You are on page 1of 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Penyakit jantung masih menjadi penyebab kematian utama di dunia. Berdasarkan
WHO tahun 2005, terdapat 17,5 juta kasus di dunia yang meninggal dikarenakan penyakit
jantung dan pembuluh darah.1 Setiap tahunnya angka kejadian terus meningkat, dan
diprediksikan akan mencapai angka dua puluh juta kasus pada tahun 2015.1 Salah satu
penyebab kematian akibat penyakit jantung adalah henti jantung atau cardiac arrest.1 Tiap
tahunnya di Amerika terjadi 420.000 kasus henti jantung.2 Henti jantung sendiri adalah
kondisi gawat darurat karena dapat terjadi secara mendadak dan membutuhkan penanganan
cepat. Jika tidak dilakukan bantuan hidup dasar segera, korban dapat meninggal.
Selain henti jantung, tersedak merupakan kejadian gawat darurat yang menjadi salah
satu penyebab tertinggi kematian anak, terutama anak di bawah 3 tahun.3 Hal ini dapat terjadi
karena tersedak sering disebabkan oleh benda-benda yang tidak berbahaya seperti makanan,
koin, dan mainan.3
B. TUJUAN
BAB II
PEMBAHASAN

A. DEFINISI
Keadaan henti jantung saat ini menjadi salah satu penyebab tertinggi kasus
kematian di berbagai belahan dunia. Henti jantung dapat terjadi kapan saja, di
mana saja, dan disebabkan oleh berbagai macam hal juga kondisi dan lingkungan
yang beragam. Anak dan bayi pun dapat terkena kejadian henti jantung ini. Oleh
karena itu, dibutuhkan serangkaian tindakan guna mencegah kematian yang
diakibatkan oleh henti jantung.1 Untuk melakukan pertolongan terhadap kejadian
ini, diperlukan sebuah teknik untuk menolong nyawa saat henti jantung. Teknik ini
dinamakan dengan Bantuan Hidup Dasar (BHD).1
Bantuan Hidup Dasar (BHD) merupakan sebuah fondasi utama yang
dilakukan untuk menyelamatkan seseorang yang mengalami henti jantung. BHD
terdiri dari identifikasi henti jantung dan aktivasi Sistem Pelayanan Gawat Darurat
Terpadu (SPGDT), Resusitasi Jantung Paru (RJP) dini, dan kejut jantung
menggunakan automated external defibrillator (AED) atau alat kejut jantung
otomatis.2 Resusitasi Jantung Paru (RJP) adalah serangkaian tindakan
penyelamatan jiwa untuk meningkatkan kemungkinan bertahan hidup dari korban
yang mengalami henti jantung.1 Inti dari RJP yang optimal adalah bagaimana cara
memberikan RJP sedini mungkin dan seefektif mungkin,1 oleh karena itu pada
bahasan ini akan dijelaskan mengenai bagaimana cara mengenali korban henti
jantung sedini mungkin hingga bagaimana cara menanganinya.
Keberhasilan dari resusitasi setelah henti jantung akan bergantung pada
langkah-langkah yang harus kita lakukan secara berurutan. Hal ini disebut juga
Rantai Keselamatan (gambar 1) yang mencakup:
1. Deteksi dini dari henti jantung dan aktivasi sistem pelayanan gawat
darurat terpadu (SPGDT)
2. Melakukan RJP secara dini dengan teknik penekanan yang tepat
3. Melakukan kejut jantung secara dini
4. Melakukan Bantuan Hidup Lanjut yang efektif
5. Melakukan resusitasi setelah henti jantung secara terintegrasi
Gambar 1. Rantai Keselamatan1

Sesuai dengan Rantai Keselamatan, ketika pertama kali melihat korban,


hal yang harus dilakukan adalah memastikan/mengetahui apakah korban
mengalami henti jantung atau tidak.1 Setelah mengenali tanda-tanda, penolong
secepatnya mengaktifkan SPGDT, dan meminta alat kejut jantung otomatis
(AED), dan segera lakukan RJP dengan awalnya berupa penekanan dada. Lalu
jika alat kejut jantung otomatis (AED) datang, segera pasangkan pada korban
untuk melakukan kejut jantung jika terdeteksi perlu kejut jantung. Untuk poin
nomor 4 dan 5 dari Rantai Keselamatan, yaitu Bantuan Hidup Lanjut dan
resusitasi pasca henti jantung secara terintegrasi dilakukan oleh tenaga medis
lanjutan.1

B. INDIKASI
1. Henti napas
Henti napas ditandai dengan tidak adanya gerakan dada dan aliran udara
pernapasan dari korban / pasien.
Henti napas merupakan kasus yang harus dilakukan tindakan Bantuan
Hidup Dasar. Henti napas dapat terjadi pada keadaan :
 Tenggelam
 Stroke
 Obstruksi jalan napas
 Epiglotitis
 Overdosis obat-obatan
 Tersengat listrik
 Infark miokard
 Tersambar petir
 Koma akibat berbagai macam kasus
Pada awal henti napas oksigen masih dapat masuk ke dalam
darah untuk beberapa menit dan jantung masih dapat mensirkulasikan
darah ke otak dan organ vital lainnya, jika pada keadaan ini diberikan
bantuan napas akan sangat bermanfaat agar korban dapat tetap hidup dan
mencegah henti jantung.
2. Henti jantung
Pada saat terjadi henti jantung secara langsung akan terjadi henti
sirkulasi. Henti sirkulasi ini akan dengan cepat menyebabkan otak dan
organ vital kekurangan oksigen. Pernapasan yang terganggu (tersengal-
sengal) merupakan tanda awal akan terjadinya henti jantung.
Bantuan hidup dasar merupakan bagian dari pengelolaan gawat
darurat medik yang bertujuan :
a. Mencegah berhentinya sirkulasi atau berhentinya respirasi.
b. Memberikan bantuan eksternal terhadap sirkulasi dan ventilasi dari korban yang
mengalami henti jantung atau henti napas melalui Resusitasi Jantung Paru
(RJP).

Resusitasi Jantung Paru terdiri dari 2 tahap, yaitu :


 Survei Primer (Primary Surgery), yang dapat dilakukan oleh setiap orang.
 Survei Sekunder (Secondary Survey), yang hanya dapat dilakukan oleh tenaga
medis dan paramedis terlatih dan merupakan lanjutan dari survei primer.

C.PENGKAJIAN
Dalam survei primer difokuskan pada bantuan napas dan bantuan
sirkulasi serta defibrilasi. Untuk dapat mengingatkan dengan mudah tindakan
survei primer dirumuskan dengan abjad A, B, C, dan D, yaitu :
A airway (jalan napas)
B breathing (bantuan napas)
C circulation (bantuan sirkulasi)
D defibrilation (terapi listrik)
Sebelum melakukan tahapan A(airway), harus terlebih dahulu
dilakukan prosedur awal pada korban / pasien, yaitu :
1. Memastikan keamanan lingkungan bagi penolong.
2. Memastikan kesadaran dari korban / pasien.
Untuk memastikan korban dalam keadaan sadar atau tidak, penolong
harus melakukan upaya agar dapat memastikan kesadaran korban / pasien,
dapat dengan cara menyentuh atau menggoyangkan bahu korban / pasien
dengan lembut dan mantap untuk mencegah pergerakan yang berlebihan,
sambil memanggil namanya atau Pak !!! / Bu !!! / Mas !!! / Mbak !!!

3. Meminta pertolongan
Jika ternyata korban / pasien tidak memberikan respon terhadap
panggilan, segera minta bantuan dengan cara berteriak “Tolong !!!”
untuk mengaktifkan sistem pelayanan medis yang lebih lanjut.

4. Memperbaiki posisi korban / pasien


Untuk melakukan tindakan BHD yang efektif, korban / pasien harus
dalam posisi terlentang dan berada pada permukaan yang rata dan keras.
Jika korban ditemukan dalam posisi miring atau tengkurap, ubahlah posisi
korban ke posisi terlentang. Ingat ! penolong harus membalikkan korban
sebagai satu kesatuan antara kepala, leher dan bahu digerakkan secara
bersama-sama. Jika posisi sudah terlentang, korban harus dipertahankan
pada posisi horisontal dengan alas tidur yang keras dan kedua tangan
diletakkan di samping tubuh.

5. Mengatur posisi penolong


Segera berlutut sejajar dengan bahu korban agar saat memberikan bantuan
napas dan sirkulasi, penolong tidak perlu mengubah posisi atau
menggerakan lutut.
A (AIRWAY) Jalan Napas
Setelah selesai melakukan prosedur dasar, kemudian dilanjutkan
dengan melakukan tindakan :
1. Pemeriksaan jalan napas
Tindakan ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya sumbatan jalan
napas oleh benda asing. Jika terdapat sumbatan harus dibersihkan dahulu,
kalau sumbatan berupa cairan dapat dibersihkan dengan jari telunjuk atau
jari tengah yang dilapisi dengan sepotong kain, sedangkan sumbatan oleh
benda keras dapat dikorek dengan menggunakan jari telunjuk yang
dibengkokkan. Mulut dapat dibuka dengan tehnik Cross Finger, dimana
ibu jari diletakkan berlawanan dengan jari telunjuk pada mulut korban.

2. Membuka jalan napas


Setelah jalan napas dipastikan bebas dari sumbatan benda asing, biasa
pada korban tidak sadar tonus otot–otot menghilang, maka lidah dan
epiglotis akan menutup farink dan larink, inilah salah satu penyebab
sumbatan jalan napas. Pembebasan jalan napas oleh lidah dapat dilakukan
dengan cara tengadah kepala topang dagu (Head tilt – chin lift) dan
Manuver Pendorongan Mandibula. Teknik membuka jalan napas yang
direkomendasikan untuk orang awam dan petugas kesehatan adalah
tengadah kepala topang dagu, namun demikian petugas kesehatan harus
dapat melakukan manuver lainnya.
B ( BREATHING ) Bantuan napas
Terdiri dari 2 tahap :
1. Memastikan korban / pasien tidak bernapas.
Dengan cara melihat pergerakan naik
turunnya dada, mendengar bunyi napas dan
merasakan hembusan napas korban / pasien.
Untuk itu penolong harus mendekatkan telinga di
atas mulut dan hidung korban / pasien, sambil
tetap mempertahankan jalan napas tetap terbuka.
Prosedur ini dilakukan tidak boleh melebihi 10
detik.

2. Memberikan bantuan napas.


Jika korban / pasien tidak bernapas, bantuan napas dapat dilakukan melalui
mulut ke mulut, mulut ke hidung atau mulut ke stoma (lubang yang dibuat pada
tenggorokan) dengan cara memberikan hembusan napas sebanyak 2 kali
hembusan, waktu yang dibutuhkan untuk tiap kali hembusan adalah 1,5–2 detik
dan volume udara yang dihembuskan adalah 400 -500 ml (10 ml/kg) atau sampai
dada korban / pasien terlihat mengembang.
Penolong harus menarik napas dalam pada saat akan
menghembuskan napas agar tercapai volume udara yang cukup.
Konsentrasi oksigen yang dapat diberikan hanya 16–17%. Penolong
juga harus memperhatikan respon dari korban / pasien setelah diberikan
bantuan napas.

Cara memberikan bantuan pernapasan :


1. Mulut ke mulut
Bantuan pernapasan dengan menggunakan cara ini merupakan cara yang
cepat dan efektif untuk memberikan udara ke paru–paru korban / pasien.
Pada saat dilakukan hembusan napas
dari mulut ke mulut, penolong harus
mengambil napas dalam terlebih dahulu dan
mulut penolong harus dapat menutup
seluruhnya mulut korban dengan baik agar
tidak terjadi kebocoran saat menghembuskan
napas dan juga
penolong harus menutup lubang hidung korban / pasien dengan ibu jari dan jari
telunjuk untuk mencegah udara keluar kembali dari hidung. Volume udara
yang diberikan pada kebanyakan orang dewasa adalah 400 - 500 ml (10 ml/kg).
Volume udara yang berlebihan dan laju inspirasi yang terlalu cepat dapat
menyebabkan udara memasuki lambung, sehingga terjadi distensi lambung.

2. Mulut ke hidung
Teknik ini direkomendasikan jika
usaha ventilasi dari mulut korban tidak
memungkinkan, misalnya pada Trismus
atau dimana mulut korban mengalami luka
yang berat, dan sebaliknya jika melalui
mulut ke hidung, penolong harus menutup
mulut korban / pasien.

3. Mulut ke Stoma
Pasien yang mengalami laringotomi
mempunyai lubang (stoma) yang
menghubungkan trakhea langsung ke kulit.
Bila pasien mengalami kesulitan
pernapasan maka harus dilakukan ventilasi
dari mulut ke stoma.
C (CIRCULATION) Bantuan sirkulasi
Terdiri dari 2 tahapan :
1. Memastikan ada tidaknya denyut jantung korban / pasien.
Ada tidaknya denyut jantung korban / pasien dapat ditentukan
dengan meraba arteri karotis didaerah leher korban / pasien, dengan dua
atau tifa jari tangan (jari telunjuk dan tengah) penolong dapat meraba
pertengahan leher sehingga teraba trakhea, kemudian kedua jari digeser
ke bagian sisi kanan atau kiri kira–kira 1–2 cm, raba dengan lembut
selama 5–10 detik.

Jika teraba denyutan nadi, penolong harus kembali memeriksa


pernapasan korban dengan melakukan manuver tengadah kepala
topang dagu untuk menilai pernapasan korban / pasien. Jika tidak
bernapas lakukan bantuan pernapasan, dan jika bernapas pertahankan
jalan napas.

2. Melakukan bantuan sirkulasi


Jika telah dipastikan tidak ada denyut jantung, selanjutnya dapat
diberikan bantuan sirkulasi atau yang disebut dengan kompresi jantung
luar, dilakukan dengan teknik sebagai berikut :
 Dengan jari telunjuk dan jari tengah penolong menelusuri tulang iga kanan
atau kiri sehingga bertemu dengan tulang dada (sternum).
 Dari pertemuan tulang iga (tulang sternum) diukur kurang lebih 2 atau 3 jari
ke atas. Daerah tersebut merupakan tempat untuk meletakkan tangan
penolong dalam memberikan bantuan sirkulasi.

 Letakkan kedua tangan pada posisi tadi dengan cara menumpuk satu telapak
tangan diatas telapak tangan yang lainnya, hindari jari–jari tangan menyentuh
dinding dada korban / pasien, jari–jari tangan dapat diluruskan atau
menyilang.
 Dengan posisi badan tegak lurus, penolong menekan dinding dada korban
dengan tenaga dari berat badannya secara teratur sebanyak 30 kali dengan
kedalaman penekanan berkisar antara 1,5–2 inci (3,8–5 cm).
 Tekanan pada dada harus dilepaskan keseluruhannya dan dada dibiarkan
mengembang kembali ke posisi semula setiap kali melakukan kompresi dada.
Selang waktu yang dipergunakan untuk melepaskan kompresi harus sama
dengan pada saat melakukan kompresi. (50% Duty Cycle).
 Tangan tidak boleh lepas dari permukaan dada dan atau merubah posisi
tangan pada saat melepaskan kompresi.
 Rasio bantuan sirkulasi dan pemberian napas adalah 30 : 2 dilakukan baik
oleh 1 atau 2 penolong jika korban / pasien tidak terintubasi dan kecepatan
kompresi adalah 100 kali permenit (dilakukan 4 siklus permenit), untuk
kemudian dinilai apakah perlu dilakukan siklus berikutnya atau tidak.
Dari tindakan kompresi yang benar hanya akan mencapai
tekanan sistolik 60–80 mmHg, dan diastolik yang sangat rendah,
sedangkan curah jantung (cardiac output) hanya 25% dari curah
jantung normal. Selang waktu mulai dari menemukan pasien dan
dilakukan prosedur dasar sampai dilakukannya tindakan bantuan
sirkulasi (kompresi dada) tidak boleh melebihi 30 detik.

D (DEFRIBILATION)
Defibrilation atau dalam bahasa Indonesia
diterjemahkan dengan istilah defibrilasi adalah suatu
terapi dengan memberikan energi listrik. Hal ini
dilakukan jika penyebab henti jantung (cardiac
arrest) adalah kelainan irama jantung yang disebut
dengan Fibrilasi Ventrikel. Dimasa sekarang ini
sudah tersedia alat untuk defibrilasi (defibrilator)
yang dapat digunakan oleh orang awam yang disebut
Automatic External Defibrilation, dimana alat
tersebut dapat mengetahui korban henti jantung ini harus dilakukan defibrilasi atau
tidak, jika perlu dilakukan defibrilasi alat tersebut dapat memberikan tanda kepada
penolong untuk melakukan defibrilasi atau melanjutkan bantuan napas dan bantuan
sirkulasi saja.

D.LANGKAH-LANGKAH
A. Prosedur Dasar CPR
1. Pastikan keamanan penolong dan pasien
2. Nilai Respon klien

 Segera setelah aman


 Memeriksa korban dengan cara menepuk bahu “Are you all right ?”
 Hati-hati kemungkinan trauma leher
 Jangan pindahkan / mobilisasi pasien bila tidak perlu
3. Segera Berteriak Minta Pertolongan
4. Memperbaiki Posisi Pasien

 Posisi Supine
 Bila pasien tidak memberikan respon : tempatkan pd permukaan datar dan keras
 Bila curiga cedera spinal; pindahkan pasien dengan cara: kepala, bahu dan
badan bergerak bersamaan (log roll / in-line)
5. MEMPERBAIKI POSISI PENOLONG Posisi penolong : di samping pasien
/ di atas kepala (kranial) pasien

B. Survei Primer
1. AIRWAY (JALAN NAFAS)
a. Pemeriksaan jalan nafas
Jangan lakukan head tilt sebelum pastikan tidak ada sumbatan jalan nafas.
b. Membuka Jalan Nafas :
Head tild - Chin lif atau Jaw thrust

2. BREATHING
Terdiri dari 2 tahap :
- Memastikan pasien tidak bernafas :
- Melihat (look), mendengar (listen), merasakan (feel) à <10 detik

APNEU, NAFAS ABNORMAL, NAFAS TIDAK ADEKUAT


1. Memberikan Bantuan Napas
2. Hembusan nafas : 2x hembusan nafas
3. Waktu/hembusan : 1,5-2 detik
4. Volume : 700-1000 ml (10 ml/kg BB) atau sampai terlihat dada pasien
mengembang Konsentrasi hanya 16-17%.
Bila volume berlebihan dan laju inspirasi terlalu cepat → distensi lambung
- Mulut ke mulut
- Mulut ke mask
EVALUASI :

 Jika mengalami kesulitan untuk memberikan nafas buatan yang efektif, periksa
apakah masih ada sumbatan di mulut pasien serta perbaiki posisi tengadah kepala dan
angkat dagu yang belum adekuat. Lakukan sampai dapat dilakukan 2 kali nafas
buatan yang adekuat.
 Bila pasien kembali bernafas spontan dan normal tetapi tetap belum sadar, ubah
posisi pasien ke posisi miring mantap, bila pasien muntah tidak terjadi aspirasi .
 Waspada terhadap kemungkinan pasien mengalami henti nafas kembali, jika terjadi
segera terlentangkan pasien dan lakukan nafas buatan kembali.

3. CIRCULATION
Pastikan tidak ada denyut jantung pada arteri karotis atau brakhialis (anak) Memastikan
ada tidaknya denyut jantung < 10 detik

 Lakukan Compresi 30 kali


 Pada 1/2 bawah mid sternum, diantara 2 putting susu dengan posisi tangan
menggunakan
metode “rib margin”

 Kedalaman kompresi jantung minimal 2 inci (5 cm)


 Kompresi Jantung Luar 30 kali ( satu atau 2 penolong) membutuhkan waktu 18 detik
Kecepatan kompresi min. 100x/mnt

RJP Sebelum & Sesudah Intubasi

Sebelum intubasi
- Dewasa (>8 th) = Rasio 30 : 2 (utk 1 & 2 penolong)
- Khusus :Anak (1-8 th) dan Bayi (<1 th )
30 : 2 (1 penolong)
15 : 2 (2 penolong)
Setelah intubasi
- Kompresi 100 x/mnt
- Ventilasi 8 - 10 x/mnt
- 5 x siklus 30 :2 (= 2 mnt) à nilai ulang sirkulasi

4. EVALUASI CIRCULATION, AIRWAY & BREATHING

 Sesudah 5 siklus ventilasi dan kompresi kemudin pasien dievaluasi kembali.


 Jika tidak ada nadi karotis, dilakukan kembali kompresi dan bantuan nafas dengan
rasio 30:2.
 Jika ada nafas dan denyut nadi teraba letakan pasien pada posisi mantap.
 Jika tidak ada nafas tetapi nadi teraba, berikan bantuan nafas sebanyak 10 x/menit dan
monitor nadi setiap 2 menit.
 Jika sudah terdapat pernafasan spontan dan adekuat serta nadi teraba, jaga agar jalan
nafas tetap terbuka.
Penting :
Setiap evaluasi dimulai dari sirkulasi :

 Sirkulasi ( - ) : teruskan Kompresi + Ventilasi (5 siklus)


 Sirk (+) Nafas (-) : nafas buatan 10 x/menit
 Sirk (+) Nafas (+) : posisi sisi mantap, jaga jalan nafas
DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization. Global atlas on cardiovascular disease


prevention and control. Switzerland: WHO; 2011. 164p. ISBN 978 92 4
156437 3
2. AHA. About cardiac arrest [Internet]. 2014 [cited 24 June 2015]. Available
from:
http://www.heart.org/HEARTORG/Conditions/More/CardiacArrest/Abou
tCardiac-Arrest_UCM_307905_Article.jsp
3. Prevention of Choking Among Children. PEDIATRICS [Internet]. 2010
[cited 24 June 2015];125(3):601-607. Available from:
http://pediatrics.aappublications.org/content/125/3/601.full#sec-1
4. Travers AH, Rea TD, Bobrow BJ, Edelson DP, Berg RA, Sayre
MR, et al. Part 4: CPR Overview: 2010 American Heart Association
Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency
Cardiovascular Care. Circulation 2010;122; S676-S684
5. Koster RW, Baubin MA, Bossaert LL, Caballero A, Cassan P, Castren M,
et al. European resuscitation council guidelines for resuscitation 2010
Section 2. Adult basic life support and use of automated external
defibrillator. Resuscitation 81 (2010) 1277 – 1292

You might also like