You are on page 1of 20

TUGAS ILMU PENYAKIT DALAM

REFERAT
CONGESTIVE HEART FAILURE

Pembimbing:
dr. Rina Kriswiastiny, Sp.PD

Oleh:
Ulima Mazaya Ghaisani

KEPANITERAAN KLINIK SMF PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH ABDUL MOELOEK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
2017
BAB I
PENDAHULUAN

Gagal jantung merupakan salah satu penyakit kardiovaskuler yang telah sangat prihatin
dalam preferensi medis. Menurut WHO pada tahun 2001 penyakit kardiovaskular
menyumbang hampir sepertiga dari kematian globaldan diperkirakan pada tahun 2020 hampir
25 juta kematian di seluruh duniaakibat penyakit kardiovaskular. Pelaporan SIRS Indonesia
2007 jumlah kasussebanyak 57,023 pasien dengan gagal jantung dan kasus tingkat
kematian(CFR) 13,42%. Khususnya di RSU Herna Medan, sudah ada 172 penderitayang
mendapat gagal jantung sepanjang 2009-2010. Ini penelitian deskriptiftelah dirancang dengan
serangkaian kasus yang bertujuan untuk mengetahuikarakteristik penderita gagal jantung di
RSU Herna Medan tahun 2009-2010.Populasi mengacu pada total 172 penderita gagal
jantung di RSU HernaMedan tahun 2009-2010. Contoh mengacu pada total sampling
yangdigunakan dalam penelitian ini yang semuanya dari 172 pasien gagal jantungdi RSU
Herna Medan tahun 2009-2010. Ini tahap analisis statistik, penelitianini menggunakan chi-
square dan uji anova. Proporsi highhest dari penderitagagal jantung: 96,5% adalah kelompok
usia 40 tahun, 57,6% adalah laki-laki,70,9% yang berasal dari suku batak, 59,9% adalah
Chistian, 37,8% adalah iburumah tangga , 75,6% berasal dari dari medan, 43,0% menderita
gagal jantungketiga, dan 65,2% menjadi rawat jalan. Rata-rata panjang jika tinggal 5,19
hariPasien dengan gagal jantung menyarankan menghindari gaya hidup yang dapat
menyebabkan gagal jantung.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Fisiologi Jantung

Jantung (bahasa latin, cor) adalah sebuah rongga, organ berotot yang memompa darah lewat
pembuluh darah oleh kontraksi berirama yang berulang. Istilah kardiak berarti berhubungan
dengan jantung, dari Yunani cardia untuk jantung. Ukuran jantung kira-kira panjang 12 cm,
lebar 8-9 cm seta tebal kirakira 6cm. Berat jantung sekitar 7-15 ons atau 200 sampai 425
gram dan sedikit lebih besar dari kepalan tangan. Setiap harinya jantung berdetak 100.000
kali dan dalam masa periode itu jantung memompa 2000 galon darah atau setara dengan
7.571 liter darah.

Ukuran jantung manusia kurang lebih sebesar kepalan tangan seorang laki-laki dewasa.
Jantung adalah satu otot tunggal yang terdiri dari lapisan endothelium. Jantung terletak di
dalam rongga thoracic, di balik tulang dada atau sternum. Struktur jantung berbelok ke bawah
dan sedikit ke arah kiri. Jantung hampir sepenuhnya diselubungi oleh paru-paru, namun
tertutup oleh selaput ganda yang bernama perikardium, Lapisan pertama menempel sangat
erat kepada jantung, disebut dengan perikardium viseral, yang dipersarafi oleh saraf otonom.
Sedangkan lapisan luarnya lebih longgar yang dinamakan dengan perikardium parietal.

Secara internal, jantung terbagi atas 4 ruangan, 2 atrium (serambi) dan 2 ventrikel (bilik).
Dinding otot ventrikel lebih tebal dibandingkan atrium, terkait dengan fungsinya dalam
memompa darah ke seluruh tubuh. Secara skematis, urutan perjalanan darah dalam
sirkulasinya pada manusia (kecuali janin), yaitu : Darah dari seluruh tubuh – bertemu di
muaranya pada vena cava superior dan inferior pada jantung – bergabung di Atrium kanan –
masuk ke ventrikel kiri – arteri pulmonalis ke paru – keluar dari paru melalui vena
pulmonalis ke atrium kiri (darah yang kaya O2) – masuk ke ventrikel kiri, kemudian
dipompakan kembali ke seluruh tubuh melaui aorta. Keluar masuknya darah ke masing-
masing ruangan dikontrol juga dengan peran 4 buah katup di dalamnya :
a) Katup trikuspidal : katup yang terletak antara atrium kanan dan ventrikel kanan.
b) Katup mitral : katup yang terletak antara atrium kiri dan ventrikel kiri.
c) Katup pulmonalis : katup yang terletak antara ventrikel kanan ke arteri pulmonalis.
d) Katup aorta : katup yang terletak antara ventrikel kiri ke aorta.
Mekanisme denyut jantung: Jantung dapat berdenyut karena adanya impuls listrik yang
dipengaruhi juga oleh saraf otonom yang berasal dari SA node, SA node ini terletak di dekat
muara vena cava superior, atrium kanan. Impuls ini menghantarkan konduksinya ke AV
Node yang masih terletak di atrium kanan, kemudian impuls tersebut dihantarkan kembali ke
berkas his, dan mengalami percabangan (bundle branch) menuju serat-serat purkinje di
miokardium. Jika ada gangguan pada kecepatan denyut ataupun hantaran impulnya, maka
disebut dengan aritmia, atau kini lebih sering digunakan istilah disritmia.

Jantung terbungkus di dalam kantung pericardium membranosa berdinding ganda. Lapisan


luar kantung adalah membran fibrosa yang kuat melekat ke partisi jaringan ikat yang
memisahkan paru. Perlekatan ini menambatkan jantung, sehingga jantung tetap berada pada
posisinya di dalam dada. Jantung memiliki pangkal yang lebar di sebelah atas dan meruncing
membentuk ujung yang disebut apeks di dasar.

Dinding jantung terdiri dari tiga lapisan yang berbeda, yaitu:


a) Endokardium. Merupakan lapisan tipis endothelium, suatu jaringan epitel unik yang
melapisi bagian dalam seluruh sistem sirkulasi di sebelah dalam.
b) Miokardium. Merupakan lapisan tengah yang terdiri dari otot jantung, membentuk
sebagian dinding jantung.
c) Epikardium. Suatu membran tipis di bagian luar yang membungkus jantung.

Aktifitas Kelistrikan Jantung: Kontraksi sel otot jantung untuk mendorong darah dicetuskan
oleh potensial aksi yang menyebar melalui membran sel-sel otot. Jantung berkontraksi atau
berdenyut secara berirama akibat potensial aksi yang ditimbulkannya sendiri, suatu sifat yang
dikenal sebagai otoritmisitas. Ada 2 jenis otot jantung:
a) 90% sel otot jantung adalah sel kontraktil, yang melakukan kerja mekanis, yaitu
memompa. Sel-sel pekerja ini dalam keadaan normal tidak menghasilkan sendiri
potensial aksi.
b) Sebaliknya, sebagian kecil sel sisanya sel otoritmik, tidak berkontraksi tetapi
mengkhususkan diri mencetuskan dan menghantarkan potensial aksi yang bertanggung
jawab untuk berkontraksi sel-sel pekerja.
Sel-sel jantung yang mampu mengalami otoritmitas ditemukan di lokasi-lokasi berikut ini:
a) Nodus Sinoatrium (SA), daerah kecil khusus di dinding atrium kanan dekat lubang
(muara) vena kava superior.
b) Nodus Antrioventrikular (AV), sebuah berkas kecil sel-sel otot jantung di dasar atrium
kanan dekat septum, tepat di atas pertautan atrium dan ventrikel.
c) Berkas HIS (berkas atrioventrikel), suatu jaras sel-sek khusus yang berasal dari nodus
AV dan masuk ke septum antar ventrikel, tempat berkas tersebut bercabang membentuk
berkas kanan dan kiri yang berjalan ke bawah melalui septum, melingkari ujung bilik
ventrikel, dan kembali ke atrium di sepanjang dinding luar.
d) Serat Purkinje, serat-serat terminal halus yang berjalan dari berkas HIS dan menyebar ke
seluruh miokardium ventrikel seperti ranting-ranting pohon.

Sel-sel jantung yang memiliki pembentukan potensial aksi tertinggi terletak di nodus SA.
Sekali potensial aksi timbul di sel otot jantung, potensial aksi tersebut akan menyebar ke
seluruh miokardium melalui gap junction dan sistem penghatar khusus. Oleh karena itu,
nodus SA, yang dalam keadaan normal memperlihatkan kecepatan otoritmisitas tertinggi,
yaitu 70-80 potensial aksi /menit, menjalankan bagian jantung sisanya dengan kecepatan ini
dan dikenal sebagai pemacu (pacemaker, penentu irama) jantung. Jaringan otoritmik lain
tidak mampu menjalankan kecepatan mereka yang rendah, karena mereka sudah diaktifkan
oleh potensial aksi yang berasal dari nodus SA sebelum mereka mencapai ambang dengan
irama mereka yang lebih lambat. Setelah dimulai di nodus SA, potensial aksi menyebar ke
seluruh jantung. Agar jantung berfungsi secara efisien, penyebaran eksitasi (kegiatan
menstimulasi suatu organ) harus memenuhi tiga kriteria:
a) Eksitasi dan kontraksi atrium harus selesai sebelum kontraksi ventrikel dimulai.
Pengisian ventrikel sempurna memerlukan kondisi atrium yang mendahului kontraksi
ventrikel.
b) Eksitasi serat-serat otot jantung harus dikoordinasi untuk memastikan bahwa setiap bilik
jantung berkontraksi sebagai suatu kesehatan untuk menghasilkan daya pompa yang
efisien. Apabila serat-serat otot di bilik jantung tereksitasi dan berkontraksi secara acak,
tidak secara simultan dan terkoordinasi, darah tidak dapat terpompa. Eksitasi dan
kontraksi sel-sel jantung yang secara acak dan tidak terkoordinasi seperti itu dikenal
dengan fibrilasi.
c) Pasangan atrium dan pasangan ventrikel harus secara fungsional terkoordinasi, sehingga
kedua anggota pasangan tersebut kontraksi secara simultan. Hal ini memungkinkan darah
terpompa ke sirkulasi paru dan sistemik.

Proses jantung terdiri dari tiga kejadian penting:


a) Pembentukan aktivitas listrik sewaktu jantung secara otoritmis mengalami depolarisasi
dan repolarisasi. (dalam aktivitas kalistrikan jantung)
b) Aktivitas mekanis yang terdiri dari periode sistol (kontraksi dan pengosongan ventrikel)
dan diastole (relaksasi dan pengisian ventrikel) berganti-ganti yang dicetuskan oleh
siklus listrik yang berirama.
c) Arah aliran darah melintasi bilik-bilik jantung, yang ditentukan oleh pembukaan dan
penutupan katup-katup akibat perubahan tekanan yang dihasilkan oleh aktivitas mekanis.

Curah jantung bergantung pada kecepatan denyut jantung dan volume sekuncup. Curah
jantung adalah volume darah yang disemprotkan oleh setiap ventrikel setiap menit,
ditentukan oleh kecepatan denyut jantung dan volume sekuncup. Dua penentu curah jantung
adalah kecepatan denyut jantung (denyut per menit) dan volume sekuncup (volume darah
yang dipompa per denyut). (Charlie,2005).

2.2 Congestive Heart Failure

2.2.1 Definisi
Gagal jantung dapat didefinisikan sebagai abnormalitas dari fungsi struktural jantung
atau sebagai kegagalan jantung dalam mendistribusikan oksigen sesuai dengan yang
dibutuhkan pada metabolisme jaringan, meskipun tekanan pengisian normal atau
adanya peningkatan tekanan pengisian (Mc Murray et al., 2012). Gagal jantung
kongestif adalah sindrom klinis progresif yang disebabkan oleh ketidakmampuan
jantung dalam memompa darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh
(Dipiro et al., 2015).

Istilah gagal sirkulasi lebih bersifat umum dari pada gagal jantung. Gagal sirkulasi
menunjukkan ketidakmampuan dari sistem kardiovaskuler untuk melakukan perfusi
jaringan dengan memadai. Defenisi ini mencakup segal kelainan dari sirkulasi yang
mengakibatkan perfusi jaringan yang tidak memadai, termasuk perubahan dalam
volume darah, tonus vaskuler dan jantung. Gagal jantung kongetif adalah keadaan
dimana terjadi bendungan sirkulasi akibat gagal jantung dan mekanisme
kompenstoriknya. Gagal jantung kongestif perlu dibedakan dengan istilah yang lebih
umum yaitu gagal sirkulasi, yang hanya berarti kelebihan beban sirkulasi akibat
bertambahnya volume darah pada gagal jantung atau sebab-sebab diluar jantung,
seperti transfusi yang berlebihan atau anuria.

2.2.2 Epidemiologi
Angka kejadian gagal jantung di Amerika Serikat mempunyai insidensi yang besar
tetapi tetap stabil selama beberapa dekade terakhir yaitu >650.000 pada kasus baru
setiap tahunnya. Meskipun angka bertahan hidup telah mengalami peningkatan,
sekitar 50% pasien gagal jantung dalam waktu 5 tahun memiliki angka kematian yang
mutlak (Yancy et al., 2013).

2.2.3 Faktor Resiko


a) Faktor resiko mayor meliputi usia, jenis kelamin, hipertensi, hipertrofi pada LV,
infark miokard, obesitas, diabetes.
b) Faktor resiko minor meliputi merokok, dislipidemia, gagal ginjal kronik,
albuminuria, anemia, stress, lifestyle yang buruk.
c) Sistem imun, yaitu adanya hipersensitifitas.
d) Infeksi yang disebabkan oleh virus, parasit, bakteri.
e) Toksik yang disebabkan karena pemberian agen kemoterapi (antrasiklin,
siklofosfamid, 5 FU), terapi target kanker (transtuzumab, tyrosine kinase inhibitor),
NSAID, kokain, alkohol.
f) Faktor genetik seperti riwayat dari keluarga.
(Ford et al., 2015)

2.2.4 Etiologi
Mekanisme fisiologis yang menjadi penyebab gagal jantung dapat berupa :
a) Meningkatnya beban awal karena regurgitasi aorta dan adanya cacat septum
ventrikel.
b) Meningkatnya beban akhir karena stenosis aorta serta hipertensi sistemik.
c) Penurunan kontraktibilitas miokardium karena infark miokard, ataupun
kardiomiopati.

Gagal jantung dan adanya faktor eksaserbasi ataupun beberapa penyakit lainnya,
mempunyai pengaruh yang sangat penting dalam penanganannya dan seharusnya
dilakukan dengan penuh pertimbangan.

Gagal jantung kongestif dapat disebabkan oleh :


a) Kelainan otot jantung
Gagal jantung sering terjadi pada penderita kelainan otot jantung, disebabkan
menurunnya kontraktilitas jantung. Kondisi yang mendasari penyebab kelainan
fungsi otot mencakup ateriosklerosis koroner, hipertensi arterial, dan penyakit
degeneratif atau inflamasi
b) Aterosklerosis koroner
Mengakibatkan disfungsi miokardium karena terganggunya aliran darah ke otot
jantung. Terjadi hipoksia dan asidosis (akibat penumpukan asam laktat). Infark
miokardium (kematian sel jantung) biasanya mendahului terjadinya gagal
jantung. Peradangan dan penyakit miokardium degeneratif, berhubungan dengan
gagal jantung karena kondisi yang secara langsung merusak serabut jantung,
menyebabkan kontraktilitas menurun.
c) Hipertensi sistemik atau pulmonal
Meningkatkan beban kerja jantung dan pada gilirannya mengakibatkan hipertrofi
serabut otot jantung.
d) Peradangan dan penyakit miokardium degeneratif
Berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi ini secara langsung merusak
serabut jantung menyebabkan kontraktilitas menurun.
e) Penyakit jantung lain
Gagal jantung dapat terjadi sebagai akibat penyakit jantung yang sebenarnya,
yang secara langsung mempengaruhi jantung. Mekanisme biasanya terlibat
mencakup gangguan aliran darah yang masuk jantung (stenosis katup semiluner),
ketidakmampuan jantung untuk mengisi darah (tamponade, perikardium,
perikarditif konstriktif, atau stenosis AV), peningkatan mendadak afterload.
f) Faktor sistemik
Terdapat sejumlah besar faktor yang berperan dalam perkembangan dan beratnya
gagal jantung. Meningkatnya laju metabolisme (misal: demam), hipoksia dan
anemia diperlukan peningkatan curah jantung untuk memenuhi kebutuhan
oksigen sistemik. Hipoksia dan anemia juga dapat menurunkan suplai oksigen ke
jantung. Asidosis respiratorik atau metabolik dan abnormalitas elektronik dapat
menurunkan kontraktilitas jantung.

2.2.5 Patofisiologi
Gagal jantung bukanlah suatu keadaan klinis yang hanya melibatkan satu sistem tubuh
melainkan suatu sindroma klinik akibat kelainan jantung sehingga jantung tidak
mampu memompa memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh. Gagal jantung ditandai
dengan satu respon hemodinamik, ginjal, syaraf dan hormonal yang nyata serta suatu
keadaan patologik berupa penurunan fungsi jantung. Salah satu respon hemodinamik
yang tidak normal adalah peningkatan tekanan pengisian (filling pressure) dari
jantung atau preload. Respon terhadap jantung menimbulkan beberapa mekanisme
kompensasi yang bertujuan untuk meningkatkan volume darah, volume ruang jantung,
tahanan pembuluh darah perifer dan hipertropi otot jantung. Kondisi ini juga
menyebabkan aktivasi dari mekanisme kompensasi tubuh yang akut berupa
penimbunan air dan garam oleh ginjal dan aktivasi system saraf adrenergik.

Penting dibedakan antara kemampuan jantung untuk memompa (pump function)


dengan kontraktilias otot jantung (myocardial function). Pada beberapa keadaan
ditemukan beban berlebihan sehingga timbul gagal jantung sebagai pompa tanpa
terdapat depresi pada otot jantung intrinsik. Sebaliknya dapat pula terjadi depresi otot
jantung intrinsik tetapi secara klinis tidak tampak tanda-tanda gagal jantung karena
beban jantung yang ringan. Pada awal gagal jantung akibat CO yang rendah, di dalam
tubuh terjadi peningkatan aktivitas saraf simpatis dan sistem renin angiotensin
aldosteron, serta pelepasan arginin vasopressin yang kesemuanya merupakan
mekanisme kompensasi untuk mempertahankan tekanan darah yang adekuat.
Penurunan kontraktilitas ventrikel akan diikuti penurunan curah jantung yang
selanjutnya terjadi penurunan tekanan darah dan penurunan volume darah arteri yang
efektif. Hal ini akan merangsang mekanisme kompensasi neurohumoral.
Vasokonstriksi dan retensi air untuk sementara waktu akan meningkatkan tekanan
darah sedangkan peningkatan preload akan meningkatkan kontraktilitas jantung
melalui hukum Starling. Apabila keadaan ini tidak segera teratasi, peninggian
afterload, peninggian preload dan hipertrofi dilatasi jantung akan lebih menambah
beban jantung sehingga terjadi gagal jantung yang tidak terkompensasi. Dilatasi
ventrikel menyebabkan disfungsi sistolik (penurunan fraksi ejeksi) dan retensi cairan
meningkatkan volume ventrikel (dilatasi). Jantung yang berdilatasi tidak efisien
secara mekanis (hukum Laplace). Jika persediaan energi terbatas (misal pada penyakit
koroner) selanjutnya bisa menyebabkan gangguan kontraktilitas.20 Selain itu
kekakuan ventrikel akan menyebabkan terjadinya disfungsi ventrikel.14 Pada gagal
jantung kongestif terjadi stagnasi aliran darah, embolisasi sistemik dari trombus
mural, dan disritmia ventrikel refrakter.24 Disamping itu keadaan penyakit jantung
koroner sebagai salah satu etiologi CHF akan menurunkan aliran darah ke miokard
yang akan menyebabkan iskemik miokard dengan komplikasi gangguan irama dan
sistem konduksi kelistrikan jantung.4,10 Beberapa data menyebutkan bradiaritmia dan
penurunan aktivitas listrik menunjukan peningkatan presentase kematian jantung
mendadak, karena frekuensi takikardi ventrikel dan fibrilasi ventrikel menurun. WHO
menyebutkan kematian jantung mendadak bisa terjadi akibat penurunan fungsi
mekanis jantung, seperti penurunan aktivitas listrik, ataupun keadaan seperti emboli
sistemik (emboli pulmo, jantung) dan keadaan yang telah disebutkan diatas.

Mekanisme yang mendasari gagal jantung meliputi gangguan kemampuan


kontraktilitas jantung, yang menyebabkan curah jantung lebih rendah dari curah
jantung normal. Konsep curah jantung paling baik dijelaskan dengan persamaan CO=
HR X SV dimana curah jantung adalah fungsi frekuensi jantung X volume sekuncup.

Curah jantung yang berkurang mengakibatkan sistem saraf simpatis akan


mempercepat frekuensi jantung untuk mempertahankan curah jantung, bila
mekanisme kompensasi untuk mempertahankan perfusi jaringan yang memadai, maka
volume sekuncup jantunglah yang harus menyesuaikan diri untuk mempertahankan
curah jantung. Tapi pada gagal jantung dengan masalah utama kerusakan dan
kekakuan serabut otot jantung, volume sekuncup berkurang dan curah jantung normal
masih dapat dipertahankan.
Volume sekuncup, jumlah darah yang dipompa pada setiap kontraksi tergantung pada
tiga faktor yaitu:
a) Preload: setara dengan isi diastolik akhir yaitu jumlah darah yang mengisi jantung
berbanding langsung dengan tekanan yang ditimbulkan oleh panjangnya regangan
serabut jantung.
b) Kontraktilitas: mengacu pada perubahan kekuatan kontraksi yang terjadi pada
tingkat sel dan berhubungan dengan perubahan panjang serabut jantung dan kadar
kalsium.
c) Afterload: mengacu pada besarnya ventrikel yang harus di hasilkan untuk
memompa darah melawan perbedaan tekanan yang di timbulkan oleh tekanan
arteriole.

Patofisiologi dari gagal jantung dibagi menjadi beberapa bagian yaitu :


a) Berdasarkan bagian jantung yang mengalami kegagalan (failure)
 Gagal jantung kiri (Left-Sided Heart Failure)
Bagian ventrikel kiri jantung kiri tidak dapat memompa dengan baik sehingga
keadaan tersebut dapat menurunkan aliran dari jantung sebelah kiri keseluruh
tubuh. Akibatnya, darah akan mengalir balik ke dalam vaskulator pulmonal
(Berkowitz, 2013). Pada saat terjadinya aliran balik darah kembali menuju
ventrikular pulmonaris, tekanan kapiler paru akan meningkat (>10 mmHg)
melebihi tekanan kapiler osmotik (>25 mmHg). Keadaan ini akan
menyebabkan perpindahan cairan intravaskular ke dalam interstitium paru dan
menginisiasi edema (Porth, 2007).
 Gagal jantung kanan (Right-Sided Heart Failure)
Disfungsi ventrikel kanan dapat dikatakan saling berkaitan dengan disfungsi
ventrikel kiri pada gagal jantung apabila dilihat dari kerusakan yang diderita
oleh kedua sisi jantung, misalnya setelah terjadinya infark miokard atau
tertundanya komplikasi yang ditimbulkan akibat adanya progresifitas pada
bagian jantung sebelah kiri. Pada gagal jantung kanan dapat terjadi
penumpukan cairan di hati dan seluruh tubuh terutama di ekstermitas bawah
(Acton, 2013).
b) Mekanisme neurohormonal
Istilah neurohormon memiliki arti yang sangat luas, dimana neurohormon pada
gagal jantung diproduksi dari banyak molekul yang diuraikan oleh neuroendokrin
(Mann, 2012). Renin merupakan salah satu neurohormonal yang diproduksi atau
dihasilkan sebagai respon dari penurunan curah jantung dan peningkatan aktivasi
sistem syaraf simpatik.
c) Aktivasi sistem Renin Angiotensin Aldosteron (RAAS)
Pelepasan renin sebagai neurohormonal oleh ginjal akan mengaktivasi RAAS.
Angiotensinogen yang diproduksi oleh hati dirubah menjadi angiotensin I dan
angiotensinogen II.Angiotensin II berikatan dengan dinding pembuluh darah
ventrikel dan menstimulasi pelepasan endotelin sebagai agen vasokontriktor.
Selain itu, angiotensin II juga dapat menstimulasi kelenjar adrenal untuk
mensekresi hormon aldosteron. Hormon inilah yang dapat meningkatkan retensi
garam dan air di ginjal, akibatnya cairan didalam tubuh ikut meningkat. Hal inilah
yang mendasari timbulnya edema cairan pada gagal jantung kongestif (Mann,
2012).
d) Cardiac remodeling
Cardiac remodeling merupakan suatu perubahan yang nyata secara klinis sebagai
perubahan pada ukuran, bentuk dan fungsi jantung setelah adanya stimulasi stress
ataupun cedera yang melibatkan molekuler, seluler serta interstitial (Kehat dan
Molkentin, 2010).
2.2.6 Klasifikasi
Berdasarkan American Heart Association (Yancy et al., 2013), klasifikasi dari gagal
jantung kongestif yaitu sebagai berikut :
a) Stage A
Stage A merupakan klasifikasi dimana pasien mempunyai resiko tinggi, tetapi
belum ditemukannya kerusakan struktural pada jantung serta tanpa adanya tanda
dan gejala (symptom) dari gagal jantung tersebut. Pasien yang didiagnosa gagal
jantung stage A umumnya terjadi pada pasien dengan hipertensi, penyakit jantung
koroner, diabetes melitus, atau pasien yang mengalami keracunan pada
jantungnya (cardiotoxins).
b) Stage B
Pasien dikatakan mengalami gagal jantung stage B apabila ditemukan adanya
kerusakan struktural pada jantung tetapi tanpa menunjukkan tanda dan gejala dari
gagal jantung tersebut. Stage B pada umumnya ditemukan pada pasien dengan
infark miokard, disfungsi sistolik pada ventrikel kiri ataupun penyakit valvular
asimptomatik.
c) Stage C
Stage C menunjukkan bahwa telah terjadi kerusakan struktural pada jantung
bersamaan dengan munculnya gejala sesaat ataupun setelah terjadi kerusakan.
Gejala yang timbul dapat berupa nafas pendek, lemah, tidak dapat melakukan
aktivitas berat.
d) Stage D
Pasien dengan stage D adalah pasien yang membutuhkan penanganan ataupun
intervensi khusus dan gejala dapat timbul bahkan pada saat keadaan istirahat,
serta pasien yang perlu dimonitoring secara ketat.

The New York Heart Association (Yancy et al., 2013) mengklasifikasikan gagal
jantung dalam empat kelas, meliputi :
a) Kelas I
Aktivitas fisik tidak dibatasi, melakukan aktivitas fisik secara normal tidak
menyebabkan dyspnea, kelelahan, atau palpitasi.
b) Kelas II
Aktivitas fisik sedikit dibatasi, melakukan aktivitas fisik secara normal
menyebabkan kelelahan, dyspnea, palpitasi, serta angina pektoris (mild CHF).
c) Kelas III
Aktivitas fisik sangat dibatasi, melakukan aktivitas fisik sedikit saja mampu
menimbulkan gejala yang berat (moderate CHF).
d) Kelas IV
Pasien dengan diagnosa kelas IV tidak dapat melakukan aktivitas fisik apapun,
bahkan dalam keadaan istirahat mampu menimbulkan gejala yang berat (severe
CHF).

Klasifikasi gagal jantung baik klasifikasi menurut AHA maupun NYHA memiliki
perbedaan yang tidak signifikan. Klasifikasi menurut AHA berfokus pada faktor
resiko dan abnormalitas struktural jantung, sedangkan klasifikasi menurut NYHA
berfokus pada pembatasan aktivitas dan gejala yang ditimbulkan yang pada akhirnya
kedua macam klasifikasi ini menentukan seberapa berat gagal jantung yang dialami
oleh pasien.
2.2.7 Manifestasi Klinis dan Diagnosis

Tekanan darah mungkin rendah (gagal pemompaan); normal (GJK ringan atau
kronis); atau tinggi (kelebihan beban cairan/peningkatan tekanan vena). Tekanan
darah: mungkin sempit, menunjukkan penurunan volume sekuncup. Frekuensi
jantung: takikardia (gagal jantung kiri). Irama jantung: Disritmia, misal fibrilasi
atrium, kontraksi ventrikel prematur/takikardia, blok jantung. Bunyi jantung S3
(gallop) adalah diagnostik: S4 terjadi: S1 dan S2 melemah. Murmur sistolik dan
diastolik dapat menandakan adanya stenosis katup atau insufisiensi. Nadi: nadi perifer
berkurang: perubahan dalam kekuatan denyutan dapat terjadi; nadi sentral mungkin
kuat misal: nadi jugularis, karotis, abdominal terlihat. Warna: kebiruan, pucat, abu-
abu, sianotik. Punggung kuku: pucat atau sianotik dengan pengisian kapiler lambat.
Hepar: pembesaran dapat teraba, refleks hepato jugularis. Bunyi nafas: Krekels,
ronchi. Edema: mungkin dependen, umum atau pitting, khususnya pada ekstremitas

Penurunan berkemih, urine berwarna gelap. Berkemih malam hari (nokturia),


diare/konstipasi. Kelemahan, pening, episode pingsan. Leragi, kusut pikir,
disorientasi. Perubahan perilaku, mudah tersinggung. Nyeri dada, angina akut atau
kronis. Nyeri abdomen kanan atas (Aka A), sakit pada otot. Tidak tenang, gelisah.
Dispnea saat aktivitas, tidur sambil duduk atau dengan beberapa bantal. Batuk
dengan/tanpa pembentukan sputum. Riwayat penyakit paru kronis. Pengunaan
bantuan pernafasan misal: oksigen atau medikasi. Pernafasan: takipnea, nafas dangkal
pernafasan labored; penggunaan otot aksesori pernafasan, nafas flaring. Batuk:
kering/nyeri/non produktif atau mungkin batuk terus menerus dengan/tanpa
pembentukan sputum. Sputum: mungkin bersemu darah, merah muda/berbuih (edema
pulmonal). Bunyi nafas: mungkin tidak terdengar, mengi. Warna kulit: Pucat atau
sianosis.

Pemeriksaan laboratorium pada pasien gagal jantung harus mencakup evaluasi awal
pada jumlah darah lengkap, urinalisis, elektrolit serum (termasuk pemeriksaan
kalsium, magnesium), blood urea nitrogen (BUN), kreatinin serum, glukosa, profil
lipid puasa, tes fungsi ginjal dan hati, dan thyroid-stimulating hormone (Yancy et al.,
2013). Pasien yang dicurigai mengalami gagal jantung, dapat pula dilakukan
pemeriksaan kadar serum natrium peptida (NICE, 2010).
Foto torax mengungkapkan adanya pembesaran jantung, oedema atau efusipleura
yang menegaskan diagnosa Congestive Heart Failure. EKG mengungkapkan adanya
takiardi, hipertrofi bilik jantung daniskemi (jika disebabkan Akut Miokard Infark).

2.2.8 Tatalaksana Terapi CHF


a) Tujuan Terapi
Tujuan terapi pada pasien gagal jantung kongestif (CHF) berdasarkan American
Heart Association (Yancy et al., 2013) antara lain sebagai berikut :
 Mencegah terjadinya CHF pada orang yang telah mempunyai faktor resiko.
 Deteksi dini asimptomatik disfungsi LV.
 Meringankan gejala dan memperbaiki kualitas hidup.
 Progresifitas penyakit berjalan dengan lambat.

b) AlgoritmaTerapi
Penggolongan obat sangat erat kaitannya dengan algoritma pada terapi gagal
jantung kongestif. Berdasarkan Pharmacoterapy Handbook edisi 9tahun 2015
(Dipiro et al., 2015), penggolongan obat pada terapi gagal jantung kongestif
(CHF) adalah sebagai berikut :
 Angiotensin converting enzyme Inhibitor (ACE I)
Obat-obat yang termasuk ACE I mempunyai mekanisme kerja menurunkan
sekresi angiotensin II dan aldosteron dengan cara menghambat enzim yang
dapat mengubah angiotensin I menjadi angiotensin II. Termasuk juga dapat
mengurangi kejadian remodeling jantung serta retensi air dan garam.
 Beta bloker
Berdasarkan guideline dari ACC/AHA direkomendasikan menggunakan β-
blocker pada semua pasien gagal jantung kongestif yang masih stabil dan
untuk mengurangi fraksi ejeksi jantung kiri tanpa kontraindikasi ataupun
adanya riwayat intoleran pada β-blockers. Mekanisme kerja dari β- blocker
sendiri yaitu dengan menghambat adrenoseptor beta (beta-bloker) di jantung,
pembuluh darah perifer sehingga efek vasodilatasi tercapai. Beta bloker
dapat memperlambat konduksi dari sel jantung dan juga mampu
meningkatkan periode refractory.
 Angiotensin II receptor type 1 Inhibitor (ARB)
Mekanisme ARB yaitu menghambat reseptor angiotensin II pada subtipe
AT1. Penggunaan obat golongan ARB direkomendasikan hanya untuk pasien
gagal jantung dengan stage A, B, C yang intoleran pada penggunaan ACE I.
Food and Drug Approval (FDA) menyetujui penggunaan candesartan dan
valsartan baik secara tunggal maupun kombinasi dengan ACE I sebagai
pilihan terapi pada pasien gagal jantung kongestif.
 Diuretik
Mekanisme kompensasi pada gagal jantung kongestif yaitu dengan
meningkatkan retensi air dan garam yang dapat menimbulkan edema baik
sistemik maupun paru. Penggunaan diuretik pada terapi gagal jantung
kongestif ditujukan untuk meringankan gejala dyspnea serta mengurangi
retensi air dan garam (Figueroa dan Peters, 2006). Diuretik yang banyak
digunakan yaitu dari golongan diuretik tiazid seperti hidroklorotiazid (HCT)
dan golongan diuretik lengkungan yang bekerja pada lengkung henle di
ginjal seperti furosemid.
 Antagonis aldosteron
Antagonis aldosteron mempunyai mekanisme kerja menghambat reabsorpsi
Na dan eksresi K. Spironolakton merupakan obat golongan antagonis
aldosteron dengan dosis inisiasi 12,5 mg perhari dan 25 mg perhari pada
kasus klinik yang bersifat mayor.
 Digoksin
Digoxin merupakan golongan glikosida jantung yang mempunyai sifat
inotropik positif yang dapat membantu mengembalikan kontraktilitas dan
meningkatkan dari kerja jantung. Digoxin memiliki indeks terapi sempit yang
berarti dalam penggunaan dosis rendah sudah memberikan efek terapi. Oleh
karena itu, diperlukan kehati-hatian pada penggunaan digoxin dan diperlukan
monitoring ketat bila dikhawatirkan terjadi toksik.
 Nitrat dan hidralazin
Nitrat dan hidralazin mempunyai efek hemodinamik yang saling melengkapi.
Hidralazin sebagai vasodilator pembuluh darah arteri yang dapat mengurangi
resisten pembuluh darah sistemik serta meningkatkan stroke volum dan
cardiac output. Hidralazin memiliki mekanisme yaitu dengan menghambat
inositoltrifosfat (IP3) pada retikulum sarkoplasma yang berfungsi untuk
melepaskan ion kalsium intraseluler dan terjadi penurunan ion kalsium
intraseluler. Nitrat sebagai venodilator utama (dilatasi pembuluh darah) dan
menurunkan preload (menurunkan beban awal jantung) dengan mekanisme
aktivasi cGMP (cyclic Guanosine Monophosphate) sehingga menurunkan
kadar ion kalsium intraseluler.

Tabel 1.Terapi CHF klasifikasi AHA (Yancy et al., 2013)


Stage A ACE Inhibitor atau ARB

Stage B ACE Inhibitor, Beta Blocker

Stage C ACE Inhibitor, Beta Blocker


Diuretik, Digoksin
Alternatif lain : ARB, Spironolakton,
Nitrat+Hidralazin

Stage D Terapi stage A, B, C dengan tambahan infus iv inotropik (digoksin)


untuk terapi paliatif

Penggolongan terapi CHF pada setiap golongan obat mempunyai tempat aksi yang
berbeda pada setiap golongannya dan gambar 2 menunjukkan mengenai perbedaan
tempat aksi dari obatobat CHF.
2.2.9 Komplikasi CHF
a) Tromboemboli adalah risiko terjadinya bekuan vena (thrombosis vena dalam atau
deep venous thrombosis dan emboli paru atau EP) dan emboli sistemik tinggi,
terutama pada CHF berat. Bisa diturunkan dengan pemberian warfarin.
b) Komplikasi fibrilasi atrium sering terjadi pada CHF yang bisa menyebabkan
perburukan dramatis. Hal tersebut indikasi pemantauan denyut jantung (dengan
digoxin atau β blocker dan pemberian warfarin).
c) Kegagalan pompa progresif bisa terjadi karena penggunaan diuretik dengan dosis
ditinggikan.
d) Aritmia ventrikel sering dijumpai, bisa menyebabkan sinkop atau sudden cardiac
death (25-50% kematian CHF). Pada pasien yang berhasil diresusitasi,
amiodaron, β blocker, dan vebrilator yang ditanam mungkin turut mempunyai
peranan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. V. Jakarta: Interna Publishing; 2009. 1583-1601 p.
2. Longo D, Fauci A, Kasper D, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J. Harrison’s principle of
internal medicine. 16th ed. 2005.
3. Sugeng BS, J. I. Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2004. 7-17, 115-126 p.
4. Rilantono LL. Penyakit Kardiovaskuler. 1st ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2016. 269-275 p.
5. Siswanto BB, Hersunarti N, Erwinarto, Barack R, Pratikto RS, Nauli SE, et al.
Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung. Perhimpun Dr Spes Kardiovask Indones
[Internet]. 2015;1. Available from:
http://www.inaheart.org/upload/file/Pedoman_TataLaksana_Gagal_Jantung_2015.pdf
6. Price SA, Wilson L. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. 6th ed.
Jakarta: EGC; 2006. 633-640 p.
7. Dumitru I. Heart Failure [Internet]. Medscape. 2016 [cited 2016 Jan 16]. Available
from: http://emedicine.medscape.com/article/163062-overview#showall
8. Greenberg BH. Congestive Heart Failure. USA: Lipincott Williams & Wilkins; 2007.
167-168 p.
9. Ponikowski P, Voors A, Anker S, Bueno H, Cleland J, Coats A, et al. Guidelines for
the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure. NCBI [Internet].
2016;18(8):891–975. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/27207191

You might also like