Professional Documents
Culture Documents
02
397
398 | Prosiding Seminar Nasional Parenting 2013
sebanyak 88 siswa. Siswa kelas atas SD pembelajaran (awal semester) dan sesudah
(Kelas IV, V, dan VI) rata-rata berusia 10- pembelajaran (tengah semester).
12 tahun telah mencapai tahap Analisis data dilakukan dengan teknik
perkembangan kognitif operasional konkrit, Uji-t untuk membuktikan adanya perbedaan
antara lain ditandai dengan hilangnya sikap dan perilaku toleransi antara sebelum
egosentrisme, terbatas pada hal-hal konkrit dan sesudah perlakuan (penerapan model
dan menuju tahap operasional formal. pembelajaran).
Menurut Piaget (dalam Monks, dkk, 1996),
tahap ini ditandai dengan berkembangnya Hasil Penelitian
kemampuan reasoning dan logika, serta Eksperimen dilakukan dalam kurun
munculnya pemikiran deduktif, induktif dan waktu tiga bulan (setengah semester) sesuai
abstraktif. Kemampuan ini diperlukan dalam dengan kesepakatan dan kesiapan dari pihak
diskusi saat penerapan model pembelajaran. sekolah. Penerapan model pembelajaran
Program pendidikan inklusi adalah sistem dengan sistem integrasi RPP yang
layanan pendidikan yang mensyaratkan anak dilaksanakan di sekolah yang menjadi mitra
berkebutuhan khusus (ABK) belajar di penelitian tersebut dilaksanakan oleh guru-
sekolah-sekolah terdekat di kelas guru mata pelajaran yang sebelumnya telah
biasa/reguler bersama teman-teman mengikuti Workshop Penyusunan dan
seusianya (Sapon-Shevin dalam O’Neil, Pengembangan RPP Berbasis Pendidikan
1994). Maka SD Al Firdaus selaku sekolah Karakter yang diselenggarakan oleh
inklusi dipilih sebagai sekolah mitra Andayani, Yusuf dan Hardjajani (2010).
penelitian, karena konsekuensi dari kelas Setiap guru diberi kebebasan untuk
adanya inklusi (keberadaan siswa yang merancang dan mengembangkan RPP sesuai
merupakan Anak Berkebutuhan Khusus atau dengan tujuan pembelajaran dan kesesuaian
ABK) tentu saja menuntut sikap dan dengan aktivitas dalam model pembelajaran.
perilaku toleransi yang cukup tinggi dari Secara rinci masing-masing perlakuan dan
siswa lain saat menjalin interaksi sosial hasil pengukuran penerapan model disajikan
antara siswa ABK dan non ABK. dalam tabel 1.
Pengumpulan data menggunakan Sebelum pembelajaran yang
Skala Sikap Toleransi (Reliabilitas 0,939) melibatkan aktivitas-aktivitas pilihan guru
dan Kuesioner Perilaku Toleransi tersebut diterapkan, terdapat aktivitas dalam
(Reliabilitas 0,843). Sesuai dengan model pembelajaran yang harus diberikan
rancangan diatas, maka pengukuran pada setiap awal penerapan model adalah
terhadap sikap dan perilaku toleransi Aktivitas No.1 (Nilai Positif) dan/atau
dilakukan dua kali, yakni sebelum Aktivitas No.5 (Ekspresi Seni). Kedua
402 | Prosiding Seminar Nasional Parenting 2013
aktivitas tersebut bertujuan untuk berkembang harga diri yang positif dari diri
mendorong siswa belajar menghargai siswa, sehingga melalui harga diri yang
potensi diri (nilai positif) dari orang lain dan positif, siswa akan lebih percaya diri dan
membangun harga diri setiap anak dengan terdorong untuk melakukan hal-hal yang
cara menerima umpan balik berupa positif, termasuk sikap dan perbuatan yang
penghargaan dari orang lain, serta mencerminkan adanya kepedulian dan
menimbulkan keberanian anak untuk penghargaan pada orang lain.
berekpresi (kreativitas). Dengan demikan
Pembelajaran berlangsung seperti sekolah dan dikuti oleh seluruh siswa (ABK
biasa, sesuai dengan jadwal pelajaran di dan nonABK) dengan jumlah siswa 34 pada
Peningkatan Toleransi Melalui Budaya “Tepa Salira”
(Pengembangan Model Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal) | 403
Andayani, T.R. [hal.397-406]
Kelas IVB, 35 pada Kelas VB, dan 32 pada dengan kelengkapan data pada pre-test dan
Siswa Kelas VIC. Pengambilan data pre-test post-test).
(pengukuran sikap dan perilaku toleransi) Hasil analisis data menunjukkan
pada awal semester dan post-test pada adanya peningkatan sikap dan perilaku
tengah semester. Data yang dapat dianalisis toleransi pada siswa yang telah mengikuti
sejumlah 28 siswa Kelas IVB, 32 siswa pembelajaran (pendidikan) karakter yang
Kelas VB, dan 28 siswa Kelas VIC (sesuai berlangsung dengan sistem integrasi RPP.
Peningkatan
VB p: 0,017 p:0,033 sikap dan
97,28 101,03 25,5 27,688
(32) p<0,05 p>0,05 perilaku
signifikan.
Peningkatan
VIC 100,2 p:0,01 p:0,001 sikap dan
104,11 34,32 38,54
(28) 5 p<0,05 p<0,05 perilaku
signifikan
Meskipun pembelajaran baru diperlukan dua watak yakni: tepa selira dan
berlangsung dalam waktu setengah bisa rumangsa, keduanya merupakan nilai
semester, namun hasil analisis tersebut kejawen yang kental dengan spririt
membuktikan bahwa pembelajaran nilai kolektivitas, yakni mendahulukan
toleransi yang berbasis tepa sarira dapat kepentingan bersama diatas kebutuhan
meningkatkan sikap dan perilaku toleransi pribadi atau mengutamakan kebersamaan
di kalangan siswa sekolah dasar. dengan cara tidak mempertajam perbedaan.
Keterkaitan antara model Sri Mangkunegara IV dalam Serat
pembelajaran nilai berbasis budaya tepa Wedhatama (Ki Jlitheng, 2005)
sarira dengan peningkatan toleransi dapat mengilustrasikan tepa sarira dengan
dijelaskan dari sudut makna budaya tepa mencontohkan Panembahan Senopati ing
sarira, yang merupakan salah satu watak Mataram yang memiliki kepribadian
orang Jawa dalam pergaulan sosial. "karyenak tyase sesama" yang artinya
Sebagaimana dikatakan oleh Endraswara membuat enak, senang, dan damai perasaan
(2013), untuk memelihara harmonisasi sesama”. Tepa selira (tepa sarira)
404 | Prosiding Seminar Nasional Parenting 2013
mengajarkan seseorang untuk mau dan gelem dijiwit (jangan mencubit orang lain
mampu merasakan perasaan orang lain, jika diri sendiri tidak mau dicubit), atau aja
memiliki sikap tenggang rasa, peduli pada gawe laraning liyan lamun ora seneng
sesama, memiliki pikiran dan perasaan yang digawe lara (jangan menyakiti orang lain,
positif, dan selalu berusaha membahagiakan jika diri sendiri tidak senang dibuat sakit
dan menyenangkan orang lain (Suratno & oleh orang lain); aja seneng ngina lamun
Astiyanto, 2009). ora seneng diina (jangan menghina jika diri
Dari segi perkembangan kognitif, sendiri tidak senang dihina); aja seneng
dikatakan Piaget (dalam Monks, Knoers & daksiya lamun ora seneng disiya-siya
Haditono, 1989) bahwa siswa usia sekolah (jangan menyia-nyiakan orang lain jika
dasar mencapai ”tahap operasional konkret” tidak senang disia-siakan), dan sebagainya.
dalam berpikir. Anak tidak lagi memandang Pendek kata, jangan melakukan A terhadap
konsep sebagai sesuatu yang abstrak atau orang lain jika diri sendiri tidak senang
tidak jelas sebagaimana pada awal masa diperlakukan A (Suratno dan Astiyanto,
kanak-kanak, melainkan mulai mampu 2009).
memandang konsep sebagai sesuatu yang Oleh karena itu, dalam setiap
konkret. Pada tahap ini anak mulai mampu kesempatan baik sempit maupun luas, guru
menghubungkan arti baru dengan konsep seyogyanya senantiasa memperkokoh empat
lama berdasarkan apa yang dipelajari setelah pilar pendidikan UNESCO, yakni : learning
masuk sekolah, atau hal-hal yang dipelajari to know (belajar mengetahui), learning to
melalui media massa. Dan pada usia 10/11 - do (belajar berbuat), learning to be (belajar
13 tahun, anak SD kelas atas sudah mulai menjadi diri sendiri) dan learning live
dapat berpikir kearah abstrak dan sanggup together (belajar hidup bersama) tersebut,
melihat dari sudut pandang orang lain. Ia dengan cara sebagai berikut : (1)
sudah dapat membedakan motivasi yang memperluas wawasan pengetahuan
melatarbelakangi sebuah perbuatan dan anak/siswa tentang nilai-nilai hidup,
dapat mempertimbangkan konsekuensi dari sehingga mereka dapat memberikan alasan-
setiap perbuatan. alasan moral (moral reasoning) yang tepat
Seseorang dituntut untuk tidak sebelum mereka mewujudkannya dalam
melakukan kegiatan bagi orang lain yang tindakan; (2) membimbing anak/siswa agar
menyebabkan orang itu tersinggung, sakit terampil melakukan suatu tindakan dari apa
hati, kecewa, menderita, celaka, dan akibat yang diyakininya sebagai nilai kebenaran,
negatif yang lainnya. Wujud dari perbuatan kebaikan dan kerukunan; (3) mengarahkan
tepa slira sering muncul dalam kehidupan anak/siswa agar memiliki sifat-sifat baik
sehari-hari, misalnya aja njiwit lamun ora yang melekat, agar konsistensi, intensitas,
Peningkatan Toleransi Melalui Budaya “Tepa Salira”
(Pengembangan Model Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal) | 405
Andayani, T.R. [hal.397-406]
dan frekuensi dalam melakukan hal-hal toleransi yang berbasis budaya tepa sarira
yang terpuji menjadi satu kebiasaan sebagai melalui sistem integrasi RPP di sekolah.
wujud adanya internalisasi nilai toleransi; Untuk memperoleh kemanfaatan yang
dan (4) membimbing anak/siswa untuk lebih luas, hasil penelitian ini perlu
selalu harmonis dengan lingkungannya, ditindaklanjuti dengan cara : (1)
karena sebagai bagian dari masyarakat memperluas penerapan model pembelajaran
mereka hidup selalu bersinggungan dengan nilai toleransi berbasis budaya tepa sarira ini
orang lain. Teladan orangtua dan para guru dari segi waktu dan tempat; (2)
(”digugu lan ditiru”) dalam menjaga Menyelenggarakan Pelatihan dan
keharmonisan itu perlu dibiasakan agar anak Pendampingan Penyusunan dan
senantiasa menampilkan perilaku-perilaku Pengembangan RPP Berbasis Pendidikan
yang toleran, saling menghargai dan Karakter secara berkesinambungan untuk
menghormati, sehingga dapat hidup bahagia menunjang kompetensi dan profesionalitas
bersama dengan orang lain tanpa ada yang guru dalam penyelanggaraan pendidikan
merasa dirugikan. karakter; (3) melibatkan pihak orangtua
(keluarga) untuk menyampaikan nilai
Simpulan dan Saran toleransi berbasis budaya tepa sarira ini
Dari hasil penelitian dapat sebagai pembelajaran nilai-nilai hidup yang
disimpulkan bahwa ada peningkatan sikap penting untuk membangun karakter anak
dan perilaku toleransi pada siswa sekolah secara positif dan berbudaya.
dasar setelah mengikuti pembelajaran nilai
DAFTAR PUSTAKA
Andayani, TR; Yusuf, M; dan Hardjajani, T. (2010). Strategi pengembangan living values
education melalui model pembelajaran nilai toleransi berbasis budaya “tepa sarira” pada
anak usia sekolah dasar (suatu alternatif pendidikan karakter). Laporan Penelitian Hibah
Strategis Nasional Tahun I. Surakarta : Prodi Psikologi FK UNS dan LPPM UNS.
Endraswara, S. (2013). Memayu hayuning bawana: laku menuju keselamatan dan kebahagiaan
hidup orang Jawa. Yogyakarta: Narasi.
Geertz, H.(1983). Keluarga Jawa. Jakarta : Grafiti Pers.
Hurlock, E.B. (1990). Developmental psychology. A life span approach. Edisi 5. New Delhi: Tata
Mc Graw Hill Publishing Company LTD.
406 | Prosiding Seminar Nasional Parenting 2013
Khisbiyah, Y. dan Sabardila, A. (2004). Pendidikan apresiasi seni : wacana dan praktek untuk
toleransi pluralisme budaya. Surakarta : Pusat Studi Budaya-PS Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Ki Jlitheng (Suparman/R.T. Gunocarito). (2005). Serat Wedhatama : Anggitanipun KGPAA
Mangkunegara IV.
Megawangi, R. (2008). Semua berakar pada karakter : isu-isu permasalahan bangsa. Jakarta:
Lembaga Penerbitan FE UI.
Monks, F.J., Knoers, A.M.P., & Haditono, S.R. (1989). Psikologi perkembangan: pengantar
dalam berbagai bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Prihartanti, N. (2008). Model pembelajaran toleransi pada siswa sekolah dasar. Proceedings
Temu Ilmiah Nasional Ikatan Psikologi Perkembangan Indonesia. Bandung : Universitas
Padjajaran.
Salim, H. (2003). “Belajar bersama pluralisme: sekelumit pengalaman”. Wacana, Volume XV,
2003: 223.
Suratno, P. dan Astiyanto, H. (2009). Gusti ora sare : 90 mutiara niali kearifan budaya Jawa.
Yogyakarta : ADIWACANA.
Tillman, D. (2001). Living values activities for children ages 8-14. (Editor : Respati, dkk).
Jakarta : PT Grasindo.