You are on page 1of 10

D.

02

PENINGKATAN TOLERANSI MELALUI BUDAYA TEPA SARIRA


(Pengembangan Model Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal)

Tri Rejeki Andayani


Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret Surakarta
menikpsy@yahoo.com

Abstraksi. Pendidikan karakter bertujuan membentuk kepribadian seseorang melalui


pendidikan budi pekerti dan pembelajaran nilai-nilai hidup. Toleransi merupakan salah satu
nilai-nilai hidup yang penting bagi setiap anak untuk hidup rukun dan harmonis dalam
kemajemukan masyarakat Indonesia. Budaya Jawa yang mengedepankan kerukunan dan
keharmonisan sosial tentu saja memiliki nilai-nilai budaya yang menunjang terwujudnya hal
tersebut, salah satu diantaranya adalah tepa sarira. Penelitian ini bertujuan untuk menguji
peningkatan sikap dan perilaku toleransi pada anak usia Sekolah Dasar melalui penerapan
model pendidikan karakter yang berbasis budaya tepa sarira. Desain dalam penelitian ini
menggunakan pendekatan quasi eksperimen dengan bentuk pretest-posttest one-group design
experiment (before and after only with no control design). Subjek penelitian ini adalah siswa
kelas atas Program Inklusi di SD Al Firdaus Surakarta sebanyak 88 siswa. Pengumpulan data
menggunakan Skala Sikap Toleransi (Reliabilitas 0,939) dan Kuesioner Perilaku Toleransi
(Reliabilitas 0,843). Teknik analisis data dilakukan dengan teknik Uji-t. Hasil penelitian
membuktikan bahwa melalui sistem integrasi pembelajaran di sekolah, model pendidikan
karakter yang berbasis budaya tepa sarira terbukti dapat meningkatkan sikap dan perilaku
toleransi pada anak usia sekolah dasar. Untuk memperluas manfaat penelitian, maka
penerapan model pembelajaran nilai toleransi berbasis budaya tepa sarira ini perlu
ditingkatkan dari segi waktu dan tempat penyelenggaraan, peningkatan kompetensi dan
profesionalitas guru melalui Pelatihan dan Pendampingan Penyusunan dan Pengembangan
RPP Berbasis Pendidikan Karakter, dan melibatkan peran orangtua (keluarga) sebagai salah
satu sumber sosialisasi nilai-nilai hidup dan budaya yang menunjang pendidikan karakter.

Kata kunci:toleransi, tepa sarira, pendidikan karakter

Tidak dapat dipungkiri bahwa karakter yang mengajarkan nilai-nilai hidup,


perkembangan masyarakat pada saat ini termasuk nilai toleransi telah menjadi satu
makin diwarnai dengan peritiwa-peristiwa kesadaran bagi setiap bangsa, terutama yang
yang menjauh dari kerukunan dan memiliki kemajemukan seperti Indonesia.
keharmonisan sosial. Perbedaan bukan lagi Salah satu program yang berkembang
dipandang sebagai kekayaan kehidupan pesat dalam merealisasikan upaya-upaya
bersama tetapi justru pemicu perpecahan pendidikan karakter adalah Program
karena tidak adanya toleransi. Pendidikan Nilai-nilai Hidup (Living Values
Sesungguhnya pentingnya pendidikan Education Programme/LVEP) yang

397
398 | Prosiding Seminar Nasional Parenting 2013

dikembangkan oleh Tillman (2001). Salah Transformatif dan Toleran yang


satu tujuan program ini adalah membantu diselenggarakan oleh Lembaga Kajian Islam
individu merefleksikan dan menerapkan 12 dan Sosial (LKiS) yang memiliki tiga tema,
nilai-nilai universal dalam kehidupan, nilai- yaitu: (a) Islam dan Gender, (b) Islam dan
nilai tersebut adalah kesederhanaan, Politik Kewarganegaraan, (c) Islam dan
toleransi, kejujuran, menghargai, damai, Relasi Agama. Program ini menggunakan
tanggung jawab, kebahagiaan, persatuan, empat prinsip utama, yaitu belajar dari
kasih sayang, rendah hati, kerjasama dan pengalaman, terbuka dan jujur, refleksi, dan
kebebasan. Sampai dengan saat ini sebanyak dialogis. Sedangkan tujuannya adalah
84 negara di dunia, termasuk Indonesia telah transformasi sosial, penghormatan hak-hak
menerapkan LVEP. asasi, dan penghargaan pada pluralisme
Selanjutnya Indonesia Heritage (Salim, 2003).
Foundation (IHF), lembaga pendidikan Pusat Studi Budaya dan Perubahan
yang didirikan oleh Ratna Megawangi Sosial Universitas Muhammadiyah
(2008) pada Tahun 2000 ini Surakarta, telah menyelenggarakan program
mengembangkan suatu model Pendidikan Pendidikan Apresiasi Seni (PAS), yang
Holistik Berbasis Karakter. Model tersebut ditujukan pada para siswa sekolah dasar di
sudah diterapkan di lebih dari 700 sekolah Surakarta sejak tahun 2002. Program ini
Semai Benih Bangsa (TK Nonformal) dan dimaksudkan untuk menanamkan
TK Formal lainnya. Melalui program Semai penghargaan terhadap seni tradisi dan
Benih Bangsa, ditumbuhkan sembilan pluralisme budaya kepada para siswa
karakter pada anak-anak yakni : (1) cinta sekolah dasar melalui program pendidikan
Tuhan dan segenap ciptaanNya; (2) apresiasi seni. Adapun jenis seni yang
tanggung jawab, kedisiplinan dan dijadikan sarana adalah seni tari, seni
kemandirian; (3) kejujuran/amanah dan pedalangan, dan seni karawitan. Program
arif; (4) hormat dan santun; (5) dermawan, PAS ini dipraktikkan melalui kegiatan
suka menolong dan gotong- ekstra kurikuler pada empat sekolah dasar di
royong/kerjasama; (6) percaya diri, kreatif Surakarta sejak tahun 2002 sampai 2006
dan pekerja keras; (7) kepemimpinan dan (Khisbiyah dan Sabardila, 2004).
keadilan; (8) baik dan rendah hati; dan (9) Prihartanti (2008) dalam
toleransi, kedamaian dan kesatuan. penelitiannya mengenai model pembelajaran
Selain melalui LVEP dan IHF, nilai toleransi menemukan bahwa akar
program pendidikan karakter yang permasalahan yang sering terjadi pada anak
mengutamakan nilai toleransi terdapat pula usia sekolah dasar adalah rendahnya
dalam Program Belajar Bersama kemampuan penghargaan terhadap orang
Peningkatan Toleransi Melalui Budaya “Tepa Salira”
(Pengembangan Model Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal) | 399
Andayani, T.R. [hal.397-406]

lain, rendahnya kesediaan menerima tingkatan ketiga setelah “nandhing salira”


perbedaan, dan kurangnya kemampuan dan “ngukur salira”. Untuk mewujudkan
penyelesaian konflik secara damai. Lebih kerukunan, tidak akan tercapai bila
lanjut dikatakan Prihartanti bahwa melalui seseorang masih dalam tingkatan nanding
model pembelajaran yang telah sarira, karena nandhing sarira merupakan
dikembangkannya siswa diharapkan dapat tingkatan yang paling rendah dalam
menghargai diri sendiri, mengembangkan pengkajian diri dimana seseorang masih
keterampilan sosial dalam memberi dan mengutamakan "aku" yang berarti lebih
menerima penghargaan dalam berinteraksi kearah egosentrisme. Penelitian Andayani,
dengan orang lain, mengenal tindakan Yusuf dan Hardjajani (2010, 2011) telah
toleran dan tidak toleran serta mampu saling menyusun dan mengembangkan suatu
menghargai dalam keragaman, serta mampu model pembelajaran nilai toleransi berbasis
menyelesaikan konflik secara damai. budaya tepa sarira pada anak usia sekolah
Mencermati berbagai program dasar.
pembelajaran di atas, pengembangan Living Model tersebut dikembangkan
Values Education yang berbasis kearifan sebagai salah satu alternatif dalam
lokal masih sangat jarang dikembangkan. pendidikan karakter di sekolah dasar,
Indonesia dengan segala kemajemukan dengan pertimbangan sebagai berikut : (1)
kulturalnya memiliki kekayaan budaya dan Visi bangsa Indonesia dalam Pembukaan
nilai-nilai luhur yang dapat menjadi UUD 1945, yakni ”....membentuk
landasan pengembangan pendidikan Pemerintah Negara Indonesia yang
karakter. Sebagaimana diungkapkan dalam melindungi segenap bangsa Indonesia dan
penelitian Hildred Geertz (1983) pada seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
keluarga Jawa bahwa pembentukan karakter memajukan kesejahteraan umum,
anak Jawa menuju pada pribadi yang mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
memiliki prinsip kerukunan dan prinsip melaksanakan ketertiban dunia yang
hormat. Dalam konteks budaya Jawa, berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
pendidikan karakter/watak di keluarga Jawa abadi, dan keadilan sosial,...”; (2) Indonesia
dianggap tercapai bila anak Jawa memiliki adalah satu dari 84 negara di dunia yang
sikap hormat dan rukun. menerapkan LVEP (Living Values
Salah satu nilai Budaya Jawa yang Education Programme), suatu program
dapat dijadikan landasan menciptakan kemitraan antara para pendidik di seluruh
kerukunan (integrasi) bangsa adalah budaya dunia dan didukung oleh UNESCO. LVEP
“tepa sarira”. Menurut Bratakesawa (dalam fokus pada pembelajaran 12 nilai-nilai
Darminta, 1980), tepa sarira merupakan universal, yakni : kesederhanaan, toleransi,
400 | Prosiding Seminar Nasional Parenting 2013

kejujuran, menghargai, damai, tanggung pendidikan karakter ke dalam model


jawab, kebahagiaan, persatuan, kasih pembelajaran. Sehingga penuangan
sayang, rendah hati, kerjasama dan ide/gagasan, materi dan media pendidikan
kebebasan; dan (3) Salah satu pencapaian karakter acapkali menjadi pekerjaan yang
target Millenium Development Goals dinilai sulit dirancang dan diterapkan oleh
(MDGs) 2015 adalah pemerataan para guru.
pendidikan dasar (memastikan bahwa setiap Mengacu pada Teori Sosialisasi
anak, baik laki-laki dan perempuan Primer (Primary Socialization Theory) yang
mendapatkan dan menyelesaikan tahap diungkapkan oleh Oetting and Donnermeyer
pendidikan dasar); dan (4) Secara (1998) bahwa keluarga (orangtua), sekolah
psikologis, anak usia sekolah dasar memiliki (guru) dan teman sebaya merupakan sumber
tugas perkembangan yang khas, salah sosialisasi bagi anak. Tulisan ini akan
satunya adalah mengembangkan hati nurani, menyajikan hasil penerapan model
pengertian moral dan tata nilai (Hurlock, pembelajaran nilai toleransi berbasis budaya
1990). Oleh karena itu, tepat apabila model tepa sarira yang disampaikan melalui
pembelajaran nilai ini dikembangkan pada integrasi dalam Rencana Pelaksanaan
anak usia sekolah dasar untuk mendukung Pembelajaran (RPP) di sekolah dasar.
pembentukan pribadi-pribadi yang utuh Dengan harapan, dari hasil pemaparan ini
sejak dini. maka hasil-hasil penelitian tersebut dapat
Pada awalnya, program ini dimanfaatkan secara lebih luas, baik
dikembangkan untuk membantu para guru diselenggarakan oleh guru-guru di sekolah
menindaklajuti kebijakan kebijakan dasar lainnya, maupun oleh para orangtua
pemerintah (Kementerian Pendidikan selaku salah satu sumber sosialisasi bagi
Nasional, sekarang menjadi Kementerian anak.
Pendidikan dan Kebudayaan) yang
menetapkan bahwa mulai 2011 pendidikan Metode Penelitian
karakter harus sudah menjadi bagian yang Desain dalam penelitian ini
tidak terpisahkan dalam proses menggunakan pendekatan quasi eksperimen
pembelajaran di sekolah menuntut para dengan bentuk pretest-posttest one-group
pendidik mampu mengimplementasikannya. design experiment atau sering disebut
Meskipun pentingnya pendidikan karakter dengan before and after design atau before
telah disadari penuh oleh para guru, namun and after only with no control design.
pada kenyataannya tidak setiap guru dengan Subjek penelitian ini adalah siswa
mudah mengintegrasikan nilai-nilai hidup kelas atas Program Inklusi di SD Al Firdaus
yang menjadi bagian penting dalam Surakarta (selaku sekolah mitra penelitian),
Peningkatan Toleransi Melalui Budaya “Tepa Salira”
(Pengembangan Model Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal) | 401
Andayani, T.R. [hal.397-406]

sebanyak 88 siswa. Siswa kelas atas SD pembelajaran (awal semester) dan sesudah
(Kelas IV, V, dan VI) rata-rata berusia 10- pembelajaran (tengah semester).
12 tahun telah mencapai tahap Analisis data dilakukan dengan teknik
perkembangan kognitif operasional konkrit, Uji-t untuk membuktikan adanya perbedaan
antara lain ditandai dengan hilangnya sikap dan perilaku toleransi antara sebelum
egosentrisme, terbatas pada hal-hal konkrit dan sesudah perlakuan (penerapan model
dan menuju tahap operasional formal. pembelajaran).
Menurut Piaget (dalam Monks, dkk, 1996),
tahap ini ditandai dengan berkembangnya Hasil Penelitian
kemampuan reasoning dan logika, serta Eksperimen dilakukan dalam kurun
munculnya pemikiran deduktif, induktif dan waktu tiga bulan (setengah semester) sesuai
abstraktif. Kemampuan ini diperlukan dalam dengan kesepakatan dan kesiapan dari pihak
diskusi saat penerapan model pembelajaran. sekolah. Penerapan model pembelajaran
Program pendidikan inklusi adalah sistem dengan sistem integrasi RPP yang
layanan pendidikan yang mensyaratkan anak dilaksanakan di sekolah yang menjadi mitra
berkebutuhan khusus (ABK) belajar di penelitian tersebut dilaksanakan oleh guru-
sekolah-sekolah terdekat di kelas guru mata pelajaran yang sebelumnya telah
biasa/reguler bersama teman-teman mengikuti Workshop Penyusunan dan
seusianya (Sapon-Shevin dalam O’Neil, Pengembangan RPP Berbasis Pendidikan
1994). Maka SD Al Firdaus selaku sekolah Karakter yang diselenggarakan oleh
inklusi dipilih sebagai sekolah mitra Andayani, Yusuf dan Hardjajani (2010).
penelitian, karena konsekuensi dari kelas Setiap guru diberi kebebasan untuk
adanya inklusi (keberadaan siswa yang merancang dan mengembangkan RPP sesuai
merupakan Anak Berkebutuhan Khusus atau dengan tujuan pembelajaran dan kesesuaian
ABK) tentu saja menuntut sikap dan dengan aktivitas dalam model pembelajaran.
perilaku toleransi yang cukup tinggi dari Secara rinci masing-masing perlakuan dan
siswa lain saat menjalin interaksi sosial hasil pengukuran penerapan model disajikan
antara siswa ABK dan non ABK. dalam tabel 1.
Pengumpulan data menggunakan Sebelum pembelajaran yang
Skala Sikap Toleransi (Reliabilitas 0,939) melibatkan aktivitas-aktivitas pilihan guru
dan Kuesioner Perilaku Toleransi tersebut diterapkan, terdapat aktivitas dalam
(Reliabilitas 0,843). Sesuai dengan model pembelajaran yang harus diberikan
rancangan diatas, maka pengukuran pada setiap awal penerapan model adalah
terhadap sikap dan perilaku toleransi Aktivitas No.1 (Nilai Positif) dan/atau
dilakukan dua kali, yakni sebelum Aktivitas No.5 (Ekspresi Seni). Kedua
402 | Prosiding Seminar Nasional Parenting 2013

aktivitas tersebut bertujuan untuk berkembang harga diri yang positif dari diri
mendorong siswa belajar menghargai siswa, sehingga melalui harga diri yang
potensi diri (nilai positif) dari orang lain dan positif, siswa akan lebih percaya diri dan
membangun harga diri setiap anak dengan terdorong untuk melakukan hal-hal yang
cara menerima umpan balik berupa positif, termasuk sikap dan perbuatan yang
penghargaan dari orang lain, serta mencerminkan adanya kepedulian dan
menimbulkan keberanian anak untuk penghargaan pada orang lain.
berekpresi (kreativitas). Dengan demikan

Tabel 1. Penerapan Model dengan Sistem Integrasi RPP


Kelas,
Mata Pelajaran & Aktivitas Model yang
Jml Tujuan Aktivitas Model
Topik Diterapkan
Siswa
1. Meningkatkan empati dan tenggang
rasa pada sesama anak.
1. Integrasi Aktivitas No.3
2.a. Mengenalkan tindakan toleran dan
(Empati Berbasis Tepa
IPA : tidak toleran yang bersumber dari
IVB Sarira)
Struktur Organ perbedaan fisik.
(34) 2. Integrasi Aktivitas No.11
Tubuh 2.b. Memahami konsekuensi positif dari
(Cerita Si Jangkung dan Si
tindakan toleran dan konsekuensi
Pendek).
negatif bila tidak toleran.

PKN : 1. Mengenalkan tindakan toleran dan


Negara Kesatuan tidak toleran.
Republik Indonesia 2. Memahami konsekuensi positif dari
VB Integrasi Model No.9 (Kuartet
IPS : tindakan toleran dan kosekuensi
(35) Toleransi Berbasis Tepa Sarira)
Sejarah Nasional negatif bila tidak toleran.
Hindu, Budha, Islam.

1. Meningkatkan pengetahuan dan


1. Integrasi Aktivitas No.6
kesadaran tentang akibat dari bersikap
(Percobaan Kelihatan dan
dan/atau berperilaku tidak toleran.
Tidak Kelihatan).
2. Mengenalkan budaya antre dan
2. (Aktivitas No.10 Saat Tak
memahami konsekuensi bila dunia ini
Eksplorasi Pustaka Ada Budaya Antri.
tidak ada budaya antre.
3. Diskusi Tema Penelitian
3. Menghargai dan menerima perbedaan
dari Studi Kepustakaan
VIC pendapat dalam tema-tema penelitian
(Bagian dari Materi
(32) di sekolah.
Pelajaran di Sekolah).

1. Integrasi Aktivitas No.6 Meningkatkan pengetahuan dan kesadaran


(Percobaan Kelihatan dan tentang akibat dari perilaku tidak toleran.
Agama Islam : Tidak Kelihatan).
Al Qur’an dan Hadist 2. Guru kreatif menambah
aktivitas sendiri, dengan
materi ”Noktah Hati”

Pembelajaran berlangsung seperti sekolah dan dikuti oleh seluruh siswa (ABK
biasa, sesuai dengan jadwal pelajaran di dan nonABK) dengan jumlah siswa 34 pada
Peningkatan Toleransi Melalui Budaya “Tepa Salira”
(Pengembangan Model Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal) | 403
Andayani, T.R. [hal.397-406]

Kelas IVB, 35 pada Kelas VB, dan 32 pada dengan kelengkapan data pada pre-test dan
Siswa Kelas VIC. Pengambilan data pre-test post-test).
(pengukuran sikap dan perilaku toleransi) Hasil analisis data menunjukkan
pada awal semester dan post-test pada adanya peningkatan sikap dan perilaku
tengah semester. Data yang dapat dianalisis toleransi pada siswa yang telah mengikuti
sejumlah 28 siswa Kelas IVB, 32 siswa pembelajaran (pendidikan) karakter yang
Kelas VB, dan 28 siswa Kelas VIC (sesuai berlangsung dengan sistem integrasi RPP.

Tabel 2. Hasil Analisis Data


Kelas Uji Asumsi Mean Mean Hasil Analisis Data
& Jml Sikap (S) Perilaku (P) Uji t Kesimpulan
Normal Homogen
Data S P S P Pre Post Pre Post S P
Peningkatan
IVB p: 0,00 p: 0,018 sikap dan
    98,18 102,14 22,46 39,93 perilaku
(28) p<0,05 p< 0,05
signifikan.

Peningkatan
VB p: 0,017 p:0,033 sikap dan
    97,28 101,03 25,5 27,688
(32) p<0,05 p>0,05 perilaku
signifikan.
Peningkatan
VIC 100,2 p:0,01 p:0,001 sikap dan
    104,11 34,32 38,54
(28) 5 p<0,05 p<0,05 perilaku
signifikan

Meskipun pembelajaran baru diperlukan dua watak yakni: tepa selira dan
berlangsung dalam waktu setengah bisa rumangsa, keduanya merupakan nilai
semester, namun hasil analisis tersebut kejawen yang kental dengan spririt
membuktikan bahwa pembelajaran nilai kolektivitas, yakni mendahulukan
toleransi yang berbasis tepa sarira dapat kepentingan bersama diatas kebutuhan
meningkatkan sikap dan perilaku toleransi pribadi atau mengutamakan kebersamaan
di kalangan siswa sekolah dasar. dengan cara tidak mempertajam perbedaan.
Keterkaitan antara model Sri Mangkunegara IV dalam Serat
pembelajaran nilai berbasis budaya tepa Wedhatama (Ki Jlitheng, 2005)
sarira dengan peningkatan toleransi dapat mengilustrasikan tepa sarira dengan
dijelaskan dari sudut makna budaya tepa mencontohkan Panembahan Senopati ing
sarira, yang merupakan salah satu watak Mataram yang memiliki kepribadian
orang Jawa dalam pergaulan sosial. "karyenak tyase sesama" yang artinya
Sebagaimana dikatakan oleh Endraswara membuat enak, senang, dan damai perasaan
(2013), untuk memelihara harmonisasi sesama”. Tepa selira (tepa sarira)
404 | Prosiding Seminar Nasional Parenting 2013

mengajarkan seseorang untuk mau dan gelem dijiwit (jangan mencubit orang lain
mampu merasakan perasaan orang lain, jika diri sendiri tidak mau dicubit), atau aja
memiliki sikap tenggang rasa, peduli pada gawe laraning liyan lamun ora seneng
sesama, memiliki pikiran dan perasaan yang digawe lara (jangan menyakiti orang lain,
positif, dan selalu berusaha membahagiakan jika diri sendiri tidak senang dibuat sakit
dan menyenangkan orang lain (Suratno & oleh orang lain); aja seneng ngina lamun
Astiyanto, 2009). ora seneng diina (jangan menghina jika diri
Dari segi perkembangan kognitif, sendiri tidak senang dihina); aja seneng
dikatakan Piaget (dalam Monks, Knoers & daksiya lamun ora seneng disiya-siya
Haditono, 1989) bahwa siswa usia sekolah (jangan menyia-nyiakan orang lain jika
dasar mencapai ”tahap operasional konkret” tidak senang disia-siakan), dan sebagainya.
dalam berpikir. Anak tidak lagi memandang Pendek kata, jangan melakukan A terhadap
konsep sebagai sesuatu yang abstrak atau orang lain jika diri sendiri tidak senang
tidak jelas sebagaimana pada awal masa diperlakukan A (Suratno dan Astiyanto,
kanak-kanak, melainkan mulai mampu 2009).
memandang konsep sebagai sesuatu yang Oleh karena itu, dalam setiap
konkret. Pada tahap ini anak mulai mampu kesempatan baik sempit maupun luas, guru
menghubungkan arti baru dengan konsep seyogyanya senantiasa memperkokoh empat
lama berdasarkan apa yang dipelajari setelah pilar pendidikan UNESCO, yakni : learning
masuk sekolah, atau hal-hal yang dipelajari to know (belajar mengetahui), learning to
melalui media massa. Dan pada usia 10/11 - do (belajar berbuat), learning to be (belajar
13 tahun, anak SD kelas atas sudah mulai menjadi diri sendiri) dan learning live
dapat berpikir kearah abstrak dan sanggup together (belajar hidup bersama) tersebut,
melihat dari sudut pandang orang lain. Ia dengan cara sebagai berikut : (1)
sudah dapat membedakan motivasi yang memperluas wawasan pengetahuan
melatarbelakangi sebuah perbuatan dan anak/siswa tentang nilai-nilai hidup,
dapat mempertimbangkan konsekuensi dari sehingga mereka dapat memberikan alasan-
setiap perbuatan. alasan moral (moral reasoning) yang tepat
Seseorang dituntut untuk tidak sebelum mereka mewujudkannya dalam
melakukan kegiatan bagi orang lain yang tindakan; (2) membimbing anak/siswa agar
menyebabkan orang itu tersinggung, sakit terampil melakukan suatu tindakan dari apa
hati, kecewa, menderita, celaka, dan akibat yang diyakininya sebagai nilai kebenaran,
negatif yang lainnya. Wujud dari perbuatan kebaikan dan kerukunan; (3) mengarahkan
tepa slira sering muncul dalam kehidupan anak/siswa agar memiliki sifat-sifat baik
sehari-hari, misalnya aja njiwit lamun ora yang melekat, agar konsistensi, intensitas,
Peningkatan Toleransi Melalui Budaya “Tepa Salira”
(Pengembangan Model Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal) | 405
Andayani, T.R. [hal.397-406]

dan frekuensi dalam melakukan hal-hal toleransi yang berbasis budaya tepa sarira
yang terpuji menjadi satu kebiasaan sebagai melalui sistem integrasi RPP di sekolah.
wujud adanya internalisasi nilai toleransi; Untuk memperoleh kemanfaatan yang
dan (4) membimbing anak/siswa untuk lebih luas, hasil penelitian ini perlu
selalu harmonis dengan lingkungannya, ditindaklanjuti dengan cara : (1)
karena sebagai bagian dari masyarakat memperluas penerapan model pembelajaran
mereka hidup selalu bersinggungan dengan nilai toleransi berbasis budaya tepa sarira ini
orang lain. Teladan orangtua dan para guru dari segi waktu dan tempat; (2)
(”digugu lan ditiru”) dalam menjaga Menyelenggarakan Pelatihan dan
keharmonisan itu perlu dibiasakan agar anak Pendampingan Penyusunan dan
senantiasa menampilkan perilaku-perilaku Pengembangan RPP Berbasis Pendidikan
yang toleran, saling menghargai dan Karakter secara berkesinambungan untuk
menghormati, sehingga dapat hidup bahagia menunjang kompetensi dan profesionalitas
bersama dengan orang lain tanpa ada yang guru dalam penyelanggaraan pendidikan
merasa dirugikan. karakter; (3) melibatkan pihak orangtua
(keluarga) untuk menyampaikan nilai
Simpulan dan Saran toleransi berbasis budaya tepa sarira ini
Dari hasil penelitian dapat sebagai pembelajaran nilai-nilai hidup yang
disimpulkan bahwa ada peningkatan sikap penting untuk membangun karakter anak
dan perilaku toleransi pada siswa sekolah secara positif dan berbudaya.
dasar setelah mengikuti pembelajaran nilai

DAFTAR PUSTAKA

Andayani, TR; Yusuf, M; dan Hardjajani, T. (2010). Strategi pengembangan living values
education melalui model pembelajaran nilai toleransi berbasis budaya “tepa sarira” pada
anak usia sekolah dasar (suatu alternatif pendidikan karakter). Laporan Penelitian Hibah
Strategis Nasional Tahun I. Surakarta : Prodi Psikologi FK UNS dan LPPM UNS.
Endraswara, S. (2013). Memayu hayuning bawana: laku menuju keselamatan dan kebahagiaan
hidup orang Jawa. Yogyakarta: Narasi.
Geertz, H.(1983). Keluarga Jawa. Jakarta : Grafiti Pers.
Hurlock, E.B. (1990). Developmental psychology. A life span approach. Edisi 5. New Delhi: Tata
Mc Graw Hill Publishing Company LTD.
406 | Prosiding Seminar Nasional Parenting 2013

Khisbiyah, Y. dan Sabardila, A. (2004). Pendidikan apresiasi seni : wacana dan praktek untuk
toleransi pluralisme budaya. Surakarta : Pusat Studi Budaya-PS Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Ki Jlitheng (Suparman/R.T. Gunocarito). (2005). Serat Wedhatama : Anggitanipun KGPAA
Mangkunegara IV.
Megawangi, R. (2008). Semua berakar pada karakter : isu-isu permasalahan bangsa. Jakarta:
Lembaga Penerbitan FE UI.
Monks, F.J., Knoers, A.M.P., & Haditono, S.R. (1989). Psikologi perkembangan: pengantar
dalam berbagai bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Prihartanti, N. (2008). Model pembelajaran toleransi pada siswa sekolah dasar. Proceedings
Temu Ilmiah Nasional Ikatan Psikologi Perkembangan Indonesia. Bandung : Universitas
Padjajaran.
Salim, H. (2003). “Belajar bersama pluralisme: sekelumit pengalaman”. Wacana, Volume XV,
2003: 223.
Suratno, P. dan Astiyanto, H. (2009). Gusti ora sare : 90 mutiara niali kearifan budaya Jawa.
Yogyakarta : ADIWACANA.
Tillman, D. (2001). Living values activities for children ages 8-14. (Editor : Respati, dkk).
Jakarta : PT Grasindo.

You might also like