You are on page 1of 3

Tax Avoidance Vs Tax Evasion

CITA | 12 April 2016


Beberapa hari terakhir kita dihebohkan dengan munculnya dokumen “Panama Papers”.
Dokumen ini menyajikan informasi tentang berbagai pemimpin negara, pejabat dan petinggi
politik, pebisnis, olahragawan, hingga profesional yang menggunakan jasa firma hukum
Mossack Fonseca di Panama untuk berbagai tujuan, baik bisnis, penyamaran kepemilikan,
maupun penghindaran pajak. Untuk memahami apa dan bagaimana “Panama Papers” kami
telah mengulas tentang “tax haven”.
Bagaimana sekilas sistem perpajakan Indonesia?
Perpajakan di Indonesia dibangun di atas prinsip kegotongroyongan. Sejak 1984 Indonesia
menganut self-assessment system yang memberi kepercayaan kepada wajib pajak untuk
menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri pajak terutang. Peran
otoritas pajak adalah melakukan fungsi pembinaan, penelitian, pengawasan, dan penerapan
sanksi administrasi. Keberhasilan self-assessment system sangat bergantung pada kesadaran
dan peran serta masyarakat (voluntary compliance), maka edukasi dan komunikasi perlu
terus-menerus dilakukan. Di samping itu, kepercayaan pada pemerintah dan otoritas
perpajakan perlu terus dipupuk melalui pembentukan badan penerimaan negara yang
profesional, kredibel, dan akuntabel serta redistribusi pendapatan yang merata dan
berkeadilan (Kirchler:2007; Belkaoui:2009).
Mengapa terdapat praktik tax avoidance (penghindaran pajak) dan tax evasion (penggelapan
pajak)?
Ada adagium kuno “tak seorang pun senang membayar pajak”, namun semua sepakat bahwa
pajak sangat penting dan bermanfaat bagi kepentingan publik. Apa yang disebut voluntary
(sukarela) dalam perpajakan selalu berarti quasi-voluntary atau kesukarelaan yang timbul
karena adanya paksaan oleh undang-undang dan harapan akan manfaat dari pembayaran pajak
(Brautigam:2008). Mengingat sifatnya yang naluriah, maka memahami konsep penghindaran
pajak dan penggelapan pajak merupakan hal yang sangat penting. Penghindaran pajak hanya
mungkin terjadi apabila terdapat ruang yang membuka penafsiran berbeda dalam undang-
undang.
Apa perbedaan antara penghindaran pajak dan penggelapan pajak?
Tidak mudah membedakan kedua hal yang secara teknis sangat terkait erat. Kedua hal ini
distinct but inseparable (dapat dibedakan meski sulit terpisahkan), terutama karena
dipengaruhi kompleksitas hukum di negara yang bersangkutan (Palan dkk:2008). Pada
prinsipnya, tax planning (perencanaan pajak) bukan merupakan sesuatu yang keliru atau
terlarang. Namun sebuah skema perencanaan pajak harus diuji apakah skema tersebut sesuai
atau melanggar Undang-undang. Yang membedakan antara tax avoidance dan tax evasion
adalah legalitasnya, yaitu tax avoidance bersifat legal, sedangkan tax evasion bersifat ilegal.
Dalam praktik, pengelompokan antara keduanya tergantung pada interpretasi otoritas pajak di
masing-masing negara. Dapat disimpulkan bahwa yang membedakan suatu skema
perencanaan pajak termasuk kategori tax avoidance atau tax evasion adalah legalitasnya,
sedangkan dari sisi etis, kedua praktik ini sebenarnya bertentangan dengan maksud dari
undang-undang.
Apakah yang dimaksud dengan Tax Avoidance?
Tax Avoidance (penghindaran pajak) berciri fraus legis yaitu kawasan grey area yang
posisinya berada di antara tax compliance dan tax evasion. Beberapa pihak mencoba
mendefinisikan tax avoidance. Justice Reddy (dalam kasus McDowell & Co Versus CTO di
US) merumuskan tax avoidance sebagai seni menghindari pajak tanpa melanggar hukum.
Black’s Law Dictionary menjelaskan, tax avoidance adalah upaya meminimalkan beban pajak
dengan memanfaatkan peluang penghindaran pajak (loopholes) dengan tidak melanggar
hukum pajak.
Lebih lanjut, OECD mendeskripsikan bahwa tax avoidance adalah usaha wajib pajak
mengurangi pajak terutang, meskipun upaya ini bisa jadi tidak melanggar hukum (the letter of
the law), namun sebenarnya bertentangan dengan tujuan dibuatnya peraturan perundang-
undangan perpajakan (the spirit of the law). Ronen Palan (2008) menyebutkan suatu transaksi
diindikasikan sebagai tax avoidance apabila melakukan salah satu tindakan berikut : (a) Wajib
Pajak (WP) berusaha untuk membayar pajak lebih sedikit dari yang seharusnya terutang
dengan memanfaatkan kewajaran interpretasi hukum pajak. (b) WP berusaha agar pajak
dikenakan atas keuntungan yang di declare dan bukan atas keuntungan yang sebenarnya
diperoleh; (c) WP mengusahakan penundaan pembayaran pajak.
Lalu, apakah yang dimaksud dengan Tax Evasion?
Tax Evasion (Tax Fraud) atau penggelapan pajak adalah tindakan yang dilakukan oleh wajib
pajak untuk mengurangi jumlah pajak terutang atau sama sekali tidak membayarkan pajaknya
melalui cara-cara ilegal. Rohatgi (2007) menyatakan bahwa tax evasion adalah niat untuk
menghindari pembayaran pajak terutang, dengan cara menyembunyikan data dan fakta secara
sengaja dari otoritas pajak, dan ini merupakan tindakan ilegal. Selain itu, Russo (2007)
mendefinisikan tax evasion sebagai kondisi di mana wajib pajak menghindar untuk membayar
pajak terutang tanpa menghindar dari kewajiban pajak sehingga hal ini melanggar ketentuan
perpajakan. Contoh umum penggelapan pajak misalnya wajib pajak tidak melaporkan
sebagian atau seluruh penghasilannya dalam SPT atau membebankan biaya-biaya yang tidak
seharusnya dijadikan pengurang penghasilan untuk tujuan meminimalkan beban pajak.
Tindakan illegal ini menyebabkan kerugian negara. Sebagian besar negara mengenakan sanksi
administrasi dan sanksi pidana terhadap wajib pajak yang melakukan penggelapan pajak.
Apakah Indonesia sudah memiliki ketentuan tentang penghindaran pajak?
Untuk menangkal praktik penghindaran pajak, negara-negara membuat aturan dan kebijakan
anti penghindaran pajak. Meski belum sempurna, Indonesia telah memiliki beberapa
ketentuan anti penghindaran pajak. Pertama. Ketentuan anti thin capitalization yaitu upaya
wajib pajak mengurangi beban pajak dengan cara memperbesar pinjaman – bukan justru
menambah modal – agar dapat membebankan biaya bunga dan mengecilkan laba. Hal ini
diatur dalam Pasal 18 ayat (1) UU PPh dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor
169/PMK.03/2015 yang mengatur Penentuan Besarnya Perbandingan antara Utang dan Modal
Perusahaan untuk Keperluan Penghitungan Pajak Penghasilan (Debt to Equity Ratio). Kedua.
Ketentuan mengenai Controlled Foreign Corporation (CFC) Rules di Pasal 18 ayat (2) UU
PPh, yang mengatur kewenangan Menteri Keuangan menetapkan saat diperolehnya dividen
oleh Wajib Pajak dalam negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri paling
rendah 50 persen, selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek. Ketiga.
Ketentuan tentang transfer pricing dalam Pasal 18 ayat (3) UU PPh yang mengatur
kewenangan Direktur Jenderal Pajak untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan
pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan
Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa. Keempat. PER-
43/PJ/2010 jo PER-32/PJ/2011 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran Dan Kelaziman Usaha
Dalam Transaksi Antara Wajib Pajak Dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa.
Kelima. Ketentuan anti-treaty shopping, yang diatur dalam PER-62/PJ/2009 jo PER-
25/PJ/2010 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.

Oleh Yustinus Prastowo


Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA)

You might also like