Cagar Biosfer
Cibodas di Kabupaten Bogor sebesar 25 295.63 ha atau 28.88 %, Kabupaten
Cianjur sebesar 25 523.43 ha atau 29.14 % dan Kabupaten Sukabumi sebesar 36
784.04 ha atau 41.99 %. Berdasarkan luas wilayah, luas Cagar Biosfer Cibodas di
Kabupaten Bogor dan Kabupaten Cianjur memiliki luasan yang hampir sama, dan
yang terluas adalah yang masuk ke wilayah Kabupaten Sukabumi. Namun
demikian, struktur penggunaan/penutupan lahan pada masing-masing kabupaten
berbeda. Struktur penggunaan/penutupan lahan di kawasan Cagar Biosfer Cibodas
di setiap kabupaten sebagaimana disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Struktur penggunaan/penutupan lahan di Cagar Biosfer Cibodas per


Kabupaten
BOGOR CIANJUR SUKABUMI Jumlah
Penggunaan/
Penutupan Lahan Luas Luas Luas Luas Luas Luas Luas Luas
(ha) (%) (ha) (%) (ha) (%) (ha) (%)
Belukar/Semak 1238.72 4.90 628.81 2.46 2193.01 5.96 4060.54 4.64
Hutan 8505.55 33.62 7403.38 29.01 9829.73 26.72 25738.66 29.38
Lahan Terbangun 3715.35 14.69 3715.15 14.56 4635.71 12.60 12066.22 13.77
Perkebunan 1607.83 6.36 2104.19 8.24 1198.29 3.26 4910.32 5.61
Rumput/Tanah 340.19 1.34 275.85 1.08 47.45 0.13 663.49 0.76
Kosong
TP Lahan Basah 2466.95 9.75 5785.20 22.67 7438.97 20.22 15691.13 17.91
TP Lahan Kering 7389.45 29.21 5589.72 21.90 11419.61 31.05 24398.79 27.85
Tubuh Air 31.59 0.12 21.09 0.08 21.26 0.06 73.95 0.08
Jumlah 25295.63 100.00 25523.42 100.00 36784.04 100.00 87603.10 100.00

Pada wilayah Kabupaten Bogor penggunaan/penutupan lahan terbesar


adalah hutan dengan luas 8 505.55 ha atau 33.62 %, yang ke dua adalah tanaman
pertanian lahan kering sebesar 7 389.45 ha atau 29.21 % dan yang ke tiga adalah
lahan terbangun (3 715.35 ha atau 14.69 %). Kondisi penggunaan/penutupan
lahan saat ini secara keseluruhan didominasi oleh penutupan lahan berupa
vegetasi, mengingat daerah ini merupakan hulu dari DAS Ciliwung yang aliran
airnya menuju wilayah Jakarta dan sekitarnya maka menjaga agar kondisi tutupan
berupa vegetasi tetap terjaga merupakan hal penting yang harus dilakukan.
Penggunaan/penutupan lahan Cagar Biosfer Cibodas di Kabupaten Cianjur
yang terbesar adalah hutan dengan luas 7 403.38 ha atau 29.01 %, yang ke dua
adalah tanaman pertanian lahan basah dengan luas 5 785.20 ha atau 22.67 %. dan
yang ke tiga adalah tanaman pertanian lahan kering dengan luas 5 589.72 ha atau
21.90 %. Kabupaten Cianjur dikenal sebagai salah satu sentra beras. Namun
pemerintah daerah Kabupaten Cianjur harus mewaspadai terjadinya konversi pada
38

lahan sawah. Menurut Irawan (2005), konversi yang lebih besar terjadi pada lahan
sawah dibandingkan dengan lahan kering karena dipengaruhi oleh tiga faktor,
yaitu: (1) pembangunan kegiatan non pertanian seperti kompleks perumahan,
pertokoan, perkantoran, dan kawasan industri lebih mudah dilakukan pada tanah
sawah yang lebih datar dibandingkan dengan tanah kering; (2) akibat
pembangunan masa lalu yang terfokus pada upaya peningkatan produk padi maka
infrastruktur ekonomi lebih tersedia di daerah persawahan daripada daerah tanah
kering; (3) daerah persawahan secara umum lebih mendekati daerah konsumen
atau daerah perkotaan yang relatif padat penduduk dibandingkan daerah tanah
kering yang sebagian besar terdapat di wilayah perbukitan dan pegunungan.
Penggunaan/penutupan lahan di Kabupaten Sukabumi memiliki struktur
yang sedikit berbeda dengan dua kabupaten lainnya dimana hutan merupakan
penutupan lahan terluas, di Kabupaten Sukabumi penggunaan/ penutupan lahan
terbesar adalah tanaman pertanian lahan kering dengan luas 11 419.61 ha atau
31.05 % dan hutan merupakan kelas penutupan lahan yang ke dua dengan luas 9
829.73 ha atau 26.72 %. Namun dari sisi luas hutan, hutan di Kabupaten
Sukabumi merupakan hutan dengan luasan terbesar dibandingkan Kabupaten
Cianjur dan Kabupaten Bogor. Luas penggunaan/penutupan lahan yang ke tiga
adalah tanaman pertanian lahan basah dengan luas 7 438.97 ha atau 20.22 %.
Luasnya lahan pertanian di Kabupaten Sukabumi merupakan potensi sebagai
penghasil tanaman pertanian, selain itu penggunaan lahan pertanian masih sesuai
dengan rencana pola ruang Provinsi Jawa Barat karena pada daerah ini
diperuntukan sebagai kawasan perlindungan setempat yaitu kawasan rawan
bencana dan kawasan resapan air.
Struktur penggunaan/penutupan lahan di setiap kabupaten dapat dilihat
dengan lebih jelas pada Gambar 9, dimana secara umum ketiga kabupaten
memiliki struktur penggunaan/penutupan lahan yang hampir sama.

Struktur Penggunaan/Penutupan Lahan Kawasan


CBC di Setiap Kabupaten
100%
90% Belukar/Semak
80% Hutan
70%
Lahan Terbangun
60%
50% Perkebunan
40% Rumput/Tanah Kosong
30%
TP Lahan Basah
20%
10% TP Lahan Kering
0% Tubuh Air
BOGOR CIANJUR SUKABUMI

Gambar 9 Grafik Penggunaan/Penutupan Lahan Cagar Biosfer Cibodas di setiap


Kabupaten
39

Penggunaan/Penutupan Lahan Pada Masing-masing Zona


Kondisi aktual penggunaan/penutupan lahan pada masing-masing zona di
Cagar Biosfer Cibodas penting untuk diketahui sebagai bahan evaluasi dan
perencanaan selanjutnya. Sebagaimana dijelaskan dalam Strategi Seville dan
Kerangka Hukum Jaringan Dunia (UNESCO 1996) bahwa secara fisik setiap
cagar biosfer harus terdiri atas tiga elemen, yaitu: satu atau lebih zona inti, yang
merupakan kawasan dilindungi bagi konservasi keanekaragaman hayati,
pemantauan ekosistem yang mengalami gangguan, dan melakukan kegiatan
penelitian yang tidak merusak serta kegiatan lainnya yang berdampak rendah
(seperti pendidikan); zona penyangga yang ditentukan dengan jelas, yang
biasanya mengelilingi atau berdampingan dengan zona inti, dan dimanfaatkan
bagi kegiatan-kegiatan kerjasama yang tidak bertentangan secara ekologis,
termasuk pendidikan lingkungan, rekreasi, ekoturisme dan penelitian terapan dan
dasar; dan zona transisi, atau zona peralihan, yang mungkin berisi kegiatan
pertanian, pemukiman dan pemanfaatan lain dan dimana rnasyarakat lokal,
lembaga manajemen, ilmuwan, lembaga swadaya masyarakat, masyarakat adat,
pemerhati ekonomi dan pemangku kepentingan lain bekerjasama untuk mengelola
dan mengembangkan sumberdaya secara berkelanjutan.
Walaupun semula dilihat sebagai rangkaian lingkaran konsentris, ketiga
zona tersebut diterapkan ke dalam berbagai pendekatan yang berbeda-beda untuk
memenuhi kebutuhan dan kondisi setempat. Sesungguhnya, salah satu kekuatan
terbesar dari konsep cagar biosfer adalah fleksibilitas dan kreativitasnya yang
telah dibuktikan dalam berbagai situasi (UNESCO 1996).
Cagar Biosfer Cibodas dalam pengelolaannya terbagi ke dalam tiga zona,
yaitu Area Inti dengan luas 24 893.68 ha atau 28.42 %, Zona Penyangga dengan
luaas 30 176.79 ha atau 34.45 % dan Area Transisi dengan luas 32 532.93 ha atau
37.14 %. Rincian penggunaan/penutupan lahan di Area Inti, Zona Penyangga dan
Area Transisi sebagaimana pada Tabel 7.

Tabel 7 Penggunaan/Penutupan Lahan di Setiap Zona Cagar Biosfer Cibodas

Area Inti Zona Penyangga Area Transisi Jumlah


Penggunaan/
Penutupan Lahan Luas Luas Luas Luas Luas Luas
Luas (ha) Luas (ha)
(%) (ha) (%) (ha) (%) (%)
Belukar/Semak 2083.69 8.37 1250.80 4.14 726.05 2.23 4060.54 4.64
Hutan 21578.06 86.68 2217.84 7.35 1942.76 5.97 25738.66 29.38
Lahan Terbangun 5.28 0.02 4797.63 15.90 7263.30 22.33 12066.22 13.77
Perkebunan 267.96 1.08 2837.79 9.40 1804.58 5.55 4910.32 5.61
Rumput/Tanah 88.63 0.36 288.65 0.96 286.22 0.88 663.49 0.76
Kosong
TP Lahan Basah 57.10 0.23 5320.68 17.63 10313.35 31.70 15691.13 17.91
TP Lahan Kering 800.49 3.22 13439.83 44.54 10158.47 31.23 24398.79 27.85
Tubuh Air 12.18 0.05 23.57 0.08 38.20 0.12 73.95 0.08
Jumlah 24893.38 100.00 30176.79 100.00 32532.93 100.00 87603.10 100.00

Struktur penggunaan/penutupan lahan di setiap zona dapat dilihat dengan


lebih jelas pada Gambar 10, dimana secara umum penggunaan/penutupan lahan
pada area inti didominasi oleh kelas hutan dengan luas 21 578.06 ha atau 86.68 %,
pada zona penyangga didominasi oleh kelas TPLK dengan luas 13 439.83 ha atau
40

44.54 % dan pada area transisi didominasi oleh kelas TPLB (10 313.35 ha atau
31.70 %) dan TPLK (10 158.47 ha atau 31.23 %).

Struktur Penggunaan/Penutupan Lahan


di Setiap Zona CBC
100%
90% Belukar/Semak
80% Hutan
70%
Lahan Terbangun
60%
50% Perkebunan
40% Rumput/Tanah Kosong
30% TP Lahan Basah
20%
10% TP Lahan Kering
0% Tubuh Air
Area Inti Zona Area Transisi
Penyangga

Gambar 10 Grafik Penggunaan/Penutupan Lahan di Setiap Zona CBC

Penggunaan/Penutupan Lahan di Area Inti


Penggunaan/penutupan lahan pada area inti didominasi oleh hutan dengan
luas 21 578.06 ha atau 86.68 % dari luas area inti, selanjutnya berturut-turut
adalah belukar/semak dengan luas 2 083.69 ha atau 8.37 %, tanaman pertanian
lahan kering dengan luas 800.49 ha atau 3.22 %, perkebunan dengan luas 267.96
ha atau 1.08 %, rumput/ tanah kosong dengan luas 88.63 ha atau 0.36 %, tubuh air
dengan luas 12.18 ha atau 0.05 % dan lahan terbangun dengan luas 5.28 ha atau
0.02 %.
Penggunaan/penutupan lahan pada Area Inti idealnya tidak ada jenis
penggunaan/penutupan lahan yang bersifat buatan dan budidaya seperti lahan
terbangun, lahan pertanian dan perkebunan karena dapat menurunkan fungsinya
sebagai kawasan konservasi. Dari 8 (delapan) tipe penggunaan/penutupan lahan
yang ada di Cagar Biosfer Cibodas hanya hutan, belukar/semak, rumput/tanah
kosong dan tubuh air yang sesuai karena bentuk penutupan lahan tersebut tidak
ada unsur campur tangan manusia dan terbentuk secara alami. Penutupan lahan
yang terbentuk sebagai akibat campur tangan manusia dimungkinkan jika
mendukung fungsi kawasan konservasi seperti penutupan lahan hasil reboisasi,
pengkayaan jenis, dll.
Hasil analisis sebagaimana pada Tabel 7 terdahulu, menunjukkan ada
beberapa penggunaan/penutupan lahan yang tidak sesuai dengan kriteria Area Inti
yaitu lahan terbangun, perkebunan, tanaman pertanian lahan basah dan tanaman
pertanian lahan kering. Hal ini menunjukkan adanya konflik penggunaan lahan di
area inti CBC. Jumlah luas penggunaan/penutupan lahan yang tidak sesuai ini
adalah 1 130.82 ha, angka ini hampir sama dengan data luas perambahan yang ada
di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango sebesar 1 222 ha. Penggunaan lahan
yang tidak sesuai dengan fungsi area inti per kabupaten sebagaimana pada Tabel 8.
41

Tabel 8 Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan fungsi Area Inti
di setiap Kabupaten

Penggunaan Lahan (ha)


Kabupaten Jumlah
LT Pk TPLB TPLK
Bogor 0.60 106.28 11.06 131.15 249.10
Cianjur 2.97 151.27 4.94 188.30 347.48
Sukabumi 1.71 10.41 41.09 481.03 534.24
Jumlah 5.28 267.96 57.10 800.49 1130.82

Penggunaan/penutupan lahan pada area inti kawasan CBC secara spasial


sebagiamana pada Gambar 11.

Gambar 11 Peta Penggunaan/Penutupan Lahan di Area Inti Cagar Biosfer


Cibodas

Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan fungsi area inti berada di ketiga
Kabupaten dengan luasan yang berbeda-beda yang tersebar di 18 desa di
Kabupaten Bogor, 19 desa di Kabupaten Cianjur dan 20 desa di Kabupaten
Sukabumi. Rincian penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan area inti per desa
pada Lampiran 5.
Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan fungsi area inti yang terluas
berada di Kabupaten Sukabumi terutama di Desa Ginanjar dan Wangunjaya
(Kecamatan Ciambar) dengan luas TPLK masing-masing 182.96 ha dan 172.45 ha.
Lokasi lainnya adalah di Desa Cihanyawar (Kecamatan Nagrak) dengan luas
TPLB dan TPLK 85.25 ha. Di Kabupaten Cianjur, penggunaan lahan yang tidak
sesuai terbesar ada di Desa Ciherang dan Desa Cipendawa (Kecamatan Pacet)
42

dengan luas TPLK masing-masing 36.30 ha dan 56.04 ha. Sedangkan di


Kabupaten Bogor berada di Desa Pasir Buncir (Kecamatan Caringin) dengan luas
TPLB dan TPLK 22.05 ha. Sisanya yang lain tersebar di desa-desa dengan luasan
yang kecil-kecil, namun tentu tetap harus ditangani agar tidak terjadi perluasan.
Verburg et al. (2006) dalam penelitiannya di kawasan lindung di Philipina
menyatakan bahwa perubahan penutupan dan penggunaan lahan pada kawasan
lindung merupakan ancaman utama terhadap keberadaan keanekaragaman hayati
yang disebabkan oleh kerusakan vegetasi alam dan terbaginya atau terisolasinya
kawasan lindung tersebut. Hal ini disebabkan oleh adanya kegiatan perluasan
lahan pertanian di wilayah batas kawasan lindung dan kegiatan penebangan liar
yang selalu terjadi dan tidak terkendali pada batas kawasan taman nasional.
Pada wilayah perkebunan yang berada di area inti untuk penanganannya
dilakukan antara pengelola kawasan konservasi dengan instansi/perusahaan
pengelola perkebunan tersebut. Wilayah perkebunan sebagian besar berada di
Kabupaten Bogor dan Cianjur.

Penggunaan/Penutupan Lahan di Zona Penyangga


Penggunaan/penutupan lahan di Zona Penyangga didominasi oleh tanaman
pertanian lahan kering dengan luas 12 480.15 ha atau 41.28 % dari luas zona
penyangga, selanjutnya adalah tanaman pertanian lahan basah (6 334.90 ha atau
20.95 %), lahan terbangun (4 799.88 ha atau 15.88 %), perkebunan (2 837.79 ha
atau 9.39 %), hutan (2 218.39 ha atau 7.34 %), belukar/semak (1 250.99 ha atau
4.14 %), rumput/tanah kosong (288.65 ha atau 0.95 %) dan tubuh air (23.57 ha
atau 0.08 %). Zona penyangga merupakan wilayah yang berbatasan langsung
dengan area inti yang berfungsi untuk meminimalisir kerusakan yang terjadi pada
area inti. Oleh karena itu, lahan-lahan pertanian yang berbatasan langsung dengan
area inti harus mendapatkan pengawasan dengan ketat agar tidak bertambah luas
dan terjadi konversi lahan di area inti. Selain itu arah perkembangan atau
penambahan lahan terbangun yang mengarah mendekati area inti juga perlu
diawasi. Saat ini penggunaan/penutupan lahan di zona penyangga didominasi oleh
lahan pertanian dengan luas 62.23 % dari luas zona penyangga. Jika melihat
angka ini, maka dapat dikatakan penggunaan/penutupan lahan di zona penyangga
masih sesuai dengan fungsi cagar biosfer.
Pada dasarnya penetapan suatu wilayah sebagai cagar biosfer adalah upaya
untuk melindungi area inti dari kerusakan sehingga fungsi ekologisnya dapat
terjaga. Menurut Beckman (2004) daerah penyangga berfungsi untuk melindungi
kawasan konservasi terhadap gangguan dari luar dan gangguan yang berasal dari
wilayah pemukiman. Oleh karena itu proses perubahan penggunaan/penutupan
lahan yang terjadi di zona penyangga, sebagai zona yang berbatasan langsung
dengan area inti, mendapatkan perhatian yang cukup serius. Diupayakan
penggunaan lahan yang terjadi di zona penyangga disamping dapat
mengakomodir perkembangan wilayah tersebut juga tetap dapat menjaga fungsi
ekologisnya. Peningkatan jumlah penduduk di satu sisi harus diwaspadai.
Semakin meningkatnya jumlah penduduk, berdampak pada semakin tingginya
aktifitas manusia terhadap lahan. Peningkatan penduduk memiliki konsekuensi
terhadap perkembangan ekonomi yang menuntut kebutuhan lahan untuk
permukiman, industri, infrastruktur dan jasa (Munibah 2008).
43

Perubahan penggunaan/penutupan lahan menjadi penggunaan lain


khususnya lahan terbangun memang sulit dihindari karena di satu sisi jumlah
penduduk dari tahun ke tahun terus bertambah sehingga kebutuhan akan lahan
untuk permukiman dan ketersediaan lapangan pekerjaan juga semakin meningkat,
namun di sisi lain ketersedian lahan jumlahnya tetap sehingga menyebabkan
terjadinya konversi lahan. Hampir setiap aktivitas manusia melibatkan
penggunaan lahan dan karena jumlah aktivitas manusia bertambah dengan cepat,
maka lahan menjadi sumber yang langka. Keputusan untuk mengubah pola
penggunaan lahan mungkin memberikan keuntungan atau kerugian yang besar,
baik ditinjau dari pengertian ekonomis, maupun terhadap perubahan lingkungan.
Dengan demikian, membuat keputusan tentang penggunaan lahan merupakan
aktivitas politik, dan sangat dipengaruhi keadaan sosial dan ekonomi (Sitorus,
2014).
Pertambahan penduduk yang pesat dan pemenuhan kesejahteraan penduduk
mengakibatkan peningkatan kebutuhan lahan untuk pemukiman, pertanian,
industri dan rekreasi. Keadaan tersebut menyebabkan perubahan penggunaan
lahan yang sering tidak mengikuti kaidah konservasi alam. Perubahan penggunaan
lahan, misalnya hutan menjadi pemukiman atau industri akan mengurangi daya
serap tanah terhadap air. Rawa dan empang yang diubah menjadi pemukiman
akan menyebabkan aliran permukaan tidak tertampung, melainkan akan
menggenangi daerah sekitarnya (Savitri 2007).
Penggunaan/penutupan lahan pada zona penyangga kawasan CBC secara
spasial sebagiamana pada Gambar 12.

Gambar 12 Peta Penggunaan/Penutupan Lahan di Zona Penyangga CBC


44

Penggunaan/Penutupan Lahan di Area Transisi


Penggunaan/penutupan lahan di Area Transisi didominasi oleh tanaman
pertanian lahan basah dengan luas 10 487.85 ha atau 32.30 % dari luas area
transisi, selanjutnya adalah tanaman pertanian lahan kering (9 929.43 ha atau
30.58 %), lahan terbangun (7 261.05 ha atau 22.36 %), hutan (1 941.91 ha atau
5.98 %), perkebunan (1 804.58 ha atau 5.56 %), belukar/semak (725.86 ha atau
2.24 %), rumput/tanah kosong (286.22 ha atau 0.88 %) dan tubuh air (38.20 ha
atau 0.12 %). Pada umumnya, semua tipe penggunaan/penutupan lahan di area
transisi tidak ada masalah, namun yang harus menjadi perhatian adalah
kemungkinan konversi lahan yang terjadi. Proses pembangunan yang terjadi tetap
harus mengedepankan konsep pembangunan berkelanjutan. Penggunaan/
penutupan lahan pada zona penyangga kawasan CBC secara spasial sebagiamana
pada Gambar 13.

Gambar 13 Peta Penggunaan/Penutupan Lahan di Area Transisi CBC

Area transisi merupakan wilayah terluar dari Cagar Biosfer Cibodas dimana
penggunaan/penutupan lahan di zona ini dapat lebih leluasa dalam mengakomodir
kebutuhan dan perkembangan wilayah. Saat ini lahan pertanian merupakan
penggunaan/penutupan lahan yang mendominasi area transisi mencapai 62.88 %
dari luas area transisi. Namun hal ini tidak berarti bahawa kegiatan-kegiatan yang
dapat mendorong laju konversi lahan pertanian dapat dilakukan dengan leluasa
karena harus disesuaikan dengan RTRW dan rencana teknis lainnya. Selain itu,
dengan statusnya sebagai bagian dari Cagar Biosfer maka rencana-rencana
pembangunan wilayah harus mengedepankan fungsinya sebagai wilayah yang
menjaga kelestarian fungsi area inti.
45

Secara keseluruhan, kondisi penggunaan/penutupan lahan disetiap zona saat


ini masih memperlihatkan kondisi yang cukup baik. Hal ini ditandai dengan
kondisi hutan yang relatif utuh di area inti, luas lahan terbangun lebih banyak
terkonsentrasi di area transisi dan luasan TPLB dan TPLK yang masih
mendominasi zona penyangga dan area transisi. Tentu saja dengan beberapa
catatan adanya ketidaksesuaian penggunaan lahan di area inti.

Analisis Perencanaan Pola Ruang di Kawasan CBC

Berdasarkan UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, ruang


didefinisikan sebagai wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang
udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat
manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara
kelangsungan hidupnya. Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang.
Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan
prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi
masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional. Pola ruang
adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan
ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budi daya.
Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan
ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Salah satu output dari penataan ruang adalah deliniasi peruntukan kawasan
(pola ruang) yang terbagi menjadi kawasan lindung dan kawasan budidaya.
Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama
melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan
sumberdaya buatan. Berdasarkan peruntukannya pemanfaatan lahan kawasan ini
tidak diperbolehkan untuk kegiatan budidaya. Pada kawasan budidaya
diperuntukan bagi kegiatan-kegiatan budidaya sesuai dengan potensi sumberdaya
alam, sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan. Pada kajian ini yang ditelaah
adalah rencana pola ruang setiap kabupaten yang ada di kawasan CBC yang
diperbandingkan dengan penggunaan/penutupan lahan aktual.
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Kabupaten dituangkan dalam
Peraturan Daerah (Perda). Adapun peraturan daerah tata ruang di Jawa Barat dan
Kabupaten yang masuk kawasan CBC yaitu: Perda No 22 Tahun 2010 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Barat Tahun 2009-2029, Perda
Kabupaten Bogor Nomor 19 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten Bogor Tahun 2005-2025, Perda Kabupaten Cianjur Nomor 17 Tahun
2012 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Cianjur Tahun 2011-2031,
dan Perda Kabupaten Sukabumi Nomor 22 Tahun 2012 Tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Kabupaten Sukabumi Tahun 2012-2032.
Dalam tata ruang Provinsi Jawa Barat tahun 2009-2019, rencana pola ruang
di kawasan CBC berupa kawasan konservasi, kawasan enclave, kawasan hutan
produksi, kawasan permukiman perdesaan, kawasan permukiman perkotaan,
kawasan rawan bencana gunung berapi dan kawasan yang memberikan
perlindungan terhadap kawasan di bawahnya yaitu kawasan resapan air. Batas
kawasan konservasi pada rencana pola ruang sudah sama dengan batas terbaru
taman nasional, taman wisata alam dan cagar alam yang ada di kawasan CBC.
46

Kawasan resapan air berada di sekeliling kawasan konservasi dan pada layer
berikutnya berupa kawasan rawan bencana gunung berapi. Kawasan permukiman
perdesaan dan perkotaan dialokasikan menempati kawasan rawan bencana gunung
berapi dan wilayah paling luar kawasan CBC. Kondisi penggunaan/penutupan
lahan aktual terhadap rencana pola ruang provinsi diketahui dengan cara meng-
overlay-kan peta penggunaan/penutupan lahan dengan peta pola ruang. Hasilnya
sebagaimana pada Tabel 9.

Tabel 9 Penggunaan/penutupan lahan aktual di kawasan CBC pada rencana pola


ruang Provinsi Jawa Barat
Rencana Pola Penggunaan/Penutupan Lahan Aktual (ha)
Pemanfaatan Ruang Jumlah
RTRW B H LT Pk R TPLB TPLK TA
Kawasan Enclave 0.08 1.27 2.25 133.94 137.54
Kawasan Hutan Prod. 436.87 1686.56 30.80 291.48 120.04 248.53 479.90 0.39 3294.58
Tetap
Kawasan Permukiman 74.12 23.32 2987.24 30.70 77.31 6120.55 2535.78 21.14 11870.16
Perdesaan
Kawasan Permukiman 42.83 0.01 3281.81 1.05 98.57 1590.95 2074.12 2.82 7092.16
Perkotaan
Kawasan Rawan Bencana 254.28 580.50 2906.62 1162.67 129.58 4650.41 7713.49 32.58 17430.12
Alam
Kawasan Resapan Air 1168.34 1860.36 2852.96 3157.44 149.52 3023.32 10668.07 4.85 22884.84
KSA dan KPA 2084.01 21586.64 4.54 266.99 88.46 57.37 793.50 12.18 24893.69
Jumlah 4060.54 25738.66 12066.22 4910.32 663.49 15691.13 24398.79 73.95 87603.10

Pada Tabel 9 dapat dilihat bahwa beberapa penggunaan/penutupan lahan


saat ini tidak sesuai dengan rencana pola ruang pada RTRW Provinsi Jawa Barat.
Untuk penutupan lahan belukar/semak (B), hutan (H), rumput/tanah kosong (R)
dan tubuh air (TA) masih sesuai dengan semua tipe rencana pola ruang. Beberapa
tipe penggunaan lahan yang dapat menimbulkan masalah adalah lahan terbangun,
TPLB dan TPLK yang berada di kawasan hutan produksi dan kawasan konservasi.
Penggunaan lahan yang saat ini sudah menjadi lahan terbangun akan sulit berubah
lagi menjadi non lahan terbangun sehingga jika pada rencana pola ruang bukan
diperuntukkan untuk lahan terbangun (permukiman) sedangkan kondisi saat ini
sudah menjadi lahan terbangun maka rencana pola ruang yang sudah disusun akan
sulit untuk di implementasikan.
Perencanaan pola ruang yang tepat menjadi penting untuk menjamin
terciptanya ruang yang nyaman dan sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Yang
menjadi catatan adalah bahwa dengan perencanaan yang tepat pun perlu
pengawasan yang ketat dalam pelaksanaannya karena seringkali terjadi
pelanggaran dalam pemanfaatan ruang, apalagi jika perencanaan tersebut dari
awal sudah terdeteksi tidak tepat sasaran maka beban kerja dan dampak yang
ditimbulkan akan lebih besar lagi. Menurut Suhardi dan Barus (2011) dalam
Barus (2014) bahwa penggunaan ruang sesuai peruntukan belum menjamin tidak
merusak lingkungan tanpa diikuti teknik pengelolaan yang tepat khususnya dari
sisi adaptasi yang bentuknya berazaskan hasil pengetahuan dan teknologi.
Rencana pola pemanfaatan ruang Provinsi Jawa Barat di kawasan CBC adalah
sebagaimana pada Gambar 14. RTRW Provinsi selanjutnya menjadi pedoman dan
47

didetilkan dalam RTRW Kabupaten. Peta rencana pola ruang Kabupaten Bogor,
Cianjur dan Sukabumi di kawasan CBC sebagaimana pada Gambar 15.

Gambar 14 Peta rencana pola ruang Provinsi Jawa Barat di Kawasan CBC

Gambar 15 Peta rencana pola ruang Kabupaten Bogor, Cianjur dan Sukabumi di
Kawasan CBC
48

Pada Gambar 15 dapat dilihat bahwa pada peta rencana pola ruang
Kabupaten Bogor terdapat perbedaan batas Taman Nasional Gunung Gede
Pangrango sedangkan untuk Kabupaten Cianjur dan Sukabumi batas kawasan
konservasi sudah sesuai. Disarankan agar Pemda Kabupaten Bogor menyesuaikan
batas kawasan konservasi tersebut dengan batas terbaru agar tidak menimbulkan
permasalahan. Di semua kabupaten, kawasan-kawasan rawan bencana dan
kawasan resapan air yang mengelilingi area inti semuanya telah dialokasikan
untuk berbagai alokasi kegiatan budidaya seperti kawasan permukiman,
perkebunan dan lahan pertanian.
Kawasan permukiman perkotaan banyak dialokasikan di sepanjang jalan
lingkar Bogor-Cianjur-Sukabumi. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan
wilayah yang lebih tinggi akan di dorong untuk dikembangkan pada wilayah yang
berada di sepanjang jalan lingkar Bogor-Cianjur-Sukabumi. Kawasan
permukiman perdesaan umumnya dialokasikan pada daerah-daerah lebih dalam,
namun beberapa alokasi untuk kawasan permukiman perdesaan di Kabupaten
Bogor dan Sukabumi ditempatkan pada daerah yang berbatasan dengan area inti,
dalam konteks cagar biosfer tentu hal ini dapat menimbulkan permasalahan bagi
kelestarian area inti serta fungsi kawasan resapan air.
Penelaahan kondisi aktual penggunaan/penutupan lahan pada rencana pola
ruang di setiap kabupaten perlu dilakukan untuk dasar perencanaan pengelolaan
Cagar Biosfer Cibodas. Kondisi penggunaan/penutupan lahan aktual terhadap
rencana pola ruang di setiap kabupaten diketahui dengan cara meng-overlay-kan
peta penggunaan/penutupan lahan dengan peta pola ruang. Hasilnya sebagaimana
pada Tabel 10 untuk Kabupaten Bogor, Tabel 11 untuk Kabupaten Cianjur dan
Tabel 12 untuk Kabupaten Sukabumi.

Tabel 10 Penggunaan/penutupan lahan aktual di kawasan CBC pada rencana pola


ruang Kabupaten Bogor
Rencana Pola Penggunaan/Penutupan Lahan Aktual (ha)
Pemanfaatan Ruang Jumlah
RTRW B H LT Pk R TPLB TPLK TA
Danau/Setu 3.80 9.33 6.44 3.01 18.16 40.73
Kaw. Hutan Konservasi 415.55 6636.06 43.84 392.90 27.23 42.14 525.01 8082.73
Kaw. Hutan Lindung 334.05 1903.35 62.69 725.05 95.09 14.23 176.10 0.78 3311.35
Kaw. Hutan Produksi 20.13 13.80 77.17 138.13 0.69 249.91
Kaw. Hutan Produksi 0.04 29.18 0.00 29.22
Terbatas
Kaw. Pertanian Lahan 7.54 8.61 195.02 436.63 959.23 0.01 1607.04
Basah
Kaw. Pertanian Lahan 24.77 29.24 369.46 0.88 27.68 293.24 1038.25 1783.50
Kering
Kaw. Perkebunan 158.30 329.70 285.04 470.20 33.37 83.12 969.31 2329.05
Kaw. Permukiman 11.02 336.04 0.91 505.47 510.11 1363.54
Perdesaan 1 (Rendah)
Kaw. Permukiman 10.28 1.90 372.07 12.83 108.49 577.85 1083.42
Perdesaan 2 (Jarang)
Kaw. Permukiman 51.59 0.00 1092.86 0.00 53.32 427.03 742.50 14.74 2382.04
Perkotaan 2 (Sedang)
Kaw. Permukiman 15.18 821.86 24.77 10.63 57.28 765.00 1694.72
Perkotaan 3 (Rendah)
Kaw. Tanaman Tahunan 188.51 115.99 98.45 77.24 500.81 1084.71 1.96 2067.67
(blank) 1.07 1.10 0.11 0.00 0.00 2.90 5.19
Jumlah 1240.72 9025.91 3701.59 1613.91 344.74 2574.78 7492.12 36.34 26030.11
49

Pada Tabel 10 dapat dilihat bahwa beberapa penggunaan lahan saat ini tidak
sesuai dengan alokasi rencana pola ruang yang telah dibuat dan dapat
menimbulkan permasalahan dalam pelaksanaan rencana. Sebagian lahan
terbangun, TPLB dan TPLK berada pada hutan konservasi yang melarang adanya
penggunaan tipe penggunaan lahan ini. Salah satu penyebabnya adalah batas peta
hutan konservasi pada peta pola ruang Kabupaten Bogor dengan batas peta hutan
konservasi saat ini tidak sama sehingga harus segera disesuikan agar tidak
menimbulkan konflik tata ruang. Selain itu lahan terbangun saat ini banyak
terdapat pada alokasi rencana pola ruang non permukiman (perdesaan dan
perkotaan), ini merupakan masalah karena penggunaan lahan terbangun sangat
sulit berubah kembali menjadi penggunaan/penutupan lahan lain.
Upaya untuk melakukan perubahan kembali lahan terbangun menjadi
penggunaan lain umumnya berpotensi konflik berkepanjangan. Dalam rencana
tersebut juga terlihat adanya potensi konversi lahan pertanian menjadi penggunaan
lain sangat besar, terutama menjadi pemukiman. Hal ini dapat dilihat dari rencana
alokasi ruang untuk pertanian lahan basah dan lahan kering luasannya jauh lebih
kecil jika dibandingkan dengan rencana ruang untuk lahan permukiman, yaitu
sekitar 3 390.55 ha untuk lahan pertanian berbanding 6 523.72 ha untuk
permukiman. Faktanya kondisi saat ini banyak penggunaan lahan TPLB dan
TPLK yang dialokasikan untuk rencana permukiman. Tentu hal ini perlu
dipertimbangkan lagi terkait dengan fungsi cagar biosfer.

Tabel 11 Penggunaan/penutupan lahan aktual di kawasan CBC pada rencana pola


ruang Kabupaten Cianjur
Rencana Pola Penggunaan/Penutupan Lahan Aktual (ha)
Pemanfaatan Ruang Jumlah
RTRW B H LT Pk R TPLB TPLK TA
Hutan Konservasi 186.27 5010.74 2.13 151.88 56.36 5.02 189.39 0.60 5602.39
Hutan Produksi 99.63 1092.58 0.81 17.09 25.56 2.69 125.78 0.22 1364.37
Hutan Produksi Terbatas 0.03 0.03
Perairan 0.40 0.10 0.63 0.00 0.88 2.01
Perkebunan/Tanaman 299.52 647.44 218.91 1245.88 14.37 368.80 2321.76 0.19 5116.86
Tahunan
Permukiman Pedesaan 0.00 2.53 1694.54 11.76 21.79 127.95 139.64 2.95 2001.17
Permukiman Perkotaan 381.59 32.85 1147.23 11.41 1573.09
Pertanian Tanaman 0.00 0.71 306.09 0.01 0.01 2459.25 144.66 0.77 2911.51
Pangan
Pertanian Tanaman 43.38 19.73 1051.49 665.07 99.63 1622.79 2458.54 8.37 5969.01
Hortikultura
Sempadan Sungai 1.89 0.00 1.89
Jumlah 628.81 6773.74 3655.96 2091.69 252.56 5734.39 5391.20 13.98 24542.33

Rencana pola pemanfaatan ruang Kabupaten Cianjur menunjukkan adanya


beberapa penggunaan lahan saat ini yang tidak berada pada alokasi rencana ruang
yang sesuai. Penggunaan lahan yang perlu mendapatkan perhatian serius terutama
adalah kondisi penggunaan lahan yang bersifat budidaya yang berada di kawasan
konservasi dan lahan terbangun yang berada pada alokasi rencana non lahan
terbangun/permukiman dikarenakan lahan terbangun akan sulit berubah lagi
menjadi penggunaan lahan lain. Permasalahan lainnya adalah dalam rencana pola
ruang, alokasi untuk permukiman sekitar 3 574.26 ha, padahal kondisi saat ini saja
luas lahan terbangun ada sekitar 3 655.96 ha, lebih besar dari alokasi ruang yang
50

direncanakan. Bagaimana dengan kebutuhan permukiman 10 atau 15 tahun


kedepan terkait dengan peningkatan jumlah penduduk Kabupaten Cianjur di
kawasan CBC, tentu kebutuhan ruang untuk permukiman harus diantisipasi dari
sekarang dengan penempatan dan pengalokasian ruang yang cukup dengan tetap
memperhatikan dan mendukung fungsi cagar biosfer.

Tabel 12 Penggunaan/penutupan lahan aktual di kawasan CBC pada rencana pola


ruang Kabupaten Sukabumi
Rencana Pola Pemanfaatan Penggunaan/Penutupan Lahan Aktual (ha)
Jumlah
Ruang RTRW B H LT Pk R TPLB TPLK TA
Kaw. Enclave 1.54 1.54
Kaw. Hutan Konservasi 1471.60 9739.63 1.79 10.62 27.12 41.02 480.94 10.80 11783.52
Kaw. Permukiman Perdesaan 43.65 29.47 1433.75 84.07 3.49 2736.88 3892.97 8224.28
Kaw. Permukiman Perkotaan 2.38 1091.36 946.00 823.27 0.67 2863.69
Kaw. Peruntukkan Perkebunan 123.39 39.81 86.23 509.06 0.89 0.09 875.09 1634.58
Kaw. Pertanian Lahan Basah 33.21 6.54 1229.24 18.81 7.10 2767.01 1926.25 0.87 5989.03
Kaw. Pertanian Lahan Kering 518.77 147.87 558.49 581.57 1.25 798.90 3489.53 4.07 6100.43
Kaw. Sempadan Sungai 10.79 0.99 14.28 38.77 6.45 71.28
Jumlah 2193.01 9964.87 4411.64 1205.12 39.85 7304.19 11526.81 22.86 36668.35

Rencana pola pemanfaatan ruang Kabupaten Sukabumi pun menunjukkan


hal yang sama, adanya beberapa penggunaan lahan saat ini yang tidak berada pada
alokasi rencana ruang yang sesuai. Beberapa penggunaan lahan di Kabupaten
Sukabumi terdapat di kawasan hutan konservasi yaitu lahan terbangun,
perkebunan, TPLB dan TPLK. Hal ini tentu harus diperbaiki agar tidak
menimbulkan permasalahan. Kerjasama antara Pemerintah Daerah dan pengelola
Taman Nasional Gunung Gede Pangrango diperlukan untuk menyelesaikan
permasalahan ini.
Sama dengan dua kabupaten yang lain, di Kabupaten Sukabumi juga
terdapat penggunaan lahan saat ini berupa lahan terbangun berada pada alokasi
rencana ruang non permukiman. Kabupaten Sukabumi mengalokasikan ruang
untuk permukiman yang cukup luas mencapai 11 087.97 ha, bahkan beberapa
ditempatkan berbatasan langsung dengan area inti. Dalam konteks pengelolaan
cagar biosfer hal ini tentu perlu ditinjau lagi. Ada sekitar 8 339.12 ha penggunaan
lahan aktual berupa TPLB dan TPLK yang berada pada alokasi ruang untuk
permukiman, ini akan membuka peluang yang sangat luas terjadinya laju konversi
lahan pada wilayah pertanian.
Pada Tabel 10, 11 dan 13 dapat dilihat adanya beberapa perbedaan
penggunaan nomenklatur penamaan fungsi kawasan antara rencana pola ruang
Provinsi Jawa Barat, Kabupaten Bogor, Cianjur dan Sukabumi. Penggunaan
istilah/nomenklatur yang sama pada dokumen perencanaan sangat penting agar
tidak menimbulkan perbedaan pemahaman dalam mengartikan maksud dari
dokumen tersebut. Membandingkan penggunaan nomenklatur dalam bentuk
matrik memberikan kemudahan dalam melihat apakah nomenklatur yang
digunakan diantara dokumen perencanaan sudah sama atau menggunakan istilah
yang berbeda-beda. Matrik perbandingan nomenklatur penamaan fungsi kawasan
dalam rencana pola ruang sebagaimana pada Tabel 13.
51

Tabel 13 Perbandingan nomenklatur fungsi kawasan dalam Rencana Pola Ruang


Provinsi, Kabupaten Bogor, Cianjur dan Sukabumi di kawasan CBC
Nomenklatur dalam Rencana Pola Ruang
Fungsi
Kawasan Provinsi Jawa Kabupaten Bogor Kabupaten Cianjur Kabupaten
Barat Sukabumi
Fungsi
Lindung
A. Kawasan - Kawasan Suaka - Kawasan Hutan - Hutan Konservasi - Kawasan Hutan
Hutan Alam dan Konservasi Konservasi
Pelestarian Alam
- Kawasan Hutan
Lindung
B. Diluar - Kawasan yang - Sempadan Sungai - Kawasan
Kawasan memberikan Sempadan
Hutan perlindungan Sungai
terhadap kawasan
bawahannya
- Kawasan Rawan
Bencana Alam
Fungsi
Budidaya
A. Kawasan - Kawasan Hutan - Kawasan Hutan - Hutan Produksi
Hutan Produksi Tetap Produksi
- Kawasan Hutan - Hutan Produksi
Produksi Terbatas Terbatas
B. Diluar - Kawasan - Kawasan - Permukiman - Kawasan
Kawasan Permukiman Permukiman Pedesaan Permukiman
Hutan Perdesaan Perdesaan 1 Perdesaan
(Hunian Rendah)
- Kawasan
Permukiman
Perdesaan 2
(Hunian Jarang)
- Kawasan - Kawasan - Permukiman - Kawasan
Permukiman Permukiman Perkotaan Permukiman
Perkotaan Perkotaan 2 Perkotaan
(Hunian Sedang)
- Kawasan
Permukiman
Perkotaan 3
(Hunian Rendah)
- Kawasan - Pertanian Tanaman - Kawasan
Pertanian Lahan Pangan Pertanian Lahan
Basah Basah
- Kawasan - Pertanian Tanaman - Kawasan
Pertanian Lahan Hortikultura Pertanian Lahan
Kering Kering
- Kawasan - Perkebunan/Tanaman - Kawasan
Perkebunan Tahunan Peruntukan
Perkebunan
- Kawasan
Tanaman Tahunan
- Kawasan Enclave - Kawasan
Enclave
- Danau/Setu - Perairan

Dilihat dari aspek pengelolaan kawasan, perbedaan penggunan nomenklatur


penaman fungsi kawasan dapat menimbulkan perbedaan persepsi. Pengelolaan
kawasan CBC memerlukan keterpaduan dalam tata kelolanya sehingga kesamaan
52

istilah/nomenklatur yang digunakan dalam dokumen perencanaan akan


memberikan pemahaman yang sama dalam implementasi di lapangan.

Analisis Perkembangan Wilayah

Unit analisis pada analisis skalogram ini adalah desa sehingga tingkat
perkembangan wilayah yang dihasilkan berupa nilai Indeks Perkembangan Desa
(IPD) sebagai parameter yang mencerminkan tingkat perkembangan desa. Pada
anlisis skalogram ini nilai IPD diperoleh berdasarkan variabel kelompok data
aksesibilitas, fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan dan fasilitas ekonomi.
Selanjutnya desa-desa tersebut dikelompokan menjadi 3 (tiga) hirarki sesuai
dengan kisaran nilai IPD nya. Unit wilayah yang mempunyai jumlah sarana dan
jenis fasilitas umum dengan kuantitas dan kualitas yang relatif paling lengkap
akan menjadi pusat pelayanan atau mempunyai hirarki yang lebih tinggi
dibandingkan dengan unit wilayah lain yang jumlah fasilitasnya lebih rendah.
Wilayah sebagai satuan area yang saling berinteraksi memberikan
keterkaitan yang sangat erat antar tiap hirarki yang ada di dalam suatu kawasan.
Hirarki I berfungsi melayani wilayah dengan hirarki yang lebih rendah disamping
melayani hinterland-nya sendiri. Rustiadi et al. (2003) menyatakan bahwa pusat-
pusat wilayah umumnya membentuk hirarki yang spesifik ditentukan oleh jumlah
sarana pelayanan yang ada, jumlah jenis sarana pelayanan, dan jumlah penduduk
dimana semakin tinggi ketiga hal tersebut, semakin tinggi hirarkinya (korelasi
positif).
Perkembangan wilayah diasumsikan dengan banyaknya jumlah dan jenis
fasilitas yang ada di suatu wilayah. Asumsi ini menurut Panuju et al. (2012)
berdasarkan bahwa penduduk mempunyai kecenderungan untuk bergerombol di
suatu lokasi dengan kondisi fisik, sosial dan ekonomi yang secara relatif terbaik
untuk komunitasnya. Daerah dengan fasilitas umum terlengkap merupakan pusat
bagi daerah di sekitarnya. Melalui analisis skalogram akan diperoleh gambaran
karakteristik perkembangan wilayah. Penentuan tingkat hirarki wilayah
berdasarkan kelengkapan fungsi pelayanan yang dapat disediakan oleh suatu
wilayah, sehingga dapat di identifikasi wilayah yang berfungsi sebagai pusat/inti
dan wilayah-wilayah hinterland nya. Parameter hirarki wilayah hasil analisis
skalogram sebagaimana pada Tabel 14.

Tabel 14 Parameter Hirarki Wilayah


Uraian Nilai
IPD Minimal 3.70
IPD Maksimal 66.95
Rataan 15.83
Standar Deviasi 10.76
Hirarki 1 IPD > 26.59
Hirarki 2 15.83 < IPD < 26.59
Hirarki 3 IPD < 15.83
53

Hasil analisis skalogram menunjukkan nilai IPD tertinggi adalah 66.95 dan
nilai IPD terendah adalah 3.70 dengan nilai rataan 15.83. Desa dengan IPD
tertinggi adalah Desa Cigombong, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor,
sedangkan yang terendah adalah Desa Sukagalih, Kecamatan Megamendung,
Kabupaten Bogor. Desa-desa yang ada dalam wilayah Cagar Biosfer Cibodas
berjumlah 145 desa yang tersebar di 6 kecamatan di Kabupaten Bogor, 7
kecamatan di Kabupaten Cianjur dan 12 kecamatan di Kabupaten Sukabumi.
Desa-desa yang masuk pada kelompok hirarki I berjumlah 18 desa, desa hirarki II
berjumlah 31 desa dan desa hirarki III berjumlah 96 desa. Rincian jumlah desa
berdasarkan tingkat perkembangan desa di kawasan CBC sebagaimana pada Tabel
15 dan rekapitiulasinya pada Tabel 16. Rincian hirarki desa disajikan pada
Lampiran 3.

Tabel 15 Rincian jumlah desa berdasarkan tingkat perkembangan desa di


kawasan CBC
Hirarki/
Kecamatan Desa ∑ Desa
Kabupaten
Hirarki I 18
Bogor Caringin Caringin, Muara Jaya 2
Ciawi Ciawi, Bendungan 2
Cigombong Cigombong 1
Cisarua Cisarua, Cibeureum, Tugu Utara, Citeko 4
Cianjur Cianjur Sawah Gede 1
Cipanas Cipanas, Sindanglaya 2
Pacet Cipendawa, Gadog 2
Warungkondang Jambudipa 1
Sukabumi Parung Kuda Bojong Kokosan, Parungkuda 2
Sukabumi Warnasari 1
Hirarki II 31
Bogor Caringin Ciderum, Pasir Muncang, Cinagara 3
Ciawi Banjar Sari 1
Cigombong Wates Jaya, Srogol 2
Megamendung Sukamanah 1
Cianjur Cianjur Limbangan Sari, Mekarsari, Nagrak 3
Cipanas Cimacan, Ciloto, Palasari 3
Cugenang Cijedil 1
Gekbrong Gekbrong 1
Pacet Ciherang, Sukanagalih 2
Sukaresmi Cikanyere 1
Sukabumi Caringin Caringin Kulon 1
Ciambar Ciambar, Ginanjar 2
Cibadak Ciheulang Tonggoh 1
Cicurug Tenjoayu 1
Cisaat Gunungjaya 1
Kadudampit Kadudampit, Gede Pangrango 2
Nagrak Nagrak Selatan, Nagrak Utara 2
Sukabumi Karawang 1
Sukalarang Sukalarang 1
Sukaraja Limbangan 1
54
Tabel 15 (Lanjutan)
Hirarki/
Kecamatan Desa ∑ Desa
Kabupaten
Hirarki III 96
Bogor Caringin Pasir Buncir, Lemah Duhur, Pancawati, Cimande, 6
Cimande Hilir, Tangkil
Ciawi Citapen, Banjar Waru, Banjar Wangi, Teluk 8
Pinang, Jambu Luwuk, Bojong Murni, Cibedug,
Cileungsi
Cigombong Ciburuy 1
Cisarua Tugu Selatan, Kopo 2
Megamendung Gadog, Sukaresmi, Sukamahi, Sukamaju, 7
Sukakarya, Kuta, Sukagalih
Sukamakmur Sukawangi 1
Cianjur Cianjur Sukamaju 1
Cipanas Sindangjaya, Batulawang 2
Cugenang Mangunkerta, Benjot, Galudra, Sukajaya, 12
Nyalindung, Sarampad, Cirumput, Sukamulya,
Talaga, Gasol, Padaluyu, Cibeureum
Gekbrong Songgom, Cikahuripan, Kebonpeuteuy 3
Pacet Cibodas, Ciputri, Sukatani 3
Warungkondang Ciwalen, Sukawangi, Tegallega, Mekarwangi, 6
Bunikasih, Bunisari
Sukabumi Bojong Genteng Bojong Genteng 1
Caringin Sukamulya, Cikembang, Talaga, Seuseupan, 7
Cijengkol, Caringin Wetan, Mekarjaya
Ciambar Munjul, Wangunjaya 2
Cicurug Nyangkowek, Purwasari, Benda, Nanggerang, 5
Kutajaya
Cisaat Sukaresmi, Selajambe, Sukasari, Kutasirna 4
Kadudampit Muaradua, Cikahuripan, Sukamanis, Sukamaju, 7
Undrus Binangun, Cipetir, Citamiang
Nagrak Girijaya, Cisarua, Babakan Panjang, Cihanyawar, 8
Pawenang, Kalaparea, Darmareja, Balekambang
Parung Kuda Kompa 1
Sukabumi Sudajaya Girang, Parungseah, Sukajaya 3
Sukalarang Sukamaju 1
Sukaraja Margaluyu, Selaawi, Langensari, Sukamekar, 5
Cisarua

Tabel 16 Rekapitulasi jumlah desa di Cagar Biosfer Cibodas


berdasarkan tingkat hirarkinya di setiap Kabupaten

Jumlah Desa Jumlah per


Kabupaten
Hirarki 1 Hirarki 2 Hirarki 3 Kabupaten
Bogor 9 7 25 41
Cianjur 6 11 27 44
Sukabumi 3 13 44 60
Jumlah 18 31 96 145

Tingkat perkembangan wilayah desa di setiap kabupaten belum merata,


namun secara umum di setiap kabupaten desa hirarki I jumlahnya paling sedikit
dan desa hirarki III jumlahnya paling banyak. Kabupaten Bogor memiliki desa
hirarki I yang paling banyak (9 desa) selanjutnya Kabupaten Cianjur (6 desa) dan
55

Kabupaten Sukabumi (3 desa). Untuk desa hirarki II dan hirarki III yang paling
banyak berada di Kabupaten Sukabumi (13 desa hirarki 2 dan 44 desa hirarki 3),
selanjutnya Kabupaten Cianjur (11 desa hirarki 2 dan 27 desa hirarki 3) dan
terakhir Kabupaten Bogor (7 desa hirarki 2 dan 25 desa hirarki 3). Jumlah desa di
Cagar Biosfer Cibodas yang berada di Kabupaten Sukabumi jumlahnya paling
banyak (60 desa), namun dari sisi perkembangan wilayah, desa-desa yang berada
di Kabupaten Sukabumi sebagian besar merupakan desa-desa hirarki III atau desa-
desa dengan tingkat perkembangan wilayah yang masih rendah. Sebaran
komposisi hirarki desa di setiap Kabupaten dapat dilihat dengan jelas pada
Gambar 16.

Bogor Cianjur Sukabumi


Desa Hirarki I Desa Hirarki I Desa Hirarki I
Desa Hirarki II Desa Hirarki II Desa Hirarki II
Desa Hirarki III Desa Hirarki III Desa Hirarki III
5%

14%
22%
22%
73%
61% 25%
61% 17%

Gambar 16 Grafik komposisi hirarki desa di setiap Kabupaten


Berdasarkan sebaran spasialnya, desa-desa hirarki I lebih banyak berada di
sebelah utara dan barat Cagar Biosfer Cibodas. Hal ini dapat difahami karena pada
wilayah utara merupakan daerah tujuan wisata. Adanya puncak dengan keindahan
alamnya serta lokasi-lokasi objek wisata seperti Taman Safari, Taman Wisata
Matahari, perkebunan teh, dan objek wisata lainnya telah mendorong
perkembangan perekonomian di wilayah tersebut dengan banyaknya hotel,
penginapan, restoran, pusat-pusat perbelanjaan, dll. Kondisi ini sesuai dengan
asumsi bahwa penduduk mempunyai kecenderungan untuk bergerombol di suatu
lokasi dengan kondisi fisik, sosial dan ekonomi yang secara relatif terbaik untuk
komunitasnya (Panuju et al. 2012). Daerah dengan fasilitas umum terlengkap
merupakan pusat bagi daerah di sekitarnya.
Pada bagian barat kawasan CBC, beberapa desa berkembang cukup pesat
dan masuk dalam kategori hirarki I karena daerah ini merupakan daerah industri
yang memiliki banyak pabrik terutama pabrik-pabrik air minum dalam kemasan.
Hal ini mendorong berkembangnya pemukiman sebagai reaksi dari kebutuhan
tempat tinggal bagi tenaga kerja yang melimpah. Fenomena ini merupakan ciri
terjadinya suburbanisasi, Rustiadi et al. (2003) menjelaskan bahwa sub urbanisasi
diartikan sebagai proses terbentuknya permukiman-permukiman baru dan juga
kawasan-kawasan industri di pinggiran wilayah perkotaan terutama sebagai akibat
56

perpindahan penduduk kota yang membutuhkan tempat-tempat bermukim untuk


kegiatan industri.
Sebelah selatan kawasan CBC lebih didominasi oleh desa-desa hirarki III.
Penggunaan/penutupan lahan di selatan CBC didominasi oleh lahan pertanian,
konsentrasi penduduk tersebar di antara lahan pertanian membentuk kelompok-
kelompok pemukiman dengan luasan yang tidak terlalu besar. Sebagian kelompok
pemukiman berada di sepanjang jalan lingkar Bogor-Cianjur-Sukabumi tetapi
belum berkembang menjadi pusat-pusat pertumbuhan. Secara spasial sebaran
perkembangan wilayah desa di CBC sebagaimana pada Gambar 17.

Gambar 17 Peta Tingkat Perkembangan Desa di Cagar Biosfer Cibodas

Pola sebaran desa hirarki I tidak selalu dikelilingi atau berdampingan


dengan desa hirarki II. Pola yang terbentuk adalah sebagian besar desa yang
termasuk hirarki II posisinya dikelilingi oleh desa dengan hirarki III. Dalam
konsep wilayah nodal kondisi seperti ini menurut Rustiadi, et al. ( 2011)
menunjukkan adanya hubungan fungsional antara subwilayah dan inti. Suatu
wilayah dapat mempunyai beberapa inti dengan hirarki tertentu. Sub wilayah inti
dengan hirarki yang lebih tinggi merupakan pusat bagi beberapa sub wilayah inti
yang mempunyai hirarki yang lebih rendah. Oleh karena itu, desa dengan hirarki
II merupakan pusat pelayanan bagi wilayah sekitarnya yang hirarkinya lebih
rendah. Dari sisi perkembangan wilayah, desa dengan hirarki II mempunyai
tingkat perkembangan dan fasilitas relatif sedang artinya jumlah dan jenis
fasilitasnya relatif lebih rendah dibandingkan dengan desa yang berhirarki I
namun relatif lebih tinggi dibandingkan dengan desa yang berhirarki III.
Hal menarik pada pola sebaran desa hirarki I adalah terbentuknya desa-desa
hirarki I secara berdampingan. Banyak faktor yang menyebabkan desa-desa
tersebut dapat berkembang bersama, misalnya adanya kesamaan potensi wilayah
57

yang dimiliki atau sebelumnya desa-desa tersebut merupakan satu desa yang
berkembang dan terjadi pemekaran. Fenomena ini sesuai dengan pendapat
Tarigan (2005) bahwa desa yang berkembang kemungkinan akan mendorong desa
tetangganya untuk berkembang, karena adanya keterkaitan kegiatan antar desa.
Pada setiap tingkatan perkembangan wilayah, menunjukkan struktur
penggunaan/penutupan lahan yang khas terutama pada proporsi luas penggunaan
lahan terbangun, hutan dan lahan pertanian (TPLB dan TPLK). Struktur
penggunaan/penutupan lahan di setiap tingkatan hirarki sebagaimana Gambar 18.

Struktur Penggunaan/Penutupan Lahan


di Setiap Tingkatan Hirarki
100%
90% Tubuh Air
80%
70% TP Lahan Kering
60% TP Lahan Basah
50% Rumput/Tanah Kosong
40%
30% Perkebunan
20% Lahan Terbangun
10% Hutan
0%
Desa Hirarki I Desa Hirarki Desa Hirarki Belukar/Semak
II III

Gambar 18 Struktur penggunaan/penutupan lahan di setiap tingkatan hirarki

Pada Gambar 18 dapat dilihat karakteristik penggunaan/penutupan lahan


desa di setiap hirarkinya. Dari 8 tipe penggunaan/penutupan lahan tersebut, yang
cukup signifikan luasnya adalah lahan terbangun, TPLB, TPLK dan hutan.
Penggunaan/penutupan lahan pada desa-desa hirarki I rata-rata didominasi oleh
lahan terbangun, selanjutnya TPLB, TPLK dan hutan. Penggunaan/penutupan
lahan pada desa-desa hirarki II, menunjukkan komposisi luas antara lahan
terbangun, TPLB dan TPLK hampir sama sedangkan pada desa hirarki III
penggunaan lahannya didominasi oleh lahan pertanian (TPLB atau TPLK)
sedangkan luas lahan terbangunnya relatif sedikit, sehingga dapat diambil asumsi
bahwa proporsi luas lahan terbangun (permukiman) terhadap tipe penggunaan
lahan lainnya dapat mengindikasikan tingkat perkembangan suatu wilayah.
Semakin tinggi proporsi luas lahan terbangun (permukiman) maka semakin tinggi
pula tingkat perkembangan wilayahnya. Namun demikian, tidak semua kondisi
desa sesuai dengan asumsi ini karena jika melihat proporsi penggunaan lahan desa
per desa, terdapat desa dengan proporsi lahan terbangun yang tinggi tetapi tingkat
perkembangan wilayahnya masuk kategori hirarki III.
Ordo penciri pada perkembangan wilayah di kawasan CBC ada pada
fasilitas ekonomi dan fasilitas pendidikan yaitu jumlah Bank Perkreditan Rakyat
dan jumlah Akademi/Perguruan Tinggi. Pada umumnya wilayah dengan jumlah
jenis fasilitas yang lebih lengkap akan menjadi daerah dengan tingkat
perkembangan wilayah yang lebih tinggi, namun pada kawasan CBC tidak selalu
daerah dengan tingkat perkembangan wilayah yang lebih tinggi mempunyai
58

jumlah jenis fasilitas yang lebih banyak. Namun jika ditelaah pada tingkat
kecamatan, memperlihatkan pola yang sama yaitu semua desa dengan hirarki
lebih tinggi memiliki jumlah fasilitas paling banyak (Lampiran 3).

Perkembangan Wilayah Desa di Setiap Zona


Zona pada cagar biosfer masing-masing memiliki fungsi utama yang
berbeda, oleh karena itu informasi tentang tingkat perkembangan wilayah pada
desa-desa di setiap zona penting diketahui sebagai bahan untuk perencanaan cagar
biosfer selanjutnya. Desa-desa di zona penyangga batas wilayah administratifnya
meliputi wilayah yang ada di area inti, namun dalam hal pengelolaan wilayah,
wilayah desa yang masuk ke area inti kewenangan pengelolaannya ada pada
pemerintah pusat dalam hal ini BBTNGGP untuk pengelolaan Taman Nasional
Gunung Gede Pangrango dan BBKSDA Jawa Barat untuk pengelolaan Cagar
Alam Telaga Warna, Taman Wisata Alam Telaga Warna dan Taman Wisata Alam
Jember. Oleh karena itu, pada desa-desa di zona penyangga, lahan desa yang
dapat dioptimalkan untuk di kelola adalah wilayah desa yang berada di luar area
inti. Jumlah hirarki desa di setiap zona sebagaimana pada Tabel 17.

Tabel 17 Jumlah Hirarki Desa di Setiap Zona

Jumlah Desa
Zona CBC Jumlah
Hirarki 1 Hirarki 2 Hirarki 3
Zona Penyangga 5 7 46 58
Area Transisi 13 24 50 87
Jumlah 18 31 96 145

Pada Tabel 17 dapat dilihat bahwa desa-desa pada zona penyangga dan area
transisi didominasi oleh desa-desa dengan tingkat perkembangan wilayah rendah
(hirarki III), namun jika dilihat proporsinya maka desa hirarki III pada zona
penyangga lebih banyak dibandingkan dengan desa hirarki III pada area transisi
yaitu sebesar 79.31 % berbanding 57.47 % dari jumlah desa pada setiap zona.
Desa hirarki II dan desa hirarki I sebagian besar berada pada area transisi. Dengan
kata lain, secara umum desa-desa pada area transisi lebih baik perkembangan
wilayahnya dibandingkan desa-desa pada zona penyangga. Dalam konteks cagar
biosfer, hal ini wajar karena area transisi merupakan wilayah yang diarahkan
untuk mengakomodir aktivitas ekonomi dan pembangunan berkelanjutan. Namun
tentu saja, perekonomian pada zona penyangga tidak berarti diabaikan, yang perlu
dilakukan adalah upaya-upaya agar pemenuhan perekonomian pada zona
penyangga dapat meningkat tanpa mengganggu fungsi lindung pada area inti.

Perkembangan Wilayah dan Tingkat Kemiskinan

Kemiskinan secara umum didefinisikan sebagai suatu kondisi dimana


seseorang atau sekelompok orang tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya
untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-
hak dasar yang dimaksud antara lain : (1) terpenuhinya kebutuhan pangan, (2)
kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya
59

alam dan lingkungan hidup, serta (3) rasa aman dari perlakuan atau ancaman
tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial politik.
Badan Pusat Statistik (BPS) mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan
untuk memenuhi standar minimum kebutuhan dasar yang meliputi kebutuhan
makanan maupun non makanan. Pembahasan ini bertujuan untuk mengetahui
apakah tingkat perkembangan wilayah berkolerasi dengan tingkat kemiskinan.
Tingkat kemiskinan direpresentasikan dengan proporsi jumlah penduduk miskin
di setiap desa yang dikelompokkan menjadi tingkat kemiskinan rendah, sedang
dan tinggi. Dalam hal ini asumsinya adalah pada desa hirarki I memiliki tingkat
kemiskinan rendah, desa hirarki II memiliki tingkat kemiskinan sedang dan desa
hirarki III memiliki tingkat kemiskinan tinggi.
Berdasarkan data Pendataan Program Perlindungan Sosial Tahun 2011
(PPLS 2011) yang dikeluarkan oleh Tim Nasional Percepatan Penanggulangan
Kemiskinan (TNP2K) jumlah penduduk miskin yang ada di kawasan CBC
berjumlah 147 299 penduduk atau sekitar 12.06% dari jumlah penduduk (data
Podes 2011) yang ada di kawasan CBC yang tersebar di 145 desa dengan proporsi
yang berbeda-beda (Lampiran 6). Gambaran proporsi jumlah penduduk miskin di
setiap kabupaten sebagaimana pada Tabel 18.

Tabel 18 Proporsi jumlah penduduk miskin setiap Kabupaten


%∑
∑ %∑
∑ %∑ Penduduk
Kabupaten Penduduk Penduduk
Penduduk Penduduk miskin per
Miskin Miskin
Kabupaten
Bogor 360320 29.50 34459 23.39 9.56
Cianjur 417826 34.21 52411 35.58 12.54
Sukabumi 443267 36.29 60429 41.02 13.63
Jumlah 1221413 100 147299 100 12.06

Pada Tabel 18 dapat dilihat bahwa jumlah penduduk miskin yang paling
sedikit berada di Kabupaten Bogor, lalu di Kabupaten Cianjur dan yang terbanyak
di Kabupaten Sukabumi. Pada tingkatan kabupaten, antara tingkat perkembangan
wilayah dengan kemiskinan menunjukkan hubungan yang positif. Kabupaten
yang memiliki jumlah desa dengan perkembangan wilayah tinggi lebih banyak,
menunjukkan jumlah penduduk miskinnya lebih sedikit. Pada tingkatan desa
hubungan antara tingkat perkembangan wilayah dan tingkat kemiskinan
sebagaimana Tabel 19 dan Gambar 19.

Tabel 19 Perbandingan tingkat perkembangan desa dengan tingkat kemiskinan


Tingkat Kemiskinan (Jumlah
Tingkat Desa) Jumlah
Perkembangan Desa
Rendah Sedang Tinggi
Desa Hirarki 1 18 18
Desa Hirarki 2 20 8 3 31
Desa Hirarki 3 44 33 19 96
Jumlah 82 41 22 145
60

Desa Hirarki I Desa Hirarki II Desa Hirarki III


Tk. Kemiskinan Rendah Tk. Kemiskinan Rendah Tk. Kemiskinan Rendah
Tk. Kemiskinan Sedang Tk. Kemiskinan Sedang Tk. Kemiskinan Sedang
Tk. Kemiskinan Tinggi Tk. Kemiskinan Tinggi Tk. Kemiskinan Tinggi

10%

20%

26% 46%

64% 34%
100
%

Gambar 19 Grafik perbandingan tingkat perkembangan desa dan tingkat


kemiskinan di Kawasan CBC
Pada Gambar 19 dapat dilihat bahwa desa pada kelompok desa hirarki I
semuanya memiliki tingkat kemiskinan yang rendah, artinya tingkat
perkembangan wilayah desa seiring dengan kesejahteraan masyarakatnya dimana
dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi maka tingkat kemiskinan akan
berkurang. Pada desa hirarki II dan hirarki III, memiliki tingkat kemiskinan
bervariasi ada yang rendah, sedang dan tinggi namun sebagian besar memiliki
tingkat kemiskinan yang rendah, hanya sebagian kecil saja desa-desa yang masuk
kategori tingkat kemiskinan sedang dan tinggi. Pada Gambar 18 dapat dilihat
bahwa pada kelompok desa dengan tingkat perkembangan wilayah yang lebih
baik menunjukkan proporsi jumlah desa dengan tingkat kemiskinan yang rendah
jumlahnya lebih banyak. Perbandingan tingkat perkembangan desa dengan tingkat
kemiskinan per Kabupaten sebagaimana Tabel 20.

Tabel 20 Perbandingan tingkat perkembangan desa dengan tingkat kemiskinan


per Kabupaten

Tingkat Tingkat Kemiskinan


Kabupaten Perkembangan (Jumlah Desa) Jumlah
Desa Rendah Sedang Tinggi
Bogor Desa Hirarki 1 9 9
Desa Hirarki 2 5 2 7
Desa Hirarki 3 14 7 4 25
Jumlah Bogor 28 9 4 41
Cianjur Desa Hirarki 1 6 6
Desa Hirarki 2 9 1 1 11
Desa Hirarki 3 11 8 8 27
Jumlah Cianjur 26 9 9 44
Sukabumi Desa Hirarki 1 3 3
Desa Hirarki 2 6 5 2 13
Desa Hirarki 3 19 18 7 44
Jumlah Sukabumi 28 23 9 60
Jumlah Keseluruhan 82 41 22 145
61

Secara keseluruhan jumlah desa dengan tingkat kemiskinan tinggi sebanyak


22 desa atau 15.17 %, desa dengan tingkat kemiskinan sedang sebanyak 41 desa
atau 28.28 % dan sebagian besar desa-desa yang ada di kawasan Cagar Biosfer
Cibodas memiliki tingkat kemiskinan yang rendah (82 desa atau 56.55 %), hal ini
berbanding terbalik dengan tingkat perkembangan wilayah yang sebagian
sebagian besar masuk kelompok desa Hirarki III (96 desa atau 66.21 %). Desa-
desa dengan tingkat perkembangan wilayah yang sedang dan rendah tetapi
memiliki tingkat kemiskinan rendah, menunjukkan bahwa fasilitas-fasilitas
pelayanan dasar baik sosial maupun ekonomi dapat dijangkau dengan mudah.
Berdasarkan wilayah kabupaten, proporsi tingkat kemiskinan rendah
tersebar merata di ketiga kabupaten, sedangkan untuk tingkat kemiskinan sedang
yang terbanyak ada di Kabupaten Sukabumi. Sebaran tingkat kemiskinan
berdasarkan posisi desa pada zonasi cagar biosfer sebagaimana pada Tabel 21.

Tabel 21 Sebaran tingkat kemiskinan berdasarkan zonasi cagar biosfer

Tingkat Tingkat Kemiskinan


Kabupaten Perkembangan (Jumlah Desa) Jumlah
Desa Rendah Sedang Tinggi
Bogor Desa Penyangga 8 7 3 18
Desa Transisi 20 2 1 23
Jumlah Bogor 28 9 4 41
Cianjur Desa Penyangga 8 5 6 19
Desa Transisi 18 4 3 25
Jumlah Cianjur 26 9 9 44
Sukabumi Desa Penyangga 7 8 6 21
Desa Transisi 21 15 3 39
Jumlah Sukabumi 28 23 9 60
Jumlah Keseluruhan 82 41 22 145

Berdasarkan zona desa (Tabel 21) ketiga Kabupaten menunjukkan pola


sebaran tingkat kemiskinan yang hampir sama. Sebagian besar desa dengan
tingkat kemiskinan rendah berada pada area transisi (59 desa atau 71.95 % dari
jumlah desa dengan tingkat kemiskinan rendah), dan desa dengan tingkat
kemiskinan tinggi sebagian besar ada pada zona penyangga (15 desa atau 68.18 %
dari jumlah desa desa dengan tingkat kemiskinan tinggi). Berdasarkan posisi
geografis (Gambar 19) menunjukkan bahwa desa-desa dengan tingkat kemiskinan
tinggi dan perkembangan yang rendah lebih banyak tersebar pada wilayah dengan
topografi agak curam sampai curam atau pada wilayh yang berbatasan langsung
dengan area inti. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Astuti dan Musiyam
(2009) di Kabupaten Boyolali bahwa adanya hubungan asosiatif antara tingkat
kemiskinan dengan kondisi geografi. Desa-desa yang mempunyai tingkat
kemiskinan tinggi umumnya berada di wilayah-wilayah dataran tinggi dengan
sistem pertanian lahan kering dan mempunyai tingkat keterjangkauan yang relatif
rendah. Sebaliknya desa-desa yang mempunyai tingkat kemiskinan rendah
umumnya terletak di wilayah-wilayah dataran rendah dengan sistem pertanian
sawah dan umumnya mempunyai tingkat keterjangkauan yang relatif tinggi.
Secara spasial sebaran tingkat kemiskinan dan perkembangan wilayah
sebagaimana pada Gambar 20.
62

Gambar 20 Peta sebaran tingkat kemiskinan dan perkembangan wilayah di CBC

Tipologi Pemanfaatan Ruang di Cagar Biosfer Cibodas

Penyusunan tipologi bertujuan untuk mengelompokkan suatu unit


pengamatan berdasarkan kesamaan karakteristik pada setiap kelompok tipologi.
Semakin banyak informasi atau parameter yang digunakan dalam penyusunan
tipologi dapat memberikan informasi yang semakin lengkap, namun disisi lain
dapat menjadikan tipologi yang terbentuk sangat banyak karena banyaknya variasi
kesamaan (homogenitas) setiap parameter. Tujuan pembuatan tipologi pada kajian
ini adalah untuk pendekatan dalam penyusunan arahan kebijakan maka banyaknya
tipologi yang terbentuk akan menjadi kurang efektif. Tipologi pemanfaatan ruang
di Cagar Biosfer Cibodas dalam kajian ini disusun berdasarkan pada dua
parameter, yaitu 1) sosial ekonomi wilayah yang terdiri dari tingkat
perkembangan wilayah desa dan tingkat kemiskinan setiap desa, dan 2) aspek
fisik lahan yaitu proporsi penggunaan/penutupan lahan dan tingkat kemiringan
lereng di setiap desa.
Parameter sosial ekonomi diperoleh dari hasil analisis klaster dengan
variabel tingkat perkembangan wilayah dan tingkat kemiskinan. Hasil analisis
klaster parameter sosial ekonomi dihasilkan 3 klaster dan diberi kode S1 untuk
klaster 1, S2 untuk klaster 2 dan S3 untuk klaster 3. Parameter aspek fisik lahan
diperoleh dari hasil analisis klaster dengan variabel proporsi luas
penggunaan/penutupan lahan dan luas tingkat kemiringan lereng setiap desa. Hasil
analisis klaster aspek fisik lahan dihasilkan 3 klaster dan diberi kode F1 untuk
klaster 1, F2 untuk klaster 2 dan F3 untuk klaster 3. Berdasarkan hasil klaster
63

parameter sosial ekonomi wilayah dan fisik lahan, selanjutnya disusun variasi
tipologi desa di CBC. Pembentukan tipologi desa sebagaimana dalam Gambar 21.

Fisik Lahan 1 (F1) S1 F1

Sosek Wilayah 1 (S1) Fisik Lahan 2 (F2) S1 F2

Fisik Lahan 3 (F3) S1 F3


Tipologi Desa CBC

Fisik Lahan 1 (F1) S2 F1

Sosek Wilayah 2 (S2) Fisik Lahan 2 (F2) S2 F2

Fisik Lahan 3 (F3) S2 F3

Fisik Lahan 1 (F1) S3 F1

Sosek Wilayah 3 (S3) Fisik Lahan 2 (F2) S3 F2

Fisik Lahan 3 (F3) S3 F3

Gambar 21 Diagram penyusunan tipologi desa di Cagar Biosfer Cibodas


Pada Gambar 21 dapat dilihat bahwa tipologi desa dibentuk berdasarkan
aspek sosial ekonomi wilayah dan aspek fisik lahan. Arti dari setiap simbol aspek
sosial ekonomi dan fisik lahan tersebut adalah sbb:
 S1  adalah desa-desa dengan tingkat perkembangan wilayah rendah sampai
sedang, tingkat kemiskinan tinggi.
 S2  adalah desa-desa dengan tingkat perkembangan wilayah rendah, tingkat
kemiskinan rendah.
 S3  adalah desa-desa dengan tingkat perkembangan wilayah sedang dan
tinggi, tingkat kemiskinan rendah sampai sedang.
 F1  adalah desa-desa dengan penggunaan lahan TPLB yang luas, lahan
terbangun cukup luas, kemiringan lereng didominasi oleh kemirigan lereng
datar (< 8%).
 F2  adalah desa-desa dengan penggunaan lahan TPLK yang luas, lahan
terbangun cukup luas, kemiringan lereng datar yang cukup luas namun tidak
seluas desa-desa di klaster 1.
 F3  adalah desa-desa dengan hutan yang luas, lahan terbangun sedikit dan
kemiringan lereng bervariasi mulai dari landai (8% - 15%) sampai sangat
curam (> 45%), tetapi yang mendominasi adalah kemiringan lereng agak
curam (16% - 25%), umumnya merupakan desa-desa di zona penyangga.
Berdasarkan skenario penyusunan tipologi desa tersebut diatas (Gambar 21)
maka desa-desa yang berada di kawasan CBC terbagi dalam sembilan tipologi.
Jumlah desa berdasarkan tipologi desa di setiap Kabupaten sebagaimana pada
Tabel 22.
64

Tabel 22 Jumlah desa berdasarkan tipologi desa di setiap Kabupaten

Tipologi Kabupaten (Jumlah Desa)


Jumlah
Desa Bogor Cianjur Sukabumi
S1 F1 0 4 10 14
S1 F2 4 2 7 13
S1 F3 7 11 10 28
S2 F1 1 5 8 14
S2 F2 10 1 9 20
S2 F3 3 5 2 10
S3 F1 4 9 6 19
S3 F2 9 2 7 18
S3 F3 3 5 1 9
Jumlah 41 44 60 145

Pada Tabel 22 dapat dilihat Kabupaten Bogor didominasi oleh tipologi S2


F2 sebanyak 10 desa dan tipologi S3 F2 sebanyak 9 desa. Artinya di Kabupaten
Bogor didominasi oleh desa dengan tingkat perkembangan rendah dengan tingkat
kemiskinan yang rendah atau tingkat perkembangan tinggi dengan tingkat
kemiskinan rendah, memiliki lahan pertanian dan lahan terbangun cukup luas dan
berada pada topografi datar sampai landai. Secara spasial, tipologi desa S2 F2
terlihat mengelompok dan berperan sebagi hinterland bagi desa yang lebih
berkembang disekitarnya yaitu Desa Ciawi dan Desa Citeko. Sedangkan tipologi
S3 F3 tersebar di sebelah barat kawasan CBC disepanjang jalan lingkar Bogor-
Sukabumi. Tingkat perkembangan wilayah yang tinggi pada desa ini didorong
oleh banyaknya industri dan pabrik di daerah ini. Selain itu akses jalan yang
merupakan jalan lintas antar kabupaten turut mendorong tingkat perkembangan
wilayahnya.
Kabupaten Cianjur didominasi oleh tipologi desa S1 F3 sebanyak 11 desa
dan S3 F1 sebanyak 9 desa. Artinya didominasi oleh desa dengan tingkat
perkembangan wilayah rendah sampai sedang dengan tingkat kemiskinan tinggi
yang berada pada topografi landai sampai sangat curam. Secara spasial desa
tipologi S1 F3 sebagian besar mengelompok berada pada zona penyangga sebelah
tenggara area inti. Tipologi dominan satu lagi adalah adalah S3 F1 yaitu desa
dengan tingkat perkembangan sedang sampai tinggi dengan tingkat kemiskinan
rendah yang berada pada topografi datar. Secara spasial desa-desa S3 F1 berada di
sebelah timur area inti dan merupakan daerah tujuan wisata, kelompok satu lagi
berada pada area transisi dekat pusat keramaian Kabupaten Cianjur dengan
potensi pertanian lahan basah yang cukup luas.
Tipologi desa yang mendominasi di Kabupaten Sukabumi cenderung lebih
merata, terdiri tipologi S1 F1 dan S1 F3 dengan jumlah desa masing-masing 10
desa, lalu tipologi S2 F2 dan S2 F1 dengan jumlah desa masing-masing 9 dan 8
desa. Secara umum tipologi desa di Kabupaten Sukabumi didominasi oleh desa
dengan tingkat perkembangan wilayah rendah sampai sedang dengan tingkat
kemiskinan sedang sampai tinggi atau tingkat perkembangan wilayah rendah
dengan tingkat kemiskinan rendah yang berada pada topografi datar sampai sangat
curam. Secara spasial desa-desa ini berada berbatasan langsung dengan area inti
atau berada pada zona penyangga. Desa-desa dengan perkembangan wilayah
tinggi dan tingkat kemiskinan rendah lebih banyak berada pada topografi datar
65

sampai landai dengan lokasi desa terpisah satu dengan lainnya. Secara spasial
sebaran tipologi desa di kawasan CBC sebagaimana pada Gambar 22.

Gambar 22 Peta tipologi desa di Cagar Biosfer Cibodas

Arahan Kebijakan Pengelolaan

Sasaran utama pengelolaan Cagar Biosfer Cibodas adalah untuk


mewujudkan tiga fungsi biosfer yang saling mendukung (complementary
functions) yakni: 1) fungsi konservasi guna mempertahankan sumber genetika
jenis, ekosistem maupun lanskap; 2) fungsi pembangunan guna mendorong
pembangunan ekonomi maupun manusia secara lestari, dan 3) fungsi dukungan
logistik guna mendukung proyek-proyek demonstrasi, pendidikan dan pelatihan
lingkungan, riset dan monitoring terkait masalah-masalah konservasi dan
pembangunan berkelanjutan di tingkat lokal, nasional maupun global (BBTNGGP
2012). Implementasi pelaksanaan ketiga fungsi ini diterapkan di semua zona
dengan proporsinya masing-masing.
Pada prinsipnya tujuan dari pengelolaan kawasan CBC adalah untuk
menjaga dan melindungi kelestarian area inti serta fungsi lindung kawasan cagar
biosfer. Untuk efektifitas pengelolaan kawasan CBC maka pengelolaan kawasan
CBC dibagi menjadi beberapa wilayah pengelolaan (WP) dengan
mempertimbangkan wilayah administratif kabupaten sebagai batasnya. Area inti
CBC menjadi wilayah pengelolaan tersendiri dengan pertimbangan pada area inti
memiliki kewenangan pengelolaan tersendiri meskipun secara administrasi
pemerintahan wilayah area inti terbagi kedalam tiga kabupaten. Berdasarkan
kriteria tersebut maka kawasan CBC terbagi menjadi 4 wilayah pengelolaan yaitu
66

WP Area Inti, WP Bogor, WP Cianjur dan WP Sukabumi sebagaimana disajikan


pada Gambar 23.

Gambar 23 Peta pembagian wilayah pengelolaan di kawasan CBC

Arahan kebijakan pengelolaan suatu wilayah dapat berdasarkan berbagai


macam pendekatan, pada penelitian ini arahan kebijakan pengelolaan kawasan
CBC berdasarkan pada sintesa hasil penelitian yang telah dilakukan yang meliputi
aspek fisik lahan dan sosial ekonomi wilayah. Ditinjau dari aspek sosial ekonomi
wilayah dan fisik lahan, dapat dirumuskan bahwa permasalahan pokok di kawasan
CBC adalah: 1) Terdapat penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan area inti
(konflik penggunaan lahan), 2) Terdapat permasalahan yang terkait dengan
rencana pola ruang, 3) tingkat perkembangan wilayah desa yang rendah, 4) tingkat
kemiskinan yang tinggi, 5) ancaman terjadinya konversi pada lahan pertanian, 6)
terganggunya fungsi lindung cagar biosfer sebagai kawasan resapan air.
Permasalahan nomor satu berada di WP Area Inti sedangkan permasalahan nomor
dua sampai enam berada di WP Kabupaten baik di zona penyangga maupun area
transisi.
Mengingat pengelola di setiap wilayah pengelolaan berbeda-beda maka
kesamaan visi cagar biosfer, koordinasi dan kerjasama menjadi salah satu kunci
keberhasilan pengelolaan di kawasan CBC. Hal ini dapat difasilitasi oleh Forum
Koordinasi dan Komunikasi Pengelolaan Cagar Biosfer Cibodas yang sudah di
bentuk berdasarkan SK Gubernur Jawa Barat No. 522.51/Kep.157-BKPPW
I/2010 tanggal 21 Januari 2010 yang bertujuan untuk mengakomodasikan
berbagai inisiatif dan perencanaan dari multipihak dalam melakukan upaya
perlindungan keanekaragaman hayati dan pembangunan berkelanjutan di kawasan
Cagar Biosfer Cibodas.
67

Arahan Pengelolaan pada WP Area Inti


Area inti Cagar Biosfer Cibodas merupakan kawasan konservasi sehingga
dasar pengelolaan kawasan konservasi berpedoman pada Peraturan Pemerintah
(PP) Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Kawasan
Suaka Alam Dan Kawasan Pelestarian Alam. Sesuai dengan PP tersebut,
pengelolaan kawasan dilakukan melalui kegiatan perencanaan, perlindungan,
pengawetan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian dalam rangka menjaga
fungsinya sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Kewenangan pengelolaan kawasan konservasi berada di pemerintah pusat,
dalam hal ini pada Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango
(BBTNGGP) untuk pengelolaan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, dan
Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Barat untuk
pengelolaan Taman Wisata Alam Talaga Warna, Taman Wisata Alam Jember dan
Cagar Alam Telaga Warna. Oleh karena itu, pengelolaan pada area inti Cagar
Biosfer Cibodas kewenangan sepenuhnya ada pada dua instansi ini.
Berdasarkan hasil penelitian, permasalahan di Area Inti adalah adanya
penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan area inti (konflik penggunaan lahan)
dibeberapa lokasi. Oleh karena itu program prioritas yang dilakukan adalah
penyelesaian konflik penggunaan lahan yang ditindaklanjuti dengan restorasi
kawasan bekas konflik dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Fungsi lindung
pada area inti akan terjaga ketika penutupan lahan yang sesuai dengan fungsi ini
tetap utuh. Penutupan lahan yang sudah sesuai dengan fungsi area inti saat ini
tetap dijaga dan dipertahankan, sedangkan untuk penggunaan lahan yang tidak
sesuai dilakukan penanganan.
Penyelesaian konflik lahan dilakukan dengan terus menerus melakukan
sosialisasi dan penyuluhan kepada masyarakat tentang kebijakan, fungsi dan
manfaat menjaga area inti serta dampak yang dapat terjadi jika kawasan area inti
rusak. Sehingga diharapkan warga dengan sukarela meninggalkan lahan garapan
yang ada di area inti. Tindakan penegakan hukum juga dapat dilakukan untuk
memberikan efek jera, tindakan ini merupakan langkah terakhir yang diambil.
Koordinasi dengan instansi terkait (Pemerintah Daerah) dilakukan untuk mencari
solusi terbaik penyelesaian permasalahan ini. Luas konflik lahan seluas 1 130.82
ha berupa lahan terbangun, perkebunan, pertanian lahan basah dan pertanian lahan
kering. Jika perkebunan dikeluarkan maka luas konflik lahan sebesar 862.86 ha
yang tersebar di 15 desa di Kabupaten Bogor, 17 desa di Kabupaten Cianjur dan
20 desa di Kabupaten Sukabumi dengan luasan yang berbeda-beda. Proses
penyelesaian konflik lahan ini dilakukan per wilayah desa, dengan strategi dimulai
dari desa dengan luas konflik lahan yang kecil, dengan pertimbangan banyaknya
jumlah desa yang harus diselesaikan permasalahan konflik lahannya serta
keterbatasan sumberdaya yang ada. Penyelesaian permasalahan pada wilayah
yang luas biasanya prosesnya berlarut-larut dan seringkali tidak menghasilkan
penyelesaian permasalahan. Peluang keberhasilan penyelesaian masalah pada
luasan kecil akan lebih besar sehingga satu per satu permasalahan di setiap desa
dapat diselesaikan. Progres penyelesaian permasalahan dapat diukur dan ini secara
psikologis akan memberikan dampak positif bagi pengelola area inti. Penyelesaian
68

permasalahan pada suatu wilayah desa diiringi dengan tetap menjaga agar
penggunaan lahan yang tidak sesuai pada wilayah lain tidak terus bertambah luas.
Tahapan selanjutnya adalah melakukan restorasi pada lahan-lahan yang
telah diselesaikan permasalahannya berupa penanaman pohon dengan jenis
endemik setempat. Pengelola area inti dapat melakukan peningkatan
pemberdayaan masyarakat melalui pelatihan dan peningkatan keterampilan
masyarakat dan pemberdayaan masyarakat. Tujuannya adalah untuk menciptakan
alternatif pilihan pekerjaan dan mengurangi ketergantungan masyarakat pada
pemanfaatan potensi area inti untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya.

Arahan Pengelolaan pada WP Bogor, Cianjur dan Sukabumi


Setiap wilayah pengelolaan terdiri dari zona penyangga dan area transisi.
Zona penyangga merupakan wilayah yang berbatasan langsung dengan area inti
yang berperan sebagai koridor dan pelindung area inti dari kerusakan. Pengelolaan
zona penyangga CBC melibatkan banyak pihak terutama Balai Besar TNGGP,
Pemda Kabupaten Bogor, Pemda Kabupaten Cianjur, Pemda Kabupaten
Sukabumi. Kewenangan pengelolaan zona penyangga CBC berada pada
Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor, Cianjur dan Sukabumi oleh karena itu
koordinasi dan kerjasama antara BBTNGGP dan BBKSDA Jawa Barat dengan
Pemerintah Daerah mutlak diperlukan untuk menjamin pengelolaan pada zona
penyangga mendukung fungsi lindung area inti. Sebagai pemangku kawasan area
inti, BBTNGGP dan BBKSDA dapat melakukan kegiatan-kegiatan pada zona
penyangga dalam rangka menjaga dan melestarikan area inti. Kegiatan-kegiatan
tersebut dapat berupa: 1) peningkatan pemahaman masyarakat terhadap
konservasi sumber daya hayati dan ekosistemnya; 2) peningkatan pengetahuan
dan keterampilan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya; dan 3)
peningkatan produktivitas lahan (PP No. 28 Tahun 2011). Implementasi kegiatan
tersebut dapat berupa sosialisasi, pemberdayaan masyarakat, pembinaan
masyarakat, dan menumbuhkembangkan parsitipasi masyarakat dalam
pengelolaan kawasan konservasi.
Area transisi merupakan wilayah terluar kawasan Cagar Biosfer Cibodas.
Kewenangan pengelolaan pada area transisi Cagar Biosfer Cibodas ada pada
Pemerintah Daerah. Dalam hal pengelolaan kawasan, kewenangan BBTNGGP
dan BBKSDA tidak menjangkau area transisi meskipun beberapa kegiatan yang
terkait pemberdayaan masyarakat dan sosialisasi yang diselenggarakan
BBTNGGP dan BBKSDA dimungkinkan dilaksanakan pada area transisi, tetapi
dampak langsung ke area inti sangat kecil sehingga kegiatan ini saat ini tidak
diprioritaskan. Program kegiatan yang paling memungkinkan dilakukan oleh
BBTNGGP dan BBKSDA adalah sosialisasi atau penyuluhan melalui media
massa (cetak dan elektronik) sehingga jangakaun penyebaran informasi lebih luas.
Implementasi kebijakan dalam pengelolaan CBC di setiap wilayah
pengelolaan dilaksanakan dengan mempertimbangkan kondisi tipologi desa yang
ada. Hal ini akan meningkatkan efektifitas pengelolaan dan kesesuaian dalam
menentukan prioritas penanganan permasalahan pada setiap tipologi. Tipologi
desa di setiap wilayah pengelolaan sebagaimana pada Tabel 23.
69

Tabel 23 Tipologi desa di setiap wilayah pengelolaan Bogor, Cianjur dan


Sukabumi

Wilayah Tipologi Desa (Jumlah Desa)


Jumlah
Pengelolaan S1 F1 S1 F2 S1 F3 S2 F1 S2 F2 S2 F3 S3 F1 S3 F2 S3 F3
WP Bogor 0 4 7 1 10 3 4 9 3 41
Zona Penyangga 0 3 6 0 2 3 0 2 2 18
Area Transisi 0 1 1 1 8 0 4 7 1 23
WP Cianjur 4 2 11 5 1 5 9 2 5 44
Zona Penyangga 0 1 10 0 0 4 1 0 3 19
Area Transisi 4 1 1 5 1 1 8 2 2 25
WP Sukabumi 10 7 10 8 9 2 6 7 1 60
Zona Penyangga 0 4 10 0 3 2 0 1 1 21
Area Transisi 10 3 0 8 6 0 6 6 0 39
Jumlah 14 13 28 14 20 10 19 18 9 145

Pada Tabel 23 dapat dilihat bahwa desa zona penyangga sebagian besar
merupakan desa dengan tipologi S1 yaitu desa-desa dengan tingkat perkembangan
wilayah rendah dengan tingkat kemiskinan sedang sampai tinggi, sedangkan desa-
desa pada area transisi didominasi oleh desa dengan tipologi S3 dan S2. Desa
tipologi S3 adalah desa dengan tingkat perkembangan sedang sampai tinggi
dengan tingkat kemiskinan sedang sampai rendah, sedangkan desa tipologi S2
adalah desa dengan tingkat perkembangan rendah dan tingkat kemiskinan rendah.
Tipologi desa di Kabupaten Bogor didominasi oleh tipologi S2 F2 (10 desa) dan
S3 F2 (9 desa), Kabupaten Cianjur didominasi tipologi S1 F3 (11 desa) dan S3 F1
(9 desa) dan Kabupaten Sukabumi didominasi tipologi S1 F1 (10 desa) dan S1 F3
(10 desa). Oleh karena itu berdasarkan sebaran tipologi desa di setiap Kabupaten,
desa-desa dengan tingkat perkembangan wilayah rendah dan tingkat kemiskinan
tinggi lebih banyak berada di Kabupaten Sukabumi sehingga diprioritaskan untuk
mendapatkan penanganan penyelesaian permasalahan terkait perkembangan
wilayah desa dan tingkat kemiskinan. Arahan kebijakan pengelolaan kawasan
CBC disetiap wilayah pengelolaan berdasarkan setiap permasalahan adalah
sebagai berikut:

Permasalahan yag terkait dengan Rencana Pola Ruang


Berdasarkan hasil analisis, beberapa permasalahan terkait dengan rencana
pola ruang diantaranya terdapat perbedaan batas kawasan Taman Nasional
Gunung Gede Pangrango pada rencana pola ruang Kabupaten Bogor, penggunaan
lahan saat ini berupa lahan terbangun berada pada alokasi kawasan konservasi,
TPLB, TPLK, atau kawasan hutan lainnya, dan terdapat perbedaan nomenklatur
penamaan fungsi kawasan pada dokumen rencana pola ruang Provinsi dan ketiga
Kabupaten. Permasalahan ini dapat terjadi karena beberapa sebab, diantaranya
data penggunaan lahan atau data pendukung lainnya pada saat penyusunan
rencana pola ruang yang tidak diperbaharui atau kontrol/pengendalian yang lemah
pada saat implementasi di lapangan.
Beberapa hal yang dapat dilakukan adalah dengan me review kembali
rencana pola ruang yang ada untuk mengantisipasi permasalahan yang akan
70

muncul di kemudian hari. Koordinasi antar instansi yang terkait juga harus
dilakukan untuk menyamakan persepsi dan pembagian peran pengelolaan CBC di
setiap wilayah pengelolaan, penyamaan penggunaan nomenklatur penamaan
fungsi kawasan dan menyamakan batas kawasan yang masih ada perbedaan.

Permasalahan Tingkat Perkembangan Wilayah yang Rendah


Tingkat perkembangan wilayah pada desa-desa di kawasan CBC
dodominasi oleh tingkat perkembangan wilayah yang rendah atau desa dengan
Hirarki III sebanyak 96 desa. Desa yang berada di zona penyangga tidak terlalu
dituntut harus memiliki tingkat perkembangan wilayah yang tinggi karena dengan
fungsinya sebagai pelindung area inti maka prioritas penggunaan lahan diarahkan
untuk mempertahankan keberadaan penggunaan/penutupan lahan berupa vegetasi.
Namun demikian masyarakat tetap harus dapat menjangkau fasilitas-fasilitas
pelayanan dengan mudah, oleh karena itu kondisi aksesibilitas menjadi faktor
penting karena dengan aksesibilitas yang baik maka infrastruktur pelayanan
masyarakat dapat dijangkau dengan mudah meskipun infrastruktur tersebut berada
diluar desa tersebut.
Strategi penanganannya adalah dengan meningkatkan perkembangan
wilayah desa melalui pembangunan infrastrukur fasilitas pelayanan masyarakat
dan meningkatkan aksesibilitas dengan pembangunan atau perbaikan infrastruktur
jalan. Kegiatan ini diprioritaskan pada desa dengan tingkat perkembangan wilayah
yang rendah yaitu desa dengan tipologi S1F1, S1F2, S2F1 dan S2F2.

Permasalahan Tingkat Kemiskinan yang Tinggi


Secara keseluruhan, tingkat kemiskinan di setiap desa di kawasan CBC
didominasi oleh tingkat kemiskinan rendah (82 desa). Hanya sebagian kecil desa
yang memiliki tingkat kemiskinan tinggi (22 desa). Sebagian besar desa dengan
tingkat kemiskinan tinggi ini berada di zona penyangga. Oleh karena itu
meningkatkan kesejahteraan masyarakat pada zona penyangga menjadi penting
dalam mendukung kelestarian area inti. Menurut Salim (1991) bahwa masalah
lingkungan yang dihadapi negara-negara berkembang banyak ditimbulkan oleh
kemiskinan yang memaksa rakyat merusak lingkungan alam. Hutan ditebangi
terutama untuk memperoleh tanah yang dirasakan semakin langka di negara
berkembang yang banyak penduduk. Penetapan kawasan konservasi dan
pengelolaan daerah penyangga seyogyanya mengolaborasikan aspek ekologi,
ekonomi dan sosial budaya masyarakat (Bismark dan Sawitri 2007), sehingga
daerah penyangga memiliki kontribusi ekonomi yang dapat meningkatkan taraf
hidup dan mampu membangun persepsi masyarakat untuk menjaga kelestarian
kawasan konservasi, khususnya pada masyarakat desa sekitar kawasan yang
berinteraksi intensif terhadap kawasan hutan (Nurrani et al. 2014).
Strategi penanganan permasalahan kemiskinan dengan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pengetahuan dan keterampilan
masyarakat untuk menciptakan alternatif pilihan pekerjaan, Penerapan sistem
tumpangsari (agroforestry) pada pertanian lahan kering, Penerapan sistem
minapadi pada pertanian lahan basah, pendampingan dan pemberdayaan
masyarakat, Peningkatan hasil produksi pertanian melalui intensifikasi lahan
pertanian, integrasi ternak dan pertanian. Kegiatan ini diprioritaskan pada desa
dengan tingkat kemiskinan tinggi baik yang berada di zona penyangga maupun
71

area transisi, yaitu desa dengan tipologi S1F1, S1F2 dan S1F3. Upaya-upaya
peningkatan kesejahteraan masyarakat juga diiringi dengan upaya-upaya
meningkatkan penyadartahuan lingkungan sehingga masyarakat semakin
memahami manfaat langsung dan tidak langsung dari terjaganya area inti
sehingga partisipasi masyarakat dalam turut serta menjaga dan mengelola area inti
secara bertahap akan meningkat.

Permasalahan ancaman konversi lahan pertanian yang tidak terkendali


Ditinjau dari penggunaan/penutupan lahan, lahan pertanian merupakan kelas
penggunaan lahan yang mendominasi kawasan CBC. Pada desa-desa zona
penyangga didominasi oleh tipologi F3, artinya desa-desa dengan penggunaan
lahan yang terbanyak adalah hutan dan pertanian lahan kering dengan topografi
bervariasi dari landai sampai sangat curam namun yang mendominasi adalah
topografi agak curam. Dengan kondisi seperti ini, Pemerintah Daerah harus
mengawasi dengan ketat agar tidak terjadi konversi lahan menjadi lahan
terbangun terutama pada daerah zona penyangga yang berdekatan dengan batas
area inti, sehingga arah pembangunan, penyediaan pemukiman dan pemenuhan
fasilitas dikembangkan pada dareah zona penyangga yang mengarah menjauhi
area inti atau yang mengarah ke area transisi. Desa-desa area transisi didominasi
oleh tipologi F1 dan F2, artinya kondisinya saat ini banyak memiliki pertanian
lahan basah dan lahan kering dengan topografi datar sampai landai. Kondisi fisik
lahan seperti ini berpotensi terjadinya konversi lahan yang tinggi.
Strategi penanganan ancaman konversi pada lahan pertanian dengan
pengendalian tata ruang dan perlindungan lahan pertanian, melalui Pengaturan
melalui tata ruang wilayah dan pengawasannya, Pembatasan izin konversi pada
lahan pertanian produktif dan Penerapan kebijakan insentif dan disinsentif. Pada
zona penyangga kegiatan ini diprioritaskan pada desa dengan kondisi topografi
yang didominasi oleh agak curam sampai curam yaitu pada tipologi S1F3, S2F3,
S3F3. Pada Area transisi kegiatan ini diprioritaskan pada desa dengan tingkat
perkembangan desa rendah dan topografi yang didominasi datar yang umumnya
merupakan lokasi TPLB yaitu pada tipologi S1F1, S2F1.

Permasalahan terganggunya fungsi lindung sebagai kawasan resapan air


Dalam hal ini peran pemerintah daerah dalam mengalokasikan pemanfaatan
ruang dalam RTRW dan fungsi pengawasan sangat penting. Permasalahan ini
lebih banyak berada di desa-desa dengan tipologi S3 artinya memiliki
perkembangan wilayah yang tinggi (Hirarki I) dan sebagian besar berada di area
transisi. Meskipun secara fungsi, area transisi dapat lebih fleksibel dalam
pemenuhan segala kebutuhan masyarakat, tetapi tetap harus ada pengaturan
karena bagaimanapun wilayah pada area transisi merupakan wilayah resapan air.
Strategi penanganan terganggunya fungsi resapan air pada desa dengan
lahan terbangun luas adalah dengan perlindungan fungsi wilayah resapan air
melalui rekayasa teknologi misalnya dengan membuat sumur resapan dan lubang
biopori di setiap pekarangan dan ruang terbuka dan rehabilitasi DAS melalui
penanaman pohon di sempadan sungai, pekarangan dan ruang terbuka. Kegiatan
ini diprioritaskan pada desa dengan kelas penggunaan lahan permukiman yang
cukup luas yang umumnya merupakan desa dengan tingkat perembangan desa
yang tinggi yaitu pada tipologi S3F1, S3F2 dan S3F3.
72

Arahan kebijakan pengelolaan kawasan CBC secara ringkas sebagaimana


disajikan pada Tabel 24.

Tabel 24 Arahan kebijakan pengelolaan kawasan CBC


Sasaran
Parameter/
Kriteria Penanganan Tipologi Program/ Kegiatan Prioritas
Permasalahan
Prioritas
WP Area Inti
Penggunaan
Lahan
- Penggunaan - Daerah pada area inti S1F1, S1F2, Penyelesaian konflik penggunaan lahan
lahan yang yang penggunaan S1F3 pada area inti
tidak sesuai lahannya tidak sesuai - Sosialisasi dan penyuluhan tentang
dengan kriteria yaitu berupa lahan fungsi dan manfaat menjaga area inti
Area Inti terbangun, lahan - Penegakan hukum untuk memberikan
(konflik lahan) pertanian dan efek jera (jika diperlukan)
perkebunan - Koordinasi antar instansi terkait
Restorasi kawasan
- Penanaman pohon pada lahan-lahan
yang sudah diselesaikan permasalahan
konflik lahannya dengan jenis-jenis
pohon endemik setempat
Peningkatan kesejahteraan masyarakat
- Peningkatan pengetahuan dan
keterampilan masyarakat untuk
menciptakan alternatif pilihan
pekerjaan
- Pemberdayaan masyarakat
- Ancaman - Daerah pada area inti S1F1, S1F2, Sosialisasi dan penyuluhan
gangguan pada terutama yang S1F3 Pengamanan kawasan konservasi
kelestarian beratasan langsung
kawasan dengan desa-desa Pengelolaan kolaboratif dengan menjalin
dengan tingkat kerjasama dengan berbagai pihak
kemiskinan tinggi
Tata Ruang
Wilayah
- Adanya batas - Batas kawasan Koordinasi antar instansi untuk
kawasan konservasi pada peta menyamakan batas kawasan
konservasi yang rencana pola ruang
belum sama Kabupaten Bogor
belum sama

WP Kabupaten
Perkembangan
Wilayah
- Tingkat - Desa dengan tingkat - Zona Meningkatkan tingkat perkembangan
Perkembangan perkembangan wilayah Penyangga: wilayah desa
wilayah desa rendah (hirarki III) S1F2, S2F2 - Penambahan infrastruktur fasilitas
yang rendah - Desa pada zona - Area Transisi: pelayanan masyarakat
penyangga tidak harus S1F1, S1F2, - Meningkatkan aksesibilitas wilayah
dipaksakan masuk pada S2F1, S2F2 dengan pembangunan atau perbaikan
kriteria hirarki I infrastruktur jalan
Tingkat
Kemiskinan
- Tingkat - Desa dengan tingkat - Zona Peningkatan kesejahteraan masyarakat
kemiskinan kemiskinan tinggi penyangga: - Peningkatan pengetahuan dan
tinggi pada S1F2, S1F3 keterampilan masyarakat untuk
beberapa desa - Area Transisi: menciptakan alternatif pilihan
S1F1, S1F2, pekerjaan
S1F3 - Pengembangan ekonomi lokal misal
dengan one village one product
73
Tabel 24. (Lanjutan)
Sasaran
Parameter/
Kriteria Penanganan Tipologi Program/ Kegiatan Prioritas
Permasalahan
Prioritas
- Penerapan sistem tumpangsari
(agroforestry) pada pertanian lahan
kering (zona penyangga)
- Penerapan sistem minapadi pada
pertanian lahan basah (area transisi)
- Pemberdayaan masyarakat
- Peningkatan hasil produksi pertanian
melalui intensifikasi lahan pertanian
Dokumen RTRW
- Penggunaan - Menyamakan - Koordinasi diantara BAPPEDA Provinsi
Nomenklatur penggunaan Jawa Barat, Kabupaten Bogor, Cianjur
penamaan nomenklatur penamaan dan Sukabumi untuk menyamakan
fungsi kawasan fungsi kawasan penggunaan nomenklatur fungsi kawasan

- Terdapat - Penggunaan lahan - Zona Review RTRW terutama pada Rencana


Penggunaan/ terbangun yang ada Penyangga Pola Ruang
penutupan pada alokasi ruang dan Area
lahan yang untuk kawasan Transisi Memperbarui data-data pendukung dalam
tidak sesuai konservasi, TPLB, penyusunan Rencana Pola Ruang
dengan alokasi TPLK atau pada
rencana pola kawasan hutan lainnya
ruang

Tata Ruang
Wilayah
- Potensi - Desa yag berada pada - Zona Pengendalian pemanfaatan ruang
terjadinya topografi agak curam – Penyangga: - Pengendalian izin baru konversi
konversi lahan sangat curam S1F3, S2F3, menjadi lahan terbangun (permukiman,
pertanian yang - Desa dengan lahan S3F3 hotel, villa, dll)
tidak terkendali pertanian produktif - Pembatasan izin konversi pada lahan
- Area Transisi: pertanian produktif
S1F1, S2F1 - Pengendalian dan pengaturan
pembangunan lahan terbangun pada
daerah dengan kemiringan lereng
curam
- Pengaturan melalui tata ruang wilayah
dan pengawasannya
Perlindungan lahan pertanian produktif
- Pembatasan izin konversi pada lahan
pertanian produktif
- Penerapan kebijakan insentif dan
disinsentif
- Terganggunya - Desa dengan lahan - Zona Perlindungan fungsi wilayah resapan air
fungsi resapan terbangun yang luas, Penyangga: - Rekayasa teknologi misalnya dengan
air pada desa umumnya merupakan S3F1, S3F2, membuat sumur resapan dan lubang
dengan lahan desa dengan hirarki I S3F3 biopori di setiap pekarangan dan ruang
terbangun luas - Area Transisi: terbuka
S3F1, S3F2, - Rehabilitasi DAS melalui penanaman
S3F3 pohon di sempadan sungai, pekarangan
dan ruang terbuka

Secara spasial lokasi-lokasi desa yang menjadi prioritas penanganan setiap


permasalahan adalah sebagaimana pada Gambar 24, Gambar 25, Gambar 26 dan
Gambar 27.
74

Gambar 24 Peta desa prioritas penanganan permasalahan perkembangan wilayah

Gambar 25 Peta desa prioritas penanganan permasalahan tingkat kemiskinan


75

Gambar 26 Peta desa prioritas penanganan permasalahan ancaman konversi lahan

Gambar 27 Peta desa prioritas penanganan permasalahan fungsi resapan air


76

6 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh simpulan


sebagai berikut:
1. Karakteristik penggunaan/penutupan lahan di kawasan CBC adalah sbb:
a. Kondisi penggunaan/penutupan lahan di kawasan Cagar Biosfer Cibodas
menunjukkan kondisi yang masih baik dimana proporsi penggunaan/
penutupan lahan berupa vegetasi masih dominan mencapai 85.39 % dari
luas kawasan CBC. Penggunaan/ penutupan lahan didominasi oleh kelas
hutan dengan luas 25 738.66 ha atau 29.38 %.
b. Komposisi penggunaan/penutupan lahan di setiap Kabupaten hampir
sama. Kelas hutan, TPLB dan TPLK merupakan kelas penggunaan/
penutupan lahan yang mendominasi setiap Kabupaten.
c. Pada area inti terdapat penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan fungsi
area inti sebesar 1 130.82 ha dan perlu segera diselesaikan untuk menjaga
fungsi lindung Area Inti.
2. Pada rencana pola ruang Kabupaten Bogor, Cianjur dan Sukabumi terdapat
penggunaan/penutupan lahan saat ini yang tidak sesuai dengan alokasi
rencana pola ruang yang telah dibuat sehingga dapat menimbulkan
permasalahan dalam pelaksanaan implementasinya. Selain itu, diantara
dokumen perencanaan pola ruang Provinsi Jawa Barat, Kabupaten Bogor,
Cianjur dan Sukabumi terdapat penggunaan nomenklatur yang tidak sama
dalam penamaan fungsi kawasan sehingga dapat menimbulkan perbedaan
persepsi dalam memahami dokumen perencanaan.
3. Karakteristik desa-desa di kawasan CBC berdasarkan tingkat perkembangan
wilayah dan tingkat kemiskinan adalah sbb:
a. Desa-desa di kawasan CBC didominasi oleh desa dengan tingkat
perkembangan rendah (hirarki III) sebanyak 96 desa (66.21 %), tetapi
tingkat kemiskinannya didominasi oleh desa dengan tingkat kemiskinan
rendah juga sebanyak 82 desa (56.55 %). Hal ini menunjukkan bahwa
meskipun banyak desa dengan tingkat perkembangan rendah namun
fasilitas-fasilitas pelayanan (ekonomi, kesehatan dan pendidikan) dapat
diakses dengan baik oleh masyarakat.
b. Desa-desa dengan tingkat perkembangan wilayah tinggi (hirarki I) lebih
banyak berada di sebelah utara kawasan CBC. Perkembangan desa ini
didorong oleh banyaknya objek wisata dan pabrik/industri sehingga
semakin banyak alternatif pilihan pekerjaan dan berkembang menjadi
pusat-pusat perekonomian masyarakat. Desa-desa dengan tingkat
perkembangan wilayah rendah dan tingkat kemiskinan tinggi lebih
banyak berada tersebar pada zona penyangga dengan kondisi kemiringan
lereng didominasi oleh agak curam sampai curam.
c. Hasil analisis menunjukkan bahwa dengan tingkat perkembangan desa
yang semakin baik maka tingkat kemiskinannya semakin rendah. Hal ini
ditandai dengan proporsi jumlah desa dengan tingkat kemiskinan rendah
lebih banyak berada pada desa-desa dengan tingkat perkembangan yang
77

lebih baik, bahkan pada desa hirarki I semuanya memiliki tingkat


kemiskinan yang rendah.
4. Berdasarkan parameter sosial ekonomi wilayah desa dan fisik lahan terdapat
sembilan tipologi desa di kawasan Cagar Biosfer Cibodas, dengan penjelasan
sbb:
a. Tipologi desa pada zona penyangga sebagian besar merupakan desa
dengan tipologi S1 F3 yaitu desa-desa dengan tingkat perkembangan
wilayah rendah, tingkat kemiskinan sedang sampai tinggi, topografi agak
curam sampai curam. Tipologi desa pada area transisi didominasi oleh
desa dengan tipologi S3 F1 yaitu desa dengan tingkat perkembangan
sedang sampai tinggi, tingkat kemiskinan sedang sampai rendah,
topografi datar.
b. Tipologi desa di Kabupaten Bogor didominasi oleh tipologi S2 F2 (10
desa) dan S3 F2 (9 desa), Kabupaten Cianjur didominasi tipologi S1 F3
(11 desa) dan S3 F1 (9 desa) dan Kabupaten Sukabumi didominasi
tipologi S1 F1 (10 desa) dan S1 F3 (10 desa). Oleh karena itu
berdasarkan sebaran tipologi desa di setiap Kabupaten, desa-desa dengan
tingkat perkembangan wilayah rendah dan tingkat kemiskinan tinggi
lebih banyak berada di Kabupaten Sukabumi sehingga diprioritaskan
untuk mendapatkan penanganan penyelesaian permasalahan terkait
perkembangan wilayah desa dan tingkat kemiskinan.
5. Arahan kebijakan pengelolaan kawasan CBC adalah sbb:
a. Berdasarkan hasil kajian, permasalahan pokok di kawasan CBC adalah:
1) Terdapat penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan area inti (konflik
penggunaan lahan), 2) Terdapat penggunaan/penutupan lahan saat ini
yang tidak sesuai dengan rencana pola ruang, 3) tingkat perkembangan
wilayah desa yang rendah, 4) tingkat kemiskinan yang tinggi, 5) ancaman
terjadinya konversi pada lahan pertanian, 6) terganggunya fungsi lindung
cagar biosfer sebagai kawasan resapan air. Kebijakan pengelolaan CBC
difokuskan pada penyelesaian permasalahan-permasalahan tersebut
dengan memperhatikan tipologi desa untuk prioritas penanganannya.
b. Pengelolaan CBC dibagi menjadi empat wilayah pengelolaan dengan
mempertimbangkan kewenangan pusat dan daerah serta batas
administratif, yaitu Wilayah Pengelolaan Area Inti, Wilayah Pengelolaan
Bogor, Wilayah Pengelolaan Cianjur dan Wilayah Pengelolaan
Sukabumi. Koordinasi diantara instansi-instansi yang memiliki
kewenangan pada setiap wilayah pengelolaan menjadi salah satu kunci
keterpaduan pengelolaan di kawasan CBC.
c. Penggunaan/penutupan lahan yang tidak sesuai pada Area Inti
diselesaikan secara bertahap melalui sosialisasi, pemberdayaan
masyarakat, berkoordinasi dengan instansi terkait dan tindakan refresif
jika diperlukan. Disarankan dimulai pada desa-desa dengan luas konflik
lahan yang kecil-kecil karena relatif lebih mudah diselesaikan.
78

Saran

Cagar Biosfer Cibodas memiliki nilai strategis baik dari aspek politik,
ekonomi maupun lingkungan. Banyak pihak yang memiliki kepentingan akan
keberadaan Cagar Biosfer Cibodas. Pengelolaan yang tidak terarah dan tidak
terkoordinasi akan menyebabkan menurunnya fungsi-fungsi dan nilai strategis
yang dimiliki Cagar Biosfer Cibodas sehingga akan menimbulkan dampak bagi
kawasan CBC sendiri maupun wilayah disekitarnya. Pengelolaan Cagar Biosfer
Cibodas melibatkan banyak pihak terutama Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah selaku pemangku wilayah di kawasan CBC, koordinasi dan kerjasama
dalam menyusun perencanaan dan pengelolaan CBC merupakan hal yang harus
dilakukan. Berdasarkan kondisi desa-desa di kawasan CBC saat ini yang
didominasi oleh desa dengan tingkat perkembangan wilayah rendah maka hal ini
harus menjadi perhatian semua pihak, menegaskan kembali mengenai peran dari-
masing-masing pihak “Siapa berbuat Apa” adalah salah satu langkah awal dalam
memperbaiki kondisi desa di kawasan CBC.
Terdapatnya beberapa penggunaan lahan saat ini yang tidak sesuai dengan
alokasi rencana ruang dan berpotensi menimbulkan permasalahan, batas kawasan
konservasi yang belum sama dan penggunaan nomenklatur penamaan fungsi
kawasan maka disarankan Pemda Kabupaten Bogor, Cianjur dan Sukabumi untuk
meninjau kembali rencana pola ruang yang ada saat ini untuk mengantisipasi
timbulnya permasalahan dan mengendalikan perubahan-perubahan penggunaan
lahan dimasa mendatang.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini merupakan salah satu
pendekatan dalam menyusun arah kebijakan pengelolaan kawasan Cagar Biosfer
Cibodas berdasarkan kondisi aktual saat ini, disarankan pemangku wilayah di
CBC dapat melakukan penelitian-penelitian lanjutan dengan data dan informasi
lainnya untuk melengkapi dan mewujudkan pengelolaan kawasan Cagar Biosfer
Cibodas yang lebih baik lagi.
79

DAFTAR PUSTAKA

Aji GB, Joko S, Rusida Y, Amorisa W, Ali YA dan Temi IM. 2011. Strategi
pengurangan kemiskinan di desa-desa sekitar hutan: Pengembangan model
PHBM dan HKm. Laporan penelitian. Jakarta (ID): Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia.
Arsyad, S. 2006. Konservasi Tanah dan Air. Bogor (ID): IPB Press.
Astuti WA dan Musiyam M. 2009. Kemiskinan dan perkembangan wilayah di
Kabupaten Boyolali. Forum Geografi 23 (1): 71-85.
Barlowe R.1986. Land Resources Economic: The Economic of Real Estate Fourth
Edition. Englewood Cliffs, New Jersey (US): Prentice Hall.Inc.
Barus B dan Wiradisastra US. 2000. Sistem Informasi Geografi Sarana
Manajemen Sumberdaya. Bogor (ID): Laboratorium Penginderaan Jauh dan
Kartografi, Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Barus B. 2014. Alih fungsi lahan pertanian pangan: kebijakan dan perijinan.
Disampaikan dalam Round Table Discussion (RTD): Kajian Alih Fungsi
Lahan Pertanian, Direktorat Litbang, Deputi Bidang Pencegahan, KPK. 20
Agustus 2014.
[BBTNGGP] Balai Besar Gunung Gede Pangrango. International Tropical Timber
Organization Project. 2012. Developing Collaborative Management of
Cibodas Biosphere Reserve, West Java Indonesia: Integrated Management
Plan for Cibodas Biosphere Reserve Formulated. Cianjur (ID): Balai Besar
Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.
Beckman S. 2004. Mencari Keseimbangan Pengelolaan Interaksi antara
Masyarakat dan Kawasan Taman Nasional Alas Purwo. Malang (ID):
FISIP Universitas Muhammadiyah Malang.
Bismark M dan Sawitri R. 2007. Pengembangan Dan Pengelolaan Daerah
Penyangga Daerah Konservasi. Prosiding ekspose hasil-hasil penelitian
konservasi dan rehabulitasi sumberdaya hutan. Bogor (ID): Pusat Litbang
Hutan dan Konservasi Alam.
Campbell, JB. 1996. Introduction to Remote Sensing. London (UK): Taylor &
Francis.
Colby JD and Keating PL. 1998. Land cover classification using Landsat TM
imagery in the tropical highlands: The Influence of anisotropic reflectance.
International Journal of Remote Sensing, 19(8):1479-1500.
Danoedoro P .2012. Pengantar Penginderaan Jauh Digital. Yogyakarta (ID):
Penerbit Andi.
Dardak H. 2006. Perencanaan tata ruang bervisi lingkungan sebagai upaya
mewujudkan ruang yang nyaman, produktif dan berkelanjutan. Makalah
Tidak dipublikasikan.
Departemen Kehutanan. 1990. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5
Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan
Ekosistemnya. Jakarta (ID): Departemen Kehutanan.
Departemen Kehutanan. 1999. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan. Jakarta (ID): Departemen Kehutanan.
80

Departemen Kehutanan. 2006. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia


Nomor: P. 56 /Menhut-II/2006 Tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional.
Jakarta (ID): Departemen Kehutanan.
Departemen Kehutanan. 2011. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
28 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam Dan Kawasan
Pelestarian Alam. Jakarta (ID): Departemen Kehutanan.
Departemen Pekerjan]an Umum . 2007. Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. Jakarta (ID): Departemen
Pekerjaan Umum.
Djakapermana RD. 2010. Pengembangan Wilayah Melalui Pendekatan
Kesisteman. Bogor (ID): IPB Press.
Gunawan H dan Subiandono E. 2013. Kondisi biofisik dan sosial ekonomi dalam
konteks restorasi ekosistem Taman Nasional Gunung Ciremai, Jawa Barat.
Indonesian Forest Rehabilitation Journal 1 (1): 17-37.
Hesaki S. 2012. Analisis perubahan penggunaan/ penutupan lahan di area Cagar
Biosfer Cibodas dalam mendukung keberadaan Taman Nasional Gunung
Gede Pangrango [Tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana. Institut
Pertanian Bogor.
Howard JA. 1991. Remote Sensing of Forest Resources. Theory and Application.
London (UK): Chapman and Hall.
Irawan B. 2005. Konversi Lahan Sawah: Potensi Dampak, Pola Pemanfaatannya,
dan Faktor Determinan. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan
Sosial Ekonomi Pertanian.
Jensen J.R. 1986. Introductory digital image processing a remote sensing
Prespective. 2nd Edition. United States (US): Prentice-Hall, Inc.
Juaeni I, Dewi Y, Risana A, Noersomadi, Teguh H dan Nurzaman. 2010.
Pengelompokan wilayah curah hujan Kalimantan Barat berbasis metode
ward dan fuzzy clustering. Jurnal Sains Dirgantara 7 (2): 82-99
Karsidi A. 2004. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Dinamis Dengan Sistem
Informasi Geografis Berbasis Markov Cellular Automata. Dalam Buku:
Menata Ruang Laut Terpadu. Cetakan Pertama. Jakarta (ID): Pradnya
Paramita.
Lillesand TM dan Kiefer RW. 1997. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra.
Terjemahan. Dulbahri (penerjemah). Yogyakarta (ID): Gadjah Mada
University Press.
Lisnawati Y. 2006. Analisis perubahan penggunaan lahan dan pengaruhnya
terhadap debit sungai dan daya dukung lahan di kawasan puncak Kabupaten
Bogor [Tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
[MAB-LIPI] The Indonesian Man and Biosphere Program National Committee
Indonesian Institute of Sciences. 2010. Periodic Review on Cibodas
Biosphere Reserve Year 2010. Bogor (ID): Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia.
Malingreau. 1979. Penggunaan Lahan Pedesaan, Penafsiran Citra untuk
Inventarisasi dan Analisa Pusat Pendidikan Interpretasi, Citra
Penginderaan Jauh dan Survey Terpadu. Yogyakarta (ID): Fakultas
Geografi UGM.
McNeil J, Alves D, Arizpe L, Bykova O, Galvin K, Kelmelis J, Migot AS,
Morissete P, Moss R, Ricards J, Riebsame W, Sadowski F, Sanderson S,
81

Skole D, Tarr J, Williams M, Yadap S and Young S. 1998. Toward a


typology and regionalization of land cover and land use change. Report of
working Group B. Cambridge (UK): Press Syndicate of The University of
Cambridge. pp 55-65
Mercado RG. 2002. Regional development in the phillipine: a review of
experience, state of the art and agenda for research and action. Discussion
Paper Series. Phillipine Institute for Development Studies.
Muiz A. 2009. Analisa perubahan penggunaan lahan di Kabupaten Sukabumi.
[Tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
Munibah K. 2008. Model spasial perubahan penggunaan lahan dan arahan
penggunaan lahan berwawasan lingkungan (studi kasus DAS Cidanau,
Provinsi Banten). [Disertasi]. Bogor (ID) : Sekolah Pascasarjana. Institut
Pertanian Bogor.
Nurrani L, Bismark M dan Tabba S. 2014. Tipologi penggunaan lahan oleh
masyarakat pada zona penyangga Taman Nasional Aketajawe Lolobata di
Kabupaten Halmahera Timur. Jurnal Penelitian Sosial Ekonomi dan
Kehutanan 11(3) : 223-235.
O’Sullivan D, Macgill JR and Yu C. 2003. Agent-based residential segregation: a
hierarchically structured spatial model. Proceedings of agent 2003
conference on challenges in social simulation. Chicago (US): The
University of Chicago.
Panuju DR dan Rustiadi E. 2012. Teknik Analisis Perencanaan Pengembangan
Wilayah. Bogor (ID): Bagian Perencanaan Pengembangan Wilayah
Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Institut Pertanian Bogor.
Pasha R dan Susanto A. 2009. Hubungan kondisi sosial ekonomi masyarakat
perambah hutan dengan pola penggunaan lahan di Taman Nasional Bukit
Barisan Selatan. Jurnal Organisasi dan Manajemen 5(2): 82-94.
Prahasta E. 2005. Sistim Informasi Geografis: Aplikasi Pemrograman Mapinfo.
Bandung (ID): CV Informatika.
Prayogo T. 2007. Aplikasi SIG untuk memahami fenomena tutupan lahan dengan
citra satelit. Jurnal Teknik Lingkungan 8(2): 137-142.
Purnomo H. 2012. Permodelan Dan Simulasi Untuk Pengelolaan Adaptif
Sumberdaya Alam Dan Lingkungan. Bogor (ID): IPB Press & CIFOR
Purwanto Y. 2012. Asses The Existing Conflict of Interest in Implementing
Integrated Conservation Natural Resources and Development. Jakarta (ID):
Laporan Program ITTO Developing Collaborative Management of Cibodas
Biosphere Reserve, West Java Indonesia.
Rustiadi E, Saefulhakim S dan Panuju DR. 2003. Analisis Kecenderungan Dan
Dampak Proses Suburbanisasi Di Wilayah Jabotabek: Suatu Upaya
Pengembangan Model Pembangunan Wilayah Metropolitan. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju DR. 2011. Perencanaan Dan Pengembangan
Wilayah. Jakarta (ID) : Crestpent Press dan Yayasan Obor Indonesia.
Sabins FF. 1997. Remote Sensing. Principles and Interpretation, 3rd ed. New
York (US): W. H. Freeman & Co.
Salim E. 1991. Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta (ID): Mutiara
Sumber Widya.
82

Sharma S. 1996. Applied Multivariate Techniques. United States (US). A Willey-


Interscience Publication.
Sitorus SRP. 2007. Penataan Ruang. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana IPB.
Sitorus SRP. 2014. Pengembangan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan. Bogor
(ID): Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan. Fakultas Pertanian
IPB.
Sudarsono B. 2011. Inventarisasi perubahan wilayah pantai dengan metode
penginderaan jauh (studi kasus Kota Semarang). TEKNIK 32(2).
Suparman U. 2012. Consultant Report on Developing Program and Activities
Related to Biosphere Reserve Facilitated By Communication Forum. Jakarta
(ID): Laporan Program ITTO Developing Collaborative Management of
Cibodas Biosphere Reserve, West Java Indonesia.
Sutanto. 1994. Penginderaan Jauh. Jilid 2. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada
University Press.
Tarigan, R. 2005. Perencanaan Pembangunan Wilayah: edisi revisi. Jakarta (ID):
PT. Bumi Aksara.
[UNESCO] United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization.
1996. Biosphere Reserves: The Seville Strategy and The Statutory
Framework of The World Network. Paris (FR): UNESCO.
Verburg HP, Overmars KP, Huigen MGA, Groot WT, and Veldkamp A. 2006.
Analysis of the effect of land use change on protected areas in the
Philippines. Applied Geography 26: 153 – 173.
Vogt P, Riitters KH, Estreguil C, Kozak J, Wade TG and Wickham JD. 2007.
Mapping spatial patterns with morphological image processing. Landscape
Ecology 22: 171-177.
Wondie MW, Schneider AM, Melesse and Teketay D. 2011. Spatial and temporal
land cover changes in the Simen Mountains National Park, a World
Heritage Site in Northwestern Ethiopia. Remote Sens. 3: 752-766.
83

LAMPIRAN

Lampiran 1 Confussion matrix hasil verifikasi uji akurasi hasil klasifikasi

Fakta Produser
B H LT Pk R TPLB TPLK TA Total Accuracy
Klasifikasi (%)
Belukar/Semak (B) 8 1 1 10 80
Hutan (H) 10 10 100
Lahan Terbangun 10 10 100
(LT)
Perkebunan (Pk) 9 1 10 90
Rumput/Tanah 1 7 2 10 70
Kosong (R)
TP Lahan Basah 1 9 10 90
(TPLB)
TP Lahan Kering 10 10 100
(TPLK)
Tubuh Air (TA) 5 5 100
Total 9 10 10 9 10 9 13 5 75
User Accuracy (%) 88.89 100 100 100 70 100 76.92 100

Lampiran 2 Variabel awal analisis skalogram

Variabel Awal Analisis Skalogram


1 Jumlah Penduduk 40 Jumlah Rumah Sakit Bersalin
2 Jarak ke TK terdekat 41 Jumlah Poliklinik/ Balai Pengobatan
3 Jarak ke SMP terdekat 42 Jumlah Puskesmas
4 Jarak SMU terdekat 43 Jumlah Puskesmas Pembantu
5 Jarak SMK terdekat 44 Jumlah Tempat Praktek Dokter
6 Jarak Rumah Sakit terdekat 45 Jumlah Tempat Praktek Bidan
7 Jarak Rumah Sakit Bersalin terdekat 46 Jumlah Poskesdes
8 Jarak Poliklinik/ Balai Pengobatan terdekat 47 Jumlah Polindes
9 Jarak Puskesmas terdekat 48 Jumlah Posyandu
10 Jarak Puskesmas Pembantu terdekat 49 Jumlah Apotek
11 Jarak Tempat Praktek Dokter 50 Jumlah Masjid
12 Jarak Tempat Praktek Bidan 51 Jumlah Surau/ Langgar
13 Jarak Poskesdes Terdekat 52 Jumlah Gereja Kristen
14 Jarak Polindes Terdekat 53 Jumlah Gereja Katolik
15 Jarak Apotek terdekat 54 Jumlah Kapela
16 Jarak Toko Khusus Obat/ jamu terdekat 55 Jumlah Pura
17 Jarak Gedung Bioskop terdekat 56 Jumlah Vihara
18 Jarak Pub/ Diskotik/ Tempat karaoke terdekat 57 Jumlah Lembaga Non Profit
19 Jarak Kantor Desa ke kantor Camat 58 Jumlah Industri dari kulit
20 Jarak Kantor Desa ke Kantor Bupati/ 59 Jumlah Industri dari kayu
Walikota
21 Jarak kantor Desa ke Kator Bupati/ walikota 60 Jumlah industri logam mulia dan bahan
lain terdekat dari logam
22 Jarak Kantor Pos terdekat 61 Jumlah Industri anyaman
23 jarak ke kelompok pertokoan terdekat 62 Jumlah Industri gerabah/ keramik/ batu
24 jarak ke pasar terdekat 63 Jumlah Industri dari kain/ tenun
25 Jarak Bank Umum terdekat 64 Jumlah Industri makanan dan minuman
26 Jarak Bank Perkreditan Rakyat terdekat 65 Jumlah Industri lainnya
84
Lampiran 2. (Lanjutan)
Variabel Awal Analisis Skalogram
27 Jarak ke Sarana Kemanan Lingkungan (pos 66 Jumlah Pasar tanpa bangunan
polisi)
28 Jumlah TK 67 Jumlah Minimarket
29 Jumlah SD 68 Jumlah Toko/ warung kelontong
30 Jumlah SMP 69 Jumlah Warung/ kedai makanan minuman
31 Jumlah SMU 70 Jumlah Restoran/ rumah makan
32 Jumlah SMK 71 Jumlah Hotel
33 Jumlah Akademi/ Perguruan Tinggi 72 Jumlah Penginapan: hostel/ motel/ losmen/
wisma
34 Jumlah SLB 73 Jumlah Koperasi Unit Desa (KUD) yang
masih aktif
35 Jumlah Pondok Pesantren 74 Jumlah Koperasi Industri Kecil dan
Kerajinan Rakyat (Kopinkra) yang masih
aktif
36 Jumlah Madrasah Diniyah 75 Jumlah Koperasi Simpan Pinjam yang
masih aktif
37 Jumlah Seminari/ sejenisnya 76 Jumlah Koperasi lainnya yang masih aktif
38 Jumlah Lembaga Pendidikan Keterampilan 77 Jumlah Bank Umum
39 Jumlah Rumah Sakit 78 Jumlah Bank Perkreditan Rakyat

Lampiran 3 Variabel terkoreksi analisis faktor untuk analisis skalogram

Variabel Terkoreksi
1 Jumlah Penduduk
2 Jarak Puskesmas terdekat
3 Jarak Tempat Praktek Dokter
4 Jarak Apotek terdekat
5 Jarak ke kelompok pertokoan terdekat
6 Jarak ke pasar terdekat
7 Jarak Bank Umum terdekat
8 Jarak Bank Perkreditan Rakyat terdekat
9 Jarak ke Sarana Kemanan Lingkungan (pos polisi)
10 Jumlah Akademi/ Perguruan Tinggi
11 Jumlah Madrasah Diniyah
12 Jumlah Lembaga Pendidikan Keterampilan
13 Jumlah Puskesmas
14 Jumlah Tempat Praktek Dokter
15 Jumlah Tempat Praktek Bidan
16 Jumlah Apotek
17 Jumlah Masjid
18 Jumlah Surau/ Langgar
19 Jumlah Lembaga Non Profit
20 Jumlah Minimarket
21 Jumlah Toko/ warung kelontong
22 Jumlah Restoran/ rumah makan
23 Jumlah Hotel
24 Jumlah Bank Umum
25 Jumlah Bank Perkreditan Rakyat
85

Lampiran 4 Hasil Analisis Skalogram pada desa-desa di Cagar Biosfer Cibodas

Jumlah Hirarki
Kabupaten Kecamatan Desa IPD
Fasilitas Desa
1 BOGOR 1 CARINGIN 1 Caringin 53.61 23 Hirarki 1
2 Muara Jaya 27.24 18 Hirarki 1
3 Ciderum 25.65 18 Hirarki 2
4 Pasir Muncang 19.39 18 Hirarki 2
5 Cinagara 16.50 16 Hirarki 2
6 Pasir Buncir 11.48 14 Hirarki 3
7 Lemah Duhur 10.62 15 Hirarki 3
8 Pancawati 10.28 14 Hirarki 3
9 Cimande 10.11 14 Hirarki 3
10 Cimande Hilir 9.60 15 Hirarki 3
11 Tangkil 6.39 14 Hirarki 3
2 CIAWI 1 Ciawi 50.72 22 Hirarki 1
2 Bendungan 33.65 21 Hirarki 1
3 Banjar Sari 21.00 17 Hirarki 2
4 Citapen 15.34 16 Hirarki 3
5 Banjar Waru 14.17 16 Hirarki 3
6 Banjar Wangi 10.04 15 Hirarki 3
7 Teluk Pinang 9.67 16 Hirarki 3
8 Jambu Luwuk 9.55 14 Hirarki 3
9 Bojong Murni 8.91 14 Hirarki 3
10 Cibedug 7.03 14 Hirarki 3
11 Cileungsi 5.95 13 Hirarki 3
3 CIGOMBONG 1 Cigombong 66.95 22 Hirarki 1
2 Wates Jaya 21.40 17 Hirarki 2
3 Srogol 19.03 16 Hirarki 2
4 Ciburuy 13.71 18 Hirarki 3
4 CISARUA 1 Cisarua 61.51 23 Hirarki 1
2 Cibeureum 33.52 21 Hirarki 1
3 Tugu Utara 31.46 20 Hirarki 1
4 Citeko 29.03 17 Hirarki 1
5 Tugu Selatan 9.99 16 Hirarki 3
6 Kopo 8.98 16 Hirarki 3
5 MEGAMENDUNG 1 Sukamanah 21.96 18 Hirarki 2
2 Gadog 15.67 16 Hirarki 3
3 Sukaresmi 12.76 15 Hirarki 3
4 Sukamahi 10.82 13 Hirarki 3
5 Sukamaju 7.74 15 Hirarki 3
6 Sukakarya 5.70 12 Hirarki 3
7 Kuta 4.82 13 Hirarki 3
8 Sukagalih 3.70 13 Hirarki 3
6 SUKAMAKMUR 1 Sukawangi 7.90 4 Hirarki 3
2 CIANJUR 1 CIANJUR 1 Sawah Gede 31.66 21 Hirarki 1
2 Limbangan Sari 23.18 17 Hirarki 2
3 Mekarsari 21.97 19 Hirarki 2
4 Nagrak 17.47 16 Hirarki 2
5 Sukamaju 13.83 15 Hirarki 3
2 CIPANAS 1 Cipanas 45.33 24 Hirarki 1
2 Sindanglaya 30.31 21 Hirarki 1
3 Cimacan 21.94 21 Hirarki 2
4 Ciloto 17.36 16 Hirarki 2
5 Palasari 16.36 19 Hirarki 2
6 Sindangjaya 14.06 17 Hirarki 3
86
Lampiran 4. (Lanjutan)
Jumlah Hirarki
Kabupaten Kecamatan Desa IPD
Fasilitas Desa
7 Batulawang 5.59 14 Hirarki 3
3 CUGENANG 1 Cijedil 24.51 16 Hirarki 2
2 Mangunkerta 15.59 16 Hirarki 3
3 Benjot 13.04 14 Hirarki 3
4 Galudra 12.63 13 Hirarki 3
5 Sukajaya 12.24 13 Hirarki 3
6 Nyalindung 10.55 14 Hirarki 3
7 Sarampad 9.68 14 Hirarki 3
8 Cirumput 9.22 12 Hirarki 3
9 Sukamulya 8.89 13 Hirarki 3
10 Talaga 8.79 13 Hirarki 3
11 Gasol 8.55 12 Hirarki 3
12 Padaluyu 8.07 12 Hirarki 3
13 Cibeureum 7.33 14 Hirarki 3
4 GEKBRONG 1 Gekbrong 23.97 16 Hirarki 2
2 Songgom 9.03 13 Hirarki 3
3 Cikahuripan 5.36 13 Hirarki 3
4 Kebonpeuteuy 4.34 13 Hirarki 3
5 PACET 1 Cipendawa 36.63 21 Hirarki 1
2 Gadog 35.70 19 Hirarki 1
3 Ciherang 21.26 17 Hirarki 2
4 Sukanagalih 16.06 18 Hirarki 2
5 Cibodas 11.29 13 Hirarki 3
6 Ciputri 6.98 14 Hirarki 3
7 Sukatani 6.75 13 Hirarki 3
6 SUKARESMI 1 Cikanyere 23.04 17 Hirarki 2
7 WARUNGKONDANG 1 Jambudipa 37.51 19 Hirarki 1
2 Ciwalen 12.47 15 Hirarki 3
3 Sukawangi 9.34 13 Hirarki 3
4 Tegallega 8.70 13 Hirarki 3
5 Mekarwangi 8.42 12 Hirarki 3
6 Bunikasih 8.39 13 Hirarki 3
7 Bunisari 4.92 11 Hirarki 3
3 SUKABUMI 1 BOJONG GENTENG 1 Bojong Genteng 11.53 15 Hirarki 3
2 CARINGIN 1 Caringin Kulon 19.24 15 Hirarki 2
2 Sukamulya 15.38 13 Hirarki 3
3 Cikembang 14.80 14 Hirarki 3
4 Talaga 14.22 15 Hirarki 3
5 Seuseupan 13.39 13 Hirarki 3
6 Cijengkol 10.69 14 Hirarki 3
7 Caringin Wetan 9.12 12 Hirarki 3
8 Mekarjaya 8.85 13 Hirarki 3
3 CIAMBAR 1 Ciambar 22.38 15 Hirarki 2
2 Ginanjar 16.31 15 Hirarki 2
3 Munjul 11.38 12 Hirarki 3
4 Wangunjaya 8.64 13 Hirarki 3
4 CIBADAK 1 Ciheulang Tonggoh 23.99 16 Hirarki 2
5 CICURUG 1 Tenjoayu 21.98 16 Hirarki 2
2 Nyangkowek 14.27 15 Hirarki 3
3 Purwasari 10.29 15 Hirarki 3
4 Benda 9.29 16 Hirarki 3
5 Nanggerang 6.34 13 Hirarki 3
6 Kutajaya 4.80 15 Hirarki 3
87
Lampiran 4. (Lanjutan)
Jumlah Hirarki
Kabupaten Kecamatan Desa IPD
Fasilitas Desa
6 CISAAT 1 Gunungjaya 17.97 17 Hirarki 2
2 Sukaresmi 15.25 17 Hirarki 3
3 Selajambe 15.25 16 Hirarki 3
4 Sukasari 10.12 15 Hirarki 3
5 Kutasirna 8.96 14 Hirarki 3
7 KADUDAMPIT 1 Kadudampit 21.32 16 Hirarki 2
2 Gede Pangrango 19.70 16 Hirarki 2
3 Muaradua 13.02 14 Hirarki 3
4 Cikahuripan 12.93 14 Hirarki 3
5 Sukamanis 10.58 14 Hirarki 3
6 Sukamaju 9.23 13 Hirarki 3
7 Undrus Binangun 8.93 14 Hirarki 3
8 Cipetir 8.60 14 Hirarki 3
9 Citamiang 6.31 15 Hirarki 3
8 NAGRAK 1 Nagrak Selatan 26.14 17 Hirarki 2
2 Nagrak Utara 19.45 18 Hirarki 2
3 Girijaya 14.40 15 Hirarki 3
4 Cisarua 13.30 14 Hirarki 3
5 Babakan Panjang 11.45 12 Hirarki 3
6 Cihanyawar 11.23 13 Hirarki 3
7 Pawenang 11.01 14 Hirarki 3
8 Kalaparea 10.42 13 Hirarki 3
9 Darmareja 9.95 13 Hirarki 3
10 Balekambang 8.23 14 Hirarki 3
9 PARUNG KUDA 1 Bojong Kokosan 29.46 19 Hirarki 1
2 Parungkuda 29.12 18 Hirarki 1
3 Kompa 10.85 15 Hirarki 3
10 SUKABUMI 1 Warnasari 31.11 20 Hirarki 1
2 Karawang 16.38 17 Hirarki 2
3 Sudajaya Girang 11.25 14 Hirarki 3
4 Parungseah 9.60 16 Hirarki 3
5 Sukajaya 8.60 14 Hirarki 3
11 SUKALARANG 1 Sukalarang 19.97 17 Hirarki 2
2 Sukamaju 8.13 14 Hirarki 3
12 SUKARAJA 1 Limbangan 17.77 16 Hirarki 2
2 Margaluyu 13.55 15 Hirarki 3
3 Selaawi 13.35 14 Hirarki 3
4 Langensari 8.67 14 Hirarki 3
5 Sukamekar 7.75 13 Hirarki 3
6 Cisarua 7.13 13 Hirarki 3
88

Lampiran 5 Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan Area Inti

Penggunaan Lahan (Ha)


Kabupaten Kecamatan Desa Jumlah
LT Pk TPLB TPLK
Bogor Caringin Cimande 4.19 4.19
Cinagara 2.18 2.18
Lemah Duhur 0.04 9.27 9.31
Pancawati 0.02 13.62 13.64
Pasir Buncir 8.55 13.51 22.05
Tangkil 8.99 8.99
Ciawi Bojong Murni 4.11 4.11
Cibedug 1.43 19.37 20.81
Cileungsi 0.11 4.62 2.11 8.66 15.50
Jambu Luwuk 12.24 8.35 20.60
Cigombong Cigombong 5.12 5.12
Cisarua Cibeureum 0.33 0.33
Citeko 8.36 0.04 8.40
Tugu Selatan 0.03 0.03
Tugu Utara 21.03 21.03
Megamendung Kuta 0.18 54.89 1.73 56.80
Sukagalih 0.29 3.35 16.38 20.02
Sukaresmi 0.36 15.63 15.99
Cianjur Cipanas Batulawang 0.05 0.05
Ciloto 1.23 0.21 1.65 3.09
Sindangjaya 0.85 3.03 3.87
Cugenang Cirumput 0.21 21.52 0.77 22.49
Galudra 12.49 12.49
Mangunkerta 0.36 16.48 4.60 14.18 35.62
Nyalindung 0.11 0.34 18.62 19.06
Padaluyu 0.16 8.91 5.78 14.85
Sukamulya 8.52 7.73 16.26
Talaga 34.65 3.31 37.95
Gekbrong Gekbrong 1.85 5.90 7.75
Kebonpeuteuy 0.60 12.25 12.85
Pacet Ciherang 36.30 36.30
Cipendawa 56.04 56.04
Ciputri 0.06 0.27 14.13 14.46
Sukatani 6.99 6.99
Warungkondang Bunikasih 14.17 1.48 15.65
Mekarwangi 2.75 2.75
Tegallega 28.86 0.10 28.96
Sukabumi Caringin Sukamulya 0.78 0.67 6.95 8.39
Ciambar Ginanjar 0.61 0.78 182.96 184.36
Wangunjaya 0.27 1.83 172.45 174.55
Cicurug Benda 3.34 3.34
Nanggerang 6.80 6.80
Kadudampit Cikahuripan 0.00 2.62 2.62
Cipetir 1.98 1.98
Gede Pangrango 0.38 0.48 0.85
Sukamaju 4.77 5.24 10.01
Sukamanis 0.00 0.36 1.08 1.44
Nagrak Babakan Panjang 0.60 0.60
Cihanyawar 0.03 23.63 61.63 85.28
Darmareja 9.68 17.93 27.61
Girijaya 0.01 0.37 9.10 9.49
Kalaparea 3.75 1.64 5.39
Pawenang 0.03 2.15 2.18
89
Lampiran 5. (Lanjutan)
Penggunaan Lahan (Ha)
Kabupaten Kecamatan Desa Jumlah
LT Pk TPLB TPLK
Sukabumi Karawang 2.35 1.05 3.40
Sudajaya Girang 1.17 0.04 1.21
Sukaraja Cisarua 0.61 0.61
Langensari 1.74 2.40 4.15
Jumlah 5.28 267.96 57.10 800.49 1130.82

Lampiran 6 Tingkat Kemiskinan dan Perkembangan Wilayah di Setiap Desa


Jumlah %
Jumlah Tingkat
Pendu Pendu Hirarki
Kabupaten Kecamatan Desa Pendu Kemis
duk duk Desa
duk kinan
Miskin Miskin
Bogor Caringin Caringin 9571 660 6.90 Rendah Hirarki 1
Ciderum 14434 1508 10.45 Rendah Hirarki 2
Cimande 5989 1337 22.32 Tinggi Hirarki 3
Cimande Hilir 7859 599 7.62 Rendah Hirarki 3
Cinagara 9817 1516 15.44 Sedang Hirarki 2
Lemah Duhur 11784 2470 20.96 Tinggi Hirarki 3
Muara Jaya 4739 127 2.68 Rendah Hirarki 1
Pancawati 13190 2460 18.65 Sedang Hirarki 3
Pasir Buncir 6651 978 14.70 Sedang Hirarki 3
Pasir Muncang 7966 653 8.20 Rendah Hirarki 2
Tangkil 8720 1712 19.63 Sedang Hirarki 3
Ciawi Banjar Sari 7534 974 12.93 Sedang Hirarki 2
Banjar Wangi 6166 526 8.53 Rendah Hirarki 3
Banjar Waru 7986 493 6.17 Rendah Hirarki 3
Bendungan 10202 347 3.40 Rendah Hirarki 1
Bojong Murni 5102 706 13.84 Sedang Hirarki 3
Ciawi 6782 303 4.47 Rendah Hirarki 1
Cibedug 6193 1357 21.91 Tinggi Hirarki 3
Cileungsi 7504 983 13.10 Sedang Hirarki 3
Citapen 8467 418 4.94 Rendah Hirarki 3
Jambu Luwuk 6363 1035 16.27 Sedang Hirarki 3
Teluk Pinang 7747 319 4.12 Rendah Hirarki 3
Cigombong Ciburuy 12037 556 4.62 Rendah Hirarki 3
Cigombong 7742 161 2.08 Rendah Hirarki 1
Srogol 5926 251 4.24 Rendah Hirarki 2
Wates Jaya 7266 234 3.22 Rendah Hirarki 2
Cisarua Cibeureum 14666 1149 7.83 Rendah Hirarki 1
Cisarua 9073 191 2.11 Rendah Hirarki 1
Citeko 12812 502 3.92 Rendah Hirarki 1
Kopo 18648 1318 7.07 Rendah Hirarki 3
Tugu Selatan 17215 337 1.96 Rendah Hirarki 3
Tugu Utara 10526 353 3.35 Rendah Hirarki 1
Megamendung Gadog 6984 246 3.52 Rendah Hirarki 3
Kuta 6293 459 7.29 Rendah Hirarki 3
Sukagalih 8067 705 8.74 Rendah Hirarki 3
Sukakarya 6603 1006 15.24 Sedang Hirarki 3
Sukamahi 8803 454 5.16 Rendah Hirarki 3
Sukamaju 6713 642 9.56 Rendah Hirarki 3
90
Lampiran 6. (Lanjutan)
Jumlah %
Jumlah Tingkat
Pendu Pendu Hirarki
Kabupaten Kecamatan Desa Pendu Kemis
duk duk Desa
duk kinan
Miskin Miskin
Sukamanah 6925 419 6.05 Rendah Hirarki 2
Sukaresmi 4436 265 5.97 Rendah Hirarki 3
Sukamakmur Sukawangi 8819 3730 42.30 Tinggi Hirarki 3
Cianjur Cianjur Limbangan Sari 9059 1266 13.98 Sedang Hirarki 2
Mekarsari 10025 1115 11.12 Rendah Hirarki 2
Nagrak 13982 1312 9.38 Rendah Hirarki 2
Sawah Gede 13062 1011 7.74 Rendah Hirarki 1
Sukamaju 8327 598 7.18 Rendah Hirarki 3
Cipanas Batulawang 14854 2534 17.06 Sedang Hirarki 3
Ciloto 8921 321 3.60 Rendah Hirarki 2
Cimacan 18832 1417 7.52 Rendah Hirarki 2
Cipanas 16538 546 3.30 Rendah Hirarki 1
Palasari 15886 974 6.13 Rendah Hirarki 2
Sindangjaya 12936 2663 20.59 Tinggi Hirarki 3
Sindanglaya 16916 1198 7.08 Rendah Hirarki 1
Cugenang Benjot 3902 318 8.15 Rendah Hirarki 3
Cibeureum 8670 1228 14.16 Sedang Hirarki 3
Cijedil 7937 972 12.25 Rendah Hirarki 2
Cirumput 6825 1331 19.50 Sedang Hirarki 3
Galudra 4500 441 9.80 Rendah Hirarki 3
Gasol 6469 1096 16.94 Sedang Hirarki 3
Mangunkerta 6505 656 10.08 Rendah Hirarki 3
Nyalindung 4872 1021 20.96 Tinggi Hirarki 3
Padaluyu 7938 2568 32.35 Tinggi Hirarki 3
Sarampad 7228 748 10.35 Rendah Hirarki 3
Sukajaya 5083 467 9.19 Rendah Hirarki 3
Sukamulya 5716 651 11.39 Rendah Hirarki 3
Talaga 5476 1422 25.97 Tinggi Hirarki 3
Gekbrong Cikahuripan 6605 1483 22.45 Tinggi Hirarki 3
Gekbrong 7646 2146 28.07 Tinggi Hirarki 2
Kebonpeuteuy 7805 2000 25.62 Tinggi Hirarki 3
Songgom 7664 2125 27.73 Tinggi Hirarki 3
Pacet Cibodas 9767 1148 11.75 Rendah Hirarki 3
Ciherang 14820 1423 9.60 Rendah Hirarki 2
Cipendawa 17426 674 3.87 Rendah Hirarki 1
Ciputri 11025 1088 9.87 Rendah Hirarki 3
Gadog 10072 723 7.18 Rendah Hirarki 1
Sukanagalih 19496 2452 12.58 Rendah Hirarki 2
Sukatani 11717 1575 13.44 Sedang Hirarki 3
Sukaresmi Cikanyere 7651 634 8.29 Rendah Hirarki 2
Warung Bunikasih 5859 1005 17.15 Sedang Hirarki 3
kondang
Bunisari 6677 1725 25.83 Tinggi Hirarki 3
Ciwalen 9340 968 10.36 Rendah Hirarki 3
Jambudipa 7877 872 11.07 Rendah Hirarki 1
Mekarwangi 5641 1054 18.68 Sedang Hirarki 3
Sukawangi 5820 642 11.03 Rendah Hirarki 3
Tegallega 4459 800 17.94 Sedang Hirarki 3
Sukabumi Bojong Bojong Genteng 8388 1822 21.72 Tinggi Hirarki 3
Genteng
Caringin Caringin Kulon 3968 344 8.67 Rendah Hirarki 2
Caringin Wetan 4838 956 19.76 Sedang Hirarki 3
91
Lampiran 6. (Lanjutan)
Jumlah %
Jumlah Tingkat
Pendu Pendu Hirarki
Kabupaten Kecamatan Desa Pendu Kemis
duk duk Desa
duk kinan
Miskin Miskin
Cijengkol 5780 732 12.66 Rendah Hirarki 3
Cikembang 5181 888 17.14 Sedang Hirarki 3
Mekarjaya 5784 569 9.84 Rendah Hirarki 3
Seuseupan 4945 797 16.12 Sedang Hirarki 3
Sukamulya 4373 312 7.13 Rendah Hirarki 3
Talaga 6130 1119 18.25 Sedang Hirarki 3
Ciambar Ciambar 5957 704 11.82 Rendah Hirarki 2
Ginanjar 8682 2649 30.51 Tinggi Hirarki 2
Munjul 6083 809 13.30 Sedang Hirarki 3
Wangunjaya 9270 2738 29.54 Tinggi Hirarki 3
Cibadak Ciheulang 8063 1437 17.82 Sedang Hirarki 2
Tonggoh
Cicurug Benda 12825 970 7.56 Rendah Hirarki 3
Kutajaya 17317 827 4.78 Rendah Hirarki 3
Nanggerang 5651 617 10.92 Rendah Hirarki 3
Nyangkowek 7659 251 3.28 Rendah Hirarki 3
Purwasari 9657 915 9.47 Rendah Hirarki 3
Tenjoayu 8218 47 0.57 Rendah Hirarki 2
Cisaat Gunungjaya 6008 868 14.45 Sedang Hirarki 2
Kutasirna 4663 934 20.03 Sedang Hirarki 3
Selajambe 9250 1156 12.50 Rendah Hirarki 3
Sukaresmi 13433 2030 15.11 Sedang Hirarki 3
Sukasari 9040 985 10.90 Rendah Hirarki 3
Kadudampit Cikahuripan 6521 1175 18.02 Sedang Hirarki 3
Cipetir 5769 1267 21.96 Tinggi Hirarki 3
Citamiang 5993 782 13.05 Sedang Hirarki 3
Gede Pangrango 5642 220 3.90 Rendah Hirarki 2
Kadudampit 5769 1093 18.95 Sedang Hirarki 2
Muaradua 4596 855 18.60 Sedang Hirarki 3
Sukamaju 7387 1362 18.44 Sedang Hirarki 3
Sukamanis 5817 1068 18.36 Sedang Hirarki 3
Undrus
Binangun 4546 755 16.61 Sedang Hirarki 3
Babakan
Nagrak Panjang 4264 965 22.63 Tinggi Hirarki 3
Balekambang 6896 678 9.83 Rendah Hirarki 3
Cihanyawar 5171 1038 20.07 Sedang Hirarki 3
Cisarua 12173 1227 10.08 Rendah Hirarki 3
Darmareja 6758 1634 24.18 Tinggi Hirarki 3
Girijaya 9557 1290 13.50 Sedang Hirarki 3
Kalaparea 7932 1266 15.96 Sedang Hirarki 3
Nagrak Selatan 6386 782 12.25 Rendah Hirarki 2
Nagrak Utara 13773 2320 16.84 Sedang Hirarki 2
Pawenang 5305 759 14.31 Sedang Hirarki 3
Parung Kuda Bojong 6835 547 8.00 Rendah Hirarki 1
Kokosan
Kompa 5811 678 11.67 Rendah Hirarki 3
Parungkuda 8454 678 8.02 Rendah Hirarki 1
Sukabumi Karawang 7920 598 7.55 Rendah Hirarki 2
Parungseah 12206 685 5.61 Rendah Hirarki 3
Sudajaya 7351 492 6.69 Rendah Hirarki 3
Girang
Sukajaya 6214 695 11.18 Rendah Hirarki 3
92
Lampiran 6. (Lanjutan)
Jumlah %
Jumlah Tingkat
Pendu Pendu Hirarki
Kabupaten Kecamatan Desa Pendu Kemis
duk duk Desa
duk kinan
Miskin Miskin
Warnasari 8243 555 6.73 Rendah Hirarki 1
Sukalarang Sukalarang 5642 1302 23.08 Tinggi Hirarki 2
Sukamaju 7765 723 9.31 Rendah Hirarki 3
Sukaraja Cisarua 7236 1861 25.72 Tinggi Hirarki 3
Langensari 9393 838 8.92 Rendah Hirarki 3
Limbangan 8064 1449 17.97 Sedang Hirarki 2
Margaluyu 6272 650 10.36 Rendah Hirarki 3
Selaawi 6895 1111 16.11 Sedang Hirarki 3
Sukamekar 7548 1555 20.60 Tinggi Hirarki 3
Jumlah 1221413 147299
Sumber data (diolah) : - Jumlah Penduduk (PODES 2011)
- Jumlah Penduduk Miskin (TNP2K – PPLS 2011)
93

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tasikmalaya pada tanggal 11 April 1979 dari pasangan


Usman Iskandar (Alm) dan Narti Sunarti. Pendidikan Sarjana ditempuh di Jurusan
Konservasi Sumber Daya Hutan, Fakultas Kehutanan UGM Yogyakarta, lulus
pada tahun 2004. Kesempatan melanjutkan ke program Pascasarjana pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB diperoleh pada tahun 2013 melalui
beasiswa Pusat Pembinaan, Pendidikan dan Pelatihan Perencana (Pusbindiklatren)
Bappenas. Penulis bekerja di Kementerian Kehutanan (saat ini menjadi
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) sejak tahun 2006 ditempatkan
pada Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Tengah di Palu sampai
dengan tahun 2009. Sejak tahun 2009 sampai dengan saat ini penulis ditempatkan
pada Bagian Program dan Evaluasi, Sekretariat Ditjen Konservasi Sumber Daya
Alam dan Ekosistem, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jakarta.

You might also like