Professional Documents
Culture Documents
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.3. Etiologi
Tiga kategori utama kondisi penyebab gagal ginjal akut(Muttaqin,arif.2011).
2.3.1. Kondisi Pre Renal (hipoperfusi ginjal)
Kondisi pra renal adalah masalah aliran darah akibat hipoperfusi ginjal dan turunnya laju
filtrasi glumerulus. Kondisi klinis yang umum yang menyebabkan terjadinya hipoperfusi
renal adalah :
a) Penipisan volume
b) Hemoragi
c) Kehilangan cairan melalui ginjal (diuretik, osmotik)
d) Kehilangan cairan melalui saluran GI (muntah, diare, selang nasogastrik)
e) Gangguan efisiensi jantung
f) Infark miokard
g) Gagal jantung kongestif
h) Disritmia
i) Syok kardiogenik
j) Vasodilatasi
k) Sepsis
l) Anafilaksis
m) Medikasi antihipertensif atau medikasi lain yang menyebabkan vasodilatasi
2.3.2. Kondisi Intra Renal (kerusakan aktual jaringan ginjal)
Penyebab intra renal gagal ginjal akut adalah kerusakan glumerulus atau tubulus ginjal yang
dapat disebabkan oleh hal-hal berikut ini :
a) Cedera akibat terbakar dan benturan
b) Reaksi transfusi yang parah
c) Agen nefrotoksik
d) Antibiotik aminoglikosida
e) Agen kontras radiopaque
f) Logam berat (timah, merkuri)
g) Obat NSAID
h) Bahan kimia dan pelarut (arsenik, etilen glikol, karbon tetraklorida)
i) Pielonefritis akut
j) glumerulonefritis
2.3.3. Kondisi Post Renal (obstruksi aliran urin)
Kondisi pasca renal yang menyebabkan gagal ginjal akut biasanya akibat dari obstruksi di
bagian distal ginjal. Obstruksi ini dapat disebabkan oleh kondisi-kondisi sebagai berikut :
a) Batu traktus urinarius
b) Tumor
c) BPH
d) Striktur
e) Bekuan darah.
2.4. Patofisiologi
Beberapa kondisi berikut yang menyebabkan pengurangan aliran darah renal dan
gangguan fungsi ginjal : hipovelemia, hipotensi, penurunan curah jantung dan gagal jantung
kongestif, obstruksi ginjal atau traktus urinarius bawah akibat tumor, bekuan darah atau
ginjal, obstruksi vena atau arteri bilateral ginjal. Jika kondisi itu ditangani dan diperbaiki
sebelum ginjal rusak secara permanen, peningkatan BUN, oliguria dan tanda-tanda lain yang
berhubungan dengan gagal ginjal akut dapat ditangani.
Terdapat 4 tahapan klinik dari gagal ginjal akut(Dongoes):
1. Stadium awal dengan awitan awal dan diakhiri dengan terjadinya oliguria.
2. Stadium Oliguria.
Volume urine 75 % jaringan yang berfungsi telah rusak. Kadar BUN baru mulai
meningkat diatas batas normal. Peningkatan konsentrasi BUN ini berbeda-beda, tergantung
dari kadar dalam diit. Pada stadium ini kadar kreatinin serum mulai meningkat melebihi
kadar normal.
Azotemia biasanya ringan kecuali bila penderita mengalami stress akibat infeksi,
gagal jantung atau dehidrasi. Pada stadium ini pula mengalami gelala nokturia (diakibatkan
oleh kegagalan pemekatan) mulai timbul. Gejala-gejala timbul sebagai respon terhadap stress
dan perubahan makanan dan minuman yang tiba-tiba. Penderita biasanya tidak terlalu
memperhatikan gejala ini. Gejala pengeluaran kemih waktu malam hari yang menetap sampai
sebanyak 700 ml atau penderita terbangun untuk berkemih beberapa kalipada waktu malam
hari. Dalam keadaan normal perbandingan jumlah kemih siang hari dan malam hari adalah 3 :
1 atau 4 : 1. Sudah tentu nokturia kadang-kadang terjadi juga sebagai respon teehadap
kegelisahan atau minum yang berlebihan.
Poliuria akibat gagal ginjal biasanya lebih besar pada penyakit yang terutamam
menyerang tubulus, meskipun poliuria bersifat sedang dan jarang lebih dari 3 liter/hari.
Biasanya ditemukan anemia pada gagal ginjal dengan faal ginjal diantara 5%-25 %. Faal
ginjal jelas sangat menurun dan timbul gelala-gejala kekurangan farahm tekanan darah akan
naik, terjadi kelebihan, aktifitas penderita mulai terganggu.
3. Stadium III.
Semua gejala sudah jelas dan penderita masuk dalam keadaan dimana tak dapat
melakukan tugas sehari-hari sebagaimana mestinya. Gejala-gejala yang timbul antara lain
mual, muntah, nafsu makan berkurang, kurang tidur, kejang-kejang dan akhirnya terjadi
penurunan kesadaran sampai koma. Stadium akhir timbul pada sekitar 90 % dari masa nefron
telah hancur. Nilai GFR nya 10 % dari keadaan normal dan kadar kreatinin mungkin sebesar
5-10 ml/menit atau kurang. Pada keadaan ini kreatnin serum dan kadar BUN akan meningkat
dengan sangat mencolok sebagai penurunan. Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita
merasakan gejala yang cukup parah karene ginjal tidak sanggup lagi mempertahankan
homeostatis cairan dan elektrolit dalam tubuh. Penderita biasanya menjadi oliguri
(pengeluaran kemih) kurang dari 500/hari karena kegagalan glomerulus meskipun proses
penyakit mula-mula menyerang tubulus ginjal. Kompleks menyerang tubulus ginjal,
kompleks perubahan biokimia dan gejala-gejala yang dinamakan sindrom uremik
memepengaruhi setip sisitem dalam tubuh. Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita pasti
akan meninggal kecuali ia mendapat pengobatan dalam bentuk transplantasi ginjal atau
dialisis
Menurut Price, (1995) ada beberapa kondisi yang menjadi faktor predisposisi yang
dapat menyebabkan pengurangan aliran darah renal dan gangguan fungsi gmnjal, yaitu
sebagai berikut :
a) Obstruksi tubulus.
b) Kebocoran cairan tubulus.
c) Penurunan permeabilitas glomerulus.
d) Disfungsi vasomotor.
e) Glomerolus feedback.
Teori obstruksi glomerulus menyatakan bahwa NTA (necrosis tubular acute)
mengakibatkan deskuamasi sel-sel tubulus yang nekrotik dan materi protein lainnya, yang
kemudian membentuk silinder-silinder dan menyumbat lumen tubulus. Pembengkakan
selular akibat iskemia awal, juga ikut menyokong terjadinya obstruksi dan memperberat
iskemia. Tekanan tubulus meningkat sehingga tekanan filtrasi glomerulus menurun.
Hipotesis kebocoran tubulus menyatakan bahwa filtrasi glomerulus terus berlangsung
normal, tetapi cairan tubulus bocor keluar melalui sel-sel tubulus yang rusak dan masuk
dalam sirkulasi peritubular. Kerusakan membran basalis dapat terlihat pada NTA yang berat.
Pada ginjal normal, 90% aliran darah didistribusi ke korteks (tempat di mana terdapat
glomerulus) dan 10% pada medula. Dengan demikian, ginjal dapat memekatkan urine dan
menjalankan fungsinya. Sebaliknya pada GGA, perbandingan antara distribusi korteks dan
medula menjadi terbalik sehingga terjadi iskemia relatif pada korteks ginjal. Konstriksi dan
arteriol aferen merupakan dasar penurunan laju flitrasi glomerulus (GFR). Iskemia ginjal
akan mengaktivasi sistem renin-angiotensin dan memperberat iskemia korteks luar ginjal
setelah hilangnya rangsangan awal.
Pada disfungsi vasomotor, prostaglandin dianggap bertanggung jawab terjadinya
GGA, dimana dalam keadaan normal, hipoksia merangsang ginjal untuk melakukan
vasodilator sehingga aliran darah ginjal diredistribusi ke korteks yang mengakibatkan
diuresis. Ada kemungkinan iskemia akut yang berat atau berkepanjangan dapat menghambat
ginjal untuk menyintesis prostaglandin. Penghambatan prostaglandin seperti aspirin diketahui
dapat menurunkan aliran darah renal pada orang normal dan menyebabkan NTA.
Teori glomerulus menganggap bahwa kerusakan primer terjadi pada tubulus
proksimal. Tubulus proksimal yang menjadi rusak akibat nefrotoksin atau iskemia gagal
untuk menyerap jumlah normal natrium yang terfiltrasi dan air.
Akibatnya makula densa mendeteksi adanya peningkatan natrium pada cairan tubulus
distal dan merangsang peningkatan produksi renin dan sel jukstaglomerulus, Terjadi aktivasi
angiotensin II yang menyebabkan vasokontriksi ateriol aferen sehingga mengakibatkan
penurunan aliran darah ginjal dan laju aliran glomerulus.
Menurut Smeltzer (2002) terdapat empat tahapan klinik dan gagal ginjal akut, yaitu
periode awal, periode oligunia, periode diuresis, dan periode perbaikan.
1. Periode awal dengan awitan awal dan diakhiri dengan terjadinya oliguria.
2. Periode oliguria (volume urine kurang dari 400 ml/24 jam) disertai dengan peningkatan
konsentrasi serum dan substansi yang biasanya diekskresikan oleh ginjal (urea, kreatinin,
asam urat, serta kation intraseluler-kalium dan magnesium). Jumlah urine minimal yang
diperlukan untuk membersihkan produk sampah normal tubuh adalah 400 ml. Pada tahap ini
gejala uremik untuk pertama kalinya muncul dan kondisi yang mengancam jiwa seperti
hiperkalemia terjadi.
3. Periode diuresis, pasien menunjukkan peningkatan jumlah urine secara bertahap, disertai
tanda perbaikan filtrasi glomerulus. Meskipun urine output mencapai kadar normal atau
meningkat, fungsi renal masih dianggap normal. Pasien harus dipantau dengan ketat akan
adanya dehidrasi selama tahap ini, jika terjadi dehidrasi, tanda uremik biasanya meningkat.
4. Periode penyembuhan merupakan tanda perbaikan fungsi ginjal dan berlangsung selama 3-12
bulan. Nilai laboratorium akan kembali normal.
2.5. Pathway
Iskemia atau nefrotoksin
Penurunan aliran darah
Kerusakan sel tubulus
Kerusakan glomerulus
Penurunan aliran darah
Pe Pelepasan NaCl ke makula densa
Obstruksi tubulus
Kebocoran filtrat
Penurunan ultrafiltrasi glomerulus
Penurunan GFR
Gagal ginjal akut
Penurunan produksi urine azotemia
Kecemasan pemenuhan informasi
Respons psikologsi
Diuresisi ginjal
Ketidakseimbangan elektrolit
Peningkatan kelelahan otot kram otot
Bau amonia pada mulut mual, muntah, anoreksia
Pola napas tidak efektif
Hiperkalemi
Kelemahan fisik respon nyeri
Intake nutrisi tidak adekuat
Penurunan pefusi serebral
Kerusakan hantaran impuls saraf
Perubahan konduksi elektrikal jantung
Nyeri gangguan ADL
Pemenuhan nutrisi
Defisit neurologik risiko tinggi kejang
Risiko aritmia
Curah jantung
Retensi cairan interstisial dan pH
Penurunan pH pad aciaran serebro spinal
Sumber : Asuhan Keperawatan Gangguan System Perkemihan(Muttaqin,2011)
2.8. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan secara umum adalah:
Kelainan dan tatalaksana penyebab.
a. Kelainan praginjal. Dilakukan klinis meliputi faktor pencetus keseimbangan cairan, dan
status dehidrasi. Kemudian diperiksa konsentrasi natrium urin, volume darah dikoreksi,
diberikan diuretik, dipertimbngkan pemberian inotropik dan dopamin.
b. Kelainan pasca ginjal. Dilakukan pengkajian klinis meliputi apakah kandung kemih penuh,
ada pembesaan prostat, gangguan miksi atau nyeri pinggang. Dicoba memasang kateter urin,
selain untuk mengetahui adanya obstruksi juga untuk pengawasan akurat dari urin dan
mengambil bahan pemeriksaan. Bila perlu dilakukan USG ginjal.
c. Kelainan ginjal. Dilakukan pengkajian klinis, urinalinasi, mikroskopik urin, dan
pertimbangkan kemungkinan biopsi ginjal, arteriografi, atau tes lainnya.
2. Penatalaksanaan gagal ginjal
a. Mencapai & mempertahankan keseimbangan natrium dan air. Masukan natrium dibatasi
hingga 60 mmol/hari dan cairan cukup 500 ml/hari di luar kekurangan hari sebelumnya atau
30 mmol/jam di luar jumlah urin yang dikeluarkan jam sebelumnya. Namun keseimbangan
harus tetap diawasi.
b. Memberikan nutrisi yang cukup. Bisa melalui suplemen tinggi kalori atau hiperalimentaasi
intravena. Glukosa dan insulin intravena, penambahan kalium, pemberian kalsium intravena
pada kedaruratan jantung dan dialisis.
c. Mencegah dan memperbaiki infeksi, terutama ditujukan terhadap infeksi saluran napas dan
nosokomial. Demam harus segera harus dideteksi dan diterapi. Kateter harus segera dilepas
bila diagnosis obstruksi kandung kemih dapat disingkirkan.
d. Mencegah dan memperbaiki perdarahan saluran cerna. Feses diperiksa untuk adanya
perdarahan dan dapat dilakukan endoskopi. Dapat pula dideteksi dari kenaikan rasio
ureum/kreatinin, disertai penurunan hemoglobin. Biasanya antagonis histamin H (misalnya
ranitidin) diberikan pada pasien sebagai profilaksis.
e. Dialisis dini atau hemofiltrasi sebaiknya tidak ditunda sampai ureum tinggi, hiperkalemia,
atau terjadi kelebihan cairan. Ureum tidak boleh melebihi 30-40 mmol/L. Secara umum
continous haemofiltration dan dialisis peritoneal paling baik dipakai di ruang intensif,
sedangkan hemodialisis intermitten dengan kateter subklavia ditujukan untuk pasien lain dan
sebagai tambahan untuk pasien katabolik yang tidak adekuat dengan dialisis
peritoneal/hemofiltrasi.
2.9. Komplikasi
1. Jantung : edema paru, aritmia, efusi pericardium
2. Gangguan elektrolit : hyperkalemia, hiponatremia, asidosis
3. Neurlogi : iritabilitas neuromuskuler, flap, tremor, koma, gangguan kesadaran, kejang
4. Gastrointestinal : nausea, muntah, gastritis, ulkus, peptikum, perdarahaan gastrointestinal
5. Hematologi : anemia, diathesis hemoragik
6. Infeksi : pneumonia, septikemis, infeksi nosocomial
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN GAGAL GINJAL AKUT
1. Pengkajian Anamnesis
Pada pengakajian anamnesis data yang diperoleh yakni identitas klien dan identitas
penanggung jawab,identitas klien yang meliputi nama, usia, jenis kelamin, pekerjaan,serta
diagnosa medis. Penyakit Gagal Ginjal Akut dapat menyerang pria maupun wanita dari
rentang usia manapun,khususnya bagi orang yang sedang menderita penyakit serius,terluka
serta usia dewasa dan pada umumnya lanjut usia. Pada pengkajian jenis kelamin, pria
disebabkan oleh hipertrofi prostat sedangkan pada wanita disebabkan oleh infeksi saluran
kemih yang berulang, serta pada wanita yang mengalami perdarahan pasca melahirkan.
Untuk pengkajian identitas penanggung jawab data yang didapatkan yakni meliputi nama,
umur, pekerjaan, hubungan dengan si penderita.
2. Riwayat Kesehatan
2.1. Keluhan Utama
Keluhan utama yang sering adalah terjadi penurunan produksi miksi.
2.2.Riwayat Kesehatan Sekarang
Pengkajian ditujukan sesuai dengan predisposisi etiologi penyakit terutama pada prerenal dan
renal. Secara ringkas perawat menanyakan berapa lama keluhan penurunan jumlah urine
output dan apakah penurunan jumlah urine output tersebut ada hubungannya dnegna
predisposisi penyebab, seperti pasca perdarahan setelah melahirkan, diare, muntah berat, luka
bakar nluas, cedera luka bakar, setelah mengalami episode serangan infark, adanya riwayat
minum obat NSAID atau pemakaian antibiotik, adanya riwayat pemasangan tranfusi darah,
serta adanya riwayat trauma langsung pada ginjal.
2.3.Riwayat Kesehatan Dahulu
Kaji adanya riwayat penyakit batu saluran kemih, infeksi sistem perkemihan yang berulang,
penyakit diabetes melitus dan penyakit hipertensi pada masa sebelumnya yang menjadi
predisposisi penyebab pasca renal. Penting untuk dikaji tentang riwayat pemakaian obat-
obatan masa lalu dan adanya riwayat alergi terhadap jenis obat dan dokumentasikan.
2.4.Riwayat psikososialcultural
Adanya kelemahan fisik, penurunan urine output dan prognosis penyakit yang berat akan
memberikan dampak rasa cemas dan koping yang maladaptif pada klien.
3. Pemeriksaan Fisik
3.1.Keadaan umum dan TTV
Keadaan umum klien lemah, terlihat sakit berat, dan letargi. Pada TTV sering didapatkan
adanya perubahan, yaitu pada fase oliguri sering didapatkan suhu tubuh meningkat, frekuensi
denyut nadi mengalami peningkatan dimana frekuensi meningkat sesuai dengan peningkatan
suhu tubuh dan denyut nadi. tekanan darah terjadi perubahan dari hipetensi rinagan sampai
berat.
3.2.Pemeriksaan Pola Fungsi
3.2.1. B1 (Breathing).
Pada periode oliguri sering didapatkan adanya gangguan pola napas dan jalan napas yang
merupakan respons terhadap azotemia dan sindrom akut uremia. Klien bernapas dengan bau
urine (fetor uremik) sering didapatkan pada fase ini. Pada beberapa keadaan respons uremia
akan menjadikan asidosis metabolik sehingga didapatkan pernapasan kussmaul.
3.2.2. B2 (Blood).
Pada kondisi azotemia berat, saat perawat melakukan auskultasi akan menemukan adanya
friction rub yang merupakan tanda khas efusi perikardial sekunder dari sindrom uremik. Pada
sistem hematologi sering didapatkan adanya anemia. Anemia yang menyertai gagal ginjal
akut merupakan kondisi yang tidak dapat dielakkan sebagai akibat dari penurunan produksi
eritropoetin, lesi gastrointestinal uremik, penurunan usia sel darah merah, dan kehilangan
darah, biasanya dari saluran G1. Adanya penurunan curah jantung sekunder dari gangguan
fungsi jantung akan memberat kondisi GGA. Pada pemeriksaan tekanan darah sering
didapatkan adanya peningkatan.
3.2.3. B3 (Brain).
Gangguan status mental, penurunan lapang perhatian, ketidakmampuan berkonsentrasi,
kehilangan memori, kacau, penurunan tingkat kesadaran (azotemia, ketidakseimbangan
elektrolit/asam/basa). Klien berisiko kejang, efek sekunder akibat gangguan elektrolit, sakit
kepala, penglihatan kabur, kram otot/kejang biasanya akan didapatkan terutama pada fase
oliguri yang berlanjut pada sindrom uremia.
3.2.4. B4 (Bladder).
Perubahan pola kemih pad aperiode oliguri akan terjadi penurunan frekuensi dan penurunan
urine output <400 ml/hari, sedangkan pada periode diuresis terjadi peningkatan yang
menunjukkan peningkatan jumlah urine secara bertahap, disertai tanda perbaikan filtrasi
glomerulus. Pada pemeriksaan didapatkan perubahan warna urine menjadi lebih pekat/gelap.
3.2.5. B5 (Bowel).
Didapatkan adanya mual dan muntah, serta anoreksia sehingga sering didapatkan penurunan
intake nutrisi dari kebutuhan.
3.2.6. B6 (Bone).
Didapatkan adnaya kelemahan fisik secara umum efek sekunder dari anemia dan penurunan
perfusi perifer dari hipetensi.
3.3. Pemeriksaan Diagnostik
Laboratorium
Urinalisis didapatkan warna kotor, sedimen kecoklatan menunjukkan adanya darah, Hb,
dan myoglobin. Berat jenis <1.020 menunjukkan penyakit ginjal, pH urine >7.00
menunjukkan ISK, NTA,d an GGK. Osmolalitas kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan
kerusakan ginjal dan rasio urine : serum sering 1 : 1.
Pemeriksaan BUN dan kadar kreatinin. Terdapat peningkatan yang tetap dalakm BUN
dan laju peningkatannya bergantung pada tingkat katabolisme (pemecahan protein), perfusi
renal dan masukan protein. Serum kratinin meningkat pada kerusakan glomerulus. Kadar
kreatinin serum bermanfaat dalam pemantauan fungsi ginjal dan perkembangan penyakit.
Pemeriksaan elektrolit. Pasien yang mengalami penurunan lajut filtrasi glomerulus tidak
mampu mengeksresikan kalium. Katabolisme protein mengahasilkan pelepasan kalium
seluler ke dalam cairan tubuh, menyebabkan hiperkalemia berat. Hiperkalemia menyebabkan
disritmia dan henti jantung.
Pemeriksan pH. Pasien oliguri akut tidak dapat emngeliminasi muatan metabolik seperti
substansi jenis asam yang dibentuk oleh proses metabolik normal. Selain itu, mekanisme
bufer ginjal normal turun. Hal ini ditunjukkan dengan adanya penurunan kandungan karbon
dioksida darah dan pH darah sehingga asidosis metabolik progresif menyertai gagal ginjal.
4. Penatalaksanaan Medis
Tujuan penatalaksanaan adalah menjaga keseimbangan dan mencegah komplikasi,
yang meliputi hal-hal sebagai berikut.
1. Dialisis. Dialisis dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi gagal ginjal akut yang serius,
seperti hiperkalemia, perikarditis, dan kejang. Dialisis memperbaiki abnormalitas biokimia,
menyebabkan cairan, protein, dan natrium dapat dikonsumsi secara bebas; menghilangkan
kecenderungan perdarahan dan membantu penyembuhan luka.
2. Koreksi hiperkalemi. Peningkatan kadar kalium dapat dikurangi dengan pemberian ion
pengganti resin (natrium polistriren sulfonat), secara oral atau melalui retensi enema. Natrium
polistriren sulfonat bekerja dengan mengubah ion kalium menjadi natrium di saluran
intenstinal.
3. Terapi cairan
4. Diet rendah protein, tinggi karbohidrat
5. Koreksi asidosis dengan natrium bikarbonat dan dialisis
5. Analisa Data
symptom Etiologi Problem
DS:- fase diuresis dari Defisit volume cairan
DO:-perubahan pola gagal ginjal akut
kemih,warna urin
pekat,penurunan urine output
<400 ml/hari.
DS:- penurunan pH pada Aktual/risiko tinggi
DO:pernapasan ciaran serebrospinal, pola napas tidak efektif
kussmaul,fetor uremik, perembesan cairan,
6. Diagnosa keperawatan
1. Defisit volume cairan b.d. fase diuresis dari gagal ginjal akut
2. Aktual/risiko tinggi pola napas tidak efektif b.d penurunan pH pada ciaran serebrospinal,
perembesan cairan, kongesti paru efek sekunder perubahan membran kapiler alveoli dan
retensi cairan interstisial dari edema paru pada respons asidosis metabolik
3. Aktual/risiko tinggi menurunnya curah jantung b.d penurunan kontraktilitas ventrikel kiri,
perubahan frekuensi, irama, konduksi elektrikal efek sekunder penurunan pH, hiperkalemi,
dan uremia
4. Aktual/risiko penurunan perfusi serebral b.d. penurunan pH pada cairan serebrospinal efek
sekunder dari asidosis metabolik
5. Aktual/risiko tinggi aritmia b.d gangguan konduksi elektrikal efek sekunder dari hiperkalemi
6. Aktual/risiko tinggi kejang b.d kerusakan hantaran saraf sekunder dari abnormalitas elektrolit
dan uremia.
7. Aktual/risiko tinggi defisit neurologis b.d gangguan transmisi sel-sel saraf sekunder dari
hiperkalsemi
8. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake nutrisi yang tidak adekuat
sekunder dari anoreksi, mual, muntah
9. Gangguan ADL (Activity Daily Living) b.d edema ekstremitas, kelemahan fisik secara umum
10. Kecemasan b.d prognosis penyakit, ancaman, kondisi sakit, dan perubahan kesehatan
7. Intervensi
Rencana keperawatan yang dilakukan bertujuan menurunkan keluhan klien,
menghindari penurunan dari fungsi ginjal, serta menurunkan risiko komplikasi.
Smeltzer, Suzanne C, Brenda G bare, 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner
& Suddarth Edisi 8 Vol 2 alih bahasa H. Y. Kuncara, Andry Hartono, Monica Ester, Yasmin
asih, Jakarta : EGC.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gagal ginjal atau Acute renal failure (ARF) dapat diartikan sebagai penurunan
cepat/tiba-tiba atau parah pada fungsi filtrasi ginjal. Kondisi ini biasanya ditandai oleh
peningkatan konsentrasi kreatinin serum atau azotemia (peningkatan konsentrasi BUN
[Blood Urea Nitrogen] . Akan tetapi biasanya segera setelah cedera ginjal terjadi, tingkat
konsentrasi BUN kembali normal, sehingga yang menjadi patokan adanya kerusakan ginjal
adalah penurunan produksi urin.
Gagal ginjal Adalah penurunan tiba-tiba faal ginjal pada individu dengan ginjal sehat
sebelumnya, dengan atau tanpa oliguria dan berakibat azotemia progresif disertai kenaikan
ureum dan kreatinin darah (Imam Parsoedi A dan Ag. Soewito :Ilmu Penyakit dalam Jilid
II;91 )
B. Rumusan masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah Bagaimana gambaran
klinis dan penatalaksanaan serta perjalanan penyakit pasien yang menderita penyakit Gagal
Ginjal Akut
C. Tujuan penulisan
Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah agar mahasiswa khususnya saya sendiri dapat
mempelajari dan mengetahui definisi, manifestasi klinis, etiologi, patofisiologi, komplikasi,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, pengobatan, dan diagnosa keperawatan yang
mungkin muncul. Selain itu penulisan laporan kasus ini juga bertujuan untuk memenuhi tugas
praktek keperawatan dewasa I.
D. Manfaat penulisan
1. Meningkatkan pemahaman kepada mahasiswa dan saya sendiri mengenai definisi, etiologi,
patofisiologi, komplikasi, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan, dan
diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada penyakit Gagal Ginjal Akut
2. Memberikan pengetahuan kepada mahasiswa khususnya saya sendiri tentang penyakit Gagal
Ginjal Akut dan gejala-gejalanya di sertai tindakan yang harus diambil untuk pencegahannya
sebagai langkah awal dalam mengantisipasi penyakit Gagal Ginjal Akut
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Gagal Ginjal Akut (GGA) adalah penurunan fungsi ginjal mendadak dengan akibat
hilangnya kemampuan ginjal untuk mempertahankan homeostasis tubuh. Akibat penurunan
fungsi ginjal terjadi peningkatan metabolit persenyawaan nitrogen seperti ureum dan
kreatinin, serta gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit yang seharusnya dikeluarkan
oleh ginjal. Kriteria diagnosis GGA yaitu terjadinya peningkatan kadar kreatinin darah secara
progresif 0,5 mg/dL per hari. Peningkatan kadar ureum darah adalah sekitar 10-20 mg/dL per
hari, kecuali bila terjadi keadaan hiperkatabolisme dapat mencapai 100 mg/dL per hari.
Manifestasi klinik GGA dapat bersifat: oligurik dan non oligurik. Definisi oliguria
adalah < 240 ml/m /hari. Pada neonatus dipakai kriteria < 1,0 ml/kgBB/jam. Pada GGA non
oligurik ditemukan diuresis 1-2 ml/kgBB/jam disertai peningkatan kadar ureum dan kreatinin
darah. Keadaan ini sering dijumpai pada GGA akibat pemakaian obat nefrotoksik, antara lain
aminoglikosida.
B. Manifestasi klinik
Gejala klinis yang berhubungan dengan GGA adalah: pucat (anemia), oliguria, edema,
hipertensi, muntah, letargi, dan pernapasan Kussmaul karena terjadi asidosis metabolik. Pada
kasus yang datang terlambat gejala komplikasi GGA ditemukan lebih menonjol yaitu gejala
kelebihan (overload) cairan berupa sesak napas akibat gagal jantung kongestif dan edema
paru, aritmia jantung akibat hiperkalemia, perdarahan gastrointestinal berupa hematemesis
dengan atau tanpa melena akibat gastritis, kejang-kejang dan kesadaran menurun sampai
koma. GGA dapat bersifat non-oligurik, yang sukar dideteksi pada saat awal kalau tidak
dilakukan pemeriksaan ureum dan kreatinin darah pada pasien yang dicurigai misalnya pada
pasien yang mendapat obat nefrotoksik
C. Etiologi
1. GGA prarenal
a. Hipovolemia
a) Pendarahan
b) Kehilangan cairan melalui GIT seperti muntah dan diare
b. Penurunan volume vaskular efektif
a) Sepsis akibat vasodilatasi
b) Luka bakar, trauma akibat pengumpulan cairan di ruang ketiga –
c) Sindrom nefrotik akibat hipoalbuminemia dan edema yang hebat.
c. Penurunan cardiac output
a) Gagal jantung
b) Kardiomiopati
c) Pasca bedah jantung
2. GGA renal / intrinsik
a. Kelainan vaskular intrarenal
a) Sindrom hemolitik uremik (trias anemia hemolitik mikroangiopati, trombositopenia, gagal
ginjal akut)
b) Trombosis arteri/vena renalis
c) Vaskulitis misalnya pada poliarteritis nodosa, purpura Schonlein Henoch Pupura Henoch
Schonlein adalah vaskulitis sistemik pembuluh darah kecil akibat reaksi imunologis, yang
secara primer menyerang kulit, saluran cerna, sendi, & ginjal. b.
b. Glomerulonefritis
a) Pasca streptokokus
b) GN kresentik: idiopatik dan sindrom Goodpasture.
c. Nefritis interstisial
a) Obat
b) Infeksi
c) Pielonefritis
d. Kerusakan tubulus
a) Nekrosis tubular akut
- Tipe iskemik: GGA prarenal yang berlangsung lama
- Tipe nefrotoksik: obat aminoglikosida, hemoglobinuria, mioglobinuria
e. Anomali Kongenital ginjal
a) Agenesis ginjal
b) Ginjal polikistik
c) Ginjal hipoplastik - displastik
D. Patofisiologi
1. GGA prarenal
Oleh karena berbagai sebab prarenal, volume sirkulasi darah total atau efektif menurun,
curah jantung menurun, dengan akibat aliran darah ke korteks ginjal menurun dan laju filtrasi
glomerulus (LFG) menurun. Tetapi fungsi reabsorbsi tubulus terhadap air dan garam terus
berlangsung. Oleh karena itu pada GGA prarenal ditemukan hasil pemeriksaan osmolalitas
urin yang tinggi >300 mOsm/kg dan konsentrasi natrium urin yang rendah <20 mmol/L serta
fraksi ekskresi natrium (FENa) yang rendah (<1%). Sebaliknya bila telah terjadi nekrosis
tubulus (GGA renal) maka daya reabsorbsi tubulus tidak berfungsi lagi. Ditemukan kadar
osmolalitas urin yang rendah <300 mOsm/kg sedangkan kadar natrium urin tinggi >20
mmol/L dan FENa urin juga tinggi (>1%). Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk
membedakan apakah pasien GGA prarenal yang terjadi sudah menjadi GGA renal. GGA
renal terjadi apabila hipoperfusi prarenal tidak cepat ditanggulangi sehingga terjadi kerusakan
parenkim ginjal. Pembedaan ini penting karena GGA prarenal memberi respons diuresis pada
pemberian cairan adekuat dengan atau tanpa diuretika, sedangkan pada GGA renal tidak.
Beberapa mekanisme terjadi pada hipoperfusi. Peningkatan pelepasan renin dari
aparatus jukstaglomerularis menyebabkan peningkatan produksi aldosteron, di mana terjadi
peningkatan resorbsi natrium di tubulus kolektivus. Sebagai tambahan, penurunan volume
cairan ekstraseluler menstimulasi pelepasan hormon antidiuretik (ADH), terjadilah
peningkatan absorbsi air di medulla. Hasil akhirnya adalah penurunan volume urin,
penurunan kadar natrium urin, yang semuanya adalah karakteristik dari GGA prarenal.
Penyebab tersering GGA prarenal pada anak adalah dehidrasi berat karena muntah dan diare,
perdarahan, luka bakar, syok septik, sindrom nefrotik, pembedahan jantung, dan gagal
jantung.
2. GGA renal
Berdasarkan etiologi penyakit, penyebab GGA renal dapat dibagi menjadi beberapa
kelompok: kelainan vaskular, glomerulus, tubulus, interstisial, dan anomali kongenital.
Tubulus ginjal yang merupakan tempat utama penggunaan energi pada ginjal, mudah
mengalami kerusakan bila terjadi iskemia atau oleh obat nefrotoksik oleh karena itu kelainan
tubulus berupa nekrosis tubular akut adalah penyebab tersering dari GGA renal.
E. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi dari gagal ginjal akut di antaranya gagal ginjal kronik,
infeksi, dan sindrom uremia. Untuk gagal ginjal kronik, terapi sesuai tatalaksana GGK pada
umumnya, bila sudah parah dilakukan dialisis dan transplantasi ginjal. Komplikasi infeksi
sering merupakan penyabab kematian pada GGA, dan harus segera diberantas dengan
antibiotika yang adekuat. Bila LFG menurun 5-10% dari keadaan normal dan terus mendekati
nol, maka pasien akan menderita sindrom uremik, yaitu suatu kompleks gejala yang terjadi
akibat atau berkaitan dengan retensi metabolit nitrogen karena gagal ginjal. Sindrom uremia
ditangani secara simtomatik.
F. Pemeriksaan penunjang
1. Darah : ureum, kreatinin, elektrolit, serta osmolaritas.
2. Urin : ureum, kreatinin, elektrolit, osmolaritas, dan berat jenis.
3. Kenaikan sisa metabolisme proteinureum kreatinin dan asam urat.
4. Gangguan keseimbangan asam basa : asidosis metabolik.
5. Gangguan keseimbangan elektrolit : hiperkalemia, hipernatremia atau hiponatremia,
hipokalsemia dan hiperfosfatemia.
6. Volume urine biasanya kurang dari 400 ml/24 jam yang terjadi dalam 24 jam setelah ginjal
rusak.
7. Warna urine : kotor, sedimen kecoklatan menunjukan adanya darah, Hb, Mioglobin, porfirin.
8. Berat jenis urine : kurang dari 1,020 menunjukan penyakit ginjal, contoh : glomerulonefritis,
piolonefritis dengan kehilangankemampuan untuk memekatkan; menetap pada
1,010menunjukan kerusakan ginjal berat.
9. PH. Urine : lebih dari 7 ditemukan pada ISK., nekrosis tubular ginjal, dan gagal ginjal
kronik.
10. Osmolaritas urine : kurang dari 350 mOsm/kg menunjukan kerusakan ginjal, dan ratio
urine/serum sering 1:1.
11. Klierens kreatinin urine : mungkin secara bermakna menurun sebelum BUN dan kreatinin
serum menunjukan peningkatan bermakna.
12. Natrium Urine : Biasanya menurun tetapi dapat lebih dari 40 mEq/L bila ginjal tidak mampu
mengabsorbsi natrium.
13. Bikarbonat urine : Meningkat bila ada asidosis metabolik.
14. SDM urine : mungkin ada karena infeksi, batu, trauma, tumor, atau peningkatan GF.
15. Protein : protenuria derajat tinggi (3-4+) sangat menunjukan kerusakan glomerulus bila SDM
dan warna tambahan juga ada. Proteinuria derajat rendah (1-2+) dan SDM menunjukan
infeksi atau nefritis interstisial. Pada NTA biasanya ada proteinuria minimal.
16. Warna tambahan : Biasanya tanpa penyakit ginjal ataui infeksi. Warna tambahan selular
dengan pigmen kecoklatan dan sejumlah sel epitel tubular ginjal terdiagnostik pada NTA.
Tambahan warna merah diduga nefritis glomular.
Darah :
1. Hb. : menurun pada adanya anemia.
2. Sel Darah Merah : Sering menurun mengikuti peningkatan kerapuhan/penurunan hidup.
3. PH : Asidosis metabolik (kurang dari 7,2) dapat terjadi karena penurunan kemampuan ginjal
untuk mengeksresikan hidrogen dan hasil akhir metabolism.
4. BUN/Kreatinin : biasanya meningkat pada proporsi ratio 10:1
5. Osmolaritas serum : lebih beras dari 285 mOsm/kg; sering sama dengan urine.
6. Kalium : meningkat sehubungan dengan retensi seiring dengan perpindahan selular (
asidosis) atau pengeluaran jaringan (hemolisis sel darah merah).
7. Natrium : Biasanya meningkat tetapi dengan bervariasi
8. Ph; kalium, dan bikarbonat menurun.
9. Klorida, fosfat dan magnesium meningkat.
10. Protein : penurunan pada kadar serum dapat menunjukan kehilangan protein melalui urine,
perpindahan cairan, penurunan pemasukan, dan penurunan sintesis,karena kekurangan asam
amino esensial
11. CT.Scan
12. MRI
13. EKG mungkin abnormal menunjukan ketidakseimbangan elektrolit dan asam/basa.
G. Penatalaksanaan
1. Mempertahankan keseimbangan cairan
Penatalaksanaan keseimbangan cairan didasarkan pada pengukuran berat badan harian,
pengukuran tekanan vena sentral, konsentrasi urin dan serum, cairan yang hilang, tekanan
darah, dan status klinis pasien.
Masukan dan haluaran oral dan parenteral dari urin, drainase lambung, feses, drainase
luka, dan perspirasi dihitung dan digunakan sebagai dasar untuk terapi penggantian cairan.
2. Penanganan hiperkalemia :
Peningkatan kadar kalium dapat dikurangi dengan hal-hal berikut :
Glukosa, insulin, kalsium glukonat, natrium bikarbonat (sebagai tindakan darurat sementara
untuk menangani heperkalemia) Natrium polistriren sulfonat (kayexalate) (terapi jangka
pendek dan digunakan bersamaan dengan tindakan jangka panjang lain) Pembatasan diit
kalium Dialisis
3. Menurunkan laju metabolisme
a. Tirah baring
b. Demam dan infeksi harus dicegah atau ditangani secepatnya
4. Pertimbangan nutrisional
a. Diet protein dibatasi sampai 1 gram/kg selama fase oligurik.
b. Tinggi karbohidrat
c. Makanan yang mengandung kalium dan fosfat (pisang, jus jeruk, kopi) dibatasi, maksimal 2
gram/hari
d. Bila perlu nutrisi parenteral
5. Merawat kulit
a. Masase area tonjolan tulang
b. Alih baring dengan sering
c. Mandi dengan air dingin
6. Koreksi asidosis
a. Memantau gas darah arteri
b. Tindakan ventilasi yang tepat bila terjadi masalah pernafasan
c. Sodium bicarbonat, sodium laktat dan sodium asetat dapat diberikan untuk mengurangi
keasaman
7. Dialisis
Dialisis dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya komplikasi gagal ginjal akut yang serius,
seperti hiperkalemia, perikarditis, dan kejang. Dialisis memperbaiki abnormalitas biokimia,
menghilangkan kecenderungan perdarahan, dan membantu penyembuhan luka.
Hal-hal berikut ini dapat digunakan sebagai pertimbangan untuk segera dilakukan dialisis :
a. Volume overload
b. Kalium > 6 mEq/L
c. Asidosis metabolik (serum bicarbonat kurang dari 15 mEq/L)
d. BUN > 120 mg/dl
e. Perubahan mental signifikan
H. Diagnosa keperawatan
1. kelebihan volume cairan b/d gagal ginjal dengan kelebihan air.
2. ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan katabolisme
protein
3. Kelelahan berhubungan dengan penurunan produksi energi metabolik/pembatasan diet,
anemia.
4. Resiko infeksi b/d depresi pertahanan imunologi.
5. Kurang pengetahuan tentang kondisi,prognosis dan kebutuhan pengobatan b/d kurang
mengingat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Gagal ginjal akut ( GGA ) adalah suatu keadaan fisiologik dan klinik yang ditandai
dengan pengurangan tiba-tiba glomerular filtration rate (GFR) dan perubahan kemampuan
fungsional ginjal untuk mempertahankan eksresi air yang cukup untuk keseimbangan dalam
tubuh. Atau sindroma klinis akibat kerusakan metabolik atau patologik pada ginjal yang
ditandai dengan penurunan fungsi yang nyata dan cepat serta terjadinya azotemia.
Peningkatan kadar kreatinin juga bisa disebabkan oleh obat-obatan (misalnya cimetidin
dan trimehoprim) yang menghambat sekresi tubular ginjal. Peningkatan tingkat BUN juga
dapat terjadi tanpa disertai kerusakan ginjal, seperti pada perdarahan mukosa atau saluran
pencernaan, penggunaan steroid, pemasukan protein. Oleh karena itu diperlukan pengkajian
yang hati-hati dalam menentukan apakah seseorang terkena kerusakan ginjal atau tidak
B. Saran
Berikan penjelasan yang jelas kepada pasien tentang penyakitnya dan untuk mencegah
terjangkitnya penyakit gagal ginjal dan mempercepat penyembuhan. Penatalaksanaan yang
efektif dan efisien pada pasien untuk mendapatkan hasil yang maksimal dan mencegah
terjadinya komplikasi.
Daftar pustaka
Ganong. W.F., editor Widjajakusumah D.H.M., 2001., Buku Ajar Fisiologi Kedokteran., edisi
Bahasa Indonesia., Jakarta., EGC
Price, Sylvia A, 1995 Patofisiologi :konsep klinis proses-proses penyakit, ed 4, EGC, Jakarta
Ilmu Kesehatan Nelson, 2000, vol 3, ed Wahab, A. Samik, Ed 15, Glomerulonefritis akut pasca
streptokokus,1813-1814, EGC, Jakarta.
Rusdidjas, Ramayati R, 2002. Infeksi saluran kemih. In Alatas H, Tambunan T, Trihono PP,
Pardede SO. Buku ajar Nefrologi Anak. 2 nd .Ed. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 142-163
Lambert H, Coulthard M, 2003. The child with urinary tract infection. In : Webb NJ.A,
Postlethwaite RJ ed. Clinical Paediatric Nephrology.3 rd ED. Great Britain: Oxford
Universsity Press., 197-22
Posted by Eko Putera Sampoerna at 5:38 AM
Labels: Makalah
GAGAL GINJAL AKUT
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
ANATOMI GINJAL
Ginjal terletak di dalam ruang retroperitoneum sedikit di atas ketinggian umbilicus dan
kisaran panjang serta beratnya berturut-turut dari kira-kira 6 cm dan 24 gr pada bayi cukup bulan
sampai 12 cm atau lebih dan 150 gr pada orang dewasa. Ginjal mempunyai lapisan luar, korteks yang
berisi glomeruli, tubulus kontortus proksimal-distal dan duktus kolektivus, serta di lapisan dalam,
medulla, yang mengandung bagian-bagian tubulus yang lurus, lengkung (ansa) henle, vasa rekta dan
duktus koligens terminal.
Pasokan darah pada setiap ginjal biasanya terdiri dari arteri renalis utama yang keluar dari
aorta; arteri renalis multiple bukannya tidak lazim dijumpai. Arteri renalis utama membagi menjadi
bercabang-cabang segmental dalam medulla, dan arteri-arteri ini menjadi arteri interlobaris yang
melewati medulla ke batas antara korteks dan medulla. Pada daerah ini, arteri interlobaris
bercabang membentuk arteri arkuata, yang berjalan sejajar dengan permukaan ginjal. Arteri
interlobaris berasal dari arteri arkuata dan membenntuk arteriole aferen glomerulus. Sel-sel otot
yang terspesialisasi dalam dinding arteriole aferen, bersama dengan sel lacis dan bagian distal
tubulus (macula densa) yang berdekatan dengan glomerulus, membentuk apparatus
jukstaglomeruler yang mengendalikan sekresi urin. Arteriole aferen membagi menjadi anyaman
kapiler glomerulus, yang kemudian bergabung menjadi arteriole eferen. Arteriole eferen glomerulus
dekat medulla (glomerulus jukstamedulari) lebih besar daripada arteriole di korteks sebelah luar dan
memberikan pasokan darah (vasa rekta) ke tubulus dan medulla.
Setiap ginjal mengandung sekitar satu juta nefron (glomerulus dan tubulus terkait). Pada
manusia, pembentukan nefron telah sempurna pada saat lahir, tetapi maturasi fungsional belum
terjadi sampai di kemudian hari. Karena tidak ada nefron baru yang dapat dibentuk sesudah lahir,
hilangnya nefron secara progresif dapat menyebabkan inusfisiensi ginjal.
Sel epitel viscera menutupi kapiler dan menonjolkan ‘tonjolan kaki’ sitoplasma, yang melekat
pada lamina rara eksterna. Diantara tonjolan kaki ada ruangan atau celah filtrasi. Mesangium
terletak diantara kapiler-kapiler glomerulus pada sisi endotel membrane basalis dan membentuk
bagian tengah dinding kapiler. Mesangium dapat berperan sebagai struktur pendukung pada kapiler
glomerulus dan mungkin memainkan peran dalam pengaturan aliran darah glomerulus, filtrasi dan
pembuangan makromolekul (seperti kompleks imun) dari glomerulus, melalui fagositosis intraseluler
atau dengan pengangkutan melalui saluran intraseluler ke daerah jukstaglomerulus. Kapsula
bowman, yang mengelilingi glomerulus, terdiri dari 1. Membrana baslis, yang merupakan kelanjutan
dari membrana basalis kapiler glomerulus dan tubulus proksimalis, 2. Sel-sel epitel parietalis, yang
merupakan kelanjutan sel-sel epitel viscera.
Filtrasi Glomerulus
Saat darah melewati kapiler glomerulus, plasmanya difiltrasi melalui dinding kapiler
glomerulus. Ultrafiltrat, yang bebas sel, mengandung semua substansi dalam plasma (elektrolit,
glukosa, fosfat, urea, kreatinin, peptide, protein dengan berat molekul rendah), kecuali protein
(seperti albumin dan globulin) yang mempunyai berat molekul lebih dari 68.000. filtrate terkumpul
di ruang bowman dan masuk tubulus, dimana komposisinya diubah sesuai dengan kebutuhan tubuh
sampai filtrate tersebut meninggalkan ginjal sebagai urin.
Filtrasi glomerulus adalah hasil akhir dari gaya-gaya yang berlawanan melewati dinding
kapiler. Gaya ultrafiltrasi (tekanan hidrostatis kapiler glomerulus) berasal dari tekanan arteri
sistemik, yang di ubah oleh tonus arteriole aferen dan eferen. Gaya utama yang melawan ultrafiltrasi
adalah tekanan onkotik kapiler glomerulus, yang dibentuk oleh perbedaan tekanan antara kadar
protein plasma yang tinggi dalam kapiler dan ultrafiltrat yang hampir saja bebas protein dalam ruang
bowman. Filtrasi dapat diubah oleh kecepatan aliran plasma glomerulus, tekanan hidrostatis dalam
ruang bowman, dan permeabilitas dari dinding kapiler glomerulus. Permeabilitas, seperti yang
diukur dengan koefisien ultrafiltrasi (K1) adalah hasil kali permeabilitas air pada membrane dan luas
permukaan kapiler glomerulus total yang tersedia untuk filtrasi.
Meskipun filtrasi glomerulus telah dimulai sekitar minggu ke 9 kehidupan janin, fungsi ginjal
tampaknya tidak diperlukan untuk homeostasis intrauteri normal, plasenta berperan sebagai organ
ekskresi utama. Setelah lahir, kecepatan filtrasi glomerulus naik sampai pertumbuhan berhenti pada
akhir umur decade ke-2. Untuk mempermudah perbandingan kecepatan filtrasi glomerulus (KFG)
anak dan orang dewasa, kecepatan tersebut distandarisasi terhadap luas permukaan tubuh (1,73
m2) dari orang dewasa berat 70 kg. Bahkan setelah koreksi terhadap luas permukaan tubuh, KFG
anak tidak mendekati nilai KFG dewasa sampai usia tahun ke 3.
KFG dapat diperkirakan dengan pengukuran kadar kreatinin serum. Kreatinin berasal dari
metabolism otot. Produksinya relative konstan, dan sekresinya terutama melalui filtrasi glomerulus
(meskipun sekresi tubulus mungkin menjadi penting pada insufisiensi ginjal). Berbeda dengan kadar
nitrogen urea darah, kadar kreatinin serum dipengaruhi secara minimal oleh beberapa faktor
(kesetimbangan nitrogen, keadaan hidrasi) selain fungsi glomerulus. Kreatinin serum berharga untuk
menilai KFG pada keadaan yang mantap (misalnya, sesaat setelah mulainya gagal ginjal akut dan
penghentian curah urin penderita dapat mempunyai kadar kreatinin yang normal tetapi fungsi
ginjalnya tidak efektif). Kadar kreatinin serum selanjutnya terganggu oleh kenyataan bahwa
kadarnya tidak naik di atas normal sampai kecepatan filtrasi turun dibawah 70% normal.
KFG sebaiknya ditetapkan dengan cara pengukuran klirens kreatinin atau dengan memakai
rumus sebagai berikut :
Fisiologi Ginjal
Fungsi primer ginjal adalah mempertahankan volume dan komposisi cairan ekstrasel dalam
batas-batas normal. Komposisi dan volume cairan ekstrasel ini dikontrol oleh filtrasi glomerulus,
reabsorpsi dan sekresi tubulus.
1. Fungsi ekskresi
Mempertahankan osmolalitas plasma sekitar 285 mOsmol dengan mengubah ekskresi air.
kembali HCO3ˉ
Mengekskresikan produk akhir nitrogen dan metabolisme protein terutama urea, asam urat dan
kreatinin.
Mengekskresikan berbagai senyawa asing, seperti : obat, pestisida, toksin, & berbagai zat eksogen
Mekanisme kerja utama nefron dalam membersihkan substansi yang tidak diperlukan dalam tubuh
adalah :
1. Nefron menyaring sebagian besar plasma di dalam glomerulus yang akan menghasilkan cairan filtrasi.
2. Jika cairan filtrasi ini mengalir melalui tubulus, substansi yang tidak diperlukan tidak akan
direabsorpsi sedangkan substansi yang diperlukan direabsorpsi kembali ke dalam plasma dan kapiler
peritubulus.
Mekanisme kerja nefron yang lain dalam membersihkan plasma dan substansi yang tidak
diperlukan tubuh adalah sekresi. Substansi-substansi yang tidak diperlukan tubuh akan disekresi dan
plasma langsung melewati sel-sel epitel yang melapisi tubulus ke dalam cairan tubulus. Jadi urine
yang akhirnya terbentuk terdiri dari bagian utama berupa substansi-substansi yang difiltrasi dan juga
sebagian kecil substansi-substansi yang disekresi.
2.2 DEFINISI
Gagal ginjal akut (GGA) merupakan suatu sindrom klinik akibat adanya gangguan fungsi ginjal
yang terjadi secara mendadak (dalam beberapa jam sampai beberapa hari) yang menyebabkan
retensi sisa metabolisme nitrogen (urea-kreatinin) dan non-nitrogen, dengan atau tanpa disertai
oliguri. Tergantung dari keparahan dan lamanya gangguan fungsi ginjal, retensi sisa metabolisme
tersebut dapat disertai dengan gangguan metabolik lainnya seperti asidosis dan hiperkalemia,
gangguan keseimbangan cairan serta dampak terhadap berbagai organ tubuh lainnya. Diagnosis
GGA berdasarkan pemeriksaan laboratorium ditegakkan bila terjadi peningkatan secara mendadak
kreatinin serum 0,5 mg% pada pasien dengan kadar kreatinin awal <2,5 mg% atau meningkatkan
>20% bila kreatinin awal >2,5mg%.
Acute kidney injury (AKI), yang sebelumnya dikenal dengan gagal ginjal akut (GGA, acute renal
failure [ARF]) merupakan salah satu sindrom dalam bidang nefrologi yang dalam 15 tahun terakhir
menunjukkan peningkatan insidens. Peningkatan insidens AKI antara lain dikaitkan dengan
peningkatan sensitivitas kriteria diagnosis yang menyebabkan kasus yang lebih ringan dapat
terdiagnosis. Selain itu, juga disebabkan oleh peningkatan nyata kasus AKI akibat meningkatnya
populasi usia lanjut dengan penyakit komorbid yang beragam, meningkatnya jumlah prosedur
transplantasi organ selain ginjal, intervensi diagnostik dan terapeutik yang lebih agresif.
AKIN mendefinisikan AKI sebagai penurunan fungsi ginjal secara tiba-tiba (dalam 48 jam)
ditandai dengan peningkatan serum kreatinin (SCr) >0.3 mg/dL (>25 μmol/L) atau meningkat sekitar
50% dan adanya penurunan output urin < 0.5 mL/kg/hr selama >6 jam. Suatu kondisi penurunan
fungsi ginjal yang menyebabkan hilangnya kemampuan ginjal untuk mengekskresikan sisa
metabolisme, menjaga keseimbangan elektrolit dan cairan.
Secara konseptual AKI adalah penurunan cepat (dalam jam hingga minggu) laju filtrasi
glomerulus (LFG) yang umumnya berlangsung reversibel, diikuti kegagalan ginjal untuk mengekskresi
sisa metabolisme nitrogen, dengan/tanpa gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.
Penurunan LFG dapat terjadi pada ginjal yang fungsi dasarnya normal (AKI “klasik”) atau tidak
normal (acute on chronic kidney disease). Dahulu hal tersebut dikatakan sebagai gagal ginjal akut
dan tidak ada definisi operasional yang seragam sehingga parameter dan batas parameter gagal
ginjal akut yang digunakan berbeda-beda pada berbagai kepustakaan. Atas dasar hal tersebut, Acute
Dialysis Quality Initiative (ADQI) yang beranggotakan para nefrolog dan intensivis di Amerika pada
tahun 2002 sepakat mengganti istilah ARF menjadi AKI. Penggantian istilah renal menjadi kidney
diharapkan dapat membantu pemahaman masyarakat awam, sedangkan penggantian istilah failure
menjadi injury dianggap lebih tepat menggambarkan patologi gangguan ginjal.
Kriteria yang melengkapi definisi AKI menyangkut beberapa hal antara lain (1) kriteria diagnosis
harus mencakup semua tahap penyakit; (2) sedikit saja perbedaan kadar kreatinin (Cr) serum
ternyata mempengaruhi prognosis penderita; (3) kriteria diagnosis mengakomodasi penggunaan
penanda yang sensitif yaitu penurunan urine output (UO) yang seringkali mendahului peningkatan Cr
serum; (4)penetapan gangguan ginjal berdasarkan kadar Cr serum, UO dan LFG mengingat belum
adanya penanda biologis (biomarker) penurunan fungsi ginjal yang mudah dan dapat dilakukan di
mana saja.
2.3 ETIOLOGI
Etiologi AKI dibagi menjadi 3 kelompok utama berdasarkan patogenesis AKI, yakni (1) penyakit
yang menyebabkan hipoperfusi ginjal tanpa menyebabkan gangguan pada parenkim ginjal (AKI
prarenal,~55%); (2) penyakit yang secara langsung menyebabkan gangguan pada parenkim ginjal
(AKI renal/intrinsik,~40%); (3) penyakit yang terkait dengan obstruksi saluran kemih (AKI
pascarenal,~5%). Angka kejadian penyebab AKI sangat tergantung dari tempat terjadinya AKI. Salah
satu cara klasifikasi etiologi AKI dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Klasifikasi etiologi AKI (Robert Sinto, 2010)
- usus
- Kehilangan darah
- (luka bakar)
- Aritmia
- Vasokonstriksi ginjal
- amphotericin B
- Stenosis a. renalis
V. Sindrom hiperviskositas
- Glomerulonefritis, vaskulitis
- Toksin
- idiopatik
sulfonamida
eksternal
Risk >1,5 kali nilai dasar >25% nilai dasar <0,5 mL/kg/jam,
>6 jam
Injury >2,0 kali nilai dasar >50% nilai dasar <0,5 mL/kg/jam,
>12 jam
Failure >3,0 kali nilai dasar >75% nilai dasar <0,3 mL/kg/jam, >24 jam
minggu
End stage Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 3
Bulan
2.5 PATOFISIOLOGI
Unit kerja fungsional ginjal disebut sebagai nefron. Setiap nefron terdiri dari kapsula Bowman
yang mengitari kapiler glomerolus, tubulus kontortus proksimal, l e n g k u n g H e n l e ,
d a n t u b u l u s k o n t o r t u s d i s t a l y a n g m e n g o s o n g k a n d i r i k e d u k t u s pengumpul.
Dalam keadaan normal aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerolus relatif konstan
yang diatur oleh suatu mekanisme yang disebut otoregulasi. Dua mekanisme yang berperan dalam
autoregulasi ini adalah (9):
Selain itu, norepinefrin, angiotensin II, dan hormon lain juga dapat mempengaruhi otoregulasi.
(Sudoyo dkk, 2007)
Penanganan terhadap hipoperfusi ini akan memperbaiki homeostatis intrarenal menjadi normal
kembali. Otoregulasi ginjal bisa dipengaruhi oleh berbagai macam obat seperti ACE inhibitor, NSAID
terutama pada pasien-pasien berusia di atas 60 tahun dengan kadar serum kreatinin 2mg/dL
sehingga dapat terjadi acute kidney injury pre renal. Proses ini lebih mudah terjadi pada kondisi
hiponatremi, hipotensi, penggunaan diuretik, sirosis hati, dan gagal jantung. Perlu diingat bahwa
pada pasien usia lanjut dapat timbul keadaan-keadaan yang merupakan resiko AKI pra rena; seperti
penyempitan pembuluh darah ginjal (penyakit renovaskular), penyakit ginjal polikistik, dan
nefrosklerosis intrarenal. (Sudoyo dkk, 2007)
AKI Renal
Pada AKI renal, terjadi kelainan vaskular yang sering menyebabkan nekrosis tubular akut
(NTA), dimana pada NTA terjadi kelainan vaskular dan tubular
Kelainan vaskular
1. Peningkatan Ca2+ sitosolik dan arteriol afferen glomerulus yang menyebabkan sensitifitas terhadap
substansi-substansi vasokonstriktor dan gangguan otoregulasi.
2. Terjadi peningkatan stress oksidatif yang menyebabkan kerusakan sel endotel vaskular ginjal yang
mengakibatkan peningkatan angiotensin II dan ET-1 serta penurunan prostaglandin dan
ketersediaan nitrit oxide yang berasal dari endotelial NO-sintase.
3. Peningkatan mediator inflamasi seperti tumor nekrosis faktor (TNF) dan interleukin-18 (IL-18), yang
selanjutnya meningkatkan ekspresi dari intraseluler adhesion molecule-1 dan P-selectin dari sel
endotel, sehingga peningkatan perlekatan sel radang terutama sel netrofil. Keadaan ini akan
menyebabkan peningkatan radikal bebas oksigen. Keseluruhan proses di atas secara bersama-sama
menyebabkan vasokontriksi intrarenal yang akan menyebabkan penurunan GFR. (Sudoyo dkk, 2007)
Kelainan Tubular
2. Peningkatan NO yang berasal dari inducable NO sintase, caspases, dan metalloproteinase serta
defisiensi heat shock protein akan menyebabkan nekrosis dan apoptosis sel.
3. Obstruksi tubulus, mikrovili tubulus proksimalis yang terlepas bersama debris seluler akan
membentuk substrat yang menyumbat tubulus, dalm hal ini pada thick assending limb diproduksi
Tamm-Horsfall protein (THP) yang disekresikan ke dalam tubulus dalam bentuk monomer yang
kemudian berubah menjadi polimer yang akan membentuk materi berupa gel dengan adanya
natrium yang konsentrasinya meningkat pada tubulus distalis. Gel polimerik THP bersama sel epitel
tubulus yang terlepas, baik sel yang sehat, nekrotik, maupun yang apoptopik, mikrovili dan matriks
ekstraseluler seperti fibronektin akan membentuk silinder-silinder yang akan menyebabkan
obstruksi tubulus ginjal.
4. Kerusakan sel tubulus menyebabkan kebocoran kembali (backleak) dari cairan intratubuler masuk ke
dalam sirkulasi peritubuler.
Merupakan 10% dari kejadian keseluruhan AKI. AKI post renal disebabkan oleh obstruksi intrarenal
dan ekstra renal. (Sudoyo dkk, 2007)
Obstruksi intrarenal
Terjadi karena deposisi kristal (urat, oksalat, sulfonamide) dan protein (mioglobin dan
hemoglobin) (Sudoyo dkk, 2007)
Obstruksi ekstrarenal
Dapat terjadi pada pelvus ureter oleh obstruksi intrinsik (tumor, batu, nekrosis papilla) dan
ekstrinsik (keganasan pada pelvis dan retroperitoneal, fibrosis) serta pada kandung kemih (batu,
tumor, hipertrofi/keganasan prostat) dan uretra (striktura). (Sudoyo dkk, 2007)
AKI post-renal terjadi bila obstruksi akut terjadi pada uretra, buli – buli dan ureter
bilateral, atau obstruksi pada ureter unilateral dimana ginjal satunya tidak berfungsi. Pada fase awal
dari obstruksi total ureter yang akut terjadi peningkatan aliran darah ginjal dan peningkatan
tekanan pelvis ginjal dimana hal ini disebabkan oleh prostaglandin-E2. Pada fase ke-2,
setelah 1,5-2 jam, terjadi penurunan aliran darah ginjal dibawah normal akibat
pengaruh tromboxane-A2 dan A-II. T e k a n a n p e l v i s ginjal tetap meningkat tetapi setelah 5 jam
mulai menetap. Fase ke-3 atau fase kronik,ditandai oleh aliran ginjal yang makin menurun dan
penurunan tekanan pelvis ginjal ke normal dalam beberapa minggu. Aliran darah ginjal
setelah 24 jam adalah 50% dari normal dan setelah 2 minggu tinggal 20% dari normal. Pada fase
ini mulai terjadi pengeluaran mediator inflamasi dan faktor-faktor pertumbuhan yang
menyebabkan fibrosis interstisial ginjal. (Sudoyo dkk, 2007)
Pada pasien yang memenuhi kriteria diagnosis AKI sesuai dengan yang telah dipaparkan di
atas, pertama-tama harus ditentukan apakah keadaan tersebut memang merupakan AKI atau
merupakan suatu keadaan akut pada penyakit ginjal kronik (PGK). Beberapa patokan umum yang
dapat membedakan kedua keadaan ini antara lain riwayat etiologi PGK, riwayat etiologi penyebab
AKI, pemeriksaan klinis (anemia, neuropati pada PGK) dan perjalanan penyakit (pemulihan pada AKI)
dan ukuran ginjal. Patokan tersebut tidak sepenuhnya dapat dipakai. Misalnya, ginjal umumnya
berukuran kecil pada PGK, namun dapat pula berukuran normal bahkan membesar seperti pada
neuropati diabetik dan penyakit ginjal polikistik. (Kasper et al, 2005) Upaya pendekatan diagnosis
harus pula mengarah pada penentuan etiologi, tahap AKI, dan penentuan komplikasi.
Pemeriksaan Klinis
Petunjuk klinis AKI prarenal antara lain adalah gejala haus, penurunan urine output dan berat
badan dan perlu dicari apakah hal tersebut berkaitan dengan penggunaan OAINS, ACE inhibitor dan
ARB. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan tanda hipotensi ortostatik dan takikardia, penurunan
jugular venous pressure (JVP), penurunan turgor kulit, mukosa kering, stigmata penyakit hati kronik
dan hipertensi portal, tanda gagal jantung dan sepsis. Kemungkinan AKI renal iskemia menjadi tinggi
bila upaya pemulihan status hemodinamik tidak memperbaiki tanda AKI.
Diagnosis AKI renal toksik dikaitkan dengan data klinis penggunaan zat-zat nefrotoksik
ataupun toksin endogen (misalnya mioglobin, hemoglobin, asam urat). Diagnosis AKI renal lainnya
perlu dihubungkan dengan gejala dan tanda yang menyokong seperti gejala trombosis,
glomerulonefritis akut, atau hipertensi maligna. AKI pascarenal dicurigai apabila terdapat nyeri sudut
kostovertebra atau suprapubik akibat distensi pelviokalises ginjal, kapsul ginjal, atau kandung kemih.
Nyeri pinggang kolik yang menjalar ke daerah inguinal menandakan obstruksi ureter akut. Keluhan
terkait prostat, baik gejala obstruksi maupun iritatif, dan pembesaran prostat pada pemeriksaan
colok dubur menyokong adanya obstruksi akibat pembesaran prostat. Kandung kemih neurogenik
dapat dikaitkan dengan pengunaan antikolinergik dan temuan disfungsi saraf otonom. (Sudoyo dkk,
2007)
Pemeriksaan Penunjang
Dari pemeriksaan urinalisis, dapat ditemukan berbagai penanda inflamasi glomerulus, tubulus,
infeksi saluran kemih, atau uropati kristal. Pada AKI prarenal, sedimen yang didapatkan aselular dan
mengandung cast hialin yang transparan. AKI pascarenal juga menunjukkan gambaran sedimen
inaktif, walaupun hematuria dan piuria dapat ditemukan pada obstruksi intralumen atau penyakit
prostat. AKI renal akan menunjukkan berbagai cast yang dapat mengarahkan pada penyebab AKI,
antara lain pigmented “muddy brown” granular cast, cast yang mengandung epitel tubulus yang
dapat ditemukan pada ATN; cast eritrosit pada kerusakan glomerulus atau nefritis tubulointerstitial;
cast leukosit dan pigmented “muddy brown” granular cast pada nefritis interstitial.
Gambaran “muddy brown” granular cast
Hasil pemeriksaan biokimiawi darah (kadar Na, Cr, urea plasma) dan urin (osmolalitas urin,
kadar Na, Cr, urea urin) secara umum dapat mengarahkan pada penentuan tipe AKI.
Pada keadaan fungsi tubulus ginjal yang baik, vasokonstriksi pembuluh darah ginjal akan
menyebabkan peningkatan reabsorbsi natrium oleh tubulus hingga mencapai 99%. Akibatnya, ketika
sampah nitrogen (ureum dan kreatinin) terakumulasi di dalam darah akibat vasokonstriksi pembuluh
darah ginjal dengan fungsi tubulus yang masih terjaga baik, fraksi ekskresi natrium (FENa = [(Na urin
x Cr plasma)/(Na plasma x Cr urin)] mencapai kurang dari 1%, FEUrea kurang dari 35%. Sebagai
pengecualian, adalah jika vasokonstriksi terjadi pada seseorang yang menggunakan diuretik, manitol,
atau glukosuria yang menurunkan reabsorbsi Na oleh tubulus dan menyebabkan peningkatan FENa.
Hal yang sama juga berlaku untuk pasien dengan PGK tahap lanjut yang telah mengalami adaptasi
kronik dengan pengurangan LFG. Meskipun demikian, pada beberapa keadaan spesifik seperti ARF
renal akibat radiokontras dan mioglobinuria, terjadi vasokonstriksi berat pembuluh darah ginjal
secara dini dengan fungsi tubulus ginjal yang masih baik sehingga FENa dapat pula menunjukkan
hasil kurang dari 1%. (Schrier, Poole, Mitra; 2004)
Pemeriksaan yang cukup sensitif untuk menyingkirkan AKI pascarenal adalah pemeriksaan urin
residu pascaberkemih. Jika volume urin residu kurang dari 50 cc, didukung dengan pemeriksaan USG
ginjal yang tidak menunjukkan adanya dilatasi pelviokalises, kecil kemungkinan penyebab AKI adalah
pascarenal. Pemeriksaan pencitraan lain seperti foto polos abdomen, CT-scan, MRI, dan angiografi
ginjal dapat dilakukan sesuai indikasi. (Kasper et al, 2005)
Pemeriksaan biopsi ginjal diindikasikan pada pasien dengan penyebab renal yang belum jelas,
namun penyebab pra- dan pascarenal sudah berhasil disingkirkan. Pemeriksaan tersebut terutama
dianjurkan pada dugaan AKI renal non-ATN yang memiliki tata laksana spesifik, seperti
glomerulonefritis, vaskulitis, dan lain lain. (Kasper et al, 2005)
Beberapa parameter dasar sebagai penentu kriteria diagnosis AKI (Cr serum, LFG dan UO)
dinilai memiliki beberapa kelemahan. Kadar Cr serum antara lain:
1) Sangat tergantung dari usia, jenis kelamin, massa otot, dan latihan fisik yang berat
2) Tidak spesifik dan tidak dapat membedakan tipe kerusakan ginjal (iskemia, nefrotoksik, kerusakan
glomerulus atau tubulus)
3) Tidak sensitif karena peningkatan kadar terjadi lebih lambat dibandingkan penurunan LFG dan tidak
baik dipakai sebagai parameter pemulihan.
Dibutuhkan penanda biologis ideal yang mudah diperiksa, dapat mendeteksi AKI secara dini
sebelum terjadi peningkatan kadar kreatinin, dapat membedakan penyebab AKI, menentukan
derajat keparahan AKI, dan menentukan prognosis AKI. Penanda biologis dari spesimen urin yang
saat ini dikembangkan pada umumnya terdiri dari 3 kelompok yakni penanda inflamasi (NGAL, IL-
18), protein tubulus (kidney injury molecule [KIM]-1, Na+/H+ exchanger isoform 3), penanda
kerusakan tubulus (cystatin C, a-1 mikroglobulin, retinol-binding protein, NAG). (Han et al, 2008;
Coca et al, 2008)
Berdasarkan penelitian fase 2 dan 3 yang ada saat ini, dapat disimpulkan bahwa:
IL-18 dan KIM-1 merupakan penanda potensial untuk membedakan penyebab AKI
NGAL, IL-18, GST-p ð, dan g-GST merupakan penanda potensial diagnosis dini AKI
NAG, KIM-1 dan IL-18 merupakan penanda potensial prediksi kematian setelah AKI. (Coca et al,
2008)
Tampaknya untuk mendapatkan penanda biologis yang ideal, dibutuhkan panel pemeriksaan
beberapa penanda biologis. Sampai saat ini belum ada penanda biologis yang beredar di Indonesia.
(Roesli, 2007)
2.7 PENATALAKSANAAN
1. Terapi nutrisi
Kebutuhan nutrisi pasien AKI bervariasi tergantung dari enyakit dasarnya dan kondisi
komorbid yang dijumpai. Sebuah sistem klasifikasi pemberian nutrisi berdasarkan status katabolisme
diajukan oleh Druml pada tahun 2005 dan telah dimodifikasi oleh Sutarjo seperti pada tabel berikut:
Dalam pengelolaan AKI, terdapat berbagai macam obat yang sudah digunakan selama
berpuluh-puluh tahun namun kesahihan penggunaannya bersifat kontoversial. Obatobatan tersebut
antara lain diuretik, manitol, dan dopamin. Diuretik yang bekerja menghambat Na+/K+-ATPase pada
sisi luminal sel, menurunkan kebutuhan energi sel thick limb Ansa Henle. Selain itu, berbagai
penelitian melaporkan prognosis pasien AKI non-oligourik lebih baik dibandingkan dengan pasien AKI
oligourik. Atas dasar hal tersebut, banyak klinisi yang berusaha mengubah keadaan AKI oligourik
menjadi non-oligourik, sebagai upaya mempermudah penanganan ketidakseimbangan cairan dan
mengurangi kebutuhan dialisis. Meskipun demikian, pada keadaan tanpa fasilitas dialisis, diuretik
dapat menjadi pilihan pada pasien AKI dengan kelebihan cairan tubuh. Beberapa hal yang harus
diperhatikan pada penggunaan diuretik sebagai bagian dari tata laksana AKI adalah:
a. Pastikan volume sirkulasi efektif sudah optimal, pastikan pasien tidak dalam keadaan dehidrasi. Jika
mungkin, dilakukan pengukuran CVP atau dilakukan tes cairan dengan pemberian cairan isotonik
250-300 cc dalam 15- 30 menit. Bila jumlah urin bertambah, lakukan rehidrasi terlebih dahulu.
b. Tentukan etiologi dan tahap AKI. Pemberian diuretik tidak berguna pada AKI pascarenal. Pemberian
diuretik masih dapat berguna pada AKI tahap awal (keadaan oligouria kurang dari 12 jam).
Pada awalnya, dapat diberikan furosemid i.v. bolus 40mg. Jika manfaat tidak terlihat, dosis
dapat digandakan atau diberikan tetesan cepat 100-250 mg/kali dalam 1-6 jam atau tetesan lambat
10-20 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 1 gram/hari. Usaha tersebut dapat dilakukan
bersamaan dengan pemberian cairan koloid untuk meningkatkan translokasi cairan ke intravaskuler.
Bila cara tersebut tidak berhasil (keberhasilan hanya pada 8-22% kasus), harus dipikirkan terapi lain.
Peningkatan dosis lebih lanjut tidak bermanfaat bahkan dapat menyebabkan toksisitas (Robert,
2010).
Dopamin dosis rendah (0,5-3 μg/kgBB/menit) secara historis digunakan dalam tata laksana
AKI, melalui kerjanya pada reseptor dopamin DA1 dan DA2 di ginjal. Dopamin dosis rendah dapat
menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah ginjal, menghambat Na+/K+-ATPase dengan efek akhir
peningkatan aliran darah ginjal, LFG dan natriuresis. Sebaliknya, pada dosis tinggi dopamin dapat
menimbulkan vasokonstriksi.
Faktanya teori itu tidak sesederhana yang diperkirakan karena dua alasan yaitu terdapat
perbedaan derajat respons tubuh terhadap pemberian dopamin, juga tidak terdapat korelasi yang
baik antara dosis yang diberikan dengan kadar plasma dopamin. Respons dopamin juga sangat
tergantung dari keadaan klinis secara umum yang meliputi status volume pasien serta abnormalitas
pembuluh darah (seperti hipertensi, diabetes mellitus, aterosklerosis), sehingga beberapa ahli
berpendapat sesungguhnya dalam dunia nyata tidak ada dopamin “dosis renal” seperti yang tertulis
pada literatur.
Dalam penelitian dan meta-analisis, penggunaan dopamin dosis rendah tidak terbukti
bermanfaat bahkan terkait dengan efek samping serius seperti iskemia miokard, takiaritmia, iskemia
mukosa saluran cerna, gangrene digiti, dan lain-lain. Jika tetap hendak digunakan, pemberian
dopamin dapat dicoba dengan pemantauan respons selama 6 jam. Jika tidak terdapat perubahan
klinis, dianjurkan agar menghentikan penggunaannya untuk menghindari toksisitas. Dopamin tetap
dapat digunakan untuk pengobatan penyakit dasar seperti syok, sepsis (sesuai indikasi) untuk
memperbaiki hemodinamik dan fungsi ginjal (Robert Sinto, 2010).
Pengelolaan komplikasi yang mungkin timbul dapat dilakukan secara konservatif, sesuai
dengan anjuran yang dapat dilihat pada tabel berikut:
Yang dimaksud Terapi Pengganti Ginjal (TPG) adalah usaha untuk menggantikan fungsi ginjal
penderita yang telah menurun dengan menggunakan ginjal buatan (dialisis/hemofiltrasi). Pada TPG
seperti dialysis atau hemofiltrasi yang dapat diganti hanya fungsi eksokrin dan fungsi pengaturan
cairan dan elektrolit, serta ekskresi sisa-sisa metabolisme protein. Sedangkan fungsi endokrin seperti
fungsi pengaturan tekanan darah, pembentukan eritrosit, fungsi hormonal maupun integritas tulang
tidak dapat digantikan oleh jenis terapi ini. Indikasi TPG pada penderita gagal ginjal akut sangat
berbeda bila dibandingkan dengan indikasinya pada gagal ginjal terminal. Indikasi TPG pada gagal
ginjal akut adalah untuk mempertahankan homeostasis tubuh (live or organ saving) dengan
melakukan perbaikan terhadap gangguan-gangguan homeostasis yang terjadi, disamping dapat
menghindari terjadinya overhidrasi akibat pengobatan. Sedangkan pada gagal ginjal terminal adalah
untuk menggantikan fungsi ginjal secara permanent. Dibawah ini daftar indikasi TPG untuk penderita
gagal ginjal akut:
Kriteria awal untuk pasien kritis dewasa yang memerlukan terapi pengganti ginjal:
Ensefalopati uremia
Perikarditis uremia
Neuropati/miopati uremia
Hipertermi
Adanya salah satu gejala pada tabel diatas sudah dapat menjadi indikasi untuk melakukan
TPG. Adanya dua atau lebih gejala menjadi indikasi kuat untuk segera melakukan TPG.
Ada berbagai jenis TPG yang dapat digunakan untuk penderita gagal ginjal akut kritis.
Dewasa ini CRRT (Continous Renal Replacement Therapy) dan SLED (Sustained Low Efficiency
Dialysis) adalah teknik TPG yang paling sering digunakan. Masing-masing TPG mempunyai indikasi
yang spesifik, derajat kesulitan dalam teknik, monitoring yang berbeda, serta perbedaan dalam biaya
pengobatan yang dibutuhkan.
Dialisis (Hemodialisis, dialysis peritoneal), prinsip dasarnya adalah osmosis/ dialysis, dibutuhkan
cairan dialisat.
Dialysis peritoneal
Dialysis peritoneal adalah salah satu bentuk dialisis untuk membantu penanganan pasien
GGA, menggunakan membran peritoneum yang bersifat semipermeabel.
Untuk dialisis peritoneal akut biasa dipakai kateter peritoneum untuk dipasang pada
abdomen masuk dalam kavum peritoneum, sehingga ujung kateter terletak dalam kavum douglasi.
Setiap kali 2 liter cairan dialisis dimasukkan ke dalam kavum peritoneum melalui kateter tersebut.
Membran peritoneum bentindak sebagai membran dialisis yang memisahkan antara cairan dialisis
dalam kavum peritoneum dan plasma darah dalam pembuluh darah di peritoneum. Sisa-sisa
metabolisme seperti ureum, kreatinin, kalium, dan toksin lain yang dalam keadaan normal
dikeluarkan melalui ginjal, pada gangguan faal ginjal akan tertimbun dalam plasma darah karena
kadarnya yang tinggi akan melalui difusi melalui membran peritoneum dan akan masuk dalam cairan
dialisat dan dari sana akan dikeluarkan oleh tubuh. Sementara itu setiap waktu cairan dialisat yang
sudah di keluarkan diganti dengfan cairan dialisat baru.
Cairan dialisat adalah cairan yang mengandung elektrolit dengan kadar seperti dalam plasma
darah normal. Komposisi elektrolit cairan dialisat : natrium, kalsium, magnesium, klorida, laktat
glukosa. Pada umumnya cairan dialisat tidak mengandung kalium karena tujuannya untuk
mengeluarkan kalium yang tertimbun karena terganggunya fungsi ginjal.
b. indikasi biokimiawi : ureum darah > 200 mg % ; kalium < 6 mEq/ L ; HCO3 < 10-15 mEq/ L ; pH < 7,1
Keuntungan dialysis peritoneal bila dibandingkan dengan hemodialisis, secara teknis lebih
sederhana, cukup aman, serta cukup efisien dan tidak memerlukan fasilitas khusus, sehingga dapat
dilakukan disetiap rumah sakit.
Filtrasi (CRRT) prinsip dasarnya adalah filtrasi/konveksi, dibutuhkan cairan substitusi.
Membuang (translokasi) zat- zat dengan kadar yang berlebihan keluar tubuh. Zat-zat ini dapat
berupa yang terlarut dalam darah (solute), seperti toksin ureum, kalium, dll. Atau zat peralutnya
yaitu air atau serum darah (solution). Di dalam proses CRRT tranlokasi terjadi di dalam ginjal buatan
(dialyzer), yang terdiri dari 2 kompartemen atau ruangan, yaitu kompartemen darah dan
kompartemen dialisa. Kedua kompartemen ini dibatasi oleh sebuah membran semipermeabel.
Perbedaan tekanan antara kedua kompartemen disebut trans membran pressure (TMP). Darah dari
dalam tubuh akan dialirkan ke kompartemen darah, sedang cairan dialisat dialirkan ke kompartemen
dialisat. Translokasi dapat terjadi dengan mekanisme difusi atau ultrafiltrasi.
2.8 PROGNOSIS
Kematian biasanya disebabkan karena penyakit penyebab, bukan gagal ginjal itu sendiri.
Prognosis buruk pada pasien lanjut usia dan bila terdapat gagal organ lain. Penyebab kematian
tersering adalah infeksi (30%-50%), perdarahan terutama saluran cerna (10-20%), jantung (10-20%),
gagal napas 10%, dan gagal multiorgan dengan kombinasi hipotensi, septikemia, dan sebagainya.(
Price & Wilson. 2005)
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
AKIN mendefinisikan AKI sebagai penurunan fungsi ginjal secara tiba-tiba (dalam 48 jam)
ditandai dengan peningkatan serum kreatinin (SCr) >0.3 mg/dL (>25 μmol/L) atau meningkat sekitar
50% dan adanya penurunan output urin < 0.5 mL/kg/hr selama >6 jam. Suatu kondisi penurunan
fungsi ginjal yang menyebabkan hilangnya kemampuan ginjal untuk mengekskresikan sisa
metabolisme, menjaga keseimbangan elektrolit dan cairan.
Etiologi AKI dibagi menjadi 3 kelompok utama berdasarkan patogenesis AKI, yakni (1) penyakit
yang menyebabkan hipoperfusi ginjal tanpa menyebabkan gangguan pada parenkim ginjal (AKI
prarenal,~55%); (2) penyakit yang secara langsung menyebabkan gangguan pada parenkim ginjal
(AKI renal/intrinsik,~40%); (3) penyakit yang terkait dengan obstruksi saluran kemih (AKI
pascarenal,~5%).
Gejala klinis dari AKIyang tampak adalah adanya oligouri , anuria, high output renal failure BUN,
dan kreatinin serum yang meningkat. Tujuan utama dari pengelolaan AKI adalah mencegah
terjadinya kerusakan ginjal, mempertahankan hemostasis, melakukan resusitasi, mencegah
komplikasi metabolik dan infeksi, serta mempertahankan pasien tetap hidup sampai faal ginjalnya
sembuh secara spontan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Bagshaw SM, George C, Bellomo R. 2008. A Comparison of The RIFLE and AKIN Criteria For Acute
Kidney Injury in Critically Ill Patients. Nephrol Dial Transplant
2. Coca SG, Parikh CR. 2008. Urinary Biomarkers for Acute Kidney Injury: Perspectives on Translation.
Clin J Am Soc Nephrol.
3. Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL. 2005. Harrison’s Principle of
Internal Medicine. Ed 16. New York: McGraw-Hill
4. Lattanzio MR and Kopyt NP. 2009. Acute Kidney Injury: New Concepts in Definition, Diagnosis,
Pathophysiology, and Treatment. University of Maryland Medical Center in Baltimore and
Nephrology Hypertension Associates of the Lehigh Valley
5. Price & Wilson. 2005. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Jakarta : EGC.
6. Roesli R. 2007. Kriteria “RIFLE” Cara yang Mudah dan Terpercaya untuk Menegakkan Diagnosis dan
Memprediksi Prognosis Gagal Ginjal Akut. Ginjal Hipertensi
7. Schrier RW, Wang W, Poole B, Mitra A. 2004. Acute Renal Failure: Definitions, Diagnosis,
Pathogenesis, and Therapy. J. Clin. Invest.
8. Sinto R, Nainggolan G. 2010. Acute Kidney Injury: Pendekatan Klinis dan Tata Laksana. Jakarta:
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
9. Sudoyo AW dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Ed 4. Jakarta: Pusat Penerbitan IPD FKUI