Professional Documents
Culture Documents
RIZA EFENDY
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kajian Perencanaan dan
Pemanfaatan Ruang di Kawasan Cagar Biosfer Cibodas adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Riza Efendy
NIM A156130354
RINGKASAN
Kata kunci : Cagar Biosfer Cibodas, rencana pola ruang, tingkat perkembangan
desa, tipologi desa, wilayah pengelolaan
SUMMARY
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KAJIAN PERENCANAAN DAN PEMANFAATAN RUANG
DI KAWASAN CAGAR BIOSFER CIBODAS
RIZA EFENDY
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Omo Rusdiana, MScForestTrop
Judul Tesis : Kajian Perencanaan dan Pemanfaatan Ruang di Kawasan Cagar
Biosfer Cibodas
Nama : Riza Efendy
NIM : A156130354
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Diketahui oleh
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2014 sampai
dengan Januari 2015 ini ialah pengelolaan kawasan yang mengintegrasikan antara
fungsi lindung dan fungsi budidaya pada kawasan dengan status internasional
yang ditetapkan oleh UNESCO yaitu Cagar Biosfer. Adapun judul tesis ini adalah
Kajian Perencanaan dan Pemanfaatan Ruang di Kawasan Cagar Biosfer Cibodas.
Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan
kepada:
1. Dr Ir Baba Barus, MSc selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr Ir Ernan
Rustiadi, MAgr selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak
memberikan arahan, saran dan bimbingan dalam penyusunan tesis ini.
2. Dr Ir Omo Rusdiana, MScForestTrop selaku penguji luar komisi yang telah
memberikan koreksi dan masukan bagi penyempurnaan tesis ini.
3. Ketua Program Studi serta segenap dosen pengajar dan staf pada Program
Studi Ilmu Perencanaan Wilayah, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor.
4. Kepala Pusat Pembinaan Pendidikan dan Pelatihan Perencanaan
(Pusbindiklatren) Badan Perencanaan Pembangunan Nasional beserta
jajarannya atas kesempatan beasiswa yang diberikan kepada penulis.
5. Ayah Usman Iskandar (alm) dan ibu tercinta Narti Sunarti, Abah Apandi
Nurdin dan Amih Neni serta seluruh keluarga yang senantiasa mendoakan
dan memberikan dukungan bagi penulis.
6. Istri tercinta Ika Sartika dan anak-anakku tersayang Putri Azka F. Nizma,
Ayudhia Shazia H. Nizma dan Davian Alif Haafidz untuk segala doa,
dukungan, kesabaran dan kasih sayangnya.
7. Teman-teman PWL 2013 Kelas Bappenas untuk kebersamaan, diskusi, canda
tawa dan semangatnya.
8. Kang Heri Suheri dan Kang Ade Bagja dari BBTNGGP yang telah membantu
dalam pengumpulan data dan diskusi-diskusi yang menarik, serta semua
pihak yang berperan dalam proses penulisan tesis ini yang tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Riza Efendy
DAFTAR ISI
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Cagar Biosfer merupakan suatu kawasan yang ditunjuk dan ditetapkan oleh
UNESCO melalui program Man and Biosphere (MAB). Program MAB dibentuk
untuk meningkatkan kualitas hubungan antara manusia dengan lingkungannya
yang didasarkan pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Salah satunya adalah
untuk mengatasi permasalahan pemanfaatan sumber daya hayati yang dirasakan
dampaknya serta menimbulkan “biodiversity lost”, kemunduran kualitas
lingkungan dan tidak terencananya tata guna lahan.
Pengelolaan cagar biosfer menggunakan sistem zonasi dimana wilayah
cagar biosfer dibagi menjadi tiga zona yaitu (1) Area Inti adalah kawasan
konservasi atau kawasan lindung dengan luas yang memadai, mempunyai
perlindungan hukum jangka panjang, untuk melestarikan keanekaragaman hayati
beserta ekosistemnya; (2) Zona Penyangga, adalah wilayah yang mengelilingi
atau berdampingan dengan area inti dan teridentifikasi, untuk melindungi area inti
dari dampak negatif kegiatan manusia. Hanya kegiatan-kegiatan yang sesuai
dengan tujuan konservasi yang dapat dilakukan, dan (3) Area Transisi adalah
wilayah terluar dan terluas yang mengelilingi atau berdampingan dengan zona
penyangga. Kegiatan-kegiatan pengelolaan sumberdaya alam secara lestari dan
model-model pembangunan berkelanjutan dipromosikan dan dikembangkan
(MAB-LIPI 2010). Cagar biosfer merupakan kawasan yang tepat untuk
mengimplementasikan pendekatan pembangunan berkelanjutan (sustainable
development) dengan membangun tiga pilar yaitu ekonomi, sosial dan lingkungan
(BBTNGGP 2012). Cagar biosfer merupakan salah satu konsep pengelolaan
kawasan yang mengintegrasikan antara fungsi lindung dan fungsi budidaya.
Cagar Biosfer Cibodas (CBC) merupakan salah satu dari sepuluh cagar
biosfer yang ada di Indonesia dengan ekosistem terbesar merupkan hutan hujan
pegunungan. Kawasan CBC memiliki berbagai fungsi penting, salah satunya
adalah fungsi ekologis seperti pengendali banjir, erosi, pencemaran, dan
pengendalian iklim global. Kawasan CBC merupakan kawasan yang amat penting
dalam fungsi hidrologis bagi masyarakat yang tinggal disekitarnya. Kawasan ini
menjadi bagian dari Daerah Aliran Sungai (DAS) yang amat penting dan
merupakan daerah tangkapan air bagi sungai Ciliwung, Citarum, Cimandiri dan
Cisadane.
Sejak ditetapkannya sebagai cagar biosfer pada tahun 1977, penggunaan/
penutupan lahan di Cagar Biosfer Cibodas terutama pada zona penyangga dan
area transisi banyak mengalami perubahan. Peningkatan jumlah penduduk
merupakan salah satu faktor pendorong terjadinya konversi lahan karena dengan
bertambahnya penduduk maka kebutuhan akan lahan semakin bertambah pula.
Kepentingan banyak pihak untuk memanfaatkan potensi kawasan cagar biosfer
turut mempercepat laju konversi lahan. Bentuk-bentuk pemanfaatan lahan yang
dilakukan untuk pemenuhan kebutuhan hidup diantaranya adalah kegiatan
pertanian, pemukiman, perkebunan, dan kegiatan lainnya. Penelitian Hesaki
(2012) menunjukkan adanya pertambahan luasan permukiman sebesar 3 207.04
2
ha atau 4.22 % di kawasan Cagar Biosfer Cibodas (dengan batas lama) dalam
kurun waktu 12 tahun (1999-2011).
Tingkat kesejahteraan yang rendah pada masyarakat di sekitar hutan juga
sering dikaitkan sebagai penyebab kerusakan hutan. Aji et al. (2011) menyatakan
jumlah penduduk miskin di sekitar hutan di Indonesia sangat besar bahkan
diperkirakan lebih besar dari jumlah penduduk miskin di desa-desa di luar hutan
dan di daerah perkotaan. Salim (1991) menyatakan bahwa masalah lingkungan
yang dihadapi negara-negara berkembang banyak ditimbulkan oleh kemiskinan
yang memaksa rakyat merusak lingkungan alam. Hutan ditebangi terutama untuk
memperoleh tanah yang dirasakan semakin langka di negara berkembang yang
banyak penduduk. Kayu bakar adalah energi utama bagi rakyat kecil di pedesaan
untuk memasak dan pemanasan. Selama pilihan lain bagi sumber energi tidak
tersedia dalam jangkauan daya beli rakyat maka masyarakat terpaksa membabat
hutan untuk memperoleh kayu bakar.
Untuk melestarikan fungsi kawasan CBC perlu dilakukan pengelolaan
secara bijaksana dengan memperhatikan keseimbangan ekologis dan kepentingan
generasi sekarang dan mendatang. Pendekatan pembangunan berkelanjutan
merupakan pendekatan yang paling sesuai. Namun demikian, pelaksanaan
pembangunan berkelanjutan tidak dapat dilaksanakan dengan mudah. Lokasinya
yang strategis di dekat ibukota negara serta keindahan panoramanya, kawasan ini
lebih banyak dikembangkan untuk pembangunan ekonomi dan seringkali masalah
sosial dan lingkungan banyak diabaikan. Kan perencanaan dan pemanfaatan ruang
di kawasan Cagar Biosfer Cibodas diperlukan untuk mendapatkan gambaran
tipologi pemanfaatan ruang yang ada di kawasan Cagar Biosfer Cibodas saat ini.
Dinamika pemanfaatan ruang tidak selalu mengarah pada optimalisasi
pemanfaatan sumberdaya yang ada, hal ini terutama disebabkan oleh terus
meningkatnya kebutuhan ruang sejalan dengan perkembangan kegiatan budidaya
sementara keberadaan ruang bersifat terbatas.
Berbagai teknik analisis seperti teknik penginderaan jauh dan sistem
informasi geografi (SIG) dapat digunakan untuk memberikan gambaran
penggunaan lahan. Informasi spasial memberikan data atau informasi yang
komplek dan lebih akurat. Informasi spasial yang akurat dapat diperoleh melalui
integrasi antara teknologi penginderaan jauh yang menghasilkan peta lokasi suatu
wilayah dipadukan dengan Sistem Informasi Geografis merupakan salah satu
alternatif informasi spasial yang up to date. Kemajuan teknologi ini mengantarkan
kita lebih mudah dalam menganalisis kondisi tata ruang di suatu wilayah dan
menunjang proses perencanaan terutama pengumpulan dan penyediaan data
spasial. Analsis terhadap kondisi perkembangan wilayah dan tingkat kemiskinan
digunakan untuk mendapatkan informasi kondisi sosial ekonomi wilayah. Untuk
mendapatkan informasi secara keruangan, hasil analisis pada kondisi sosial
ekonomi wilayah juga disajikan secara spasial. Selanjutnya, berpedoman pada
hasil kajian ini dapat dibentuk tipologi setiap desa sehingga dapat dijadikan
sebagai bahan pertimbangan dalam membuat perencanaan kebijakan pengeloaan
di kawasan Cagar Biosfer Cibodas.
3
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini dibatasi dengan penekanan pada kajian aspek
fisik lahan dan sosial ekonomi wilayah pada desa-desa di kawasan Cagar Biosfer
Cibodas. Oleh karena itu, batasan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Aspek fisik lahan yang dikaji meliputi penggunaan/penutupan lahan dan
tingkat kemiringan lereng. Pemggunaan/penutupan lahan diperoleh melalui
interpretasi Citra Satelit resolusi rendah hingga menengah, sedangkan
kemiringan lereng dari hasil pengolahan data SRTM.
2. Aspek sosial ekonomi wilayah terdiri dari tingkat perkembangan wilayah dan
tingkat kemiskinan. Tingkat perkembangan wilayah di analisis melalui
jumlah dan jenis fasilitas yang dimiliki pada unit desa-desa yang berada
dalam kawasan Cagar Biosfer Cibodas, sedangkan tingkat kemiskinan
diperoleh dari proporsi jumlah penduduk miskin di setiap desa.
3. Arahan kebijakan pengelolaan dibatasi pada sintesis hasil analisis sebelumnya.
5
2 TINJAUAN PUSTAKA
Cagar Biosfer
Cagar Biosfer adalah situs yang ditunjuk oleh berbagai negara melalui
kerjasama program Man and Biosphere (MAB-UNESCO) untuk mempromosikan
konservasi keanekaragaman hayati dan pembangunan berkelanjutan, berdasarkan
pada upaya masyarakat lokal dan ilmu pengetahuan yang handal. Sebagai
kawasan yang menggambarkan keselarasan hubungan antara pembangunan
ekonomi, pemberdayaan masyarakat dan perlindungan lingkungan, melalui
kemitraan antara manusia dan alam, cagar biosfer adalah kawasan yang ideal
untuk menguji dan mendemonstrasikan pendekatan-pendekatan yang mengarah
kepada pembangunan berkelanjutan pada tingkat regional. Usulan penetapan
cagar biosfer diajukan oleh pemerintah nasional. Setiap calon cagar harus
memenuhi kriteria tertentu dan sesuai dengan persyaratan minimum sebelum
dimasukan kedalam jaringan dunia (MAB-LIPI). Dalam Undang-undang No 5
Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya,
definisi cagar biosfer adalah suatu kawasan yang terdiri dari ekosistem asli,
ekosistem unik, dan atau ekosistem yang telah mengalami degradasi yang
keseluruhan unsur alamnya dilindungi dan dilestarikan bagi kepentingan
penelitian dan pendidikan.
Cagar Biosfer menjadi kawasan yang konsepnya menggambarkan
keselarasan hubungan antara pembangunan ekonomi, pengembangan sosial
melalui pemberdayaan masyarakat dan konservasi lingkungan, dimana
keseimbangan hubungan manusia dan alam tetap dijaga, sehingga cagar biosfer
merupakan kawasan yang sempurna untuk mengimplementasikan pendekatan
pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dengan membangun tiga
pilar yaitu ekonomi, sosial dan lingkungan secara selaras dan seimbang, pada
tingkat lokal (tapak).
Konsep cagar biosfer dijelaskan dalam Seville Strategy (UNESCO 1996)
bahwa keunggulan dari penerapan konsep cagar biosfer terletak pada perpaduan
tiga fungsi yang dimilikinya yaitu:
1) fungsi konservasi, untuk melestarikan sumber daya genetik, jenis, ekosistem
dan lansekap;
2) fungsi pembangunan, untuk memacu pembangunan ekonomi dan
kesejahteraan manusia, dan
3) fungsi pendukung logistik, untuk mendukung proyek percontohan,
pendidikan dan pelatihan lingkungan, dan penelitian dan pemantauan yang
berhubungan dengan masalah-masalah konservasi dan pembangunan
berkelanjutan di tingkat lokal, nasional dan dunia.
Dalam rangka mengintegrasikan ketiga fungsi tersebut, maka penerapannya
diatur dengan sistem pembagian wilayah atau zonasi di wilayah cagar biosfer
yaitu di bagi menjadi 3 zonasi berdasarkan fungsi dan perannya yaitu (Purwanto
2012):
(a) Area inti (core area): sebagai area untuk pelestarian dan harus mempunyai
perlindungan hukum jangka panjang untuk melestarikan keanekaragaman
hayati, memantau ekosistem yang tidak terganggu dan melakukan penelitian
6
yang tidak merusak serta kegiatan-kegiatan lain yang sifatnya pasif seperti
pendidikan dan pelatihan. Area inti dari 6 Cagar Biosfer yang ada di
Indonesia berupa Taman Nasional yang kepemilikan lahannya berada di
Negara. Hal ini bukan berarti area inti cagar biosfer harus berupa Taman
Nasional. Area inti kawasan cagar biosfer dapat juga berupa kawasan milik
pribadi, milik organisasi non pemerintah, tanah masyarakat, kawasan milik
swasta atau dapat juga milik masyarakat adat yang diperuntukkan untuk
kawasan konservasi. Pada prinsipnya area inti harus berupa kawasan
konservasi atau kawasan lindung yang dilindungi secara formal oleh aturan
pemerintah atau secara informal oleh masyarakat adat (lembaga adat).
(b) Zona penyangga (buffer zone) yaitu wilayah yang mengelilingi atau
berdampingan atau bersebelahan dengan area inti dan jelas fungsinya adalah
untuk melindungi area inti dari dampak kegiatan manusia. Wilayah zona
penyangga dapat berupa suatu kawasan milik masyarakat baik individu atau
suatu lembaga, swasta dan lain-lainnya. Pengelolaan kawasan penyangga
tetap berada pada pemiliknya dan cara-cara pengelolaannya harus mengikuti
ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh peraturan pemerintah. Sehingga
kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan di zona ini adalah kegiatan yang
secara ekologi dapat dipertanggungjawabkan seperti penelitian, pendidikan,
pelatihan, ekoturisme dan pemanfaatan keanekaragaman hayati yang
berkelanjutan atau yang dapat diperbaruhi (renewable resources).
(c) Area transisi adalah kawasan terluas yang merupakan kawasan untuk
kerjasama dengan masyarakat lokal. Kawasan ini berdampingan dengan zona
penyangga. Area transisi adalah milik masyarakat baik secara individual,
organisasi, lembaga swasta, atau badan hukum lainnya. Area ini merupakan
tempat melaksanakan kegiatan pengembangan berbagai model pembangunan
berkelanjutan, dimana berbagai pihak pemilik kawasan ini bersama-sama
dengan pemangku kepentingan lainnya mengembangkan pengelolaan
sumberdaya alam di kawasan tersebut.
Zona penyangga dan area transisi berfungsi sebagai koridor yang fungsinya
adalah melindungi dan menjamin fungsi area inti sebagai kawasan konservasi
sumber daya alam hayati. Agar pengelolaan kawasan cagar biosfer memiliki
efektivitas tinggi, maka setiap zonasi harus memiliki batas yang jelas. Kepastian
tentang batas zonasi kawasan cagar biosfer diperlukan dalam implementasi
pengembangan setiap zona atau area di kawasan cagar biosfer.
Ruang adalah wadah pada lapisan atas permukaan bumi termasuk apa yang
ada di atasnya dan yang ada di bawahnya sepanjang manusia masih dapat
menjangkaunya (Tarigan 2005). Definisi ruang menurut UU No. 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan
ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat
manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara
kelangsungan hidupnya. Ruang itu terbatas dan jumlahnya relatif tetap sedangkan
aktivitas manusia dan pesatnya perkembangan penduduk memerlukan
ketersediaan ruang untuk beraktivitas yang senantiasa berkembang setiap hari. Hal
7
ini mengakibatkan kebutuhan akan ruang semakin tinggi. Oleh karena itu,
penggunaan ruang yang ada harus ditata sedemikian rupa dan melalui
perencanaan ruang wilayah yang baik sehingga dapat mewujudkan ruang
kehidupan yang nyaman, produktif dan berkelanjutan.
Tarigan (2005) menjelaskan bahwa perencanaan ruang wilayah adalah
perencanaan penggunaan/pemanfaatan ruang wilayah, yang intinya adalah
perencanaan penggunaan lahan (land use planning) dan perencanaan pergerakan
pada ruang tersebut. Perencanaan ruang wilayah pada dasarnya adalah
menetapkan ada bagian-bagian wilayah (zona) yang dengan tegas diatur
penggunaannya (jelas peruntukannya) dan ada bagian-bagian wilayah yang
kurang diatur/tidak diatur penggunaannya. Dalam prakteknya perencanaan ruang
wilayah diimplementasikan dalam bentuk tata ruang wilayah.
Purwanto (2012) menerangkan bahwa pemahaman tentang tata ruang dalam
arti luas mencakup keterkaitan dan keserasian tata guna lahan, tata guna air, tata
guna udara serta alokasi sumber daya melalui koordinasi dan upaya penyelesaian
konflik antar kepentingan yang berbeda. Asas penataan ruang menurut undang-
undang penataan ruang adalah sebagai berikut, pertama, pemanfaatan ruang bagi
semua kepentingan secara terpadu, berdaya guna dan berhasil guna, serasi dan
seimbang dan berkelanjutan; dan kedua, keterbukaan, persamaan, keadilan dan
perlindungan hukum.
Asas tersebut di atas memberi isyarat 3 (tiga) aspek pokok yang harus
diperhatikan dalam penataan ruang. Pertama, aspek lingkungan hidup fisik
umumnya dan sumber daya alam khususnya yang dimanfaatkan; kedua, aspek
masyarakat termasuk aspirasi sebagai pemanfaat; ketiga, aspek pengelola
lingkungan fisik oleh pemerintah yang dibantu masyarakat, yang mengatur
pengelolaannya dengan memperhatikan dan mempertimbangkan kondisi dan
potensi lingkungan fisik serta kebutuhan masyarakat agar pemanfaatan ruang
tersebut dapat dilaksanakan secara berkelanjutan.
Penataan ruang merupakan bentuk intervensi positif atas kehidupan sosial
dan lingkungan guna meningkatkan kesejahteraan yang berkelanjutan. Secara
lebih spesifik, penataan ruang dilakukan sebagai : (1) Optimasi pemanfaatan
sumberdaya (mobilisasi dan alokasi pemanfaatan sumberdaya) guna terpenuhinya
efisiensi dan produktifitas, (2) Alat dan wujud distribusi sumberdaya guna
terpenuhinya prinsip pemerataan, keberimbangan dan keadilan, serta (3) Menjaga
keberlanjutan (sustainability) pembangunan. Selain itu, tujuan penataan ruang
adalah upaya (4) menciptakan rasa aman dan (5) kenyamanan ruang (Rustiadi et
al. 2011).
Selanjutnya Rustiadi et al. (2011) menjelaskan bahwa proses penataan
ruang mempunyai landasan-landasan penting yang perlu diperhatikan sebagai
falsafah yakni (1) sebagai bagian dari upaya memenuhi kebutuhan masyarakat
untuk melakukan perubahan atau upaya mencegah terjadinya perubahan yang
tidak diinginkan; (2) menciptakan keseimbangan pemanfaatan sumberdaya di
masa sekarang dan masa yang akan datang (pembangunan berkelanjutan), (3)
disesuaikan dengan kapasitas pemerintah dan masyarakat untuk
mengimplementasikan perencanaan yang disusun, (4) upaya melakukan
perubahan yang lebih baik secara terencana, (5) sebagai suatu sistem yang
meliputi kegiatan perencanaan, implementasi dan pengendalian pemanfaatan
8
ruang dan (6) dilakukan jika dikehendaki adanya perubahan struktur dan pola
pemanfaatan ruang, artinya tidak dilakukan tanpa sebab atau kehendak.
Penataan ruang secara prinsip harus didasarkan pada karakteristik, daya
dukung dan daya tampung lingkungan, sehingga dapat dicapai keserasian,
keselarasan, dan keseimbangan subsistemnya. Mengacu pada Pasal (17) ayat (3)
bahwa Rencana Pola Ruang meliputi peruntukan kawasan lindung dan kawasan
budidaya. Menurut ayat (4) peruntukan kawasan lindung dan kawasan budidaya
meliputi peruntukan ruang untuk kegiatan pelestarian lingkungan, sosial, budaya,
ekonomi, pertahanan, dan keamanan. Kemudian pada ayat (5) disebutkan dalam
rangka pelestarian lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dalam
rencana tata ruang wilayah ditetapkan kawasan hutan paling sedikit 30 (tiga
puluh) persen dari luas daerah aliran sungai.
Pengembangan Wilayah
Hirarki Wilayah
agrikultur, tempat tinggal, industri, atau lainnya (Sabins 1997). Lillesand dan
Kiefer (1997) menjelaskan bahwa penutupan lahan memiliki keterkaitan dengan
keadaan penampakan permukaan bumi atau apa yang ada di atas sebuah lahan
sedangkan penggunaan lahan berhubungan dengan suatu aktivitas yang dilakukan
oleh manusia pada suatu bidang lahan tertentu. Menurut Malingreau (1979),
penggunaan lahan merupakan campur tangan manusia baik secara permanen atau
periodik terhadap lahan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan, baik
kebutuhan kebendaan, spiritual maupun gabungan keduanya. Penggunaan lahan
merupakan unsur penting dalam perencanaan wilayah. Bahkan menurut Campbell
(1996) disamping sebagai faktor penting dalam perencanaan, pada dasarnya
perencanaan kota adalah perencanaan penggunaan lahan.
Penggunaan lahan dapat ke dalam dua golongan besar yaitu penggunaan
lahan pertanian dan penggunaan lahan bukan pertanian. Penggunaan lahan
pertanian dibedakan berdasarkan atas penyediaan air dan komoditi yang diusahan
dan dimanfaaatkan atau atas jenis tumbuhan atau tanaman yang terdapat atas
lahan tersebut. Penggunaan lahan bukan pertanian dapat dibedakan ke dalam
lahan kota atau desa (pemukiman), industri, rekreasi, pertambangan dan
sebagainya (Arsyad 2006).
Informasi pemanfaatan ruang aktual yang meliputi penggunaan lahan dan
penutupan lahan, diperlukan untuk menggambarkan kondisi fisik wilayah secara
aktual. Informasi pemanfaatan ruang aktual akan sangat membantu dalam analisis
potensi fisik suatu wilayah secara utuh. Untuk itu diperlukan alat bantu yang
mampu memberikan gambaran tutupan lahan secara luas, cepat, konsisten dan
terkini yaitu citra satelit dengan alat analisisnya Sistem Informasi Geografi (SIG).
Penginderaan Jauh
sumberdaya alam di daratan dan sumberdaya alam di lautan secara teratur dan
periodik, sehingga kebutuhan akan data inderaja pada sebuah citra dalam bentuk
digital mudah tersedia dan memungkinkan dilakukan penganalisaan menggunakan
komputer secara kuantitatif dan konsisten. Untuk tujuan pemetaan dan
pengumpulan data spasial, teknologi inderaja terbukti lebih hemat waktu dan
biaya, bila dibanding dengan cara teristris sehingga penjelajahan lapangan dapat
dikurangi.
Penggunaan foto udara sebagai sumber informasi sudah meluas dalam
berbagai aplikasi. Hanya saja untuk dapat memanfaatkan foto udara tersebut
diperlukan kemampuan mengamati keseluruhan tanda yang berkaitan dengan
objek atau fenomena yang diamati. Tanda-tanda tersebut dinamakan
kunci pengenalan atau biasa disebut dengan unsur-unsur interpretasi. Unsur-unsur
tersebut meliputi : rona/warna, tekstur, bentuk, ukuran, pola, situs, asosisasi, dan
konvergensi bukti (Sutanto 1994).
Pemanfaatan data penginderaan jauh sejak akhir 30 tahun-an secara
ekstensif digunakan untuk mengamati perubahan lingkungan dan tutupan lahan
(Colby dan Keating 1998). Umumnya, dari beberapa penelitian (1994-2007)
menggunakan beragam citra resolusi sedang hasil perekaman seperti Landsat
Multispectral Scanning System (MSS), Thematic Mapper (TM), SPOT dan Aster,
guna memperoleh informasi tutupan lahan. Informasi perubahan lingkungan
maupun tutupan lahan pada penelitian tersebut diperoleh melalui identifikasi
berbagai kombinasi komposit kanal (band composite) yang hasilnya sangat
bergantung dari panjang gelombang dan nilai spectral yang diterimanya, maupun
teknik klasifikasi yang digunakan. Adapun tingkat akurasinya, sangat tergantung
dari kemampuan spasial, spektral masing-masing sensor dan prosentase tutupan
awan saat perekaman.
Penggunaan penginderaan jauh dapat digunakan untuk memantau
penggunaan lahan yaitu dengan memanfaatkan citra Land Satellite (Landsat).
Lillesand dan Kiefer (1997) menyampaikan bahwa satelit Landsat digunakan
untuk merekam data sumber daya alam dengan cara sistematik, berulang dengan
resolusi sedang. Lisnawati (2006) melakukan identifikasi jenis-jenis penutupan
lahan dengan memanfaatkan citra penginderaan jauh yaitu citra landsat ETM+
yang digunakan untuk menginterpretasi jenis-jenis penggunaan lahan.
3 METODE
Kerangka Pemikiran
Cagar Biosfer Cibodas merupakan daerah hulu dari empat sungai besar yang
mengalir ke daerah Jakarta dan sekitarnya yaitu Ciliwung, Cisadane, Citarum dan
Cimandiri. Sebagian besar wilayah ini adalah hutan hujan tropis dan pada wilayah
penyangga merupakan wilayah pemanfaatan dan pemukiman penduduk.
Berdasarkan posisi geografisnya, kawasan ini menjadi daerah pelindung atau
penyangga wilayah di bawahnya. Oleh karenanya kawasan yang sebagian besar
merupakan kawasan budidaya ini berfungsi menjadi kawasan penyangga
kehidupan baik bagi daerah sekitarnya maupun bagi daerah yang jauh di hilir,
sehingga penetapan kawasan ini sebagai cagar biosfer dan dikelola dengan konsep
cagar biosfer menjadi sangat tepat. Dalam konsep cagar biosfer, suatu kawasan
mempunyai fungsi konservasi, fungsi pembangunan dan fungsi pendukung
logistik yaitu untuk mendukung pendidikan, penelitian dll.
Mengingat kondisi kawasan ini sebagai daerah penyangga kehidupan untuk
wilayah Bogor, Puncak, Cianjur dan Sukabumi bahkan sampai Jakarta,
pendekatan pembangunan berkelanjutan merupakan konsep pembangunan yang
tepat untuk diterapkan. Namun demikian, kawasan ini cenderung lebih
dikembangkan untuk pembangunan ekonomi dimana masalah sosial dan
lingkungan banyak diabaikan. Potensi wisata yang ada di sebelah utara Cagar
Biosfer Cibodas menjadi daya tarik masyarakat untuk bermukim di daerah
tersebut sehingga penambahan jumlah penduduk terus meningkat dan dampaknya
adalah semakin meningkatnya kebutuhan akan lahan dan mendorong terjadinya
konversi lahan. Hal ini tentu akan berpengaruh pada ekologi kawasan Cagar
Biosfer Cibodas baik pada area inti, zona penyangga dan area transisi.
Terganggunya proses penyerapan air, semakin tingginya run off, meningkatnya
laju erosi, berkurangnya ketersediaan air tanah merupakan beberapa tanda bahwa
kondisi kawasan sudah terganggu. Oleh karena itu, informasi mengenai
penggunaan/penutupan lahan aktual penting untuk diketahui. Untuk mengetahui
kondisi aktual penggunaan/penutupan lahan di Cagar Biosfer Cibodas dapat
diperoleh melalui interpretasi citra.
Kesejahteraan masyarakat di kawasan CBC beragam hal ini ditandai dengan
kondisi tingkat perkembangan wilayah dan tingkat kemiskinan yang juga beragam.
Di beberapa tempat, perkembangan wilayah begitu cepat namun di beberapa
tempat lain perkembangan wilayah berjalan dengan lambat. Pada prinsipnya
semua masyarakat harus hidup sejahtera, karena masalah lingkungan yang
dihadapi negara-negara berkembang banyak ditimbulkan oleh kemiskinan yang
memaksa rakyat merusak lingkungan alam (Salim 1991). Oleh karena itu
diperlukan perencanaan pengelolaan Cagar Biosfer Cibodas yang terintegrasi dan
melibatkan fihak-fihak yang berkepentingan pada kondisi Cagar Biosfer Cibodas.
Banyak pendekatan yang dapat digunakan untuk menghasilkan perencanaan
yang sesuai dengan kondisi dan situasi wilayah tersebut. Salah satunya adalah
dengan pendekatan membuat tipologi pemanfaatan ruang di wilayah tersebut.
Pengelompokkan berdasarkan tipologi bertujuan untuk mengelompokkan wilayah
yang memiliki kemiripan karakteristik berdasarkan parameter yang digunakan
16
sehingga arahan kebijakan yang disusun tidak di buat secara general tetapi
disesuaikan dengan kondisi setiap tipologinya.
Penelitian ini mencoba untuk menyusun tipologi pemanfaatan ruang di
kawasan Cagar Biosfer Cibodas berdasarkan parameter sosial ekonomi yaitu
berupa tingkat perkembangan wilayah dan tingkat kemiskinan dan aspek fisik
lahan yaitu berupa penggunaan/penutupan lahan dan tingkat kemiringan lereng
yang dilakukan pada unit desa. Untuk memahami alur penelitin ini maka kerangka
pemikiran penelitian disajikan pada Gambar 1 dan diagram alir tahapan penelitian
pada Gambar 2.
Titik Kondisi
Aktual
Pengumpulan Data
Jumlah Penduduk
Analisis Skalogram Miskin
(Data PPLS 2011)
Analisis Deskriptif
Jenis data terdiri dari data primer dan data skunder. Data primer meliputi :
(1) Interpretasi penggunaan/penutupan lahan dari data penginderaan jauh (Citra
Landsat TM 8 tahun 2014 path 122 row 65), interpretasi kemiringan lereng dari
data Shuttle Radar Topographic Mission (SRTM) dan (2) pengamatan lapangan
untuk verifikasi penggunaan lahan. Data sekunder berupa Peta Rencana Pola
Ruang Provinsi Jawa Barat, Peta Rencana Pola Ruang Kabupaten Bogor, Cianjur
dan Sukabumi, data sosial meliputi jumlah penduduk, jumlah jenis dan fasilitas
desa, aksesibilitas, fasilitas pendidikan, faasilitas kesehatan dan fasilitas ekonomi
dengan sumber data potensi desa (PODES 2011), data jumlah penduduk miskin
dengan sumber data PPLS 2011. Penelusuran dokumen, laporan, kebijakan dan
peraturan terkait Cagar Biosfer Cibodas diperoleh dari Balai Besar Gunung Gede
Pangarngo dan MAB-LIPI. Matrik hubungan antara tujuan, jenis data, sumber
data, teknik analisis, dan keluaran yang diharapkan tertera pada Tabel 1.
Tabel 1 Tujuan, Jenis Data, Sumber Data, Teknik Analisis Dan Keluaran
Teknik
No Tujuan Jenis Data Sumber Data Keluaran
Analisis
1 Menganalisis - Citra Landsat TM - USGS - Interpretasi - Peta penggunaan/
penggunaan/ 8 tahun 2014 - Google Citra, metode penutupan lahan
penutupan lahan saat - Google Satellite Earth Visual tahun 2014
ini Map - Balai Besar - Overlay SIG (Keluaran 1)
- Peta Kawasan TNGGP
Cagar Biosfer, - Bappeda
- Peta Administrasi
- Peta Rencana Pola
Ruang RTRW
2 Mengnalisis - Peta Rencana Pola - Bappeda - Overlay SIG - Kondisi aktual
Perencanaan Pola Ruang Provinsi/ Prov. Jawa - Analisis rencana pola
Ruang Kabupaten Barat Deskriptif ruang yang
- Keluaran 1 - Bappeda - Matrik diperbandingkan
Kab. Perbandingan dengan kondisi
Cianjur, Nomenklatur aktual
Bogor dan penggunaan/penu
Sukabumi tupan lahan
- Matrik
perbandingan
nomenklatur
3 Menganalisis - Data Podes Tahun - BPS Kab. - Analisis - Hirarki Wilayah
perkembangan 2011 Cianjur, Skalogram Desa dan Indeks
wilayah desa dan - Data Jumlah Bogor dan - Analisis Perkembangan
tingkat kemiskinan Penduduk Miskin Sukabumi Faktor untuk Desa (Keluaran
- TNP2K memilih 2)
(PPLS variabel - Peta Hirarki
2011) - Overlay SIG Wilayah Desa
(Keluaran 3)
20
Tabel 1. (Lanjutan)
Teknik
No Tujuan Jenis Data Sumber Data Keluaran
Analisis
4 Menyusun tipologi - Hasil Keluaran 1 - TNP2K - Cluster - Tipologi
pemanfaatan ruang di - Hasil Keluaran 2 (PPLS Analysis pemanfaatan
Cagar Biosfer - Hasil Keluaran 3 2011) metode ruang (Keluaran
Cibodas. - Jumlah Penduduk - Data SRTM Ward’s dan 4)
Miskin K-Mean
- Peta Kemiringan Cluster
Lereng - Overlay SIG
- Analisis
Deskriptif
5 Menyusun arahan - Hasil Keluaran 1 - Hasil - Sintesa Hasil - Arahan kebijakan
kebijakan - Hasil Keluaran 2 analisis - Analisis pengelolaan CBC
pengelolaan - Hasil Keluaran 3 tujuan Deskriptif
- Hasil Keluaran 4 sebelumnya
penampakan rona dan warna citra landsat yang mirip tetapi pada kenyataannya
tipe penggunaan/penutupan lahannya berbeda, begitu pula sebaliknya.
Klasifikasi citra visual dapat didefiniskan sebagai aktivitas visual untuk
mengkaji citra yang menunjukkan gambaran muka bumi yang tergambar di
dalam citra tersebut untuk tujuan identifikasi obyek dan menilai maknanya
(Howard 1991). Interpretasi ini dilakukan dengan pendekatan unsur yang
meliputi: rona (berkaitan dengan warna/derajat keabuan suatu obyek), tekstur
(frekuensi perubahan rona), pola (susunan keruangan obyek), ukuran, bentuk
(berkaitan langsung terhadap bentuk umum, konfigurasi atau kerangka dari
obyek tunggal), bayangan dan situs (lokasi suatu obyek terhadap obyek-obyek
yang lain). Interpretasi visual citra dilakukan dengan kombinasi 3 saluran
dalam format Red Green Blue (RGB) untuk memperoleh warna komposit
yang paling jelas pada setiap kelas penutupan. Dalam penelitian ini, kombinasi
band yang digunakan dalam interpretasi visual citra menggunakan band 6-5-4
yang sesuai untuk analisis vegetasi. Kombinasi band ini mengacu kepada
informasi yang dikeluarkan USGS tentang penggunaan kombinasi band citra
Landsat TM 8. Kelebihan dari metode visual adalah penafsir dapat
memperhitungkan konsteks spasial wilayah pada saat penafsiran dengan
melibatkan lebih dari satu elemen (unit lahan, bentuk lahan, local knowledge
dll) yang tidak mungkin dapat dilakukan dengan metode klasifikasi digital
secara langsung. Keuntungan kedua adalah metode ini cocok untuk daerah
pada ekuator yang banyak tertutup awan.
4) Pengujian Hasil Interpretasi, pengujian kualitas hasil interpretasi
penggunaan/penutupan lahan pada umumnya dilakukan dengan pengecekan
lapangan (ground truth) untuk mengecek kebenaran, ketepatan atau kenyataan
di lapangan. Verifikasi dilakukan pada beberapa lokasi dengan memeriksa
penggunaan/penutupan lahan pada wilayah yang dijadikan sebagai contoh.
Pada kajian ini pengujian hasil interpretasi dan proses verifikasi dilakukan
dengan bantuan Google Earth. Hal ini dengan pertimbangan keterbatasan
dalam menjangkau lokasi-lokasi yang terpencil dan Google Earth dinilai
memiliki resolusi yang baik untuk menampilkan kondisi lapangan. Verifikasi
dilakukan dengan menentukan beberapa titik pada hasil klasifikasi
penggunaan/penutupan lahan dan dibandingkan dengan citra Google Earth
sebagai citra referensi. Hasil verifikasi dibuat dalam bentuk makriks kesalahan
untuk menghitung jumlah sampel yang terklasifikasi dengan benar pada citra
satelit. Makriks kesalahan ini umum disebut confussion matrix. Ukuran tingkat
akurasi biasanya disajikan dengan angka persentase yang menunjukkan estimasi
jumlah informasi yang benar. Validasi yang sering digunakan untuk menguji
kualitas hasil interpretasi penggunaan lahan berbasis data penginderaan jauh ini
adalah overall accuracy. Overall accuracy hanya mempertimbangkan commission
(diagonal) yang dihasilkan pada confusion matrix. Jensen (1986) menyatakan
bahwa pengujian hasil klasifikasi diharapkan mendapatkan nilai overall accuracy
diatas 85 %.
Pengertian tipe penggunaan/penutupan lahan sebagian mengacu pada sistem
standar nasional Indonesia (SNI) nomor 7645 tahun 2010 tentang klasifikasi
penutupan lahan dan sebagian yang lain penggunaan istilah dan pengertiannya
dimodifikasi untuk memperjelas batasan antara satu tipe penggunaan lahan
dengan tipe penggunaan lahan yang lainnya. Area terbangun dicirikan oleh adanya
subtitusi penutup lahan yang bersifat alami atau semi alami oleh penutup lahan
22
yang bersifat artificial dan biasanya kedap air. Dalam interpretasi yang termasuk
kategori area terbangun adalah pemukiman dan jaringan jalan. Untuk hutan
dicirikan dengan liputan vegetasi dominan dan tekstur agak kasar, tipe
penggunaan lahan untuk ladang merupakan area yang digunakan untuk kegiatan
pertanian dengan jenis tanaman semusim di lahan kering. Perkebunan dicirikan
oleh hamparan pepohonan homogen dengan batas-batas yang jelas dan teratur, di
kawasan CBC perkebunan didominasi oleh perkebunan teh.
= 1000 ∗
( − min ( )
Kij =
Kij adalah nilai baku indeks hirarki untuk wilayah ke-i dan ciri ke-j, Iij adalah
nilai bobot indeks penciri untuk wilayah ke-i dan ciri ke-j, min (Xj) adalah
nilai minimum indeks pada ciri ke-j, dan Sj adalah standar deviasi.
g. Mengkelaskan wilayah. Hirarki wilayah dalam hal ini dibagi menjadi 3 yaitu
tinggi, sedang dan rendah. Untuk menyusun kelas hirarki dari indeks baku ini
maka terlebih dahulu di cari parameter-parameter rataan Xj dan standar
deviasi. Wilayah dengan Hirarki I (tingkat perkembangan tinggi) adalah
wilayah-wilayah yang nilai jumlah indeks bakunya paling tidak sama dengan
nilai rataan ditambah dengan standar deviasi. Wilayah berhirarki II adalah
wilayah dengan nilai hirarki paling tidak sama dengan nilai rataan indeksnya.
Wilayah berhirarki III adalah wilayah dengan nilai indeks hirarki kurang dari
nilai rataan indeks diseluruh wilayah.
Hirarki 1 Ʃkij > Rataan (Kij) + Stdev (Kij)
Hirarki 2 Rataan (Kij) < ƩKij < Rataan (Kij) + Stdev (Kij)
Hirarki 3 ƩKij < Rataan (Kij).
Hasil analisis digambarkan pada peta untuk di analisis secara spasial.
Informasi yang diperoleh dari hasil analisis skalogram tersebut adalah:
Ordo wilayah, yaitu wilayah (unit analisis) yang memiliki ordo tertinggi atau
berfungsi sebagai pusat aktifitas sosial ekonomi. Wilayah hirarki I merupakan
wilayah dengan hirarki lebih tinggi atau memiliki ordo lebih tinggi yang
25
Tingkat Kemiskinan
Tingkat kemiskinan di setiap desa diperoleh dari proporsi jumlah penduduk
miskin pada desa tersebut, selanjutnya dikelompokan menjadi tiga tingkatan
kemiskinan yaitu rendah, sedang dan tinggi. Desa dengan tingkat kemiskinan
rendah adalah desa dengan nilai persentase penduduk miskinnya (%pm) kurang
dari nilai rataan diseluruh desa. Desa dengan tingkat kemiskinan sedang adalah
desa dengan jumlah persentase penduduk miskin diantara nilai rataan dan nilai
rataan ditambah standar deviasi. Desa dengan tingkat kemiskinan tinggi adalah
desa yang nilai persentase penduduk miskinnya paling tidak sama dengan nilai
rataan ditambah dengan standar deviasi.
Rendah % pm < Rataan (%pm)
Sedang Rataan (%pm) < %pm < Rataan (%pm) + Stdev (%pm)
Tinggi %pm > Rataan (%pm) + Stdev (%pm)
Administrasi
Secara administratif pemerintahan, Cagar Biosfer Cibodas terletak pada tiga
kabupaten yaitu Kabupaten Bogor, Cianjur dan Sukabumi. Wilayah kecamatan di
setiap kabupaten berju mlah 6 kecamatan di Kabupaten Bogor, 7 Kecamatan di
Kabupaten Cianjur dan 12 Kecamatan di Kabupaten Sukabumi yang seluruhnya
terdiri dari 145 desa. Rincian nama kecamatan dan desa sebagimana pada Tabel 2.
Iklim
Tipe iklim di kawasan Cagar Biosfer Cibodas termasuk Tipe A (Nilai Q = 5
– 9%). Curah hujan yang tinggi dengan curah hujan tahunan rata-rata berkisar
antara 3 000 mm/tahun – 4 200 mm/tahun, menyebakan kawasan ini merupakan
salah satu daerah terbasah di Pulau Jawa. Suhu udara rata-rata di puncak zona inti
(puncak gunung Gede dan Pangrango) pada siang hari berkisar 10o C dan di
daerah penyangga berkisar 18o C. Pada malam hari suhu udara di puncak Gunung
Gede dan Gunung Pangrango berkisar 5o C.
Namun pada musim kering/kemarau suhu udara di puncak Gunung Gede
maupun di puncak Gunung Pangrango bisa mencapai 0o C. Kelembaban udara
tinggi yakni sekitar 80-90%, sehingga memungkinkan tumbuhannya jenis-jenis
lumut pda batang, ranting dan dedaunan pepohohonan yang ada. Secara umum
angin bertiup di kawasan ini merupakan angin Muson yang berubah arah menurut
musim. Pada musim penghujan, terutama pada bulan Desember- Maret, angin
bertiup dari arah Barat Daya dengan kecepatan cukup tinggi dan seringkali
mengakibatkan kerusakan hutan. Di sepanjang musim kemarau, angin bertiup dari
arah Timur dengan kecepatan rendah.
Hidrologi
Kawasan Cagar Biosfer Cibodas berperan penting dalam penyediaan air
permukaan maupun air bawah tanah karena di dalam kawasan ini terdapat ± 50
sungai dan anak sungai. Pada umumnya sungai-sungai tersebut mengalir
sepanjang tahun dengan debit yang relative tetap dengan fluktuasi yang tidak
tinggi (Kamiharja 2001 dalam Suparman 2012). Sungai-sungai yang berhulu di
area inti kawasan Cagar Biosfer Cibodas ini antara lain Sungai Cimandiri yang
mengalir ke arah selatan dan bermuara di Pelabuhan Ratu, Sungai Cisarua dan
Cinagara mengalir ke arah barat dan menyatu dengan Sungai Ciliwung dan Kali
Angke yang bermuara di Laut Jawa. Sungai Cikundul dan Cijeruk Leutik
mengalir ke arah timur dan menyatu dengan Sungai Citarum. Sungai-sungai
tersebut merupakan sumber pasokan air bersih dan pengairaan untuk pertanian di
Kabupaten Sukabumi, Bogor dan Cianjur.
Topografi
Topografi kawasan Cagar Biosfer Cibodas bervariasi mulai dari kemiringan
lereng datar (< 8%) sampai dengan sangat curam (> 45%). Secara keseluruhan
29
kawasan Cagar Biosfer Cibodas didominasi topografi datar dengan luas sekitar 46
421.95 ha atau 52.99 % dan yang paling sedikit ada pada kemiringan lereng
sangat curam (> 45%) yang berada di puncak Gunung Gede Pangrango. Rincian
kemiringan lereng dan luasnya pada masing-masing zona sebagaimana pada Tabel
3 dan secara spasial pada Gambar 4.
Cagar Biosfer Cibodas ditetapkan pada tahun 1977 dengan area inti pada
saat itu berupa Cagar Alam Cibodas-Gunung Gede (1040 ha), Cagar Alam
Gunung Gede Pangrango (14 000 ha), Taman Wisata Situ Gunung (100 ha) dan
Cagar Alam Cimungkat (56 ha), yang kemudian menjadi Taman Nasional
30
desa-desa dengan tutupan lahan baik berdasarkan citra satelit. Kriteria zonasi
ditentukan berdasarkan lokasi administratif desa, pola ruang, pola hidrologi,
kerawanan terhadap bencana dan tutupan lahan. Kriteria-kriteria dan justifikasi
zonasi tersebut adalah sebagai berikut (ITTO Project 2012):
1. Area Inti ditetapkan dengan kriteria kawasan konservasi yaitu TN Gunung
Gede Pangrango, CA Telaga Warna, TWA Telaga Warna dan TWA Jember.
2. Zona Penyangga ditetapkan dengan kriteria seluruh desa yang berbatasan
langsung dengan area inti yaitu taman nasional dan cagar alam dan taman
wisata alam (desa layer ke 1), kawasan dengan tutupan vegetasi baik dilihat
dari citra satelit resolusi tinggi (citra Quickbird liputan tahun 2009) daerah
resapan air, kawasan rawan bencana (KRB) III (selalu terancam aliran lava,
gas beracun dan awan panas) dan kawasan lindung berdasarkan RTRW
sehingga dipandang sesuai sebagai zona peenyangga CBC.
3. Area Transisi ditetapkan berdasarkan desa layer kedua di belakang zona
penyangga, pemukiman berupa kawasan pedesaan yang bukan zona
penyangga, dan KRB II (berpotensi terhadap aliran lava, gas beracun dan
awan panas) dan KRB I (berpotensi dilanda aliran lahar) yang bukan zona
penyangga.
terbangun (12 066.22 ha atau 13.77 %), perkebunan (4 910.32 ha atau 5.61 %),
belukar/semak (4 060.54 ha atau 4.64 %), rumput/tanah kosong (663.49 ha atau
0.76 %) dan tubuh air (73.95 ha atau 0.08 %). Struktur penggunaan/ penutupan
lahan di Cagar Biosfer Cibodas sebagaimana pada Gambar 7. Peta
penggunaan/penutupan lahan di Cagar Biosfer Cibodas tertera pada Gambar 8.
Untuk beberapa tipe penutupan lahan yang sifatnya terbentuk secara alami,
pada umumnya tidak ada masalah berada di lokasi dengan kemiringan lereng
berapapun. Tetapi untuk beberapa tipe penggunaan lahan dimana didalamnya ada
unsur aktivitas dan campur tangan manusia, maka faktor kemiringan lereng
menjadi hal yang harus dipertimbangkan terutama pada lokasi dengan kemiringan
37
lereng curam dan sangat curam. Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa pada tipe
penggunaan lahan TPLB, TPLK dan LT terdapat juga pada lokasi dengan
kemiringan lereng curam. Hal ini menunjukkan bahwa manusia memiliki
kemampuan untuk melakukan konversi lahan pada kemiringan lereng berapapun.
Selain itu terjadinya konversi lahan pada kemiringan lereng curam patut
diwaspadai karena dapat memicu terjadinya bencana longsor.
lahan sawah. Menurut Irawan (2005), konversi yang lebih besar terjadi pada lahan
sawah dibandingkan dengan lahan kering karena dipengaruhi oleh tiga faktor,
yaitu: (1) pembangunan kegiatan non pertanian seperti kompleks perumahan,
pertokoan, perkantoran, dan kawasan industri lebih mudah dilakukan pada tanah
sawah yang lebih datar dibandingkan dengan tanah kering; (2) akibat
pembangunan masa lalu yang terfokus pada upaya peningkatan produk padi maka
infrastruktur ekonomi lebih tersedia di daerah persawahan daripada daerah tanah
kering; (3) daerah persawahan secara umum lebih mendekati daerah konsumen
atau daerah perkotaan yang relatif padat penduduk dibandingkan daerah tanah
kering yang sebagian besar terdapat di wilayah perbukitan dan pegunungan.
Penggunaan/penutupan lahan di Kabupaten Sukabumi memiliki struktur
yang sedikit berbeda dengan dua kabupaten lainnya dimana hutan merupakan
penutupan lahan terluas, di Kabupaten Sukabumi penggunaan/ penutupan lahan
terbesar adalah tanaman pertanian lahan kering dengan luas 11 419.61 ha atau
31.05 % dan hutan merupakan kelas penutupan lahan yang ke dua dengan luas 9
829.73 ha atau 26.72 %. Namun dari sisi luas hutan, hutan di Kabupaten
Sukabumi merupakan hutan dengan luasan terbesar dibandingkan Kabupaten
Cianjur dan Kabupaten Bogor. Luas penggunaan/penutupan lahan yang ke tiga
adalah tanaman pertanian lahan basah dengan luas 7 438.97 ha atau 20.22 %.
Luasnya lahan pertanian di Kabupaten Sukabumi merupakan potensi sebagai
penghasil tanaman pertanian, selain itu penggunaan lahan pertanian masih sesuai
dengan rencana pola ruang Provinsi Jawa Barat karena pada daerah ini
diperuntukan sebagai kawasan perlindungan setempat yaitu kawasan rawan
bencana dan kawasan resapan air.
Struktur penggunaan/penutupan lahan di setiap kabupaten dapat dilihat
dengan lebih jelas pada Gambar 9, dimana secara umum ketiga kabupaten
memiliki struktur penggunaan/penutupan lahan yang hampir sama.
44.54 % dan pada area transisi didominasi oleh kelas TPLB (10 313.35 ha atau
31.70 %) dan TPLK (10 158.47 ha atau 31.23 %).
Tabel 8 Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan fungsi Area Inti
di setiap Kabupaten
Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan fungsi area inti berada di ketiga
Kabupaten dengan luasan yang berbeda-beda yang tersebar di 18 desa di
Kabupaten Bogor, 19 desa di Kabupaten Cianjur dan 20 desa di Kabupaten
Sukabumi. Rincian penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan area inti per desa
pada Lampiran 5.
Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan fungsi area inti yang terluas
berada di Kabupaten Sukabumi terutama di Desa Ginanjar dan Wangunjaya
(Kecamatan Ciambar) dengan luas TPLK masing-masing 182.96 ha dan 172.45 ha.
Lokasi lainnya adalah di Desa Cihanyawar (Kecamatan Nagrak) dengan luas
TPLB dan TPLK 85.25 ha. Di Kabupaten Cianjur, penggunaan lahan yang tidak
sesuai terbesar ada di Desa Ciherang dan Desa Cipendawa (Kecamatan Pacet)
42
Area transisi merupakan wilayah terluar dari Cagar Biosfer Cibodas dimana
penggunaan/penutupan lahan di zona ini dapat lebih leluasa dalam mengakomodir
kebutuhan dan perkembangan wilayah. Saat ini lahan pertanian merupakan
penggunaan/penutupan lahan yang mendominasi area transisi mencapai 62.88 %
dari luas area transisi. Namun hal ini tidak berarti bahawa kegiatan-kegiatan yang
dapat mendorong laju konversi lahan pertanian dapat dilakukan dengan leluasa
karena harus disesuaikan dengan RTRW dan rencana teknis lainnya. Selain itu,
dengan statusnya sebagai bagian dari Cagar Biosfer maka rencana-rencana
pembangunan wilayah harus mengedepankan fungsinya sebagai wilayah yang
menjaga kelestarian fungsi area inti.
45
Kawasan resapan air berada di sekeliling kawasan konservasi dan pada layer
berikutnya berupa kawasan rawan bencana gunung berapi. Kawasan permukiman
perdesaan dan perkotaan dialokasikan menempati kawasan rawan bencana gunung
berapi dan wilayah paling luar kawasan CBC. Kondisi penggunaan/penutupan
lahan aktual terhadap rencana pola ruang provinsi diketahui dengan cara meng-
overlay-kan peta penggunaan/penutupan lahan dengan peta pola ruang. Hasilnya
sebagaimana pada Tabel 9.
didetilkan dalam RTRW Kabupaten. Peta rencana pola ruang Kabupaten Bogor,
Cianjur dan Sukabumi di kawasan CBC sebagaimana pada Gambar 15.
Gambar 14 Peta rencana pola ruang Provinsi Jawa Barat di Kawasan CBC
Gambar 15 Peta rencana pola ruang Kabupaten Bogor, Cianjur dan Sukabumi di
Kawasan CBC
48
Pada Gambar 15 dapat dilihat bahwa pada peta rencana pola ruang
Kabupaten Bogor terdapat perbedaan batas Taman Nasional Gunung Gede
Pangrango sedangkan untuk Kabupaten Cianjur dan Sukabumi batas kawasan
konservasi sudah sesuai. Disarankan agar Pemda Kabupaten Bogor menyesuaikan
batas kawasan konservasi tersebut dengan batas terbaru agar tidak menimbulkan
permasalahan. Di semua kabupaten, kawasan-kawasan rawan bencana dan
kawasan resapan air yang mengelilingi area inti semuanya telah dialokasikan
untuk berbagai alokasi kegiatan budidaya seperti kawasan permukiman,
perkebunan dan lahan pertanian.
Kawasan permukiman perkotaan banyak dialokasikan di sepanjang jalan
lingkar Bogor-Cianjur-Sukabumi. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan
wilayah yang lebih tinggi akan di dorong untuk dikembangkan pada wilayah yang
berada di sepanjang jalan lingkar Bogor-Cianjur-Sukabumi. Kawasan
permukiman perdesaan umumnya dialokasikan pada daerah-daerah lebih dalam,
namun beberapa alokasi untuk kawasan permukiman perdesaan di Kabupaten
Bogor dan Sukabumi ditempatkan pada daerah yang berbatasan dengan area inti,
dalam konteks cagar biosfer tentu hal ini dapat menimbulkan permasalahan bagi
kelestarian area inti serta fungsi kawasan resapan air.
Penelaahan kondisi aktual penggunaan/penutupan lahan pada rencana pola
ruang di setiap kabupaten perlu dilakukan untuk dasar perencanaan pengelolaan
Cagar Biosfer Cibodas. Kondisi penggunaan/penutupan lahan aktual terhadap
rencana pola ruang di setiap kabupaten diketahui dengan cara meng-overlay-kan
peta penggunaan/penutupan lahan dengan peta pola ruang. Hasilnya sebagaimana
pada Tabel 10 untuk Kabupaten Bogor, Tabel 11 untuk Kabupaten Cianjur dan
Tabel 12 untuk Kabupaten Sukabumi.
Pada Tabel 10 dapat dilihat bahwa beberapa penggunaan lahan saat ini tidak
sesuai dengan alokasi rencana pola ruang yang telah dibuat dan dapat
menimbulkan permasalahan dalam pelaksanaan rencana. Sebagian lahan
terbangun, TPLB dan TPLK berada pada hutan konservasi yang melarang adanya
penggunaan tipe penggunaan lahan ini. Salah satu penyebabnya adalah batas peta
hutan konservasi pada peta pola ruang Kabupaten Bogor dengan batas peta hutan
konservasi saat ini tidak sama sehingga harus segera disesuikan agar tidak
menimbulkan konflik tata ruang. Selain itu lahan terbangun saat ini banyak
terdapat pada alokasi rencana pola ruang non permukiman (perdesaan dan
perkotaan), ini merupakan masalah karena penggunaan lahan terbangun sangat
sulit berubah kembali menjadi penggunaan/penutupan lahan lain.
Upaya untuk melakukan perubahan kembali lahan terbangun menjadi
penggunaan lain umumnya berpotensi konflik berkepanjangan. Dalam rencana
tersebut juga terlihat adanya potensi konversi lahan pertanian menjadi penggunaan
lain sangat besar, terutama menjadi pemukiman. Hal ini dapat dilihat dari rencana
alokasi ruang untuk pertanian lahan basah dan lahan kering luasannya jauh lebih
kecil jika dibandingkan dengan rencana ruang untuk lahan permukiman, yaitu
sekitar 3 390.55 ha untuk lahan pertanian berbanding 6 523.72 ha untuk
permukiman. Faktanya kondisi saat ini banyak penggunaan lahan TPLB dan
TPLK yang dialokasikan untuk rencana permukiman. Tentu hal ini perlu
dipertimbangkan lagi terkait dengan fungsi cagar biosfer.
Unit analisis pada analisis skalogram ini adalah desa sehingga tingkat
perkembangan wilayah yang dihasilkan berupa nilai Indeks Perkembangan Desa
(IPD) sebagai parameter yang mencerminkan tingkat perkembangan desa. Pada
anlisis skalogram ini nilai IPD diperoleh berdasarkan variabel kelompok data
aksesibilitas, fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan dan fasilitas ekonomi.
Selanjutnya desa-desa tersebut dikelompokan menjadi 3 (tiga) hirarki sesuai
dengan kisaran nilai IPD nya. Unit wilayah yang mempunyai jumlah sarana dan
jenis fasilitas umum dengan kuantitas dan kualitas yang relatif paling lengkap
akan menjadi pusat pelayanan atau mempunyai hirarki yang lebih tinggi
dibandingkan dengan unit wilayah lain yang jumlah fasilitasnya lebih rendah.
Wilayah sebagai satuan area yang saling berinteraksi memberikan
keterkaitan yang sangat erat antar tiap hirarki yang ada di dalam suatu kawasan.
Hirarki I berfungsi melayani wilayah dengan hirarki yang lebih rendah disamping
melayani hinterland-nya sendiri. Rustiadi et al. (2003) menyatakan bahwa pusat-
pusat wilayah umumnya membentuk hirarki yang spesifik ditentukan oleh jumlah
sarana pelayanan yang ada, jumlah jenis sarana pelayanan, dan jumlah penduduk
dimana semakin tinggi ketiga hal tersebut, semakin tinggi hirarkinya (korelasi
positif).
Perkembangan wilayah diasumsikan dengan banyaknya jumlah dan jenis
fasilitas yang ada di suatu wilayah. Asumsi ini menurut Panuju et al. (2012)
berdasarkan bahwa penduduk mempunyai kecenderungan untuk bergerombol di
suatu lokasi dengan kondisi fisik, sosial dan ekonomi yang secara relatif terbaik
untuk komunitasnya. Daerah dengan fasilitas umum terlengkap merupakan pusat
bagi daerah di sekitarnya. Melalui analisis skalogram akan diperoleh gambaran
karakteristik perkembangan wilayah. Penentuan tingkat hirarki wilayah
berdasarkan kelengkapan fungsi pelayanan yang dapat disediakan oleh suatu
wilayah, sehingga dapat di identifikasi wilayah yang berfungsi sebagai pusat/inti
dan wilayah-wilayah hinterland nya. Parameter hirarki wilayah hasil analisis
skalogram sebagaimana pada Tabel 14.
Hasil analisis skalogram menunjukkan nilai IPD tertinggi adalah 66.95 dan
nilai IPD terendah adalah 3.70 dengan nilai rataan 15.83. Desa dengan IPD
tertinggi adalah Desa Cigombong, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor,
sedangkan yang terendah adalah Desa Sukagalih, Kecamatan Megamendung,
Kabupaten Bogor. Desa-desa yang ada dalam wilayah Cagar Biosfer Cibodas
berjumlah 145 desa yang tersebar di 6 kecamatan di Kabupaten Bogor, 7
kecamatan di Kabupaten Cianjur dan 12 kecamatan di Kabupaten Sukabumi.
Desa-desa yang masuk pada kelompok hirarki I berjumlah 18 desa, desa hirarki II
berjumlah 31 desa dan desa hirarki III berjumlah 96 desa. Rincian jumlah desa
berdasarkan tingkat perkembangan desa di kawasan CBC sebagaimana pada Tabel
15 dan rekapitiulasinya pada Tabel 16. Rincian hirarki desa disajikan pada
Lampiran 3.
Kabupaten Sukabumi (3 desa). Untuk desa hirarki II dan hirarki III yang paling
banyak berada di Kabupaten Sukabumi (13 desa hirarki 2 dan 44 desa hirarki 3),
selanjutnya Kabupaten Cianjur (11 desa hirarki 2 dan 27 desa hirarki 3) dan
terakhir Kabupaten Bogor (7 desa hirarki 2 dan 25 desa hirarki 3). Jumlah desa di
Cagar Biosfer Cibodas yang berada di Kabupaten Sukabumi jumlahnya paling
banyak (60 desa), namun dari sisi perkembangan wilayah, desa-desa yang berada
di Kabupaten Sukabumi sebagian besar merupakan desa-desa hirarki III atau desa-
desa dengan tingkat perkembangan wilayah yang masih rendah. Sebaran
komposisi hirarki desa di setiap Kabupaten dapat dilihat dengan jelas pada
Gambar 16.
14%
22%
22%
73%
61% 25%
61% 17%
yang dimiliki atau sebelumnya desa-desa tersebut merupakan satu desa yang
berkembang dan terjadi pemekaran. Fenomena ini sesuai dengan pendapat
Tarigan (2005) bahwa desa yang berkembang kemungkinan akan mendorong desa
tetangganya untuk berkembang, karena adanya keterkaitan kegiatan antar desa.
Pada setiap tingkatan perkembangan wilayah, menunjukkan struktur
penggunaan/penutupan lahan yang khas terutama pada proporsi luas penggunaan
lahan terbangun, hutan dan lahan pertanian (TPLB dan TPLK). Struktur
penggunaan/penutupan lahan di setiap tingkatan hirarki sebagaimana Gambar 18.
jumlah jenis fasilitas yang lebih banyak. Namun jika ditelaah pada tingkat
kecamatan, memperlihatkan pola yang sama yaitu semua desa dengan hirarki
lebih tinggi memiliki jumlah fasilitas paling banyak (Lampiran 3).
Jumlah Desa
Zona CBC Jumlah
Hirarki 1 Hirarki 2 Hirarki 3
Zona Penyangga 5 7 46 58
Area Transisi 13 24 50 87
Jumlah 18 31 96 145
Pada Tabel 17 dapat dilihat bahwa desa-desa pada zona penyangga dan area
transisi didominasi oleh desa-desa dengan tingkat perkembangan wilayah rendah
(hirarki III), namun jika dilihat proporsinya maka desa hirarki III pada zona
penyangga lebih banyak dibandingkan dengan desa hirarki III pada area transisi
yaitu sebesar 79.31 % berbanding 57.47 % dari jumlah desa pada setiap zona.
Desa hirarki II dan desa hirarki I sebagian besar berada pada area transisi. Dengan
kata lain, secara umum desa-desa pada area transisi lebih baik perkembangan
wilayahnya dibandingkan desa-desa pada zona penyangga. Dalam konteks cagar
biosfer, hal ini wajar karena area transisi merupakan wilayah yang diarahkan
untuk mengakomodir aktivitas ekonomi dan pembangunan berkelanjutan. Namun
tentu saja, perekonomian pada zona penyangga tidak berarti diabaikan, yang perlu
dilakukan adalah upaya-upaya agar pemenuhan perekonomian pada zona
penyangga dapat meningkat tanpa mengganggu fungsi lindung pada area inti.
alam dan lingkungan hidup, serta (3) rasa aman dari perlakuan atau ancaman
tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial politik.
Badan Pusat Statistik (BPS) mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan
untuk memenuhi standar minimum kebutuhan dasar yang meliputi kebutuhan
makanan maupun non makanan. Pembahasan ini bertujuan untuk mengetahui
apakah tingkat perkembangan wilayah berkolerasi dengan tingkat kemiskinan.
Tingkat kemiskinan direpresentasikan dengan proporsi jumlah penduduk miskin
di setiap desa yang dikelompokkan menjadi tingkat kemiskinan rendah, sedang
dan tinggi. Dalam hal ini asumsinya adalah pada desa hirarki I memiliki tingkat
kemiskinan rendah, desa hirarki II memiliki tingkat kemiskinan sedang dan desa
hirarki III memiliki tingkat kemiskinan tinggi.
Berdasarkan data Pendataan Program Perlindungan Sosial Tahun 2011
(PPLS 2011) yang dikeluarkan oleh Tim Nasional Percepatan Penanggulangan
Kemiskinan (TNP2K) jumlah penduduk miskin yang ada di kawasan CBC
berjumlah 147 299 penduduk atau sekitar 12.06% dari jumlah penduduk (data
Podes 2011) yang ada di kawasan CBC yang tersebar di 145 desa dengan proporsi
yang berbeda-beda (Lampiran 6). Gambaran proporsi jumlah penduduk miskin di
setiap kabupaten sebagaimana pada Tabel 18.
Pada Tabel 18 dapat dilihat bahwa jumlah penduduk miskin yang paling
sedikit berada di Kabupaten Bogor, lalu di Kabupaten Cianjur dan yang terbanyak
di Kabupaten Sukabumi. Pada tingkatan kabupaten, antara tingkat perkembangan
wilayah dengan kemiskinan menunjukkan hubungan yang positif. Kabupaten
yang memiliki jumlah desa dengan perkembangan wilayah tinggi lebih banyak,
menunjukkan jumlah penduduk miskinnya lebih sedikit. Pada tingkatan desa
hubungan antara tingkat perkembangan wilayah dan tingkat kemiskinan
sebagaimana Tabel 19 dan Gambar 19.
10%
20%
26% 46%
64% 34%
100
%
parameter sosial ekonomi wilayah dan fisik lahan, selanjutnya disusun variasi
tipologi desa di CBC. Pembentukan tipologi desa sebagaimana dalam Gambar 21.
sampai landai dengan lokasi desa terpisah satu dengan lainnya. Secara spasial
sebaran tipologi desa di kawasan CBC sebagaimana pada Gambar 22.
permasalahan pada suatu wilayah desa diiringi dengan tetap menjaga agar
penggunaan lahan yang tidak sesuai pada wilayah lain tidak terus bertambah luas.
Tahapan selanjutnya adalah melakukan restorasi pada lahan-lahan yang
telah diselesaikan permasalahannya berupa penanaman pohon dengan jenis
endemik setempat. Pengelola area inti dapat melakukan peningkatan
pemberdayaan masyarakat melalui pelatihan dan peningkatan keterampilan
masyarakat dan pemberdayaan masyarakat. Tujuannya adalah untuk menciptakan
alternatif pilihan pekerjaan dan mengurangi ketergantungan masyarakat pada
pemanfaatan potensi area inti untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya.
Pada Tabel 23 dapat dilihat bahwa desa zona penyangga sebagian besar
merupakan desa dengan tipologi S1 yaitu desa-desa dengan tingkat perkembangan
wilayah rendah dengan tingkat kemiskinan sedang sampai tinggi, sedangkan desa-
desa pada area transisi didominasi oleh desa dengan tipologi S3 dan S2. Desa
tipologi S3 adalah desa dengan tingkat perkembangan sedang sampai tinggi
dengan tingkat kemiskinan sedang sampai rendah, sedangkan desa tipologi S2
adalah desa dengan tingkat perkembangan rendah dan tingkat kemiskinan rendah.
Tipologi desa di Kabupaten Bogor didominasi oleh tipologi S2 F2 (10 desa) dan
S3 F2 (9 desa), Kabupaten Cianjur didominasi tipologi S1 F3 (11 desa) dan S3 F1
(9 desa) dan Kabupaten Sukabumi didominasi tipologi S1 F1 (10 desa) dan S1 F3
(10 desa). Oleh karena itu berdasarkan sebaran tipologi desa di setiap Kabupaten,
desa-desa dengan tingkat perkembangan wilayah rendah dan tingkat kemiskinan
tinggi lebih banyak berada di Kabupaten Sukabumi sehingga diprioritaskan untuk
mendapatkan penanganan penyelesaian permasalahan terkait perkembangan
wilayah desa dan tingkat kemiskinan. Arahan kebijakan pengelolaan kawasan
CBC disetiap wilayah pengelolaan berdasarkan setiap permasalahan adalah
sebagai berikut:
muncul di kemudian hari. Koordinasi antar instansi yang terkait juga harus
dilakukan untuk menyamakan persepsi dan pembagian peran pengelolaan CBC di
setiap wilayah pengelolaan, penyamaan penggunaan nomenklatur penamaan
fungsi kawasan dan menyamakan batas kawasan yang masih ada perbedaan.
area transisi, yaitu desa dengan tipologi S1F1, S1F2 dan S1F3. Upaya-upaya
peningkatan kesejahteraan masyarakat juga diiringi dengan upaya-upaya
meningkatkan penyadartahuan lingkungan sehingga masyarakat semakin
memahami manfaat langsung dan tidak langsung dari terjaganya area inti
sehingga partisipasi masyarakat dalam turut serta menjaga dan mengelola area inti
secara bertahap akan meningkat.
WP Kabupaten
Perkembangan
Wilayah
- Tingkat - Desa dengan tingkat - Zona Meningkatkan tingkat perkembangan
Perkembangan perkembangan wilayah Penyangga: wilayah desa
wilayah desa rendah (hirarki III) S1F2, S2F2 - Penambahan infrastruktur fasilitas
yang rendah - Desa pada zona - Area Transisi: pelayanan masyarakat
penyangga tidak harus S1F1, S1F2, - Meningkatkan aksesibilitas wilayah
dipaksakan masuk pada S2F1, S2F2 dengan pembangunan atau perbaikan
kriteria hirarki I infrastruktur jalan
Tingkat
Kemiskinan
- Tingkat - Desa dengan tingkat - Zona Peningkatan kesejahteraan masyarakat
kemiskinan kemiskinan tinggi penyangga: - Peningkatan pengetahuan dan
tinggi pada S1F2, S1F3 keterampilan masyarakat untuk
beberapa desa - Area Transisi: menciptakan alternatif pilihan
S1F1, S1F2, pekerjaan
S1F3 - Pengembangan ekonomi lokal misal
dengan one village one product
73
Tabel 24. (Lanjutan)
Sasaran
Parameter/
Kriteria Penanganan Tipologi Program/ Kegiatan Prioritas
Permasalahan
Prioritas
- Penerapan sistem tumpangsari
(agroforestry) pada pertanian lahan
kering (zona penyangga)
- Penerapan sistem minapadi pada
pertanian lahan basah (area transisi)
- Pemberdayaan masyarakat
- Peningkatan hasil produksi pertanian
melalui intensifikasi lahan pertanian
Dokumen RTRW
- Penggunaan - Menyamakan - Koordinasi diantara BAPPEDA Provinsi
Nomenklatur penggunaan Jawa Barat, Kabupaten Bogor, Cianjur
penamaan nomenklatur penamaan dan Sukabumi untuk menyamakan
fungsi kawasan fungsi kawasan penggunaan nomenklatur fungsi kawasan
Tata Ruang
Wilayah
- Potensi - Desa yag berada pada - Zona Pengendalian pemanfaatan ruang
terjadinya topografi agak curam – Penyangga: - Pengendalian izin baru konversi
konversi lahan sangat curam S1F3, S2F3, menjadi lahan terbangun (permukiman,
pertanian yang - Desa dengan lahan S3F3 hotel, villa, dll)
tidak terkendali pertanian produktif - Pembatasan izin konversi pada lahan
- Area Transisi: pertanian produktif
S1F1, S2F1 - Pengendalian dan pengaturan
pembangunan lahan terbangun pada
daerah dengan kemiringan lereng
curam
- Pengaturan melalui tata ruang wilayah
dan pengawasannya
Perlindungan lahan pertanian produktif
- Pembatasan izin konversi pada lahan
pertanian produktif
- Penerapan kebijakan insentif dan
disinsentif
- Terganggunya - Desa dengan lahan - Zona Perlindungan fungsi wilayah resapan air
fungsi resapan terbangun yang luas, Penyangga: - Rekayasa teknologi misalnya dengan
air pada desa umumnya merupakan S3F1, S3F2, membuat sumur resapan dan lubang
dengan lahan desa dengan hirarki I S3F3 biopori di setiap pekarangan dan ruang
terbangun luas - Area Transisi: terbuka
S3F1, S3F2, - Rehabilitasi DAS melalui penanaman
S3F3 pohon di sempadan sungai, pekarangan
dan ruang terbuka
Simpulan
Saran
Cagar Biosfer Cibodas memiliki nilai strategis baik dari aspek politik,
ekonomi maupun lingkungan. Banyak pihak yang memiliki kepentingan akan
keberadaan Cagar Biosfer Cibodas. Pengelolaan yang tidak terarah dan tidak
terkoordinasi akan menyebabkan menurunnya fungsi-fungsi dan nilai strategis
yang dimiliki Cagar Biosfer Cibodas sehingga akan menimbulkan dampak bagi
kawasan CBC sendiri maupun wilayah disekitarnya. Pengelolaan Cagar Biosfer
Cibodas melibatkan banyak pihak terutama Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah selaku pemangku wilayah di kawasan CBC, koordinasi dan kerjasama
dalam menyusun perencanaan dan pengelolaan CBC merupakan hal yang harus
dilakukan. Berdasarkan kondisi desa-desa di kawasan CBC saat ini yang
didominasi oleh desa dengan tingkat perkembangan wilayah rendah maka hal ini
harus menjadi perhatian semua pihak, menegaskan kembali mengenai peran dari-
masing-masing pihak “Siapa berbuat Apa” adalah salah satu langkah awal dalam
memperbaiki kondisi desa di kawasan CBC.
Terdapatnya beberapa penggunaan lahan saat ini yang tidak sesuai dengan
alokasi rencana ruang dan berpotensi menimbulkan permasalahan, batas kawasan
konservasi yang belum sama dan penggunaan nomenklatur penamaan fungsi
kawasan maka disarankan Pemda Kabupaten Bogor, Cianjur dan Sukabumi untuk
meninjau kembali rencana pola ruang yang ada saat ini untuk mengantisipasi
timbulnya permasalahan dan mengendalikan perubahan-perubahan penggunaan
lahan dimasa mendatang.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini merupakan salah satu
pendekatan dalam menyusun arah kebijakan pengelolaan kawasan Cagar Biosfer
Cibodas berdasarkan kondisi aktual saat ini, disarankan pemangku wilayah di
CBC dapat melakukan penelitian-penelitian lanjutan dengan data dan informasi
lainnya untuk melengkapi dan mewujudkan pengelolaan kawasan Cagar Biosfer
Cibodas yang lebih baik lagi.
79
DAFTAR PUSTAKA
Aji GB, Joko S, Rusida Y, Amorisa W, Ali YA dan Temi IM. 2011. Strategi
pengurangan kemiskinan di desa-desa sekitar hutan: Pengembangan model
PHBM dan HKm. Laporan penelitian. Jakarta (ID): Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia.
Arsyad, S. 2006. Konservasi Tanah dan Air. Bogor (ID): IPB Press.
Astuti WA dan Musiyam M. 2009. Kemiskinan dan perkembangan wilayah di
Kabupaten Boyolali. Forum Geografi 23 (1): 71-85.
Barlowe R.1986. Land Resources Economic: The Economic of Real Estate Fourth
Edition. Englewood Cliffs, New Jersey (US): Prentice Hall.Inc.
Barus B dan Wiradisastra US. 2000. Sistem Informasi Geografi Sarana
Manajemen Sumberdaya. Bogor (ID): Laboratorium Penginderaan Jauh dan
Kartografi, Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Barus B. 2014. Alih fungsi lahan pertanian pangan: kebijakan dan perijinan.
Disampaikan dalam Round Table Discussion (RTD): Kajian Alih Fungsi
Lahan Pertanian, Direktorat Litbang, Deputi Bidang Pencegahan, KPK. 20
Agustus 2014.
[BBTNGGP] Balai Besar Gunung Gede Pangrango. International Tropical Timber
Organization Project. 2012. Developing Collaborative Management of
Cibodas Biosphere Reserve, West Java Indonesia: Integrated Management
Plan for Cibodas Biosphere Reserve Formulated. Cianjur (ID): Balai Besar
Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.
Beckman S. 2004. Mencari Keseimbangan Pengelolaan Interaksi antara
Masyarakat dan Kawasan Taman Nasional Alas Purwo. Malang (ID):
FISIP Universitas Muhammadiyah Malang.
Bismark M dan Sawitri R. 2007. Pengembangan Dan Pengelolaan Daerah
Penyangga Daerah Konservasi. Prosiding ekspose hasil-hasil penelitian
konservasi dan rehabulitasi sumberdaya hutan. Bogor (ID): Pusat Litbang
Hutan dan Konservasi Alam.
Campbell, JB. 1996. Introduction to Remote Sensing. London (UK): Taylor &
Francis.
Colby JD and Keating PL. 1998. Land cover classification using Landsat TM
imagery in the tropical highlands: The Influence of anisotropic reflectance.
International Journal of Remote Sensing, 19(8):1479-1500.
Danoedoro P .2012. Pengantar Penginderaan Jauh Digital. Yogyakarta (ID):
Penerbit Andi.
Dardak H. 2006. Perencanaan tata ruang bervisi lingkungan sebagai upaya
mewujudkan ruang yang nyaman, produktif dan berkelanjutan. Makalah
Tidak dipublikasikan.
Departemen Kehutanan. 1990. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5
Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan
Ekosistemnya. Jakarta (ID): Departemen Kehutanan.
Departemen Kehutanan. 1999. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan. Jakarta (ID): Departemen Kehutanan.
80
LAMPIRAN
Fakta Produser
B H LT Pk R TPLB TPLK TA Total Accuracy
Klasifikasi (%)
Belukar/Semak (B) 8 1 1 10 80
Hutan (H) 10 10 100
Lahan Terbangun 10 10 100
(LT)
Perkebunan (Pk) 9 1 10 90
Rumput/Tanah 1 7 2 10 70
Kosong (R)
TP Lahan Basah 1 9 10 90
(TPLB)
TP Lahan Kering 10 10 100
(TPLK)
Tubuh Air (TA) 5 5 100
Total 9 10 10 9 10 9 13 5 75
User Accuracy (%) 88.89 100 100 100 70 100 76.92 100
Variabel Terkoreksi
1 Jumlah Penduduk
2 Jarak Puskesmas terdekat
3 Jarak Tempat Praktek Dokter
4 Jarak Apotek terdekat
5 Jarak ke kelompok pertokoan terdekat
6 Jarak ke pasar terdekat
7 Jarak Bank Umum terdekat
8 Jarak Bank Perkreditan Rakyat terdekat
9 Jarak ke Sarana Kemanan Lingkungan (pos polisi)
10 Jumlah Akademi/ Perguruan Tinggi
11 Jumlah Madrasah Diniyah
12 Jumlah Lembaga Pendidikan Keterampilan
13 Jumlah Puskesmas
14 Jumlah Tempat Praktek Dokter
15 Jumlah Tempat Praktek Bidan
16 Jumlah Apotek
17 Jumlah Masjid
18 Jumlah Surau/ Langgar
19 Jumlah Lembaga Non Profit
20 Jumlah Minimarket
21 Jumlah Toko/ warung kelontong
22 Jumlah Restoran/ rumah makan
23 Jumlah Hotel
24 Jumlah Bank Umum
25 Jumlah Bank Perkreditan Rakyat
85
Jumlah Hirarki
Kabupaten Kecamatan Desa IPD
Fasilitas Desa
1 BOGOR 1 CARINGIN 1 Caringin 53.61 23 Hirarki 1
2 Muara Jaya 27.24 18 Hirarki 1
3 Ciderum 25.65 18 Hirarki 2
4 Pasir Muncang 19.39 18 Hirarki 2
5 Cinagara 16.50 16 Hirarki 2
6 Pasir Buncir 11.48 14 Hirarki 3
7 Lemah Duhur 10.62 15 Hirarki 3
8 Pancawati 10.28 14 Hirarki 3
9 Cimande 10.11 14 Hirarki 3
10 Cimande Hilir 9.60 15 Hirarki 3
11 Tangkil 6.39 14 Hirarki 3
2 CIAWI 1 Ciawi 50.72 22 Hirarki 1
2 Bendungan 33.65 21 Hirarki 1
3 Banjar Sari 21.00 17 Hirarki 2
4 Citapen 15.34 16 Hirarki 3
5 Banjar Waru 14.17 16 Hirarki 3
6 Banjar Wangi 10.04 15 Hirarki 3
7 Teluk Pinang 9.67 16 Hirarki 3
8 Jambu Luwuk 9.55 14 Hirarki 3
9 Bojong Murni 8.91 14 Hirarki 3
10 Cibedug 7.03 14 Hirarki 3
11 Cileungsi 5.95 13 Hirarki 3
3 CIGOMBONG 1 Cigombong 66.95 22 Hirarki 1
2 Wates Jaya 21.40 17 Hirarki 2
3 Srogol 19.03 16 Hirarki 2
4 Ciburuy 13.71 18 Hirarki 3
4 CISARUA 1 Cisarua 61.51 23 Hirarki 1
2 Cibeureum 33.52 21 Hirarki 1
3 Tugu Utara 31.46 20 Hirarki 1
4 Citeko 29.03 17 Hirarki 1
5 Tugu Selatan 9.99 16 Hirarki 3
6 Kopo 8.98 16 Hirarki 3
5 MEGAMENDUNG 1 Sukamanah 21.96 18 Hirarki 2
2 Gadog 15.67 16 Hirarki 3
3 Sukaresmi 12.76 15 Hirarki 3
4 Sukamahi 10.82 13 Hirarki 3
5 Sukamaju 7.74 15 Hirarki 3
6 Sukakarya 5.70 12 Hirarki 3
7 Kuta 4.82 13 Hirarki 3
8 Sukagalih 3.70 13 Hirarki 3
6 SUKAMAKMUR 1 Sukawangi 7.90 4 Hirarki 3
2 CIANJUR 1 CIANJUR 1 Sawah Gede 31.66 21 Hirarki 1
2 Limbangan Sari 23.18 17 Hirarki 2
3 Mekarsari 21.97 19 Hirarki 2
4 Nagrak 17.47 16 Hirarki 2
5 Sukamaju 13.83 15 Hirarki 3
2 CIPANAS 1 Cipanas 45.33 24 Hirarki 1
2 Sindanglaya 30.31 21 Hirarki 1
3 Cimacan 21.94 21 Hirarki 2
4 Ciloto 17.36 16 Hirarki 2
5 Palasari 16.36 19 Hirarki 2
6 Sindangjaya 14.06 17 Hirarki 3
86
Lampiran 4. (Lanjutan)
Jumlah Hirarki
Kabupaten Kecamatan Desa IPD
Fasilitas Desa
7 Batulawang 5.59 14 Hirarki 3
3 CUGENANG 1 Cijedil 24.51 16 Hirarki 2
2 Mangunkerta 15.59 16 Hirarki 3
3 Benjot 13.04 14 Hirarki 3
4 Galudra 12.63 13 Hirarki 3
5 Sukajaya 12.24 13 Hirarki 3
6 Nyalindung 10.55 14 Hirarki 3
7 Sarampad 9.68 14 Hirarki 3
8 Cirumput 9.22 12 Hirarki 3
9 Sukamulya 8.89 13 Hirarki 3
10 Talaga 8.79 13 Hirarki 3
11 Gasol 8.55 12 Hirarki 3
12 Padaluyu 8.07 12 Hirarki 3
13 Cibeureum 7.33 14 Hirarki 3
4 GEKBRONG 1 Gekbrong 23.97 16 Hirarki 2
2 Songgom 9.03 13 Hirarki 3
3 Cikahuripan 5.36 13 Hirarki 3
4 Kebonpeuteuy 4.34 13 Hirarki 3
5 PACET 1 Cipendawa 36.63 21 Hirarki 1
2 Gadog 35.70 19 Hirarki 1
3 Ciherang 21.26 17 Hirarki 2
4 Sukanagalih 16.06 18 Hirarki 2
5 Cibodas 11.29 13 Hirarki 3
6 Ciputri 6.98 14 Hirarki 3
7 Sukatani 6.75 13 Hirarki 3
6 SUKARESMI 1 Cikanyere 23.04 17 Hirarki 2
7 WARUNGKONDANG 1 Jambudipa 37.51 19 Hirarki 1
2 Ciwalen 12.47 15 Hirarki 3
3 Sukawangi 9.34 13 Hirarki 3
4 Tegallega 8.70 13 Hirarki 3
5 Mekarwangi 8.42 12 Hirarki 3
6 Bunikasih 8.39 13 Hirarki 3
7 Bunisari 4.92 11 Hirarki 3
3 SUKABUMI 1 BOJONG GENTENG 1 Bojong Genteng 11.53 15 Hirarki 3
2 CARINGIN 1 Caringin Kulon 19.24 15 Hirarki 2
2 Sukamulya 15.38 13 Hirarki 3
3 Cikembang 14.80 14 Hirarki 3
4 Talaga 14.22 15 Hirarki 3
5 Seuseupan 13.39 13 Hirarki 3
6 Cijengkol 10.69 14 Hirarki 3
7 Caringin Wetan 9.12 12 Hirarki 3
8 Mekarjaya 8.85 13 Hirarki 3
3 CIAMBAR 1 Ciambar 22.38 15 Hirarki 2
2 Ginanjar 16.31 15 Hirarki 2
3 Munjul 11.38 12 Hirarki 3
4 Wangunjaya 8.64 13 Hirarki 3
4 CIBADAK 1 Ciheulang Tonggoh 23.99 16 Hirarki 2
5 CICURUG 1 Tenjoayu 21.98 16 Hirarki 2
2 Nyangkowek 14.27 15 Hirarki 3
3 Purwasari 10.29 15 Hirarki 3
4 Benda 9.29 16 Hirarki 3
5 Nanggerang 6.34 13 Hirarki 3
6 Kutajaya 4.80 15 Hirarki 3
87
Lampiran 4. (Lanjutan)
Jumlah Hirarki
Kabupaten Kecamatan Desa IPD
Fasilitas Desa
6 CISAAT 1 Gunungjaya 17.97 17 Hirarki 2
2 Sukaresmi 15.25 17 Hirarki 3
3 Selajambe 15.25 16 Hirarki 3
4 Sukasari 10.12 15 Hirarki 3
5 Kutasirna 8.96 14 Hirarki 3
7 KADUDAMPIT 1 Kadudampit 21.32 16 Hirarki 2
2 Gede Pangrango 19.70 16 Hirarki 2
3 Muaradua 13.02 14 Hirarki 3
4 Cikahuripan 12.93 14 Hirarki 3
5 Sukamanis 10.58 14 Hirarki 3
6 Sukamaju 9.23 13 Hirarki 3
7 Undrus Binangun 8.93 14 Hirarki 3
8 Cipetir 8.60 14 Hirarki 3
9 Citamiang 6.31 15 Hirarki 3
8 NAGRAK 1 Nagrak Selatan 26.14 17 Hirarki 2
2 Nagrak Utara 19.45 18 Hirarki 2
3 Girijaya 14.40 15 Hirarki 3
4 Cisarua 13.30 14 Hirarki 3
5 Babakan Panjang 11.45 12 Hirarki 3
6 Cihanyawar 11.23 13 Hirarki 3
7 Pawenang 11.01 14 Hirarki 3
8 Kalaparea 10.42 13 Hirarki 3
9 Darmareja 9.95 13 Hirarki 3
10 Balekambang 8.23 14 Hirarki 3
9 PARUNG KUDA 1 Bojong Kokosan 29.46 19 Hirarki 1
2 Parungkuda 29.12 18 Hirarki 1
3 Kompa 10.85 15 Hirarki 3
10 SUKABUMI 1 Warnasari 31.11 20 Hirarki 1
2 Karawang 16.38 17 Hirarki 2
3 Sudajaya Girang 11.25 14 Hirarki 3
4 Parungseah 9.60 16 Hirarki 3
5 Sukajaya 8.60 14 Hirarki 3
11 SUKALARANG 1 Sukalarang 19.97 17 Hirarki 2
2 Sukamaju 8.13 14 Hirarki 3
12 SUKARAJA 1 Limbangan 17.77 16 Hirarki 2
2 Margaluyu 13.55 15 Hirarki 3
3 Selaawi 13.35 14 Hirarki 3
4 Langensari 8.67 14 Hirarki 3
5 Sukamekar 7.75 13 Hirarki 3
6 Cisarua 7.13 13 Hirarki 3
88
RIWAYAT HIDUP