You are on page 1of 28

BAB I

PENDAHULUAN

Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang paling banyak


dijumpai di antara tumor ganas THT di Indonesia, dimana karsinoma nasofaring
termasuk dalam lima besar tumor ganas, dengan frekuensi tertinggi (bersama
tumor ganas serviks uteri, tumor payudara, tumor getah bening dan tumor kulit),
sedangkan di daerah kepala dan leher menduduki tempat pertama (KNF mendapat
persentase hampir 60% dari tumor di daerah kepala dan leher, diikuti tumor ganas
hidung dan sinus paranasal 18%, laring 16%, dan tumor ganas rongga mulut,
tonsil, hipofaring dalam persentase rendah).1,2,3
Santosa (1988) mendapatkan jumlah 716 (8,46%) penderita KNF
berdasarkan data patologi yang diperoleh di Laboratorium Patologi anatomi FK
Unair Surabaya (1973–1976) diantara 8463 kasus keganasan di seluruh tubuh. Di
Bagian THT Semarang mendapatkan 127 kasus KNF dari tahun 2000 – 2002.
Survei yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan pada tahun 1980 secara
“pathology based” mendapatkan angka prevalensi karsinoma nasofaring 4,7 per
100.000 penduduk atau diperkirakan 7000–8000 kasus per tahun di seluruh
Indonesia.1,2
Penanggulangan karsinoma nasofaring sampai saat ini masih merupakan
suatu masalah, hal ini karena etiologi yang masih belum pasti, gejala dini yang
tidak khas serta letak nasofaring yang tersembunyi dan tidak mudah diperiksa
oleh mereka yg bukan ahli sehingga diagnosis sering terlambat, dengan
ditemukannya metastasis pada leher sebagai gejala pertama. Dengan makin
terlambatnya diagnosis maka prognosis (angka bertahan hidup 5 tahun) semakin
buruk.1,2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. DEFINISI

1
Karsinoma adalah pertumbuhan baru yang ganas terdiri dari sel-sel
epithelial yang cenderung menginfiltrasi jaringan sekitarnya dan
menimbulkan metastasis.2
Nasofaring merupakan suatu rongga dengan dinding kaku di atas,
belakang dan lateral yang secara anatomi termasuk bagian faring.2
Karsinoma Nasofaring merupakan tumor ganas yang timbul pada
epithelial pelapis ruangan dibelakang hidung (nasofaring).2
II. EPIDEMIOLOGI DAN ETIOLOGI
Angka kejadian Kanker Nasofaring (KNF) di Indonesia cukup
tinggi yakni 4,7 kasus/tahun/100.000 penduduk atau diperkirakan 7000–
8000 kasus per tahun di seluruh Indonesia (survei yang dilakukan oleh
Departemen Kesehatan pada tahun 1980 secara “pathology based”).
Santosa (1988) mendapatkan jumlah 716 (8,46%) penderita KNF
berdasarkan data patologi yang diperoleh di Laboratorium Patologi
anatomi FK Unair Surabaya (1973–1976) diantara 8463 kasus keganasan
di Seluruh tubuh. Di Bagian THT Semarang mendapatkan 127 kasus KNF
dari tahun 2000–2002. Di RSCM Jakarta ditemukan lebih dari 100 kasus
setahun RS. Hasan Sadikin Bandung rata-rata 60 kasus, Ujung Pandang 25
kasus, Denpasar 15 kasus, dan di Padang dan Bukit tinggi (1977-1979).
Dalam pengamatan dari pengunjung poliklinik tumor THT RSCM, pasien
karsinoma nasofaring dari ras Cina relative sedikit lebih banyak dari suku
bangsa lainya.1,3
Studi epidemiologi KNF dengan berfokus kepada etiologi dan
kebiasaan biologi dari penyakit ini telah dikemukakan hasilnya oleh UICC
(International Union against Cancer) dalam symposium kanker nasofaring
yg diadakan di Singapura tahun 1964, dan dari investigasi dalam empat
dekade terakhir telah ditemukan banyak temuan penting di semua aspek.
KNF mempunyai gambaran epidemiologi yg unik dalam daerah yg jelas,
ras, serta agregasi family.1,4
KNF mempunyai daerah distribusi endemik yang tidak seimbang
antara berbagai negara, maupun yang tersebar dalam 5 benua. Tetapi,
insiden KNF lebih rendah dari 1/105 di semua area. Insiden tertinggi
terpusat pada di Cina bagian selatan (termasuk Hongkong), dan insiden ini

2
tertinggi di provinsi Guangdong pada laki-laki mencapai 20-50/100000
penduduk. Berdasarkan data IARC (International Agency for Research on
Cancer) tahun 2002 ditemukan sekitar 80,000 kasus baru KNF di seluruh
dunia dan sekitar 50,000 kasus meninggal dengan jumlah penduduk Cina
sekitar 40%. Ditemukan pula cukup banyak kasus pada penduduk lokal
dari Asia Tenggara, Eskimo di Artik dan penduduk di Afrika utara dan
timur tengah 1,4,5
Tumor ini lebih sering ditemukan pada pria dibanding wanita
dengan rasio 2-3:1 dan apa sebabnya belum dapat diungkapkan dengan
pasti, mungkin ada hubungannya dengan faktor genetik, kebiasaan hidup,
pekerjaan dan lain-lain. Distribusi umur pasien dengan KNF berbeda-beda
pada daerah dengan insiden yg bervariasi. Pada daerah dengan insiden
rendah insisden KNF meningkat sesuai dengan meningkatnya umur pada
daerah dengan insiden tinggi KNF meningkat setelah umur 30 tahun
puncaknya pada umur 40-59 tahun dan menurun setelahnya.5
Ras mongoloid merupakan faktor dominan timbulnya KNF,
sehingga kekerapan cukup tinggi pada penduduk Cina bagian selatan,
Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia.
Sekalipun termasuk ras Mongoloid, bangsa Korea, Jepang dan Tiongkok
sebelah utara tidak banyak yang dijumpai mengidap penyakit ini. Berbagai
studi epidemilogik mengenai angka kejadian ini telah dipublikasikan di
berbagai jurnal. Salah satunya yang menarik adalah penelitian mengenai
angka kejadian Kanker Nasofaring (KNF) pada para migran dari daratan
Tiongkok yang telah bermukim secara turun temurun di China town
(pecinan) di San Fransisco Amerika Serikat. Terdapat perbedaan yang
bermakna dalam terjadinya Kanker Nasofaring (KNF) antara para migran
dari daratan Tiongkok ini dengan penduduk di sekitarnya yang terdiri atas
orang kulit putih (Caucasians), kulit hitam dan Hispanics, di mana
kelompok Tionghoa menunjukkan angka kejadian yang lebih tinggi.
Sebaliknya, apabila orang Tionghoa migran ini dibandingkan dengan para
kerabatnya yang masih tinggal di daratan Tiongkok maka terdapat
penurunan yang bermakna dalam hal terjadinya Kanker Nasofaring (KNF)

3
pada kelompok migran tersebut. Jadi kesimpulan yang dapat ditarik adalah
bahwa kelompok migran masih mengandung gen yang ‘memudahkan’
untuk terjadinya Kanker Nasofaring (KNF), tetapi karena pola makan dan
pola hidup selama di perantauan berubah maka faktor yang selama ini
dianggap sebagai pemicu tidak ada lagi maka kanker ini pun tidak tumbuh.
Untuk diketahui bahwa penduduk di provinsi Guang Dong ini hampir
setiap hari mengkonsumsi ikan yang diawetkan (diasap, diasin) bahkan
konon kabarnya seorang bayi yang baru selesai disapih sebagai makanan
pengganti susu ibu adalah nasi yang dicampur ikan asin ini. Di dalam ikan
yang diawetkan dijumpai substansi yang bernama nitrosamine yang
terbukti bersifat karsinogen bagi hewan percobaan.1,4,5
Dijumpai pula kenaikan angka kejadian ini pada komunitas orang
perahu (boat people) yang menggunakan kayu sebagai bahan bakar untuk
memasak. Hal ini tampak mencolok pada saat terjadi pelarian besar
besaran orang Vietnam dari negaranya. Bukti epidemiologik lain adalah
angka kejadian kanker ini di Singapura. Persentase terbesar yang dikenai
adalah masyarakat keturunan Tionghoa (18,5/100.000 penduduk), disusul
oleh keturunan Melayu (6,5/100.000) dan terakhir adalah keturunan
Hindustan (0,5/100.000).4,5
Prevalensi KNF di Indonesia adalah 3,9 per 100.000 penduduk
setiap tahun. Di rumah Sakit H. Adam Malik Medan Provinsi Sumatera
Utara, penderita KNF ditemukan pada lima kelompok suku. Suku yang
paling banyak menderita KNF adalah suku Batak yaitu 46,7% dari 30
kasus.5
Karsinoma nasofaring secara histopatologi dapat dibedakan
menjadi Karsinoma nasofaring dengan keratinisasi dan karsinoma
nasofaring non-keratinisasi di mana karsinoma nasofaring non keratinisasi
ada yang berdiferensisasi dan tidak berdiferensisasi. Pada penelitian
ditemukan bahwa Ca Nasofaring non-keratinisasi merespons pengobatan
dan terapi lebih baik dibandingkan Ca Nasofaring keratinisasi. Karsinoma
nasofaring non-keratinisasi merupakan yang paling sering terjadi (75%
dari kasus KNF yang ada).1,4,7,8

4
Dijumpainya Epstein-Barr Virus (EBV) pada hampir semua kasus
KNF non keratinisasi telah mengaitkan terjadinya kanker ini dengan
keberadaan virus tersebut. Pada 1966, seorang peneliti menjumpai
peningkatan titer antibodi terhadap EBV pada KNF serta titer antibodi IgG
terhadap EBV, capsid antigen dan early antigen. Kenaikan titer ini sejalan
pula dengan tingginya stadium penyakit. Namun virus ini juga acapkali
dijumpai pada beberapa penyakit keganasan lainnya bahkan dapat pula
dijumpai menginfeksi orang normal tanpa menimbulkan manifestasi
penyakit. Jadi adanya virus ini tanpa faktor pemicu lain tidak cukup untuk
menimbulkan proses keganasan.4,7,8
Berbeda halnya dengan jenis kanker kepala dan leher lain, Kanker
Nasofaring (KNF) jarang dihubungkan dengan kebiasaan merokok dan
minum alkohol tetapi lebih dikaitkan dengan virus Epstein Barr,
predisposisi genetik dan pola makan tertentu. Meskipun demikan tetap ada
peneliti yang mencoba menghubungkannya dengan merokok secara umum
resiko terhadap KNF pada perokok 2-6 kali dibandingkan dengan bukan
perokok (HSU dkk.2009). Ditemukan juga bahwa menurunnya angka
kematian KNF di Amerika utara dan Hongkong merupakan hasil dari
mengurangi frekuensi merokok. Adanya hubungan antara faktor kebiasaan
makan dengan terjadinya KNF dipelajari oleh Ho dkk. Ditemukan kasus
KNF dalam jumlah yang tinggi pada mereka yang gemar mengkonsumsi
ikan asin yang dimasak dengan gaya Kanton (Cantonese-style salted fish).
Risiko terjadinya KNF sangat berkaitan dengan lamanya mereka
mengkonsumsi makanan ini. Di beberapa bagian negeri Cina makanan ini
mulai digunakan sebagai pengganti air susu ibu pada saat menyapih.7,8
Tentang faktor genetik telah banyak ditemukan kasus herediter atau
familier dari pasien KNF dengan keganasan pada organ tubuh lain. Suatu
contoh terkenal di Cina selatan, satu keluarga dengan 49 anggota dari dua
generasi didapatkan 9 pasien KNF dan 1 menderita tumor ganas payudara.
Secara umum didapatkan 10% dari pasien karsinoma nasofaring menderita
keganasan organ lain.7,8

5
Penyebab lain yang dicurigai adalah pajanan di tempat kerja seperti
formaldehid, debu, kayu serta asap kayu bakar. Belakangan ini penelitian
dilakukan terhadap pengobatan alami (Chinese herbal medicine=CHB).
Hildesheim dkk memperoleh hubungan yang erat antara terjadinya KNF,
infeksi EBV dan penggunaan CHB. Beberapa tanaman dan bahan CHB
dapat menginduksi aktivasi dari virus EBV yang laten. Seperti pada TPA
(Tetradecanoylyphorbol Acetate) yaitu substansi yg ada di alam dan
tumbuhan jika dikombinasi dengan N-Butyrate yang merupkan produk
dari bakteri anaerob yang ditemukan di nasofaring dapat menginduksi
sintesis antigen EBV di tikus, meningkatnya transformasi cell-mediated
immunity dari EBV dan mempromosikan pembentukan KNF (genesis).9
III. ANATOMI DAN FISIOLOGI NASOFARING
Nasofaring merupakan rongga dengan dinding kaku di atas,
belakang dan lateral. Batas-batas nasofaring yaitu batas atas (atap) adalah
os sphenoid dan sebagian prosessus basilaris, batas anterior adalah koana
dan palatum molle, batas posterior adalah vertebra servikal dan batas
inferior adalah permukaan atas palatum molle dan berhubungan dengan
orofaring.4

Batas nasofaring :
 Superior : basis kranii, diliputi oleh mukosa dan fascia
 Inferior : bidang horizontal yang ditarik dari palatum durum ke
posterior bersifat subjektif karena tergantung dari palatum durum.
 Anterior : choane, oleh os vomer dibagi atas choane kanan dan kiri.
 Posterior : Vertebra cervicalis I dan II, Fascia space = rongga yang
berisi jaringan longgar, Mukosa lanjutan dari mukosa atas
 Lateral : Mukosa lanjutan dari mukosa atas dan belakang, Muara tuba
eustachii, Fossa rosenmulleri.10,11
Pada dinding lateral nasofaring lebih kurang 1,5 inci dari bagian
belakang konka nasal inferior terdapat muara tuba eustachius. Pada bagian
belakang atas muara tuba eustachius terdapat penonjolan tulang yang
disebut torus tubarius dan dibelakangnya terdapat suatu lekukan dari fossa
Rosenmuller dan tepat diujung atas posteriornya terletak foramen laserum.

6
Pada daerah fossa ini sering terjadi pertumbuhan jaringan limfe yang
menyempitkan muara tuba eustachius sehingga mengganggu ventilasi
udara telinga tengah.4
Dinding lateral nasofaring merupakan bagian terpenting dibentuk
oleh lamina faringobasilaris dari fasia faringeal dan otot konstriktor faring
superior. Fasia ini mengandung jaringan fibrokartilago yang menutupi
foramen ovale, foramen jugularis, kanalis karotis dan kanalis hipoglossus.
Struktur ini penting diketahui karena merupakan tempat penyebaran tumor
ke intrakranial.4

Gambar 1. Anatomi nasofaring

Gambar 2. Fossa of Rosenmuller

Nasofaring berbentuk kerucut dan selalu terbuka pada waktu


respirasi karena dindingnya dari tulang, kecuali dasarnya yang dibentuk
oleh palatum molle. Nasofaring akan tertutup bila paltum molle melekat ke

7
dinding posterior pada waktu menelan, muntah, mengucapkan kata-kata
tertentu.4
Struktur penting yang ada di Nasopharing :4
a. Ostium Faringeum tuba auditiva muara dari tuba auditiva
b. Torus tubarius, penonjolan di atas ostium faringeum tuba auditiva

yang disebabkan karena cartilago tuba auditiva


c. Torus levatorius, penonjolan di bawah ostium faringeum tuba

auditiva yang disebabkan karena musculus levator veli palatini.


d. Plica salpingopalatina, lipatan di depan torus tubarius
e. Plica salpingopharingea, lipatan di belakang torus tubarius,
merupakan penonjolan dari musculus salphingopharingeus yang
berfungsi untuk membuka ostium faringeum tuba auditiva
terutama ketika menguap atau menelan.
f. Recessus Pharingeus disebut juga fossa rossenmuller. Merupakan
tempat predileksi Karsinoma Nasofaring.
g. Tonsila pharingea, terletak di bagian superior nasopharynx.
Disebut adenoid jika ada pembesaran. Sedangkan jika ada
inflammasi disebut adenoiditis.
h. Tonsila tuba, terdapat pada recessus pharingeus.
i. Isthmus pharingeus merupakan suatu penyempitan di antara
nasopharing dan oropharing karena musculus
sphincterpalatopharing
j. Musculus constrictor pharingeus dengan origo yang bernama
raffae pharingei

Gambar 3. Nasofaring

8
Fungsi nasofaring :4
 Sebagai jalan udara pada respirasi
 Jalan udara ke tuba eustachii
 Resonator
 Sebagai drainage sinus paranasal kavum timpani dan hidung

IV. HISTOLOGI
Mukosa nasofaring dilapisi oleh epitel bersilia repiratory type.
Setelah 10 tahun kehidupan epitel secara lambat laun bertransformasi
menjadi epitel nonkeratinizing squamous, kecuali pada beberapa area
(transition zone). Mukosa mengalami invaginasi membentuk kripta. Stroma
kaya akan jaringan limfoid dan terkadang dijumpai jaringan limfoid yang
reaktif. Epitel permukaan dan kripta sering diinfiltrasi dengan sel radang
limfosit dan terkadang merusak epitel membentuk reticulated pattern.
Kelenjar seromucinous dapat juga dijumpai, tetapi tidak sebanyak yang
terdapat pada rongga hidung.13

Gambar 4. Sel epitel transisional, pelapis nasofaring

V. PATOFISIOLOGI KARSINOMA NASOFARING


Karsinoma Nasofaring merupakan munculnya keganasan berupa
tumor yang berasal dari sel-sel epitel yang menutupi permukaan nasofaring.
Tumbuhnya tumor akan dimulai pada salah satu dinding nasofaring yang
kemudian akan menginfiltrasi kelenjar dan jaringan sekitarnya. Lokasi yang
paling sering menjadi awal terbentuknya KNF adalah pada Fossa
Rossenmuller. Penyebaran ke jaringan dan kelenjar limfa sekitarnya

9
kemudian terjadi perlahan seperti layaknya metastasis lesi karsinoma
lainnya.2

Karsinoma nasofaring umumnya disebabkan oleh multifaktor.


Sampai sekarang penyebab pastinya belum jelas. Faktor yang berperan
untuk terjadinya karsinoma nasofaring ini adalah faktor makanan
seperti mengkonsumsi ikan asin, sedikit memakan sayur dan buah
segar. Faktor lain adalah non makanan seperti debu, asap rokok, uap zat
kimia, asap kayu bakar dan asap dupa (kemenyan). 2-19
Faktor genetik juga dapat mempengaruhi terjadinya karsinoma
nasofaring. Selain itu terbukti juga infeksi virus Epstein Barr juga
dihubungkan dengan terjadinya karsinoma nasofaring terutama pada
tipe karsinoma nasofaring non-keratinisasi. Hal ini dibuktikan dengan
adanya kenaikan titer antigen EBV dalam tubuh penderita Ca
Nasofaring non keratinisasi dan kenaikan titer ini pun berbanding lurus
dengan stadium Ca nasofaring di mana semakin berat stadium Ca
Nasofaring, ditemukan titer antibodi EBV yang semakin tinggi. Hal ini
dapat dibuktikan dengan dijumpai adanya keberadaan protein-protein
laten pada penderita karsinoma nasofaring. Pada penderita ini sel yang
terinfeksi oleh EBV akan menghasilkan protein tertentu yang berfungsi
untuk proses proliferasi dan mempertahankan kelangsungan virus di
dalam sel host. Protein laten ini dapat dipakai sebagai petanda (marker)
dalam mendiagnosa karsinoma nasofaring yaitu EBNA-1 dan LMP-1,
LMP- 2A dan LMP-2B. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya pada
50% serum penderita karsinoma nasofaring LMP-1 sedangkan EBNA-1
dijumpai di dalam serum semua pasien karsinoma nasofaring. Selain itu
dibuktikan oleh hasil penelitian Khrisna dkk (2004) terhadap suku
Indian asli bahwa EBV DNA di dalam serum penderita karsinoma
nasofaring dapat dipakai sebagai biomarker pada karsinoma nasofaring
primer.12,13,15
Hubungan antara karsinoma nasofaring dan infeksi virus Epstein-
Barr juga dinyatakan oleh berbagai peneliti dari bagian yang berbeda di

10
dunia ini. Pada pasien karsinoma nasofaring dijumpai peninggian titer
antibodi anti EBV (EBNA-1) di dalam serum plasma. EBNA-1 adalah
protein nuklear yang berperan dalam mempertahankan genom virus.
Huang dalam penelitiannya mengemukakan keberadaan EBV DNA dan
EBNA di dalam sel penderita karsinoma nasofaring.12,13,15
Karsinoma nasofaring sangat sulit didiagnosa hal ini mungkin
disebabkan karena letaknya sangat tersembunyi dan juga pada keadaan
dini pasien tidak datang untuk berobat. Biasanya pasien baru datang
berobat bila gejala telah mengganggu dan tumor tersebut telah
mengadakan infiltrasi serta metastase pada pembuluh limfe sevikal. Hal
ini merupakan keadaan lanjut dan biasanya prognosis yang jelek.
Pemeriksaan terhadap karsinoma nasofaring dilakukan dengan cara
anamnesa penderita dan disertai dengan pemeriksaan nasofaringoskopi,
radiologi, histopatologi, immunohistokimia dan juga pemeriksaan
serologi dengan menggunakan tehnik Enzyme Linked Immunosorbent
Assay atau disingkat dengan ELISA. Karena beberapa penelitian telah
membuktikan bahwa di dalam serum penderita karsinoma nasofaring
dijumpai EBNA-1 maka sebaiknya pasien yang mempunyai gejala yang
mengarah ke karsinoma nasofaring dianjurkan untuk melakukan
pemeriksaan serologi yaitu antibodi anti EBV (EBNA-1). Tentang
pengaruh EBV yang sebagian besar hanya ditemukan pada Ca
Nasofaring tipe non-keratinisasi belum dapat dijelaskan hingga saat
ini.13,14,15

VI. GEJALA DAN TANDA KARSINOMA NASOFARING


Karsinoma nasofaring biasanya dijumpai pada dinding lateral dari
nasofaring termasuk fossa rosenmuler. Yang kemudian dapat menyebar ke
dalam ataupun keluar nasofaring ke sisi lateral lainnya dan atau
posterosuperior dari dasar tulang tengkorak atau palatum, rongga hidung
atau orofaring. Metastase khususnya ke kelenjar getah bening servikal.
Metastase jauh dapat mengenai tulang, paru-paru, mediastinum dan hati

11
(jarang). Gejala yang akan timbul tergantung pada daerah yang terkena. 1,2
Sekitar separuh pasien memiliki gejala yang beragam, tetapi sekitar 10%
asimtomatik. Pembesaran dari kelenjar getah bening leher atas yang nyeri
merupakan gejala yang paling sering dijumpai.5,13
Gejala dini karsinoma nasofaring sulit dikenali oleh karena mirip dengan
infeksi saluran nafas atas.5,13
Gejala klinik pada stadium dini meliputi gejala hidung dan gejala
telinga. Ini terjadi karena tumor masih terbatas pada mukosa nasofaring.
Tumor tumbuh mula-mula di fossa Rosenmuller di dinding lateral
nasofaring dan dapat meluas ke dinding belakang dan atap nasofaring
menyebabkan permukaan mukosa meninggi. Permukaan tumor biasanya
rapuh sehingga pada iritasi ringan dapat tejadi perdarahan. Timbul keluhan
pilek berulang dengan mukus yang bercampur darah. Kadang-kadang dapat
dijumpai epistaksis. Tumor juga dapat menyumbat muara tuba eustachius
sehingga pasien mengeluhkan rasa penuh di telinga, rasa berdenging
kadang-kadang disertai dengan gangguan pendengaran. Gejala ini umumnya
unilateral dan merupakan gejala yang paling dini dari karsinoma nasofaring.
Sehingga bila timbul berulang-ulang dengan penyebab yang tidak diketahui
perlu diwaspadai sebagai karsinoma nasofaring.6,17
Pada karsinoma nasofaring stadium lanjut gejala klinis lebih jelas
sehingga pada umumnya telah dirasakan oleh pasien, hal ini disebabkan
karena tumor primer telah meluas ke organ sekitar nasofaring atau
mengadakan metastasis regional ke kelenjar getah bening servikal. Pada
stadium ini gejala yang dapat timbul adalah gangguan pada syaraf otak
karena pertumbuhan ke rongga tengkorak dan pembesaran kelenjar
leher.5,6,17
Tumor yang meluas ke rongga tengkorak melalui foramen
laserasum dan mengenai grup anterior saraf otak yaitu syaraf otak III, IV
dan VI. Perluasan yang paling sering mengenai syaraf otak VI (paresis
abdusen) dengan keluhan berupa diplopia, bila penderita melirik ke arah sisi
yang sakit. Penekanan pada syaraf otak V memberi keluhan berupa hipestesi
(rasa tebal) pada pipi dan wajah. Gejala klinik lanjut berupa ophtalmoplegi

12
bila ketiga syaraf penggerak mata terkena. Nyeri kepala hebat timbul karena
peningkatan tekanan intrakranial.6,17
Metastasis sel-sel tumor melalui kelenjar getah bening
mengakibatkan timbulnya pembesaran kelenjar getah bening bagian
samping (limfadenopati servikal). Selanjutnya sel-sel kanker dapat
mengadakan infiltrasi menembus kelenjar dan mengenai otot dibawahnya.
Kelenjar menjadi lekat pada otot dan sulit digerakkan. Limfadenopati
servikal ini merupakan gejala utama yang dikeluhkan oleh pasien.6,17
Gejala nasofaring yang pokok adalah :
1. Gejala Telinga
 Oklusi Tuba Eustachius
Pada umumnya bermula pada fossa Rossenmuller. Pertumbuhan
tumor dapat menekan tuba eustachius hingga terjadi oklusi pada
muara tuba. Hal ini akan mengakibatkan gejala berupa
mendengung (tinnitus) pada pasien. Gejala ini merupakan tanda
awal pada KNF.6,17
 Oklusi Tuba Eustachius dapat berkembang hingga terjadi Otitis
Media.6,17
 Sering kali pasien datang sudah dalam kondisi pendengaran
menurun dan dengan tes rinne dan webber biasanya akan
ditemukan tuli konduktif.6,17
2. Gejala Hidung
 Epistaksis, dinding tumor biasanya dipenuhi pembuluh darah yang
dindingnya rapuh sehingga iritasi ringan pun dapat menyebabkan
dinding pembuluh darah tersebut pecah.6,17
 Terjadinya penyumbatan pada hidung akibat pertumbuhan tumor
dalam nasofaring dan menutupi koana. Gejala menyerupai rinitis
kronis.6,17
Gejala telinga dan hidung di atas bukanlah gejala khas untuk Karsinoma
Nasofaring karena dapat ditemukan pada berbagai kasus pada penyakit lain.
Namun jika gejala terus terjadi tanpa adanya respons yang baik pada
pengobatan maka perlu dicurigai akan adanya penyebab lain yang ada pada
penderita, salah satu di antaranya adalah KNF.6,17
3. Gejala Mata

13
Pada penderita KNF seringkali ditemukan adanya diplopia (penglihatan
ganda) akibat perkembangan tumor melalui foramen laseratum dan
menimbulkan gangguan N. IV dan N. VI. Bila terkena chiasma opticus
akan menimbulkan kebutaan.6,17
4. Tumor sign
Pembesaran kelenjar limfa pada leher, merupakan tanda penyebaran
atau metastase dekat secara limfogen dari karsinoma nasofaring.6,17
5. Cranial sign
Gejala cranial terjadi bila tumor sudah meluas ke otak dan mencapai
saraf-saraf kranialis. 6,17
Gejalanya antara lain :14,15
 Sakit kepala yang terus menerus, rasa sakit ini merupakan
metastase secara hematogen.
 Sensitibilitas derah pipi dan hidung berkurang.
 Kesukaran pada waktu menelan
 Afoni
 Sindrom Jugular Jackson atau sindroma reptroparotidean mengenai
N. IX, N. X, N. XI, N. XII. Dengan tanda-tanda kelumpuhan pada :
lidah, palatum, faring atau laring, M. Sternocleidomastoideus, M.
Trapezeus.14,15
Pada penderita KNF, sering ditemukan adanya tuli konduktif bersamaan
dengan elevasi dan imobilitas dari palatum lunak serta adanya rasa
nyeri pada wajah dan bagian lateral dari leher (akibat gangguan pada
nervus trigeminal). Ketiga gejala ini jika ditemukan bersamaan, maka
disebut Trotter’s Triad.14,15

VII. DIAGNOSIS
Jika ditemukan adanya kecurigaan yang mengarah pada suatu
karsinoma nasofaring, protokol dibawah ini dapat membantu untuk
menegakkan diagnosis pasti serta stadium tumor :
 Anamnesis/Pemeriksaan fisik
Anamnesis berdasarkan keluhan yang dirasakan pasien (tanda dan gejala
KNF)15
 Pemeriksaan Nasofaring

14
Pemeriksaan tumor primer di nasofaring dapat dilakukan dengan cara
rinoskopi posterior (tidak langsung) dan nasofaringoskop (langsung) serta
fibernasofaringoskopi. Jika ditemukan tumor berupa massa yang menonjol
pada mukosa dan memiliki permukaan halus, berrnodul dengan atau tanpa
ulserasi pada permukaan atau massa yang menggantung dan infiltratif.
Namun terkadang tidak dijumpai lesi pada nasofaring sehingga harus
dilakukan biopsi dan pemeriksaan sitologi.15
 Menurut Formula Digsby, setiap simptom mempunyai nilai diagnostik dan
berdasarkan jumlah nilai dapat ditentukan ada tidaknya karsinoma
nasofaring17
Gejala Nilai

Massa terlihat pada Nasofaring 25


Gejala khas di hidung 15
Gejala khas pendengaran 15
Sakit kepala unilateral atau bilateral 5
Gangguan neurologik saraf kranial 5
Eksoftalmus 5
Limfadenopati leher 25

Tabel 1. Formula Digsby 17


Bila jumlah nilai mencapai 50, diagnosa klinik karsinoma
nasofaring dapat dipertangungjawabkan. Sekalipun secara klinik jelas
karsinoma nasofaring, namun biopsi tumor primer mutlak dilakukan selain
untuk konfirmasi diagnosis histopatologi juga menentukan subtipe
histopatologi yang erat kaitannya dengan pengobatan dan prognosis.17
 Biopsi nasofaring
Diagnosis pasti dari KNF ditentukan dengan diagnosis klinik
ditunjang dengan diagnosis histologik atau sitologik. Diagnosis histologik
atau sitologik dapat ditegakan bila dikirim suatu material hasil biopsi

15
cucian, hisapan (aspirasi), atau sikatan (brush), biopsy dapat dilakukan
dengan 2 cara yaitu dari hidung atau dari mulut. Biopsi tumor nasofaring
umunya dilakukan dengan anestesi topical dengan xylocain 10%.17
a. Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind
biopsy). Cunam biopsy dimasukan melalui rongga hidung
menyelusuri konka media ke nasofaring kemudian cunam diarahkan
ke lateral dan dilakukan biopsy.17
b. Biopsi melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang
dimasukan melalui hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut
ditarik keluar dan diklem bersama-sama ujung kateter yang di hidung.
Demikian juga kateter yang dari hidung disebelahnya sehingga
palatum mole tertarik ke atas. Kemudian dengan kaca laring dilihat
daerah nasofaring. Biopsi dilakukan dengan melihat tumor melalui
kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop yang dimasukan melalui
mulut, masaa tumor akan terlihat lebih jelas. Bila dengan cara ini
masih belum didapatkan hasil yang memuaskan maka dilakukan
pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam narkosis.17
 Sitologi dan Histopatologi
Klasifikasi WHO tahun 1978 untuk karsinoma nasofaring (1)
Keratinizing squamous cell carcinoma ditandai dengan adanya keratin atau
intercellular bridge atau keduanya. (2) Non keratinizing squamous cell
carcinoma yang ditandai dengan batas sel yang jelas (pavement cell
pattern). (3) Undifferentiated carcinoma ditandai oleh pola pertumbuhan
syncitial, sel-sel poligonal berukuran besar atau sel dengan bentuk spindel,
anak inti yang menonjol dan stroma dengan infiltrasi sel-sel radang
limfosit.1,2,3,4 Sedangkan klasifikasi WHO tahun 1991 membagi karsinoma
nasofaring menjadi Keratinizing squamous cell carcinoma, Non
keratinizing squamous cell carcinoma terdiri atas differentiated dan
undifferentiated dan Basaloid Carcinoma.1, 18
Tipe tanpa diferensiasi dan tanpa keratinisasi mempunyai sifat
yang sama yaitu bersifat radiosensitif. Sedangkan jenis dengan keratinisasi
tidak begitu radiosensitif.18
 Pemeriksaan Radiologi

16
Pemeriksaan radiologi pada kecurigaan KNF merupakan
pemeriksaan penunjang diagnostic yang penting. Dapat dilakukan foto
polos, CT Scan ataupun MRI. Saat ini untuk mendiagnosa secara pasti CT
Scan dan MRI merupakan suatu modalitas utama. Melalui CT Scan dan
MRI dapat dilihat secara jelas ada tidaknya massa dan sejauh apa
penyebaran massa tersebut hingga dapat membantu dalam menentukan
stadium dan jenis terapi yang akan dilakukan.18
a. Computed Tomography Scan (CT Scan)

Gambar 13. Gambar 14.

b. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Gambar 15.

 Pemeriksaan Neurologis. Karena nasofaring berhubungan dekat dengan


rongga tengkorak melalui beberapa foramen, maka gangguan beberapa
saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut KNF ini.14,20
 Pemeriksaan Serologi.

17
Pemeriksaan serologi IgA anti EA (early antigen) dan IgA anti VCA
(capsid antigen) untuk infeksi virus E-B telah menunjukan kemajuan
dalam mendeteksi karsinoma nasofaring. Tjokro Setiyo dari FK UI Jakarta
mendapatkan dari 41 pasien karsinoma nasofaring stadium lanjut (stadium
III dan IV) senstivitas IgA VCA adalah 97,5% dan spesifitas 91,8%
dengan titer berkisar antara 10 sampai 1280 dengan terbanyak titer 160.
IgA anti EA sensitivitasnya 100% tetapi spesifitasnya hanya 30,0%,
sehingga pemeriksaan ini hanya digunakan untuk menetukan prognosis
pengobatan, titer yang didpat berkisar antara 80 sampai 1280 dan
terbanyak 160.14,20
VIII. STADIUM
Penentuan stadium yang terbaru berdasarkan atas kesepakatan antara UICC
(Union Internationale Contre Cancer) pada tahun 2002 adalah sebagai
berikut :
T = Tumor, menggambarkan keadaan tumor primer, besar dan
perluasannya.2,3
T0 : Tidak tampak tumor
T1 : Tumor terbatas di nasofaring
T2 : Tumor meluas ke jaringan lunak terbagi T2a yaitu perluasan
tumor ke orofaring hidung tanpa perluasan ke parafaring dan T2b yaitu
disertai perluasan ke parafaring
T3 : Tumor menginvasi struktur tulang dan atau sinus paranasal
T4 : Tumor dengan perluasan intrakranial dan atau terdapat
keterlibatan saraf kranial, forra infratemporal, hipofaring, orbita atau ruang
mastikator

N = Nodul, menggambarkan keadaan kelenjar limfe regional2,3


NX : Pembesaran KGB tidak dapat dinilai
N0 : Tidak ada pembesaran
N1 : Metastasis KGB unilateral dengan ukuran terbesar kurang atau
sama dengan 6 cm diatas fossa supraklavikula
N2 : Metastasis KGB bilateral dengan ukuran terbesar kurang atau
sama dengan 6 cm diatas fossa supraklavikula
N3 : Metastasis KGB bilateral dengan ukuran lebih besar dari 6 cm
atau terletak di dalam fossa supraklavikula terbagi atas N3a yaitu ukuran
lebih dari 6 cm dan N3b yaitu didalam fossa supraklavikula

18
M = Metastase, menggambarkan metastase jauh2,3,9,13
MX : Metastasis jauh tidak dapat dinilai
M0 : Tidak ada metastase jauh
M1 : Terdapat metastase jauh.

Berdasarkan TNM tersebut di atas, stadium penyakit dapat ditentukan :


Stadium 0 : T1s N0 M0
Stadium I : T1 N0 M0
Stadium IIA : T2a N0 M0
Stadium IIB : T1 N1 M0
T2b N1 M0
T2b N0,N1 M0
Stadium III : T1 N2 M0
T2a,T2b N2 M0
T3 N2 M0
Stadium IVA : T4 N0,N1,N2 M0
Stadium IVB : Semua T N3 M0
Stadium IVC : Semua T Semua N M12,3,9,13

Menurut American Joint Committee Cancer tahun 1988, tumor staging dari
nasofaring diklasifikasikan sebagai berikut :
Tis : Carcinoma in situ
T1 : Tumor yang terdapat pada satu sisi dari nasofaring atau tumor
yang tak dapat dilihat, tetapi hanya dapat diketahui dari hasil
biopsi.
T2 : Tumor yang menyerang dua tempat, yaitu dinding postero-
superior dan dinding lateral.
T3 : Perluasan tumor sampai ke dalam rongga hidung atau orofaring.
T4 : Tumor yang menjalar ke tengkorak kepala atau menyerang saraf
cranial (atau keduanya).12,13,14,16
IX. DIAGNOSIS BANDING
1. Hiperplasia adenoid. Biasanya terdapat pada anak-anak jarang pada
orang dewasa, pada anak-anak hyperplasia ini terjadi karena infeksi
berulang. Pada foto polos akan terlihat suatu massa jaringan lunak pada
atap nasofaring umumnya berbatas tegas dan umumnya simetris serta
struktur-struktur sekitarnya tak tampak tanda- tanda infiltrasi seperti
tampak pada karsinoma.12,14
2. Angiofibroma juvenilis. Biasanya ditemui pada usia relatif muda
dengan gejala-gejala menyerupai KNF. Tumor ini kaya akan pembuluh

19
darah dan biasanya tidak infiltrative. Pada foto polos akan didapat suatu
massa pada atap nasofaring yang berbatas tegas. Proses dapat meluas
seperrti pada penyebaran karsinoma walaupun jarang menimbulkan
destruksi tulang hanya erosi saja karena penekanan tumor. Biasanya ada
pelengkungan ke arah depan dari dinding belakang sinus maksilaris
yang dikenal sebagai antral sign. Karena tumor ini kaya akan vaskular
maka arteriografi karotis eksterna sangat diperlukan sebab gambaranya
sangat karakteristik. Kadang-kadang sulit pula membedakan
angiofibroma juvenils dengan polip hidung pada foto polos.14,18
3. Tumor sinus sphenooidalis. Tumor ganas primer sinus sphenoidalis
adalah sangat jarang dan biasanya tumor sudah sampai stadium agak
lanjut waktu pasien dating untuk pemeriksaan pertama.14,18,19
4. Neurofibroma. Kelompok tumor ini sering timbul pada ruang faring
lateral sehingga menyerupai keganasan dinding lateral nasofaring.
Secara CT Scan, pendesakan ruang para faring ke arah medial dapat
membantu mebedakan kelompok tumor ini dengan KNF.14,19
5. Tumor kelenjar parotis. Tumor kelenjar parotis terutama yang berasal
dari lobus yang terletak agak dalam mengenai ruang parafaring dan
menonjol ke arah lumen nasofaring. Pada sebagian besar kasus terlihat
pendesakan ruang parafaring ke arah medial yang tampak pada
pemeriksaan CT Scan.12,14,18,19
6. Chordoma. Walaupun tanda utama chordoma adalah destruksi tulang
tetapi mengingat KNF pun sering menimbulkan destruksi tulang maka
sering timbul kesulitan untuk membedakannya. Dengan foto polos,
dapat dilihat kalsifikasi atau destruksi terutama di daerah clivus. CT
dapat membantu melihat apakah ada pembesaran kelenjar cervikal
bagian atas karena chordoma umumnya tidak memperlihatkan kelainan
pada kelenjar tersebut sedangkan KNF sering bermetastasis ke kelenjar
getah bening.12,14,19
7. Meningioma basis kranii. Walaupun tumor ini agak jarang tetapi
gambarannya kadang-kadang meyerupai KNF dengan tanda-tanda
sklerotik pada daerah basis kranii. Gambaran CT meningioma cukup
karakteristik yaitu sedikit hiperdens sebelum penyuntikan zat kontras

20
dan akan menjadi sangat hiperdens setelah pemberian zat kontras
intravena. Pemeriksaan arteiografi juga sangat membantu diagnosis
tumor ini.12,14,19

X. PENATALAKSANAAN
 Radioterapi
Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting
dalam penatalaksanaan karsinoma nasofaring. Penatalaksanaan pertama
untuk karsinoma nasofaring adalah radioterapi dengan atau tanpa
kemoterapi.14
Sampai saat ini pengobatan pilihan terhadap tumor ganas
nasofaring adalah radiasi karena kebanyakan tumor ini tipe anaplastik
yang bersifat radiosensitif. Radioterapi dilakukan dengan radiasi
eksterna, dapat menggunakan pesawat kobal (Co60) atau dengan
akselerator linier (linier Accelerator atau linac). Radiasi pada jaringan
dapat menimbulkan ionisasi air dan elektrolit dari cairan tubuh baik
intra maupun ekstra seluler sehingga timbul ion H+ dan OH- yang
sangat reaktif. Ion itu dapat bereaksi dengan molekul DNA dalam
kromosom, sehingga dapat terjadi :14
1. Rantai ganda DNA pecah
2. Perubahan cross-linkage dalam rantai DNA
3. Perubahan base yang menyebabkan degenerasi atau kematian sel.

Dosis lethal dan kemampuan reparasi kerusakan pada sel-sel


kanker lebih rendah dari sel-sel normal, sehingga akibat radiasi sel-sel
kanker lebih banyak yang mati dan yang tetap rusak dibandingkan
dengan sel-sel normal.14
Sel-sel yang masih tahan hidup akan mengadakan reparasi
kerusakan DNA-nya sendiri-sendiri. Kemampuan reparasi DNA sel
normal lebih baik dan lebih cepat dari sel kanker. Keadaan ini dipakai
sebagai dasar untuk radioterapi pada kanker.14
Radiasi ini ditujukan pada kanker primer di daerah nasofaring dan
ruang parafaringeal serta pada daerah aliran getah bening leher atas
bawah serta klasikula. Radiasi daerah getah bening ini tetap dilakukan
sebagai tindakan preventif sekalipun tidak dijumpai pembesaran

21
kelenjar. Metode brakhiterapi yakni dengan memasukkan sumber
radiasi kedalam rongga nasofaring saat ini banyak digunakan guna
memberikan dosis maksimal pada tumor primer tetapi tidak
menimbulkan cidera yang serius pada jaringan sehat disekitarnya.
Kombinasi ini diberikan pada kasus-kasus yang telah memeperoleh
dosis radiasi eksterna maksimum tetapi masih dijumpai sisa jaringan
kanker atau pada kasus kambuh lokal. Perkembangan teknologi pada
dasawarsa terakhir telah memungkinkan pemberian radiasi yang sangat
terbatas pada daerah nasofaring dengan menimbulkan efek samping
sesedikit mungkin. Metode yang disebut sebagai IMRT (Intersified
Modulated Radiotion Therapy) telah digunakan dibeberapa negara
maju.14
Prinsip Pengobatan Radiasi, inti sel dan plasma sel terdiri dari (1)
RNA “Ribose Nucleic Acid” dan (2) DNA “Desoxy Ribose Nucleic
Acid”. DNA terutama terdapat pada khromosom “ionizing radiation”
menghambat metabolisme DNA dan menghentikan aktifitas enzim
nukleus. Akibatnya pada inti sel terjadi khromatolisis dan plasma sel
menjadi granuar serta timbul vakuola-vakuola yang kahirnya berakibat
sel akan mati dan menghilang. Pada suatu keganasan ditandai oleh
mitosis sel yang berlebihan ; stadium profase mitosis merupakan
stadium yang paling rentan terhadap radiasi. Daerah nasofaring dan
sekitarnya yang meliputi fosa serebri media, koane dan daerah
parafaring sepertiga leher bagian atas. Daerah-daerah lainnya yang
dilindungi dengan blok timah. Arah penyinaran dari lateral kanan dan
kiri kecuali bila ada penyerangan ke rongga hidung dan sinus paranasal
maka perlu penambahan lapangan radiasi dari depan. Pada penderita
dengan stadium yang masih terbatas (T1,T2) maka luas lapangan radiasi
harus diperkecil setelah dosis radiasi mencapai 4000 rad, terutama dari
atas dan belakang untuk menghindari bagian susunan saraf pusat.
Dengan lapangan radiasi yang terbatas ini, radiasi dilanjutkan sampai
mencapai dosis seluruh antara 6000- 7000 rad. Pada penderita dengan

22
stadium T3 dan T4, luas lapangan radiasi tetap dipertahankan sampai
dosis 6000 rad. Lapangan diperkecil bila dosis akan ditingkatkan lagi
sampai sekitar 7000 rad. Daerah penyinaran kelenjar leher sampai fosa
supraklavikula. Apabila tidak ada metastasis kelenjar leher, maka
radiasi daerah leher ini bersifat profilaktik dengan dosis 4000 rad
sedangkan bila ada metastasis diberikan dosis yang sama dengan dosis
daerah tumor primer yaitu 6000 rad atau lebih. Untuk menghindari
gangguan penyinaran terhadap medulla spinalis, laring dan esofagus,
maka radiasi daerah leher dan supraklavikula ini sebaiknya diberikan
dari arah depan dengan memakai blok timah di daerah leher tengah.14
Hasil pengobatan yang dinyatakan dalam angka respons terhadap
penyinaran sangat tergantung pada stadium tumor. Makin lanjut
stadium tumor makin berkurang responsnya. Untuk stadium I dan II,
diperoleh respons komplit 80%-100% dengan terapi radiasi. Sedangkan
stadium III dan IV, ditemukan angka kegagalan respons lokal dan
metastasis jauh yang tinggi yaitu 50%-80%. Angka ketahanan hidup
penderita karsinoma nasofaring tergantung beberapa faktor, diantaranya
yang terpenting adalah stadium penyakit.22

 Kemoterapi
Kemoterapi sebagai terapi tambahan pada karsinoma nasofaring
ternyata dapat meningkatkan hasil terapi. Terutama diberikan pada
stadium lanjut atau pada keadaan kambuh.14,15,18,23
Indikasi Kemoterapi
Terapi adjuvan tidak dapat diberikan begitu saja tetapi memiliki
indikasi yaitu bila setelah mendapat terapi utamanya yang maksimal
ternyata :
a. kankernya masih ada, dimana biopsi masih positif
b. kemungkinan besar kankernya masih ada, meskipun tidak ada bukti
secara makroskopis.
c. pada tumor dengan derajat keganasan tinggi (oleh karena tingginya
resiko kekambuhan dan metastasis jauh).15,18,23
Kemoterapi berdasarkan waktu pemberiannya

23
Berdasarkan saat pemberiannya kemoterapi adjuvan pada tumor ganas
kepala leher dibagi menjadi :
a. neoadjuvant atau induction chemotherapy (yaitu pemberian
kemoterapi mendahului pembedahan dan radiasi)
b. concurrent, simultaneous atau concomitant chemoradiotherapy
(diberikan bersamaan dengan penyinaran atau operasi)
c. post definitive chemotherapy (sebagai terapi tambahan paska
pembedahan dan atau radiasi )14,16,23
 Operasi
Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa diseksi
leher radikal dan nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika masih
ada sisa kelenjar pasca radiasi atau adanya kelenjar dengan syarat
bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih yang dibuktikan dengan
pemeriksaan radiologik dan serologi. Nasofaringektomi merupakan
suatu operasi paliatif yang dilakukan pada kasus-kasus yang kambuh
atau adanya residu pada nasofaring yang tidak berhasil diterapi dengan
cara lain.16

 Imunoterapi
Dengan diketahuinya kemungkinan penyebab dari karsinoma
nasofaring adalah virus Epstein-Barr, maka pada penderita karsinoma
nasofaring dapat diberikan imunoterapi yaitu dengan mengambil
sampel darah tepi dari penderita yang kemudian melalui suatu proses
imunohistokimia, dibuat suatu vaksin yang kemudian diinjeksikan
kembali ke tubuh pasien di mana diharapkan melalui injeksi vaksin
tersebut, tubuh akan memberikan reaksi imunitas baru terhadap EBV.
Namun teknik ini masih dalam penelitian sehingga belum dapat
digunakan dalam terapi kanker nasofaring.22

XI. KOMPLIKASI
Metastasis ke kelenjar limfa dan jaringan sekitar merupakan suatu
komplikasi yang selalu terjadi. Pada KNF, sering kali terjadi komplikasi ke
arah nervus kranialis yang bermanifestasi dalam bentuk :
1. Petrosphenoid sindrom20

24
Tumor tumbuh ke atas ke dasar tengkorak lewat foramen laserum
sampai sinus kavernosus menekan saraf N. III, N. IV, N.VI juga
menekan N.II. yang memberikan kelainan :
 Neuralgia trigeminus (N. V) : Trigeminal neuralgia merupakan
suatu nyeri pada wajah sesisi yang ditandai dengan rasa seperti
terkena aliran listrik yang terbatas pada daerah distribusi dari
nervus trigeminus.
 Ptosis palpebra (N. III)
 Ophthalmoplegia (N. III, N. IV, N. VI)
2. Retroparidean sindrom20
Tumor tumbuh ke depan kearah rongga hidung kemudian dapat
menginfiltrasi ke sekitarnya. Tumor ke samping dan belakang menuju
ke arah daerah parapharing dan retropharing dimana ada kelenjar
getah bening. Tumor ini menekan saraf N. IX, N. X, N. XI, N. XII
dengan manifestasi gejala :
 N. IX : kesulitan menelan karena hemiparesis otot konstriktor
superior serta gangguan pengecapan pada sepertiga belakang lidah
 N. X : hiper/hipoanestesi mukosa palatum mole, faring dan laring
disertai gangguan respirasi dan saliva
 N XI : kelumpuhan/atrofi oto trapezius, otot SCM serta hemiparese
palatum mole
 N. XII : hemiparalisis dan atrofi sebelah lidah
 Sindrom horner : kelumpuhan N. simpaticus servicalis, berupa
penyempitan fisura palpebralis, onoftalmus dan miosis.
3. Sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama getah bening atau darah,
mengenai organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering
adalah tulang, hati dan paru. Hal ini merupakan hasil akhir dan
prognosis yang buruk. Dalam penelitian lain ditemukan bahwa
karsinoma nasofaring dapat mengadakan metastase jauh ke paru-paru
dan tulang masing-masing 20 % sedangkan ke hati 10 %, otak 4 %,
ginjal 0.4 %, dan tiroid 0.4 %. 11,12,17

XII. PROGNOSIS
Ditemukan bahwa karsinoma nasofaring tipe 1 (karsinoma sel
skuamosa) memiliki prognosis yang lebih buruk dibandingkan dengan

25
karsinoma nasofaring tipe 2 dan 3. Hal ini terjadi karena pada karsinoma
nasofaring tipe 1, mestastasis lebih mudah terjadi. Secara keseluruhan,
angka bertahan hidup 5 tahun adalah 45 %.17

BAB 3
PENUTUP

KESIMPULAN
1. Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas nomor satu yang mematikan
dan menempati urutan ke 10 dari seluruh tumor ganas di tubuh.
2. Banyak faktor yang diduga berhubungan dengan KNF, yaitu :
 Adanya infeksi EBV
 Faktor lingkungan
 Genetik
3. Karsinoma nasofaring banyak ditemukan pada ras mongoloid, termasuk di
Indonesia

SARAN
Deteksi awal yang cermat terhadap gejala karsinoma nasofaring sangatlah
diperlukan walaupun sulit, karena seringkalai penderita KNF terdeteksi pada
stadium lanjut.

DAFTAR PUSTAKA

26
1. Averdi Roezin, Aninda Syafril. Karsinoma Nasofaring. Dalam: Efiaty A.
Soepardi (ed). Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok. Edisi
Kelima. Jakarta : FK UI, 2001. h. 146-50.

2. Harry a. Asroel. Penatalaksanaan Radioterapi Pada Karsinoma Nasofaring.


Referat. Medan: FK USU,2002.h. 1-11.

3. Hasibuan R, A. H. Pharingologi. Jakarta: Samatra Media Utama, 2004.h.


70-81.

4. Kartikawati, Henny. Penatalaksanaan Karsinoma Nasofaring Menuju


Terapi Kombinasi/Kemoradioterapi.

5. Lu Jiade J, Cooper Jay S, M Lee Anne WM. The Epidemiologi of


Nasopharigeal Carcinoma In : Nasopharyngeal Cancer. Berlin : Springer,
2010. p. 1-9.

6. Susworo, Makes D. Karsinoma Nasofaring Aspek Radiodiagnostik dan


Radioterapi. Jakarta: FK UI, 1987.h. 69-82.

7. Susworo, R. Kanker Nasofaring : Epidemiologi dan Pengobatan Mutakhir.


Tinjauan Pustaka Artikel. Dalam: Cermin Dunia Kedokteran. No. 144,
2004.h. 16-18.

8. Ahmad, A.. 2002. Diagnosis dan Tindakan Operatif pada


Penatalaksanaan Karsinoma Nasofaring dan Pengobatan Suportif.
Jakarta: FKUI. Hal. 1-13.
9. Arif Mansjoer, et al.. 1999. Kapita Selekta Kedokteran. Ed.III. Jilid 1.
Jakarta: Media Aesculapius FKUI. Hal. 371-396
10. Averdi Roezin, Aninda Syafril. 2001. Karsinoma Nasofaring. Dalam:
Efiaty A. Soepardi (Ed.). Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung
Tenggorok. Edisi kelima. Jakarta: FKUI. Hal.146-50.
11. Ballenger J. Jacob.. 1994. Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan
Leher. ed.13. Jilid 1. Jakarta: Binarupa Aksara. Hal. 371-396
12. Cottrill, C.P., Nutting, C.M.. 2003. Tumours of The Nasopharynx. Dalam:
Evans P.H.R., Montgomery P.Q., Gullane P.J. (Ed.). Principles and

27
Practice of Head and Neck Oncology. United Kingdom: Martin-Dunitz.
Hal. 473-81.
13. Kurniawan A. N.. 1994. Nasopharynx dan Pharynx. Kumpulan kuliah
Patologi. Jakarta: FKUI. Hal.151-152
14. McDermott, A.L., Dutt, S.N., Watkinson, J.C.. 2001. The Aetiology of
Nasopharyngeal Carcinoma. Clinical Otolaryngology. 26th Edition. Hal.
89-92.
15. Mansjoer Arif, Dkk, KAPITA SELEKTA KEDOKTERAN, 110-111,
Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001,
Jakarta

16. T.Yohanita, Ramsi Lutan. Pengobatan Karsinoma Nasofaring dengan


Radioterapi. Laporan Kasus. Dalam : Majalah Kedokteran Nusantara.
Vol.XXVI No.1. Medan: FK USU, 1996. h. 15-20.

17. Abdul Rasyid. Karsinoma Nasofaring : Penatalaksanaan Radioterapi.


Tinjauan Pustaka. Dalam : Majalah Kedokteran Nusantara. Vol. XXXIII
No.1. Medan : FK USU, 2000. h. 52-8.

18. Muhammad Yunus, Ramsi Lutan. Efek Samping Radioterapi Pada


Pengobatan Karsinoma Nasofaring. Referat. Medan : FK USU, 2000.h. 1-
16.

19. I Dewa Gede Sukardja. Onkologi Klinik. Surabaya : FK Unair, 1996.h.


179-87.

20. Adlin Adnan. Beberapa Aspek Karsinoma Nasofaring di Bagian THT FK


USU/RSUP. H.Adam Malik. Skripsi. Medan : FK USU, 1996.h. 52.

28

You might also like