You are on page 1of 19

BAB I

PENDAHULUAN

Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat


tanduk,misalnya stratum korneum pada epidermis ,rambut dan kuku yang
disebabkan jamur golongan dermofita.Dermofita merupkan golongan jamur yang
mencerna keratin.1.Dermofita termasuk kelas fungi imperfecti yang terbagi dalam
3 genus yaitu Microsporum,Trichyopyton,dan Epidermophyton.Hingga kini
dikenal sekitar 41 spesies dermatofita yang terbagi dari 2 spesies epidermohyton
,17 spesies Microsporium,dan 21 spesies trichophyton.Dermatofitosis dibagi
berdasarkan lokasi seingga dikenal bentuk tinea kapitis,tinea barbe,tinea pedis et
manum,tinea unguium,dan tinea korporis.1,2

Tinea kapitis (ringworm of the scalp) merupakan dermatofitosis pada kulit


kepala dan berhubungan dengan rambut yang disebabkan oleh spesies
Mikrosporum dan Trichophyton.4.Terdapat 3 cara penularan dermatofita yaitu
infeksi antrofilik,infeksi zoofilik dan infeksi geofilik4

Tinea kapitis merupakan penyakit jamur yang sering terjadi pada anak-
anak dibandingkan orang dewasa.Faktor yang dapat menyebabkan terjadinnya
tinea kapitis adalah higiennitas yang buruk,kepadatan penduduk dan status social
ekonomi yang rendah2,3,4,5.

Di Negara-negara maju Trichopyton Tonsurans merupakan penyebab


paling umum,sedangkan di Negara-negara berkermbang paling umum adalah
Mikrosporum canis.5

Kelainan pada tinea capitis dapat ditandai dengan lesi


bersisisk,kemerahan,alopesia dan kadang terjadi gambaran lebih berat yang
disebut Korion.Dalam klinik tinea kapitis dapat dilihat sebagai 3 bentuk yaitu
gray patch,kerion,dan black dot ringworm1

1
Untuk menegakkan diagnosis maka dibutuhkan pemeriksaan penunjang
seperti lampu wood,mikroskopis menggunakan KOH dengan mengambil sampel
dengan kerokan pada lesi.1,2,6

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Tinea kapitis adalah suatu infeksi pada kulit kepala dan rambut yang
disebabkan oleh dermatofita.1,3 Dermatofita merupakan golongan jamur yang
menyebabkan dermatofitosis yang mempunyai sifat mencerna keratin.1
B. Epidemiologi
Tinea kapitis sudah merupakan penyakit yang sudah dianggap sebagai
masalah hesehatan yang serius pada beberapa decade yang sering muncul
pada anak-anak usia antara 3 sampai 14 tahun.3,5 Namun pada orang dewasa
jarang terjadi,hal ini terjadi akibat perubahan pada PH kulit kepala dan
peningkatan asam lemak yang berguna sebagai proteksi atau sebagai jamur
static.4,5,7
Tinea kapitis sering terjadi pada pedesaan dan transmisi meningkat
dengan heigenitas yang buruk,kepadatan penduduk dan status sosial ekonomi
yang rendah3,5 Kejadian pada orang dewasa hanya sering terjadi pada wanita
dibandingkan dengan laki-laki,pada orang dengan imunitas yabg rendah,pada
orang yang berkulit hitam dibandingkan dengan kulit putih.4,7 Ada tiga cara
penularan dermatofita yaitu :4
a) Infeksi antrofofilik yang menyebar dari satu anak dengan anak yang
lain dapat hadir sebagai kasus sporadis. Terjadi penyebaran dengan
melalui kontak lansung atau melalui kontak udara dari spora dan
penyebaran tidak langsung yaitu terkontaminasi dengan benda-benda
seperti :sisir,sikat,topi dan lain sebagainya.
b) Infeksi menyebar dari hewan ke anak (infeksi zoofilik) melalui kontak
langsung maupun dengan lingkungan disekitar hewan yang terinfeksi
seperti karpet,pakaian fornitur dan lain sebagainnya.3
c) Infeksi menyebar dari tanah ke manusia (infeksi geofilik) namun
jarang terjadi.3

3
C. Etiologi
Tinea kapitis terjadi akibat dermatofita spesies Microsporum dan
Trichophyton.1,3 Setiap negara dan daerah memiliki perbedaan pada spesies
penyebab tinea kapitis,misalnya di amerika serikat dan Eropa Barat 90%
kasus tinea kapitis disebabkan oleh T.tonsurans dan jarang didebablkan oleh
M.canis,sedangkan di Eropa Timur Selatan serta Afrika Utara disebabkan
oleh T.violaceum.7 Di Inggris kasus terbanyak disebabkan oleh infeksi
M.Canis yang didapatkan dari kucing7 Spesies penyebab terjadinya tinea
kapitis black dot terutama disebabkan oleh Tricophyton Tonsurans
,T.veolaceum,dan T.Mentagrophytes.Penyebab utama tinea kapitis kerion
adalah Microsporum Canis,Mikrosporum gypseum,T.tonsurans,dan
T.veolaceum.Sedangkan pada tinea favus disebabkan oleh spesies
T.schoenleinii,T.violaceum,dan M.Gypseum.8
D. Klasifikasi9
1. Infeksi Ektothrix
Invasi terjadi batang rambut luar.Hifa fragmen ke arthroconidia
menyebabkan kerusakan kutikula.Infeksi ini disebabkan oleh Mirosporum
spp.(M.audouinii dan M.canis)
2. Infeksi Endothrix
Infeksi yang terjadi pada batang rambut tanpa kerusakan
kutikula.Arthroconidia ditemukan dalam batang rambut.Infeksi ini
disebabkan oleh Tricophyton spp (T.tonsurans di America Utara ,T
violaceum di Eropa,Asia,sebagian afrika).
 Black dot Tinea kapitis
Merupakan varian endothrix yang mempunyai dermatitis seboroik.
 Kerion
Merupakan varian endothrix dengan plak inflamasi.
 Favus
Merupakan varian endothrix dengan arthronidia dalam batang
rambut.Sangat jarang di Eropa Barat dan Amerika Utara.Di

4
beberapa bagian dunia (Timur Tengah,Africa Selatan) masih
endemic.9

E. Patogenesis
Infeksi dermatofita melibatkan 3 step utama, yaitu:3

1) Perlekatan pada keratinosit jamur superficial harus melewati berbagai


rintangan untuk bisa melekat pada jaringan keratin diantaranya sinar
ultraviolet, suhu, kelembapan, kompetisi dengan flora normal dan
sphingosin yang diproduksi oleh keratinosit serta asam lemak yang
diproduksi oleh glandula sebasea juga bersifat fungistatik.
2) Penetrasi melewati dan di antara sel setelah terjadi perlekatan, spora
berkembang dan menembus stratum korneum dengan kecepatan yang
lebih cepat daripada proses sekresi proteinase, lipase dan enzim
mucinolitik, yang juga menyediakan nutrisi untuk jamur. Trauma dan
maserasi juga membantu memfasilitasi penetrasi jamur ke jaringan.
Pertahanan baru muncul ketika jamur mencapai lapisan terdalam dari
epidermis.

5
3) Pembentukan respon penjamu derajat inflamasi dipengaruhi oleh status
imun pasien dan organisme yang terlibat. Reaksi hipersensitivitas tipe
IV, atau Delayed Type Hypersensitivity (DHT) memainkan peran yang
sangat penting dan melawan dermatofita. Pada pasien yang belum
pernah terinfeksi dermatofita sebelumnya, infeksi primer menyebabkan
inflamasi minimal dan trichopiton tes hasilnya negative. Infeksi
menghasilkan sedikit eritema dn skuama yang dihasilkan oleh
peningkatan pergantian keratinosit. Antigen dermatofita diproses oleh
sel langerhans epidermis dan dipresentasikan dalam limfosit T di
nodus limfe. Limfosit T melakukan proliferasi dan bermigrasi
ketempat yang terinfeksi untuk menyerang jamur. Pada saat ini lesi
tiba-tiba menjadi inflamasi, dan barrier epidermal menjadi permeable
terhadap transferrin dan sel-sel bermigrasi. Segera jamur hilang dan
lesi secara spontan menjadi sembuh.

Dermatofit ectothrix merupakan bentuk infeksi pada perifolikel


stratum korneum kemudian menyebar ke sekitar dan ke dalam batang
rambut dari pertengahan hingga akhir anagen rambut sebelum masuk ke
folikel untuk menembus korteks rambut.3,6 arthroconidia kemudian
mencapai korteks rambut sehingga pada pemeriksaan mikroskopis pada
sediaan rambut yang diambil akan ditemukan arthroconidia dan dapat juga
ditemukan hifa intrapilari. Invasi rambut oleh dermatofita, terutama M.
audouinii ( anak ke anak, melalui tukang cukur, topi, kursi teater ), M.
canis ( muda hewan peliharaan ke anak dan kemudian anak ke anak ), atau
T. tonsurans.3,6

Patogenesis pada arthroconidia endothrix sama seperti ectothrix yaitu


awalnya menyerang stratum korneum dari kulit kepala, yang dapat diikuti
oleh infeksi pada batang rambut namun arthroconidia tetap didalam batang
rambut, menggantikan keratin intrapilari dan meninggalkan korteks yang
intak.3,6 Hal ini yang menyebabkan rambut menjadi sangat rapuh dan pada
permukaan kulit kepala akan ditemukan folikel yang hilang, meninggalkan

6
titik hitam kecil ‘‘black out’’ serta inflamasi yang parah yang ditemukan
pada semua kasus.3,6

F. Manifestasi klinis
Tinea kapitis dapat hadir dengan beberapa gejala klinis, tergantung
jenis organisme, jenis invasi pada rambut, tingkat resistensi dan respon
inflamasi.6 Manifestasi klinis tinea kapitis pada tiap negara bervariasi dari
rambut kusam, rambut patah dengan skala ringan sampai berat, nyeri,
inflamasi. Kelainan pada tinea kapitis dapat di tandai dengan lesi bersisik,
kemerah-merahan, alopesia dan kadang terjadi gambaran yang lebih berat
yang disebut korion, limfadenopati servical dan oksipital.1,6

1) Non-inflamasi atau gray patch.1,3,6


Gejala klinis terutama disebabkan oleh M. Audouinii dan M.
Ferrigenium yang sering ditemukan pada anak-anak. Penyakit timbul
akibat invasi rambut ektothrix. Lesi bermula dari papul eritematosa yang
kecil disekitar rambut, kemudian papul akan melebar dan membentuk
bercak yang menjadi pucat dan bersisik mengelilingi batang rambut dan
akhirnya menyebar secara sentrifugal yang melibatkan folikel rambut
disekitarnya. Keluhan penderita adalah rasa gatal, warna rambut menjadi
abu-abu dan tidak berkilau. Rambut mudah dicabut dengan pinset tanpa
rasa nyeri yang menyebabkan alopesia setempat.

7
Gambar 2.2 Tinea Kapitis ‘‘Gray Patch’’3,7

2) Black dot 1,3,6


Gejala yang timbul disebabkan oleh T. tonsurans dan T. violaceum.
Lokasi arthrospores berada didalam batang rambut yang membuat rambut
menjadi rapuh. Pada permulaan penyakit, gambaran klinis menyerupai
kelainan yang disebabkan oleh genus Microsporum. Rambut yang
terinfeksi akan patah tepat pada muara folikel dan yang tertinggal adalah
ujung rambut yang penuh dengan spora. Ujung rambut didalam folikel
akan muncul gambaran ‘‘black dot’’ pada pemeriksaan klinis. Pada skala
yang luas dengan rambut rontok yang minimal dan peradangan dapat
menyerupai dermatitis seboroik atau psoriasis. Pada infeksi black dot
sering terjadi inflamasi dimana peradangan terjadi dari folikulitis ke rion.
Pada beberapa kasus tinea kapitis black dot juga dapat ditemukan
gangguan pada kuku dan rambut yang hilang.

8
Gambar 2.3 Tinea Kapitis ‘‘Black Dot’’3,7

3) Kerion1,3,6,8
Kerion merupakan jenis tinea kapitis yang bersifat inflamasi dan
merupakan tinea kapitis dengan peradangan yang berat. Hal ini disebabkan
oleh organisme zoofilik seperti T. verrucosum dan T. mentogrophyte atau
dermatofit geophilik seperti M. gypseum. Reaksi peradangan berupa
pembengkakan yang menyerupai sarang lebah dengan serbukan sel radang
yang padat disekitarnya sehingga pada kulit kepala tampak bisul-bisul
kecil yang berkelompok dan kadang-kadang ditutupi sisik-sisik tebal.
Kelainan ini dapat menimbulkan jaringan parut (sikatriks) dan berakibat
alopesia yang menetap. Jaringan parut yang menonjol kadang-kadang
dapat terbentuk. Tinea kapitis antrhopophilik dapat tiba-tiba menjadi
inflamasi dan berkembang menjadi kerion akibat hipersensitivitas yang
tinggi.

9
Gambar 2.4 Kerion pada Kulit Kepala3

4) Favus3,6,8
Favus merupakan gejala tinea yang jarang, gejala disebabkan T.
schoenleinii. Organisme ini dapat mempengaruhi kulit dan kuku juga hal
ini di tandai dengan warna krusta kekuningan yang dikenal sebagai skutula
disekitar rambut. Skutula memiliki bau yang khas yaitu berbau tikus
‘‘moussy odor’’ dan rambut secara ekstensif akan menghilang menjadi
alopesia dan atrofi.

Gambar 2.5 Tinea Kapitis Favus3,9

10
G. Diagnosa banding
1. Dermatitis seboroik
Peradangan kulit yang sering terdapat pada daerah tubuh berambut,
terutama pada kulit kepala, alis mata, muka, dan superfisial. Penyebabnya
belum diketahui pasti hanya didapatkan aktivitas kelenjar sebasea
berlebihan.dermatitis seboroik dijumpai pada bayi dan usia setelah
pubertas, kemungkinan ada pengaruh hormon. Pada dermatitis seboroik
kepala di daerah yang berambut dijumpai skuama yang berminyak dengan
warna yang kekuning-kuningan sehingga rambut saling melengket,
kadang-kadang dijumpai krusta yang disebut pityriasis oleosa. Kadang-
kadang skuama kering dan berlapis-lapis serta sering lepas sendiri, disebut
pityriasis sika.7

2. Dermatitis atopik
Dermatitis atopik adalah dermatitis yang terjadi pada orang yang
mempunyai riwayat atopi. Atopi ini diperkenalkan pertama kali oleh coca
dan cooke. Atopi selama masa anak-anak yang berhubungan dengan
peningkatan kadar IgE dalam serum dan factor genetic dimana dipengaruhi
oleh kromosom 5q31-33. Manifestasi klinis di dapatkan pruritus hilang
timbul sepanjang hari namun hebat pada malam hari, sehingga penderita
akan menggaruk dan timbul berupa papul, likentifikasi, eritema, erosi,
ekskoriasi, eksudasi, krusta. Predileksi pada anak biasanya di muka dan
pipi sedangkan dewasa pada lipat siku, lipat lutut, samping leher dan
sekitar mata.7

3. Psoriasis
Psoriasis adalah penyakit yang penyebabnya autoimun bersifat
kronik dan residif, di tandai dengan adanya bercak-bercak eritema berbatas
tegas dengan skuama yang kasar, berlapis-lapis dan transparan disertai
fenomena tetesan lilin, auspitz dan kobner. Penyakit ini mengenai semua
umur namun umumnya pada dewasa dan pria lebih banyak dibandingkan

11
wanita. Predileksi psoriasis adalah scalp, ekstremitas bagian ekstensor
terutama siku dan lutut serta lumbosacral.7

4. Alopesia Areata
Etiologi alopesia areata sampai sekarang belum diketahui namun
sering dihubungkan dengan infeksi fokal, kelainan endokrin dan stres
emosional. Gejala klinis terdapat bercak berbentuk bulat atau lonjong dan
terjadi kerontokan rambut pada kulit kepala, alis, janggut, dan bulu mata.
Pada tepi daerah yang botak ada rambut yang terputus, bila dicabut terlihat
bulbus yang atrofi. Pada pemeriksaan histopatologi ditemukan rambut
banyak dalam fase anagen folikel rambut terdapat berbagai ukuran, tetapi
lebih kecil dan tidak matang, bulbus rambut didalam dermis dan
dikelilingi oleh infiltrasi limfosit.7

5. Pseudopelade Brocq
Pseudopelade brocq memiliki manifestasi yaitu kebotakan
yangdisertai kerusakan folikel rambut sehingga tampak sebagai bercak
parut multiple yang bulat, lonjong atau tidak teratur dengan ukuran
nummular dan berwarna merah muda dengan permukaan yang berkilat.
Pada pemeriksaan histopatologi didapatkan reaksi inflamasi disekitar
folikel dan perivascular, atrofi epidermis, dan fibrosis tampak pada dermis.

H. Diagnosis
Diagnosis tinca kapitis ditegakkan berdasarkan pada hasil gejala
klinis dan hasil tes laboraturium. Tes laboraturium yang dapat digunakan
yaitu :
1. Lampu Wood1,6,9
Filter sinar ultraviolet (Wood Lamp) memunculkan fluoresensi hijau
dari beberapa jamur dermatofia, terutama spesies Microsporum. Lampu
Wood adalah prosedur screening yang berguna untuk mengambil specimen
dan Infeksi Microsporum. Pada grey patch ringworm dapat dilihat

12
fluoresensi hijau kekuning-kuningan pada rambut yang sakit melampaui
batas-batas grey patch.
2. Pemeriksaan KOH1,6,9
Pemeriksaan langsung sediaan basah dilakukan dengan mikroskop,
mula-mula dengan pembesaran 10x10, kemudian pembesaran 10x45.
Sediaan diambil dari kulit kepala dengan cara kerokan pada lesi yang
diambil menggunakan blunt solid scalpel atau dengan menggunakan sikat.
Pengambilan sampel terdiri dari rambut sampai akar rambut serta skuama.
Setelah sampel diambil kemudian sampel diletakkan diatas gelas alas,
kemudian ditambahnkan 1-2 tetes larutan KOH. Konsentrasi larutan KOH
untuk sediaan rambut adalah 20%. Setelahs sediaan dicampurkan dengan
KOH, ditunggu 15-20 menit untuk melarutkan jaringan. Untuk
mempercepat pelarut dapat dilakukan pemanasan sediaan basah diatas api
kecil. Pada saat mulai keluar uap dari sediaan tersebut, pemanasan sudah
cukup. Bila terjadi penguapan, maka akan terbentuk Kristal KOH,
sehingga tujuan yang diinginkan tidak tercapai. Untuk melihat elemen
jamur lebih nyata dapat ditambahkan zat warna pada sediaan KOH
misalnya tinta parker super-chroom blue black.
3. Kultur1,6,9
Medium kultur yang digunakan untuk jamur dermofit adalah sabourad
dextrose agar. Pemeriksaan dengan pembiakan diperlukan untuk
menyokong pemeriksaan langsung sediaan basah dan untuk menentukan
spesies jamur. Pemerikasaan ini dilakukan dengan menanamkan bahan
klinis pada media buatan yaitu sabouraud dextrose agar. Antibiotic seperti
kloramfenikol dan cycloheximide ditambahkan ke media untuk mencegah
pertumbuhan dari bakteri atau jamur kontaminan. Kerokan yang diambil
pada lesi dikulit kepala dengan menggunakan sikat kemudian diratakan di
permukaan media kultur. Kebanyakam dermatofit tumbuh pada suhu 26°C
dan diperlukan waktu tumbuh setelah 2 minggu untuk dilakukan
pemeriksaan.

13
I. Penatalaksanaan
Prinsip managemen untuk tinea kapitis yaitu terdiri dari
pengobatan sistemik, pengobatan topikal dan tindakan preventif. Tujuan
pengobatan adalah untuk mencapai klinis dan kesembuhan secepat
mungkin serta mencegah penyebaran.2,4
1. Terapi Topikal1,2,5,6
Pengobatan topikal antijamur tidak dianjurkan untuk terapi tunggal
dalam pengobatan tinea kapitis. Namun hal ini mungkin dapat mengurangi
penularan kepada orang lain dengan menurunkan pertumbuhan spora
jamur. Selenium sulfide, shampo ketokonazol dan shampoo sebaiknya
didiamkan selama 5 menit sebelum dibilas. Penggunakan obat-obat topikal
konvensional yang digunakan misalnya asam salisilat 2-4%, asam benzoat
6-12%, sulfur 4-6%, vioform 3%, asam undesilenat 2-5% dan zat warna
(hijau brilian 1% dalam cat castellani) dikenal banyak ibat topikal baru.
Obat-obat baru ini diantaranya tolnaflat 2%. Toksilat, haloprogin, derivate-
derivat imidazol, siklopiroksolamin dan naftifine masing-masing 1%.
2. Terapi Oral
Obat antimiotik digunakan untuk penetrasi folikel rambut. Gold
standar terapi oral untuk tinea kapitis pada empat decade adalah
giseofulvin. Oat baru yang dapat digunakan untuk alternative terapi tinea
kapitis adalah flukonazole, ketokonazole, dan terbinafine.6
a) Griseofulvin1,2,4,6,10
Merupakan turunan dari spesies pencillium mold. Griseofulvin sebagai
fungistatik dengan efek inhibitor RNA jamur, DNA, menghambat sintesis
asam nukleat, mikrotubular assembly, dan merusak sintesis dinding sel.
Dosis rekomendasi untuk tinea kapitis adalah 20mg/kg/hari untuk
micronized form dan 15mg/kg/hari untuk ultramironized form atau 0,5 –
1g untuk orang dewasa dan 0,25 – 0,5g untuk anak-anak. Lama
pengobatan umumnya 6-12 minggu. Terapi tergantung pada organisme
(misanya infeksi T, tonsurans mungkin memerlukan pengobatan jangka

14
panjang)tetapi bervariasi antara 8 dan 10 minggu. Efek samping termasuk
mual dan ruam pada 8 ± 15%.
Obat ini kobtra indikasi pada kehamilan. Grisefulvin tidak larut dalam
air dan absorsinya buruk dari saluran pencernaan.sehingga untuk
mempertinggi absorpsi obat dalam usus, sebaiknya obat dimakan bersama-
sama makanan yang banyak mengandung lemak seperti susu, kacang,
mentega. Efek samping griseovulvin juga bersifat fotosensitif dan dapat
mengganggu fungsi hepar.
b) Anti Jamur golongan Azole1,2,4,6,10
Obat anti jamur golongan azole termasuk ketokonazole, itrakonazole
dan flukonazole. Mereka bekerja dengan menghambat pembentukan
ergosterol dalam jamur dengan inhibitor sitokrom p450-dependent
enzymes didalam membrane sel.
Untuk tinea kapitis dosis itraconazole umumnya diberikan 3-
5mg/kg/hari selama empat sampai enam minggu atau 2x100-200mg/hari.
Itraconazole memiliki sprektrum yang sangat luas terhadap jamur,
termasuk aspergillus dan dermatofit. Kontraindikasi pada pasien dengan
gagal jantung kongestif.
Ketokonazole merupakan obat jamur yang bersifat fungistik dapat
diberikan obat sebanyak 200mg/hari selama 10 hari – 2 minggu pada pagi
hari setelah makan. Kontraindikasi ketokenazoleadalah pada penderita
kelainan hepar.
Flukonazole memberikan efek yang efektif terhadap berbagai organism
yang berbeda termasuk Trichophyton dan spesies Microsporum
Flukonazol, berbeda dengan anti jamur azol lainnya karena sangat larut
dengan air dan memiliki biovailabilitas yang sangat baik. Dosis flukonazol
berkisal 1,5 – 6mg/kg/hari. Penggunaan flukonazol merupakan
kontraindikasi dalam kombinasi dengan eritromisin.
c) Terbinafine1,2,4,6,10
Terbinafine adaah fungisidal terhadap kedua Trichophyton dan
Microsporum spp. Terbinafine bekerja dengan memblok pembentukan

15
ergosterol pada membrane sel jamur dengan menghambat squalene
epoksidase yang mengarah ke akumulasi squalene. Obat ini di metabolism
di hati dan disekresikan terutama dalam urin. Terbinafine tersedia sebagai
krim atau dalam bentuk tablet (250mg). Di beberapa Negara tablet
pediatric tersedia (125mg). dosis 62,5 mg- 250mg sehari tergantung pada
berat badan atau dosis dewasa adalah 250mg sedangkan pada anak –anak
digunakan berdasarkan pada berat badan yaitu : < 20kg (62,5 mg/hari), 20-
40kg (125mg/hari) dan > 40kg (250mg/hari). Durasi pengobatan dilakukan
selama 4 minggu, namun jika penyebabnya adalah T. tonsurans
membutuhkan pengobatan selama satu bulan. Efek samping terbinafine
ditemukan pada 10% penderita yaitu gangguan gastrointestinal seperti
nausea, vomitus, nyeri lambung, diare, konstipasi, umumnya ringan.
Sefalgia ringan dan dilaporkan 3,3 – 7% gangguan fungsi hepar.

16
BAB III
KESIMPULAN

Tinea kapitis (ringworm of the scalp)merupakan dermatofitosis pada kulit


kepala dan berhubungan dengan rambut yang disebabkan oleh spesies
Microsporum dan Trichopyton.Tinea kapitis sering muncul pada anak-anak usia
antara 3 sampai 14 tahun dan jarang terjai pada dewasa.3 Manifestasi klinis tinea
kapitis tiap Negara bervariasi dan berambut kusam,rambut patah dengan skala
ringan sampai berat,nyeri inflamasi serta dapat juga ditemukan alopesia parsial
dengan beberapa tingkat peradangan,limfadenopati servikal dan oksipital.6

Pengobatan pada tinea kapitis sebagai gold standar adalah


griseovulvin,sedangkan obat baru yang dapat digunakan untuk alternative terapi
tinea kapitis adalah fluconazole,ketoconazole,itrakonazole,dan terbinafin.Untuk
mengurangi penularan dapat mengunakan selenium sulfide,shampo ketoconazole
dan shampoo povidone iodine digunakan seminggu 2 kali,untuk mengurangi spora
jamur dan infeksivitas.Namun penggobatan ini tidak dapat digunakan sebagai
terapi tunggal1,2,4,6,10

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Adhi Djuanda, dkk. 2015. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi VII.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2. Price, A. Sylvia, Lorraine Mc. Carty Wilson, 2006, Patofisiologi : Konsep
Klinis Proses-proses Penyakit, Edisi 6, (terjemahan), Peter Anugrah, EGC,
Jakarta.
3. Brenninkmeijer, dkk. 2007. Diagnostic criteria for atopic dermatitis: a
systematic Review.Department of Dermatology. Department of Clinical
Epidemiology, Biostatistics and Bioinformatics and Dutch Cochrane
Centre, Academic Medical Center, University of Amsterdam, the
Netherlands.
4. Peterson, J.D., Chan L.S., 2006. A Comprehensive Management Guide
For Atopic Dermatitis. Available from:
http://www.medscape.com/viewarticle/551352.
5. Siregar, R.S. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta: EGC; 2004.
6. Mahbub,Chowdhury.dkk.2013.Dermatology at a Glance. Consultant
Dermatologist The Welsh Institute of Dermatology University Hospital of
Wales Cardiff, UKA John Wiley & Sons, Ltd., Publication
7. Noviyanti,Eliska. 2015. Faktor Risiko pada Dermatitis Atopik. JURNAL
KEDOKTERAN DAN KESEHATAN, VOLUME 2, NO. 1, JANUARI 2015:
143-149.Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya.
8. Donald J.M Leung, Lawrence F Eicenfield,Mark bogunlewic. Dermatitis
Atopic. Chapter 14.Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7th
edition. New York: McGrawHill. P.146.
9. Goldsmith, L.A., Katz, S.I., Gilchrest, B.A., Paller, A.S., Leffell, D.J.,
Wolff, K. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8 th ed. New
York:Mc Graw Hill co., pp. 1745-66.
10. Weller R, Hunter JAA, Savin J, Dahl M. 2009. Clinical Dermatology. 4th
ed. USA: Blackwell Publishing.

18
11. Jonathan,J. Lyons,dkk.2015. Atopic Dermatitis in Children: Clinical
Features, Pathophysiology and Treatment. Genetics and Pathophysiology
of Allergy Section, Laboratory of Allergic Diseases, National Institute of
Allergy and Infectious Diseases, National Institutes of Health, Bethesda,
MD
12. Simon Francis Thomsen.2014. Review Article Atopic Dermatitis: Natural
History, Diagnosis, and Treatment.Department of Dermatology,
BispebjergHospital, Bispebjerg Bakke 23, 2400 Copenhagen
NV,Denmark.
13. Tony Burns and StephenBreathnach. Rook’s textbook of Dermatology 8th
edition volume 2. UK: Wiley-Blackwell; 2010.
14. William D. James, etc. Andrew’s Disease of the Skin: Clinical
Dermatology. Elsevier. 2011
15. S.Emmy., Daili Sjamsoe., Menaldi Sri Linuwih., dan Wisnu I Made.,
2005. Penyakit /Kulit Yang Umum Di Indonesia Sebuah Panduan
Bergambar. PT Medical Multimedia Indonesia. Kramat Raya 31, Jakarta.
16. Joji, tada. 2002.Diagnostic Standard for Atopic Dermatitis. Division of
Dermatology, Okayama Municipal Hospital.Japan.
17. Hanifin, Jon. Rajka Geor.Diagnostoc Features of Atopic Dermatitis.
Department of Dermatology of Uregon, Health Science Center, Portland,
Oregon, USAdan University Of Oslo, Norwegia
18. Hoare C, Li Wan Po A, Williams H. Systematic review of treatments for
atopic eczema. Health Technol Assess. 2000;4(37):1-191
19. Wolff, Klaus, Johnson, Richard A., Suurmond, Dick, 2007. Viral
Infections of Skin and Mucosa. In: Fitzpatrick’s Color Atlas & Synopsis of
Clinical Dermatology. 5th edition.McGraw-Hill’s.442-696.

19

You might also like