You are on page 1of 10

Euthanasia Menurut Hukum Islam

Apakah euthanasia dibolehkan dalam Islam ?


EUTHANASIA MENURUT HUKUM ISLAM

Pengertian Euthanasia
Euthanasia secara bahasa berasal dari bahasa Yunani eu yang berarti “baik”, dan thanatos,
yang berarti “kematian” (Utomo, 2003:177). Dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah qatlu
ar-rahma atau taysir al-maut. Menurut istilah kedokteran, euthanasia berarti tindakan agar
kesakitan atau penderitaan yang dialami seseorang yang akan meninggal diperingan. Juga
berarti mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat
menjelang kematiannya (Hasan, 1995:145).
Dalam praktik kedokteran, dikenal dua macam euthanasia, yaitu euthanasia aktif dan
euthanasia pasif. Euthanasia aktif adalah tindakan dokter mempercepat kematian pasien
dengan memberikan suntikan ke dalam tubuh pasien tersebut. Suntikan diberikan pada saat
keadaan penyakit pasien sudah sangat parah atau sudah sampai pada stadium akhir, yang
menurut perhitungan medis sudah tidak mungkin lagi bisa sembuh atau bertahan lama.
Alasan yang biasanya dikemukakan dokter adalah bahwa pengobatan yang diberikan hanya
akan memperpanjang penderitaan pasien serta tidak akan mengurangi sakit yang memang
sudah parah (Utomo, 2003:176).
Contoh euthanasia aktif, misalnya ada seseorang menderita kanker ganas dengan rasa sakit
yang luar biasa sehingga pasien sering kali pingsan. Dalam hal ini, dokter yakin yang
bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran
tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan
pernapasannya sekaligus (Utomo, 2003:178).
Adapun euthanasia pasif, adalah tindakan dokter menghentikan pengobatan pasien yang
menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan.
Penghentian pengobatan ini berarti mempercepat kematian pasien. Alasan yang lazim
dikemukakan dokter adalah karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas, sementara dana
yang dibutuhkan untuk pengobatan sangat tinggi, sedangkan fungsi pengobatan menurut
perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi. Terdapat tindakan lain yang bisa digolongkan
euthanasia pasif, yaitu tindakan dokter menghentikan pengobatan terhadap pasien yang
menurut penelitian medis masih mungkin sembuh. Alasan yang dikemukakan dokter
umumnya adalah ketidakmampuan pasien dari segi ekonomi, yang tidak mampu lagi
membiayai dana pengobatan yang sangat tinggi (Utomo, 2003:176).
Contoh euthanasia pasif, misalkan penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah
dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada otak yang tidak ada harapan untuk sembuh.
Atau, orang yang terkena serangan penyakit paru-paru yang jika tidak diobati maka dapat
mematikan penderita. Dalam kondisi demikian, jika pengobatan terhadapnya dihentikan, akan
dapat mempercepat kematiannya (Utomo, 2003:177).
Menurut Deklarasi Lisabon 1981, euthanasia dari sudut kemanusiaan dibenarkan dan
merupakan hak bagi pasien yang menderita sakit yang tidak dapat disembuhkan. Namun
dalam praktiknya dokter tidak mudah melakukan euthanasia, karena ada dua kendala.
Pertama, dokter terikat dengan kode etik kedokteran bahwa ia dituntut membantu
meringankan penderitaan pasien Tapi di sisi lain, dokter menghilangkan nyawa orang lain
yang berarti melanggar kode etik kedokteran itu sendiri. Kedua, tindakan menghilangkan
nyawa orang lain merupakan tindak pidana di negara mana pun. (Utomo, 2003:178).
Pandangan Syariah Islam
Syariah Islam merupakan syariah sempurna yang mampu mengatasi segala persoalan di
segala waktu dan tempat. Berikut ini solusi syariah terhadap euthanasia, baik euthanasia aktif
maupun euthanasia pasif.
A. Euthanasia Aktif
Syariah Islam mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam kategori pembunuhan
sengaja (al-qatlu al-‘amad), walaupun niatnya baik yaitu untuk meringankan penderitaan
pasien. Hukumnya tetap haram, walaupun atas permintaan pasien sendiri atau keluarganya.
Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan
pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri sendiri. Misalnya
firman Allah SWT :

“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya)
melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS Al-An’aam : 151)

“Dan tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang lain), kecuali
karena tersalah (tidak sengaja)…” (QS An-Nisaa` : 92)

“Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu.” (QS An-Nisaa` : 29).

Dari dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya bagi dokter melakukan euthanasia
aktif. Sebab tindakan itu termasuk ke dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad)
yang merupakan tindak pidana (jarimah) dan dosa besar.
Dokter yang melakukan euthanasia aktif, misalnya dengan memberikan suntikan mematikan,
menurut hukum pidana Islam akan dijatuhi qishash (hukuman mati karena membunuh), oleh
pemerintahan Islam (Khilafah), sesuai firman Allah :

“Telah diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.” (QS
Al-Baqarah : 178)

Namun jika keluarga terbunuh (waliyyul maqtuul) menggugurkan qishash (dengan


memaafkan), qishash tidak dilaksanakan. Selanjutnya mereka mempunyai dua pilihan lagi,
meminta diyat (tebusan), atau memaafkan/menyedekahkan.

Firman Allah SWT : “Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya,
hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi
maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula).” (QS Al-
Baqarah : 178)

Diyat untuk pembunuhan sengaja adalah 100 ekor unta di mana 40 ekor di antaranya dalam
keadaan bunting, berdasarkan hadits Nabi riwayat An-Nasa`i (Al-Maliki, 1990: 111). Jika
dibayar dalam bentuk dinar (uang emas) atau dirham (uang perak), maka diyatnya adalah
1000 dinar, atau senilai 4250 gram emas (1 dinar = 4,25 gram emas), atau 12.000 dirham,
atau senilai 35.700 gram perak (1 dirham = 2,975 gram perak) (Al-Maliki, 1990: 113).
Tidak dapat diterima, alasan euthanasia aktif yang sering dikemukakan yaitu kasihan melihat
penderitaan pasien sehingga kemudian dokter memudahkan kematiannya. Alasan ini hanya
melihat aspek lahiriah (empiris), padahal di balik itu ada aspek-aspek lainnya yang tidak
diketahui dan tidak dijangkau manusia. Dengan mempercepat kematian pasien dengan
euthanasia aktif, pasien tidak mendapatkan manfaat (hikmah) dari ujian sakit yang diberikan
Allah kepada-Nya, yaitu pengampunan dosa. Rasulullah SAW bersabda,”Tidaklah menimpa
kepada seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan, maupun
penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah menghapuskan kesalahan atau
dosanya dengan musibah yang menimpanya itu.” (HR Bukhari dan Muslim).

B. Euthanasia Pasif
Adapun hukum euthanasia pasif, sebenarnya faktanya termasuk dalam praktik menghentikan
pengobatan. Tindakan tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan dokter bahwa pengobatan
yag dilakukan tidak ada gunanya lagi dan tidak memberikan harapan sembuh kepada pasien.
Karena itu, dokter menghentikan pengobatan kepada pasien, misalnya dengan cara
menghentikan alat pernapasan buatan dari tubuh pasien. Bagaimanakah hukumnya menurut
Syariah Islam?
Jawaban untuk pertanyaan itu, bergantung kepada pengetahuan kita tentang hukum berobat
(at-tadaawi) itu sendiri. Yakni, apakah berobat itu wajib, mandub,mubah, atau makruh?
Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat. Menurut jumhur ulama, mengobati atau berobat
itu hukumnya mandub (sunnah), tidak wajib. Namun sebagian ulama ada yang mewajibkan
berobat, seperti kalangan ulama Syafiiyah dan Hanabilah, seperti dikemukakan oleh Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah (Utomo, 2003:180).
Menurut Abdul Qadim Zallum (1998:68) hukum berobat adalah mandub. Tidak wajib. Hal ini
berdasarkan berbagai hadits, di mana pada satu sisi Nabi SAW menuntut umatnya untuk
berobat, sedangkan di sisi lain, ada qarinah (indikasi) bahwa tuntutan itu bukanlah tuntutan
yang tegas (wajib), tapi tuntutan yag tidak tegas (sunnah).
Di antara hadits-hadits tersebut, adalah hadits bahwa Rasulullah SAW bersabda :

“Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula
obatnya. Maka berobatlah kalian!” (HR Ahmad, dari Anas RA)

Hadits di atas menunjukkan Rasulullah SAW memerintahkan untuk berobat. Menurut ilmu
Ushul Fiqih, perintah (al-amr) itu hanya memberi makna adanya tuntutan (li ath-thalab),
bukan menunjukkan kewajiban (li al-wujub). Ini sesuai kaidah ushul :

Al-Ashlu fi al-amri li ath-thalab

“Perintah itu pada asalnya adalah sekedar menunjukkan adanya tuntutan.” (An-Nabhani,
1953)

Jadi, hadits riwayat Imam Ahmad di atas hanya menuntut kita berobat. Dalam hadits itu tidak
terdapat suatu indikasi pun bahwa tuntutan itu bersifat wajib. Bahkan, qarinah yang ada
dalam hadits-hadits lain justru menunjukkan bahwa perintah di atas tidak bersifat wajib.
Hadits-hadits lain itu membolehkan tidak berobat.
Di antaranya ialah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, bahwa seorang perempuan
hitam pernah datang kepada Nabi SAW lalu berkata,”Sesungguhnya aku terkena penyakit
ayan (epilepsi) dan sering tersingkap auratku [saat kambuh]. Berdoalah kepada Allah untuk
kesembuhanku!” Nabi SAW berkata,”Jika kamu mau, kamu bersabar dan akan mendapat
surga. Jika tidak mau, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.”
Perempuan itu berkata,”Baiklah aku akan bersabar,” lalu dia berkata lagi,”Sesungguhnya
auratku sering tersingkap [saat ayanku kambuh], maka berdoalah kepada Allah agar auratku
tidak tersingkap.” Maka Nabi SAW lalu berdoa untuknya. (HR Bukhari)
Hadits di atas menunjukkan bolehnya tidak berobat. Jika hadits ini digabungkan dengan
hadits pertama di atas yang memerintahkan berobat, maka hadits terakhir ini menjadi indikasi
(qarinah), bahwa perintah berobat adalah perintah sunnah, bukan perintah wajib.
Kesimpulannya, hukum berobat adalah sunnah (mandub), bukan wajib (Zallum, 1998:69).
Dengan demikian, jelaslah pengobatan atau berobat hukumnya sunnah, termasuk dalam hal
ini memasang alat-alat bantu bagi pasien. Jika memasang alat-alat ini hukumnya sunnah,
apakah dokter berhak mencabutnya dari pasien yag telah kritis keadaannya?
Abdul Qadim Zallum (1998:69) mengatakan bahwa jika para dokter telah menetapkan bahwa
si pasien telah mati organ otaknya, maka para dokter berhak menghentikan pengobatan,
seperti menghentikan alat bantu pernapasan dan sebagainya. Sebab pada dasarnya
penggunaan alat-alat bantu tersebut adalah termasuk aktivitas pengobatan yang hukumnya
sunnah, bukan wajib. Kematian otak tersebut berarti secara pasti tidak memungkinkan lagi
kembalinya kehidupan bagi pasien. Meskipun sebagian organ vital lainnya masih bisa
berfungsi, tetap tidak akan dapat mengembalikan kehidupan kepada pasien, karena organ-
organ ini pun akan segera tidak berfungsi.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka hukum pemasangan alat-alat bantu kepada pasien
adalah sunnah, karena termasuk aktivitas berobat yang hukumnya sunnah. Karena itu, hukum
euthanasia pasif dalam arti menghentikan pengobatan dengan mencabut alat-alat bantu pada
pasien –setelah matinya/rusaknya organ otak—hukumnya boleh (jaiz) dan tidak haram bagi
dokter. Jadi setelah mencabut alat-alat tersebut dari tubuh pasien, dokter tidak dapat dapat
dikatakan berdosa dan tidak dapat dimintai tanggung jawab mengenai tindakannya itu
(Zallum, 1998:69; Zuhaili, 1996:500; Utomo, 2003:182).
Namun untuk bebasnya tanggung jawab dokter, disyaratkan adanya izin dari pasien, walinya,
atau washi-nya (washi adalah orang yang ditunjuk untuk mengawasi dan mengurus pasien).
Jika pasien tidak mempunyai wali, atau washi, maka wajib diperlukan izin dari pihak
penguasa (Al-Hakim/Ulil Amri) (Audah, 1992 : 522-523).
Wallahu a’lam.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Maliki, Abdurrahman. 1990. Nizham Al-‘Uqubat. Beirut : Darul Ummah.

An-Nabhani, Taqiyuddin. 1953. Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah. Juz III. Al-Quds :


Mansyurat Hizb Al-Tahrir.

Audah, Abdul Qadir. 1992. At-Tasyri’ Al-Jina`i Al-Islami. Beirut : Muassasah Ar-Risalah.

Az-Zuhaili, Wahbah. 1996. Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu. Juz IX (Al-Mustadrak).


Damaskus : Darul Fikr.

Hasan, M.Ali. 1995. Masail Fiqhiyah Al-Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer


Hukum Islam. Jakarta : RajaGrafindo Persada.

Utomo, Setiawan Budi. 2003. Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer. Jakarta
: Gema Insani Press.

Zallum, Abdul Qadim. 1997. Hukm Asy-Syar’i fi Al-Istinsakh, Naql A’dha`, Al-Ijhadh,
Athfaal Al-Anabib, Ajhizatul In’asy At-Tibbiyah, al-Hayah wa al-Maut. Beirut :
Darul Ummah.
Zallum, Abdul Qadim. 1998. Beberapa Problem Kontemporer dalam Pandangan Islam :
Kloning, Transplantasi Organ Tubuh, Abortus, Bayi Tabung, Penggunaan Organ
Tubuh Buatan, Definisi Hidup dan Mati. Bangil : Al Izzah.

Zuhdi, Masjfuk. 1993. Masail Fiqhiyah. Cetakan VI. Jakarta : CV. Haji Masagung

Minggu, Agustus 30, 2009


PENGERTIAN EUTHANASIA

EUTHANASIA DALAM PANDANGAN ISLAM

Pendahuluan
Setiap makhluk hidup, termasuk manusia akan mengalami siklus kehidupan yang dimulai
dari proses pembuahan, kelahiran, kehidupan di dunia dengan berbagai permasalahannya, dan
diakhiri dengan kematian. Dari berbagai siklus kehidupan di atas, kematian merupakan salah
satu yang masih mengandung misteri yang sangat besar. Proses pembuahan yang rumit mulai
dapat dikenali dan dipelajari, bahkan akhir akhir ini sudah dapat dilakukan proses pembuahan
buatan, yang meniru proses alamiah, dan terjadilah inseminasi buatan, yang tidak
menimbulkan masalah etika pada dunia hewan, tetapi menjadi sangat kompleks dalam dunia
manusia.
Berbagai macam penyakit juga dapat dikenali satu demi satu, dan sebagian besar penyakit
infeksi sudah dapat disembuhkan, sebagian besar penyakit non infeksipun sudah dapat
dikendalikan, walaupun belum dapat disembuhkan. Semua upaya tersebut di atas, dikerjakan
oleh manusia untuk memperoleh jalan keluar dalam mengatasi kesulitan ataupun gangguan
dalam proses pembuahan, kelahiran dan kehidupan itu sendiri yang akhirnya adalah menunda
proses akhir dari seluruh rangkaian kehidupan di dunia, yaitu kematian.
Sampai saat ini kematian merupakan misteri yang paling besar, dan ilmu pengetahuan belum
berhasil menguaknya. Kematian sebagai akhir dari rangkaian kehidupan di dunia ini,
merupakan hak dari Tuhan. Tidak ada seorangpun yang berhak untuk menunda sedetikpun
waktu kematiannya, termasuk mempercepat waktu kematiannya.
Kematian
Mati sesungguhnya masalah yang sudah pasti terjadi, tetapi tidak pernah diketahui dengan
tepat kapan saatnya terjadi. Pengertian tentang kematian itu sendiri mengalami
perkembangan dari waktu ke waktu sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
Kematian dapat dibagi menjadi 2 fase, yaitu: somatic death (Kematian Somatik) dan
biological death (Kematian Biologik). Kematian somatik merupakan fase kematian dimana
tidak didapati tanda tanda kehidupan seperti denyut jantung, gerakan pernafasan, suhu badan
yang menurun dan tidak adanya aktifititas listrik otak pada rekaman EEG. Dalam waktu 2
jam, kematian somatik akan diikuti fase kematian biologik yang ditandai dengan kematian
sel. Kurun waktu 2 jam diantaranya dikenal sebagai fase mati suri.
Dengan adanya kemajuan ilmu pengetahuan seperti alat respirator (alat bantu nafas),
seseorang yang dikatakan mati batang otak yang ditandai dengan rekaman EEG yang datar,
masih bisa menunjukkan aktifitas denyut jantung, suhu badan yang hangat, fungsi alat tubuh
yang lain seperti ginjalpun masih berjalan sebagaimana mestinya, selama dalam bantuan alat
respirator tersebut. Jadi, makin sulit seorang ilmuwan medik menentukan terjadinya kematian
pada manusia. Apakah kematian somatik secara lengkap harus terlihat sebagai tanda penentu
adanya kematian, atau cukup bila didapati salah satu dari tanda kematian somatik, seperti
kematian batang otak saja, henti nafas saja atau henti detak jantung saja sudah dapat dipakai
sebagai patokan penentuan kematian manusia.
Permasalahan penentuan saat kematian ini sangat penting bagi pengambilan keputusan baik
oleh dokter maupun keluarganya dalam kelanjutan pengobatan. Apakah pengobatan
dilanjutkan atau dihentikan. Dilanjutkan belum tentu membawa hasil, tetapi yang jelas akan
menghabiskan materi, sedangkan bila dihentikan pasti akan membawa kefase kematian.
Penghentian tindakan pengobatan ini merupakan salah satu bentuk dari euthanasia.
Pengertian Euthanasia
Euthanasia secara bahasa berasal dari bahasa Yunani eu yang berarti “baik”, dan thanatos,
yang berarti “kematian”. Dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah qatlu ar-rahma atau taysir
al-maut. Jadi, secara etimologis, euthanasia dapat diartikan sebagai mati dengan baik.
Menurut istilah kedokteran, euthanasia berarti tindakan agar kesakitan atau penderitaan yang
dialami seseorang yang akan meninggal diperingan. Juga berarti mempercepat kematian
seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiannya. Menurut
Philo (50-20 SM) euthanasia berarti mati dengan tenang dan baik, sedangkan Suetonis
penulis Romawi dalam bukunya yang berjudul Vita Ceasarum mengatakan bahwa euthanasia
berarti “mati cepat tanpa derita”.
Dalam praktik kedokteran, dikenal dua macam euthanasia, yaitu euthanasia aktif dan
euthanasia pasif. Euthanasia aktif adalah tindakan dokter mempercepat kematian pasien
dengan memberikan suntikan ke dalam tubuh pasien tersebut. Suntikan diberikan pada saat
keadaan penyakit pasien sudah sangat parah atau sudah sampai pada stadium akhir, yang
menurut perhitungan medis sudah tidak mungkin lagi bisa sembuh atau bertahan lama.
Alasan yang biasanya dikemukakan dokter adalah bahwa pengobatan yang diberikan hanya
akan memperpanjang penderitaan pasien serta tidak akan mengurangi sakit yang memang
sudah parah.
Contoh euthanasia aktif, misalnya ada seseorang menderita kanker ganas dengan rasa sakit
yang luar biasa sehingga pasien sering kali pingsan. Dalam hal ini, dokter yakin yang
bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran
tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan
pernapasannya sekaligus.
Adapun euthanasia pasif, adalah tindakan dokter menghentikan pengobatan pasien yang
menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan.
Penghentian pengobatan ini berarti mempercepat kematian pasien. Alasan yang lazim
dikemukakan dokter adalah karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas, sementara dana
yang dibutuhkan untuk pengobatan sangat tinggi, sedangkan fungsi pengobatan menurut
perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi. Terdapat tindakan lain yang bisa digolongkan
euthanasia pasif, yaitu tindakan dokter menghentikan pengobatan terhadap pasien yang
menurut penelitian medis masih mungkin sembuh. Alasan yang dikemukakan dokter
umumnya adalah ketidakmampuan pasien dari segi ekonomi, yang tidak mampu lagi
membiayai dana pengobatan yang sangat tinggi.
Contoh euthanasia pasif, misalkan penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah
dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada otak yang tidak ada harapan untuk sembuh.
Atau, orang yang terkena serangan penyakit paru-paru yang jika tidak diobati maka dapat
mematikan penderita. Dalam kondisi demikian, jika pengobatan terhadapnya dihentikan, akan
dapat mempercepat kematiannya.
Euthanasia dalam Sejarah
Kata euthanasia yang diartikan “kematian dengan baik” pertama kali digunakan oleh
Hippokrates pada sumpahnya yang ditulis pada masa 400-300 SM. Sumpah tersebut
berbunyi: "Saya tidak akan menyarankan dan atau memberikan obat yang mematikan kepada
siapapun meskipun telah dimintakan untuk itu".
Dalam perjalanan sejarahnya, euthanasia ini senantiasa tidak diperbolehkan. Dalam sejarah
hukum Inggris yaitu common law sejak tahun 1300 hingga saat "bunuh diri" ataupun
"membantu pelaksanaan bunuh diri" pun tidak diperbolehkan. Sejak abad ke-19, euthanasia
telah memicu timbulnya perdebatan dan pada tahun 1828 undang-undang anti eutanasia
mulai diberlakukan di negara bagian New York.
Setelah masa Perang Saudara, beberapa advokat dan beberapa dokter mendukung
dilakukannya eutanasia secara sukarela. Kelompok pendukung euthanasia mulanya terbentuk
di Inggris pada tahun 1935 dan di Amerika pada tahun 1938 yang memberikan dukungannya
pada pelaksanaan euthanasia aktif, walaupun demikian perjuangan untuk melegalkan
eutanasia tidak berhasil digolkan di Amerika maupun Inggris. Pengadilan Amerika menolak
beberapa permohonan dari pasien yang sakit parah dan beberapa orang tua yang memiliki
anak cacat yang mengajukan permohonan euthanasia kepada dokter sebagai bentuk
"pembunuhan berdasarkan belas kasihan". Akan tetapi, di Swiss pada tahun 1937, euthanasia
atas anjuran dokter dilegalkan sepanjang pasien yang bersangkutan tidak memperoleh
keuntungan daripadanya.
Pada tahun 1939, pasukan Nazi Jerman melakukan suatu tindakan kontroversial dalam suatu
"program" euthanasia terhadap anak-anak dibawah umur 3 tahun yang menderitan
keterbelakangan mental, cacat tubuh, ataupun gangguan lainnya yang menjadikan hidup
mereka tak berguna. Program ini dikenal dengan nama Aksi T4 ("Action T4") yang kelak
diberlakukan juga terhadap anak-anak usia diatas 3 tahun dan para jompo / lansia.
Sekitar era tahun 1940 dan 1950, setelah dunia menyaksikan kekejaman Nazi dalam
melakukan kejahatan euthanasia, maka berkuranglah dukungan terhadap euthanasia, terlebih-
lebih lagi terhadap tindakan euthanasia yang dilakukan secara tidak sukarela ataupun karena
disebabkan oleh cacat genetika.
Satu-satunya negara yang dapat melakukan tindakan euthanasia bagi para anggotanya adalah
Belanda.
Pandangan Syariah Islam
Seperti dalam agama-agama Ibrahim lainnya (Yahudi dan Kristen), Islam mengakui hak
seseorang untuk hidup dan mati, namun hak tersebut merupakan anugerah Allah kepada
manusia. Hanya Allah yang dapat menentukan kapan seseorang lahir dan kapan ia mati (QS
22: 66; 2: 243). Islam sangat menghargai jiwa, lebih-lebih terhadap jiwa manusia. Banyak
ayat Al-Quran maupun hadist Nabi yang mengharuskan untuk menghormati dan memelihara
jiwa manusia (hifz al-Nafs), sehingga seseorang tidak diperbolehkan untuk menghilangkan
nyawa tanpa alasan syar ‘i yang kuat. Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah : 32
yang artinya bahwa siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu
(membunuh) orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-
akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan
seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Oleh
karena itu, bunuh diri diharamkan dalam hukum Islam. Berikut ini tinjauan syariah Islam
terhadap euthanasia, baik euthanasia aktif maupun euthanasia pasif.
A. Euthanasia Aktif
Syariah Islam mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam kategori pembunuhan
sengaja (al-qatlu al-‘amad), walaupun niatnya baik yaitu untuk meringankan penderitaan
pasien. Hukumnya tetap haram, walaupun atas permintaan pasien sendiri atau keluarganya.
Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan
pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri sendiri. Misalnya
firman Allah SWT :
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya)
melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS Al-An’aam : 151)
“Dan tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang lain), kecuali
karena tersalah (tidak sengaja)…” (QS An-Nisaa` : 92)
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu.” (QS An-Nisaa` : 29).
Dari dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya bagi dokter melakukan euthanasia
aktif. Sebab tindakan itu termasuk ke dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad)
yang merupakan tindak pidana (jarimah) dan dosa besar.
Dokter yang melakukan euthanasia aktif, misalnya dengan memberikan suntikan mematikan,
menurut hukum pidana Islam akan dijatuhi qishash (hukuman mati karena membunuh), oleh
pemerintahan Islam, sesuai firman Allah:
“Telah diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.” (QS Al-
Baqarah : 17)
Namun jika keluarga terbunuh (waliyyul maqtuul) menggugurkan qishash (dengan
memaafkan), qishash tidak dilaksanakan. Selanjutnya mereka mempunyai dua pilihan lagi,
meminta diyat (tebusan), atau memaafkan/menyedekahkan.
Firman Allah SWT : “Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya,
hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi
maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula).” (QS Al-
Baqarah : 17)
Tidak dapat diterima, alasan euthanasia aktif yang sering dikemukakan yaitu kasihan melihat
penderitaan pasien sehingga kemudian dokter memudahkan kematiannya. Alasan ini hanya
melihat aspek lahiriah (empiris), padahal di balik itu ada aspek-aspek lainnya yang tidak
diketahui dan tidak dijangkau manusia. Dengan mempercepat kematian pasien dengan
euthanasia aktif, pasien tidak mendapatkan manfaat (hikmah) dari ujian sakit yang diberikan
Allah kepada-Nya, yaitu pengampunan dosa. Rasulullah SAW bersabda,”Tidaklah menimpa
kepada seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan, maupun
penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah menghapuskan kesalahan atau
dosanya dengan musibah yang menimpanya itu.” (HR Bukhari dan Muslim).
B. Euthanasia Pasif
Adapun hukum euthanasia pasif, sebenarnya faktanya termasuk dalam praktik menghentikan
pengobatan. Tindakan tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan dokter bahwa pengobatan
yag dilakukan tidak ada gunanya lagi dan tidak memberikan harapan sembuh kepada pasien.
Karena itu, dokter menghentikan pengobatan kepada pasien, misalnya dengan cara
menghentikan alat pernapasan buatan dari tubuh pasien. Bagaimanakah hukumnya menurut
Syariah Islam?
Jawaban untuk pertanyaan itu, bergantung kepada pengetahuan kita tentang hukum berobat
(at-tadaawi) itu sendiri. Yakni, apakah berobat itu wajib, mandub,mubah, atau makruh?
Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat. Menurut jumhur ulama, mengobati atau berobat
itu hukumnya mandub (sunnah), tidak wajib. Namun sebagian ulama ada yang mewajibkan
berobat, seperti kalangan ulama Syafiiyah dan Hanabilah, seperti dikemukakan oleh Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah.
Menurut Abdul Qadim Zallum (1998:6) hukum berobat adalah mandub. Tidak wajib. Hal ini
berdasarkan berbagai hadits, di mana pada satu sisi Nabi SAW menuntut umatnya untuk
berobat, sedangkan di sisi lain, ada qarinah (indikasi) bahwa tuntutan itu bukanlah tuntutan
yang tegas (wajib), tapi tuntutan yag tidak tegas (sunnah). Di antara hadits-hadits tersebut,
adalah hadits bahwa Rasulullah SAW bersabda :
“Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula
obatnya. Maka berobatlah kalian!” (HR Ahmad, dari Anas RA)
Hadits di atas menunjukkan Rasulullah SAW memerintahkan untuk berobat. Menurut ilmu
Ushul Fiqih, perintah (al-amr) itu hanya memberi makna adanya tuntutan (li ath-thalab),
bukan menunjukkan kewajiban (li al-wujub). Ini sesuai kaidah ushul :
Al-Ashlu fi al-amri li ath-thalab
“Perintah itu pada asalnya adalah sekedar menunjukkan adanya tuntutan.” (An-Nabhani,
1953)
Jadi, hadits riwayat Imam Ahmad di atas hanya menuntut kita berobat. Dalam hadits itu tidak
terdapat suatu indikasi pun bahwa tuntutan itu bersifat wajib. Bahkan, qarinah yang ada
dalam hadits-hadits lain justru menunjukkan bahwa perintah di atas tidak bersifat wajib.
Hadits-hadits lain itu membolehkan tidak berobat.
Di antaranya ialah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, bahwa seorang perempuan
hitam pernah datang kepada Nabi SAW lalu berkata,”Sesungguhnya aku terkena penyakit
ayan (epilepsi) dan sering tersingkap auratku [saat kambuh]. Berdoalah kepada Allah untuk
kesembuhanku!” Nabi SAW berkata,”Jika kamu mau, kamu bersabar dan akan mendapat
surga. Jika tidak mau, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.”
Perempuan itu berkata,”Baiklah aku akan bersabar,” lalu dia berkata lagi,”Sesungguhnya
auratku sering tersingkap [saat ayanku kambuh], maka berdoalah kepada Allah agar auratku
tidak tersingkap.” Maka Nabi SAW lalu berdoa untuknya. (HR Bukhari)
Hadits di atas menunjukkan bolehnya tidak berobat. Jika hadits ini digabungkan dengan
hadits pertama di atas yang memerintahkan berobat, maka hadits terakhir ini menjadi indikasi
(qarinah), bahwa perintah berobat adalah perintah sunnah, bukan perintah wajib.
Kesimpulannya, hukum berobat adalah sunnah (mandub), bukan wajib.
Dengan demikian, jelaslah pengobatan atau berobat hukumnya sunnah, termasuk dalam hal
ini memasang alat-alat bantu bagi pasien. Jika memasang alat-alat ini hukumnya sunnah,
apakah dokter berhak mencabutnya dari pasien yag telah kritis keadaannya?
Abdul Qadim Zallum (1998:69) mengatakan bahwa jika para dokter telah menetapkan bahwa
si pasien telah mati organ otaknya, maka para dokter berhak menghentikan pengobatan,
seperti menghentikan alat bantu pernapasan dan sebagainya. Sebab pada dasarnya
penggunaan alat-alat bantu tersebut adalah termasuk aktivitas pengobatan yang hukumnya
sunnah, bukan wajib. Kematian otak tersebut berarti secara pasti tidak memungkinkan lagi
kembalinya kehidupan bagi pasien. Meskipun sebagian organ vital lainnya masih bisa
berfungsi, tetap tidak akan dapat mengembalikan kehidupan kepada pasien, karena organ-
organ ini pun akan segera tidak berfungsi.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka hukum pemasangan alat-alat bantu kepada pasien
adalah sunnah, karena termasuk aktivitas berobat yang hukumnya sunnah. Karena itu, hukum
euthanasia pasif dalam arti menghentikan pengobatan dengan mencabut alat-alat bantu pada
pasien –setelah matinya/rusaknya organ otak—hukumnya boleh (jaiz) dan tidak haram bagi
dokter. Jadi setelah mencabut alat-alat tersebut dari tubuh pasien, dokter tidak dapat dapat
dikatakan berdosa dan tidak dapat dimintai tanggung jawab mengenai tindakannya itu.
Namun untuk bebasnya tanggung jawab dokter, disyaratkan adanya izin dari pasien, walinya,
atau washi-nya (washi adalah orang yang ditunjuk untuk mengawasi dan mengurus pasien).
Jika pasien tidak mempunyai wali, atau washi, maka wajib diperlukan izin dari pihak
penguasa (Al-Hakim/Ulil Amri).
Wallahu a’lam.

DAFTAR PUSTAKA

1. Al-Maliki, Abdurrahman. 1990. Nizham Al-‘Uqubat. Beirut : Darul Ummah.


2. An-Nabhani, Taqiyuddin. 1953. Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah. Juz III. Al-Quds:
Mansyurat Hizb Al-Tahrir.
3. Audah, Abdul Qadir. 1992. At-Tasyri’ Al-Jina`i Al-Islami. Beirut: Muassasah Ar-Risalah.
4. Az-Zuhaili, Wahbah. 1996. Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu. Juz IX (Al-Mustadrak).
Damaskus: Darul Fikr.
5. Hasan, M.Ali. 1995. Masail Fiqhiyah Al-Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer
Hukum Islam. Jakarta : RajaGrafindo Persada.
6. Utomo, Setiawan Budi. 2003. Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer. Jakarta:
Gema Insani Press.
7. Zallum, Abdul Qadim. 1997. Hukm Asy-Syar’i fi Al-Istinsakh, Naql A’dha`, Al-Ijhadh,
Athfaal Al-Anabib, Ajhizatul In’asy At-Tibbiyah, al-Hayah wa al-Maut. Beirut :
Darul Ummah.
8. Zallum, Abdul Qadim. 1998. Beberapa Problem Kontemporer dalam Pandangan Islam:
Kloning, Transplantasi Organ Tubuh, Abortus, Bayi Tabung, Penggunaan Organ Tubuh
Buatan, Definisi Hidup dan Mati. Bangil : Al Izzah.
9. Zuhdi, Masjfuk. 1993. Masail Fiqhiyah. Cetakan VI. Jakarta : CV. Haji Masagung

Diposkan oleh Muhamad Syaichu Hamid Di Minggu, Agustus 30, 2009

You might also like