You are on page 1of 6

 Darus Salaf : Kajian Islam Berdasarkan Al-Qur'an dan Assunnah

 Fiqih
 Amalan-Amalan Pada Bulan Sya’ban
Amalan-Amalan Pada Bulan Sya’ban

 admin
 May 20, 2015
 No Comments

Oleh: Abu ‘Abdirrahman Muhammad Rifqi

‘Aisyah berkata:

‫صو ُم َحتهى نَقُو َل ََل يُ ْف ِط ُر َويُ ْف ِط ُر َحتهى‬ ُ َ‫سله َم ي‬


َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ‫صلهى ه‬
َ ُ‫َّللا‬ ‫سو ُل ه‬
َ ِ‫َّللا‬ ُ ‫َكانَ َر‬
‫ش ْه ٍر‬
َ ‫ام‬ ِ ‫سله َم ا ْست َ ْك َم َل‬
َ َ ‫صي‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ‫صلهى ه‬
َ ُ‫َّللا‬ ‫سو َل ه‬
َ ِ‫َّللا‬ ُ ‫صو ُم فَ َما َرأ َ ْيتُ َر‬ ُ َ‫نَقُو َل ََل ي‬
ِ ‫ضانَ َو َما َرأ َ ْيتُهُ أ َ ْكث َ َر‬
َ ‫صيَا ًما ِم ْنهُ فِي‬
َ‫ش ْعبَان‬ َ ‫ِإ هَل َر َم‬
“Rasulullah biasa berpuasa sampai kami mengatakan beliau tidak berbuka dan beliau berbuka sampai kami katakan
beliau tidak berpuasa. Aku sama sekali tidak pernah melihat Rasulullah berpuasa secara sempurna dalam sebulan
kecuali pada bulan Ramadhan dan aku juga tidak pernah melihat beliau paling banyak berpuasa (dalam sebulan)
dari berpuasa di bulan Sya’ban.” (HR. al-Bukhari no. 1833 dan Muslim no. 1956)

Para pembaca yang berbahagia.


Bulan Sya’ban merupakan bulan kedelapan dalam penanggalan hijriyah. Kalau ada yang bertanya mengapa bulan ini
dinamakan dengan “Sya’ban”?
Al-Imam Sirajuddin Ibnul Mulaqqin asy-Syafi’i dalam kitab “at-Taudhih” juz 13 halaman 445 menukilkan ucapan Ibnu
Duraid bahwa bulan ini dinamakan dengan “Sya’ban” (berpencar) karena berpencarnya orang-orang Arab pagan
(para penyembah berhala) dahulu, yaitu mereka berpencar dan berpisah pada bulan ini untuk mencari air.
Dan ada yang mengatakan karena pada bulan tersebut orang-orang Arab berpencar dalam penyerangan dan
penyerbuan. Ada pula yang mengatakan “Sya’ban” juga berarti nampak atau lahir karena bulan ini nampak atau lahir
diantara bulan Ramadhan dan Rajab.
Amalan Bulan Sya’ban Yang Disyariatkan
Adapun amalan yang disyariatkan pada bulan Sya’ban adalah banyak melakukan puasa pada bulan tersebut
sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah dalam hadits diatas. Dan masih banyak hadits lain yang menerangkan
tentang amalan puasa Sya’ban.
Namun yang perlu kita ingat dalam hal ini adalah tidak boleh mengkhususkan untuk berpuasa pada hari-hari tertentu
di bulan Sya’ban apakah di awal bulan, pertengahan bulan (Nishfu Sya’ban) atau akhir bulan, dikarenakan Rasulullah
sendiri tidak pernah mengkhususkannya.
Mengapa Rasulullah tidak menyempurnakan puasa satu bulan penuh pada bulan Sya’ban?
Al-Imam Sirajuddin Ibnul Mulaqqin asy-Syafi’i menjawab, “Yaitu agar jangan sampai orang menyangka bahwasanya
puasa (pada bulan) tersebut hukumnya adalah wajib.” (at-Taudhih, juz 13, hlm. 443)

Hikmah Puasa Sya’ban


Para ulama telah berbeda pendapat di dalam menguraikan hikmah dari banyaknya puasa Rasulullah pada bulan
Sya’ban, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Ada yang mengatakan karena Rasulullah sering melakukan safar (bepergian) atau keperluan lainnya sehingga
terhalang dari melakukan puasa sunnah 3 hari tiap bulannya, maka beliau menggabungkan jumlah puasa sunnah 3
hari tiap bulan yang ditinggalkan dan ditunaikannya pada bulan Sya’ban.
2. Karena dalam rangka mengagungkan bulan Ramadhan.
3. Istri-istri beliau mengqadha (membayar) puasa yang ditinggalkan pada bulan Ramadhan sebelumnya pada bulan
Sya’ban maka beliau pun ikut menemani puasa bersama mereka.
4. Karena bulan Sya’ban adalah bulan yang dilalaikan oleh manusia. Padahal dalam bulan tersebut terdapat suatu
keutamaan yaitu amalan-amalan yang dilakukan pada bulan tersebut akan diangkat kepada Allah. Dan Rasulullah
ingin agar amalannya diangkat dalam keadaan sedang berpuasa.
Al-Imam asy-Syaukani menyebutkan dalam kitab “Nailul Authar” juz 4 halaman 331 bahwa hikmah yang lebih tepat
dalam hal ini adalah karena bulan Sya’ban adalah bulan yang dilalaikan oleh manusia sebagaimana disebutkan
dalam hadits Usamah ketika bertanya kepada Rasulullah. Sahabat Usamah bin Zaid pernah bertanya kepada
Rasulullah:

‫ش ْعبَان قَا َل ذَ ِل َك‬


َ ‫صو ُم ِم ْن‬ ُ َ ‫ور َما ت‬ ُّ ‫ش ْه ًرا ِمنَ ال‬
ِ ‫ش ُه‬ ُ َ ‫سو َل هللاِ ِل َم أ َ َر َك ت‬
َ ‫صو ُم‬ ُ ‫يَا َر‬
َ ِ‫ش ْه ٌر تُرفَ ُع فِي ِه األ َ ْع َما ُل إ‬
‫لى‬ َ ‫ضانَ َو ُه َو‬ ٍ ‫ع ْنهُ بَيْنَ َر َج‬
َ ‫ب َو َر َم‬ َ ‫اس‬ ُ ‫ش ْه ُر يَ ْغفُ ُل النه‬
َ
َ ‫ع َم ِلي َوأَنَا‬
‫صائِ ٌم‬ َ ‫ب العَالميَنَ فَأ ُ ِحبُّ أ َ ْن يُرفَ َع‬ِ ‫َر‬
“Wahai Rasulullah, aku melihat engkau lebih banyak melakukan puasa (sunnah) pada bulan Sya’ban dibandingkan
bulan-bulan lainnya. Rasulullah bersabda: ‘Itulah bulan yang manusia lalai darinya yaitu bulan antara bulan Rajab
dengan Ramadhan, dan itu adalah bulan dimana di dalamnya amalan-amalan diangkat kepada Rabbul ‘Alamin. Dan
aku ingin amalanku diangkat dalam keadaan aku sedang berpuasa.” (HR. an-Nasa’i no. 2357, hadits ini hasan bisa
dilihat dalam “Shahih wa Dha’if Sunan an-Nasa’i” juz 6, hal. 1)
Al-Imam Sirajuddin Ibnul Mulaqqin asy-Syafi’i berkata, “Dan Rasulullah mengkhususkan bulan Sya’ban dengan
banyak berpuasa dikarenakan pada bulan tersebut amalan-amalan hamba diangkat kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala.” (at-Taudhih, juz 13, hlm. 442)

Amalan Bulan Sya’ban Yang Tidak Disyariatkan


Diantara kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh sebagian manusia pada bulan Sya’ban dan dianggap sebagai
suatu bentuk ibadah namun tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah adalah mengkhususkan malam Nishfu Sya’ban
(tanggal 15 Sya’ban) dengan mengadakan perkumpulan, meramaikan malam tersebut dan melakukan salat
berjama’ah pada malam tersebut serta berpuasa pada keesokan harinya. Dan para ulama telah mengingkari
kesalahan-kesalahan ini di dalam kitab-kitab mereka, diantaranya adalah para ulama dari kalangan madzhab
Syafi’iyyah:
Ibnu Hajar al-Haitami asy-Syafi’i menukilkan ucapan al-Imam asy-Syafi’i di dalam kitabnya “al-Fatawa al-Kubra al-
Fiqhiyah” juz 1 halaman 184 sebagai berikut:
“… dan seluruh apa yang diriwayatkan dari hadits-hadits yang masyhur (di masyarakat) tentang keutamaan-
keutamaan malam ini (malam Jum’at pertama dari bulan Rajab) dan malam Nishfu Sya’ban adalah batil (tidak
shahih), mengandung kedustaan dan tidak ada asalnya …”
Al-Imam an-Nawawi asy-Syafi’i menjelaskan:
“Salat yang dikenal dengan salat Raghaib yaitu sebanyak 12 rakaat yang dilakukan antara waktu maghrib dan isya’
di malam Jum’at pertama pada bulan Rajab dan salat yang dilakukan pada malam Nishfu Sya’ban sebanyak 100
rakaat maka kedua salat ini adalah tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah dan mengandung kemungkaran serta
kejelekan …”
Kemudian beliau melanjutkan ucapannya masih pada halaman yang sama:
“… dan janganlah engkau tertipu dengan adanya beberapa hadits yang menyebutkan tentang (disyariatkannya)
kedua salat itu, karena sesungguhnya itu semuanya adalah batil (tidak shahih) dan jangan pula tertipu dengan
sebagian orang yang tersamarkan atasnya hukum kedua salat tersebut dari kalangan para ulama yang dia membuat
tulisan tentang dibolehkannya kedua salat tersebut, maka sesungguhnya yang demikian adalah keliru. Dan sungguh
asy-Syaikh al-Imam Abu Muhammad ‘Abdurrahman bin Isma’il al-Maqdisi telah menulis suatu kitab yang sangat
berharga tentang tidak disyariatkannya 2 salat tersebut, beliau membahasnya dengan baik dan bagus di dalam kitab
tersebut.” (Al-Majmu’ Syarhul Muhadzab, juz 4 hlm. 56)
Ibnu Hajar al-Haitami asy-Syafi’i juga menegaskan:
“Termasuk dari amalan yang tidak diajarkan oleh Rasulullah dan merupakan kejelekan adalah salat Raghaib pada
malam Jum’at pertama di bulan Rajab dan salat Nishfu Sya’ban. Dan hadits yang menerangkan tentang kedua
amalan tersebut adalah tidak shahih. An-Nawawi dan ulama selain beliau juga telah mengingkari dengan keras
kedua amalan tersebut.” (Al-Manhaj al-Qowim juz 1 hlm. 288)

Hadits-Hadits Lemah Seputar Sya’ban

‫ ه َْل‬، ُ‫ ه َْل ِم ْن ُم ْست َ ْغ ِف ٍر فَأ َ ْغ ِف َر لَه‬: ‫ش ْعبَانَ ؛ نَادَى ُمنَا ٍد‬ َ ‫ف ِم ْن‬ ِ ‫ص‬ْ ِ‫ِإذَا َكانَ لَ ْيلَةُ الن‬
‫ أ َ ْو‬، ‫ إِ هَل زَ انِيَةٌ ِبفَ ْر ِج َها‬، ‫ي‬ َ ‫ْط‬ ِ ‫ش ْيئًا إِ هَل أُع‬ ِ ‫سائِ ٍل فَأُع‬
َ ٌ‫ْطيَهُ ؟ فَ ََل يَ ْسأ َ ُل أ َ َحد‬ َ ‫ِم ْن‬
‫ُم ْش ِر ٌك‬
“Apabila telah tiba malam pertengahan pada bulan Sya’ban (Nishfu Sya’ban) maka ada suara yang menyerukan
(Allah): ‘Barangsiapa yang meminta ampun (kepada-Ku) maka akan Aku ampuni dia, Barangsiapa yang meminta
(kepada-Ku) maka akan Aku penuhi permintaannya’, maka tidaklah seorang meminta sesuatu (kepada Allah)
melainkan akan dipenuhi permintaannya. Kecuali seorang wanita pezina atau orang yang menyekutukan Allah.”
Hadits ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam kitab “Syuabul Iman” no. 3836 dari jalan Jami’ bin Shabih ar-Ramli dari
Markhum bin ‘Abdul ‘Aziz dari Dawud bin Abdurrahman dari Hisyam bin Hassan dari al-Hasan dari sahabat ‘Utsman
bin Abil ‘Ash.
Hadits ini adalah lemah karena di dalam sanadnya terdapat 2 cacat. Yang pertama adalah ‘an’anah-nya seorang rawi
yang bernama al-Hasan (al-Bashri) dan dia dikenal sebagai seorang rawi mudallis. Yang kedua adalah kelemahan
seorang rawi yang bernama Jami’ bin Shabih ar-Ramli. (Silsilah al-Ahadits adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah, juz 14, hlm.
1099)

َ ‫ف ِم ْن‬
َ‫ش ْعبَان‬ ِ ‫ص‬ ٍ ‫ أ َ هو ُل لَ ْيلَ ٍة ِم ْن َر َج‬: ‫س لَيَا ٍل َلَ ت ُ َردُّ ِف ْي ِه هن الدهع َْوة‬
ْ ِ‫ب َولَ ْيلَةُ الن‬ ُ ‫خ َْم‬
ْ ‫َولَ ْيلَةُ ال ُج ْمعَ ِة َولَ ْيلَةُ ال ِف‬
‫ط ِر َولَ ْيلَ ِة النه ْح ِر‬
“Ada 5 malam yang tidak akan ditolak doa orang yang berdoa di dalamnya: awal malam dari bulan Rajab, malam
Nishfu Sya’ban, malam Jum’at, malam ‘Idul Fithri dan malam ‘Idul Adha.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asakir dalam kitab “Tarikh Dimasyq” no. 1452 dari jalan Abu Sa’id Bandar bin
‘Umar dengan sanadnya dari Ibrahim bin Abi Yahya dari Abu Qa’nab dari sahabat Abu Umamah.
Hadits ini adalah palsu karena di dalamnya sanadnya terdapat 2 orang rawi yang dikenal sebagai pendusta yaitu Abu
Sa’id Bandar bin Umar dan Ibrahim bin Abi Yahya.
Al-Imam Sirajuddin Ibnu Mulaqqin asy-Syafi’i mengatakan, “Tidak ada hadits yang shahih yang menerangkan tentang
masalah (pengkhususan) salat pada malam Nishfu Sya’ban.” (at-Taudhih, juz 13, hlm. 445)
Al-Hafizh Zainuddin Abul Fadhl al-‘Iraqi asy-Syafi’i mengatakan, “Hadits tentang pengkhususan salat pada malam
Nishfu Sya’ban adalah palsu atas nama Rasulullah dan kedustaan atas nama beliau.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, juz
1, hlm. 190)
Kesimpulan: Para ulama ahli hadits telah meneliti bahwa semua hadits yang menyebutkan tentang keutamaan
meramaikan malam Nishfu Sya’ban dengan salat atau yang lainnya dan berpuasa pada siang harinya tidak ada satu
pun yang shahih yang dapat dijadikan pegangan untuk beramal.
Sumber : nurussunnah-tegal.net

(11008) views
http://www.darussalaf.or.id/fiqih/amalan-amalan-pada-bulan-syaban/

http://www.darussalaf.or.id/fiqih/hukum-perayaan-malam-nisyfu-syaban/

Hukum Perayaan Malam Nisyfu Sya’ban

Sesungguhnya Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah berfirman (yang artinya) :


“Pada hari ini telah kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan nikmat-Ku dan telah Kuridhai Islam
sebagai agama bagimu “.
(QS. Al Maidah : 3).
Dan Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam pernah pernah bersabda (yang artinya):
“Barang siapa mengada-adakan satu perkara (dalam agama) yang sebelumnya belum pernah ada, maka ia tertolak “.
(HR. Bukhari Muslim)
dalam riwayat Muslim (yang artinya):
“Barang siapa mengerjakan perbuatan yang tidak kami perintahkan (dalam agama) maka ia tertolak”.
Masih banyak lagi hadits-hadits yang senada dengan hadits ini, yang semuanya menunjukan dengan jelas,
bahwasanya Allah telah menyempurnakan agama ini untuk umat-Nya. Dia telah mencukupkan nikmat-Nya bagi
mereka. Dia tidak mewafatkan nabi Muhammad Shalallahu’alaihi Wassallam kecuali setelah beliau menyelesaikan
tugas penyampaian risalahnya kepada umat dan menjelaskan kepada mereka seluruh syariat Allah, baik melalui
ucapan maupun pengamalan.
Beliau menjelaskan segala sesuatu yang akan diada-adakan oleh sekelompok manusia sepeninggalnya dan
dinisbahkan kepada ajaran Islam baik berupa ucapan ataupun perbuatan, semuanya bid’ah yang tertolak, meskipun
niatnya baik. Para sahabat dan ulama mengetahui hal ini, maka mereka mengingkari perbuatan-perbuatan bid’ah dan
memperingatkan kita dari padanya. Hal ini disebutkan oleh mereka yang mengarang tentang pengagungan sunnah
dan pengingkaran bid’ah seperti Ibnu Wadhah dan Abi Syamah dan lainnya.
Diantara bid’ah yang biasa dilakukan oleh banyak orang adalah bid’ah mengadakan upacara peringatan malam nisyfu
sya’ban dan mengkhususkan hari tersebut dengan puasa tertentu. Padahal tidak ada satupun dalil yang dapat dijadikan
sandaran, memang ada beberapa hadits yang menegaskan keutamaan malam tersebut akan tetapi hadits-hadits
tersebut dhaif sehingga tidak dapat dijadikan landasan. Adapun hadits-hadits yang menegaskan keutamaan shalat
pada hari tersebut adalah maudhu’ (palsu).
A1 Hafidz ibnu Rajab dalam bukunya “Lathaiful Ma’arif ‘ mengatakan bahwa perayaan malam nisfu sya’ban adalah
bid’ah dan hadits-¬hadits yang menerangkan keutamaannya adalah lemah.
Imam Abu Bakar At Turthusi berkata dalam bukunya `alhawadits walbida’ : “Diriwayatkan dari wadhoh dari Zaid bin
Aslam berkata :”kami belun pernah melihat seorangpun dari sesepuh ahli fiqih kami yang menghadiri perayaan nisyfu
sya’ban, tidak mengindahan hadits makhul (dhaif) dan tidak pula memandang adanya keutamaan pada malam tersebut
terhadap malam¬-malam lainnya”.
Dikatakan kepada Ibnu Maliikah bahwasanya Ziad Annumari berkata:
“Pahala yang didapat (dari ibadah ) pada malam nisyfu sya’ban menyamai pahala lailatul qadar.
bnu Maliikah menjawab : Seandainya saya mendengar ucapannya sedang ditangan saya ada tongkat, pasti saya pukul
dia. Ziad adalah seorang penceramah.
Al Allamah Syaukani menulis dalam bukunya, fawaidul majmuah, sebagai berikut : Hadits : “Wahai Ali barang siapa
melakukan shalat pada malam nisyfu sya’ban sebanyak seratus rakaat : ia membaca setiap rakaat Al Fatihah dan
Qulhuwallahuahad sebanyak sepuluh kali, pasti Allah memenuhi segala …. dan seterusnya.
Hadits ini adalah maudhu’, pada lafadz-lafadznya menerangkan tentang pahala yang akan diterima oleh pelakunya
adalah tidak diragukan kelemahannya bagi orang berakal, sedangkan sanadnya majhul (tidak dikenal). Hadits ini
diriwayatkan dari jalan kedua dan ketiga, kesemuanya maudhu ‘ dan perawi¬-perawinya majhul.
Dalam kitab “Al-Mukhtashar” Syaukani melanjutkan : “Hadits yang menerangkan shalat nisfu sya’ban adalah batil” .
Ibnu Hibban meriwayatkan hadits dari Ali : “…Jika datang malam nisfu sya’ban bershalat malamlah dan berpusalah
pada siang harinya”. Inipun adalah hadits yang dhaif.
Dalam buku Al-Ala’i diriwayatkan :
“Seratus rakaat dengan tulus ikhlas pada malam nisfu sya’ban adalah pahalanya sepuluh kali lipat”. Hadits riwayat Ad-
Dailamy, hadits ini tidak maudhu; tetapi mayoritas perawinya pada jalan yang ketiga majhul dan dho’if.
Imam Syaukani berkata : “Hadits yang menerangkan bahwa dua belas raka’ at dengan tulus ikhlas pahalanya adalah
tiga puluh kali lipat, maudhu’. Dan hadits empat belas raka’at ….dst adalah maudhu”.
Para fuqoha’ banyak yang tertipu oleh hadits-¬hadits maudhu’ diatas seperti pengarang Ihya’ Ulumuddin dan sebagian
ahli tafsir. Telah diriwayatkan bahwa sholat pada malam itu yakni malam nisfu sya’ban yang telah tersebar ke seluruh
pelosok dunia semuanya adalah bathil (tidak benar) dan haditsnya adalah maudhu’.
Al-Hafidh Al-Iraqy berkata : “Hadits yang menerangkan tentang sholat nisfu sya’ban maudhu’ dan pembohongan atas
diri Rasulullallah Shalallahu’alaihi Wassallam.
Dalam kitab Al-Majmu’, Imam Nawawi berkata :”Shalat yang sering kita kenal dengan shalat ragha’ib berjumlah dua
belas raka’at dikerjakan antara maghrib dan isya’ pada malam jum’at pertama bulan rajab, dan sholat seratus raka’at
pada malam nisfu sya’ban, dua sholat ini adalah bid’ah dan mungkar.
Tak boleh seorangpun terpedaya oleh kedua hadits tersebut hanya karena telah disebutkan didalam kitab Qutul Qulub
dan Ihya’ Ulumuddin, sebab pada dasarnya hadits-haduts tersebut bathil (tidak boleh diamalkan). Kita tidak boleh cepat
mempercayai orang-orang yang menyamarkan hukum bagi kedua hadits yaitu dari kalangan a’immah yang kemudian
mengarang lembaran-¬lembaran untuk membolehkan pengamalan kedua hadits tersebut.
Syaikh Imam Abu Muhammad Abdurrahman bin Isma’ il Al-Maqdisy telah mengarang suatu buku yang berharga; beliau
menolak (menganggap bathil) kedua hadits diatas.
Dalam penjelasan diatas tadi, seperti ayat-ayat Al-Qur’an dan beberapa hadits serta pendapat para ulama jelaslah bagi
pencari kebenaran (haq) bahwa peringatan malam nisfu sya’ ban dengan pengkhususan sholat atau lainnya, dan
pengkhususan siang harinya degan puasa itu semua adalah bid’ah dan mungkar tidak ada dasar sandarannya didalam
syari’at Islam ini, bahkan hanya merupakan perkara yang diada-adakan dalam Islam setelah masa hidupnya para
shahabat. Marilah kita hayati ayat Al-Qur’an dibawah ini (yang artinya):
“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu dan telah kucukupkan kepadamu nikmat-Ku dan Ku-Ridhoi
Islam sebagai agamamu”.
Dan banyak lagi ayat-ayat lain yang semakna dengan ayat diatas. Selanjutnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda (yang artinya):
“Barang siapa mengada-adakan satu perkara (dalam agama) yang sebelumnya belum pernah ada, maka ia tertolak”.
(HR. Bukhari Muslim).
Dalam hadits lain beliau bersabda (yang artinya):
“Janganlah kamu sekalian mengkhususkan malam jum ‘at dari pada malam-malam lainnya dengan suatu sholat, dan
janganlah kamu sekalian mengkhususkan siang harinya untuk berpuasa dari pada hari-hari lainnya, kecuali jika
sebelum hari itu telah berpuasa” (HR. Muslim).
Seandainya pengkhususan suatu malam dengan ibadah tertentu itu dibolehkan oleh Allah, maka bukankah malam
jum’at itu lebih baik dari pada malam-malam lainnya, karena hari jum’at adalah hari yang terbaik yang disinari oleh
matahari ? Hal ini berdasarkan hadits-hadits Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam yang shohih.
Tatkala Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam telah melarang untuk mengkhususkan sholat pada malam hari itu ini
menunjukkan malam yang lainnya lebih tidak boleh lagi. Kecuali jika ada dalil yang shohih yang mengkhususkannya.
Manakala malam lailatul Qadar dan malam¬-malam bulan puasa itu disyari’atkan supaya sholat dan bersungguh-
sungguh dengan ibadah tertentu, Nabi mengingatkan dan menganjurkan kepada ummatnya agar supaya
melaksanakan¬nya, beliaupun juga mengerjakannya. Sebagaimana disebutkan didalam hadits yang shohih (yang
artinya):
“Barang siapa melakukan sholat pada malam bulan ramadhan dengan penuh rasa iman dan mengharap pahala
niscaya Allah akan mengampuni dosanya yang telah lewat. Dan barangsiapa yang melakukan sholat pada malam
lailatul Qadar dengan penuh rasa iman niscaya Allah akan mengampuni dosa yang telah lewat” (Muttafaqun ‘alahi).
Jika seandainya malam nisfu sya’ban, malam jum’at pertama pada bulan rajab, serta malam isra’ mi’raj diperintahkan
untuk dikhususkan dengan upacara atau ibadah tertentu, pastilah Rasululah Shalallahu’alaihi Wassallam menjelaskan
kepada ummatnya atau menjalankannya sendiri. Jika memang hal ini pernah terjadi, niscaya telah disampaikan oleh
para shahabat kepada kita, mereka tidak akan menyembunyikannya, karena mereka adalah sebaik-baik manusia clan
yang paling banyak memberi nasehat setelah Rasululah Shalallahu’alaihi Wassallam.
Dari pendapat-pendapat ulama tadi anda dapat menyimpulkan bahwa tidak ada ketentuan apapun dari Rasulullah
Shalallahu’alaihi Wassallam ataupun dari para sahabat tentang keutamaan malam malam nisfu sya’ban dan malam
jum’at pertama pada bulan Rajab.
Dari sini kita tahu bahwa memperingati perayaan kedua malam tersebut adalah bidah yang diada-adakan dalam Islam,
begitu pula pengkhususan dengan ibadah tertentu adalah bid’ah mungkar; sama halnya dengan malam 27 Rajab yang
banyak diyakini orang sebagai malam Isra dan Mi’raj, begitu juga tidak boleh dirayakan dengan upacara-upacara ritual,
berdasarkan dalil-dalil yang disebutkan tadi.
(Diringkas/ disadur dari kitab Tahdzir minul bida’ karya Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Oleh An Nafi’ah dan redaksi).

(12256) views

You might also like