You are on page 1of 5

AKU terlahir dari keluarga yang kurang mampu.

Tapi aku tak


berkeluhkesah. Aku seorang anak yang bergelut dengan bau sampah
yang membusuk. Aku pun kadang seharian berjalan kaki sambil
bernyanyi, menepuk-nepuk tangan. Kadang lelah, namun perut yang
keroncongan selalu menjadi semangat. Ini bukan perintah Ibu ataupun
Ayah, namun keadaan keluargaku yang membuat aku harus begini.
Ibuku sudah lama sakit, dan Ayahku sudah lama meninggal karena
penyakit asma.

Seperti hari ini, dengan semangat ’45, aku pergi ke sekolah. Aku
selalu tertinggal pelajaran, karena aku tidak mempunyai buku paket,
namun aku tidak pernah bolos sekolah. Aku tergolong anak yang
pintar di sekolah. Aku tergolong anak yang pintar disekolah. Sepulang
sekolah, aku langsung ganti baju. Aku mulai menyusuri jalan-jalan
raya , naik turun mobil sambil sambil bernyanyi, sudah biasa bagiku.
hari ini aku Cuma dapat Rp 5.000,00. Aku pulang ke rumah, dan di
rumah adik kecilku sedang menangis.

“Adik kenapa menangis ?” tanyaku

“Aku lapar, Kak, ingin beli roti,jawab adik.

“Ini kakak dapat uang,gih sana beli roti. Setelah beli roti, kau
jangan minta lagi jajan. Kamu makan aja, yang kenyang.”

“lauknya sama apa, kak?” Tanya adik lagi.


Aku terdiam, apa yang harus kujawab, uangku hanya cukup beli
beras satu liter.

“Dengan telur ,” Ibu menjawab dari dalam kamar.

“Ibu? dari mana Ibu punya uang?” tanyaku.

“Ibu mencuci pakaian tetangga.”

“Ibu kan sakit, sebaiknya Ibu istirahat. Kalau Ibu terus mencuci,
nanti sakit Ibu makin parah.”

“Tidak kok, nak. Ibu sudah sembuh. Sudah seminggu kamu yang
mencari uang, sekarang giliran Ibu. Uang yang kamu dapat, kamu
celengin biar nanti bisa beli buku.”

“Iya, Bu,” jawabku.

Sore harinya aku pergi ketempat pembuangan sampah. Disana


banyak sekali rongsokan yang dapat aku jual, lumayan untuk nambah
celengan. Kulihat ada segunduk buku bekas, lalu aku baca. Ternyata
ada buku pelajaran untuk kelas IV, walaupun kurikulumnya telah
tertinggal, namun masi bermanfaat untuk menambah pengetahuan.

Hari sudah sore, besok aku harus bangun pagi-pagi sekali karena
besok aku akan membantu pakhalim mengantarkan Koran pada
langganannya. Dan aku akan menjualnya di dalam pasar, aku tak
peduli walaupun teman-temanku selalu mengejekku. Kata mereka, aku
adalah si gembel penjual Koran. Tapi kata Ibuku, aku adalah mutiara
yang selalu berkilau walaupun hidupku ditempat-tempat kotor. Dan
menurutku, menjadi penjual Koran itu tak buruk kok, malah banyak
keuntungannya, selain kita punya uang sendiri, kita pun lebih
berpengetahuan karena Koran adalah sumber informasi. Asal kita
tidak mengabaikan sekolah, karena berjualan di dalam pasar itu bisa
aku lakukan hanya malam minggu saja.

Ketika aku hendak pulang, kulihat seorang kakek tua melintas, ia


rupanya tidak melihat kekiri dan kanan. Tiba-tiba saja dari arah utara
ada mobil melaju kencang. Aku cepat-cepat mendorong kakek itu.
Kau beserta kakek itu jatuh ke samping. Hampir saja kami tertabrak
mobil itu .untung deh aku dan kakek itu hanya mendapatkan luka
ringan di tangan , kena batu-batu kerikil .

“Aduh , nak , terima kasih. Kalau tidak ada kamu, mungkin


kakek sudah terbaring,”kata kakek itu sambil menuju ketanah.

Kakek itu membawa aku kerumahnya untuk mengobati luka


kami. Ternyata rumah kakek itu megah sekali, aku malu masuknya
karena bajuku kummel dan bau.

“Ayo, jangan malu-malu, masuk!” kata kakek itu.

Dirumah kakek itu, aku mandi dan diberi pakaian yang masih
bagus, dan ternyata kakek itu mempunyai cucu perempuan seumur
dengan ku. Aku senang berada di rumah kakek itu karena disana
banyak sekali buku-buku.

Tapi hari sudah malam, Ibu pastikhawatir padaku. Aku pulang


diantar kakek itu dengan menaiki mobilnya. Sebagai ucapan
terimakasihnya, itu kakek memberi modal pada Ibuku. Berkat bantuan
kakek itu, ibu sangat terbantu olehnya Ibuku bisa membangun sebuah
kios, dan kami pun tidak pernah ketinggalan pelajaran karena Ibu
sekarang sudah mampu membelikan buku paket. Ini semua karena
Tuhan, lewat bantuan kakek itu kami bisa hidup cukup. Walaupun
begitu, aku tidak pernah menjadi pemalas, setiap pagi aku mengan
tarkan Koran dan setiap minggu aku menjual Koran di dalam pasar.
Walaupun harus berteriak-teriak, “Koran….!!! Koran….!!! Koran….!,
aku senang. Namun kebahagiaan ku belum berakhir begitu saja, ketika
aku sedang merenung sendiri,aku mendengar suara mesin mobil yang
berhenti didepan rumahku. Ketika aku keluar dari rumah untuk
mengetahui siapa yang datang kerumahku. Aku melihat ternyata kakek
yang kemarin kuselamatkan kembali dating untuk menemuiku. Namun
niat kakek itu datang kerumahku memiliki tujuan lain. Dia
menanyakan.

“Maukah kamu menjadi cucu angkatku?” kakek itu bertanya.

Mendengar ucapan kakek itu aku,dan ibuku sangat kaget.

“Apa, kakek mau mengangkatku menjadi cucu kakek?” Tanya ku


sambil gembira.

“ya, kakek ingin memiliki cucu sebaik kamu.” Ucap sang kakek.

Mendengar ucapan itu aku pun merasa sangat bahagia. Aku


merasa bahagia bukan karena diangkat oleh kakek yang kaya namun
aku bahagia keluargaku bertambah. Kehidupan ku bersama keluarga
baruku sangat lah indah mereka sangat menyayangiku bagaikan
keluarga mereka.
Hendi Purwansyah. Lahir di Sumedang-Jawa Barat tanggal
9 November 1992. Hendi purwansyah adalah anak ke lima dari
lima bersaudara, dari pasangan Sjamsir Alam dan Purbawati ia
memulai pendidikan pada umur 6 tahun di sebuah sekolah dasar.

Sejak uumur 6 tahun sudah aktif dalam kegiatan-kegiatan


keagamaan. Dan pada umur 12 tahun hendi masuk ke sekolah
menengah pertama, dan pada umur 15 masuk ke sekolah
menengah atas, dan sekarang masih duduk di kelas X-7 SMA N
1 Sumedang.

You might also like