You are on page 1of 18

Ulkus Kornea

A. Definisi
Ulkus kornea merupakan diskontinuitas atau hilangnya sebagian
permukaan kornea akibat kematian jaringan kornea. Terbentuknya ulkus
kornea diakibatkan oleh adanya kolagenase yang dibentuk oleh sel epitel
baru dan sel radang.1

B. Epidemiologi
Di Amerika, ulkus kornea merupakan penyebab tersering kebutaan
dengan insidensi 30.000 kasus pertahun. Sedangkan di California, insidensi
terjadinya ulkus kornea dilaporkan sebesar 27,6/100.000 orang pertahun
dengan perkiraan sebanyak 75.000 orang yang mengalami ulkus kornea
setiap tahunnya. Faktor predisposisi terjadinya ulkus kornea antara lain
trauma, pemakaian lensa kontak, riwayat operasi kornea, penyakit
permukaan okular, pengobatan topikal lama dan penyakit imunosupresi
sistemik.2
Di Indonesia, insiden ulkus kornea tahun 2013 adalah 5,5% dengan
prevalensi tertinggi di Bali (11,0%) diikuti oleh DI Yogyakarta (10,2%) dan
Sulawesi Selatan (9,4%). Prevalensi kekeruhan kornea terendah dilaporkan
di Papua Barat (2,0%) diikuti DKI Jakarta (3,1%). Prevalensi kekeruhan
kornea pada laki-laki cenderung sedikit lebih tinggi dibanding prevalensi
pada perempuan. Prevalensi kekeruhan kornea yang paling tinggi (13,6%)
ditemukan pada kelompok responden yang tidak sekolah. Petani, nelayan
dan buruh mempunyai prevalensi kekeruhan kornea tertinggi (9,7%)
dibanding kelompok pekerja lainnya yang mungkin berkaitan dengan
riwayat trauma mekanik atau kecelakaan kerja pada mata, mengingat
pemakaian alat pelindung diri saat bekerja belum optimal dilaksanakan di
Indonesia.5
C. Etiologi4
1. Infeksi
 Infeksi Bakteri
P. aeraginosa, Streptococcus pneumonia dan spesies Moraxella
merupakan penyebab paling sering. Hampir semua ulkus berbentuk
sentral. Gejala klinis khas tidak dijumpai, hanya sekret yang keluar
bersifat mukopurulen yang menunjukkan infeksi P aeruginosa.
 Infeksi Jamur
Disebabkan oleh Candida, Fusarium, Aspergilus, Cephalosporium
dan spesies mikosis fungoides.
 Infeksi virus
Ulkus kornea oleh virus herpes simplex cukup sering dijumpai.
Bentuk khas dendrit dapat diikuti oleh vesikel-vesikel kecil dilapisan
epitel yang bila pecah akan menimbulkan ulkus. Ulkus dapat juga
terjadi pada bentuk disiform bila mengalami nekrosis di bagian
sentral. Infeksi virus lainnya varicella-zoster, variola, vacinia (jarang).
 Acanthamoeba
Acanthamoeba adalah protozoa hidup bebas yang terdapat didalam air
yang tercemar yang mengandung bakteri dan materi organik. Infeksi
kornea oleh acanthamoeba adalah komplikasi yang semakin dikenal
pada pengguna lensa kontak lunak, khususnya bila memakai larutan
garam buatan sendiri. Infeksi juga biasanya ditemukan pada bukan
pemakai lensa kontak yang terpapar air atau tanah yang tercemar.

2. Noninfeksi
 Bahan kimia, bersifat asam atau basa tergantung pH.
Bahan asam yang dapat merusak mata terutama bahan anorganik,
organik dan organik anhidrat. Bila bahan asam mengenai mata maka
akan terjadi pengendapan protein permukaan sehingga bila
konsentrasinya tidak tinggi maka tidak bersifat destruktif. Biasanya
kerusakan hanya bersifat superfisial saja. Pada bahan alkali antara lain
amonia, cairan pembersih yang mengandung kalium atau natrium
hidroksida dan kalium karbonat akan terjadi penghancuran kolagen
kornea.
 Radiasi atau suhu
Dapat terjadi pada saat mengelas dan menatap pada sinar matahari
yang akan merusak epitel kornea.
 Sindrom Sjorgen
Pada sindrom Sjorgen ditandai adanya keratokonjungtivitis sicca yang
merupakan suatu keadan dimana mata kering yang disebabkan oleh
defisiensi unsur film air mata (akeus, musin atau lipid), kelainan
permukan palpebra atau kelainan epitel yang menyebabkan timbulnya
bintik-bintik kering pada kornea. Pada keadaan lebih lanjut dapat
timbul ulkus pada kornea dan defek pada epitel kornea yang terpulas
dengan flurosein.
 Defisiensi vitamin A
Ulkus kornea akibat defisiensi vitamin A terjadi karena kekurangan
vitamin A dari makanan atau gangguan absorbsi di saluran cerna dan
ganggun pemanfaatan oleh tubuh.
 Obat-obatan
Obat-obatan yang menurunkan sistem imun, seperti kortikosteroid,
IDU (Iodo 2 dioxyuridine), anestesi lokal dan golongan
imunosupresif.
 Kelainan dari membran basal, misalnya akibat trauma.
 Pajanan (exposure)
 Neurotropik

3. Sistem Imun (Reaksi Hipersensitivitas)


 Granulomatosa wagener
 Rheumathoid arthritis
D. Patofisiologi
Kornea merupakan bagian anterior dari mata yang dilalui cahaya yang
apabila terjadi perubahan dalam bentuk dan kejernihan kornea maka akan
mengganggu pembentukan bayangan yang baik di retina. Oleh karena itu,
kelainan sekecil apapun di kornea dapat menimbulkan gangguan
penglihatan yang hebat terutama bila letaknya di daerah pupil. Kornea
mendapatkan pemaparan konstan dari mikroba dan lingkungan, untuk
melindunginya kornea memiliki beberapa mekanisme pertahanan.
Mekanisme pertahanan tersebut termasuk refleks berkedip, fungsi
antimikroba film air mata (lisosim), epitel hidrofobik yang membentuk
barrier terhadap difusi serta kemampuan epitel untuk beregenerasi secara
cepat dan lengkap.5
Epitel merupakan barrier yang efisien terhadap masuknya
mikroorganisme ke dalam kornea. Pada saat epitel mengalami trauma,
struma yang avaskuler dan lapisan bowman menjadi mudah untuk
mengalami infeksi dengan organisme yang bervariasi, seperti bakteri,
amoeba dan jamur.5 Karena kornea avaskuler, maka pertahanan pada waktu
peradangan tidak segera datang seperti pada jaringan lain yang mengandung
banyak vaskularisasi. Bila terjadi infeksi maka proses infiltrasi dan
vaskularisasi dari limbus baru akan terjadi 48 jam kemudian. Maka
wandering cell dan sel-sel lain yang terdapat dalam stroma kornea segera
bekerja sebagai makrofag, kemudian disusul dengan dilatasi pembuluh
darah yang terdapat di limbus yang tampak sebagai injeksi perikornea.
Sesudahnya baru terjadi infiltrasi dari sel-sel mononuclear, sel plasma,
leukosit polimorfonuklear (PMN) yang mengakibatkan timbulnya infiltrat
yang tampak sebagai bercak berwarna kelabu keruh dengan batas-batas tak
jelas dan permukaan tidak licin, kemudian dapat terjadi kerusakan epitel dan
timbullah ulkus kornea.6,7 Kornea mempunyai banyak serabut saraf maka
kebanyakan lesi pada kornea baik superfisial maupun profunda dapat
menimbulkan rasa sakit dan fotofobia. Rasa sakit juga diperberat dengan
adanaya gesekan palpebra terutama palbebra superior pada kornea dan
menetap sampai sembuh.8
Penyakit ini bersifat progresif, regresif atau membentuk jaringan
parut. Infiltrat sel leukosit dan limfosit dapat dilihat pada proses progresif.
Ulkus ini menyebar kedua arah yaitu melebar dan mendalam. Jika ulkus
yang timbul kecil dan superficial maka akan lebih cepat sembuh dan daerah
infiltrasi ini menjadi bersih kembali, tetapi jika lesi sampai ke membran
Bowman dan sebagian stroma maka akan terbentuk jaringan ikat baru yang
akan menyebabkan terjadinya sikatrik.5

E. Klasifikasi
Dikenal dua bentuk ulkus pada kornea, yaitu sentral dan perifer. Ulkus
korena perifer biasanya disebabkan oleh reaksi toksik, alergi, autoimun dan
infeksi. Beratnya penyakit juga ditentukan oleh keadaan fisik pasien, ukuran
dan virulensi inokulum.9
1. Ulkus kornea sentral8
a. Ulkus kornea bakterialis
 Ulkus Streptokokus
Khas sebagai ulkus yang menjalar dari tepi ke arah tengah kornea
(serpinginous). Ulkus bewarna kuning keabu-abuan berbentuk
cakram dengan tepi ulkus yang menggaung.

Gambar 1. Ulkus Kornea Streptokokus


 Ulkus Stafilokokus
Pada awalnya berupa ulkus yang bewarna putik kekuning-an
disertai infiltrat berbatas tegas tepat dibawah defek epitel.

Gambar 2. Ulkus Kornea Stafilokokus

 Ulkus Pseudomonas
Lesi pada ulkus ini dimulai dari daerah sentral kornea yang dapat
menyebar ke samping dan ke dalam kornea. Gambaran berupa
ulkus yang berwarna abu-abu dengan kotoran yang dikeluarkan
berwarna kehijauan. Kadang-kadang bentuk ulkus ini seperti
cincin. Dalam bilik mata depan dapat terlihat hipopion yang
banyak. Secara histopatologi, khas pada ulkus ini ditemukan sel
neutrofil yang dominan.

Gambar 3. Ulkus Kornea Pseudomonas

 Ulkus Pneumokokus
Terlihat sebagai bentuk ulkus kornea sentral yang dalam. Tepi ulkus akan
terlihat menyebar ke arah satu jurusan sehingga memberikan gambaran
karakteristik yang disebut ulkus serpen. Ulkus biasanya dimulai dari
perifer yang kemudian bergerak menuju sentral. Ulkus terlihat dengan
infiltrasi sel yang penuh dan berwarna kekuning-kuningan. Penyebaran
ulkus sangat cepat dan sering terlihat ulkus yang menggaung.

Gambar 4. Ulkus Kornea Pneumokokus

 Ulkus Neisseria gonorrhoeae


Ulkus kornea akibat Neisseria gonorrhoeae dan merupakan salah
satu dari penyakit menular seksual. Pada ulkus kornea terdapat
sekret yang purulen dan didapatkan adanya kemosis. Dapat
menyebabkan perforasi kornea dan kerusakan yang sangat berarti
pada struktur mata yang lebih dalam.

Gambar 5. Ulkus Kornea Neisseria gonorrhoeae

b. Ulkus kornea fungi


Pada permukaan lesi terlihat bercak putih dengan warna keabu-abuan
yang agak kering. Tepi lesi berbatas tegas irregular, feathery edge dan
terlihat penyebaran seperti bulu di bagian epitel. Terlihat suatu daerah
tempat asal penyebaran di bagian sentral sehingga terdapat satelit-
satelit disekitarnya. Pada infeksi kandida bentuk tukak lonjong dengan
permukaan naik dan dapat terjadi neovaskularisasi akibat rangsangan
radang.
Gambar 6. Ulkus Kornea Neisseria gonorrhoeae

c. Ulkus kornea virus


 Ulkus kornea Herpes Zoster
Biasanya diawali rasa sakit pada kulit dengan perasaan lesu yang
timbul 1-3 hari sebelum timbulnya gejala kulit. Pada mata
ditemukan vesikel kulit dan edem palpebra, konjungtiva hiperemis,
kornea keruh akibat terdapatnya infiltrat subepitel dan stroma. Lesi
pada ulkus kornea ini sering disebut pseudodendrit. Namun pada
lesi ini tidak menunujukkan lesi arborisasi.

Gambar 7. Ulkus Kornea Herpes Zoster

 Ulkus kornea Herpes Simpleks


Biasanya gejala dini dimulai dengan tanda injeksi siliar yang kuat
disertai terdapatnya suatu dataran sel di permukaan epitel kornea
disusul dengan bentuk dendrit, gambaran lesi arborisasi.Bentuk
dendrit herpes simplex kecil, ulseratif, jelas diwarnai dengan
fluoresein.
Gambar 8. Ulkus Kornea Herpes Simpleks

d. Ulkus kornea Acanthamoeba


Awal dirasakan sakit yang tidak sebanding dengan temuan kliniknya,
kemerahan dan fotofobia.Tanda klinik khas adalah ulkus kornea
indolen, cincin stroma, dan infiltrat perineural.

Gambar 9. Ulkus Kornea Acanthamoeba

2. Ulkus kornea perifer 8


a. Ulkus marginal
Merupakan peradangan kornea bagian perifer dapat berbentuk bulat
atau segiempat, dapat satu atau banyak dan terdapat daerah kornea
yang sehat dengan limbus.
b. Ulkus mooren
Merupakan ulkus kronik yang biasanya mulai dari bagian perifer
kornea berjalan progresif ke arah sentral tanpa adanya kecenderungan
untuk perforasi. Gambaran khasnya yaitu terdapat tepi tukak bergaung
dengan bagan sentral tanpa adanya kelainan dalam waktu yang agak
lama. Tukak ini berhenti jika seluruh permukaan kornea terkenai.
Penyebabya adalah hipersensitif terhadap tuberkuloprotein, virus atau
autoimun.

Gambar 10. Ulkus Mooren

F. Gejala Klinis
Gejala klinis pada ulkus kornea secara umum dapat berupa9:
1. Gejala Subjektif
a. Eritema pada kelopak mata dan konjungtiva
b. Merasa ada benda asing di mata
c. Pandangan kabur
d. Mata berair
e. Bintik putih pada kornea, sesuai lokasi ulkus
f. Silau
g. Nyeri. Infiltrat yang steril dapat menimbulkan sedikit nyeri, jika ulkus
terdapat pada perifer kornea dan tidak disertai dengan robekan lapisan
epitel kornea.

2. Gejala Objektif
a. Injeksi siliar
b. Hilangnya sebagian jaringan kornea, dan adanya infiltrat
c. Hipopion

G. Diagnosis
Diagnosis ulkus kornea ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang. Keberhasilan penanganan
ulkus kornea tergantung pada ketepatan diagnosis, penyebab infeksi, dan
besarnya kerusakan yang terjadi. Adapun jenis pemeriksaan yang dapat
dilakukan untuk membantu penegakan diagnosis adalah:
1. Anamnesis
Dari riwayat anamnesis didapatkan adanya gejala subjektif yang
dikeluhkan oleh pasien, dapat berupa mata nyeri, kemerahan, penglihatan
kabur, silau jika melihat cahaya, kelopak terasa berat atau merasa
mengganjal, bintik putih pada kornea, mata berair dan bisa juga ada
kotoran mata berlebih. Yang juga harus digali ialah adanya riwayat
trauma, kemasukan benda asing, pemakaian lensa kontak, adanya
penyakit vaskulitis atau autoimun, dan penggunaan kortikosteroid jangka
panjang.

2. Pemeriksaan fisis
Pemeriksaan fisis didapatkan gejala objektif berupa adanya injeksi siliar,
kornea edema, hilangnya jaringan kornea dan pada kasus berat dapat
terjadi irtitis disertai dengan hipopion. Pemeriksaan visus didapatkan
adanya penurunan visus pada mata yang mengalami infeksi oleh karena
adanya defek pada kornea sehingga menghalangi refleksi cahaya yang
masuk ke dalam media refrakta. Slit lamp seringkali iris, pupil, dan lensa
sulit dinilai oleh karena adanya kekeruhan pada kornea. Selain itu,
didapatkan hiperemis didapatkan oleh karena adanya injeksi konjungtiva
ataupun perikornea.

3. Pemeriksaan penunjang /laboratorium


a. Tes fluorescein
Cara melakukan tes fluroscein adalah pertama kertas fluoresein yang
dibasahi terlebih dahulu dengan garam fisiologik diletakkan pada
sakus konjungtiva inferior. Kemudian penderita diminta untuk
menutup matanya selama 20 detik, beberapa saat kemudian kertas
diangkat. Ketiga, dilakukan irigasi konjugtiva dengan garam
fisiologik. Keempat, dilihat permukaan kornea bila terlihat hijau
dengan sinar biru berarti ada kerusakan epitel kornea misalnya
terdapat pada keratitis superfisial epithelial, ulkus kornea dan erosi
kornea. Defek kornea akan terlihat berwarna hijau, akibat pada setiap
kornea, maka bagian tersebut akan bersifat basa dan memberikan
warna hijau pada kornea. Pada keadaan ini disebut uji fluoresein
positif. Pada ulkus kornea, didapatkan hilangnya sebagian permukaan
kornea. Untuk melihat adanya daerah yang defek pada kornea. (warna
hijau menunjukkan daerah yang defek pada kornea, sedangkan warna
biru menunjukkan daerah yang intak).
b. Pewarnaan gram dan KOH
Untuk menentukan mikroorganisme penyebab ulkus oleh jamur.
Kultur kadangkala dibutuhkan untuk mengisolasi organisme kausatif
pada beberapa kasus.10

H. Penatalaksanaan
Pengobatan pada ulkus kornea bertujuan menghalangi hidupnya
bakteri dengan antibiotika dan mengurangi reaksi radang dengan steroid.
Secara umum, ulkus diobati sebagai berikut:
1. Tidak boleh dibebat, karena akan menaikkan suhu sehingga berfungsi
sebagai inkubator.
2. Sekret yang terbentuk dibersihkan 4 kali sehari.
3. Diperhatikan kemungkinan terjadinya glaukoma sekunder.
4. Debridemen sangat membantu penyembuhan.
5. Diberi antibiotika yang sesuai dengan kausa. Biasanya diberi lokal
kecuali bila keadaan berat.
Pengobatan dihentikan bila sudah terjadi epitelisasi dan mata terlihat
terang, kecuali bila penyebabnya pseudomonas yang memerlukan
pengobatan ditambah 1-2 minggu. Pada ulkus kornea dilakukan
pembedahan atau keratoplasti apabila dengan pengobatan tidak sembuh dan
terjadi jaringan parut yang mengganggu penglihatan.9
Ulkus kornea adalah keadaan darurat yang harus segera ditangani oleh
spesialis mata agar tidak terjadi cedera yang lebih parah pada kornea.
1. Penatalaksanaan non-medikamentosa:
a. Jika memakai lensa kontak, secepatnya untuk melepaskan-nya;
b. Jangan memegang atau meng-gosok-gosok mata yang meradang;
c. Mencegah penyebaran infeksi dengan mencuci tangan sesering
mungkin dan mengeringkannya dengan handuk atau kain yang bersih.

2. Penatalaksanaan medikamentosa
Penatalaksanaan ulkus kornea harus dilakukan dengan pemberian terapi
yang tepat dan cepat sesuai dengan kultur serta hasil uji sensitivitas
mikroorganisme penyebab. Adapun obat-obatan antimikrobial yang dapat
diberikan berupa:
a. Antibiotik
Antibiotik yang sesuai dengan kuman penyebabnya atau yang
berspektrum luas diberikan dapat berupa salep, tetes atau injeksi
subkonjungtiva. Pada pengobatan ulkus sebaiknya tidak diberikan
salep mata karena dapat memperlambat penyembuhan dan dapat
menimbulkan erosi kornea kembali. Berikut ini contoh antibiotik:
Sulfonamide 10-30%, Basitrasin 500 unit, Tetrasiklin 10 mg,
Gentamisin 3 mg, Neomisin 3,5-5 mg, Tobramisin 3 mg, Eritromisin
0,5%, Kloramfenikol 10 mg, Ciprofloksasin 3 mg, Ofloksasin 3 mg,
Polimisin B 10.000 unit.

b. Anti jamur
Terapi medikamentosa di Indonesia terhambat oleh terbatasnya
preparat komersial yang tersedia. Berdasarkan jenis keratomitosis
yang dihadapi bisa dibagi:
 Jamur berfilamen: topikal amphotericin B, Thiomerosal,
Natamicin, Imidazol;
 Ragi (yeast): Amphotericin B, Natamicin, Imidazol, Micafungin
0,1% tetes mata4,6;
 Actinomyces yang bukan jamur sejati: golongan sulfa, berbagai
jenis antibiotik.

c. Anti Viral
Untuk herpes zoster pengobatan bersifat simtomatik diberikan streroid
lokal untuk mengurangi gejala, sikloplegik, antibiotik spektrum luas
untuk infeksi sekunder, analgetik bila terdapat indikasi serta antiviral
topika berupa salep asiklovir 3% tiap 4 jam.

d. Anti acanthamoeba
Dapat diberikan poliheksametilen biguanid + propamidin isetionat
atau salep klorheksidin glukonat 0,02%.

e. Obat-obatan lainnya yang dapat diberikan yaitu:


 Sulfas atropin sebagai salep atau larutan. Kebanyakan dipakai
sulfas atropin karena bekerja lama 1-2 minggu. Efek kerja sulfas
atropin:
 Sedatif, menghilangkan rasa sakit.
 Dekongestif, menurunkan tanda-tanda radang.
 Menyebabkan paralysis M. siliaris dan M. konstriktor pupil.
Dengan lumpuhnya M. siliaris mata tidak mempunyai daya
akomodsi sehingga mata dalam keadaan istirahat.Dengan
lumpuhnya M. konstriktor pupil, terjadi midriasis sehinggga
sinekia posterior yang ada dapat terlepas dan dapat mencegah
pembentukan sinekia posterior yang baru.
 Skopolamin sebagai midriatika.
 Analgetik.
Untuk menghilangkan rasa sakit, dapat diberikan tetes pantokain,
atau tetrakain tetapi jangan sering-sering. Dalam sebuah penelitian
menyebutkan bahwa pemberian nerve growth factor (NGF) secara
topikal menginisiasi aksi penyembuhan luka pada ulkus kornea
yang disebabkan oleh trauma kimia, fisik dan iatrogenik serta
kelainan autoimun tanpa efek samping.

3. Penatalaksanaan Bedah
a. Flap Konjungtiva11
Tatalaksana kelainan kornea dengan flap konjungtiva sudah
dilakukan sejak tahun 1800-an. Indikasinya adalah situasi dimana
terapi medis atau bedah mungkin gagal, kerusakan epitel berulang
dan stroma ulserasi.Dalam situasi tertentu, flap konjungtiva adalah
pengobatan yang efektif dan definitif untuk penyakit permukaan
mata persisten.
Penutupan ulkus dengan flap konjungtiva, yaitu melepaskan
konjungtiva dari sekitar limbus yang kemudian ditarik menutupi
ulkus dengan tujuan memberi perlindungan dan nutrisi pada ulkus
untuk mempercepat penyembuhan. Kalau sudah sembuh flap
konjungtiva ini dapat dilepaskan kembali.
Tujuan dari flap konjungtiva adalah mengembalikan
integritas permukaan kornea yang terganggu dan memberikan
metabolisme serta dukungan mekanik untuk penyembuhan kornea.
Flap konjungtiva bertindak sebagai patch biologis, memberikan
pasokan nutrisi dan imunologi oleh jaringan ikat vaskularnya.

b. Keratoplasti11
Merupakan jalan terakhir jika penatalaksanaan diatas tidak berhasil.
Indikasi keratoplasti, yaitu dengan pengobatan tidak sembuh,
terjadinya jaringan parut yang menganggu penglihatan dan kedalaman
ulkus telah mengancam terjadinya perforasi. Ada dua jenis
keratoplasti yaitu:
 Keratoplasti penetrans adalah penggantian kornea seutuhnya.
Karena sel endotel sangat cepat mati, mata hendaknya diambil
segera setelah donor meninggal dan segera dibekukan. Mata donor
harus dimanfaatkan <48 jam. Tudung korneo sklera yang disimpan
dalam media nutrien boleh dipakai sampai 6 hari setelah donor
meninggal dan pengawetan dalam media biakan jaringan dapat
tahan sampai 6 minggu. Telah dilakukan penelitian tentang
pendonoran jaringan kornea manusia dari sisik ikan (Biocornea).
Penelitian dilakukan pada kelinci dan menunjukkan hasil bahwa
Biocornea sebagai pengganti yang baik memiliki biokompatibilitas
tinggi dan fungsi pendukungan setelah evaluasi jangka panjang.
 Keratoplasti lamellar adalah penggantian sebagian dari kornea.
Untuk keratoplasti lamelar, kornea dapat dibekukan, didehidrasi,
atau disimpan dalam lemari es selama beberapa minggu.Selama
dekade terakhir, tatalaksana bedah untuk penyakit endotel telah
berkembang dengan cepat ke arah keratoplasti endotel atau
transplantasi jaringan selektif. Keratoplasti endotel menawarkan
keuntungan yang berbeda dalam hal hasil visual dan sayatan lebih
kecil.

I. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin timbul akibat ulkus kornea antara lain kebutaan
parsial atau komplit karena endoftalmitis, prolaps iris, sikatrik kornea,
katarak, glaukoma sekunder, perforasi atau impending perforasi kornea dan
descemetocele sekunder. 10

J. Prognosis
Prognosis dari ulkus kornea tergantung dari cepat lambatnya pasien
mendapat pengobatan, jenis mikroorganisme penyebab dan adanya penyulit
maupun komplikasi. Ulkus kornea biasanya mengalami perbaikan tiap hari
dan sembuh dengan terapi yang sesuai. Jika penyembuhan tidak terjadi atau
ulkus bertambah berat, diagnosis dan terapi alternatif harus
dipertimbangkan.12

DAFTAR PUSTAKA
1. Rajesh, S.K., Patel, D.N & Sinha, M., 2013. A Clinical Microbiological
Study of Corneal Ulcer Patients at Western Gujarat. Microbiological study
of corneal ulcer. ;51(6):399, India.
2. Amescua G, Miller D, Alfonso EC. What is Causing the Corneal Ulcer?
Management strategies for unresponsive corneal ulceration [internet]. USA;
2012 [diakses tanggal 24 Mei 2018 http://www.ncbi.nlm.nih.gov/]
3. Riset Kesehatan Dasar. Laporan Hasil Riset Kesehatan Daerah Nasional.
Badan penelitian dan pengembangan kesehatan [internet]. Jakarta; 2013
[diakses tanggal 9 Mei 2018]. Tersedia dari http://www.depkes.go.id/.
4. Amatya, R., Shrestha, S., Khanal, B., Gurung, R., Poudyal, N., Badu., BP.,
et al. 2012. Etiological agents of corneal ulcer: five years prospective study
in eastern Nepal. Nepal Med Coll J.14(3):219-22.
5. Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia. 2012. Ulkus Kornea dalam:
Ilmu Penyakit Mata Untuk Dokter Umum dan Mahasiswa Kedokteran,.
Jakarta: Sagung Seto.
6. Srinivasan, M., Gonzales, C., George, C., Cevallos, V., Mascarenhas, J., Asokan,
B,.et al. 2007. Epidemiologi and aetiological diagnosis of corneal ulcer. Br J
Ophtalmol. 81(11):965-971.
7. Patel, S.V. 2002. Graft survival and endothelial outcomes in the new era of
endothelial keratoplasty. J Exer. 95(1):40-7.
8. Vaughan, D.G., Asbury, T., Riordan, P. 2012. Oftalmologi Umum. 14th Ed. Alih
bahasa: Tambajong J, Pendit BU. Jakarta: Widya Medika.
9. Sidharta, Ilyas. 2015. Ilmu Penyakit Mata. Edisi kelima. Cetakan ke 2.
Jakarta: FKUI.
10. Biswell R 2010. “Corneal Ulcer” in Cornea. Vaughan D, Asbury T, Eva PR
(Ed). General Ophtalmology 17th ed. USA Appleton Lange, pp: 126-149.
11. Yuan, F., Wang, L., Lin, C., Chou, C., Li,. 2014. A cornea substitute
derived from fish scale: 6- month follow up on rabbit model. J Ophthalmol.
91(10):40.
12. Suharjo SU, Hartono. 2007. Anatomi Mata dan Kelainan Kornea. Ilmu
Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, edisi ke 1,
Yogyakarta.

You might also like