You are on page 1of 13

I.

PENDAHULUAN
Sistem Rhesus merupakan suatu sistem yang sangat kompleks. Masih banyak
perdebatan baik mengenai aspek genetika, nomenklatur maupun interaksi
antigeniknya. 1
Rhesus positif (rh positif) adalah seseorang yang mempunyai rh-antigen pada
eritrositnya sedang Rhesus negatif (rh negatif) adalah seseorang yang tidak
mempunyai rh-antigen pada eritrositnya. Antigen pada manusia tersebut dinamakan
antigen-D, dan merupakan antigen yang berperan penting dalam transfusi. Tidak
seperti pada ABO sistem dimana seseorang yang tidak mempunyai antigen A/B akan
mempunyai antibodi yang berlawanan dalam plasmanya, maka pada sistem Rhesus
pembentukan antibodi hampir selalu oleh suatu eksposure apakah itu dari transfusi
atau kehamilan. Sistem golongan darah Rhesus merupakan antigen yang terkuat bila
dibandingkan dengan sistem golongan darah lainnya. Dengan pemberian darah
Rhesus positif (D+) satu kali saja sebanyak ± 0,1 ml secara parenteral pada individu
yang mempunyai golongan darah Rhesus negatif (D-), sudah dapat menimbulkan anti
Rhesus positif (anti-D) walaupun golongan darah ABO nya sama.1
Anti D merupakan antibodi imun tipe IgG dengan berat molekul 160.000, daya
endap (sedimentation coefficient) 7 detik, thermo stabil dan dapat ditemukan selain
dalam serum juga cairan tubuh, seperti air ketuban, air susu dan air liur. Imun
antibodi IgG anti-D dapat melewati plasenta dan masuk kedalam sirkulasi janin,
sehingga janin dapat menderita penyakit hemolisis.
Penyakit hemolisis pada janin dan bayi baru lahir adalah anemia hemolitik akut
yang diakibatkan oleh alloimun antibodi ( anti-D atau inkomplit IgG antibodi
golongan darah ABO) dan merupakan salah satu komplikasi kehamilan. Antibodi
maternal isoimun bersifat spesifik terhadap eritrosit janin, dan timbul sebagai reaksi
terhadap antigen eritrosit janin. Penyebab hemolisis tersering pada neonatus adalah
pasase transplasental antibodi maternal yang merusak eritrosit janin. 1,2,3,4,5,14
Pada tahun 1892, Ballantyne membuat kriteria patologi klinik untuk mengakkan
diagnosis hidrops fetalis. Diamond dkk. (1932) melaporkan tentang anemia janin
yang ditandai oleh sejumlah eritroblas dalam darah berkaitan dengan hidrops fetalis.

1
Pada tahun 1940, Lansstainer menemukan faktor Rhesus yang berperan dalam
patogenesis kelainan hemolisis pada janin dan bayi. Levin dkk (1941) menegaskan
bahwa eritroblas disebabkan oleh Isoimunisasi maternal dengan faktor janin yang
diwariskan secara paternal. Find (1961) dan freda ( 1963) meneliti tentang tindakan
profilaksis maternal yang efektif. 1,2,3,8

III. INSIDEN
Insidens pasien yang mengalami Inkompatibilitas Rhesus ( yaitu rhesus negatif)
adalah 15% pada ras berkulit putih dan 5% berkulit hitam, jarang pada bangsa asia.
Rhesus negatif pada orang indonesia jarang terjadi, kecuali adanya perkawinan
dengan orang asing yang bergolongan rhesus negatif. 2,3,7,8,10
Pada wanita Rhesus negatif yang melahirkan bayi pertama Rhesus positif, risiko
terbentuknya antibodi sebesar 8%. Sedangkan insidens timbulnya antibodi pada
kehamilan berikutnya sebagai akibat sensitisitas pada kehamilan pertama sebesar
16%. Tertundanya pembentukan antibodi pada kehamilan berikutnya disebabkan oleh
proses sensitisasi, diperkirakan berhubungan dengan respons imun sekunder yang
timbul akibat produksi antibodi pada kadar yang memadai. Kurang lebih 1% dari
wanita akan tersensitasi selama kehamilan, terutama trimester ketiga. 7,10

IV. GENETIK
Ada tiga subtipe antigen spesifik C,D,E dengan pasangannya c, e, tapi tidak ada d.
Hanya gen D dipakai sebagai acuan faktor rhesus. Istilah yang sekarang digunakan
adalah Rhesus (D), bukan hanya Rhesus. Sel rhesus (D) positif mengandung substansi
(antigen D) yang dapat merangsang darah rhesus (D) negatif memproduksi antibodi.
Gen c, e, dan E kurang berperan disini. Hal ini dapat menjelaskan mengapa antibodi
yantg dihasilkan oleh wanita Rhesus negatif disebut anti-D (anti-rhesus D).
Seorang wanita Rhesus (D) positif tak akan memproduksi antibodi, karena darah
yang positif tak akan memproduksi anti-d, tak ada anti Rhesus d.
Seseorang mempunyai Rhesus (D) negatif, jika diwariskan gen d dari tiap orang
tua. Mungkin saja anak Rhesus (D) negatif, jika ibu Rhesus (D) negatif dan bapak
Rhesus (D) positif. Bapak dapat mempunyai gen D atau d, sehingga bayi dapt

2
mewarisi gen d dari bapaknya. Sebaliknya, wanita Rhesus (D) negatif dengan
pasangan Rhesus (D) negatif, dan tak akan timbul inkompatibilitas Rhesus, walaupun
ibu telah membawa anatibodi Rhesus (D) dari kehamilan sebelumnya. 2,

V. PATOFISIOLOGI
Pada saat ibu hamil eritrosit janin dalam beberapa insiden dapat masuk kedalam
sirkulasi darah ibu, yang dinamakan Feto maternal microtransfusion. Bila ibu tidak
memiliki antigen seperti yang terdapat pada eritrosit janin, maka ibu akan distimulasi
untuk membentuk imun antibodi. Imun anti bodi tipe IgG tersebut dapat melewati
plasenta dan kemudian masuk kedalam peredaran darah janin, sehingga sel-sel
eritrosit janin akan diselimuti (coated) dengan antibodi tersebut dan akhirnya terjadi
aglutinasi dan hemolisis. Hemolisis terjadi dalam kandungan dan akibatnya adalah
pembentukan eritrosit oleh tubuh secara berlebihan, sehingga akan didapatkan
eritrosit berinti banyak, yaitu eritroblast. 1,8,9,11,12,13

A ntibodies

Gambar 1. Interaksi antibodi dan antigen pada eritrosit.3

Lebih dari 400 antigen terdapat pada permukaan eritrosit, tetapi secara klinis
hanya sedikit yang penting sebagai penyebab penyakit hemolitik. Kurangnya antigen

3
eritrosit dalam tubuh berpotensi menghasilkan antibodi jika terpapar dengan antigen
tersebut. Antibodi tersebut berbahaya terhadap diri sendiri pada saat transfusi atau
berbahaya bagi janin. 4,9,11,12,14
Hemolisis yang berat biasanya terjadi oleh adanya sensitisasi maternal
sebelumnya, misalnya karena abortus, ruptur kehamilan di luar kandungan,
amniosentesis, transfusi darah Rhesus positif, atau pada kehamilan kedua dan
berikutnya. 2,3,7,9
Faktor-faktor yang menyebabkan penyakit ini jarang terjadi : 4
1. variasi kadar antigen eritrosit sebagai penyebab terbentuknya antibodi
2. variasi daya antigenisitasnya
3. lintasan antigen dari janin ke ibu kurang mencukupi
4. variasi respon maternal terhadap antigen tersebut
5. perlindungan isoimun lewat inkompatibilitas ABO
6. kurangnya jumlah antibodi ibu ke sirkulasi darah janin

VI. GEJALA KLINIS


A. Hidrops fetalis
Hidrops fetalis adalah bayi yang menunjukan edema yang menyeluruh, asites dan
pleural efusi pada saat lahir. Perubahan patologi klinik yangg terjadi bervariasi,
tergantung intensitas proses. Pada kasus parah, terjadi edema subkutan dan efusi
kedalam kavum serosa ( hidrops fetalis). Hemolisis yang berlebihan dan
berlangsung lama akan menyebabkan hiperplasia eritroid pada sum-sum tulang,
hematopoesis ekstrameduler didalam lien dan hepar. Juga terjadi pembesaran
jantung dan perdarahan pulmoner. Asites dan hepatosplenomegali yang terjadi
dapat menimbulkan distosia akibat abdomen janin yang sangat membesar.
Hidrothoraks yang terjadi dapat mengganggu respirasi janin. 1,3,6,7,9
Patofisologi hidrops fetalis tak jelas. Teori-teori penyebabnya mencakup
4,10,14

keadaan:
1. gagal jantung akibat anemia.
2. kebocoran kapiler akibat hipoksia pada kondisi anemia baerat

4
3. hipertensi vena portal dan umbilikus akibat disrupsia parenkim hati oleh
proses hematopoesis ekstrameduler.
4. menurunnya tekanan onkotik koloid akibat hipoproteinemia yang disebabkan
oleh disfungsi hepar
Janin dengan hidrops dapat meninggal dalam rahim akibat anemia berat dan
kegagalan sirkulasi. Bayi hidrops yang bertahan hidup tampak pucat, edematus
dan lemas pada saat dilahirkan. Lien dan hepar membesar, ekimosis dan petikie
dan menyebar, sesak nafas dan kolaps sirkulasi. Kematian dapat terjadi dalam
waktu beberapa jam meskipun transfusi sudah diberikan.

B. Hiperbilirubinemia
Hiperbilirubin dapat menimbulkan gangguan sistem syaraf pusat, khususnya
ganglia basal atau menimbulkan kernikterus. Gejala yandg muncul berupa
letargia, kekakuan ekstremitas, retraksi kepala, strabismus, tangisan melengking,
tidak mau menetek dan kejang-kejang. Kematian terjadi dalam usia beberapa
minggu.
Pada bayi yang bertahan hidup, secara fisik tak berdaya, tak mampu
menyanggah kepala dan tak mampu duduk. Kemampuan berjalan mengalami
keterlambatan atau tak pernah dicapai. Pada kasus yang ringan akan terjadi
inkoordinasi motorik dan tuli konduktif. Anemia yanag terjadi akibat gangguan
eritropoesis dapat bertahan selama berminggu – minggu hingga berbulan-
bulan.1,3,7

VII.DIAGNOSIS
Diagnosis isoimunisasi berdasarkan deteksi antibodi pada serum ibu. Metode paling
sering digunakan untuk menapis antibodi ibu adalah tes Coombs tak langsung.
(penapisan antibodi atau antiglobulin secara tak langsung). Tes ini bergantung kepada
pada kemampuan anti IgG (Coombs) serum untuk mengaglutinasi eritrosit yang
dilapisi dengan IgG.
Untuk melakukan tes, serum darah pasien dicampur dengan eritrosit yang
diketahui mengandung mengandung antigen eritrosit tertentu, diinkubasi, lalu eritrosit

5
dicuci. Suatu substansi lalu ditambahkan untuk menurunkan potensi listrik dari
membran eritrosit, yang penting untuk membantu terjadinya aglutinasi eritrosit.
Serum Coombs ditambahkan, dan jika imunoglobulin ibu ada dalam eritrosit, maka
aglutinasi akan terjadi. Jika test positf, diperlukan evaluasi lebih lanjut untuk
menentukan antigen spesifik.
Disamping tes Coombs, diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan riwayat bayi
yang dilahirkan sebelumnya, ikterus yang timbul dalam 24 jam pasca persalinan,
kadar hemoglobin darah tali pusat < 15 gr%, kadar bilirubin dalam darah tali pusat >
5 mg%, hepatosplenomegali dan kelainan pada pemeriksaan darah tepi. 11

VIII. PENATALAKSANAAN 1,3,5,7,11


Bentuk ringan tidak memerlukan pengobatan spesifik, kecuali bila terjadi kenaikan
bilirubin yang tidak wajar. Bentuk sedang memerlukan tranfusi tukar, yang umumnya
dilakukan dengan darah yang sesuai dengan darah ibu (Rhesus dan ABO). Jika tak
ada donor Rhesus negatif, transfusi tukar dapat dilakukan dengan darah Rhesus
positif , sesering mungkin sampai semua eritrosit yang diliputi antibodi dikeluarkan
dari tubuh bayi. Bentuk berat tampak sebagai hidrops atau lahir mati yang disebabkan
oleh anemia berat yang diikuti oleh gagal jantung. Pengobatan ditujukan terhadap
pencegahan terjadinya anemia berat dan kematian janin.
A. Transfusi tukar :
tujuan transfusi tukar yang dapat dicapai :
1. memperbaiki keadaan anemia, tetapi tidak menambah volume darah
2. menggantikan eritrosit yang telah diselimuti oleh antibodi (coated cells)
dengan eritrosit normal (menghentikan proses hemolisis)
3. mengurangi kadar serum bilirubin
4. menghilangkan imun antibodi yang berasal dari ibu
Yang perlu diperhatikan dalam transfusi tukar :
a. berikan darah donor yang masa simpannya ≤ 3 hari
untukmenghindari kelebihan kalium
b. pilih darah yang sama golongan ABO nya dengan darah bayi
dan Rhesus negatif (D-)

6
Tabel 1. Calon donor transfusi tukar pada Rh inkompatibilitas. 1
GOLONGAN DARAH IBU
O A B AB
O O O O -
GOLONGAN
DARAH
BAYI A O A O A
B O O B B
AB - A B AB

c. dapat diberikan darah golongan O Rh negatif dalam bentuk


Packed red cells
d. bila keadaan sangat mendesak (emergency), sedangkan
persediaan darah Rh.negatif tidak tersedia, maka untuk
sementara dapat diberikan darah yang inkompatibel (Rh.positif)
untuk transfusi tukar pertama, kemudian transfusi tukar diulangi
kembali dengan memberikan darah donor Rh negatif yang
kompatibel.
e. Pada anemia berat sebaiknya diberikan Packed red cells
f. Darah yang dibutuhkan untuk transfusi tukar adalah 170
ml/kgBBbayi dengan lama pemberian transfusi ≥ 90 menit
g. Lakukan pemeriksaan reaksi silang antara darah donor dengan
darah bayi, bila tidak memnungkinkan untuk transfusi tukar
pertama kali dapat digunakan darah ibunya, namun untuk
transfusi tukar berikutnya harus menggunakan darah bayi.
h. Sebelum ditransfusikan hangatkan darah tersebut pada suhu
37°C
i. Pertama-tama ambil darah bayi 50 ml, sebagai gantinya masukan
darah donor sebanyak 50 ml. Lakukan sengan cara diatas hingga
semua darah donor ditransfusikan.

7
Procedure

Gambar 3. Transfusi tukar pada Rh incompatibilitas. 3

B. Transfusi intra uterin :


Pada tahun 1963 Liley memperkenalkan transfusi intra uterin. Sel eritrosit donor
ditransfusikan ke peritoneal cavity janin, yang nantinya akan diabsorbsi dan
masuk kedalam sirkulasi darah janin (intraperitoneal transfusion). Bila paru janin
masih belum matur, transfusi intrauterin adalah pilihan yang terbaik. Darah bayi
Rhesus ( D) negatif tak akan mengganggu antigen D dan karena itu tak akan
merangsang sistem imun ibu memproduksi antibodi. Tiap antibodi yang sudah
ada pada darah ibu tak dapat mengganggu darah bayi. Resiko transfusi intra uterin
sangat besar , sehingga mortalitas sangat tinggi. Untuk itu para ahli lebih memilih
intravasal transfusi, yaitu dengan melakukan cordocentesis (pungsi tali pusat
perkutan). Transfusi dilakukan beberapa kali pada kehamilan minggu ke 26 – 34
dengan menggunakan Packed Red Cells golongan darah O Rh negatif sebanyak
50 – 100 ml. Induksi partus dilakukan pada minggu ke 32 dan kemudian bayi
dibantu dengan transfusi tukar 1x setelah partus. Induksi pada kehamilan 32
minggu dapat menurunkan angka mortalitas sebanyak 60%.

8
C. transfusi albumin
pemberian albumin sebanyak 1 mg/kg BB bayi, maka albumin akan mengikat
sebagian bilirubin indirek. Karena harga albumin cukup mahal dan resiko
terjadinya overloading sangat besar, maka pemberian albumin banyak
ditinggalkan

D. Foto terapi:
Foto terapi dengan bantuan lampu blue violet dapat menurunkan kadar bilirubin.
Fototerapi sifatnya hanya membantu dan tidak dapat digunakan sebagai terapi
tunggal

Procedure

Gambar 4. Foto terapi pada bayi dengan Rh Incompatibilitas. 3

IX. PROGNOSIS 4,14


Pengukuran titer antibodi dengan tes Coombs indirek < 1:16 berarti bahwa janin
mati dalam rahim akibat kelainan hemolitik tak akan terjadi dan kehidupan janin
dapat dipertahankan dengan perawatan yang tepat setelah lahir. Titer yang lebih
tinggi menunjukan kemungkinan adanya kelainan hemolitik berat. Titer pada ibu

9
yang sudah mengalami sensitisasi, dalam kehamilan berikutnya, dapat naik meskipun
janinnya Rhesus negatif.
Jika titer antibodi naik sampai secara klinis bermakna, pemeriksaan titer antibodi
diperlukan. Titer kritis tercapai jika didapatkan nilai 1:16 atau lebih. Jika titer di
dibawah 1:32, maka prognosis janin diperkirakan baik.
A. Mortalitas
Angka mortalitas dapat diturunkan jika :
1. ibu hamil dengan Rhesus negatif dan mengalami imunisasi dapat dideteksi
secara dini
2. Hemolisis pada janin dari ibu Rhesus negatif dapat diketahui melalui kadar
bilirubin yang tinggi didalam cairan amnion atau melalui sampling pembuluh
darah umbilikus yang diarahkan secara USG
3. Pada kasus yang berat, janin dapat dilahirkan secara prematur sebelum
meninggal didalam rahim atau/dan dapat diatasi dengan transfusi
intraperitoneal atau intravaskuler langsung sel darah merah Rhesus negatif
pemberian Ig D kepada ibu Rhesus negatif selama atau segera setelah
persalinan dapat menghilangkan sebagian besar proses isoimunisasi D.
B. Perkembangan anak selanjutnya.
Menurut Bowman (1978) kebanyakan anak yang berhasil hidup setelah
mengalami tranfusi janin, akan berkembang secara normal. Dari 89 anak yang
diperiksa ketika berusia 18 bulan atau lebih, 74 anak berkembangan secara
normal, 4 anak abnormal, dan 11 anak mengalami gangguan tumbuh kembang. 1

X. PENCEGAHAN 1,3,4,7,14
Tindakan terpenting untuk menurunkan insidens kelainan hemolitik akibat
isoimunisasi Rhesus, adalah imunisasi pasif pada ibu. Setiap dosis preparat
imunoglobulin yang digunakan memberikan tidak kurang dari 300 mikrogram
antibodi D. 100 mikrogram anti Rhesus (D) akan melindungi ibu dari 4 ml darah
janin. 1,2,4,6,14
Suntikan anti Rhesus (D) yang diberikan pada saat persalinan bukan sebagai
vaksin dan tak membuat wanita kebal terhadap penyakit Rhesus. Suntikan ini untuk

10
membentuk antibodi bebas, sehingga ibu akan bersih dari antibodi pada kehamilan
berikutnya.

Tabel 2. Kategori obat sebagai pencegahan Inkompatibilitas Rhesus. 7

Human anti-D immune globulin (RhoGAM) -- Suppresses


immune response of nonsensitized Rh O (D) negative
mothers exposed to Rh O (D) positive blood from the fetus
Drug Name as a result of a fetomaternal hemorrhage, abdominal trauma,
amniocentesis, abortion, full-term delivery, or transfusion
accident. Should be administered if the patient is Rh-
negative, unless the father also is Rh-negative.
<13 wk gestation: 50 mcg IM
Adult Dose
>13 wk gestation: 300 mcg IM
Pediatric Dose Administer as in adults
Documented hypersensitivity; patients who have received
Contraindications
Rho(D)-positive blood within the last 3 mo
Interactions None reported
C - Safety for use during pregnancy has not been
Pregnancy
established.
Caution in thrombocytopenia, bleeding disorders, or IGA
Precautions deficiency; when administered close to delivery, may
interfere with Rh typing of the newborn

Preparat globulin yang diberikan kepada ibu dengan Rhesus negatif yang
mengalami sensitisasi dalam waktu 72 jam sesudah melahirkan, ternyata sangat
protektif. Ibu dengan kemungkinan abortus, kehamilan ektopik, mola hidatidosa, atau
perdarahan pervaginam harus ditangani karena akan mengalami isoimunisasi tanpa
preparat imunoglobulin. Ibu rhesus negatif yang memperoleh darah ataupun fraksi
darah berupa trombosit atau plasmaferesis berisiko untuk mengalami sensitisasi. 1,4,6
Kalau terdapat keraguan untuk memberikan preparat Ig anti G, maka preparat
tersebut harus diberikan, termasuk kepada ibu yang tampaknya belum mengalami
sensitisasi dalam waktu 72 jam setelah melahirkan. Kebijaksanaan ini dapat
menurunkan resiko isoimunisasi. Antibodi dengan dosis 300 mikrogram diberikan
kepada ibu rhesus negatif yang belum mengalami sensitisasi pada kehamilan 28
minggu dan kehamilan 34 minggu atau pada saat dilakukan amniosintesis atau pada

11
saat terjadi perdarahan uterus. Dosis ketiga diberikan kepada ibu sesudah melahirkan.
1,4

Kegagalan pemberian anti D terjadi bila : 1


1. Tidak diberikan suntikan RhIg pada ibu Rh negatif (D-) yang telah melahirkan
bayi Rh positif
2. tidak diberikan suntikan Immunoglobulin anti-D setelah abortus atau setelah
pemeriksaan amniocentesis
3. pemberian dosis RhIg tidak mencukupi ( karena feto maternal macrotransfusion
jarang terjadi)
4. sudah terlanjur terjadi sensitisasi oleh sel darah merah janin

12
X. RUJUKAN
1. Sindu, E. Hemolytic disease of the newborn. Direktorat Laboratorium Kesehatan Dirjen.
Pelayanan Medik Depkes dan Kessos RI
2. James DK, Steer PJ, et al. Fetal hemolytic disease. High Risk Pregnancy. 2nd ed. WB. Saunders,
1999: 343 - 361
3. Salem L. Rh incompatibility. www. Neonatology.org. 2001
4. Cunningham FG, MacDonald PC, et al. Williams Obstetrics. 18th edition 1995. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC, 1995: 706-721.
5. Markum AH, Ismail S, Alatas H. Buku ajar ilmu kesehatan anak. Jakarta: Bagian IKA FKUI,
1991: 332-334
6. Tudehope DI, Thearle MJ. A primer of neonatal medicine. Queensland: William Brooks
Queensland, 1985: 144-149
7. Wagle S. Hemolytic disease of the newborn. www. Neonatology.org. 2002
8. Giroux AG, Moore TR. Erythroblastosis fetalis. In: Fanaroff AA, Martin RJ. Neonatal perinatal
medicine diseases of the fetus and infant, I, 6th ed. St. Louis: Mosby Year Book, 1997: 300-311
9. Hasan R, Alatas H. Buku kuliah ilmu kesehatan anak, 3. Edisi IV. Jakarta: Bagian IKA FKUI,
1996 : 1095-1100
10. Berman S. Ph. Isoimmunization. In: Obgyn secrets, 2nd ed. Colorado; Book Promotion & Service
Co. 1999: 241-245
11. Shaver DC. Isoimmunization. In; Shaver DC. Ed St. Louis: Mosby Year Book, 1997: 300-311
12. Prawirohardjo S, Winkjosastro H. ilmu kebidanan. Ed.II. Jakarta: Yayasan bina Pustaka. 1986:
426-444
13. Mochtar R. Sinopsis obstetri, 1.jakarta: EGC, 1995: 164-171
14. Fanaroff AA, Martin RJ Eds. Neonatal-perinatal medicine disease of the fetus and infant. 5th ed.
St. Louis; Mosby-Year Book, 1995: 235-237
15. Cunningham FG, MacDonald PC, et al. Williams Obstetrics. 20th ed. Philadelphia: Prentice Hall
international, 1997: 706-721

13

You might also like