You are on page 1of 5

KProgram Menyediakan tempat rehabilitasiKebijakan Pemerintah Dan Pencegahan

Penyalahgunaan NAPZA

Oleh : Tri Fajarwati, NPM : 1606955580, Kelas A, FG 1

Angka prevalensi penggunaan NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif Lainnya)
di 12 provinsi mengalami kenaikan terutama di Jakarta (BNN, 2016). Untuk mengurangi
peningkatan pemakaian NAPZA diperlukan kebijakan pemerintah dan pencegahan
penyalahgunaan NAPZA. Oleh karena itu dalam kesempatan ini saya akan membahas tentang
kebijakan pemerintah dan pencegahan penyalahgunaan NAPZA.

Penyalahgunaan NAPZA merupaka hasil interaksi dari faktor predisposisi, faktor


kontribusi, dan faktor pencetus. Seseorang yang memiliki gangguan kepribadian (antisosial) akan
mengalami gangguan kepribadian yang ditandai dengan rasa tidak puas terhadap perilaku orang
lain maupun dirinya sendiri. Untuk mengatasi hal tersebut, seseorang akan menggunakan
NAPZA untuk menghilangkan kecemasan dan depresi yang dialami. Faktor kontribusi seseorang
menggunakan NAPZA ialah kondisi keluarga yang kurang harmonis, misalnya orang tua
bercerai, orang tua sibuk bekerja, dan hubungan interpersonal yang tidak baik antara orang tua
dan anak maupun dengan saudara. Sedangkan faktor pencetusnya adalah kemudahan
mendapatkan NAPZA dan pengaruh teman. Oleh karena itu diperlukan penanaman nilai moral
dan spiritual yang dapat dilakukan dari mulai keluarga yang merupakan unit terkecil dari
masyarakat (Noorkasiani, Heryati, & Ismail, 2009).

Upaya pemerintah dalam rangka mencegah penyalahgunaan NAPZA adalah dengan


membuat kebijakan pemerintah melalui peraturan (undang - undang), melalui program
pencegahan (P4GN), rehabilitasi dan penanaman nilai moral spiritual.

A. Kebijakan pemerintah
1. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika
menyatakan :
a. bahwa mengimpor, mengekspor, memproduksi, menanam, menyimpan, mengedarkan,
dan/atau menggunakan narkotika tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan
seksama serta bertentangan dengan peraturan perundang-undangan merupakan tindak
pidana narkotika karena sangat merugikan dan merupakan bahaya yang sangat besar
bagi kehidupan manusia, masyarakat, bangsa, dan negara serta ketahanan nasional
Indonesia;
b. bahwa tindak pidana narkotika telah bersifat nasional yang dilakukan dengan
menggunakan modus operandi yang tinggi, teknologi canggih, didukung oleh jaringan
organisasi yang luas, dan sudah banyak menimbulkan korban, terutama di kalangan
generasi muda bangsa yang sangat membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan
negara sehingga UndangUndang Nomor 22 Tahun 1997 tentang narkotika sudah tidak
sesuai lagi dengan perkembangan situasi dan kondisi yang berkembang untuk
menanggulangi dan memberantas tindak pidana tersebut.

Pada pasal 54 Undang-Undang Narkotika Nomor 35 Tahun 2009 mengamanatkan kepada


negara untuk melakukan rehabilitasi kepada pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika.
Sedangkan pada pasal 111 – 148 menyatakan ancaman hukuman yang berat bagi pelaku
penyalahgunaan narkoba. Penegakan hukum yang dilakukan tidak hanya kasus
penyalahgunaan narkoba tetapi juga dilakukan penegakan hukum atas aset yang diperoleh
maupun yang dibelanjakan dari hasil penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba berupa
pengenaan tindak pidana pencucian uang.

2. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2017 (merupakan


permenkes terbaru) tentang perubahan penggolongan narkotika menyatakan :
a. bahwa terdapat peningkatan penyalahgunaan beberapa zat baru yang memiliki potensi
sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan yang belum termasuk dalam golongan
narkotika sebagaimana diatur dalam lampiran I undang - undang nomor 35 tahun 2009
tentang narkotika dan peraturan menteri kesehatan nomor 13 tahun 2014 tentang
perubahan penggolongan narkotika;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan untuk
melaksanakan ketentuan pasal 6 ayat (3) undang - undang nomor 35 tahun 2009 tentang
narkotika, perlu menetapkan peraturan menteri kesehatan tentang perubahan
penggolongan narkotika;
B. Program pencegahan, pemberantasan, penyalahgunaan dan peredaran narkoba (P4GN)
Pada tahun 2014 terjadi perubahan dalam proses penanganan penyalahgunaan dan peredaran
gelap narkoba yang mengutamakan penindakan / supply reduction menjadi keseimbangan
antara penindakan (supply reduction) dengan rehabilitasi (demand reduction) atau
keseimbangan antara pendekatan hukum dan pendekatan kesehatan. Hal ini berarti bahwa
pemberantasan kepada para pengedar, bandar dan produsen narkoba dilakukan secara masif
dan tegas. Sedangkan kepada pecandu dan korban penyalahgunaan narkoba dilakukan
rehabilitasi sebagai bentuk pendekatan kesehatan, karena pada dasarnya para pecandu adalah
orang yang sakit dan memiliki hak untuk dipulihkan (Kemenkes RI, 2014).

C. Menyediakan tempat rehabilitasi bagi pecandu dan penyalahguna narkotika

Negara wajib menyediakan sumber daya manusia, program rehabilitasi dan fasilitas
rehabilitasi. Saat ini lembaga rehabilitasi yang dikelola oleh pemerintah dan masyarakat
hanya mampu menyediakan lebih kurang 18.000 orang per tahun, sedangkan kebutuhan
untuk rehabilitasi sebagaimana hasil penelitian dari Badan Narkotika Nasional (BNN) dan
Puslitkes UI tahun 2011 diperkirakan untuk 1,19 juta orang yang memerlukan rehabilitasi
baik rehabilitasi rawat jalan maupun rawat inap serta rehabilitasi yang ada di dalam lapas dan
rutan. Untuk mengatasi hal ini, diperlukan kerjasama yang kuat dan terus menerus oleh
pemerintah dalam hal ini BNN, kementerian kesehatan dan kementerian sosial, pemerintah
provinsi dan kabupaten/kota, serta komponen masyarakat. Diharapkan di seluruh provinsi
dan kabupaten/kota paling tidak tersedia satu tempat rehabilitasi yang diinisiasi oleh
pemerintah provinsi dan kabupaten/ kota untuk memberikan pemulihan kesehatan kepada
warganya sendiri (Kemenkes RI, 2014).

D. Penanaman nilai moral dan spiritual


Penanaman nilai moral dan spiritual dapat dilakukan dengan optimalisasi peran tokoh
masyarakat, tokoh agama, dan pemuda untuk melakukan intervensi pencegahan
penyalahgunaan narkoba. Selain itu, penanaman nilai moral dan spiritual juga dapat
dilakukan di tempat rehailitasi sebagai contoh melalui psikoterapi islami. Psikoterapi Islami
adalah sebagai proses pengobatan dan penyembuhan terhadap gangguan suatu penyakit baik
mental, spiritual, moral maupun fisik dengan melalui bimbingan Al-Qur’an. Tujuan
psikoterapi Islami adalah memberikan bantuan kepada setiap individu agar sehat jasmaniah
dan rohaniah, atau sehat mental, spiritual dan moral; mengantarkan individu kepada
perubahan konstruktif dalam kepribadian dan etos kerja (Kementerian Sosial RI,2014).

Daftar Pustaka

Noorkasiani, Heryati, & Ismail, R. (2009). Sosiologi Keperawatan. Jakarta: EGC.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2014 ). Buletin Jendela Data dan

Informasi Kesehatan. Dipetik pada Maret, 23, 2018 malalui


www.depkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/buletin/buletin-napza.pdf

Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009. Dipetik pada Maret, 23, 2018 melalui
http://bnn.go.id/_multimedia/document/20171017/uu352009.pdf
Peraturan Menteri Kesehatan Rpublik Indonesia Nomor 2 tahun 2017. Dipetik pada Maret, 23, 2018
melalui http://www.hukor.depkes.go.id/uploads/produk_hukum/PMK_No._2_ttg_Perubahan_
Penggolongan_Narkotika_.pdf
Kementerian Sosial Republik Indonesia. (2014). Pendekatan Spiritual Dalam Rehabiliasi Sosial Korban
Penyalahgunaan Narkoba Di Pesantren Inabah Surabaya. Dipetik pada Maret, 23, 2018 melalui
https://media.neliti.com/media/publications/52816-ID-pendekatan-spiritual-dalam-rehabilitasi.pdf
Lampiran

Skema Penyalahgunaan NAPZA

You might also like