You are on page 1of 7

ANATOMI TEORI IBN KHALDUN

Ibn Khaldun (1332-1406) hidup pada masa ketika dunia Islam sedang mengalami
perpecahan dalam bidang politik dan kemunduran dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada
masa kemunduran Islam ini, banyak terjadi kekacauan historis yang sangat serius, baik dalam
kehidupan politik maupun intelektual. Situasi kehidupan politik dunia Islam pada masa Ibn
Khaldun dapat dikatakan tidak stabil. Instabilitas politik ini telah membuat hidupnya selalu
berpindah-pindah dari satu kota ke kota lainnya. Afrika Utara, tempat kelahiran Ibn Khaldun,
pada pertengahan abad ke-14 Masehi merupakan medan pemberontakan dan kekacauan
politik. Dinasti al-Muwahhidun, yang berkuasa ketika itu, telah mengalami kehancuran, dan
digantikan oleh dinasti-dinasti kecil berikutnya, seperti Keamiran Bani Hafish di Tunisia,
Keamiran Bani 'Abd al-Wad di Tilmisan, dan Keamiran Bani Marin di Fez (Toto Suharto,
2003: 25). Abad ini merupakan masa yang relatif sunyi bagi dunia Intelektual Islam. Karya-
karya yang muncul ketika itu pada umumnya hanya berupa syarh (penafsiran, penjelasan)
atau syarh dari syarh. Oleh karena itu, masa ini ditinjau dari sejarah intelektual Islam dapat
disebut sebagai 'asr al-syuruh wa al-hawasyi (masa pensarahan dan pemberian catatan
pinggir). Tidak banyak karya pemikir Muslim yang lahir pada masa ini sebagai suatu usaha
yang orisinal, kecuali al-Muqaddimah, karya monumental Ibn Khaldun.
Mengenai pengetahuan tentang substansi, esensi dan sebab-sebab terjadinya suatu
peristiwa. Para sejarawan muslim terkemuka sebelum Ibn Khaldun telah membicarakan teori
dan peristiwa sejarah secara luas dan mendalam. Di antara mereka adalah: Ibnu Ishaq, yang
mengarang kitab “Sirah Muhammad”, At-Thabari yang mengarang kitab “Tarikh Al-Umam
Wa Al-Muluk”, dan Ibnu Khaldun yang mengarang kitab “Muqaddimah”. Ibnu Khaldun
mempunyai keistimewaan dibandingkan dengan ahli sejarah lainnya. Dia mampu
menegakkan kembali otoritas kebenaran sejarah melalui pembacaan yang kritis terhadap
peristiwa masa lalu. Ibn Khaldun juga terkenal sebagai ilmuan sosiologi, ekonomi, politik,
serta pernah juga terjundalam kancah politik praktis. Itu semua tidak terlepas dari latar
belakangnya yang pernah menjadi politisi, intelektual, sekaligus aristokrat.
Pendidikan Ibn Khaldun dimulai dari ayahnya sendiri yang bertindak sebagai guru
pertama. Kemudian belajar bahasa kepada Abu Abdillah Muhammad Ibnu al-Arabi al-
Husairi, Abu al-Abbas Ahmad Ibnu al-Qushar, serta Abu Abdillah al-Wadiyashi. Belajar fiqh
kepada Abi Abdillah Muhammad al Jiyani dan Abu al-Qassim Muhammad al-Qashir. Selain
itu, Ibn Khaldun juga belajar ilmu logika, teologi, matematika, dan juga astronomi kepada
Abu Abdillah Muhammad Ibnu Ibrahim al-Arabi.
Ibnu Khaldun mengemukakan suatu bahasan tentang filsafat politik, yakni dalam
pengkajiannya tentang bentuk Negara, berbagai lembaga kenegaraan dan karakter kekuasaan
di dinasti-dinasti dan Negara-negara Islam. Pengkajian ini diuraikan mulai dari pasal
keduapuluh lima sampai dua puluh delapan al Muqaddimah. Dalam pasal ini dibahas
mengenai khilafah atau immamah dan syarat-syaratnya, peralihan dari khalifah menjadi
kerajaan, bai’at, kedudukan sebagai putra mahkota, gelar amirul mukminin, peringkat raja
dan sultan, bagian-bagian pekerjaan dan perpajakan dan sekretariat Negara.
Menurut Khaldun, suatu suku mungkin dapat membentuk dan memelihara suatu
negara apabila suku itu memiliki sejumlah karakteristik sosial-politik tertentu, yang oelh Ibnu
Khaldun disebut dengan Ashabah. Karakteristik ini justru berada hanya dalam kerangka
kebudayaan desa. Oleh karena itu penguasaan atas kekuasaan dan pendirian Negara, sehingga
munculnya kebudayaan kota akan membuat sirnanya ashabiyah yang mengakibatkan
melemahnya Negara. Ashabiyah adalah kekuatan penggerak Negara dan merupakan landasan
tegaknya suatu Negara atau dinasti. Bilamana Negara atau dinasti tersebut telah mapan, ia
akan berupaya menghancurkan ashabiyah. Ashabiyah mempunyai peran besar dalam
perluasan Negara setelah sebelumnya merupakan landasan tegaknya Negara tersebut. Bila
ashabiyah itu kuat, maka Negara yang muncul relatif terbatas. Teori yang dikemukakan
Khaldun itu kemudian dikenal orang sebagai “Teori Disintegrasi” (ancaman perpecahan suatu
masyarakat/bangsa). Ibnu Khaldun telah membedakan antara masyarakat dan negara.
Menurut pemikiran Yunani kuno bahwa negara dan masyarakat adalah identik. Adapun
Khaldun, ia berpendapat bahwa berhubung dengan tabiat dan fitrah kejadiannya, manusia itu
memerlukan masyarakat, artinya bahwa manusia itu memerlukan kerjasama antara
sesamanya untuk dapat hidup; baik untuk memperoleh makanan maupun mempertahankan
diri. Sungguhpun ada perbedaan antara negara dan masyarakat, namun antara keduanya tidak
dapat dipisahkan. Negara dihubungkan dengan pemegang kekuasaan yang dalam zamannya
disebut daulah, merupakan bentuk masyarakat. Sebagaimana bentuk suatu benda yang tidak
dapat dipisahkan dari isi, maka demikian pulalah keadaannya dengan negara dan masyarakat.
Masyarakat yang dimaksud adalah masyarakat yang menetap, yang telah membentuk
peradaban, bukan yang masih berpindah-pindah mengembara seperti kehidupan nomaden di
padang pasir. Menurut Khaldun , kehidupan padang pasir itu belumlah disebut Negara.
Negara mengandung peradaban dan ini hanya mungkin tercapai dengan kehidupan menetap.
Negara pun harus mengandung kekuasaan, kehidupan menetap mendorong kemauan untuk
berkuasa dan kekuasaan inilah dasar pembedaan Negara dan masyarakat.
Merujuk pada jenis realitas yang disebutkan sebelumnya, jelaslah lingkup realitas
sosial pada teori Ibn Khaldun ini adalah makro dan lokus realitas yang luas, bila melihat
pembagian masyarakat dan negara. Tumbuh kembanganya negara menurut Ibn Khaldun yaitu
negara didirikan atas dasar kepentingan bersama untuk menciptakan keseimbangan sosial,
politik, ekonomi, hukum, budaya dan keamanan. Negara merupakan asosiasi utama bagi
terciptanya keseimbangan tersebut, karena negara merupakan aktualitas kebebasan yang
konkret. Melainkan kebebasan yang dilindungi oleh peraturan perundangan. Faktor agama
dalam sebuah negara menurut Ibn Khaldun sangat penting. Ibn Khaldun lebih melihat relasi
agama dan negara sebagai suatu keniscayaan, kendati agama bagi Ibn Khaldun tidak dipotret
dalam tataran ideal yang berbentuk abstrak, melainkan agama ( islam ) yang disaksikan,
dijalankan dan dipraktikan oleh masyarakat pada zamannya. Agama tidak hanya sekedar
dogma abstrak, tetapi agama yang seluruh ajarannya menurut Ibn Khaldun harus menjadi
jiwa bagi bangunan negara yang mulia atau negara yang terhormat.
Hampir semua kerangka konsep pemikiran Ibnu Khaldun tertuang dalam al-
muqadddimah. Di al-muqaddimah tersebut, Khaldun menerangkan bahwa sejarah adalah
catatan tentang masyarakat manusia atau perdaban dunia, tentang perubahan-perubahan yang
terjadi, perihal watak manusia, seperti keliaran, keramah-tamahan, solidaritas golongan,
tentang revolusi, dan pemberontakan-pemberontakan suatu kelompok kepada kepada
kelompok lain yang berakibat pada munculnya kerajaan-kerajaan dan negara-negara dengan
tingkat yang bermacam-macam, tentang pelbagai kegiatan dan kedudukan orang, baik untuk
memenuhi kebutuhan hidup maupun kegiatan mereka dalam ilmu pengetahuan dan industri,
serta segala perubahan yang terjadi di masyarakat.
Khaldun bahkan memerinci bahwa ekonomi, alam, dan agama merupakan faktor yang
memengaruhi perkembangan sejarah. Meski punya pengaruh, faktor ekonomi, alam dan
agama bagi Khaldun bukan satu-satunya faktor yang menentukan gerak sejarah. Ilmu lain
inilah yang diistilahkan Ibn Khaldun sebagai kultur. Ilmu kultur bertugas mencari pengertian
tentang sebab-sebab yang mendorong manusia bertindak, disamping melacak pemahaman
tentang akibat-akibat dari tindakan itu, yaitu seperti tercermin dalam peristiwa-peristiwa
sejarah. Tujuan terakhir yang hendak diraih dengan bantuan ilmu kultur dalam peristiwa
sejarah adalah ialah aktualisasi kebahagiaan dan kebaikan bersama melalui tindakan dan
kebijkan politik.
Teori siklus gerak sejarah sebagaimana yang dia pikirkan didasarkan pada adanya
kesamaan sebagian masyarakat satu dengan masyarakat yang lain. Teori ini sebenarnya
merupakan tafsir atas pemikiran Khladun, Khladun sendiri sebenarnya tidak
menyampaikannya secara eksplisit. Satu hal yang disampaikan Khaldun secara eksplisit
adalah pemikirannya tentang sejarah kritis. Hal ini sejalan dengan pengertian Sejarah
Universal (atau dunia) yang menginginkan pemahaman atas keseluruhan pengalaman
kehidupan masa lampau manusia secara total untuk melihatnya pesan-pesan perbedaan pada
pesan yang berguna bagi masa depan. Dua masalah yang mendominasi penulisan sejarah
universal, pertama ketersediaan kuantitas bahan dan keberagamanbahasa di mana di
dalamnya tertulismengimplikasikan bahwa sejarah universal mengambil bentuk kerja kolektif
atau menjadi sejarah tangan kedua. Kedua, prinsip dari seleksi yang dihubungkan dengan
pemilihan studi untuk membentuk taksonomi sejarah yang sesuai. Unit-unit tersebut secara
geografis (misal benua), periode, tahap perkembangan atau struktur, peristiwa penting, saling
berhubungan (misalnya komunikasi, perjuangan bagi kekuatan dunia, atau perkembangan
sistem ekonomi dunia), peradaban atau kebudayaan, kekaisaran dan negara bangsa, atau
komunitas terpilih. Sejarah universal telah ditulis terutama oleh sejarawan Barat atau
sejarawan dari Asia Barat termasuk Ibnu Khaldun.
Khaldun juga termasuk dalam pengembang teori konflik yang menawarkan kepada
penguasa, integrasi atau perubahan sosial dengan konflik itu. Konsepsi konflik menurut Ibn
Khaldun itu erat hubungannya dengan karya para ahli hukum Prancis dan juga Nicolo
Machiavelli seorang Italia (Bachtiar, 2006: 111). Selain itu pemikiran Ibn Khaldun ini
sejalan dengan Aguste Comte, kajian mengenai kehidupan sosial manusia sudah diurai oleh
Ibnu Khaldun dalam kitabnya Muqaddimah, 500 tahun lebih awal, pada usianya 36 tahun.
Ibnu Khaldun bukan hanya seorang filosuf, melainkan juga sosiolog, politikus dan
ahli sejarah. Sosiologi menurutnya merupakan sarana untuk memahami sejarah dan kondisi
sosial. masyarakat pada suatu generasi, proses perubahan dalam suatu masyarakat, faktor dan
pengaruhnya dalam peta peradaban suatu bangsa. Dalam konteks sosiologi, Ibnu Khaldun
membagi masyarakat menjadi tiga tingkatan: pertama, masyarakat primitif (wahsy), dimana
mereka belum mengenal peradaban, hidup berpindah-pindah dan hidup secara liar. Kedua,
masyarakat pedesaan, hidup menetap walaupun masih sederhana. Mata pencaharian mereka
dari pertanian dan peternakan. Dalam kelas ekonomi mereka dibagi menjadi tiga, yaitu:
petani, penggembala sapi dan kambing serta penggembala unta. Sedangkan yang ketiga,
masyarakat kota. Masyarakat ini menurutnya sebagai masyarakat berperadaban, di mana mata
pencahariannya dari perdagangan dan perindustrian. Tingkat ekonomi dan kebudayaan cukup
tinggi, mampu mencukupi kebutuhannya bukan hanya kebutuhan pokok, melainkan juga
kebutuhan sekunder dan mewah.7 Ibn Khaldun menyebutkan moral badui dan berperadaban
terbagi ke dalam dua macam; datang secara alami dan muncul dengan direkayasa.
Menurutnya, masyarakat badui lebih memiliki sifat pemberani ketimbang kalangan
masyarakat kota. Sebab utamanya, masyarakat kota banyak menikmati ketenangan,
beristirahat, tenggelam dalam kenikmatan dan bermewahmewahan. Generasi demi generasi
telah lahir dari kedua orang tuanya, baik lelaki atau wanita. Anak lelaki mengikuti kebiasaan
bapaknya, sedangkan yang wanita mengikuti ibunya. Sementara masyarakat badui kurang
mengadakan perkumpulan dalam sebuah komunitas, mereka melakukan pertahanan terhadap
diri mereka sendiri, tidak mengandalkan orang lain, dan condong menggunakan senjata. Ibn
Khaldun menganalisa juga tentang “pengaruh iklim terhadap moral manusia.” Wilayah yang
diduduki oleh orangorang dengan udara panas seperti Sudan dan negara Arab, biasanya
mereka kurang berhati-hati dan banyak bergembira. Begitu juga dengan masyarakat yang
berasal dari teluk. Sedangkan penduduk yang wilayahnya kering biasanya mereka
mempunyai tabiat selalu merasakan kesedihan. Sebab utamanya, kemungkinan —masih
menurut pandangannya— karena mereka tinggal di wilayah dan daerah yang iklimnya bisa
mempengaruhi moral mereka.
Ketika menganalisa struktur masyarakat, ia membaginya dalam tiga format, yaitu:
bangsa Arab, Barbar dan ‘Ajam. Dari tiga struktur tersebut, ia menempatkan bangsa Arab
pada masyarakat pedesaan yang primitif, karena mereka hidup sebagai penggembala unta
yang harus berpindah-pindah.8 Maksud Arab ini konotasinya lebih dekat ke pemaknaan
badui. Mereka terbiasa mempertahankan diri dari musuh dan tantangan yang setiap saat
menghantui. Begitu juga dengan alam yang tidak bersahabat. Mereka tidak pernah
melepaskan senjatanya, karena setiap saat bahaya akan mengancam. Dengan pengalaman ini,
bangsa Arab menurut Ibnu Khaldun mampu merebut kekuasaan dari pihak lain dengan
‘ashabiyahnya. Namun, kekuasaan ini cepat lepas karena kondisi mereka yang berpindah-
pindah. Padahal, kekuasaan itu bisa dipertahankan melalui dukungan solidaritas dari
golongannya yang terus membantu dan membelanya dalam setiap waktu. Hal ini sulit
diperoleh karena setiap waktu, sebagai penggembala, mereka dituntut untuk berkelana.
Ibnu khaldun, yang agaknya tepat di sebut sebagai Bapak Ilmu Sosial. Ibnu
Khaldun telah banyak mempengaruhi filosuf Eropa dan pemikir pada masa pencerahan. Ibnu
Khaldun telah mampu membuka sinyal teori evolusi biologi sebelum dilontarkan oleh
Herbert Spencer, teori pemindahan solidaritas mekanis ke solidaritas unsur sebelum
didengungkan oleh Durkheim. Berbeda dengan para pendahulunya ini, karena ia
mengemukakan suatu karangan teoritis yang kuantitatif metodologinya dengan unit analisis
yang digunakan adalah masyarakat, di satu segi di maksudkan untuk menjernihkan sejarah, di
segi lain kerangka ini memberikan suatu pola deduktif bagi kebiasaan mengumpulkan data
para ahli etnografi kala itu.

Daftar Bacaan:
Bachtiar, Wardi. 2006. Sosiologi Klasik Dari Comte hingga Parsons. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
George Ritzer, Douglas J. Goodman. 2008. Teori Sosiologi Modern, edisi 6 cetakan 5.
Jakarta: Kencana
Kasdi, Abdurrahman. 2014. Pemikiran Ibnu Khaldun Dalam Perspektif Sosiologi dan Filsafat
Sejarah. Jurnal Fikrah, Vol. 2, No. 1.
ANATOMI TEORI IBN KHALDUN
Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Konsep dan Teori Sosial
Dosen Pengampu: Dr. Hamdan Tri Atmaja, M.Pd.

Disusun oleh

LISTYA EKA YUNIAR


0301517015

PROGRAM MAGISTER ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

2018

You might also like