You are on page 1of 42

CASE

DEMAM THYPOID DENGAN


KOMPLIKASI PERITONITIS

Disusun oleh:
Putu Ratih Wijayanthi 0615195

Pembimbing :
dr. Mutia, Sp.A

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UKM
RUMAH SAKIT IMMANUEL
BANDUNG
2013

IDENTITAS PENDERITA

Nama Penderita : An. A


Jenis Kelamin : Laki-laki
Tempat dan Tanggal Lahir : Bandung, 28 Agustus 2003
Umur : 9 tahun 9 bulan
Tanggal Dirawat : 22 Juni 2013
Tanggal Diperiksa : 25 Juni 2013

Nama Ayah : Tn. S


Umur : 39 tahun
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Wiraswasta
Penghasilan : Tidak bersedia menyebutkan
Alamat : Margahayu

Nama Ibu : Ny. D


Umur : 35 tahun
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Penghasilan : Tidak bersedia menyebutkan
Alamat : Margahayu
I. ANAMNESIS
Heteroanamnesis
Diberikan oleh : Ny. D (Ibu Pasien)
Tanggal : 25 Juni 2013
Keluhan utama : Batuk
Riwayat perjalanan penyakit:
Pasien datang dengan keluhan batuk sejak 3 minggu SMRSI. Pasien batuk berdahak,
berwarna putih kental, susah keluar. Batuk terus-menerus. Batuk disertai keluhan demam
sejak 3 minggu yang lalu, yang dirasakan naik turun. Panas badan yang dirasakan terurtama
pada malam hari, kemudian terus menerus. Pasien sudah diberi obat penurun panas,
kemudian panas badan lagi namun suhu belum diukur. Selama panas badan, pasien keluar
keringat. Keluhan menggigil, sesak napas, pilek, kontak dengan pasien TB, mendapatkan
pengobatan TB paru disangkal.
Pasien juga mengeluh muntah-muntah sejak 1 minggu yang lalu. Pasien mengatakan
muntah setiap kali makan dan minum, sebanyak  ¼ - ½ gelas aqua.
Setiap kali panas badan, pasien mengeluh mencret 5x/hari, sebanyak  ½ gelas aqua,
menyemprot, warna kekuningan, bau asam, ampas (+), lendir (-), darah (-). Pasien tampak
lemas, nafsu makan dan minum menurun.
Pasien mengaku setiap hari jajan makanan di luar rumah dan makan mie.
Pasien menyangkal mimisan, keluar cairan dari telinga, kejang, penurunan kesadaran,
bintik-bintik kemerahan, nyeri saat BAK, BAB tidak keluar darah, nyeri menelan, alergi
(makanan, cuaca, obat-obatan).
BAK : Warna, jumlah, frekuensi dalam batas normal.
RPD : Pasien tidak pernah mengalami penyakit serupa.
RPK : Tidak ada keluhan serupa di keluarga dan di lingkungan sekitar.
UB : Berobat 3 kali ke dokter umum, namun tidak sembuh. Sehingga pasien dirujuk ke
rumah sakit.
KELUHAN KEADAAN UMUM : Tidak ada keluhan
KELUHAN ORGAN KEPALA : Batuk
KELUHAN ORGAN DI LEHER : Tidak ada keluhan
KELUHAN ORGAN DI DADA : tidak ada keluhan
KELUHAN ORGAN DI PERUT : muntah, mencret
KELUHAN ANGGOTA BADAN : panas badan

RIWAYAT KEHAMILAN DAN PERSALINAN


Pasien merupakan anak ke 1 dari 2 bersaudara.
Lahir hidup 2, lahir mati (-), abortus (-).

Riwayat obstetri :
Trimester I : periksa 2 x ke bidan
Trimester II : periksa 3 x ke bidan
Trimester III : periksa 6 x ke bidan

Riwayat persalinan :
Lahir preterm, spontan dengan pertolongan bidan.
Berat badan lahir 2600 gram.
Panjang badan saat lahir 49 cm.
APGAR : ( ibu pasien tidak tahu)
Komplikasi persalinan : (-)

TUMBUH KEMBANG ANAK


Tersenyum : 3 bulan
Berbalik : 5 bulan
Duduk : 7 bulan
Berdiri : 10 bulan
Berjalan : 12 bulan
Berbicara mama/papa : 15 bulan
Bicara 1 kalimat : 18 bulan
Membaca : 3 tahun
Menulis : 5 tahun
SUSUNAN KELUARGA

No Nama Usia L/P Keterangan


1 Tn S 39 tahun L Ayah pasien, sehat
2 Ny D 35 tahun P Ibu pasien, sehat
3 An A 9 thn 9 bulan L Pasien, sakit
4 An C 6 thn 5 bulan L Adik pasien, sehat

Imunisasi
Jenis Dasar Ulangan Anjuran
1 BCG 1 minggu - - - Hib -
2 DPT 2 bln 4 bln 6 bln - - - MMR -
3 Polio 0 bln 2 bln 4 bln 6 bln - - - Hep A -
4 Hep. B 0 bln 1 bln 6 bln - - - Cacar air -
5 Campak 9 bln - - -

MAKANAN
 0 - 6 bulan : ASI
 4 bulan - 6 bulan : PASI + bubur susu + bubur saring
 6 bulan - 12 bulan : PASI sesuka bayi + bubur nasi + biskuit + buah-buahan
 12 bln - 24 bulan : Nasi tim 3x/hari + buah-buahan 3x/hari + PASI
 24 bulan – sekarang : Makanan sesuai pola makanan keluarga

PENYAKIT DAHULU
Diare :- TBC :-
Batuk Pilek :+ Cacar air :-
Tifus perut :- Campak :-
Pneumonia :- Ginjal :-
Batuk rejan :- Asma/ alergi : -
Difteri :- Kejang :-
Tetanus :- Lainnya :-
Hepatitis :-
ANAMNESA SOSIAL
Pasien tinggal di perkampungan dengan lingkungan yang bersih, sedikit padat,
sumber air didapatkan dari sumur pompa. Sanitasi dalam rumah cukup baik. Pengangkutan
sampah 2 hari sekali.
Dalam rumah, ventilasi baik, cahaya cukup.

II.PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum
 Kesadaran : delirium (GCS : M = 2, V = 4, E = 2)
 Keadaan penderita : tampak sakit sedang
 Posisi serta aktivitas : tidak ada letak paksa
 Penampilan umum : aktif

Tanda vital
 Tekanan darah : 110/70 mmHg
 Nadi : 132x/ menit, reguler, equal, isi cukup
 Suhu tubuh : aksiler, 38,60C
 Pernapasan : 44x/ menit, abdominothorakal

Pengukuran
Umur : 9 tahun 9 bulan
Berat badan : 23 kg
Tinggi badan : 128 cm
Status gizi kurang (underweight) menurut BMI
BB/(TB)2 : 23/(1,28)2 = 23/1,63 = 14,11
Lingkaran kepala : 51 cm
Lingkaran dada : 60 cm
Lingkaran perut : 61.5 cm
Lingkaran lengan atas : 15 cm

Pemeriksaan Sistemik
 Rambut : Hitam, distribusi merata, lebat
 Kulit : Anemis (-), sianosis (-), edema (-)
Turgor kembali cepat, oedem tidak ada, rose spot tidak ada.
 KGB : Tidak teraba membesar
 Kepala : Bentuk/Ukuran simetris
 Mata : Konjungtiva anemis -/-, Sklera ikterik-/-
Pupil bulat, isokhor, reflex cahaya direk dan indirek +/+
Air mata (+)
 Hidung : PCH -/-, sekret hidung -/-
 Telinga : Sekret -/-
 Mulut : Bibir kering (+) Mukosa mulut basah, pharynx hiperemis (-)
Lidah kotor (-)
Arcus pharynx simetris
 Thorax : Bentuk dan pergerakan simetris
Pulmo : VBS ka= ki, Ronchi -/-, Wheezing -/-
Cor : Bunyi Jantung Murni, regular, murmur –
 Abdomen
Inspeksi : Datar
Auskultasi : BU (+)
Palpasi : Soepel, NT (+) di seluruh regio abdomen, defence muscular (+)
Hepar & Lien : tidak teraba membesar
Perkusi : Tympani
 Alat kelamin : Laki-laki , tidak ada kelainan
 Anus dan rectum : diaper rash (-)
 Ekstremitas : Akral dingin, CRT <2”
 Neurologisc

Refleks Fisiologis:

Refleks Patologis :
Pemeriksaan Sensorik / Sensibilitas :
Nn. Cranialis
N. Olfaktorius : tdk dpt dilakukan
N. Optikus
N. Occulomotorius
Sulit dinilai
N. Trochlearis
N. Trigeminus
N. Abducens

N. Facialis
N. Vestibulocochlearis Dalam batas normal
N. Glossopharyngeus
N. Vagus
N. Acessorius : sulit dinilai
N. Hypoglossus : dalam batas normal
Pemeriksaan motorik :
Kekuatan otot: 5 5
5 5
Tonus otot : Normal
Massa otot : Normal
Cara berdiri dan Berjalan : Sulit dinilai

III.PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah : Tanggal 22 Juni 2013
Hemoglobin 10 g/dL (↓)
Hematokrit 31,7 %
Leukosit 10,10 x 103/mm3
Trombosit 147x 103/mm3 (↓)
Eritrosit 4 jt/mm3
MCV 80 fL
MCH 25 pg/ sel (↓)
MCHC 32 g/ dL

Immunoserologi :
IgM anti Salmonella Typhi (+)

Pemeriksaan Urin : Tanggal 22 Juni 2013


Urin Rutin :
BJ >1,030

pH 6,0
Protein 2+
Glukosa (-)
Keton Trace
Urobilinogen < 2 mg/dL
Bilirubin (-)
Nitrit (-)
Sedimen :

Sel epitel 1-3/LPB


Eritrosit 1-3/LPB
Leukosit 1-2/LPB
Bakteria (-)
Kristal (-)
Lain-lain (+) Silinder granula

Pemeriksaan Foto BNO datar dan LLD, 22 Juni 2013


Pre peritoneal fat normal, psoas line normal
Kontur kedua ginjal normal
Skeletal normal, tidak tampak udara bebas sub diafragma atau extraluminar. Tampak
gambaran udara dalam usus halus. Dinding usus tidak menebal.
Tidak tampak gambaran konkremen opak sepanjang proyeksi traktus urinarius atau
kandung empedu.
Distribusi udara dalam kolon bertambah dan masih tampak sampai distal.
Kesan : tidak tampak pneumoperitoneum, paralitik small intestine (peritonitis?)

Pemeriksaan USG 22 Juni 2013


Intraperitoneal :
Appendix sulit dinilai karena terhalang oleh gas. Ada sedikit cairan bebas.
Catatan : tampak banyak limfadenopati sebesar 7-20 mm di daerah mesenterial kanan.

IV.RESUME
ANAMNESIS
Seorang pasien laki-laki, usia 9 tahun 9 bulan, gizi cukup, datang dengan keluhan
batuk.
Keluhan batuk sejak 3 minggu SMRSI, batuk berdahak, berwarna putih kental, susah
keluar, terus-menerus. Batuk disertai keluhan febris sejak 3 minggu yang lalu, yang dirasakan
naik turun. Febris dirasakan terurtama pada malam hari, kemudian terus menerus. Pasien
sudah diberi obat penurun panas, kemudian febris lagi namun suhu belum diukur. Selama
febris, pasien keluar keringat. Keluhan menggigil, dispneu, rinorrhoea, kontak dengan pasien
TB, mendapatkan pengobatan TB paru disangkal. Vomit sejak 1 minggu yang lalu. setiap
kali makan dan minum, sebanyak  ¼ - ½ gelas aqua. Diare 5x/hari, sebanyak  ½ gelas
aqua, menyemprot, warna kekuningan, bau asam, ampas (+), lendir (-), darah (-). malaise,
anoreksia. Pasien mengaku setiap hari jajan makanan di luar rumah dan makan mie.

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum
 Kesadaran : compos mentis
 Keadaan penderita : tampak sakit sedang
 Posisi serta aktivitas : tidak ada letak paksa
 Penampilan umum : bingung, diam

Tanda vital
 Tekanan darah : 110/70 mmHg
 Nadi : 132x/ menit, reguler, equal, isi cukup
 Suhu tubuh : aksiler, 38,60C
 Pernapasan : 44x/ menit, abdominothorakal

Pemeriksaan Sistemik
 Rambut : Hitam, distribusi merata, lebat
 Kulit : Anemis (-), sianosis (-), edema (-)
Turgor kembali cepat, oedem tidak ada, rose spot tidak ada.
 KGB : Tidak teraba membesar
 Kepala : Bentuk/Ukuran simetris
 Mata : Konjungtiva anemis -/-, Sklera ikterik-/-
Pupil bulat, isokhor, reflex cahaya direk dan indirek +/+
Air mata (+)
 Hidung : PCH -/-, sekret hidung -/-
 Telinga : Sekret -/-
 Mulut : Bibir kering (+) Mukosa mulut basah, pharynx hiperemis (-)
Lidah kotor (-)
Arcus pharynx simetris
 Thorax : Bentuk dan pergerakan simetris
Pulmo : VBS ka= ki, Ronchi -/-, Wheezing -/-
Cor : Bunyi Jantung Murni, regular, murmur –
 Abdomen
Inspeksi : Datar
Auskultasi : BU (+)
Palpasi : Soepel, NT (+) di seluruh regio abdomen, defence muscular (+)
Hepar & Lien : tidak teraba membesar
Perkusi : Tympani
 Alat kelamin : Laki-laki , tidak ada kelainan
 Anus dan rectum : diaper rash (-)
 Ekstremitas : Akral dingin, CRT <2”
 Neurologisc : dalam batas normal

PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Darah tanggal 22 Juni 2013 :
Anemia
Trombositopenia
Imunoserologi : IgM anti Salmonella typhi (+)
 Urin tanggal 22 Juni 2013 : protein 2+, silinder granula (+)

V.DIAGNOSIS
 Differential Diagnosis:
o Demam Typhoid
o Demam Berdarah Dengue
o Tuberkulosis Paru
o Infeksi saluran kemih
 Diagnosis tambahan : Peritonitis
 Status gizi : Kurang
 Diagnosis kerja : Demam Typhoid dengan komplikasi Peritonitis

VI.PENATALAKSANAAN
Non medikamentosa
Tirah baring
Diet bubur saring

Medikamentosa
 Ceftriaxone 4x 1gr IVdrip
 Rantidin ½ amp IV
 Parasetamol 3 x 250 mg IV
 Dexamethason 2 x 8 mg IV
 Infus RL 1500 cc/hari  infuse RL 5/5 KaEN 1B (2:2) untuk 2000 cc/hari

VII.PENCEGAHAN
1. mencuci tangan sebelum makan, penyediaan air bersih, dan pengamanan pembuangan
limbah feses, pemberantasan lalat, pengawasan terhadap kebersihan penjual makanan.
2. Imunisasi

VIII.PROGNOSIS
 Quo ad vitam : ad bonam
 Quo ad functionam : ad bonam
 Quo ad sanationam : ad bonam

FOLLOW UP
Tanggal S O A P

24 Juni 2013 Panas badan TV : Demam  Ceftriaxone


naik turun, Typhoid dengan 4x 1gr IVdrip
masih batuk N = 116 x/mnt Komplikasi  Rantidin ½
berdahak warna Peritonitis amp IV
S = 38,20C
putih, keringat  Parasetamol 3
(+), mengigil (-), R = 28 x/mnt x 250 mg IV
 Infus RL
muntah (+) tiap
Pem.Fisik : 1500 cc/hari
makan dan
 infuse RL
minum, mencret Kepala : Bentuk 5/5 KaEN 1B
(+), ampas (+), dan ukuran (2:2) untuk
nafsu makan simetris. 2000 cc/hari
menurun
Mata :
conjungtiva
anemis -/-,
sclera icterik -/-

Hidung : secret -
/-, PCH -/-

Mulut : bibir
kering, mukosa
sedikit basah

Leher : KGB
tidak teraba
membesar

Thorax : bentuk
dan pergerakan
simetris

Pulmo : VBS
kanan = kiri, Rh
-/-, Wh -/-

Cor : Bunyi
Jantung Murni,
regular, murmur
(-)

Abdomen :
datar, soepel,
Bising Usus (+),
Nyeri tekan (+)
di seluruh regio
abdomen,
defense
muscular (+)

Ekstremitas :
akral dingin,
keringat >>,
CRT <2 detik

Pemeriksaan Darah 24 Juni 2013 :


Haemoglobin 7,9 g/dL (↓)
Haematokrit 25,4 % (↓)
Leukosit 1,82 x 103/mm3 (↓)
Trombosit 75 x 103/mm3 (↓)
Eritrosit 3,2 juta/mm3 (↓)
MCV 81 fL
MCH 25 pg/mL (↓)
MCHC 31 g/dL (↓)
Hitung Jenis
Basofil 0,6 %
Eosinofil 0,0 % (↓)
Neutrofil Stab 0,0 % (↓)
Neutrofil Segmen 50,2 %
Limfosit 45,7 % (↑)
Monosit 3,5 %
Kimia Klinik
Natrium (Na) 127 mEq/L (↓)
Kalium (K) 3,4 mEq/L (↓)
Glukosa Darah Sewaktu 100 mg/dL

Tanggal S O A P

25 Juni 2013 Lemas, panas TV : Demam  Ceftriaxone


badan mulai N = 116 x/mnt Typhoid dengan 4x 1gr IVdrip
turun, batuk (+), Komplikasi  Rantidin ½
berdahak warna S = 36,80C Peritonitis amp IV
putih, keringat (-  Parasetamol 3
R = 28 x/mnt
), mengigil (-), x 250 mg IV
muntah (-), Pem.Fisik :  Dexamethason
2 x 8 mg IV
mencret (-),
Kepala : Bentuk  Infus RL 1500
nafsu makan
dan ukuran cc/hari 
menurun,
simetris. infuse RL 5/5
minum sudah KaEN 1B
mulai banyak. Mata : (2:2) untuk
conjungtiva 2000 cc/hari
anemis -/-,
sclera icterik -/-

Hidung : secret -
/-, PCH -/-

Mulut : bibir
kering, mukosa
sedikit basah

Leher : KGB
tidak teraba
membesar

Thorax : bentuk
dan pergerakan
simetris

Pulmo : VBS
kanan = kiri, Rh
-/-, Wh -/-

Cor : Bunyi
Jantung Murni,
regular, murmur
(-)

Abdomen :
datar, soepel,
Bising Usus (+),
Nyeri tekan (+)
di seluruh regio
abdomen,
defense
muscular (+)

Ekstremitas :
akral dingin,
CRT <2 detik

Pemeriksaan Darah (25 Juni 2013) :


Haemoglobin 9,9 g/dL (↓)
Hematokrit 29,6 % (↓)
Leukosit 2,71 x 103/mm3 (↓)
Trombosit 73 x 103/mm3 (↓)
Eritrosit 3,8 juta/mm3
MCV 78 fL (↓)
MCH 26 pg/mL
MCHC 33 g/dL
Immunoserologi
IgM Anti Dengue (-)
IgG Anti Dengue (-)
DEMAM TIFOID

Definisi
Yang dimaksud dengan demam tifoid adalah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat
pada saluran pencernaan (usus halus) dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai
gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran.

Epidemiologi
Insiden, cara penyebaran dan konsekuensi demam enterik sangat berbeda di negara
maju dan yang sedang berkembang. Insiden sangat menurun di Negara maju. Demam tifoid
merupakan penyakit endemis di Indonesia. 96% kasus demam tifoid disebabkan oleh
Salmonella typhi, sisanya disebabkan oleh Salmonella paratyphi. Sembilan puluh persen
kasus demam tifoid terjadi pada umur 3-19 tahun, kejadian meningkat setelah umur 5 tahun.
Diperkirakan setiap tahun masih terdapat 35 juta kasus dengan 500.000 kematian di seluruh
dunia. Kebanyakan penyakit ini terjadi pada penduduk negara dengan pendapatan yang
rendah, terutama pada daerah Asia Tenggara, Afrika, dan Amerika Latin.
Di negara-negara berkembang perkiraan angka kejadian demam tifoid bervariasi dari
10 sampai 540 per 100.000 penduduk. Meskipun angka kejadian demam tifoid turun dengan
adanya perbaikan sanitasi pembuangan di berbagai negara berkembang. Di negara maju
perkiraan angka kejadian demam tifoid lebih rendah yakni setiap tahun terdapat 0,2 – 0,7
kasus per 100.000 penduduk di Eropa Barat; Amerika Serikat dan Jepang serta 4,3 sampai
14,5 kasus per 100.000 penduduk di Eropa Selatan. Di Indonesia demam tifoid masih
merupakan penyakit endemik dengan angka kejadian yang masih tinggi. Angka kejadian
demam tifoid di Indonesia diperkirakan 350-810 kasus per 100.000 penduduk per tahun; atau
kurang lebih sekitar 600.000 – 1,5 juta kasus setiap tahunnya. Diantara penyakit yang
tergolong penyakit infeksi usus, demam tifoid menduduki urutan kedua setelah
gastroenteritis. Penyebarannya tidak bergantung pada iklim maupun musim. Penyakit ini
sering merebak di daerah yang kebersihan lingkungan dan pribadi kurang diperhatikan

Etiologi
Demam tifoid (termasuk para-tifoid) disebabkan oleh kuman Salmonella typhi,
Salmonella paratyphi A, Salmonella paratyphi B, dan Salmonella paratyphi C. Jika
penyebabnya adalah Salmonella paratyphi, gejalanya lebih ringan dibanding dengan yang
disebabkan oleh Salmonella typhi. Pada minggu pertama sakit, demam tifoid sangat sukar
dibedakan dengan penyakit demam lainnya. Untuk memastikan diagnosis diperlukan
pemeriksaan biakan kuman untuk konfirmasi.
Salmonella typhi termasuk bakteri famili Enterobacteriaceae dari genus Salmonella.
Kuman Salmonella typhi berbentuk batang, Gram negatif, tidak berspora, motile, berflagela,
berkapsul, tumbuh dengan baik pada suhu optimal 370C (150C-410C), bersifat fakultatif
anaerob, dan hidup subur pada media yang mengandung empedu. Kuman ini mati pada
pemanasan suhu 54,40C selama satu jam dan 600C selama 15 menit, serta tahan pada
pembekuan dalam jangka lama. Salmonella mempunyai karakteristik fermentasi terhadap
glukosa dan manosa, namun tidak terhadap laktosa atau sukrosa.Salmonella typhi dapat
bertahan hidup lama di lingkungan kering dan beku, peka terhadap proses klorinasi dan
pasteurisasi pada suhu 63 0C. Organisme ini juga dapat bertahan hidup beberapa minggu
dalam air, es, debu, sampah kering, pakaian, mampu bertahan disampah mentah selama 1
minggu, dan dapat bertahan serta berkembang biak dalam susu, daging, telur, atau produknya
tanpa merubah warna dan bentuknya.
Manusia merupakan satusatunya sumber penularan alami Salmonella typhi melalui
kontak langsung maupun tidak langsung dengan seorang penderita demam tifoid atau karier
kronis.3 Bakteri ini berasal dari feses manusia yang sedang menderita demam tifoid atau
karier Salmonella typhi. Mungkin tidak ada orang Indonesia yang tidak pernah menelan
bakteri ini. Bila hanya sedikit tertelan, biasanya orang tidak menderita demam tifoid. Namun
bakteri yang sedikit demi sedikit masuk ke tubuh menimbulkan suatu reaksi serologi Widal
yang positif dan bermakna
Salmonella typhi sekurang-kurangnya mempunyai tiga macam antigen, yaitu: -
Antigen O = Ohne Hauch = Somatik antigen (tidak menyebar) - Antigen H = Hauch
(menyebar), terdapat pada flagella dan bersifat termolabil. - Antigen Vi = Kapsul; merupakan
kapsul yang meliputi tubuh kumandan melindungi O antigen terhadap fagositosis
Ketiga jenis antigen tersebut di dalam tubuh manusia akan menimbulkan
pembentukan tiga macam antibodi yang lazim disebut aglutinin.
Ada 3 spesies utama yaitu :
- Salmonella typhosa (satu serotype)
- Salmonella choleraesius (satu serotype)
- Salmonella enteretidis (lebih dari 1500 serotype)
Dalam serum penderita terdapat zat anti (aglutinin) terhadap ketiga macam antigen
tersebut. Mempunyai makromolekuler lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar
dari dinding sel dan dinamakan endotoksin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid
faktor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap multiple antibiotik.1 Dosis infeksius S.
enterica serotipe typhi pada pasien bervariasi dari 1000 hingga 1 juta organisme. Strain Vi
negatif dari Salmonella enterica serotype typhi ini kurang infeksius dan kurang virulen
dibandingkan strain Vi positif. Untuk dapat mencapai usus halus biasanya Salmonella typhi
ini harus dapat bertahan melalui sawar asam lambung dan kemudian melekat pada sel
mukosa serta melakukan invasi. Sel M sebagai sel epitel khusus yang melapisi sepanjang
lapisan Peyer ini merupakan tempat potensial Salmonella typhi untuk invasi dan sebagai
transpor menuju jaringan limfoid. Pasca penetrasi, bakteri ini menuju ke dalam folikel
limfoid intestinal dan nodus limfe mesenterik dan kemudian masuk dalam sel
retikuloendotelial dalam hati dan limpa. Pada keadaan ini terdapat perubahan degeneratif,
proliferatif, dan granulomatosa pada villi, kelenjar kript, lamina propria usus halus, dan
kelenjar limfe mesenterica.
Organisme Salmonella typhi mampu bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam fagosit
mononuklear folikel limfoid, hati, dan limpa. Faktor penting proses ini mencakup jumlah
bakteri, tingkat, tingkat virulensi dan respon tubuh. Bakteri ini kemudian dilepaskan dari
habitat intraseluler masuk aliran darah. Masa inkubasi ini berkisar 7-14 hari. Pada fase
bakteriemi, bakteri akan menyebar dan tempat infeksi sekunder paling sering ialah hati,
limpa, sumsum tulang, kandung empedu, dan lapisan Peyer ileum terminal. Invasi kandung
empedu terjadi langsung dari asam empedu. Jumlah bakteri pada fase akut diperkirakan 1
bakteri /ml darah (sekitar 66 % dalam sel fagositik) dan sekitar 10 bakteri /ml sumsum tulang.
Walaupun Salmonella typhi menghasilkan endotoksin namun angka mortalitas stadium ini <
1 %. Studi menunjukkan peningkatan kadar proinflamasi dan sitokin anti inflamasi dalam
sirkulasi pasien tifoid.

PATOLOGI
Huckstep membagi patologi dalam plaque Peyeri dalam empat fase. Keempat fase ini akan
terjadi secara berurutan bila tidak segera diberikan antibiotik yaitu :
 Fase 1 : Hiperplasia folikel limfoid
 Fase 2 : Nekrosis folikel limfoid selama seminggu kedua melibatkan mukosa
dan submukosa
 Fase 3 : Ulserasi pada aksis panjang bowel dengan kemungkinan perforasi
dan pendarahan
 Fase 4 : Penyembuhan terjadi pada minggu keempat dan tidak menyebabkan
terbentuknya struktur seperti pada tuberkulosis bowel.

Ileum merupakan lokasi patologi tifoid klasik, tetapi folikel limfoid pada bagian
traktus gastrointestinal lainnya juga dapat terlibat seperti yeyunum dan kolon ascending.
Ileum biasanya mengandung plaque Peyeri lebih banyak dan luas dibandingkan yeyunum.
Jumlah folikel limfoid akan berkurang seiring dengan pertambahan usia.

Patofisiologi
Gejala Klinik
Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan
asimtomatik. Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah
inkubasi dapat dibagi dalam (1) demam, (2) gangguan saluran pencernaan, dan (3) gangguan
kesadaran
Semua pasien demam tifoid selalu menderita demam pada awal penyakit. Demam
pada pasien demam tifoid disebut step ladder temperature chart yang ditandai dengan demam
timbul indisius, kemudian naik secara bertahap tiap harinya dan mencapai titik tertinggi pada
akhir minggu pertama, setelah itu demam akan bertahan tinggi dan pada minggu ke-4 demam
turun perlahan secara lisis, kecuali apabila terjadi fokus infeksi seperti kolesistitis, abses
jaringan lunak, maka demam akan menetap. Demam lebih tinggi saat sore dan malam hari
dibandingkan dengan pagi harinya. Pada saat demam sudah tinggi pada kasus demam tifoid
dapat disertai gejala sistem saraf pusat seperti kesadaran berkabut atau delirium, atau
penurunan kesadaran
Masa inkubasi rata-rata 7-14 hari, selama dalam masa inkubasi dapat ditemukan
gejala prodromal, yaitu: anoreksia, letargia, malaise, dullness, nyeri kepala, batuk non
produktif, bradicardia. Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam
dan gejala konstitusional seperti nyeri kepala, malaise, anoreksia, letargi, nyeri dan kekakuan
abdomen, pembesaran hati dan limpa, serta gangguan status mental.1 Pada sebagian pasien
lidah tampak kotor dengan putih di tengah sedang tepi dan ujungnya kemerahan juga banyak
dijumpai meteorismus. Sembelit dapat merupakan gangguan gastrointestinal awal dan
kemudian pada minggu kedua timbul diare. Diare hanya terjadi pada setengah dari anak yang
terinfeksi, sedangkan sembelit lebih jarang terjadi. Dalam waktu seminggu panas dapat
meningkat. Lemah, anoreksia, penurunan berat badan, nyeri abdomen dan diare, menjadi
berat. Dapat dijumpai depresi mental dan delirium. Keadaan suhu tubuh tinggi dengan
bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa. Roseola (bercak
makulopapular) berwarna merah, ukuran 2-4 mm, dapat timbul pada kulit dada dan abdomen,
ekstremitas, dan punggung, timbul pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua,
ditemukan pada 40-80% penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari). Jika tidak ada
komplikasi dalam 2-4 minggu, gejala dan tanda klinis menghilang, namun malaise dan letargi
menetap sampai 1-2 bulan.
Fase relaps adalah keadaan berulangnya gejala penyakit tifus, akan tetapi berlangsung
lebih ringan dan lebih singkat. Terjadi pada minggu kedua setelah suhu badan normal
kembali. Terjadi sukar diterangkan, seperti halnya keadaan kekebalan alam, yaitu tidak
pernah menjadi sakit walaupun mendapat infeksi yang cukup berat Menurut teori, relaps
terjadi karena terdapatnya basil dalam organ-organ yang tidak dapat dimusnahkan baik oleh
obat maupun oleh zat anti. Mungkin pula terjadi pada waktu penyembuhan tukak, terjadi
invasi basil bersamaan dengan pembentukan jaringan-jaringan fibroblas. Sepuluh persen dari
demam tifoid yang tidak diobati akan mengakibatkan timbulnya relaps.

Dasar Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan :
1. Anamnesis
Demam yang naik secara bertahap tiap hari, mencapai suhu tertinggi pada akhir minggu
pertama, minggu kedua demam terus menerus tinggi. Anak sering mengigau (delirium),
malaise, letargi, anoreksia, nyeri kepala, nyeri perut, diare atau konstipasi, muntah, perut
kembung. Pada demam tifoid berat dapat dijumpai penurunan kesadaran, kejang, dan ikterus.

2. Pemeriksaan fisik
Gejala klinis bervariasi dari yang ringan sampai berat dengan komplikasi. Kesadaran
menurun, delirium, sebagian besar anak mempunyai lidah tifoid yaitu di bagian tengah kotor
dan bagian pinggir hiperemis, meteorismus, hepatomegali lebih sering dijumpai daripada
splenomegali. Kadang-kadang dijumpai terdengar ronki pada pemeriksaan paru.

3. Pemeriksaan penunjang
 Darah tepi perifer
 Anemia : Pada umumnya terjadi karena supresi sumsum tulang, defisiensi Fe,
atau perdarahan usus.
 Leukopenia :Namun jarang kurang dari 3000/ul
 Limfositosis relatif
 Trombositopenia : Terutama pada demam tifoid berat.
 Pemeriksaan serologi
 Serologi Widal : Kenaikan titer Salmonella typhi titer O 1:200 atau kenaikan 4
kali titer fase akut ke fase konvalesens.
 Kadar IgM dan IgG (Typhidot)
 Pemeriksaan biakan Salmonella
 Biakan darah terutama pada minggu 1-2 dari perjalanan penyakit.
 Biakan sumsum tulang masih positif sampai minggu ke-4.
 Pemeriksaan radiologik
 Foto toraks : Apabila diduga terjadi komplikasi pneumonia.
 Foto abdomen : Apabila diduga terjadi komplikasi intraintestinal seperti
perforasi usus atau perdarahan saluran cerna. Pada perforasi usus tampak
distribusi udara tak merata, tampak air fluid level, bayangan radiolusen di
daerah hepar, dan udara bebas pada abdomen.

Pemerikssaan Fisik
1. Demam
Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat febris remittent dan
tidak terlalu tinggi. Pada minggu I, suhu tubuh cenderung meningkat setiap hari, biasanya
menurun pada pagi hari dan meningkat pada sore hari dan malam hari. Dalam minggu II,
penderita terus berada dalam keadaan demam. Dalam minggu III suhu berangsurangsur
turun dan normal kembali pada akhir minggu III.
2. Gangguan saluran cerna
Pada mulut; nafas berbau tidak sedap, bibir kering, dan pecah- pecah (rhagaden), lidah
ditutupi oleh selaput putih kotor (coated tongue)., ujung dan tepinya kemerahan. Pada
abdomen dapat dijumpai adanya kembung (meteorismus). Hepar dan lien yang membesar
disertai nyeri pada perabaan. Biasanya terdapat juga konstipasi pada anak yang lebih tua
dan remaja, akan tetapi dapat juga normal bahkan terjadi diare pada anak yang lebih muda.

3. Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun walau tidak berapa dalam berupa apatis sampai
somnolen. Jarang terjadi sopr, coma atau gelisah. Disamping gejala-gejala diatas yang
biasa ditemukan mungkin juga dapat ditemukan gejala-gejala lain:
 Roseola atau rose spot; pada punggung, upper abdomen dan, lower chest dapat
ditemukan rose spot (roseola), yaitu bintik-bintik merah dengan diameter 2-4 mm
yang akan hilang dengan penekanan dan sukar didapat pada orang yang bekulit
gelap. Rose spot timbul karena embolisasi bakteri dalam kapiler kulit. Biasanya
ditemukan pada minggu pertama demam.
 Bradikardia relatif; Kadang-kadang dijumpai bradikardia relative yang biasanya
ditemukan pada awal minggu ke II dan nadi mempunyai karakteristik notch
(dicrotic notch).

Pemeriksaan Penunjang
Gambaran klinis pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan
bahkan asimtomatik. Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila
hanya berdasarkan gejala klinis. Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid
perlu ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan. Pemeriksaan laboratorium untuk
membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi,
bakteriologis dan serologis.

1. Pemeriksaan yang menyokong diagnosis.


a. Pemeriksaan darah tepi.
Terdapat gambaran leukopenia, limfositosis relatif dan aneosinofilia pada permulaan
sakit. Mungkin terdapat anemia dan trombositopenia ringan. Pemeriksaan darah tepi ini
sederhana, mudah dikerjakan di laboratorium yang sederhana akan tetapi berguna untuk
membuat diagnosis yang cepat. Pada 2 minggu pertama demam dijumpai leukopenia
dengan neutropenia dan limfositosis relatif. Leukopenia dapat dijumpai tetapi jarang
hingga di bawah 3000/ul. Trombositopenia juga dapat terjadi bahkan dapat berlangsung
beberapa minggu. Adanya leukositosis menunjukkan kemungkinan perforasi usus atau
supurasi. Pada penderita demam tifoid sering dijumpai anemia normositik normokrom.
Anemia normositik normokrom terjadi akibat perdarahan usus atau supresi sumsum
tulang. Pada 20% penderita demam tifoid terjadi perdarahan intestinal tersamar.
b. Pemeriksaan sumsum tulang
Dapat digunakan untuk menyokong diagnosis. Pemeriksaan ini tidak termasuk
pemeriksaan rutin yang sederhana. Terdapat gambaran sumsum tulang berupa hiperaktif
RES dengan adanya sel makrofag, sedangkan system eritropoesis, granulopoesis, dan
trombopoesis berkurang.

2. Pemeriksaan untuk membuat diagnosa


a. Pemeriksaan kultur
Diagnosis pasti dengan Salmonella typhii dapat diisolasi dari darah, sumsum tulang,
tinja, urin, dan cairan duodenum dengan cara dibiakkan dalam media (kultur).
Pengetahuan mengenai patogenesis penyakit sangat penting untuk menentukan waktu
pengambilan spesimen yang optimal. Salmonella typhi dapat diisolasi dari darah atau
sumsum tulang pada 2 minggu pertama demam. Pada 90% penderita demam tifoid, kultur
darah positif pada minggu pertama demam dan pada saat penyakit kambuh. Setelah
minggu pertama, frekuensi Salmonella typhi yang dapat diisolasi dari darah menurun.
Pada akhir minggu ke 3 hanya dapat ditemukan pada 50% penderita, setelah minggu ke 3
pada kurang dari 30% penderita. Sensitifitas kultur darah menurun pada penderita yang
mendapat pengobatan antibiotik. Kultur sumsum tulang lebih sensitif bila dibandingkan
dengan kultur darah dan tetap positif walaupun setelah pemberian antibiotik dan tidak
dipengaruhi waktu pengambilan.2 Salmonella typhi lebih mudah diisolasi dari tinja antara
minggu ke-3 sampai minggu ke-5. Pada minggu pertama hanya 50% Salmonella typhi
dapat diisolasi dari tinja. Frekuensi kultur tinja positif meningkat sampai minggu ke-4 atau
minggu ke-5. Kultur tinja positif setelah bulan ke-4 menunjukkan karier Salmonella typhi.
Pada penderita karier Salmonella typhi dapat dijumpai 1011 organisme per gram tinja.
Salmonella typhi dapat diisolasi dari urin setelah minggu ke-2 demam. Pada 25%
penderita, kultur urin positif pada minggu ke 2-3. Kultur merupakan pemeriksaan baku
emas, akan tetapi sensitifitasnya rendah, yaitu berkisar antara 40-60%. Hasil positif
memastikan diagnosis demam tifoid sedangkan hasil negatif tidak menyingkirkan
diagnosis. Hasil negatif palsu dapat dijumpai bila jumlah kuman atau spesimen sedikit,
waktu pengambilan spesimen tidak tepat atau telah mendapat pengobatan dengan
antibiotik.
Biakan empedu untuk menemukan Salmonella dan pemeriksaan Widal ialah
pemeriksaan yang digunakan untuk menbuat diagnosa tifus abdominalis yang pasti. Kedua
pemeriksaan perlu dilakukan pada waktu masuk dan setiap minggu berikutnya. Pada
biakan empedu, 80% pada minggu pertama dapat ditemukan kuman di dalam darah
penderita. Selanjutnya sering ditemukan dalam urin dan feses dan akan tetap positif untuk
waktu yang lama.

b. Tes Widal
Pada awalnya pemeriksaan serologis standar dan rutin untuk diagnosis demam tifoid
adalah uji Widal yang telah digunakan sejak tahun 1896. Uji serologi Widal memeriksa
antibodi aglutinasi terhadap antigen somatik (O), flagela ( H) banyak dipakai untuk
membuat diagnosis demam tifoid.
Dasar pemeriksaan ialah reaksi aglutinasi yang terjadi bila serum penderita dicampur
dengan suspensi antigen salmonella. Untuk membuat diagnosa dibutuhkan titer zat anti thd
antigen O. Titer thd antigen O yang bernilai 1/200 atau lebih dan atau menunjukkan
kenaikan yang progresif pada pemeriksaan 5 hari berikutnya (naik 4 x lipat)
mengindikasikan infeksi akut. Titer tersebut mencapai puncaknya bersamaan dengan
penyembuhan penderita. Titer thd antigen H tidak diperlukan untuk diagnosa, karena dapat
tetap tinggi setalah mendapat imunisasi atau bila penderita telah lama sembuh. Titer thd
antigen Vi juga tidak utk diagnosa karena hanya menunjukan virulensi dari kuman.
Pada umumnya peningkatan titer anti O terjadi pada minggu pertama yaitu pada hari
ke 6-8. Pada 50% penderita dijumpai peningkatan titer anti O pada akhir minggu pertama
dan 90% penderita pada minggu ke-4. Titer anti O meningkat tajam, mencapai puncak
antara minggu ke-3 dan ke-6. Kemudian menurun perlahan-lahan dan menghilang dalam
waktu 6-12 bulan.
Peningkatan titer anti H terjadi lebih lambat yaitu pada hari ke 10-12 dan akan
menetap selama beberapa tahun. Kurva peningkatan antibody bersilangan dengan kultur
darah sebelum akhir minggu ke 2. Hal ini menunjukkan bahwa kultur darah positif lebih
banyak dijumpai sebelum minggu ke-2, sedangkan anti Salmonella typhi positif setelah
minggu ke-2.
Pada individu yang pernah terinfeksi Salmonella typhi atau mendapat imunisasi, anti
H menetap selama beberapa tahun. Adanya demam oleh sebab lain dapat menimbulkan
reaksi anamnestik yang menyebabkan peningkatan titer anti H. Peningkatan titer anti O
lebih bermakna, tetapi pada beberapa penderita hanya dijumpai peningkatan titer anti H.
Pada individu sehat yang tinggal di daerah endemik dijumpai peningkatan titer antibodi
akibat terpapar bakteri sehingga untuk menentukan peningkatan titer antibodi perlu
diketahui titer antibodi pada saat individu sehat.
Anti O dan H negatif tidak menyingkirkan adanya infeksi. Hasil negatif palsu dapat
disebabkan antibodi belum terbentuk karena specimen diambil terlalu dini atau antibodi
tidak terbentuk akibat defek pembentukan antibodi seperti pada penderita gizi buruk,
agamaglobulinemia, imunodefisiensi atau keganasan. Pengobatan antibiotik seperti
kloramfenikol dan ampisilin, terutama bila diberikan dini, akan menyebabkan titer
antibody tetap rendah atau tidak terbentuk akibat berkurangnya stimulasi oleh antigen.
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin > 1/40 dengan memakai uji Widal
slide aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan
nilai ramal positif 96%. Beberapa klinisi di Indonesia berpendapat apabila titer O aglutinin
sekali periksa > 1/200 atau terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam tifoid dapat
ditegakkan.
Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa lampau,
sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman Salmonella typhi ( karier).
Banyak peneliti mengemukakan bahwa uji serologik Widal kurang dapat dipercaya sebab
tidak spesifik, dapat positif palsu pada daerah endemis, dan sebaliknya.
Uji Widal ini ternyata tidak spesifik oleh karena:
 semua Salmonella dalam grup D ( kelompok Salmonella typhi) memiliki antigen O
yang sama yaitu nomor 9 dan 12, namun perlu diingat bahwa antigen O nomor 12
dimiliki pula oleh Salmonella grup A dan B ( yang lebih dikenal sebagai paratyphi
A dan paratyphi B).
 Semua Salmonella grup D memiliki antigen d-H fase1 seperti Salmonella typhi dan
 titer antibodi H masih tinggi untuk jangka lama pasca infeksi atau imunisasi.

Sensitivitas uji Widal juga rendah, sebab kultur positif yang bermakna pada pasien
tidak selalu diikuti dengan terdeteksinya antibodi dan pada pasien yang mempunyai
antibodi pada umumnya titer meningkat sebelum terjadinya onset penyakit. Sehingga
keadaan ini menyulitkan untuk memperlihatkan kenaikan titer 4 kali lipat. Kelemahan lain
uji Widal adalah antibodi tidak muncul di awal penyakit, sifat antibodi sering bervariasi
dan sering tidak ada kaitannya dengan gambaran klinis, dan dalam jumlah cukup besar
(15% lebih) tidak terjadi kenaikan titer O bermakna.
Hasil negatif palsu pemeriksaan Widal mencapai 30% karena adanya pengaruh terapi
antibiotik sebelumnya. Spesifisitas pemeriksaan Widal kurang baik karena serotype
Salmonella lain juga memiliki antigen O dan H. Epitop Salmonella typhi bereaksi silang
dengan enterobacteriaceae lain sehingga memicu hasil positif palsu.
Sebaiknya tes Widal dilakukan dua kali yaitu pada fase akut dan konvalesen, untuk
mendeteksi adanya peningkatan titer. Diperlukan 2 spesimen dengan interval 7-10 hari,
peningkatan titer anti O dan H minimal empat kali menunjang diagnosis demam tifoid.
Pada beberapa penderita tidak dijumpai peningkatan titer antibodi karena spesimen
diambil pada stadium lanjut, titer antibodi yang tinggi pada daerah endemik atau respon
antibody tidak baik sebagai akibat pemberian antibiotik yang terlalu dini. Akhir-akhir ini
tes Widal dilakukan satu kali pada fase akut. Penilaian hasil tes Widal pada satu spesimen
sangat sulit.
Mengingat hal-hal tersebut di atas, meskipun uji serologi Widal sebagai alat penunjang
diagnosis demam tifoid telah luas digunakan di seluruh dunia, namun manfaatnya masih
menjadi perdebatan. Hingga saat ini pemeriksaan serologik Widal sulit dipakai sebagai
pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut off point)

Pemeriksaan Penunjang Lain


1. Uji TUBEX
Merupakan uji semi-kuantitatif kolometrik yang cepat (beberapa menit) dan
mudah untuk dikerjakan. Uji ini mendeteksi antibodi anti-S.typhi O9 pada serum
pasien, dengan cara menghambat ikatan antara IgM anti-O9 yang terkonjugasi pada
partikel latex yang berwarna dengan lipopolosakarida S.typhi yang terkonjugasi pada
partikel magnetik latex. Hasil positif uji Tubex ini menunjukkan terdapat infeks
Salmoneela serogroup D walau tidak secara spesifik menunjuk pada S.typhi. Infeksi
oleh S.paratyphi akan memberikan hasil negatif.
Secara imunologi, antigen O9 bersifat imunodominan sehingga dapat
merangsang respons imun secara independen terhadap timus dan merangsang mitosis
sel B tanpa bantuan dari sel T. Karena sifat-sifat tersebut, respons terhadap antigen
O9 berlangsung cepat sehingga deteksi terhadap anti-O9 dapat dilakukan lebih dini,
yaitu pada hari ke 4 -5 untuk infeksi primer dan hari ke 2-3 untuk infeksi sekunder.
Perlu diketahui bahwa uji Tubex hanya dapat mendeteksi IgM dan tidak dapat
mendeteksi igG sehingga tidak dapat dipergunakan sebagai modalitas untuk
mendeteksiinfeksi lampau.
Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan 3 macam komponen,
meliputi :
1. Tabung berbentuk V, yang juga berfungsi untuk meningkatkan sensitivitas
2. Reagen A, yang mengandung partikel magnetik yang diselubungi dengan antigen
S. Typhi O9
3. Reagen B, yang mengandung partikel latex berwarna biru yang diselubungi
dengan antibodi monoklonal spesifik untuk antigen O9. Untuk melakukan
prosedur pemeriksaan ini, satu tetes serum (25 L) dicampurkan ke dalam tabung
dengan satu tetes (25 L) reagen A.

Setelah itu dua tetes reagen B (50 L) ditambahkan ke dalam tabung. Hal tersebut
dilakukan pada kelima tabung lainnya. Tabung-tabung tersebut kemudian diletakkan
pada rak tabung yang mengandung magnet dan diputar selama 2 menit dengan
kecepatan 250 rpm. Interpretasi hasil dilakukan berdasarkan warna larutan campurang
yang dapat bervariasi dari kemerahan hingga kebiruan. Berdasarkan warna inilah
ditentukan skor, yang interpretasinya dapat dilihat pada tabel berikut.
Skor Interpretasi
<2 Negatif Tidak menunjuk infeksi tifoid aktif
3 Borderline Pengukuran tidak dapat disimpulkan. Ulangi
pengujian apabila masih meragukan lakukan
pengulangan beberapahari kemudian
4-5 Positif Menunjuk infeksi tifoid aktif
>6 Positif Indikasi kuat infeksi tifoid

Konsep pemeriksaan ini dapat diterangkan sebagai berikut. Jika serum tidak
mengandung antibodi terhadap O9,reagen B ini bereaksi dengan reagen A. Ketika
diletakkan pada daerah mengandung medan magnet (medan rak), komponen
magnet yang dikandung reagen A akan tertarik pada magnet rak,dengan
membawa serta pewarna yang dikandung reagen
2. Uji Typhidot
Uji typhidot dapat mendeteksi antibodi IgM dan IgG yang terdapat pada
protein membran luar Salmonella typhi. Hasil positif pada uji typhidot didapatkan 2-3
hari setelah infeksi dan dapat mengidentifikasi secara spesifik antibodi IgM dan IgG
terhadap antigen S. Typhi seberat 50 kD, yang terdapat pada strip nitroselulosa.
Didapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98&, spesifisitas sebesar 76,6% den
efisiensi uji sebesar 84% pada penelitian yang dilakukan oleh Gopalakhrisnan dkk
(2002) yang dilakukan pada 144 kasus demam tifoid. Pada penelitian lain yang
dilakukan oleh Olsen dkk, didapatkan sensitivitas dan spesifisitasnuji ini hampir sama
dengan uji Tubex yaitu 79% dan 89% dengan 78% dan 89%.
Pada kasus reinfeksi, respons imun sekunder (IgG) teraktivasi secara
berlebihan sehingga IgM sulit terdeteksi. IgG dapat bertahan sampai 2 tahun sehingga
pendeteksian IgG saja tidak dapat digunakan untuk membedakan antara infeksi akut
dengan kasus reinfeksi atau konvalesen pada kasus infeksi primer. Untuk mengatasi
masalah tersebut, uji ini kemudian dimodifikasi dengan menginaktivasi total IgG pada
sampel serum. Uji ini yang dikenal dengan nama uji typhidot-M, memungkinkan
ikatan antara antigen dengan IgM spesifik yang ada pada serum pasien

Diagnosis Banding
1. Campak
Terdapat gejala demam, batuk, pilek, mata merah (konjungtivitis), anoreksia, malaise,
dan gejala khasnya adalah timbulnya enamtem di mukosa bukal (bercak koplik) yang
merupakan tanda patognomonis untuk campak.
2. Demam berdarah dengue derajat I
Pada minggu pertama penyakit ini biasanya tidak ditemukan gejala umum yang khas,
hanya terdapat demam antara 2 hingga 7 hari tanpa adanya manifestasi perdarahan.
3. Meningitis
Penyakit ini mempunyai gejala untuk anak berumur lebih dari 2 tahun adalah panas,
menggigil, muntah, dan nyeri kepala. Selain itu juga adanya kejang, gangguan
kesadaran, serta positifnya tanda-tanda rangsang meningeal seperti kaku kuduk, tanda
Brudzinski dan Kernig.
4. Tuberkulose paru
Pada anak kebanyakan penderita penyakit ini adalah asimptomatik. Keluhan dapat
berupa demam yang sering (sub febril), anoreksia, berat badan menurun, keringat
malam, hemoptoe jarang sekali. Yang terpenting adalah adanya sumber penularan atau
kontak di lingkungan pasien.
5. Malaria
Adanya demam yang turun naik atau intermitten disertai dengan menggigil, diare,
muntah, dan terkadang kejang merupakan beberapa gejala penyakit malaria.
6. Infeksi saluran kemih
Penyakit ini memiliki beberapa gejala seperti demam tanpa diketahui sebabnya, nyeri
perut atau pinggang, tidak dapat menahan kencing, polakisuria, disuria, enuresis, air
kemih berbau dan berubah warna.

Tatalaksana Komplikasi Demam Tifoid


Sebagai suatu penyakit sistemik maka hampir semua organ utama tubuh dapat diserang dan
berbagai komplikasi serius dapat terjadi. Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada
demam tifoid yaitu :
 Komplikasi intestinal : Perdarahan usus, ileus paralitik, pankreatitis
 Komplikasi ekstra-intestinal
- Komplikasi kardiovaskuler : gagal sirkulasi perifer, miokarditis, tromboflebitis
- Komplikasi darah : anemia hemolitik, trombositopenia, KID, trombosis
- Komplikasi paru : pneumonia, empiema, pleuritis
- Komplikasi hepatobilier : hepatitis, kolesistitis
- Komplikasi ginjal : glomerulonefritis, pielonefritis, perinefritis
- Komplikasi tulang : osteomielitis, periostitis, spondilitis, artritis
- Komplikasi neuropsikiatrik / tifoid toksik

KOMPLIKASI INTESTINAL
1. Perdarahan intestinal
Pada plak peyeri usus yang terinfeksi (terutama ileum terminalis) dapat
terbentuk tukak/luka berbentuk lonjong dan memanjang terhadap usus. Bila luka
menembus lumen usus dan mengenai pembuluh darah maka terjadi perdarahan.
Selanjutnya bila tukak menembus dinding usus maka perforasi dapat terjadi.Selain
karena faktor luka, perdarahan juga dapat terjadi karena gangguan koagulasi darah
(KID) atau gabungan kedua faktor. Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat
mengalami perdarahan minor yang tidak membutuhkan transfusi darah. Perdarahan
hebat dapat terjadi hingga penderita mengalami syok. Secara klinis perdarahan akut
darurat bedah ditegakkan bila terdapata perdarahan sebanyak 5 ml/kgBB/jam dengan
faktor hemostasis dalam batas normal.

2. Perforasi usus
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada
minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Selain gejalaumum
demam tifoid yang biasa terjadi maka penderita demam tifoid dengan perfotasi
mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di daerah kuadran kanan bawah yang
kemudian menyebar ke seluruh perut dan disertai dengan tanda-tanda ileus. Bising
usus melemah pada pada 50 % penderita dan pekak hati terkadang tidak ditemukan
karena adanya udara bebas di dalam abnomen. Tanda-tanda perforasi lainnya adalah
nadi cepat, tekanan darah turun, dan bahkan dapat syok. Leukositosis dengan
pergeseran ke kiri dapat menyokong adanya perforasi.
Bila pada gambaran foto polos abdomen, ditemukan udara pada rongga
peritoneum atau subdiafragma kanan, maka hal ini merupakan nilai yang cukup
menentukan terdapatnya perforasi usus pada demam tifoid. Beberapa faktor yang
dapat meningkatkan kejadian adalah perforasi adalah umur (biasanya berumur 20-30
tahun), lama demam, modalitas pengobatan, beratnya penyakit, dan mobilitas
penderita.
Antibiotik diberikan secara selektif bukan hanya untuk mengobati kuman S.
Typhi tetapi juga untuk mengatasi kuman yang bersifat fakultatif dan anaerobik pada
flora usus. Umumnya diberikan antibiotik spektrum luas dengan kombinasi
kloramfenikol dan ampisilin intravena. Untuk kontaminasi usus dapat diberikan
gentamisin/metronidazole. Cairan harus diberikan dalam jumlah yang cukup serta
penderita dipuasakan dan dipasang nasogastric tube. Transfusi darah dapat diberikan
bila terdapat kehilangan darah akibat perdarahan intestinal.

KOMPLIKASI EKSTRA-INTESTINAL
Komplikasi hematologi
Komplikasi hematologi berupa trombositopenia, hipofibrinogenemia, peningkatan
protrombin time, peningkatan partial thromboplastin time, peningkatan fibrin degradation
products sampai koagulasi intravaskuler diseminata (KID) dapat ditemukan pada kebanyakan
pasien demam tifoid. Trombositopenia saja sering dijumpai, hal ini mungkin terjadi karena
menurunnya produksi trombosit di sumsusm tulang selama proses infeksi atau meningkatnya
destruksi trombosit di sistem retikuloendotelial. Obat-obatan juga memegang peranan.
Penyebab KID pada demam tifoid berjumlah jelas. Hal-hal yang sering dikemukakan
adalah endotoksin mengaktifkan beberapa sistem biologik, koagulasi dan fibrinolisis.
Pelepasan kinin, prostaglandin dan histamin menyebabkan vasokonstriksi dan kerusakan
endotel pembuluh darah dan selanjutnya mengakibatkan perangsangan mekanisme koagulasi;
baik KID kompensata maupun dekompensata.
Bila terjadi KID dekompensata dapat dibeikan transfusi darah, substitusi trombosit
dan/atau faktor-faktor koagulasi bahkan heparin, meskipun ada pula yang tidak sependapat
tentang manfaat pemberian heparin pada demam tifoid.

Hepatitis Tifosa
Pembengkakan hati ringan sampai sedang dijumpai pada 50% kasus dengan demam
tifoid dan lebih banyak dijumpai karena S. Typhi daripada S. Paratyphi. Untuk membedakan
apakah hepatitis ini oleh karena tifoid, virus, malaria,amuba maka perlu diperhatikan kelainan
fisik, parameter laboratorium, dan bila perlu histopatologik hati. Pada demam tifoid kenaikan
enzim transaminase tidak relevan dengan kanaikan serum bilirubin (untuk membedakan
dengan hepatitis oleh karena virus). Hepatitis tifosa dapat terjadi pada pasien dengan
malnutrisi dan sistem imun yang kurang. Meskipun sangat jarang, komplikasi
hepatoensefalopati dapat terjadi.

Pankreatitis tifosa
Merupakan komplikasi yang jarang terjadi pada demam tifoid. Pankreatitis sendiri
dapat disebabkan oleh mediator pro inflamasi, virus, bakteri, cacing, maupun zat-zat
farmakologik. Pemeriksaan enzim amilase dan lipase serta ultrasonografi / CT scan dapat
membantu diagnosis penyakit ini dengan akurat.

Miokarditis
Miokarditis terjadi pada 1-5% penderita demam tifoid sedangkan kelainan
elektrokardiografi dapat terjadi pada 10-15% penderita. Pasien dengan miokarditis biasanya
tanpa gejala kardiovaskuler atau dapat berupa keluhan sakit dada, gagal jantung kongestif,
aritmia, atau syok kardiogenik. Sedangkan perikarditis jarang terjadi. Perubahan
elektrokardiografi yang menetap disertai aritmia mempunyai prognosis yang buruk.Kelainan
ini disebabkan kerusakan miokardium oleh kuman S.typhi dan miokarditis sering sebagai
penyebab kematian. Biasanya dijumpai pada pasien yang sakit berat, keadaan akut dan
fulminan.

TATALAKSANA
Penderita yang harus dirawat dengan diagnosis praduga demam tifoid harus dianggap dan
dirawat sebagai penderita demam tifoid yang secara garis besar ada 3 bagian yaitu:
perawatan
diet
obat

Perawatan
Penderita demam tifoid perlu dirawat di rumah sakit untuk isolasi, observasi serta
pengobatan. Penderita harus istirahat 5-7 hari bebas panas, tetapi tidak harus tirah baring
sempurna seperti pada perawatan demam tifoid di masa lampau. Mobilisasi dilakukan
sewajarnya, sesuai dengan situasi dan kondisi penderita. Pada penderita dengan kesadaran
yang menurun harus diobservasi agar tidak terjadi aspirasi serta tanda-tanda komplikasi
demam tifoid yang lain termasuk buang air kecil dan buang air besar perlu mendapat
perhatian. Mengenai lamanya perawatan di rumah sakit sampai saat ini sangat bervariasi dan
tidak ada keseragaman, sangat tergantung pada kondisi penderita serta adanya komplikasi
selama penyakitnya berjalan.

Diet
Di masa lampau, penderita diberi makan diet yang terdiri dari bubur saring, kemudian
bubur kasar dan akhirnya nasi sesuai dengan tingkat kekambuhan penderita. Banyak
penderita tidak senang diet demikian, karena tidak sesuai dengan selera dan ini
mengakibatkan keadaan umum dan gizi penderita semakin mundur dan masa penyembuhan
ini menjadi makin lama. Beberapa penelitian menganjurkan makanan padat dini yang wajar
sesuai dengan keadaan penderita dengan memperhatikan segi kualitas maupun kuantitas
ternyata dapat diberikan dengan aman. Kualitas makanan disesuaikan kebutuhan baik kalori,
protein, elektrolit, vitamin maupun mineralnya serta diusahakan makan yang rendah/bebas
selulose, menghindari makan iritatif sifatnya. Pada penderita dengan gangguan kesadaran
maka pemasukan makanan harus lebih diperhatikan. Ternyata pemberian makanan padat dini
banyak memberikan keuntungan seperti dapat menekan turunnya berat badan selama
perawatan, masa di rumah sakit sedikit diperpendek, dapat menekan penurunan kadar
albumin dalam serum, dapat mengurangi kemungkinan kejadian infeksi lain selama
perawatan.

Obat-obatan
Dem am tifoid merupakan penyakit infeksi dengan angka kematian menurun secara
drastis(1-4%). Obat-obat antimikroba yang sering digunakan antara lain:
- Kloramfenikol
- Tiamfenikol
- Co trimoxazol
- Ampisilin
- Amoksisilin
- Seftriakson
- Sefiksim

Kloramfenikol
Bekerja dengan menghambat sintesis protein kuman. Obat ini terikat pada ribosom
subunit 50s dan menghambat enzim peptidil transferase sehingga ikatan peptide tidak
terbentuk pada proses sintesis protein kuman. Meskipun telah dilaporkan adanya resistensi
kuman Salmonella terhadap kloramfenikol di berbagai daerah. Kloramfenikol tetap
digunakan sebagai drug of choice pada kasus demam tifoid, karena sejak ditemukannya obat
ini oleh Burkoder (1947) sampai saat ini belum ada obat antimikroba lain yang dapat
menurunkan demam lebih cepat, di samping harganya murah dan terjangkau oleh penderita.
Di lain pihak kekurangan kloramfenikol ialah reaksi hipersentifitas, efek toksik pada system
hemopoetik (depresi sumsum tulang, anemia apastik), Grey Syndrome, kolaps serta tidak
bermanfaat untuk pengobatan karier. Dalam pemberian kloramfenikol tidak terdapat
keseragaman dosis, dosis yang dianjurkan ialah 50-100 mg/kg.bb/hari, oral atau IV, dibagi
dalam 4 dosis selama 10-14 hari serta untuk neonates sebaiknya dihindarkan, bila terpaksa
dosis tidak boleh melebihi 25 mg/kgbb/hari.
Tiamfenikol
Mempunyai efek yang sama dengan kloramfenikol, mengingat susunan kimianya
hampir sama hanya berbeda pada gugusan R-nya. Dengan pemberian tiamfenikol demam
turun setelah 5-6 hari, hanya komplikasi hematologi pada penggunaan tiamfenikol lebih
jarang dilaporkan, sedangkan strain salmonella yang resisten terhadap tiamfenikol. Dosis oral
yang dianjurkan 50-100 mg/kg.bb/hari.

Co Trimoxazole
Efektifitasnya terhadap demam tifoid masih banyak pendapat yang kontroversial.
Kelebihan co trimoxazole antara lain dapat digunakan untuk kasus yang resisten terhadap
kloramfenikol, penyerapan di usus cukup baik, kemungkinan timbulnya kekambuhan
pengobatan lebih kecil dibandingkan kloramfenikol. Kelemahannya ialah terjadi skin rash (1-
15%). Steven Johnson sindrome, agranulositosis, tromositopenia, megaboblastik anemia,
hemolisis eritrosit terutama pada penderita defisiensi G6PD. Dosis oral: 30-40 mg/kg.bb/hari
dari sulfametoxazole dan 6-8 mg/kg.bb/hari, oral, selama 10 hari untuk trimetoprim,
diberikan dalam 2 kali pemberian.

Ampisilin dan Amoksisilin


Merupakan derivat penisilin yang digunakan pada pengobatan demam tifoid, terutama
pada kasus yang resisten terhadap kloramfenikol, tetapi pernah dilaporkan adanya Salmonella
yang resisten terhadap ampisilin di Thailand. Ampisilin umumnya lebih lambat menurunkan
demam bila dibandingkan dengan kloramfenikol, tetapi lebih efektif untuk mengobati karier
serta kurang toksisitas. Kelemahannya dapat terjadi skin rash (3-18%), diare (11%).
Amoksisilin mempunyai daya antibakteri yang sama dengan ampisilin, tetapi penyerapan
peroral lebih baik, sehingga kadar obat yang tecapai 2 kali lebih tinggi, timbulnya
kekambuhan lebih sedikit (2%-5%) dan karier (0-5%). Dosis yang dianjurkan: Ampisilin
100-200 mg/kg.bb/hari, oral atau IV selama 10 hari Amoksisilin 100 mg/kg.bb/hari,
Pengobatan demam tifoid yang menggunakan obat kombinasi tidak memberikan keuntungan
yang lebih baik bila diberikan obat tunggal.

Seftriakson
Lebih aman dari Kloramfenikol. DOC jika terdapat resistensi terhadap kloramfenicol.
Seftriakson tersedia dalam bentuk bubuk obat suntik. Dosisnya 80 mg/kgbb/hari, IV atau IM,
sekali sehari, 5 hari.

Sefiksim
10mg/kgbb/hari, oral, dibagi dalam 2 dosis, selama 10 hari.

Kortikosteroid
Hanya diberikan dengan indikasi yang tepat karena dapat menyebabkan perdarahan
usus dan relaps. Tetapi pada kasus berat maka penggunaan kortikosteroid secara bermakna
menurunkan angka kematian. Diberikan pada kasus berat dengan gangguan kesadaran.
Dexametason 1- 3mg/kgbb/hari intravena, dibagi 3 dosis hingga kesadaran membaik.

Antipiretik
Diberikan apabila demam > 39oC, kecuali pada riwayat kejang demam dapat
diberikan lebih awal.

Lain-lain
Transfusi darah Kadang-kadang diperlukan pada perdarahan saluran cerna dan
perforasi usus. Bedah Konsultasi Bedah Anak apabila dijumpai komplikasi perforasi usus.

Monitoring
Evaluasi demam reda dengan memonitor suhu. Apabila pada hari 4- 5 setelah
pengobatan demam tidak reda, maka segera harus dievaluasi adakah komplikasi, sumber
infeksi lain, resistensi Salmonella typhi terhadap antibiotik, atau kemungkinan salah
menegakkan diagnosis. Pasien dapat dipulangkan apabila tidak demam selama 24 jam tanpa
antipiretik, nafsu makan membaik, klinis perbaikan dan tidak dijumpai komplikasi.
Pengobatan dapat dilanjutkan di rumah.

Pencegahan
Higiene perorangan dan lingkungan
 Demam tifoid ditularkan melalui rute oro fekal, maka pencegahan utama memutuskan
rantai tersebut dengan meningkatkan higiene perorangan dan lingkungan, seperti
mencuci tangan sebelum makan, penyediaan air bersih, dan pengamanan pembuangan
limbah feses, pemberantasan lalat, pengawasan terhadap kebersihan penjual makanan.
Secara umum, untuk memperkecil kemungkinan tercemar Salmonella typhi, maka
setiap individu harus memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang mereka
konsumsi. Salmonella typhi dalam air akan mati apabila dipanaskan setinggi 57°C
beberapa menit atau dengan proses iodinasi/ klorinasi. Untuk makanan, pemanasan
sampai suhu 57oC beberapa menit dan secara merata juga dapat mematikan kuman
Salmonella typhi. Penurunan endemisitas suatu negara atau suatu daerah tergantung
pada baik buruknya pengadaan sarana air dan pengaturan pembuangan sampah serta
tingkat kesadaran individu terhadap hygiene pribadi.

Imunisasi
 Imunisasi aktif dapat membantu menekan angka kejadian demam tifoid. Beberapa
vaksin telah ditemukan untuk mencegah demam tifoid, bentuknya berupa vaksin
demam tifoid oral, dan vaksin polisakarida parenteral.

Vaksin Demam Tifoid Oral


 Vaksin demam tifoid oral dibuat dari kuman Salmonella typhi galur non patogen yang
telah dilemahkan. Kuman dalam vaksin akan mengalami siklus pembelahan dalam
usus dan dieliminasi dalam waktu 3 hari setelah pemakaiannya. Tidak seperti vaksin
parenteral, respon imun pada vaksin ini termasuk sekretorik IgA. Secara umum
efektivitas vaksin oral sama dengan vaksin parenteral yang diinaktivasi dengan
pemanasan, namun vaksin oral mempunyai reaksi samping lebih rendah. Vaksin tifoid
oral dikenal dengan nama Ty- 21a. Penyimpanannya pada suhu 2oC-8oC. Kemasan
dalam bentuk kapsul, untuk anak umur 6 tahun atau lebih.
 Cara pemberian 1 kapsul vaksin dimakan setiap hari ke 1,3,5 satu jam sebelum makan
dengan minuman yang tidak lebih dari 37°C. Kapsul ke 4 pada hari ke 7, diberikan
terutama bagi turis. Kapsul harus ditelan utuh dan tidak boleh dibuka karena kuman
dapat mati oleh asam lambung. Vaksin tidak boleh diberikan bersamaan dengan
antibiotik, sulfonamid, atau anti malaria yang aktif terhadap Salmonella. Karena
vaksin ini juga menimbulkan respon yang kuat dari interferon mukosa, pemberian
vaksin polio oral sebaiknya ditunda dua minggu setelah pemberian terakhir dari
vaksin tifoid ini. Imunisasi ulangan diberikan setiap 5 tahun. Namun pada individu
yang terus terekspos dengan infeksi Salmonella sebaiknya diberikan 3-4 kapsul setiap
beberapa tahun. Daya proteksi vaksin ini hanya 50-80%, maka yang sudah divaksinasi
juga dianjurkan untuk melakukan seleksi pada makanan dan minuman.

Vaksin Polisakarida Parenteral


 Susunan vaksin polisakarida setiap 0,5ml mengandung kuman Salmonella typhi,
polisakarida 0,025mg, fenol, dan larutan buffer yang mengandung natrium klorida,
disodium fosfat, monosodium fosfat, dan pelarut untuk suntikan. Penyimpanan pada
suhu 2°C-8oC, jangan dibekukan. Vaksin ini akan kadaluarsa dalam jangka waktu 3
tahun. Pemberian secara intramuskuler atau subkutan pada daerah deltoid atau paha.
Imunisasi ulangan dilakukan tiap 3 tahun. Reaksi samping lokal dari vaksinasi ini
berupa bengkak, nyeri, kemerahan di tempat suntikan. Reaksi sistemik yang dapat
timbul yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri sendi, nyeri otot, nausea, nyeri perut
tapi jarang dijumpai. Sangat jarang terjadi reaksi alergi berupa pruritus, ruam kulit,
dan urtikaria. Kontraindikasi pemberian vaksin ini adalah pasien yang alergi terhadap
bahan-bahan dalam vaksin, saat demam, penyakit akut, penyakit kronik progresif.
Daya proteksi 50-80%, maka yang sudah divaksinasi juga dianjurkan untuk
melakukan seleksi pada makanan dan minuman.

Prognosis
Prognosis pasien Demam Tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan kesehatan
sebelumnya, dan ada atau tidaknya komplikasi. Di Negara maju, dengan terapi antibiotik
yang adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara berkembang, angka mortalitasnya >10%,
mortalitas pada penderita yang dirawat 6%, biasanya karena keterlambatan diagnosis,
perawatan, dan pengobatan yang meningkatkan kemungkinan komplikasi dan waktu
pemulihan.19 Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S.ser Typhi ≥
3 bulan setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis. Risiko menjadi karier pada anak-
anak rendah dan meningkat sesuai usia. Karier kronik dapat terjadi pada 1-5% dari seluruh
pasien demam tifoid. Insidens penyakit traktus biliaris lebih tinggi pada karier kronis
dibandingkan dengan populasi umum. Sebanyak 5% penderita demam tifoid kelak akan
menjadi karier sementara, sedangkan 2% yang lain akan menjadi karier kronis. Umumnya
prognosis tifus abdominalis pada anak baik asal penderita cepat datang berobat dan istirahat
total. Prognosis menjadi buruk bila terdapat gejala klinis yang berat seperti:
- Hiperpireksia atau febris kontinua
- Kesadaran yang menurun sekali; sopor, koma, delirium.
- Komplikasi berat; dehidrasi dan asidosis, peritonitis, bronkopneumonia.
- Keadaan gizi buruk (malnutrisi energi protein)
Daftar Pustaka

W. Sudoyo, Aru, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbit FKUI, 2006:
1774-1779.

Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS. Buku ajar ilmu kesehatan anak infeksi dan
penyakit tropis., ed 1. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia: h.367-75.

Rampengan TH. Penyakit infeksi tropik pada anak, ed 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC, 2008: h.46-62.

Pusponegoro HD, dkk. Standar pelayanan medis kesehatan anak, ed 1. Jakarta : Ikatan
Dokter Anak Indonesia, 2004: h.91-4. .

Chin, James. Penularan Pemberantasan Penyakit Menular. Jakarta : Bakti Husada, 2000 :
556-557.

Risky Vitria Prasetyo, Ismoedijanto. Metode Diagnostik Demam Tifoid pada Anak. Bagian
Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR/RSU Soetomo. Surabaya.2005

Parry CM. Typhoid fever. N Engl J Med 2002;347(22):1770-82.

Sulistia G,Ganiswarna.dkk. Farmakologi dan Terapi cetakan ke 4. Gaya Baru, Jakarta.FKUI


,2006.

Prof.DR.dr.Sri Rezeki S.Hadinegoro, SpA(K).Demam Tifoid pada Anak.


Medicastore.21/07/2008.

NN. Mengenal demam typhoid. Available from


:http://abughifari.blogspot.com/2008/11/mengenal-demam-typhoid.html (updated 2008
November 1st, cited : 2009 July 28th).

Hassan R, dkk. Buku kuliah ilmu kesehatan anak 2, ed 11. Jakarta : Percetakan Infomedika,
2005: h.592-600.

NN. Demam typhoid. Available from : http://cetrione.blogspot.com/2008/11/demam-


typhoid.html (updated 2008 November 13th, cited : 2009 July 28th).
NN. Demam tifoid (typhoid fever). Available from :
http://www.jevuska.com/2008/05/10/demam-tifoid-typhoid-fever (updated 2008, cited : 2009
July 28th).

Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. Nelson textbook of pediatrics, 18th ed.
Philadelphia, 2007: p.1186-1190.

You might also like