You are on page 1of 82

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Batubara merupakan salah satu bahan bakar disamping minyak dan gas
bumi dan panas bumi. Komposisi kimia batubara hampir sama dengan
komposisi jaringan tumbuhan, keduanya mengandung unsur utama yang
terdiri dari unsur C, H, O, N, S, P. hal ini mudah dimengerti, karena batubara
terbentuk dari jaringan tumbuhan yang telah mengalami proses
pembatubaraan (coalification). (Amperiadi,2005)
Batubara terbentuk oleh proses alam, dengan proses dalam jangka waktu
ratusan hingga ribuan juta tahun, maka banyak parameter yang akan
berpengaruh pada pemebentukan batubara. Makin tinggi intensitas parameter
yang berpengaruh makin tinggi mutu batubara yang terbentuk. Batubara
terbentuk dari sisa tumbuhan yang sudah mati, dengan komposisi utama
terdiri dari cellulosa. Proses pembentukan batubara, dikenal sebagai proses
pembatubaraan (coalification) faktor fisika dan kimia yang ada dialam akan
mengubah cellulosa menjadi lignit, subbitumina, bitumina atau antrasit.
(Sukandarrumidi,2006)
Batubara merupakan salah satu sumber daya energi yang sejak
berabad-abad lalu mulai digunakan sehingga keberadaanya selalu menjadi
salah satu objek utama yang dieksplorasi dan dieksploitasi yang kemudian
digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Batubara merupakan
salah satu sumber energi primer yang makin penting dan merupakan
komoditas perdagangan di Indonesia karena bernilai sangat ekonomis.
Keberadaan batubara di Indonesia yang sangat komersial dan sedang
marak-maraknya di eksploitasi terdapat di pulau Sumatera, Kalimantan dan
Sulawesi.
Indonesia merupakan salah satu daerah penghasil tambang batu bara
terbesar di dunia. Salah satu daerah penghasil tambang terbesar di Indonesia
1
2

adalah Kalimantan Selatan. Pertumbuhan tambang di Kalimantan Selatan


sendiri semakin pesat karena semakin banyak lahan tambang baru yang
ditemukan.
Namun pertumbuhan yang pesat tidak diseimbangi dengan pengelolaan
yang baik oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Kurangnya
sosialisasi tentang pengelolaan tambang dengan baik, menyebabkan banyak
dampak buruk yang dihasilkan. Walaupun sekarang tidak terlalu terasa,
namun beberapa tahun lagi dampak pengelolaan tambang yang salah bisa
mengganggu stabilitas ekosistem.
Perlunya usaha-usaha yang dilakukan dari sekarang untuk mengatasi
pengelolaan tambang yang salah. Mulai dari sosialisasi sampai tindakan nyata.
Sehingga diharap keseimbangan alam akan terjaga.
Selain untuk menjaga kesiembangan ekosistem, ada baiknya pula kita
mengetahui bagaimana cara terbentuknya batu bara tersebut. Karena dengan
banyaknya tambang yang ada, maka mungking saja nanti ekosistem yang ada
akan beubah dan bahkan bias tercemari oleh penggunaan batubara ini.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana proses pembenttukkan batubara?
2. Bagaimana kondisi batubara di Indonesia dan Dunia?

1.3 Tujuan Umum


Mahasiswa dapat mengetahui tentang energi konvensional terutama
energi batubara, baik perkembangan dan pemanfaataan batubara di dunia
industri maupun kehidupan sehari-hari.

1.4 Tujuan Khusus


Adapun tujuan khusus dari penulisan ini adalah:
1. Untuk mengetahui sejarah pembentukan batubara
3

2. Untuk mengetahui eksplorasi dan penambangan batubara di Indonesia


3. Untuk mengetahui dampak penambangan batubara
4. Untuk mengetahui usaha yang dilakukan untuk mengurangi dampak
penambangan batubara
5. Untuk mengetahui analisis batubara
6. Untuk mengetahui penentuan kualitas batubara dan peringkat batubara
7. Untuk mengetahui klasifikasi batubara dan karakteristiknya
8. Untuk mengetahui teknologi pemanfaatan batubara
9. Untuk mengetahui cadangan energi batubara diSumatera Selatan,
Indonesia dan Dunia.
4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Batubara


Batubara adalah suatu batuan sedimen organik berasal dari penguraian
sisa berbagai tumbuhan yang merupakan campuran yang heterogen antara
senyawa organik dan zat anorganik yang menyatu dibawah beban strata yang
menghimpitnya.
Batubara berasal dari tumbuhan yang mati, kemudian tertutup oleh
lapisan batuan sedimen. Ketebalan timbunan itu lama-kelamaan menjadi
berkurang karena adanya pengaruh suhu dan tekanan yang tinggi.

2.2 Asal Mula Terbentuknya Batubara

Gambar 1. Proses Terbentuknya Batubara


(Sumber: http://4.bp.blogspot.com/- /proses+terbentuknya+batubara.gif)

Secara sederhana Batubara merupakan suatu endapan yang berasal dari


tumbuhan yang mengalami proses penghancuran karena aktivitas bakteri,
pengendapan, penumpukan serta pemadatan. Karena pengaruh proses geologi
5

yaitu degnan adanya peningkatan tekanan dan temperatur, maka akan


terbentuk Batubara.
Dalam pembentukan batubara yang ada di rawa diperlukan bakteri
anaerob (didalam metabolismenya tidak membutuhkan O2 sehinga tidak dapat
membusukan).Tetapi apabila tumbuhan itu tidak jatuh dalam rawa tetapi jatuh
kedaratan maka yang bekerja adalah bakteri aerob (di dalam metabolismenya
membutuhkan O2 sehinga bersifat membusukan dan akhirnya membentuk
humus).
Untuk memahami bagaimana Batubara terbentuk maka bisa dilihat
berdasarkan teorinya:

2.2.1 Teori Insitu


Teori ini mengatakan bahwa bahan-bahan pembentuk lapisan batubara,
terbentuk ditempat dimana tumbuh-tumbuhan asal itu berada. Dengan kata
lain endapan batubara tersebut berada di hutan atau di daerah bekas hutan
tumbuhan yang membentuk batubara tersebut. Batubara yangterbentuk
dengan teori insitu hanya terjadi di hutan basah atau daerah hutan yang
berawa karena di daerah seperti ini beberapa jenis bakteri pengurai tidak
aktif, bahkan mati. Sedangkan di daerah hutan kering, pembusukan terjadi
sempurna sehingga tidak ada material organik yang tersisa kecuali mineral
yang kembali ke tanah dan pada kondisi ini tumbuhan yang mati tersebut
tidak akan menjadi batubara.
Jenis batubara yang terbentuk dengan cara ini mempunyai penyebaran
luas dan merata, kualitasnya lebih baik karena kadar abunya relative kecil.
Batubara yang terbentuk seperti ini di Indonesia didapatkan di lapangan
batubara Muara Enim (Sumatera Selatan).

2.2.2 Teori Drift


Teori ini menyebutkan bahwa bahan-bahan pembentuk lapisan batubara
6

terjadi ditempat yang berbeda dengan tempat tumbuhan semula hidup dan
berkembang yang kemudian terbawa oleh air (banjir), kemudian terendapkan
di delta-delta sungai atau didalam danau purba sehingga pembusukan
tumbuhan tersebut tidak sempurna dan akhirnya membentuk fossil tumbuhan
yang kemudian menjadi batubara dengan teori drift.
Jenis batubara yang terbentuk dengan cara ini mempunyai penyebaran
tidak luas, tetapi dijumpai di beberapa tempat, kualitas kurang baik karena
banyak mengandung material pengotor yang terangkut bersama selama proses
pengangkutan dari tempat asal tanaman ke tempat sedimentasi. Batubara yang
terbentuk seperti ini di Indonesia didapatkan di lapangan batubara delta
Mahakam purba, Kalimantan Timur.

2.3 Faktor yang Mempengaruhi Proses Terbentuknya Batubara


Faktor-faktor yang mempengaruhi proses terbentuknya batubara
tersebutantara lain:

2.3.1. Faktor Umur


Umur batubara adalah kapan suatu batubara atau coalification terjadi.
Seperti kita ketahui bahwa batubara terbentuk berjuta-juta tahun yang lalu.
Cara atau metoda pengukuran umurnya hampir sama dengan yang digunakan
pada penentuan umur suatu fosil.
Untuk menyederhanakn periode waktu khususnya pada periode kapan
kebanyakan batubara terbentuk, maka para akhli geologi membuat suatu tabel
yang membagi-bagi umur atau zaman menjadi beberapa periode seperti
terlihat pada tabel 1 (Simplified Geological Time Scale).
Mayoritas batubara Australia terbentuk pada periode Permian, sedangkan
Batubara Indonesia kebanyakan terbentuk pada masa Tertiary (Periode
Tertiary dapat dibagi menjadi 6 epoch seperti table 1.). Oleh karena itu
7

banyak yang mengatakan bahwa batubara Indonesia adlah batubara muda


(young age coal). Hal ini tidak ada hubungannya dengan banyaknya Antrasit
yang ditemukan di daerah Sumatra. Penting untuk dipahami bahwa
tua-mudanya batubara adalah ditentukan oleh umur pembentukan batubara
tersebut. Sedangkan coal rank ditentukan oleh kualitas batubara tersebut.

Tabel 1. Simplified Geologial Tie Scale

Periode Kurun Waktu

Quartenary Sekarang-2 Juta Tahun Lalu


Tertiary 2-65 Juta Tahun Lalu
Cretaceous 65-135 Juta Tahun Lalu
Jurassic 135-180 Juta Tahun Lalu
Triacis 180-225 Juta Tahun Lalu
Permian 225-275 Juta Tahun Lalu
Carboniferous 275-350 Juta Tahun Lalu
Devonian 350-410 Juta Tahun Lalu
(Sumber: PT Geosurvice, LTD)

Batubara yang terbentuk pada masa Tertiary kebanyakan berada pada


epoch Eocene (Mayoritas di Kalimantan Selatan) dan Miocene (Mayoritas di
Kalimantan Timur).
Efek faktor umur hanya berarti apabila temperature cukup tinggi. Sebagai
contoh di Amerika ditemukan ada coal bed yang sudah terkubur sampai
kedalaman5400 m, dimana temperature pada kedalaman tersebut sudah
mencapai 140oC. Setelah 17 juta tahun batubara tersebut termasuk kedalam
rank High Volatile Bituminous. Sedangkan di Jerman ditemukan batubara
dengan kedalaman dan temperature yang sama, setelah270 juta tahun,
batubara tersebut telah tertranformasi kedalam rank Low Volatile Bituminous.
Contoh lain; di Rusia ditemukan batubara yang terbentuk pada periode
Carboniferous (275-350juta tahun yang lalu), tapi batubara tersebut masuk
kedalam rank Lignite. Hal ini dikarenakan batubara tersebut tidak pernah
8

terekspose pada temperature lebih dari 30 oC.

2.3.2 Faktor Temperature


Temperature adalah salah satu faktor yang mempengaruhi selama
pembentukan batubara atau coalification. Sumber panas tersebut dapat
berasal dari :
1. Geothermal Gradient
Semakin dalam ke perut bumi, maka semakin panas juga temperaturenya.
Penambahan temperature yang normal adalah 3-4 oC untuk setiap kedalaman
100m. Namun dibagian daerah Meksiko ada Geothermal Gradient mencapai
16 oC setiap penambahan kedalaman 100 m. Apabila hanya geothermal
gradient sebagai sumber panas yang mempengaruhi batubara, maka batubara
perlu terkubur sampai kedalaman 1500 m sebelum kelas Bituminous tercapai.

2. Igneous Intrusion
Adalah kontak antara lelehan magma dengan batubara sebagai akibat dari
aktifitas vulkanik. Intrusi ini dapat mencapai temperature lebih dari 1000 oC.
Apabila contak langsung dengan batubara, dapat menyebabkan perubahan
bentuk yang signifikan, namun biasanya intrusi tersebut tidak langsung
kontak dengan batubara. Apabila batuan penghalang antara magma dengan
batubara merupakan penghantar panas yang cukup baik, maka batubara
tersebut masih dapat terpengaruhi oleh intrusi tersebut. Intrusi yang
memotong atau menyilang dengan arah vertikal terhadap coal seam disebut
dyke. Sedangkanintrusi yang menyilang dengan arah horisontal terhadap coal
seam baik dari bawah maupun dari atas seam disebut Sill.

3. Tectonic activity (Aktifitas tektonik)


Sumber panas ini adalah hasil dari gesekan atau pergeseran lempeng
bumi atau blok batuan secara besar-besaran yang sering disebut patahan atau
faulting. Panas ini dapat menyebabkan upgrading batubara secara local pada
9

seam atau blok batubara dimana efek panas tersebut terjadi.

2.3.3 Faktor Tekanan


Efek tekanan sangat berperan pada saat awal pembentukan batubara atau
coalification sampai tercapainya rank high volatile bituminous. Efek ini
merupakanpemerasan atau squeezing out of the water.
Kedalaman, selain menimbulkan geothermal gradien juga memiliki efek
tekanan dari beban diatasnya. Tekanan tektonik juga dapat menimbulkan efek
tekanan terutama pada shearing forceyang dapat menyebabkan upgrading
batubara yang disebabkan oleh perubahan struktur fisik.

2.4 Materi Pembentuk Batubara


Hampir seluruh pembentuk batu bara berasal dari tumbuhan. Jenis-jenis
tumbuhan pembentuk batu bara dan umurnya menurut Diessel (1981) adalah
sebagai berikut:
a. Alga
Alga yang berasal dari Pre-kambrium hingga Ordovisium dan bersel
tunggal. Sangat sedikit endapan batu bara dari perioda ini.
b. Silofita
Silofita yang berasal dari Zaman Silur hingga Devon Tengah, merupakan
turunan dari alga. Sedikit endapan batu bara dari perioda ini.
c. Pteridofita
Pteridofita mempunyai umur devon atas hingga Karbon Atas. Materi
utama pembentuk batu bara berumur karbon di Eropa dan Amerika Utara.
Tetumbuhan tanpa bunga dan biji, berkembang biak dengan spora dan
tumbuh di iklim hangat.
d. Gimnospermae
Gimnospermae mempunyai kurun waktu mulai dari Zaman Permian
hingga Kapur Tengah. Tumbuhan heteroseksual, biji terbungkus dalam
10

buah, semisal pinus, mengandung kadar getah (resin) tinggi. Jenis


Pteridospermae seperti gangamopteris dan glossopteris adalah penyusun
utama batu bara Permian seperti di Australia, India dan Afrika.
e. Angiospermae
Angiospermae yang berasal dari Zaman Kapur Atas hingga kini. Jenis
tumbuhan modern, buah yang menutupi biji, jantan dan betina dalam satu
bunga, kurang bergetah dibanding gimnospermae sehingga, secara umum,
kurang dapat terawetkan.
Konsep bahwa batubara berasal dari sisa tumbuhan diperkuat dengan
ditemukannya cetakan tumbuhan di dalam lapisan batubara. Dalam
penyusunannya batubara diperkaya dengan berbagai macam polimer organik
yang berasal dari antara lain karbohidrat, lignin, dan sebagainya. Namun
komposisi dari polimer-polimer ini bervariasi tergantung pada spesies dari
tumbuhan penyusunnya, yaitu:
a. Lignin
Lignin merupakan suatu unsur yang memegang peranan penting
dalammerubah susunan sisa tumbuhan menjadi batubara. Sementara ini
susunan molekul umum dari lignin belum diketahui dengan pasti, namun
susunannya dapat diketahui dari lignin yang terdapat pada berbagai macam
jenis tanaman. Sebagai contoh lignin yang terdapat pada rumput
mempunyai susunan p-koumaril alkohol yang kompleks. Pada umumnya
lignin merupakan polimer dari satu atau beberapa jenis alkohol. Hingga
saat ini, sangat sedikit bukti kuat yang mendukung teori bahwa lignin
merupakan unsur organik utama yang menyusun batubara.
b. Karbohidrat
Gula atau monosakarida merupakan alkohol polihirik yangmengandung
antara lima sampai delapan atom karbon. Pada umumnya gula muncul
sebagai kombinasi antara gugus karbonil dengan hidroksil yang
11

membentuk siklus hemiketal. Bentuk lainnya mucul sebagai disakarida,


trisakarida, ataupun polisakarida. Jenis polisakarida inilah yang umumnya
menyusun batubara, karena dalam tumbuhan jenis inilah yang paling
banyak mengandung polisakarida (khususnya selulosa) yang kemudian
terurai dan membentuk batubara.
c. Protein
Protein merupakan bahan organik yang mengandung nitrogen yang selalu
hadir sebagai protoplasma dalam sel mahluk hidup. Struktur dari protein
pada umumnya adalah rantai asam amino yang dihubungkan oleh rantai
amida. Protein pada tumbuhan umunya muncul sebagai steroid, lilin.
d. Resin
Resin merupakan material yang muncul apabila tumbuhan mengalami luka
pada batangnya. Resin atau dammar adalah suatu campuran yang
kompleks dari ekskret tumbu-tumbuhan dan insekta, biasanya berbentuk
padat dan amorf dan merupakan hasil terakhir dari metabolisme dan
dibentuk dari ruang-ruang skizogen dan skizolisigen. Secara fisis, resin
(damar) ini biasanya keras, transparan plastis dan pada pemanasan menjadi
lembek. Secara kimiawi, resin adalah campuran yang kompleks dari
asam-asam resinat, alkoholresinat, resinotannol, ester-ester dan
resene-resene. Bebas dari zat lemas dan mengandung sedikit oksigen
karena mengandung zat karbon dalam kadar tinggi, maka kalau dibakar
menghasilkan angus.
e. Tanin
Tanin nama komponen zat organik yang sangat komplek dan terdiri dari
senyawa fenolik yang mempunyai berat molekul 500 – 3000, dapat
bereaksi dengan protein membentuk senyawa komplek larut yang tidak
larut. Tanin dapat dikategorikan sebagai true artrigen adalah rasa sepat.
Rasa sepat timbul karena kuagulasi dari protein dari protein air liur dan
12

mukosa ephitelium dengan tanin. Tanin atau sesungguhnya lebih tepat


disebut asam tanat (tanic acid), monomer dari tanin adalah untuk
penyamak kulit. Tanin umumnya banyak ditemukan pada tumbuhan,
khususnya pada bagian batangnya.
f. Alkaloida
Alkaloida berasal dari sejumlah kecil asam amino yaitu ornitin dan lisin
yang menurunkan alkaloid alisiklik, fenilalanin dan tirosin yang
menurunkan alkaloid jenis isokuinolin, dan triftopan yang menurunkan
alkaloid indol. Reaksi utama yang mendasari biosintesis senyawa alkaloid
adalah reaksi mannich antara suatu aldehida dan suatu amina primer dan
sekunder, dan suatu senyawa enol atau fenol. Biosintesis alkaloid juga
melibatkan reaksi rangkap oksidatif fenol dan metilasi. Jalur poliketida
dan jalur mevalonat juga ditemukan dalam biosintesis alkaloid. Alkaloida
merupakan komponen organik penting terakhir yang menyusun batubara.
Alkaloida sendiri terdiri dari molekul nitrogen dasar yang muncul dalam
bentuk rantai.
g. Porphirin
Porphirin merupakan komponen nitrogen yang berdasar atas sistem
pyrrole. Porphirin biasanya terdiri atas suatu struktur siklik yang terdiri
atas empat cincin pyrolle yang tergabung dengan jembatan methin.
Kandungan unsur porphirin dalam batubara ini telah diajukan sebagai
marker yang sangat penting untuk mendeterminasi perkembangan dari
proses coalifikasi.
h. Konstituen Tumbuhan yang Inorganik (Mineral)
Selain material organik yang telah dibahas diatas, juga ditemukan adanya
material inorganik yang menyusun batubara. Secara umum mineral ini
dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu unsur mineral inheren dan unsur
mineral eksternal. Unsur mineral inheren adalah material inorganik yang
13

berasal dari tumbuhan yang menyusun bahan organik yang terdapat dalam
lapisan batubara. Sedangkan unsur mineral eksternal merupakan unsur
yang dibawa dari luar kedalam lapisan batubara, pada umumya jenis inilah
yang menyusun bagian inorganik dalam sebuah lapisan batubara.
Batubara merupakan senyawa hidrokarbon padat yang terdapat di alam
dengan komposisi yang cukup kompleks. Pada dasarnya terdapat dua jenis
material yang membentuk batubara, yaitu:
1. Combustible Material, yaitu bahan atau material yang dapat
dibakar/dioksidasi oleh oksigen. Material tersebut umumnya terdiri dari :
• karbon padat (fixed carbon)
• senyawa hidrokarbon
• senyawa sulfur
• senyawa nitrogen, dan beberapa senyawa lainnya dalam jumlah
kecil.
2. Non Combustible Material, yaitu bahan atau material yang tidak dapat
dibakar/dioksidasi oleh oksigen. Material tersebut umumnya terdiri dari
senyawa anorganik (SiO2, A12O3, Fe2O3, TiO2, Mn3O4, CaO, MgO, Na2O,
K2O, dan senyawa logam lainnya dalam jumlah yang kecil) yang akan
membentuk abu/ash dalam batubara. Kandungan non combustible material
ini umumnya diingini karena akan mengurangi nilai bakarnya.

2.5 Tahapan Pembentukan Batubara


Secara umum terdapat 2 tahap proses pembatubaraan yang terjadi, yakni:
a. Tahap Diagenetik atau Biokimia (Penggambutan)
Iklim bumi selama Zaman Batubara adalah tropis dan berjenis-jenis
tumbuhan tumbuh subur di daerah rawa membentuk suatu hutan tropis.
Setelah banyak tumbuhan yang mati dan menumpuk di atas tanah, tumbukan
itu semakin lama semakin tebal menyebabkan bagian dasar dari rawa turun
14

secara perlahan-lahan dan material tumbuhan tersebut diraikan oleh bakteri


dan jamur. Tahap ini merupakan tahap awal dari rangkaian pembentukan
batubara (coalification) yang di tandai dengan reaksi biokimia.
Tahap dimana sisa-sisa tumbuhan yang terakumulasi tersimpan dalam
kondisi bebas oksigen (anaerobik) di daerah rawa dengan sistem pengeringan
yang buruk dan selalu tergenang air pada kedalaman 0,5 – 10 meter. Material
tumbuhan yang busuk ini menjadi humus yang selanjutnya oleh bakteri
anaerobik dan fungi diubah menjadi gambut.Dimulai pada saat dimana
tumbuhan yang telah mati mengalami pembusukan (terdeposisi) dan menjadi
humus. Humus ini kemudian diubah menjadi gambut oleh bakteri anaerobik
dan jamur hingga lignit (gambut) terbentuk. Agen utama yang berperan dalam
proses perubahan ini adalah kadar air, tingkat oksidasi dan gangguan biologis
yang dapat menyebabkan proses pembusukan (dekomposisi) dan kompaksi
material organik serta membentuk gambut. Pada proses ini H2O, CO2, CO, dan
CH4 berkurang, sedangkan unsur C bertambah.
Proses:
 Decay Process ( proses merapuh )
C6H10O5 6 CO2 + 5H2O
 Humifikasi (pembusukan)
2C6H10O5 C8H10O5 + 2CO2 + 2CH4 + H2O
(C meningkat)
 Peatifikasi (penggambutan) : menghasilkan gambut
 Putrifaction (terjadi pada air yang tidak mengalir), untuk menghasilkan
gambut setebal 30 cm dibutuhkan 300-350 cm pemampatan (waktu
ratusan hingga ribuan tahun).
b. Tahap Malihan atau Geokimia
Tahap ini meliputi proses perubahan dari lignit menjadi bituminus dan
akhirnya antrasit.
15

Prosesnya :
 5C6H10O5 C20H22O4 + 3CH4 + 8H2O + 6CO2 + CO
Cellulose Lignit Gas Metana
 Dengan P ( Tekanan) dan T (Suhu)
6C6H10O5 C22H20O3 + 5CH4 + 10H20 + 8CO2 +CO
Cellulose Bituminus Gas Metana
Jadi, proses pembentukan batubara sendiri secara singkat dapat
didefinisikan sebagai suatu perubahan dari sisa-sisa tumbuhan yang ada,
mulai dari pembentukan peat (peatifikasi) kemudian lignit dan menjadi
berbagai macam tingkat batubara, disebut juga sebagai proses coalification,
yang kemudian berubah menjadi antrasit. Pembentukan batubara ini sangat
menentukan kualitas batubara, dimana proses yang berlangsung selain
melibatkan metamorfosis dari sisa tumbuhan, juga tergantung pada keadaan
waktu geologi tersebut dan kondisi lokal seperti iklim dan tekanan.

Proses pembentukan batubara sendiri sangatlah kompleks


danmembutuhkan waktu hingga berjuta-juta tahun lamanya. Batubara
terbentuk dari sisa-sisa tumbuhan purba yang kemudian mengendap selama
berjuta-juta tahun dan mengalami proses pembatubaraan (coalification)
dibawah pengaruh fisika, kimia, maupun geologi. Tahap pembatubaraan
(coalification) merupakan gabungan proses biologi, kimia, dan fisika yang
terjadi karena pengaruh pembebanan dari sedimen yang menutupinya,
temperatur, tekanan, dan waktu terhadap komponen organik dari gambut.
16

Gambar 2. Skema Pembentukan Batubara


(sumber :infotambang.com/clients/infotambang/ Pengantarganesabatubara.pdf)

Penjelasan dari gambar:


Proses atau tahap pertama pembentukan batubara adalah pembentukan
Peat atau yang disebut dengan Peatification. Pada tahap ini terjadi
perubahan secara biokimia atau perubahan diagenetik. Perubahan yang cepat
terjadi pada 50 meter dimana pada kedalaman ini bakteri aerob yang aktif
dan menguraikan vegetasi tersebut. Pada level lebih bawah lagi yang aktif
adalah bakteri anaereob. Bakteri ini mengkonsumsi oksigen dari molekul
organik. Bakteri ini biasanya aktif sampai kedalaman 10 M, di bawah
kedalaman tersebut perubahan yang terjadi adalah perubahan kimia
sepertipolymerisasi, reaksi reduksi dan lain-lain. Pada kedalaman ini berat
akumulasi peat menyebabkan tekanan bertambah dan perubahan fisik pun
terjadi pada peat tersebut. Pada prinsipnya perubahan fisik tersebut
merupakan pemerasan kelebihan air dari endapan peat tersebut. Penurunan
kandungan moisture pada proses ini tercatat sekitar 1 % untuk setiap
kedalaman 10m. Kandungan Carbon pada lapisan bagian atas bertambah
lebih cepat seiring dengan terjadinya pembusukan pada zat-zat selulosa.
17

Kenaikan kandungan Carbon dalam basis d.a.f. (dry ash free) mencapai
40-50% sampai 55-60% terjadi pada ketinggian50m dari atas.
Pada transisi dari Peat ke Lignite adalah disebabkan oleh perubahan
diagenetikdan perubahan selanjutnya merupakan metamorfosis atau
perubahan bentuk yang disebabkan oleh perubahan fisika dan perubahan
kimia akibat terjadinya pengaruh tekanan dan panas terhadap endapan
tersebut.
Pada transisi dari Peat ke Lignite dan selanjutnya ke sub-bituminous,
terjadi penurunan porositas secara drastis. Penurunan porositas ini
disebabkan oleh terjadinya kompresi lapisan batubara tersebut oleh berat dari
overburden. Penurunan porositas menyebabkan penurunan pula pada
kandungan moisture, (baik moisture holding capacity, total moisture,
maupun air dried moisture). Pada Lignite,moisture berkurang sampai 4 %
untuk setiap kedalaman 100m. Sedangkan pada transisi dari Lignite ke
sub-bituminous terjadi penurunan moisture 1 % untuk setiap kedalaman
100-200 m. Penurunan moisture tersebut diikuti dengan naiknya nilai kalori
pada basis dry ash free.
Selama transisi dari Lignite ke sub-bituminous menghasilakan produk
dari reaksi coalification yaitu; moisture,carbon dioksida, dan gas methan
dalam jumlah yang kecil yang merupakan hasil pembusukan sisa-sisa lignin.
Pada batubara high volatile bituminous kelanjutan tahap coalification
ditunjukan dengan terus berkurangnya oxygen dan moisture yang
menghasilkan naiknya nilai kalori.
Perubahan transisi dari biuminous ke antrasit, diikuti dengan menurunya
nilai volatile matteryang cukup drastis. Penurunan volatile matter (daf) pada
transisi ini mencapai lebih dari 14 % - 40 %. Sedangkan kenaikan carbon
(daf) nya adalah dari 85% sampai 90%. Perubahan ini disebabkan oleh
terjadinya perubahan kimia dalam molekul batubara.
18

Pada kelas sub-bituminous susunan molekul batubara terdiri dari


campuran rantai lurus hidrokarbon (alifatik) dan beberapa struktur cincin
siklik (aromatik). Selama proses coalification, molekul hidrokarbon batubara
terus mengalami pemadatan membentuk lebih banyak struktur aromatik.
Pada tahap sub-bituminous, struktur cincin aromatik tersebut
membentuk clusters atau kelompok kecil dengan rata-rata 3 cincin aromatik
setiap cluster-nya. Pada tahap ini 60% carbon dan hidrogen dalam batubara
termasuk kedalam kelompok atau fraksi aromatik.
Pada kelompok low volatile bituminous, jumlah rata-rata cincin
aromatik dalam satu cluster adalah 8 dan 82 % dari carbon dan hidrogen
dalam batubara terkandung dalam fraksi aromatik. Sedangkan pada kelas
antrasit, 100% carbon dan hidrogen merupakan struktur aromatic. Dengan
kata lain molekul telah mengalami pemadatan atau terkondensasi sempurna.
Volatile matter secara prinsip berasal dari struktur carbon dan hidrogen
dengan struktur alifatik, karena salah satu sifat dari struktur alifatik ini
adalah mudah terputus dantervolatilisasi sebagai gas hidrokarbon seperti gas
methan. Semakin rendah kandungan hidrokarbon alifatik dari suatu batubara,
maka semakin rendah nilai volatile matterpada batubara tersebut. Apabila
suatu batubara mengandung struktur hidrokarbon alifatik lebih banyak maka
nilai volatile matter dari batubara tersebut akan semakin tinggi.
Vitrinite reflectant yang memiliki korelasi yang bagus dengan volatile
matter (daf) pada kelas batubara bituminous merupakan ukuran dari derajat
aromatisasi yang telah terjadi dalam batubara.
Tahap akhir dari coalification adalah transisi dari bituminouse ke antrasit.
Ditandai dengan turunnya kandungan hidrogen secara drastis dan juga rasio
H dan C. Pada transisi ini menghasilkan gas methan yang merupakan produk
utama dari pelepasan hidrogen yang dimulai pada level volatile matter 29%
(daf) dan 87% carbon(daf).
19

Gambar 3. Proses Pembentukan Batubara Berdasarkan Rank


(sumber : ptba.co.id/id/library/detail/2)

2.6 Klasifikasi Batubara dan Karakteristiknya


Berdasarkan rank pembentukan batubara dari rank tertinggi ke terendah
yang dikontrol oleh tekanan, panas dan waktu, batu bara umumnya dibagi
dalam lima kelas yaitu:
1. Antrasit
Antrasit adalah kelas batu bara tertinggi, dengan warna hitam berkilauan
(luster) metalik, mengandung antara 86%-98% unsur karbon (C) dengan
kadar air kurang dari 8%. Batubara jenis Antrasit ini terdapat pada zaman
Palaezoikum. Biasanya digunakan untuk proses sintering bijih mineral,
proses pembuatan elektroda listrik, pembakaran batu gamping, dan untuk
pembuatan briket tanpa asap. batubara yang terjadi pada umur geologi
yang paling tua. Struktur kompak, berat jenis tinggi, berwarna hitam
metalik, kandungan VCM rendah, kandungan abu dan air rendah. Jika
dibakar, hampir seluruhnya habis terbakar tanpa timbul nyala. Nilai kalor
atas 8300 kkal/kg.
20

Gambar 4. Antrasit
(sumber : en.wikipedia.org/wiki/Anthracite)

Antrasit (C94OH3O3) dengan ciri :


1. Warna hitam mengkilap
2. Material terkompaksi dengan kuat
3. Mempunyai kandungan air rendah
4. Mempunyai kandungan karbon padat tinggi
5. Mempunyai kandungan karbon terbang rendah
6. Relatif sulit teroksidasi
7. Nilai panas yang dihasilkan tinggi

2. Bituminus
Bituminous batubara yang mengandung 68-86% unsur karbon (C) dan
berkadar air 8-10% dari beratnya. Batubara jenis Bituminus ini terdapat
pada zaman Palaezoikum dan lapisan Mesozoikumdan merupakan kelas
batubara yang paling banyak ditambang di Australia. Batubara ini masih
dibedakan menjadi dua, yaitu :
a. batubara ketel uap atau batubara termalatau yang disebut steam
coal, banyak digunakan untuk bahan bakar pembangkit listrik,
pembakaran umum seperti pada industri bata atau genteng, dan industry
21

semen.
b. batubara metalurgi (metallurgical coal atau coking coal) digunakan
untuk keperluan industri besi dan baja serta industri kimia. Terbentuk
pada periode geologi carboniferous dari tumbuh-tumbuhan yang
mengalami karbonisasi. Nilai kalor 7000-8000 kkal/kg. Kandungan
abu dan airnya rendah (5-10%). Batubara yang berwarna hitam tidak
bersifat higroskopis.

Gambar 5. Bituminus
(sumber : en.wikipedia.org/wiki/Bituminus)

3. Sub-bituminus

Gambar 6. Sub-bituminus
(sumber : en.wikipedia.org/wiki/Sub-Bituminous)
22

Subbituminous (C75OH5O20) – Bituminous (C80OH5O15) dengan ciri :


1. Warna hitam
2. Mempunyai kandungan air sedang
3. Mempunyai kandungan karbon padat sedang
4. Mempunyai kandungan karbon terbang sedang
5. Sifat oksidasi rnenengah
6. Nilai panas yang dihasilkan sedang

4. Lignit Atau Batu Bara Coklat


Lignit adalah batu bara yang sangat lunak yang mengandung air 35-75%
dari beratnya, terbentuk dari tumbuh-tumbuhan yang mengalami
karbonisasi atauperkayaan akan kandungan C di bawah lapisan tanah
dalam jangka waktu yang lama.

Gambar 7. Lignit
(sumber : en.wikipedia.org/wiki/Lignite)

Lignit/ brown coal, (C70OH5O25 ) dengan ciri :


1. Warna kecoklatan
2. Material terkornpaksi namun sangat rapuh
3. Mempunyai kandungan air yang tinggi ( bersifat higroskopis ) dan
kadar N, O, VCM, S tinggi
23

4. Mempunyai kandungan karbon padat rendah


5. Mempunyai kandungan karbon terbang tinggi
6. Mudah teroksidasi
7. Nilai panas yang dihasilkan rendah
8. Nilai kalor bawahsekitar 1500-4500 kkal/kg.

5. Gambut
Gambut merupakan batubara berpori dan memiliki kadar air di atas 75%
serta nilai kalori yang paling rendah.

Gambar 8. Gambut
(sumber : en.wikipedia.org/wiki/peatcoal)

Peat/ gambut, (C60H6O34) dengan sifat :


1. Warna coklat
2. Material belum terkompaksi
3. Mernpunyai kandungan air yang sangat tinggi
4. Mempunyai kandungan karbon padat sangat rendah
5. Mempunyai kandungan karbon terbang sangat tinggi
6. Sangat mudah teroksidasi
7. Nilai kalor bawahnya 1700-3000 kkal/kg.
24

Tabel 2. Klasifikasi batubara berdasarkan tingkatnya (ASTM, 1981, op cit Wood


et al., 1983)
Fixed Volatile Matter Calorific Value Limits
Carbon ,% , Limits, % , BTU per pound
dmmf dmmf (mmmf)
Class Group Agglo
Equal Equal Equal
merati
or Less Greater or or Less
ng
Greater Than Than Less Greater Than
Chara
Than Than Than
cter
nonag
1.Meta-anthracite 98 2 glome
I Anthracite* rating
2.Anthracite 92 98 2 8
3.SemianthraciteC 86 92 8 14
1.Low volatile
78 86 14 22
bituminous coal
2.Medium
69 78 22 31
volatilebituminous coal
3.High volatile A comm
69 31 14000D
bituminous coal only
II Bituminous agglo
4.High volatile B
13000D 14000 merati
bituminous coal
ng**E
5.High volatile C
11500 13000
bituminous coal
agglo
10500 11500 merati
ng
1.Subbituminous A coal 10500 11500
2.Subbituminous B coal 9500 10500
III
Subbituminou Nona
s gglom
3.Subbituminous C coal 8300 9500
eratin
g
1.Lignite A 6300 8300
IV. Lignite
1.Lignite B 6300
(Sumber: https://www.google.com/.files.wordpress.com)
25

2.7 Analisis Batubara

2.7.1 Metode Standar Analisis Batubara


Metode standar adalah suatu cara atau metode analisis dan pengujian
(testing and analysis) yang telah diuji dengan seksama, baik dari segi
ketelitiannya, kesederhanaan peralatannya, maupun aspek-aspek lainnya.
Metode ini kemudian dibakukan untuk digunakan sebagai pedoman atau
standar analisis dan pengujian. International Organization for Standardization
(ISO) telah berusaha untuk mengembangkan cara yang dapat dipakai di
seluruh dunia. Di dunia perbatubaraan, pada dasarnya terdapat dua jenis
standar yaitu:

1. Standar Nasional
Dalam pembahasan mengenai standar nasional ini, pembicaraan akan
dibatasi hanya pada tiga standar dari tiga negara penghasil batubara yang besar,
yaitu Amerika, Inggris, dan Australia. Dipilih Amerika dan Inggris
American National Standards diterbitkan oleh The American Society for
Testing and Materials (ASTM). Standar ASTM ini dipakai untuk semua rank
batubara, mulai dari lignit sampai dengan antrasit.
British Standards (BS) untuk analisis batubara mempunyai reputasi yang
tinggi dan masih banyak yang menggunakannya
Australian Standards (AS) lebih modern dari BS dan banyak menaruh
perhatian pada berbagai masalah analisis batubara yang mempunyai rank lebih
rendah. Australian Standard mengeluarkan pula standar khusus untuk batubara
muda atau brown coal.

2. Standar Internasional
Standar Internasional dikeluarkan oleh International Organization for
Standardization (ISO), yang tujuannya menggantikan standar nasional yang
26

ada. Dalam standar ISO sudah tercantum prosedur penentuan standar tersebut,
apakah untuk hard coal, coal, brown coals, dan lignites, atau bahan bakar
secara umum (fuel).

3. Standar Indonesia (SNI)


Sampai saat ini telah dikeluarkan beberapa standar untuk penentuan
parameter batubara Indonesia. Standar tersebut dikeluarkan oleh Dewan
Standar Nasional dengan nama Standar Nasional Indonesia (SNI). Sebelumnya
telah dikeluarkan pada beberapa standar untuk komoditas lain di bawah judul
Standar Industri Indonesia (SII) yang kini telah dimasukkan kedalam standar
SNI. Standar batubara nasional dibuat berdasarkan sifat-sifat batubara di
negara bersangkutan. Batubara Indonesia termasuk batubara perbatasan antara
subbituminus dan bituminus, malah kebanyakan adalah lignit.

2.7.2 Penentuan Kualitas Batubara


Analisis batubara untuk bahan bakar digolongkan menjadi dua golongan,
yakni:
2.7.2.1 Analisis Ultimate
Pada pengujian ini akan memberikan komposisi kimia batubara dengan
tepat dan dibutuhkan parameter yang tepat, yaitu:
a. Karbon dan hidrogen
Karbon dan hidrogen dalam batubara merupakan senyawa kompleks
hidrokarbon yang dalam proses pembakaran akan membentuk CO2 dan H2O..
Selain dari karbon, mineral karbonat juga akan membebaskan CO2 selama
proses pembakaran batubara berlangsung, sedangkan H2O diperoleh dari air
yang terikat. Analisa ini sangat penting untuk menentukan proses pembakaran,
terutama untuk penyediaan jumlah udara yang dibutuhkan.
27

Gambar 9. MediumModelIRAbsorption (5E-IRSII)


( sumber : basic knowledge of coal/presentasi CKIC/2013 )

Untuk penentuan karbon dan hidrogen dalam batubara yang


mempunyai rank rendah digunakan cara Liebig, karena batubara yang banyak
mengandung volatile matter tinggi dapat meledak bila dipanaskan sampai
suhu tinggi. Namun, penetapan kadar karbon dan hidrogen sesuai metode
ASTM D 5373-02 adalah dengan menggunakan Teknik Infra Red (IR).
Pada metode ASTM D 5373-02, contoh batubara dibakar pada
temperatur tinggi dalam aliran oksigen sehingga seluruh hidrogen diubah
menjadi uap air dan karbon menjadi karbondioksida. Uap air dan
karbondioksida ditangkap oleh detektor infra red. Melalui detektor inilah
kandungan karbon dan hidrogen dapat dibaca.

b. Nitrogen
Nitrogen dalam batubara hanya terdapat sebagai senyawa organik. Tidak
dikenal adanya mineral pembawa nitrogen dalam batubara, hanya ada
beberapa senyawa nitrogen dalam air kapiler, terutama dalam batubara muda.
Pada pembakaran batubara, nitrogen akan berubah menjadi nitrogen oksida
yang bersama gas buangan akan bercampur dengan udara. Senyawa ini
merupakan pencemar udara sehingga batubara dengan kadar nitrogen rendah
28

lebih disukai.
Prinsip penentuan nitrogen dalam batubara semuanya dengan cara
mengubah nitrogen menjadi amonium sulfat melalui destruksi terhadap zat
organik pembawa nitrogen dalam batubara. Dalam metode ini, digunakan
asam sulfat dan katalisator. Banyaknya amonium sulfat yang terbentuk
ditentukan dengan cara titrimetri.
Selain itu, seperti juga pada penentuan kadar karbon dan hidrogen,
dalam metode ASTM D 5373-02 kadar nitrogen dapat diketahui dengan
menggunakan Thermal Conductivity (TC) pada alat yang sama dengan
penentuan kadar karbon dan hidrogen di atas. TC inilah yang akan
menangkap kadar nitrogen dalam nitrogen oksida.

Gambar 10. Instrument-CHN2200


( sumber : basic knowledge of coal/presentasi CKIC/2013 )

Data nitrogen digunakan untuk membandingkan batubara dalam


penelitian. Jika oksigen diperoleh dari perhitungan, maka nitrogen diperoleh
dari sampel yang ditentukan. Dalam pembakaran pada suhu tinggi, nitrogen
akan diubah menjadi NOx yang merupakan salah satu senyawa pencemar
udara.
29

c. Sulfur
Dalam proses pembakaran, sulfur dalam batubara akan membentuk
oksida yang kemudian terlepas ke atmosfir sebagai emisi. Ada tiga jenis
sulfur yang terikat dalam batubara, yaitu :
1. Sulfur organik, dimana satu sama lain terikat ke dalam senyawa
hidrogen sebagai substansi dari batubara.
2. Mineral sulfida, seperti pirit dalam fraksi organic (pyritic sulfur).
3. Mineral sulfat, seperti kalsium sulfat atau hidrous iron.
Sulfur kemungkinan merupakan pengotor utama nomor dua
(setelah ash) dalam batubara, karena :
1. Dalam batubara bahan bakar, hasil pembakarannya mempunyai daya
korosif dan sumber polusi udara.
2. Moisture dan sulfur (terutama sebagai pirit) dapat menunjang
terjadinya pembakaran spontan.
3. Semua bentuk sulfur tidak dapat dihilangkan dalam proses pencucian.
Batubara dengan kadar sulfur yang tinggi menimbulkan banyak masalah
dalam pemanfaatannya. Bila batubara itu dibakar, sulfur akan menyebabkan
korosi dalam ketel dan membentuk endapan isolasi pada tabung ketel uap
(yang disebut slagging). Disamping itu juga menimbulkan pencemaran udara.
Sebagian sulfur akan terbawa dalam hasil pencairan batubara, gasifikasi, dan
pembuatan kokas. Jadi harus dihilangkan dulu sebelum dilakukan
proses-proses tersebut.

d. Oksigen
Oksigen merupakan komponen pada beberapa senyawa organik dalam
batubara. Oksigen ini didapatkan pula dalam moisture, lempung, karbonat,
dan sebagainya. Oksigen juga memiliki peranan penting sebagai penunjuk
sifat-sifat kimia dengan derajat pembentukan batubara.
30

Unsur oksigen dapat ditemukan hampir pada semua


senyawaorganik dalam batubara. Dalam batubara kering unsur oksigen akan
ditemukan pada besi oksida, hidroksida dan beberapa mineral sulfat. Oksigen
juga sebagai indikator dalam menentukan peringkat batubara.

2.7.2.2 Analisis Proximate


Kualitas batubara dapat dinyatakan dengan parameter yang ditunjukkan
pada saat memberi perlakuan panas terhadap batubara. Prosedurnya relatif
sederhana dan parameter – parameter yang diukur ialah:

a. Kandungan Air
Total Moisture (TM) yang disebut pula sebagai as received moisture.
Bentuk air dalam batubara dapat dibedakan menjadi:

1. Lengas Permukaan (free/surface moisture) adalah lengas yang berada


pada permukaan partikel batubara akibat pengaruh dari luar seperti
cuaca/iklim, penyemprotan pada saat penambangan atau transportasi.
2. Lengas Tertambat (Inherent Moisture) adalah lengas yang terikat
secara kimiawi dan fisika di dalam batubara pada saat pembentukan
batubara. Lengas ini banyak pengaruhnya pada penanganan,
penggerusan, dan pembakaran batubara.
3. Lengas Total (Total Moisture) adalah banyaknya air yang terkandung
dalam batubara dengan kondisi diterima, baik yang terikat secara
kimiawi maupun akibat pengaruh kondisi luar seprti iklim, ukuran
butir, maupun proses penambangan.
Semua batubara mempunyai pori-pori berupa pipa-pipa kapiler, dalam
keadaan alami pori-pori ini dipenuhi oleh air. Didalam standar ASTM, air ini
disebut moisture bawaan (inherent moisture). Ketika batubara ditambang dan
diproses, air dapat teradsorpsi pada permukaan kepingan batubara, menurut
31

standar ASTM air ini disebut moisture permukaan (surface moisture). Air
yang terbentuk dari penguraian fraksi organik batubara atau zat mineral secara
termis bukan merupakan bagian dari moisture dalam batubara.
Moisture yang datang dari luar saat batubara itu ditambang dan diangkut
atau terkena hujan selama penyimpanan disebutfree moisture (standar
ISO) atau air-dry loss (standar ASTM).Moisture jenis ini dapat dihilangkan
dari batubara dengan cara dianginkan atau dikering-udarakan. Moisture in
air-dried sample(ISO) atau residual moisture (ASTM) ialah moisture yang
hanya dapat dihilangkan bila sampel batubara kering-udara yang berukuran
lebih kecil dari 3 mm (-3 mm) dipanaskan hingga 105°C. Penjumlahan antara
free moisture dan residual moisture disebut total moisture.
Data moisture dalam batubara kering-udara ini digunakan untuk menghitung
besaran lainnya dari basis kering-udara (adb), bebas- ash (daf) dan basis
kering, bebas-mineralmatter (dmmf).
Kandungan air total merupakan dasar penilaian yang sangat penting.
Secara umum, tinggi rendahnya kandungan air berpengaruh pada beberapa
aspek teknologi penggunaan batubara terutama dalam penggunaan untuk
tenaga uap. Dalam penggerusan, kelebihan kandungan air akan berakibat pada
komponen mesin penggerus karena abrasi. Parameter lain yang terpengaruh
oleh kandungan air adalah nilai kalor. Semakin besar kadar air yang
terkandung oleh batubara maka akan semakin besar pula nilai kalor dalam
pembakaran.
Penentuan kandungan air didalam batubara bisa dilakukan melalui proses
satu tahap atau proses dua tahap. Proses dilakukan dengan cara pemanasan
sampel sampai terjadi kesetimbangan kandungan air didalam batubara dan
udara. Penentuan kandungan air dengan cara tersebut dilakukan pada
temperatur diatas titik didih air (ASTM 104-110o C).
32

b. Penentuan kandungan ash


Coal ash didefinisikan sebagai zat anorganik yang tertinggal setelah
sampel batubara di bakar dalam kondisi standar sampai di peroleh berat yang
tetap. Selama pembakaran batubara, zat mineral mengalami perubahan,
karena itu banyaknya ash umumnya lebih kecil dibandingkan dengan
banyaknya zat mineral yang semula ada di dalam batubara. Hal ini
disebabkan antara lain karena menguapnya air konstitusi dari lempung,
karbon dioksida dari karbonat, teroksidasinya pirit menjadi besi dioksida,
serta fiksasi belerang oksida.
Dalam standar ISO dibedakan antara cara penentuan kandungan ash
dalam hard coal, dalam brown coal dan lignit. Prosedur untuk hard coal (ISO
1171-1981) menyarankan menimbang 1 gram sampel batubara halus,
menyebarkannya di dalam cawan silika, porselen, atau platina sampai
kepadatan permukaan maksimal. Kemudian sampel dalam cawan dipanaskan
sampai suhu 500°C selama 30 menit, kemudian dari 500°C sampai 815°C
selama 30 - 60 menit, dan terakhir membiarkannya pada suhu 815°C selama
60 menit lagi.
Dalam standar ASTM D 3174-2004 menyarankan pemanasan dari suhu
kamar sampai suhu 750°C selama 3 jam.
Kandungan ash penting dalam batubara bahan bakar maupun batubara
kokas. Ash berperan penting dalam pemilihan alat penggerus di PLTU.
Semakin banyak ash dalam batubara setelah diproses menggunakan oven
kokas, akan semakin rendah manfaat produksi karbonnya. Dalam
pembakaran, semakin tinggi kandungan ash batubara, semakin rendah panas
yang diperoleh dari batubara tersebut.

c. Penentuan Volatile Matter


Definisi volatile matter (VM) ialah banyaknya zat yang hilang bila sampel
batubara dipanaskan pada suhu waktu yang telah dilakukan (setelah dikoreksi
33

oleh kadar moisture). Suhunya adalah 900°C, dnegan waktu pemanasan tujuh
menit tepat.
Volatile yang menguap terdiri atas sebagian besar gas-gas yang mudah
terbakar, seperti hidrogen, karbon monoksida, dan metan, serta sebagian kecil
uap yang dapat mengembun seperti tar, hasil pemecahan termis seperti karbon
dioksida dari karbonat, sulfur, dan pirit, dan air dari lempung.
Prosedur penentuan VM untuk hard coal menurut ISO 1562-1981(E)
adalah 1 gram sampel dimasukkan ke dalam cawan silika dengan tutup yang
rapat. Cawan diletakkan pada stand terbuat daeri kawat nikelkrom dan
kemudian dimasukkan ke dalam muffle furnace bersuhu 900°C. Pemanasan
tanpa udara ini dilakukan selama tujuh menit tepat.
Standar ASTM D 3175-2004 memberikan prosedur yang berbeda sekali.
Bila dalam standar ISO digunakan tungku pembakar horizontal, dalam
standar ASTM digunakan tungku pembakar vertikal. Cawan yang digunakan
adalah cawan platina dan suhu pemanasannya sebesar 950°C.
Vm yang ditentukan dengan cara-cara ini dapat digunakan untuk
menentukan rank suatu batubara, klasifikasi, dan proporsinya dalam blending.
Volatile matter juga penting dalam pemilihan peralatan pembakaran dan
kondisi efisiensi pembakaran. Dalam gasifikasi dan likuifaksi, VM juga
digunakan untuk memilih proses dan kondisikedua proses tersebut.

d. Penentuan Fixed Carbon


Fixed Carbon (FC) menyatakan banyaknya karbon yang terdapat dalam
material sisa setelah volatile matter dihilangkan. Kandungan FC digunakan
sebagai indeks hasil kokas dari batubara pada waktu dikarbonisasikan, atau
sebagai suatu ukuran material padat yang dapat dibakar di dalam muffle
furnace setelah fraksi zat mudah menguap dihilangkan. Apabila ash atau zat
mineral dikoreksi, maka kandungan FC dapat dipakai sebagai indeks rank
batubara dan parameter untuk mengklasifikasikan batubara.
34

Fixed Carbon ditentukan dengan perhitungan: 100 % dikurangi persentase


moisture, volatile matter, dan ash (dalam basis kering udara).

FC = 100% - %M - %A - %VM

Data fixed carbon digunakan dalam mengklasifikasikan batubara,


pembakaran, dan karbonisasi batubara. Fixed carbon kemungkinan membawa
pula sedikit persentase nitrogen, belerang, hidrogen, dan kemungkinan pula
oksigen sebagai zat yang terabsorpsi atau bergabung secara kimia Fixed
carbon adalah salah satu nilai yang digunakan di dalam perhitungan efisiensi
peralatan pembakaran.

2.7.2.3 Analisa Lainnya


Parameter khusus batubara bahan bakar, yaitu nilai kalor, kekerasan
batubara, HGI, dan suhu leleh ash.

a. Penentuan Calorific Value


Panas yang dilepaskan oleh batubara bila dibakar di udara merupakan
besaran yang sangat penting dalam menganalisis batubara. Energi yang
dibebaskan inj berasal dari adanya interaksi eksotermis senyawa hidrokarbon
dengan oksigen. Material lainnya seprti moisture, nitrogen, sulfu, dan zat
mineral juga mengalami perubahan kimia, tetapi kebanyakan reaksinya
endotermis dan akan mengurangi energi yang sebenarnya ada dalam batubara.
Di laboratorium nilai kalor ditentukan dengan cara membakar sampel
batubara sampel batubara dengan oksigen di dalam sebuah bomb calormeter
yang telah dikalibrasi dalam kondisi terkontrol. Kalorimeter distandarisasikan
dengan membakar standar asam benzoat murni. Setelah pembakaran batubara
di dalam bomb selesai, kebanyaka produknya mengembun. Hal ini
menghasilkan energi yang dibebaskan oleh batubara menjadi lebih tinggi
35

karena ada tambahan latent heat yang keluar karena proses kondensasi. Energi
yang diukur dengan cara ini disebut gross calorific value. Panas yang
dibebaskan per satuan berat batubara dalam kondisi terbuka disebut net
calorific value.

Gambar 11. Bom Kalorimeter


( sumber :basic knowledge of coal /presentasi CKIC/2013 )

Perhitungan pengubahan dari gross calorific value pada volume konstan


ke net calorific value pada tekanan konstan.

Qnet.p.m = Qngr,v - 212(H) - 0,8(O) - 24,5(M)


Dimana:
Qnet.p.m = NCV pada tekanan konstan dalam adanya moisture (Joules)
Qngr,v = GCV pada volume konstan
Perhitungan pengubahan dari gross calorific value ke net calorific
value menggunakan besaran kcal/kg.

Qnet.p.m = Qngr,v - 9(H) - 0,8(O) - 24,5 (M)


Dimana:
Qnet.p.m = NCV pada tekanan konstan dalam adanya moisture (cal)
Qngr,v = GCV pada volume konstan (kcal/kg)
36

b. Penentuan Kekerasan Batubara


Kekerasan batubara menunjukkan sifat kemudahan digerus dan sampai
seberapa jauh batubara merusak alat penggerus. Ukuran untuk kemudahan
suatu batubara dapat digerus halus untuk digunakan sebagai pulverised fuel
dinyatakan dengan HGI (Hardgrove Grindability Index). Besar kecilnya
indeks ini akan tergantung pada sifat-sifat fisika batubara dan sifat-sifat
mekanis dari mesin hardgrove.
Indeks HGI merupakan ukuran banyaknya energi yang digunakan untuk
menggerus suatu batubara. Ketahanan dan waktu penggerusan diambil
sebagai parameter untuk menentukan energi penggerusan yang diperlukan.
Kekerasan batubara merupakan fungsi dari rank, zat mineral, dan
petrografi organik. Ada empat golongan zat mineral yang berpengaruh pada
nilai HGI, yakni :
1. Lempung dan sulfat
2. Oksida-oksida, kuarsa, dan silikat
3. Pirit dan sulfida lainnya
4. karbonat-karbonat
Mineral mineral golongan (2) adalah paling keras (jadi menurunkan nilai
HGI), sedangkan mineral golongan (1) paling lunak (jadi menaikkan nilai
HGI).
Kedapatgerusan (grindability) batubara dan kinerja penggerusan adalah
parameter yang saling berkaitan dalam mendesain dan mengoperasikan
penggerusan. Suatu penurunan indeks HGI batubara dipasok (yakni makin
susah digerus) akan mempengaruhi kinerja penggerusan (yakni berkurangnya
hasil penggerusan dan pengembangan penggerusan dibatasi) untuk kapasitas
penggerus tertentu.
37

c. Penentuan Suhu Leleh Ash


Sifat-sifat ash pada suhu tinggi merupakan hal yang sangat penting dalam
menentukan kecocokan batubara untuk penggunaan tungku pembakaran
(furnace). Kebanyakan tungku pembakaran memerlukan ash untuk tetap
dalam keadaan padat atau serbuk, bahkan panas, sehingga dapat diambil dari
dasar unit dengan peralatan handling konvensional. Ash yang sebagian
meleleh dan menjadi suatu massa yang memadat pada pendinginan, akan
mengganggu pekerjaan tersebut. Cara-cara khusus penentuan suhu leleh ash
batubara memberikan informasi mengenai zat-zat anorganik dalam batubara
tersebut. Secara umum, sifat pelelehan ash batubara hampir seluruhnya
merupakan faktor dari susunan kimia batubara tersbut. Untuk ash dengan
kandungan besi yang cukup tinggi, pengaruh dari udara sekeliling cetakan
terlihat sekali. Peralatan untuk penentuan suhu leleh ash atau ash fusion
temperature (AFT) atau fusibility of ash terdiri atas furnace yang mempunyai
suhu antara 1000oC sampai 1500oC.
Suhu deformasi kemungkinan merupakan petunjuk yang paling baik
terhadap kinerja ash dalam penggunaan di Industri. Flow temperature lebih
banyak dipakai untuk penaksiran peralatan dan pengambilan ash dengan
penarikan terak atau slag.

Gambar 12. Ash Fushion Determinator


( sumber : basic knowledge of coal/ presentasi CKIC/2013 )
38

Tabel 3. Kandungan Bahan Organik Pembentukan Batubara


Bahan C% H% O%
Kayu (wood) 50 6 44

Gambut 55-60 5,5-6,5 30-40


(peat)

Lignit (Brown 60-75 5,0-6,0 20-30


Coal)

Bituminous 75-90 4,5-5,5 5-15


(Hard Coal)

90-96 2,0-4,5 2-5


Antrasit

Keterangan : C ( Karbon), H ( Hidrogen ), O (Oksigen)


(sumber :infotambang.com/clients/infotambang/ Pengantarganesabatubara.pdf )

Dasar penentuan rank (peringkat)


 Volatile Matter : VM << ; Rank >>
 Kandungan karbon : FC >> ; Rank >>
 Kandungan air : TM << ; Rank >>
 Nilai Kalori : CV >> ; Rank >>

2.8 Eksplorasi Batubara


Tujuan eksplorasi geologi untuk batubara umumnya mempunyai satu dari
dua kemungkinan berikut:
1. Untuk menentukan suatu daerah baru yang mengandung batubara dalam
jumlah tertentu dengan kualitas yang baik, atau
2. untuk menentukan kuantitas serta kualitas batubara dari daerah tertentu
yang dapat diekstraksi secara ekonomis.
39

Agar pekerjaan eksplorasi ini mencapai hasil yang maksimal, maka


eksplorasi harus dilaksanakan berdasarkan tahapan-tahapan yang telah di
koordinasikan dengan baik. Setiap tahap dikerjakan berdasarkan hasil dari
tahapan sebelumnya. Tidak semua daerah penyelidikan mempunyai tahapan
yang sama, tetapi akan bergantung pada keadaan alam daerah tersebut.
Seperti aktifitas eksplorasi yang lainnya, pengevaluasian dari endapan
batubara menyangkut operasional sebagai berikut :
1. Meminta izin untuk mengeksplorasikan daerah penyelidikan
2. Mengevaluasi informasi geologi yang telah ada ada
3. Mengerjakan eksplorasi permukaan (surface)
4. Mengerjakan eksplorasi di bawah permukaan tanah (subsurface)
5. Mengambil sampel batubara dan menganalisisnya di laboratorium
6. Menaksir cadangan batubara dan faktor geologi untuk
menambangnya
Standar Australia AS 2519-1982 mengemukakan lima tahapan eksplorasi
sebagai berikut.
1. Tahap Praeksplorasi
Dalam tahap praeksplorasi, begitu suatu daerah diketahui mengandung
batubara atau baru diperkirakan tetapi cukup meyakinkan akan adanya
batubara, segera dilakukan tahap penelitian atau research dengan
mengumpulkan data dari daerah tersebut. Dari data ini ditentukan tingkat
kemudahan pekerjaan eksplorasi dengan teknik survei geofisikan dan teknik
pengeboran.
Tujuan dari tahap praeksplorasi ini adalah membuat asumsi yang dapat
dipercaya mengenai berapa banyak lapisan batubara yang ada, kedalamannya,
arah pengembangannya, dan kualitas serta potensi komersialnya.
Pengetahuan yang digunakan dalam tahapan praeksplorasi adalah :
1. Peta topografi dan batas kepemilikan tanah
40

2. Peta dan laporan geologi


3. Foto udara atau inderaan satelit
4. Peta geofisika
5. Pengetahuan mengetahui daerah penyelidikan
6. Laporan-laporan eksplorasi
7. Catatan pengeboran air
8. Catatan pengeboran minyak serta laporan geofisikanya
9. Singkapan lapisan batubara
Informasi yang ada ini dilengkapi dengan pemetaan geologi yang secara
umum menggunakan fotogeologi dan peninjauan singkat ke lapangan untuk
membantu memilih sasaran pengeboran berdasarkan kriteria geologi.

2. Eksplorasi Tahap Pertama: Regional


Selama tahap pertama, diusahakan untuk memperoleh gambaran yang
jelas mengenai geologi endapan sehingga kualitas batubara dari bagian yang
mungkin bisa ditambang dapat didefinisikan. Struktur geologi dan penyebaran
jenis batubara sudah dapat diamati. Untuk menentukan struktur geologi, teknik
yang mula-mula dipergunakan adalah teknik geofisika, seperti survei refleksi
atau pantulan seismik. Dapat pula dibantu dengan fotogeologi dan cara-cara
empiris lainnya.
Dalam tahap pertama ini, umumnya sudah dilakukan pengeboran sejumlah
lubang bor dengan jarak yang relatif jauh. Lubang bor ini dapat sepenuhnya
dibor atau diselingi oleh rotary chip hole dan geophysical log, bergantung pada
keadaan batubaranya. Tahap pertama diakhiri setelah lapisan batubara yang
berpotensi ekonomis telah dilokalikasi dengan pasti.
Tujuan tahap pertama ini adalah menentukan korelasi dan kesinambungan
ke arah menyamping dari lapisan batubara dan stratanya, cara-cara
eksploitasinya, dan potensi pemanfaatannya.
41

3. Eksplorasi Tahap Kedua: Evaluasi dan Komersial


Struktur geologi dan korelasi antarlapisan batubara telah digambarkan
dalam tahapan eksplorasi regional. Informasi mengenai kualitas dan kuantitas
cadangan serta kemungkinan penambangan dan pencuciannya masih
merupakan perkiraan saja. Dalam tahapan evaluasi secara komersial ini,
informasi tersebut harus ditingkatkan nilai kepercayaannya untuk
memperkirakan cara penambangan dan biayanya serta potensi pemasarannya.
Eksplorasi dalam tahap kedua ini hampir seluruhnya dibatasi pada
pengeboran dan pengujian inti bor yang masih berukuran kecil. Pengujian
ply-by-ply masih diperlukan oleh ahli geologi untuk menyelesaikan atau
menegaskan korelasi antarlapisan batuabara.
Tujuannya adalah melakukan pengkajian yang pasti dan konservatif
terhadap kualitas batubara serta kondisi penambangan untuk penambangan
sementara batubara. Ditahap ini juga termasuk rencana produksi, perhitungan
biaya dan survei pasar.
Pada tahap ini, informasi harus mencapai level yang lebih tinggi untuk
menyediakan dasar bagi pengkajiaan metode penambangan, perhitungan
biaya dan memilih pasar yang potensial.

4. Ekplorasi Tahap Ketiga: Perencanaan Tambang


Dalam eksplorasi tahap perencanaan penambangan, dirancang tata letak
tambang, pusat pencucian batubara, dan spesifikasi pemasaran atau
pemanfaatan dari data pemboran inti bor.
Di daerah yang pada tahapan eksplorasi sebelumnya telah menunjukkan
adanya gangguan geologi, diperlukan penambahan pengeboran sehingga
pekerjaan penambangan dapat mengurangi pengaruh patahan (fault).
Secara khusus, gambaran struktur dari laisan lapisan batubara merupakan
hal yang sangant menentukan dalam perencanaan penambangan bawah tanah.
42

Apabila lapisan batubara akan ditambang dengan cara penambangan bawah


tanah, maka di bor suatu lubang yang langsung berbatasan dengan pintu masuk
dari tambang yang direncanakan. Inti bor dari lubang ini diuji dengan sangat
terperinci untuk meyakinkan sifat-sifat mekanika, sifat pencucian daN kualitas
produk penambangan serta penafsiran struktur di daerah sekitar pintu masuk
tambang.
Apabila akan dilakukan penambangan terbuka, perlu dilakukan
pengeboran roof atau batuan penutup untuk melengkapi dan meyakinkan data
yang terkumpul, seperti kemudahan remuk pemecahan dalam air, kekuatan
mekanis, pengembangan dalam air, tembus air, sifat-sifat pemotongan, aliran
air, sifat-sifat peledakan, dan kestabilan high wall, serta kestabilan onggokan
tanah buangan.
Pengoboran irisan, ketahanan, atau down hole logging harus dilakukan
untuk menentukan dengan teliti batas dari pengoksidasian lapisan batubara
untuk mendefinisikan low wall. Pengeboran irisan ini harus dilakukan
memotong sepanjang strike dari garis pengoksidasian yang diperkirakan.
Pemilihan tempat untuk mengebor inti bor berdiameter besar harus
berdasarkan pada hasil yang diperoleh dari inti bor berdiameter kecil, supaya
diperoleh sampel yang mewakili deretan kualitas untuk produksi di masa
mendatang.

5. Eksplorasi Tahap Keempat: Bulk Sampling


Pada eksplorasi tahap terakhir, jumlah batubara yang diambil dari satu
lapisan batubara mencapai ratusan hingga ribuan ton. Sampel ini diperlukan
untuk percobaan:
1. Pencucian batubara dalam skala penuh atau skala percobaan.
2. Pembakaran di PLTU untuk menentukan sifat-sifat penggerusan,
pembakaran, dan fly ash.
43

3. Pembuatan kokas menggunakan oven pengkokasan, baik pilot, atau


produksi.
4. Pengapalan sampel batubara yang telah dibersihkan untuk dikirimkan
ke pembeli.

PRA-EKSPLORASI
Penelitian (research)

EKSPLORASI REGIONAL
Struktur geologi, sifat-sifat lapisan batubara

EVALUASI SECARA KOMERSIAL


Pemboran, pengujian inti bor berdiameter
kecil

PERENCANAAN TAMBANG
Penambangan di bawah tanah : Pemboran tegak
lurus lapisan batubara, pengujian inti bornya.

BULK SAMPLING (PERCOBAAN PENAMBANGAN)


Pengambilan Sampel dalam jumlah besar.

Gambar 13. Skema tahapan eksplorasi batubara


(sumber :Buku Pengendalian Mutu dalam Industri Batubara/Muchjidin/Penerbit ITB )
44

2.8.1 Perencanaan Penambangan Batubara


Keputusan suatu perusahaan tambang untuk mengembangkan suatu
endapan batubara yang komersial meliputi beberapa perencanaan awal
(pre-planning) yang ekstensif, yaitu :
1) Mengkordinasikan sumber daya manusia (manpower)
2) Kecakapan atau skill dan teknologi
3) Mempersiapkan pernyataan dampak terhadap lingkungan
4) Memperoleh perizinan dari pemerintah
5) Pemasangan peralatan penambangan dan jasa pengangkutan
(transportasi)
6) Pembangunan seluruh pemukiman dengan fasilitasnya untuk daerah
terpencil (umumnya tambang batubara letaknya jauh dari perkotaan)
dan semua prasyarat untuk penambangan.

2.8.2 Perencanaan Awal dan Desain Proyek


Pada tahap awal pengembangan suatu tambang, perusahaan batubara harus
menentukan lokasi, ukuran dan luas cadangan, serta menaksir nilai endapan
batubara tersebut. Dalam menaksir kelangsungan hidup suatu proyek, hal-hal
yang penting untuk diperhatikan ialah keuntungan bagi penambang batubra
dibandingkan dengan kemungkinan penggunaan lain dari tanah, pencapaian
batubara, keuntungan secara ekonomis, transportasi, pencegahan pencemaran
dan cara-cara pembuangan bahan-bahan tak berguna, pengaruh penambangan
terhadap masyarakat, dan rehabilitasi tanah yang sudah ditambang.
Sebelum mempersiapkan tempat, merencanakan, dan membuat spesifikasi
untuk pengembangan tambang, dibuat terlebih dulu konsep dan rancangannya.
Hal ini menunjukkan usulan tata letak tambang yang meliputi pembangunan
tempat penggerusan batubara, lokasi bengkel, dan stockpile, fasilitas
pembangunan, jalan, dan sistem transportasi lainnya.
45

2.8.3 Pemilihan Cara Penambangan yang Cocok


Batubara dapat di tambang, baik secara terbuka maupun bawah tanah.
Faktor yang sangat penting untuk memilih cara penambangan ialah faktor
geologi dari endapan batubara dan lokasi geografisnya. Lapisan batubara yang
dekat ke permukaan tanpa adanya faktor keterpaksaan, ditambang dengan cara
penambangan terbuka. Faktor lainnya yang harus diperhatikan ialah
penggunaan tanah pada saat itu (misalnya pertanian atau hutan), potensi
pencemaran dan dampak estetikanya, biaya pengekstraksian, serta rehabilitasi
atau reklamasi. Umumnya, penambangan batubara dengan cara penambangan
terbuka lebih baik dibandingkan dengan cara lainnya karena batubara yang
dapat diambil lebih banyak dan pengekstraksian lebih cepat. Sebagai
tambahan, kondisi pekerjaan dan keselamatan kerja lebih baik pula.

2.8.4 Pencapaian Potensi Dampak Terhadap Lingkungan


Salah satu unsur penting dalam merencanakan penambangan batubara
adalah mengkaji secara terus-menerus kemungkinan adanya dampak dari
proyek terhadap lingkungan sekelilingnya. Penanggulan dampak yang baik
akan menguntungkan kedua belah pihak, yakni masyarakat dan penambang
batubara. Hal tersebut akan menolong dalam tahap awal desain, permasalahan
lingkungan yang potensial yang harus diperhitungkan, seperti kemungkinan
adanya pencemaran air atau kebisingan, kerusakan muka-tanah dan
kemungkinan pengaruh terhadap daerah di sekeliling tambang.
Menurut Peraturan Pemerintah, suatu perusahaan tambang bertanggung
jawab membuat Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) bila akan membuka
proyek penambangan yang baru. Setelah disetujui, barulah aktivitas
penambangan dimulai. Isi dari AMDAL, antara lain, menjelaskan
pengembangan penambangan, garis besar keadaan lingkungan dari tanah yang
akan digunakan, kemungkinan permasalahan lingkungan yang akan timbul,
46

dan cara pencegahan yang akan digunakan.


2.8.5 Konstruksi Serta Instalasi Peralatan dan Jasa
Setelah semua perizinan diperoleh, perusahaan tambang batubara dapat
dimulai mempersiapkan tempat dan instalasi untuk seluruh fasilitas
penambangan dan jasa. Umumnya persiapan tempat ditentukan oleh cara
penambangan yang akan dipakai, apakah akan menggunakan cara
penambangan terbuka atau bawah tanah. Pekerjaan penambangan akan
meliputi pemabatan dan semak belukar, pembangunan fasilitas perkantoran
dan camp, pembangunan ban berjalan (belt conveyor) untuk membawa
batubara dari tempat penambangan ke tempat penggerusan atau PLTU,
pembangunan tempat penggurusan batubara, saluran air, tempat penumpukkan
batubara, dan sebagainya.

2.9 Jenis-Jenis Penambangan

2.9.1 Penambangan Terbuka ( Surface Mining )


Penambangan terbuka merupakan cara penambangan batubara yang
pertama kali dilakukan orang. Dengan menggunakan beliung dan batangan,
para penambang zaman dahulu menggali batubara, baik yang tersingkap
berupa lapisan yang muncul di permukaan maupun yang terkubur beberapa
meter dibawah tanah. Sampai saat ini hampir semua tambang batubara di
Indonesia menggunakan cara penambangan terbuka, kecuali di beberapa
tambang, seperti Ombilin di Sawahlunto, Sumatera Barat, selain menggunakan
cara penambangan terbuka juga menggunakan cara penambangan bawah
tanah.
47

Gambar 14. Penambangan Terbuka


(sumber:http://idefa.blogspot.co.id/2012/10/metode-tambang-terbuka.html)
Pada prinsipnya ada dua cara penambangan terbuka, yakni :
2.9.3.1.1 Penambangan pengupasan (strip mining) yang digunakan
untuk menambang lapisan batubara tunggal, letaknya horizontal dan
kedalamannya mencapai 80 meter.
2.9.3.1.2 Penambangan sumur terbuka (open pit mining) yang
digunakan untuk menambang endapan yang terdiri atas beberapa
lapisan batubara. Dengan cara ini dapat ditambang lapisan batubara
dengan kedalaman lebih dari 80 meter.
Dibawah ini merupakan langkah-langkah melakukan penambangan
terbuka.
a. Perencanaan
Dalam merencanakan penambangan secara terbuka, diperlukan sejumlah
besar informasi dari sumber yang berbeda-beda. Pekerjaan ini di tunjang oleh
komputer yang dapat membuat simulasi tata letak tambang sebelum dimulai
pengembangan lebih lanjut. Faktor utama yang menentukan apakah suatu
lapisan batubara ekonomis atau tidak apabila dikerjakan dengan cara
penambangan terbuka ialah dengan mengetahui jenis dan lebih banyaknya
batuan penutup yang harus diangkat untuk mencapai batubara. Sebelum
tambang terbuka dikembangkan, terlebih dahulu dilakukan baseline collection
48

survey untuk membuktikan kebenaran dari baseline atau kondisi lingkungan


sebelum penambangan. Survei ini menyelidiki pengaruh tambang terhadap
lingkungan, yang dilakukan para ahli kualitas udara, air, tanah, ikan, vegetasi
dan arkeologi. Setelah survei baseline selesai, dibuat uraian perencanaan
tambang yang meliputi jenis tanah atau daratan, urutan penambangan,
peralatan yang akan digunakan, berapa banyak perkiraan batubara yang akan
ditambang, berapa banyak batuan penutup yang akan disingkirkan, bagaimana
cara reklamasinya dan bagaimana perusahaan akan memonitor semua aktivitas
tersebut sesuai dengan peraturan yang berlaku.

b. Penambangan Pengupasan
Secara umum untuk memperoleh batubara dengan cara penambangan
terbuka terdapat tahapan yang harus dilakukan sebagai berikut (ACA, 1982).
1. Pengupasan tanah penutup atau top soil dengan bantuan peralatan
yang bergerak (earth-moving equipment), kemudian ditimbun untuk
reklamasi atau langsung dipindahkan ke bekas penambangan yang
sedang dikerjakan reklamasinya.
2. Pengupasan-awal dengan face shovel and truck untuk membentuk
suatu lahan terbuka dimana dragline ditempatkan.
3. Pengeboran dan peledakan batuan penutup yang lebih dalam
4. Penggunaan dragline untuk menyingkirkan batuan penutup yang
lebih dalam guna menyingkap lapisan batubara.
5. Peledakan untuk melonggarkan lapisan batubara
6. Pemecahan lapisan batubara yang tersingkap dengan peledakan dan
kemudian memuatnya ke dalam haulage truck dengan face shovel
atau front-end loader. Lalu batubara diangkut ke tempat penggerusan
atau ke pusat pencucian.
7. Penyiraman jalan-jalan dengan tanker khusus secara teratur untuk
49

mengontrol emisi debu.


8. Penimbunan onggokan-onggokan material buangan (spoil) yang
bentuk bagian atasnya seperti gigi gergaji, dengan batuan suatu
dragline.
9. Penimbunan onggokan dengan batuan penutup hasil pengupasan
awal.
10. Meratakan kembali permukaan onggokan yang telah ditimbuni batuan
penutup sampai merupakan tanah datar.
11. Menempatkan kembali tanah penutup hasil pengupasan tahap 1.
12. Menanam tumbuhan diatas tanah bekas tambang.

2.9.2 Penambangan Sumur Terbuka


Penambangan sumur terbuka mempunyai ciri meliputi penyingkapan
daerah yang luas dengan sekali kerja. Karena pekerjaan sumur terbuka dapat
mencapai kedalaman yang lebih, maka perlu diperhatikan bahwa di drainase
air mencukupi dan sumur yang terbuka sudah stabil. Batuan sedimen yang
berkaitan dengan lapisan batubara umumnya lunak, cenderung remuk, dan
dapat meluncur sehingga kondisi dari dinding dan dasar sumur harus selalu
dimonitor. Peralatan yang digunakan meliputi:
1. Dragline

Gambar 15. Dragline


(sumber:http://ermantomuchlis.blogspot.co.id/2013/05/alat-gali-dan-alat-muat.html)
50

Umumnya tanah penutup harus dikeruk dan disingkirkan, serta suatu


daerah datar dipreparasi sebelum dragline mulai menyingkirkan batuan
penutup dan menyingkap lapisan batubara, bila perlu dibantu dengan
peledakan.
Dragline merupakan alat gali yang dipakai untuk menggali material
dengan jangkauan yang lebih jauh dari alat-alat gali lainnya.
Dalam melakukan penggalian, dragline bekerja melalui beberapa tahapan.
Tahapan tersebut berupa satu siklus yang dimulai dari penggalian sampai
pembongkaran. Adapun tahapan-tahapannya adalah sebagai berikut :
1. Dengan gerakan mengayun, bucket menuju posisi menggali. Agar
bucket jatuh tegak lurus dengan tanah maka drag cable dan hoist cable
dikendorkan.
2. Kemudian drag cable ditarik dan hoist cable dimainkan agar
kedalaman penggalian teratur.
3. Setelah bucket penuh, hoist cable dikunci dan bucket ditarik.
4. Boom kemudian melakukan berputar menuju tempat pembongkaran.

2. Truck and Shovel

Gambar 16. Truck and Shovel


(sumber :http://ermantomuchlis.blogspot.co.id/2013/05/alat-gali-dan-alat-muat.html)
Untuk menambang suatu endapan batubara yang hanya diselimuti oleh
batuan penutup yang dangkal atau beberapa lapisan batubara yang
51

diselang-seling oleh strata lain yang tipis, akan tidak ekonomis menggunakan
dragline. Sistem yang lebih fleksibel untuk menambang batubara demikian
ialah gabungan antara power shovel berkapasitas besar, pengikis, dan dump
truck yang bila perlu dibantu dengan sistem peledakan.

2.9.3.1.3 Bucket Wheel Excavator

Gambar 17. Bucket Wheel Excavator


(sumber:http://dunia-atas.blogspot.co.id/2011/03/bucket-wheel-excavator-mesin-raksasa.html
)

Suatu cara yang telah banyak digunakan diseluruh dunia untuk mengupas
batuan penutup yang lunak adalah bucket wheel excavator (BWE). Di
Indonesia, BWE digunakan hampir di semua tambang batubara, antara lain:
oleh PTBA di tambang batubara Tanjung Enim, Sumatera Selatan. Alat ini
sanggup untuk memotong lahan terbuka dengan lebar 40 meter dan kedalaman
25 meter dengan arah horizontal, memotong batuan penutup yang lunak, dan
memotong dalam deretan setengah lingkaran. Kemudian hasil kerja BWE
diteruskan oleh dragline yang akan menyingkirkan batuan penutup 45 meter
lagi, sehingga dapat bekerja sampai kedalaman 70 meter dengan sekali putaran
masig-masing mesin.
52

2.9.3 Penambangan Bawah Tanah ( Underground Mining )


Banyak endapan batubara yang terletak jauh didalam tanah sehingga
hanya dapat ditambang dengan cara penambangan bawah tanah. Untuk
mencapai lapisan batubara yang terletak dikedalaman tersebut, umumnya
diperlukan penanganan yang lebih rumit. Umumnya pada penambangan bawah
tanah tidak semua batubara yang ada di tempat tersebut dapat diambil.

Gambar 18. Penambangan Bawah Tanah


(sumber:http://bahangaliantambang.blogspot.co.id/2011/12/metoda-tambng-bawah-tanah.htm)

Ada dua cara penambangan bawah tanah yang sampai saat ini banyak
dilakukan orang, yaitu cara Bord and Pillar dan cara Longwall. Cara ketiga
yang merupakan gabungan unsur-unsur dari kedua cara tadi ialah cara
shortwall.

a. Cara Penambangan Bord and Pillar


Room and pillar method merupakan salah satu metode penambangan
bawah tanah (underground mine) yang memanfaatkan cadangan yang tidak
diekstrasi sebagai penyangga atau disebut sebagai pillar. Metode ini cocok
digunakan pada lapisan cadangan yang memiliki ketebalan lebih dalam. Pada
metode room and pillar, ekstrasi cadangan akan efisien jika cadangan yang
53

dijadikan sebagai pilar atau penyangga turut pula diekstrasi dengan cara
penambangan mundur (retreat mine) sehingga recovery cadangan lebih
banyak lagi presentasinya dibandingkan jumlah seluruh cadangan yang
terdapat pada lokasi tersebut.
Penambangan batubara tersebut dapat dilakukan dengan 2 metode, yaitu
mechanical - conventional method, dimana alat gali muat dan alat angkut
bergerak dari satu tempat ke tempat lain, seperti coal cutting machine,
loading machine, dan shuttle car, serta continuous mining method, dimana
alat gali muat dan alat angkut tidak bergerak, menggunakan continuous miner
dan belt conveyor.

Gambar 19. Skema Penambangan Bord and Pillar Mining


(sumber :http://www.michanarchy.com/2013/05/permodelan-tambang-bawah-tanah..html)

b. Cara Penambangan Longwall


Metode longwall ini digunakan khusus untuk bahan galian batubara.
Perolehannya tinggi, karena mengambil sebagian besar batubara. Front kerja
dapat dipusatkan, karena dapat berproduksi besar di satu front kerja. Pada
umumnya, untuk kemiringannya landai, mekanisme pengambilan batubara,
pengangkutan, dan penyanggaan menjadi mudah, sehingga dapat
meningkatkan efisiensi pengambilan batubara. Karena dapat memusatkan
54

front kerja, panjang lorong yang dirawat terhadap jumlah produksi batubara
menjadi pendek. Menguntungkan dari segi keamanan, karena ventilasinya
mudah dan swabakar yang timbul juga sedikit. Karena dapat memanfaatkan
tekanan batuan, pemotongan batubara menjadi mudah. Apabila terjadi hal-hal
seperti ambrukan permukaan kerja dan kerusakan mesin, penurunan produksi
batubaranya besar.

Gambar 20. Skema Penambangan Cara Longwall


(sumber :http://www.michanarchy.com/2013/05/ttambang-bawah-tanah-longwall.html)

Tambang longwall mencakup penambangan batubara secara penuh dari


suatu bagian lapisan atau "muka" dengan menggunakan gunting-gunting
mekanis. Tambang longwall harus dilakukan dengan membuat perencanaan
yang hati-hati untuk memastikan adanya geologi yang mendukung sebelum
dimulai kegiatan penambangan. Kedalaman permukaan batubara bervariasi di
kedalaman 100-350 m. Penyangga yang dapat bergerak maju secara otomatis
dan digerakkan secara hidrolik sementara menyangga atap tambang selama
pengambilan batubara. Setelah batubara diambil dari daerah tersbut, atap
tambang dibiarkan ambruk. Lebih dari 75% endapan batubara dapat diambil
dari panel batubara yang dapat memanjang sejauh 3 km pada lapisan
batubara.
55

Adapun prosedur pengolahan memperlihatkan tahapan proses


pengolahan batubara mulai dari penimbunan raw coal di lokasi pabrik
pengolahan sampai produk akhir pada gambar dibawah ini:

Gambar 21. Diagram Alir Pengolahan Batubara


(sumber :www.teknikpertambangan.wordpress.com)
56

2.10 Dampak Penambangan Batubara


Seperti yang diketahui, pertambangan batubara juga telah menimbulkan
dampak kerusakan lingkungan hidup yang cukup parah, baik itu air, tanah,
udara, dan hutan.
1. Air
Penambangan batubara secara langsung menyebabkan pencemaran air,
yaitu dari limbah pencucian batubara tersebut dalam hal memisahkan
batubara dengan sulfur. Limbah pencucian tersebut mencemari air sungai
sehingga warna air sungai menjadi keruh, asam, dan menyebabkan
pendangkalan sungai akibat endapan pencucian batubara tersebut. Limbah
pencucian batubara setelah diteliti mengandung zat-zat yang sangat
berbahaya bagi kesehatan manusia jika airnya dikonsumsi. Limbah tersebut
mengandung belerang (S), merkuri (Hg), asam sianida (HCn), mangan (Mn),
asam sulfat (H2SO4), dan timbal (Pb). Hg dan Pb merupakan logam berat
yang dapat menyebabkan penyakit kulit pada manusia seperti kanker kulit.

2. Tanah
Tidak hanya air yang tercemar, tanah juga mengalami pencemaran akibat
pertambangan batubara ini, yaitu terdapatnya lubang-lubang besar yang tidak
mungkin ditutup kembali yang menyebabkan terjadinya kubangan air dengan
kandungan asam yang sangat tinggi. Air kubangan tersebut mengadung zat
kimia seperti Fe, Mn, SO4, Hg dan Pb. Fe dan Mn dalam jumlah banyak
bersifat racun bagi tanaman yang mengakibatkan tanaman tidak dapat
berkembang dengan baik. SO4 berpengaruh pada tingkat kesuburan tanah dan
PH tanah, akibat pencemaran tanah tersebut maka tumbuhan yang ada
diatasnya akan mati.

3. Udara
57

Penambangan batubara menyebabkan polusi udara, hal ini diakibatkan


dari pembakaran batubara. Menghasilkan gas nitrogen oksida yang terlihat
cokelat dan juga sebagai polusi yang membentuk acid rain (hujan asam) dan
ground level ozone, yaitu tipe lain dari polusi yang dapat membuat kotor
udara. Selain itu debu-debu hasil pengangkatan batubara juga sangat
berbahaya bagi kesehatan, yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit
infeksi saluran pernafasan (ISPA), dan dalam jangka panjang jika udara
tersebut terus dihirup akan menyebabkan kanker, dan kemungkinan bayi lahir
cacat.

4. Hutan
Penambangan batubara dapat menghancurkan sumber-sumber kehidupan
rakyat karena lahan pertanian yaitu hutan dan lahan-lahan sudah dibebaskan
oleh perusahaan. Hal ini disebabkan adanya perluasan tambang sehingga
mempersempit lahan usaha masyarakat, akibat perluasan ini juga bisa
menyebabkan terjadinya banjir karena hutan di wilayah hulu yang semestinya
menjadi daerah resapan aitr telah dibabat habis. Hal ini diperparah oleh
buruknya tata drainase dan rusaknya kawan hilir seperti hutan rawa.

5. Laut
Pencemaran air laut akibat penambangan batubara terjadi pada saat
aktivitas bongkar muat dan tongkang angkut batubara. Selain itu, pencemaran
juga dapat mengganggu kehidupan hutan mangrove dan biota yang ada di
sekitar laut tersebut.

2.11 Penanggulangan Dampak Dari Penambangan Batubara


Berikut beberapa cara untuk menanggulangi dampak yang disebabkan
oleh batubara, yaitu:
58

1. Reklamasi Lingkungan Batubara


Penambangan batubara di Indonesia pada umumnya menyebabkan
kerusakan danperubahan bentuk lahan karena menggunakan metode
penambangan terbuka. Untuk mengatasi masalah tersebut dilakukan dengan
kegiatan reklamasi yang diharapkan dapat memulihkan kondisi ekosistem
seperti rona awalnya. Salah satu kegiatan reklamasi adalah penanaman
kembali dengan menggunakan jenis-jenis tanaman yang cepat tumbuh
sehingga lahan bekas tambang dapat kembali produktif. Selain dilakukan
untuk menjaga lahan agar tetap stabil dan lebih produktif, reklamasi juga
dilakukan untuk mencegah erosi. Bekas lokasi tambang yang telah
direklamasi harus dipertahankan agar keseimbangan ekosistem tetap terjaga.
Kegiatan pertambangan batubara memberikan dampak yang nyata pada
kerusakan lingkungan sehingga ekosistem yang ada di lingkungan itu menjadi
rusak dan juga dapat membahayakan pada ekosistem di lingkungan sekitarnya.
Untuk itu diperlukan cara untuk dapat mengembalikan fungsi lahan bekas
tambang agar tidak terjadi kerusakan yang berkelanjutan.
Kegiatan reklamasi harus melibatkan masyarakat.Upaya Pengelolaan
Lingkungan memang tidak pernah lepas dari pentingnya mengadopsi berbagai
pendekatan dalam manajemen lingkungan. Diketahui bahwa pelaksanaan
reklamasi di areal bekas tambang sudah dilakukan, tetapi keberhasilannya
masih jauh yang diharapkan sehingga belum memberikan hasil yang optimal
dalam upaya memulihkan fungsi lahan sesuai dengan peruntukkannya.

2. Pelaksanaan Reklamasi
Secara umum yang harus diperhatikan dan dilakukan dalam
merehabilitasi/reklamasi lahan bekas tambang yaitu dampak perubahan dari
59

kegiatan pertambangan, pencegahan air asam tambang, pengaturan drainase


dan tata guna lahan pasca tambang.
Rencana reklamasi lahan meliputi :
1. Pengisian kembali bekas tambang, penebaran tanah pucuk dan penataan
kembali lahan bekas tambang serta penataan lahan bagi pertambangan
yang kegiatannya tidak dilakukan pengisian kembali.
2. Stabilitas jangka panjang, penampungan tailing, kestabilan lereng dan
permukaan timbunan, pengendalian erosi dan pengelolaan air.
3. Keamanan tambang terbuka, longsoran, pengelolaan B3 dan bahaya
radiasi.
4. Karakteristik fisik kandungan bahan nutrient dan sifat beracun tailing
atau limbah batubara yang dapat berpengaruh terhadap kegiatan
reklamasi.
5. Pencegahan dan penanggulangan air asam tambang.

Selain itu untuk menghindari atau menekan sekecil mungkin dampak


negatif terhadap lingkungan akibat kegiatan penambangan, maka yang perlu
diperhatikan lebih lanjut :
1. Lokasi penambangan sedapat mungkin tidak terletak pada daerah resapan
atau pada akuifer sehingga tidak akan mengganggu kelestarian air tanah.
2. Lokasi penambangan sebaiknya terletak agak jauh dari pemukiman
penduduk sehingga suara bising ataupun debu yang timbul akibat
kegiatan tidak menganggu penduduk.
3. Lokasi penambangan tidak berdekatan dengan mata air penting sehingga
tidak menganggu kualitas dan kuantitas mata air tersebut.
4. Lokasi penambangan sedapat mungkin tidak terletak pada daerah aliran
sungai bagian hulu.
5. Lokasi penambangan tidak terletak dikawasan hutan lindung.
60

Gambar 22. Reklamasi dan Vegetasi


(sumber: http://ajiscfld.blogspot.com/2013/01/reklamasi-lingkungan-pertambangan.html)

2.12 Tujuan Reklamasi Suatu Ekosistem


Ada tiga hal yang menjadi tujuan reklamasi suatu ekosistem, yaitu :
1. Protektif, tujuan ini untuk memperbaiki stabilitas dari suatu lahan dan
erosi tanah
2. Produktif, untuk meningkatkan kesuburan tanah
3. Konservatif, kegiatan yang berguna untuk menyelamatkan jenis-jenis
tumbuhan yang telah langka
61

Dari tiga hal diatas, kegiatan penambangan masih dalam tahap protektif.
Perusahaan-perusahaan tambang masih mengupayakan agar tidak terjadi erosi
tanah pada lahan bekas tambang dengan cara menanam tanaman cover crops.
Diharapkan untuk ke depannya perusahaan pertambangan dapat
meningkatkan kegiatan reklamasi untuk produktif dan konservatif.

2.13 Usaha Mengurangi Dampak Penambangan Batubara


Usaha yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak
pertambanganbatubara adalah pengembangan Teknologi Batubara Bersih
(TBB).Teknologi batu bara bersih adalah sekumpulan teknologi yang
dikembangkan untuk mitigasi dampak lingkungan dari penggunaan batu bara.
Ketika batu bara digunakan sebagai bahan bakar, emisi gas buang yang
dihasilkan mencakup sulfur dioksida, nitrogen dioksida, karbon dioksida, dan
senyawa kimia lainnya tergantung pada jenis batu bara yang digunakan.
Berbagai cara digunakan untuk meminimalisasi dampak tersebut, di antaranya
pencucian batu bara secara kimiawi untuk mengurangi kadar mineral dan
bahan pengotor pada batu bara, gasifikasi, perlakuan gas buang dengan uap
untuk mengeliminasi sulfur dioksida, teknologi penangkapan dan
penyimpanan karbon, dan pengeringan batu bara untuk meningkatkan nilai
kalori batu bara.
Pembangkit listrik batubara bersih pertama kali beroperasi di dunia pada
bulan September 2008 di Spremberg, Jerman. Pembangkit ini dimiliki oleh
perusahaan Swedia Vattenfall dan telah dibangun oleh perusahaan Siemens
Jerman. Pembangkit ini disebut Pembangkit Listrik Schwarze Pumpe.
Fasilitas ini menangkap CO2 dan hujan asam, menghasilkan sulfida,
memisahkan mereka, dan mengkompres CO2 menjadi cairan. CO2 ini
diinjeksi ke ladang gas alam yang telah habis atau formasi geologi lainnya.
Teknologi ini memang dianggap bukanlah solusi akhir untuk pengurangan
CO2 di atmosfer, tetapi memberikan solusi dalam waktu dekat, sementara
62

solusi alternatif yang lebih baik bagi pembangkit listrik dapat dibuat secara
praktikal dan ekonomis.
Teknologi Batubara bersih antara lain:
1. Desulfurisasi
Sulfur dalam gasifikator terdiri dari abio-sulfur dan sulfur organik, dimana
hidrogen sulfurisasi (H2S) merupakan bagian yang dominan. Desulfurisasi gas
batubara bertujuan untuk menghilangkan hidrogen sulfurisasi yang merupakan
gas beracun. Gas batubara mengandung gas caustic seperti H2S, CO2 yang
cenderung mengikis dan merusak peralatan bersama-sama dengan air (H2O)
dan menyebabkan kebocoran gas batubara, menimbulkan pencemaran di
atmosfir atau bahkan menimbulkan ledakan yang merusak lingkungan dan
melukai pekerja. Karena itu, desulfurisasi sangat penting artinya.
Gas batubara mengandung H2S masuk ke menara desulfurisasi melalui
dasar dan di dalam lapisan paking bereaksi dengan cairan tandus desulfurisasi
yang disemprotkan dari puncak menara, yang menyerap H2S. Gas hasil
pemurnian dilepaskan dari puncak menara dan membuang air melalui alat
penangkap tetesan, dan kemudian dikirim ke perbengkelan untuk digunakan.
Cairan yang disemprotkan dari puncak yang menyerap hidrogen sulfurisasi
mengalir ke dalam saluran air yang kaya cairan melalui pompa regeneratif
untuk memisahkan sulfur dan dikirim ke saluran air semburan dan reneneratif
untuk bereaksi dengan udara. Setelah cairan teroksidasi dan mengalami
regenerasi, cairan mengalir ke dalam saluran air dengan cairan gundul melalui
alat pengatur posisi cairan dan digerakkan ke menara desulfurisasi melalui
pompa desulfurisasi, yang melanjutkan proses desulfurisasi. Dalam waktu
yang bersamaan, busa sulfur yang dihasilkan pada saluran air semburan dan
regenatif disaring dan cream sulfur dihasilkan.
Bahan gas berkontak dengan counter cairan desulfurisasi, H2S bereaksi
dengan cairan Na2CO3 dan terserap.
63

H2S+Na2CO3 NaHS+NaHCO3
Dalam saluran air reaksi, HS teroksidasi menjadi substansi sulfur
sederhana oleh ion logam berharga tinggi.
NaHS +NaHCO3 + 2 NaVO3 S + Na2V2O3 + H2O
Dalam saat itu, ion logam berharga rendah yang dihasilkan segera
dioksidasi substansi quinone menjadi ion logam berharga tinggi.
Na2V2O3+QNa2CO3+H2O 2NaVO3 + HQ
Pada saluran air pancar dan regeneratif, substansi phenol teroksidasi
menjadi substansi oleh udara.
2HQ + I/ 2O2 2Q + H2O
Proses reaksi terus berlangsung, dan karenanya gas terdesulfurisasi dan
termurnikan.

2. Membuang NOx dari batu bara


Nitrogen secara umum adalah bagian yang besar dari udara yang dihirup,
pada kenyataannya 79% dari udara adalah nitrogen, secara normal atom-atom
nitrogen mengambang terikat satu sama lainnya seperti pasangan kimia, tetapi
ketika udara dipanaskan seperti pada nyala api boiler (3000 F=1648 C), atom
nitrogen ini terpecah dan terikat dengan oksigen, bentuk ini sebagai nitrogen
oksida atau sering itu disebut sebagai NOx. NOx juga dapat dibentuk dari atom
nitrogen yang terjebak didalam batu bara.
Di udara, NOx adalah polutan yang dapat menyebabkan kabut coklat yang
kabur yang kadang kala terlihat di seputar kota besar, juga sebagai polusi yang
membentuk acid rain (hujan asam), dan dapat membantu terbentuknya sesuatu
yang disebut ground level ozone, tipe lain dari pada polusi yang dapat membuat
kotornya udara. Salah satu cara terbaik untuk mengurangi NOx adalah
menghindari dari bentukan asalnya, beberapa cara telah ditemukan untuk
membakar barubara di pemabakar dimana ada lebih banyak bahan bakar dari
64

pada udara di ruang pembakaran yang terpanas.


Di bawah kondisi ini kebanyakan oksigen terkombinasikan dengan bahan
bakar daripada dengan nitrogen. Campuran pembakaran kemudian dikirim ke
ruang pembakaran yang kedua dimana terdapat proses yang mirip
berulang-ulang sampai semua bahan bakar habis terbakar. Konsep ini disebut
staged combustion karena batu bara dibakar secara bertahap. Kadang disebut
juga sebagai low-NOx burners dan telah dikembangkan sehingga dapat
mengurangi kangdungan Nox yang terlepas di uadara lebih dari separuh. Ada
juga teknologi baru yang bekerja seperti scrubbers yang membersihkan NOX
dari flue gases (asap) dari boiler batu bara. Beberapa dari alat ini
menggunakan bahan kimia khusus yang disebut katalis yang mengurai bagian
NOx menjadi gas yang tidak berpolusi, walaupun alat ini lebih mahal dari
"low-NOx burners," namun dapat menekan lebih dari 90% polusi NOx.

3. Pencucian Batubara
Sebelum batubara itu diangkut atau dimanfaatkan, kadang-kadang perlu
dicuci atau dibersihkan dulu untuk menaikkan nilai plusnya, umumnya
menurunkan persentase kandungan ash. Caranya ialah batubara yang baru
datang dari tambang atau run of mine coal (ROM) dipilih ukuran tertentu dan
dibersihkan untuk menghilangkan material yang dapat dibakar, terutama ash.
Pekerjaan ini disebut coal preparation atau coal benefication

2.14 Teknologi Pemanfaatan Batubara


Teknologi pemanfaatan batubara dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar
maupun non bahan bakar, seperti yang terpapar pada gambar 23. dibawah ini.
65

Teknologi Pemanfaatan
Batubara

1. Batubara Sebagai Bahan Bakar 2. Batubara Sebagai Non Bahan


 Pencairan Bakar
 Gasifikasi
 PLTU  Karbon Aktif
 Industri Besi dan Baja  Pemanfaatan Abu Batubara
 Industri Semen
 Briket Batubara

Gambar 23. Pembagian Teknologi Pemanfaatan Batubara


(sumber : Program Litbang Teknologi Pengolahan dan Pemanfaatan Batubara/2014)

2.14.1 Batubara Sebagai Bahan Bakar


Batubara sebagai bahan bakar adalah batubara yang banyak di gunakan
sebagai bahan bakar baik secara langsung maupun melalui konversi. Batubara
sebagai bahan bakar banyak digunakan untuk dunia Industri yang
memanfaatkan energi panasnya secara langsung. Batubara sebagai bahan
bakar dapat diolah m,enjadi, yaitu:
a. Pencairan Batubara/Likuifaksi Batubara
Salah satu kekurangan batubara bentuknya yang berupa padatan serta
memiliki massa yang besar dengan densitas yang kecil serta kalori yang kecil
pula berbeda dengan minyak bumi yang memiliki nilai kalori yang besar.
Untuk menaikkan nilai kalori dari batubara tersebut maka batubara tersebut
harus ditingkatkan nilai kalornya dan salah satunya dengan dicairkan
sehingga dapat digunakan seperti minyak.
Pencairan Batubara atau Likuifaksi Batubara adalah suatu teknologi
proses yang mengubah batubara menjadi bahan bakar cair sintetis. Batubara
66

yang berupa padatan diubah menjadi bentuk cair dengan cara mereaksikannya
dengan hidrogen pada temperatur dan tekanan tinggi.
Proses ini dilakukan dengan cara menghaluskan ukuran butir batubara,
kemudian mencampur batubara ini dengan pelarut, campuran ini dinamakan
slurry. Slurry dimasukkan ke dalam reaktor bertekanan tinggi bersama
hidrogen dengan menggunakan pompa. Kemudian, slurry diberi tekanan
100-300 atm di dalam sebuah reaktor dan dipanaskan hingga suhu mencapai
400-480° C.

Gambar 24. Diagram Alir Proses Direct Coal Conversion


(sumber :http://www.distrodoc.com/506935-ringkasan-likuifikasi-batu-bara)
67

Secara kimiawi, proses ini akan mengubah bentuk hidrokarbon batubar


adari kompleks menjadi rantai panjang seperti pada minyak. Atau dengan kata
lain, batubara terkonversi menjadi liquid melaluipemutusan ikatan C-C dan
C-heteroatom secara termolitik atau hidrolitik (thermolytic and hydrolytic
cleavage), sehingga melepaskan molekul-molekul CO2, H2S, NH3, dan H2O.
Untuk itu rantai atau cincin aromatik hidrokarbonnya harus dipotong dengan
cara dekomposisi panas pada temperatur tinggi (thermal decomposition).
Setelah dipotong, masing-masing potongan pada rantai hidrokarbon tadi akan
menjadi bebas dan sangat aktif(free-radical). Supaya radikal bebas itu tidak
bergabung dengan radikal bebas lainnya (terjadi reaksi repolimerisasi)
membentuk material dengan berat molekul tinggi dan insoluble, perlu adanya
pengikat atau stabilisator, biasanya berupa gas hidrogen. Hidrogen bisa didapat
melalui tiga cara, yaitu transfer hidrogen dari pelarut, reaksi dengan fresh
hidrogen (penyusunan kembali terhadap hidrogen yang ada di dalam batubara),
dan menggunakan katalis yang dapat menjembatani reaksi antara gas hidrogen
dan slurry.
Likuifaksi batubara memiliki sejumlah manfaat :
 Mengurangi ketergantungan pada impor minyak serta
meningkatkankeamanan energi.
 Batubara cair dapat digunakan untuk transportasi,
memasak,pembangkit listrik stasioner, dan di industri kimia.
 Batubara yang diturunkan adalah bahan bakar bebas sulfur, rendah
partikulat, dan rendah oksida nitrogen.
Bahan bakar cair dari batubara merupakan bahan bakar olahan yang ultra
bersih, dapat mengurangi risiko kesehatan dari polusi udara dalam ruangan.
68

b. Gasifikasi (Indirect coal liquefaction)


Gasifikasi adalah suatu teknologi proses yang mengubah batubara dari
bahan bakar padat menjadi bahan bakar gas menghasilkan Synthesis Natural
Gas, (SNG). Pada proses tersebut terjadi pemecahan rantai karbon batubara ke
bentuk unsur atau senyawa kimia lain. Batubara dipanaskan dan diberi oksigen
di dalam reaktor sehingga menghasilkan gas batubara berupa campuran
gas-gas hidrogen, karbon monoksida, nitrogen, serta unsur gas lainnya.
Gasifikasi batubara merupakan teknologi terbaik serta paling bersih dalam
mengonversi batubara menjadi gas-gas yang dapat dimanfaatkan sebagai
energi listrik.

Gambar 25. Proses Gasifikasi Batubara


(sumber :http://idomining.com/2015/05/14/teknologi-gasifikasi-batu-bara/
69

Gasifikasi umumnya terdiri dari empat proses, yaitu pengeringan, pirolisis,


oksidasi, dan reduksi. Pada proses gasifikasi, ada suatu proses yang tidak kalah
penting yaitu proses desulfurisasi yang mana sebagai penghilang hidrogen
sulfur (gas beracun).
Proses gasifikasi memerlukan seperangkat alat reaktor yang dinamakan
gasifier. Pada gasifier tipe Gasifikasi Unggun Tetap (Fixed Bed Gasification),
kontak yang terjadi saat pencampuran antara gas dan padatan sangat kuat
sehingga perbedaan zona pengeringan, pirolisis, oksidasi, dan reduksi tidak
dapat dibedakan. Salah satu cara untuk mengetahui proses yang berlangsung
pada gasifier jenis ini adalah dengan mengetahui rentang temperatur
masing-masing proses, yaitu:
 Pengeringan : T > 150 °C
 Pirolisis/ Devolatilisasi : 150 < T < 550 °C
 Oksidasi : 70 < T < 550 °C
 Reduksi : 50 < T < 120 °C
Proses pengeringan, pirolisis, dan reduksi bersifat menyerap panas
(endotermik), sedangkan proses oksidasi bersifat melepas panas (eksotermik).
Pada pengeringan, kandungan air pada bahan bakar padat diuapkan oleh panas
yang diserap dari proses oksidasi. Pada pirolisis, pemisahan volatile matters
(uap air, cairan organik, dan gas yang tidak terkondensasi) dari arang atau
padatan karbon bahan bakar juga menggunakan panas yang diserap dari proses
oksidasi. Pembakaran mengoksidasi kandungan karbon dan hidrogen yang
terdapat pada bahan bakar dengan reaksi eksotermik, sedangkan gasifikasi
mereduksi hasil pembakaran menjadi gas bakar dengan reaksi endotermik.
Dalam kaitannya dengan gasifikasi batubara, ada teknologi yang sekarang
dikembangkan, yaitu IGCC (Integrated Gasification Combined Cycle). Dalam
penerapan teknologi ini, gas hasil gasifikasi batubara mengalami proses
pembersihan sulfur dan nitrogen. Gas yang sudah bersih ini dibakar di ruang
70

bakar kemudian gas hasil pembakaran disalurkan ke dalam turbin gas untuk
menggerakkan generator. Gas buang dari turbin gas dimanfaatkan dengan
menggunakan HRSG (Heat Recovery Steam Generator) untuk membangkitkan
uap. Uap dari HRSG digunakan untuk menggerakkan turbin uap yang akan
menggerakkan generator.
Kelebihan teknologi IGCC ini adalah emisi SO2, NOX, CO2 serta debu
dapat dikurangi dengan mudah, limbah cair serta luas tanah yang dibutuhkan
tidak terlalu banyak, produk sampingan yang dihasilkan merupakan komoditi
yang mempunyai nilai jual, seperti sulfur dan tar.
Efisiensi pembangkit listrik dengan menggunakan teknologi IGCC ini
lebih tinggi 5 - 10 % dibandingkan PLTU batubara konvensional. Di samping
itu, Coal gasifier tidak mengeluarkan polutan sehingga ramah lingkungan.
Ada empat jenis gasifier, yaitu :
 Fixed bed

Gambar 26. Jenis Gasifier Fixed Bed


(sumber :http://idomining.com/2015/05/14/teknologi-gasifikasi-batu-bara/

Dalam reactor fixed bed serbuk batubara yang direaksikan berukuran 3 –


30 mm. Batubara tersebut diumpankan dari atas reactor dan akan menumpuk
71

karena gaya beratnya yang disebut dengan solid bed. Uap dan oksigen
(oksidan) dihembuskan dari bawah berlawanan dengan masukan serbuk
batubara dengan residence time 1-5 jam yang akan bereaksi membentuk gas.
 Fuidized Bed
Fluidized Bed Gasifikasi adalah teknologi pembakaran yang digunakan
dalam pembangkit tenaga listrik. Pada proses gasifikasi seperti ini, kehilangan
tekanan (pressure loss) sedemikian sehingga daya dorong dibagian bawah bed
membuat kesetimbangan dengan gravitasi sehingga batubara yang diinjeksi
dari atas dalam bentuk serbuk yang berukuran antara 0.1-5 mm berada dalam
keadaan melayang dan juga berakibat permukaan reaksi menjadi lebih luas
sehingga reaksi akan menjadi lebih cepat dengan residense time 15-50 detik.

Gambar 27.Jenis Gasifier Fluidized Bed


(sumber :http://idomining.com/2015/05/14/teknologi-gasifikasi-batu-bara/

 Entrained Flow Gasifier


Pada gasifier ini udara (oksigen) dan steam bercampur dengan kecepatan
tertentu diumpankan bersama-sama serbuk batubara yang berukuran 0,5 mm
dimasukan ke bagian atas reaktor. Gas yang dihasilkan dialirkan melalui
72

bagian samping bawah reaktor, sedangkan sisa pembakarannya atau abu yang
dihasilkan akan keluar dari bawah reaktor. Proses gasifikasi ini terjadi pada
kondisi kecepatan gas pereaksi sangat tinggi sehingga membuat
partikel-partikel batubara terbawa oleh gas dan terjadilah turbulensi
menyebabkan partikel-partikel yang ukurannya 0,5 mm tersebut mengalami
pembakaran. Residence time untuk sistem ini antara 1-5 detik.

Gambar 28. Jenis Gasifier Fluidized Bed


(sumber :http://idomining.com/2015/05/14/teknologi-gasifikasi-batu-bara/

c. Pembangkit Listrik Tenaga Uap


Pembakaran batubara merupakan pemanfaatan batubara secara langsung
untuk memperoleh energi panas dan menghasilkan gas buang (flue gas) dan
abu. Pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) merupakan salah satu contoh
pemanfaatan batubara secara langsung. Dalam pemanfaatn tersebut, batubara
uap dibakar dipembangkit uap (bolier) untuk menghasilkan panas yang akan
73

digunakan untuk mengubah air menjadi uap air, yang selanjutnya digunakan
untuk menggerakkan turbin uap dan memutar generator guna menghasilkan
energi listrik.
Mula-mula ukuran butiran batubara tersebut dikecilkan hingga berukuran
halus untuk menambah luas permukaannya agar lebih mudah terbakar.
Batubara tersebut kemudian disemburkan ke tungku pembakaran
bertemperatur tinggi. Gas dan energi panas yang dihasilkan mengubah air pada
tabung di sekeliling tungku tersebut menjadi uap. Uap bertekanan tunggi
memutar turbin dengan kecepatan tinggi guna menggerakkan generator. Saat
ini, penggunaan batubara sebagai sumber energi pembangkit listrik tercatat
lebih kurang 39% kebutuhan listrik dunia (Panduan bisnis PTBA, 2008).

Gambar 29. Skema PLTU Batubara


(sumber:http://ptm-production.blogspot.co.id/2015/06/proses-kerja-pada-sistem-pembangkit.html)
74

d. Industri Besi dan Baja


Peran batubara penting dalam kegiatan industri besi dan baja. Sekitar 64%
produksi baja dunia berasal dari besi. Sebagai gambaran produksi baja dunia
yang mencapai 965 juta ton pada tahun 2003 memanfaatkan batubara sebesar
543 juta ton. Proses peleburan besi dan baja tersebut menggunakan kokas dan
batubara. Proses peleburan biji besi dilakukan dengan menggunakan tungku
peleburan tanur tinggi (blast furnace) dengan menggunakan kokas sebagai
reduktor.
Reaksi reduksi terjadi sebagai berikut :
C + O2 2CO2
CO2 + C 2CO
Fe2O3 + 3CO 2Fe + 3CO2

Gambar 30. Skema Industri Besi dan Baja


(sumber:world coal institute .pdf)
75

e. Industri Semen
Batubara digunakan sebagai sumber energi panas pada industri
semen.Pada proses pembakaran dalam tungku (klin), batubara dibakar dalam
ukuran halus (bentuk bubuk) dengan setiap 450 gram (g) batubara akan
menghasilkan semen sekitar 900 g. Pada masa mendatang peran batubara
masih cukup besar dalam industri semen.

Gambar 31. Produksi Semen


( sumber : basic knowledge of coal/ presentasi CKIC/2013)

f. Briket Batubara

Gambar 32. Briket Batubara


(sumber:http://ptm-production.blogspot.co.id/2015/06/prosespembuatan-briket-batubara.
76

html)
Briket batubara adalah teknologi pembentukan bahan bakar berwujud
padat yang menyenangkan yakni mudah dinyalakan dan tidak berasap.
Caranya adalah batubara/ arangnya dibubukkan kemudian dicampurkan
dengan bahan pengikat dan bahan penyulut lalu dicetak sesuai dengan bentuk
yang diinginkan. Teknologi ini pernah mendapat perhatian khusus dari
pemerintah tahun 1993, yakni dengan dikeluarkannya keputusan presiden
tentang program penggantian bahan bakar rumah tangga dari minyak tanah ke
briket batubara untuk pulau Jawa.
Secara umum proses pembriketan dapat diklasifikasikan menjadi 2
kelompok besar yaitu:
 Pembriketan Tidak Terkarbonisasi
Bahan bakunya adalah batubara 90% ditambah tanah liat 10%.
Selanjutnya bahan baku utama tersebut ditambah perekat sebesar 5% “tepung
tapioka”. Semua bahan tersebut dicampur hingga homogen dan dicetak
dengan tekanan tertentu dan dikeringkan.

 Pembriketan Terkarbonisasi
Batubara yang digunakan terlebih dahulu dikarbonisasi melalui proses
pembakaran parsial menjadi semikokas. Proses selanjutnya sama dengan
pemberiketan tidak terkarbonisasi. Bahan baku batubara semikokas 90%
dicampur tanah liat 10% dan ditambahkan tapioka 5%, diaduk hingga
homogen selanjutnya sama dengan pembriketan tidak terkarbonisasi. Bahan
baku batubara semikokas 90% dicampur tanah liat 10% dan ditambahkan
tapioka 5%, diaduk hingga homogen dan selanjutnya dicetak dengan tekanan
tertentu dan dikeringkan. Pembriketan 1 ton batubaraa muda akan
menghasilkan ± 0,4 ton briket batubara dengan kandungan H2O < 5% dan
kandungan VM < 20-24% (PTBA, 2005).
77

2.14.2 Batubara Sebagai Non Bahan Bakar


Selain bisa digunakan sebagai bahan bakar pada umumnya, batubara juga
bisa digunakan sebagai non bahan bakar yang juga banyak dimanfaatkan di
berbagai Industri. Batubara digunakan sebagai bahan dasar pembuatan karbon
aktif, dan selain itu juga dari pembakaran batubara pada pembangkit tenaga
listrik menghasilkan abu terbang (fly ash). Limbah abu batubara ini bisa juga
dimanfaatkan untuk pembuatan batako.

a. Karbon Aktif
Sejarah karbon aktif dimulai dari tahun 1600 BC, dimana arang kayu pada
waktu itu telah digunakan dalam dunia pengobatan di Mesir. Karbon aktif
merupakan slaah satu adsorben yang paling sering digunakan pada proses
adsorpsi. Hal ini disebabkan karena karbon aktif mempunyai daya adsorpsi
dan luas permukaan yang lebih baik dibandingkan adsorben lainnya (Walas
1990). Karbon aktif yang baik haruslah memiliki luas area permukaan yang
besar sehingga daya adsorpsinya juga akan besar (Sudibandiro et al, 2003).
Karbon aktif adalah senyawa karbon yang telah ditingkatkan daya adsorpsinya
dengan proses aktivasi. Pada proses aktivasi ini terjadi penghilangan hidrogen,
gas-gas dan air dari permukaan karbon sehingga terjadi perubahan fisik pada
permukaannya. Aktivasi ini terjadi karena terbentuknya gugus aktif akibat
adanya interaksi radikal bebas pada permukaan karbon dengan atom-atom
seperti oksigen dan nitrogen. Pada proses aktivasi juga terbentuk pori-pori
baru karena adanya pengikisan atom karbon melalui oksidasi ataupun
pemanasan.
Karbon aktif terdiri dari 87-97 % karbon dan sisanya berupa hidrogen,
oksigen, sulfur, dan nitrogen serta senyawa-senyawa lain yang terbentuk dari
proses pembuatan. Volume pori-pori karbon aktif biasanya lebih besar dari 0,2
cm3/gram dan bahkan terkadang melebihi 1 cm3/gram. Luas permukaan
78

internal karbon aktif yang telah diteliti umumnya lebih besar dari 500 m2/gram
dan bisa mencapai 1908 m2/gram.

Tabel 4. Kegunaan Karbon Aktif Dalam Skala Industri.


No. Maksud/ Tujuan Kegunaan
I. Adsorbat Gas
1. Permunian Gas Desulfurisasi, menghilangkan gas
beracun, bau busuk, asap.
2. Katalisator Reaksi katalisator, pengangkut vinil
klorida dan vinil asetat.
3. Lain-lain Menghilangkan bau dalam kamar
berpendinginan dan mobil
II. Adsorbat Cair
1. Industri obat dan makanan Menyaring dan menghilangkan warna,
bau, dan rasa
2. Kimia perminyakan Penyulingan bahan mentah dan zat
perantara.
3. Pengolahan air buangan Membersihkan air buangan dari
pencemaran, warna, bau, dan logam
berat.
4. Penambakan budidaya udang Menghilangkan bau ammonia, phenol,
H2S, mangan, FeCl3, nitrit, logam berat
dan warna.
III. Lain-lain
1. Pengolahan pupuk Pemurnian, penghilangan bau, gas
beracun, dan kekeruhan.
2. Pengolahan emas Pemurnian
3. Penyaringan minyak makanan dan Menghilangkan bau, warna, rasa tidak
glukosa enak, dan memudahkan proses.
(sumber: Rainudy Deswanto Atmoko, Pemanfaatan Karbon Aktif Batubara Termodifikasi TiO2 pada
proses reduksi gas Karbon Monoksida (CO) dan penjernihan asap kebakaran. Skripsi, Jurusan
Teknik Kimia Universitas Indonesia. Januari 2012).
79

Aplikasi penggunaan karbon aktif termodifikasi banyak digunakan pada


industri-industri saat ini, dikarenakan karbon aktif memiliki banyak
keuntungan dibandingkan dengan adsorben berpori lainnya, terutama zeolit,
seperti (Walker, 1996):
a. Karbon aktif dapat digunakan pada temperature di atas 700oC dan
ada beberapa yang stabil di atas 1400oC.
b. Karbon aktif cukup stabil bila ditambahkan asam, dimana zeolit akan
menjadi tidak stabil apabila pH medium menjadi asam.
c. Karbon aktif memiliki sifat hidrofobik (tidak suka air), sehingga
tidak perlu adanya treatment pemanasan. Jadi karbon aktif akan lebih
efisien daripada zeolit yang perlu di uapkan kandungan airnya.

b. Pemanfataan Abu Batubara


Selama ini reputasi bahan bakar fosil, terutama batu bara, memang sangat
buruk apabila dikaitkan dengan masalah pencemaran lingkungan. Proses
pembakaran batubara menghasilkan banyak produk sisa/buangan atau yang
dikenal dengan limbah batubara. Salah satu limbah yang dihasilkan dari
pembakaran batubara adalah abu terbang (fly ash). Abu terbang merupakan
limbah padat yang dihasilkan dari pembakaran batubara pada pembangkit
tenaga listrik. Limbah padat ini terdapat dalam jumlah yang cukup besar.
Jumlah abu terbang yang dihasilkan sekitar 15% -17 % dari tiap satu ton
pembakaran batubara (Safitri dkk. 2009). Jumlah tersebut cukup besar,
sehingga memerlukan pengolahan yang lebih lanjut.
Abu terbang batubara umumnya dibuang di ash lagoon atau ditumpuk
begitu saja di dalam area industri. Penumpukan abu terbang batubara ini
menimbulkan masalah bagi lingkungan., seperti pencemaran udara, perairan
dan penurunan kualitas ekosistem (Munir. 2008). Hal yang demikian ini
80

menunjukkan bahwa limbah padat ini benar-benar merupakan permasalahan


serius yang harus segera diatasi.
Pemanfaatan limbah abu terbang batubara menjadi suatu produk
merupakan salah cara dalam mengatasi limbah yang dihasilkan. Selain dapat
meningkatkan nilai ekonomisnya, proses pemanfaatan limbah abu terbang
juga mengurangi jumlah dan dampak buruknya terhadap lingkungan. Paat
sekarang ini, pemanfaatan abu terbang batubara sering digunakan sebagai
salah satu bahan campuran pembuat beton, karena mengandung senyawa
kimia yang bersifat pozzolan seperti alumina dan silika sehingga sesuai
digunakan sebagai bahan baku konstruksi (Hidayat, 2009).
Dengan pemanfaatan limbah abu terbang batubara menjadi batako
diharapkan akan dapat mengurangi limbah yang mencemari lingkungan dan
memberi nilai tambah tersendiri. Untuk itu perlu dilakukan penelitian lebih
jauh untuk mengetahui apakah abu batubara (fly ash) dapat dijadikannya
sebagai bahan campuran pembuatan batako yang kuat dan ramah lingkungan.

Gambar 32. Batako dari Fly Ash Batubara


(sumber: Arif Hamidi L, Ir. Aman, MT; Dra. Drastinawati, Msi,2008, Pemanfaatan Abu Batubara
(fly ash) sebagai bahan batako yang ramah lingkungan, Laporan Peneltian, Jurusan Teknik Kimia
Universitas Riau Kampus Binawidya)
81

Solidifikasi merupakan metode yang biasa digunakan dalam penanganan


limbah padat sebelum dibuang ke suatu lahan. Solidifikasi merupakan suatu
proses yang mencakup pencampuran limbah dengan bahan ikat untuk
mengimobilisasi logam-logam berat yang terkandung sehingga limbah bahan
berbahaya dan beracun (B3) bisa dikonversi menjadi suatu produk dan tidak
berbahaya bagi lingkungan. Disamping bisa dibuang ke landfill, hasil dari
solidifikasi bisa dimanfaatkan sebagai bahan konstruksi (Spensc dkk. 2006).
Beberapa peneliti telah melakukan solidifikasi terhadap limbah B3 dan
menunjukkan bahwa hasil solidifikasi limbah abu terbang batubara dapat
dijadikan sebagai bahan campuran bahan konstruksi. Kasam dkk. (2008)
melaporkan bahwa solidifikasi limbah alumina dari pengolahan minyak bumi
dapat dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan bahan konstruksi (batako).
Sifat mekanika, khususnya kuat tekan meningkat secara signifikan dan
sedangkan pada sifat kimia, khususnya leachet diketahui bahwa campuran
limbah alumina dapat mengimmobilisasi logam berat dengan baik. Selain
itu, Silitonga (2008) melaporkan bahwa penanganan Limbah TA-5,
sandblasting dan alumina yang dimanfaatkan sebagai bata tahan api
menggunakan teknik solidifikasi dapat mengimobilisasi logamlogam berat
yang terkandung dalam tiap limbah dan bahan susun bata. Penambahan
limbah mempengaruhi nilai kuat tekan bata tahan api. Penambahan limbah
sandblasting 20%, 25% dan 30% lebih mempengaruhi nilai kuat tekan bata
yaitu: 108 kg/cm2, 128 kg/cm2dan 162 kg/cm2. Hasil pengujian TCLP pada
limbah TA-5, sandblasting dan alumina dan tiap formula bata masih di bawah
Baku Mutu TCLP PP No.85 Tahun 1999 sehingga bata aman dimanfaatkan,
oleh karena itu penanganan limbah mengunakan metode solidifikasi perlu
dipelajari untuk mengetahui kinerja solidifikasi sebagai metode yang tepat
dalam penanganan limbah abu terbang (fly ash) batubara. Penelitian ini
bertujuan untuk menentukan apakah abu batubara (fly ash) dapat dijadikan
82

sebagai bahan campuran pembuatan batako yang kuat dan ramah lingkungan..
Upaya ini dilakukan untuk menentukan karakteristik mekanik khususnya kuat
tekan dan karakteristik kimia berupa pH dan tingkat pelindian (leached)
terhadap batako yang dihasilkan.

You might also like