You are on page 1of 21

20 PELANGGARAN HAM DAN SOLUSINYA

1. Penembakan Buruh Pt.Freeport Pelanggaran Ham


Kasus:
Pada hari Senin 10 Oktober 2011 pagi pukul 09.00 WPB terjadi penembakan di
Terminal Bus Gorong-gorong. Insiden ini bermula ketika ribuan karyawan yang
sejak 15 September lalu menggelar aksi mogok kerja, hendak naik menuju areal
tambang di Tembagapura melalui terminal Gorong-gorong. Namun, pihak
manajemen Freeport dibantu aparat kepolisian menghadang.
Tujuan naik untuk menutup Freeport karena hingga saat ini manajemen tidak mau
berunding. Lantas, saat menuju terminal bus Freeport, mereka dihadang dan
kemudian ditembaki aparat. Tembakan dari Polisi kepada karyawan. Tembakan
dari polisi mengenai karyawan berjumlah 8 Orang. 1 orang langsung Tewas
ditempat, 2 Luka Parah dan lainnya luka ringan.

Solusi:
Menyikapi tragedi kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia
(HAM) yang terus berlangsung di tanah Papua, khususnya pada
peristiwa penembakan terhadap peserta aksi mogok kerja serikat
pekerja PT. Freeport yaitu :
• PT. Freeport harus bertanggungjawab terhadap korban tragedi pelanggaran hak
asasi manusia baik terhadap buruh-buruhya.
• Mendesak Negara segera menghentikan tindakan kekerasan dalam penyelesaian
konflik dengan rakyatnya, dan bertanggungjawab terhadap berbagai tragedi
kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh para
aparatusnya.
• Mendesak Presiden RI bertanggungjawab terhadap tragedi penembakan yang
terjadi terhadap serikat pekerja PT. Freeport Indonesia. Mencopot Kapolri dan
Kapolda Papua atas tragedi ini dan tindakan repressif lainnya yang dilakukan
terhadap rakyat di berbagai daerah.
• Mendukung sepenuhnya perjuangan yang dilakukan oleh Serikat Pekerja PT.
Freeport Indonesia atas hak-haknya.

2. Perambah Hutan Di Register 45 Kabupaten Mesuji, Lampung


Kasus :
Kasus pengelolaan lahan milik adat di areal kawasan Hutan Tanaman Industri
Register 45 Way Buaya tepatnya di Talang Pelita Jaya Desa Gunung Batu. Pemicu
konflik terkait perkebunan sawit adalah karena pihak perkebunan sawit telah
merampas dan menguasai tanah warga dalam waktu yang lama mulai 10 – 17
tahun. Dan warga tidak satu rupiah-pun mendapatkan manfaat dari hasil kebun
sawit itu.
Tindakan sewenang-wenang perusahaan ini selalu berlindung atas UU perkebunan
Nomor 18 tahun 2004. Dimana UU ini telah memberikan legalitas yang sangat kuat
kepada perusahaan-perusahaan perkebunan untuk mengambil tanah-tanah yang
dikuasai rakyat. Pasal-pasal dalam UU ini dengan jelas memberikan ruang yang
besar kepada perusahaan perkebunan baik swasta maupun pemerintah untuk terus
melakukan tindakan kekerasan dan kriminalisasi terhadap petani.
Solusi :
• Mendesak DPR untuk segera melakukan interpelasi
• Mendesak Presiden untuk melakukan evalusi terhadap POLRI dan menempatkannya
dalam lingkungan Departemen Dalam Negeri
• Mendesak KAPOLRI agar segera menarik seluruh pasukan Brimob dari dalam areal
perkebunan sawit dan menghukum berat pelaku penembakan petani serta tidak
terlibat dalam sengketa agraria
• Mendesak POLRI untuk menghentikan proses kriminalisasi terhadap petani di
Mesuji dan memberikan pertanggungan atas seluruh biaya yang ditimbulkan atas
para korban baik yang meninggal dan masih dirawat di rumah sakit
• Mendesak Komnas HAM untuk mengumumkan bahwa kasus di Mesuji merupakan
pelanggaran HAM Berat.
• Mendesak Presiden untuk segar turun memimpin penghentian tindak pelanggaran
HAM disemua sector.

3. Kasus Ambon Tahun 1999


Kasus :
Konflik dan pertikaian yang melanda masyarakat Ambon-Lease sejak Januari 1999
telah berkembang menjadi aksi kekerasan brutal yang merenggut ribuan jiwa dan
menghancurkan semua tatanan kehidupan bermasyarakat.
Tidak heran bahwa awal dari kerusuhan ini tidak lain berawal dari sentimen agama
yang diprovokasi oleh masing-masing agama, mengingat kecenderungan di masing-
masing agama sama banyak. Konflik pertama-tama dipicu oleh kejadian
pertengkaran personal antara seorang sopir angkutan umum dan seorang pemuda
yang sudah dianggap biasa oleh masyarakat Ambon pada umumnya. Ada dua versi,
dari Islam dan Kristen, yang beredar di masyarakat. Pertengkaran personal ini
kemudian meluas menjadi pertikaian antar kelompok agama dan suku yang
meledak menjadi kerusuhan.

Solusi :
• Melakukan penegakan hukum secara tegas dan bijaksana, tanpa pandang
bulu. memberi rasa adil dan kepuasan dari para korban terhadap mereka yang
secara nyata telah melakukan tindak kriminalitas.
• Meminta secara serius perhatian para pemuka agama untuk secara sistimatis
melakukan pelayanan-pelayanan yang bersifat pastoral agar kehidupan umat
khususnya para korban bisa memperoleh penghiburan. Dengan demikian,
diharapkan pemulihan kondisi psikologis ini dapat membantu meredanya keinginan-
keinginan balas dendam.
• Masyarakat Ambon juga harus selalu menjaga kesejukan, perdamaian, serta tidak
mudah terpancing oleh desas-desus. Alhasil, masyarakat di sana bisa terhindar dari
pertikaian dan kekerasan.
• Harus ada komunikasi yang baik dari semua unsur politik dan kemasyarakatan,
ulama, gereja dan kepemudaan
4. Kasus Bom Bali
Kasus :
Kasus Bom Bali juga menjadi salah satu kasus pelanggaran HAM terbesar di
Indonesia. Peristiwa ini terjadi pada 12 November 2002, di mana terjadi peledakan
bom oleh kelompok teroris di daerah Legian Kuta, Bali. Total ada 202 orang yang
meninggal dunia, baik dari warga lokal maupun turis asing mancanegara yang
sedang berlibur. Akibat peristiwa ini, terjadi kepanikan di seluruh Indonesia akan
bahaya teroris yang terus berlangsung hingga tahun-tahun berikutnya.
Korban terbanyak adalah warga Australia yang sedang berlibur di Bali. Hal ini juga
sempat membuat hubungan Indonesia dengan Australia retak karena pemerintah
kita tak kunjung berhasil mengeksekusi mati pelaku peledakan bom di Bali
tersebut.

Solusi :
• Polisi sebagai aparat penegak hukum sudah saatnya meningkatkan kualitas
intelijennya untuk menghadapi terorisme yang juga semakin kompleks modus
operasinya. Sudah saatnya polisi maupun pihak terkait memiliki kemampuan untuk
mengendus jaringan-jaringan yang mampu dan memiliki kemungkinan untuk
melakukan aksi terorisme, sehingga penanggulangan yang dilaksanakan bukan
hanya reaktif pasca terjadinya terorisme saja.
• Dan yang harus kita ingat bahwa aksi-aksi terorisme tidak bisa hanya dilakukan
dengan cara hard power saja seperti dengan kekerasan untuk menangkap atau
penyergapan teroris, namun dibutuhkan pula cara soft power seperti sosialisme
nilai-nilai pancasila, pemahaman ideologi, melakukan dialog-dialog dengan
kelompok yang memiliki kemungkinan dalam aksi terorisme serta deradikalisasi.
• Peran serta masyarakat, baik masyrakat Indonesia pada umumnya maupun
masyarakat Bali pada khususnya dalam memberantas terorisme juga sangat
dibutuhkan. Karena teroris juga hidup di dalam masyarakat, sehingga seharusnya
masyarakat sudah mengenali sejak awal gerak-gerik serta karakter orang
disekitarnya. Kemudian segera laporkan kepada pihak berwajib apabila terdapat
keanehan serta kejanggalan di sekitar kita. Namun, meskipun demikian pihak yang
berwajib tersebut tidak seharusnya langsung begitu saja menangkap orang yang
dicurigai, selidiki dulu apakah benar mereka adalah teroris. Jangan sampai
penangkapan dan penyergapan teroris menjadi salah sasaran dan melanggar hak
asasi manusia.

5. Tragedi Trisakti
Kasus :
Ekonomi Indonesia mulai goyah pada awal 1998, yang terpengaruh oleh krisis
finansial Asia sepanjang 1997 - 1999. Mahasiswa pun melakukan aksi demonstrasi
besar-besaran ke gedung DPR/MPR, termasuk mahasiswa Universitas Trisakti.
Mereka melakukan aksi damai dari kampus Trisakti menuju Gedung Nusantara pada
pukul 12.30. Namun aksi mereka dihambat oleh blokade dari Polri dan militer
datang kemudian. Beberapa mahasiswa mencoba bernegosiasi dengan pihak Polri.
Akhirnya, pada pukul 5.15 sore hari, para mahasiswa bergerak mundur, diikuti
bergerak majunya aparat keamanan. Aparat keamanan pun mulai menembakkan
peluru ke arah mahasiswa. Para mahasiswa panik dan bercerai berai, sebagian
besar berlindung di universitas Trisakti. Namun aparat keamanan terus melakukan
penembakan. Korban pun berjatuhan, dan dilarikan ke RS Sumber Waras.
Satuan pengamanan yang berada di lokasi pada saat itu adalah Brigade
Mobil Kepolisian RI, Batalyon Kavaleri 9, Batalyon Infanteri 203, Artileri Pertahanan
Udara Kostrad, Batalyon Infanteri 202, Pasukan Anti Huru HaraKodam seta Pasukan
Bermotor. Mereka dilengkapi dengan tameng, gas air mata, Styer, dan SS-1.
Pada pukul 20.00 dipastikan empat orang mahasiswa tewas tertembak dan satu
orang dalam keadaan kritis. Meskipun pihak aparat keamanan membantah telah
menggunakan peluru tajam, hasil otopsi menunjukkan kematian disebabkan peluru
tajam. Hasil sementara diprediksi peluru tersebut hasil pantulan dari tanah peluru
tajam untuk tembakan peringatan.
Hak Yang Di Langgar :
Salah satu hak yang dilanggar dalam peristiwa tersebut adalah hak dalam
kebebasan menyampaikan pendapat. Hak menyampaikan pendapat adalah
kebebasan bagi setiap warga negara dan salah satu bentuk dari pelaksanan sistem
demokrasi pancasila di Indonesia. Peristiwa ini menggoreskan sebuah catatan
kelam di sejarah bangsa Indonesia dalam hal pelanggaran pelaksanaan demokrasi
pancasila.. Dari awal terjadinya peristiwa sampai sekarang, pengusutan masalah ini
begitu terlunta-lunta. Sampai sekarang, masalah ini belum dapat terselesaikan
secara tuntas karena berbagai macam kendala. Sebenarnya, beberapa saat setelah
peristiwa tersebut terjadi, Komnas HAM berinisiatif untuk memulai untuk mengusut
masalah ini. Komnas HAM mengeluarkan pernyataan bahwa peristiwa ini adalah
pelanggaran HAM yang berat. Masalah ini pun selanjutnya dilaporkan ke Kejaksaan
Agung untuk diselesaikan. Namun, ternyata sampai sekarang masalah ini belum
dapat diselesaikan bahkan upayanya saja dapat dikatakan belum ada. Belum ada
satupun langkah pasti untuk menyelesaikan masalah ini. Alasan terakhir
menyebutkan bahwa syarat kelengkapan untuk melakukan siding belum terpenuhi
sehingga siding tidak dapat dilaksanakan. Seharusnya jika pemerintah benar-benar
menjunjung tinggi HAM, seharusnya masalah ini harus diselesaikan secara tuntas
agar jelas agar segala penyebab terjadinya peristiwa dapat terungkap sehingga
keadilan dapat ditegakan.

Solusi :
Agar masalah ini dapat cepat diselesaikan, diperlukan partisipasi masyarakat untuk
ikut turut serta dalam proses penuntasan kasus ini. Namun, sampai sekarang yang
masih berjuang hanyalah para keluarga korban dan beberapa aktivis mahasswa
yang masih peduli dengan masalah ini. Seharusnya masyarakat dan mahasiswa
tidak tinggal diam karena pengusutan kasus ini yang belum sepenuhnya selesai.
Walaupun sulit untuk menuntaskan kasus tersebut secara sepenuhnya, tetapi jika
masyarakat dan mahasiswa ingin bekerjasama dengan pihak terkait seharusnya
masalah bisa diselesaikan, dengan catatan stakeholder yang bersangkutan harus
jujur dalam memberikan informasi. Di luar itu semua, ada hal lain yang sebenarnya
bisa diambil oleh masyarakat dan mahasiswa dalam peristiwa tersebut, yaitu
semangat melawan pemerintahan yang tidak adil dan tidak sesuai dengan
kehendak rakyat. Walaupun bisa dibilang bahwa Indonesia dari tahun ke tahun
terus membaik dan berkembang dari segi pembangunan, tetapi tetap banyak
masalah yang sebenarnya bisa terlihat jika kita berbicara dari tentang
pemerintahan. Beberapa contoh masalah-masalah pemerintahan yang ada, yaitu
korupsi, perebutan kekuasaan untuk kepentingan golongan, berbagai praktik
kecurangan dalam menapai kekuasaan, dan masalah lainnya. Dari masalah-masalah
tersebut, seharusnya masyarakat dan mahasiswa banyak mengambil peran dalam
pengarahan dan evaluasi kepemimpinan. Untuk peran mahasiswa tak dapat
dipungkiri akan semakin besar karena di pundak mereka ada sebuah beban
tanggung jawab dimana para mahasiswa dituntut harus membentuk pemimpin-
pemimpin yang cakap untuk mengelola Indonesia yang lebih baik di masa depan.
Agar peristiwa ini tak kembali terulang, Hak kebebasan berpendapat setiap warga
negara benar-benar harus ditegakan.

6. Marsinah
Kasus :
Marsinah adalah salah seorang karyawati PT. Catur Putera Perkasa yang aktif dalam aksi unjuk rasa
buruh. Keterlibatan Marsinah dalam aksi unjuk rasa tersebut antara lain terlibat dalam rapat yang
membahas rencana unjuk rasa pada tanggal 2 Mei 1993 di Tanggul Angin Sidoarjo. 3 Mei 1993, para
buruh mencegah teman-temannya bekerja. Komando Rayon Militer (Koramil) setempat turun tangan
mencegah aksi buruh. 4 Mei 1993, para buruh mogok total mereka mengajukan 12 tuntutan,
termasuk perusahaan harus menaikkan upah pokok dari Rp 1.700 per hari menjadi Rp 2.250.
Tunjangan tetap Rp 550 per hari mereka perjuangkan dan bisa diterima, termasuk oleh buruh yang
absen.Sampai dengan tanggal 5 Mei 1993, Marsinah masih aktif bersama rekan-rekannya dalam
kegiatan unjuk rasa dan perundingan-perundingan. Marsinah menjadi salah seorang dari 15 orang
perwakilan karyawan yang melakukan perundingan dengan pihak perusahaan.

Siang hari tanggal 5 Mei, tanpa Marsinah, 13 buruh yang dianggap menghasut unjuk rasa digiring ke
Komando Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo. Di tempat itu mereka dipaksa mengundurkan diri dari
CPS. Mereka dituduh telah menggelar rapat gelap dan mencegah karyawan masuk kerja. Marsinah
bahkan sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan rekan-rekannya yang
sebelumnya dipanggil pihak Kodim. Setelah itu, sekitar pukul 10 malam, Marsinah lenyap.Mulai
tanggal 6,7,8, keberadaan Marsinah tidak diketahui oleh rekan-rekannya sampai akhirnya
ditemukan telah menjadi mayat pada tanggal 8 Mei 1993.
Hak Yang Di Langgar
Kasus pembunuhan Marsinah merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM)
berat. Alasannya adalah karena telah melanggar hak hidup seorang manusia. Dan
juga karena sudah melanggar dari unsur penyiksaan dan pembunuhan sewenang-
wenang di luar putusan pengadilan terpenuhi. Dengan demikian, kasus tersebut
tergolong patut dianggap kejahatan kemanusiaan yang diakui oleh peraturan
hukum Indonesia sebagai pelanggaran HAM berat.
Jika merujuk pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (UUD NRI 1945), jelas bahwa tindakan pembunuhan merupakan upaya
berlebihan dalam menyikapi tuntutan marsinah dan kawan-kawan buruh. Jelas
bahwa tindakan oknum pembunuh melanggar hak konstitusional Marsinah,
khususnya hak untuk menuntut upah sepatutnya. Hak tersebut secara tersurat dan
tersirat ditegaskan dalam Pasal 28D ayat (2) UUD NRI tahun 1945, bahwa setiap
orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil
dan layak dalam hubungan kerja.

Solusi :
Hak Asasi setiap manusia harus dihargai oleh manusia yang lain yang dalam kasus
ini adalah hak asasi berpendapat dan hak untuk hidup. Selain itu, kasus marsinah
yang tak kunjung usai ini diakibatkan oleh kurangnya transparansi dan kredibilitas
para penyidik. Seharusnya kredibilitas dan transparansi penyidikan lembaga
terhadap suatu kasus haruslah dijaga oleh para penegak hukum sehingga tercipta
keadilan dan ketentraman masyarakat Indonesia

7. Peristiwa Pembunuhan Munir


Kasus :
Delapan tahun silam, tepatnya pada 2004, Indonesia dikejutkan oleh meninggalnya
seorang aktivis HAM, Munir Saib Thalib. Kematianya menimbulkan kegaduhan
politik yang menyeret Badan Intelijen Negara (BIN) dan instituti militer negeri ini.
Berdasarkan hasil autopsi, diketahui bahwa penyebab kematian sang aktivis yang
terkesan mendadak adalah karena adanya kandungan arsenik yang berlebihan di
dalam tubuhnya. Munir meninggal ketika melakukan perjalanan menuju Belanda. Ia
berencana melanjutkan studi S2 Hukum di Universitas Utrecht, Belanda, pada 7
September 2004. Dia menghembuskan nafas terakhirnya ketika pesawat sedang
mengudara di langi Rumania.
Hak Yang Di Langgar
Hak yang di langgar dalam kasus munir yaitu karena telah menghilangkan nyawa
dengan sengaja atau sudah melanggar hak untuk hidup. Banyak orang yang terlibat
dalam kejadian itu. Orang pertama yang menjadi tersangka pertama pembunuhan
Munir (dan akhirnya terpidana) adalah Pollycarpus Budihari Priyanto. Selama
persidangan, terungkap bahwa pada 7 September 2004, seharusnya Pollycarpus
sedang cuti. Lalu ia membuat surat tugas palsu dan mengikuti penerbangan Munir
ke Amsterdam. Aksi pembunuhan Munir semakin terkuat tatkala Pollycarpus
‘meminta’ Munir agar berpindah tempat duduk dengannya. Sebelum pembunuhan
Munir, Pollycarpus menerima beberapa panggilan telepon dari sebuah telepon yang
terdaftar oleh agen intelijen senior. Dan pada akhirnya, 20 Desember 2005
Pollycarpus BP dijatuhi vonis 20 tahun hukuman penjara. Meskipun sampai saat ini,
Pollycarpus tidak mengakui dirinya sebagai pembunuh Munir, berbagai alat bukti
dan skenario pemalsuan surat tugas dan hal-hal yang janggal. Namun, timbul
pertanyaan, untuk apa Pollycarpus membunuh Munir. Apakah dia bermusuhan atau
bertengkar dengan Munir. Tidak ada historis yang menggambarkan hubungan
mereka berdua.
Selidik demi selidik, akhirnya terungkap nomor yang pernah menghubungi
Pollycarpus dari agen Intelinjen Senior adalah seorang mantan petinggi TNI, yakni
Mayor Jenderal (Purn) Muchdi Purwoprandjono. Mayjen (Purn) Muchdi PR pernah
menduduki jabatan sebagai Komandan Koppassus TNI Angkatan Darat yang
ditinggali Prabowo Subianto (pendiri Partai Gerindra). Selain itu, ia juga pernah
menjabat sebagai Deputi Badan Intelijen Indonesia

Solusi :
Kasus Munir merupakan contoh lemahnya penegakan HAM di Indonesia. Kasus Munir
juga merupakan hasil dari sisa-sisa pemerintahan orde baru yang saat itu lebih
bersifat otoriter. Seharusnya kasus Munir ini dijadikan suatu pelajaran untuk
bangsa ini agar meninggalkan cara-cara yang bersifat otoriter k arena setiap
manusia atau warga Negara memiliki hak untuk memperoleh kebenaran, hak hidup,
hak memperoleh keadilan, dan hak atas rasa aman. Sedangkan bangsa Indonesia
saat ini memiliki sistem pemerintahan demokrasi yang seharusnya menjunjung
tinggi HAM seluruh masyarakat Indonesia.

8. Peristiwa Tanjung Priok


Kasus :
1. Petugas koramil menyiram pengumuman yang tertempel di tembok mushala
dengan air got (comberan)
2. Pembakaran motor anggota koramil oleh orang tidak dikenal yang menyebabkan
pihak koramil tidak terima.
Hak Yang Dilanggar
Dibunuhnya jamaah-jamaah pengajian oleh pasukan ABRI

Solusi :
1. Warga seharusnya tidak melakukan demonstrasi karena bisa berakibat pada
kerusuhan.
2. Jika melakukan demonstrasi, seharusnya kedua belah pihak yaitu ABRI dan
warga menahan emosi agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
3. Pelaku pembunuhan (ABRI) wajib diadili dengan seadil-adilnya agar
menimbulkan efek jera.

9. Penculikan aktivis 1997/1998


adalah peristiwa penghilangan orang secara paksa atau penculikan terhadap para
aktivis pro-demokrasi yang terjadi menjelang pelaksanaan Pemilihan Umum
(Pemilu) tahun 1997 dan Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
tahun 1998 Jakarta Selatan.
Peristiwa penculikan ini dipastikan berlangsung dalam tiga tahap: Menjelang
pemilu Mei 1997, dalam waktu dua bulan menjelang sidang MPR bulan Maret,
sembilan di antara mereka yang diculik selama periode kedua dilepas dari
kurungan dan muncul kembali. Beberapa di antara mereka berbicara secara
terbuka mengenai pengalaman mereka. Tapi tak satu pun dari mereka yang diculik
pada periode pertama dan ketiga muncul.[1]Selama periode 1997/1998, KONTRAS
(Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) mencatat 23 orang telah
dihilangkan oleh alat-alat negara. Dari angka itu, 1 orang ditemukan meninggal
(Leonardus Gilang), 9 orang dilepaskan penculiknya, dan 13 lainnya masih hilang
hingga hari ini.

Solusi
Mendekati Pemilihan Umum 2009, Panitia Khusus Dewan Perwakilan Rakyat tentang
Penculikan Aktivis 1997/1998 hidup lagi. Pansus juga berencana memanggil
Wiranto, Prabowo Subianto, Sutiyoso, dan Susilo Bambang Yudhoyono yang diduga
terlibat dalam kasus itu.
Saat kasus ini terjadi, Jenderal TNI (Purn) Wiranto menjabat Panglima ABRI/TNI,
Letjen TNI (Purn) Prabowo Subianto sebagai Komandan Jenderal Kopassus, Letjen
TNI (Purn) Sutiyoso sebagai Panglima Kodam Jaya, dan Jenderal TNI Susilo
Bambang Yudhoyono sebagai Assospol Kassospol ABRI.
28 September 2009, Panitia Khusus Penghilangan Orang secara Paksa (Pansus Orang
Hilang) merekomendasikan pemerintah, dalam hal ini Kejaksaan Agung, segera
membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc untuk mengadili aktor-aktor di balik
penculikan aktivis pro demokrasi di tahun 1998-1999.

10. Pelanggaran HAM di TIMOR-TIMUR (1974-1999)


Timor Leste adalah negara baru yang berdiri secara resmi berdasarkan jajak
pendapat tahun 1999. Dulunya, ketika masih tergabung dengan Republik Indonesia
bernama Timor Timur, propinsi ke-27. Pemisahan diri Timor Timur memang
diwarnai dengan suatu tindak kekerasan berupa pembakaran yang dilakukan oleh
milisi yang kecewa dengan hasil referendum.
Disebutkan telah terjadi pembantaian terhadap 102.800 warga Timor Timur dalam
kurun waktu 24 tahun, yakni ketika Timtim masih tergabung dengan Indonesia
(1974-1999). Sekitar 85 persen dari pelanggaran HAM, menurut laporan CAVR,
dilakukan oleh pasukan keamanan Indonesia.

Solusi
Pemerintah RI mengeluarkan dua opsi pada tanggal 27 Januari 1999 menyangkut
masa depan Timor Timur yaitu menerima atau menolak otonomi khusus, maka
pada tanggal 5 Mei 1999 di New York ditandatangani perjanjian antara pemerintah
Indonesia dan pemerintah Portugal di bawah payung PBB, tentang penyelenggaraan
jajak pendapat di Timor Timur termasuk pengaturan tentang pemeliharaan
perdamaian dan keamanan di Timor Timur.

11. Penembakan Misterius (1982-1985)


Diantara tahun 1982-1985, peristiwa ini mulai terjadi. ‘Petrus’ adalah sebuah
peristiwa penculikan, penganiayaan dan penembakan terhadap para preman yang
sering menganggu ketertiban masyarakat. Pelakunya tidak diketahui siapa, namun
kemungkinan pelakunya adalah aparat kepolisian yang menyamar (tidak memakai
seragam). Kasus ini termasuk pelanggaran HAM, karena banyaknya korban Petrus
yang meninggal karena ditembak. Kebanyakan korban Petrus ditemukan meninggal
dengan keadaan tangan dan lehernya diikat dan dibuang di kebun, hutan dan lain-
lain. Terhitung, ratusan orang yang menjadi korban Petrus, kebanyakan tewas
karena ditembak.

Solusi
Aparat keamanan di Yogyakarta melakukan Operasi Penumpasan Kejahatan (OPK)
terhadap para gali ini dikarenakan tindak kejahatan para gali sudah sangat
keterlaluan, bahkan masyarakat DIY cenderung lebih takut kepada gali dibanding
aparat kepolisian. Turunnya militer dalam operasi OPK diakui sendiri oleh Letkol M.
Hasbi yang saat itu sebagai Komandan kodim 0734 yang sekaligus merangkap
Kepala Staf Garnisun Yogyakarta.

12. Kasus Penganiayaan Wartawan Udin (1996)


Kasus :
Fuad Muhammad Syafruddin yang akrab dipanggil Udin (lahir di Bantul, Yogyakarta,
18 Februari 1964 – meninggal di Yogyakarta, 16 Agustus 1996 pada umur 32 tahun)
adalah wartawan Bernas, Yogyakarta, yang dianiaya oleh orang tidak dikenal, dan
kemudian meninggal dunia. Sebelum kejadian ini, Udin kerap menulis artikel kritis
tentang kebijakan pemerintah Orde Baru dan militer. Ia menjadi wartawan di
Bernas sejak 1986.

Selasa malam, pukul 23.30 WIB, 13 Agustus 1996, ia dianiaya pria tak dikenal di
depan rumah kontrakannya, di dusun Gelangan Samalo, Jalan Parangtritis Km 13
Yogyakarta. Udin, yang sejak malam penganiayaan itu, terus berada dalam
keadaannya koma dan dirawat di RS Bethesda, Yogyakarta. Esok paginya, Udin
menjalani operasi otak di rumah sakit tersebut. Namun, dikarenakan parahnya
sakit yang diderita akibat pukulan batang besi di bagian kepala itu, akhirnya Udin
meninggal dunia pada Jumat, 16 Agustus 1996, pukul 16.50 WIB.

Solusi :
27 November: Iwik divonis bebas! Majelis Hakim pemeriksa perkara terdiri dari Ny
Endang Sri Murwati SH, Ny Mikaela Warsito SH, dan Soeparno SH. Pertimbangannya,
tidak ada bukti yang menguatkan Iwik adalah pembunuh Udin. Motif
perselingkuhan yang dituduhkan selama ini berarti gugur. Selain itu, keterangan
memberatkan dari Serma Pol Edy Wuryanto dalam persidangan dinyatakan tidak
dapat dipakai sebagai alat bukti keterangan. Selanjutnya muncul tuntutan agar
polisi mencari, mengungkap motif, dan menangkap pelaku pembunuhan Udin yang
sebenarnya.
13. Pemberontakan di Aceh / Gerakan Aceh Merdeka (1976–2005)
Kasus :
Pemberontakan di Aceh (1976–2005)
Pemberontakan di Aceh dikobarkan oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) untuk
memperoleh kemerdekaan dari Indonesia antara tahun 1976 hingga tahun 2005.
Operasi militer yang dilakukan TNI dan Polri (2003-2004), beserta kehancuran yang
disebabkan oleh gempa bumi Samudra Hindia 2004 menyebabkan diadakannya
persetujuan perdamaian dan berakhirnya pemberontakan. Amnesty International
merilis laporan Time To Face The Past pada April 2013 setelah pemerintah
Indonesia dianggap gagal menjalankan kewajibannya sesuai perjanjian damai 2005.
Laporan tersebut memperingatkan bahwa kekerasan baru akan terjadi jika masalah
ini tidak diselesaikan.

Solusi :
Kesepakatan damai dan pilkada pertama
Setelah bencana Tsunami dahsyat menghancurkan sebagian besar Aceh dan
menelan ratusan ribu korban jiwa, kedua belah pihak, GAM dan pemerintah
Indonesia menyatakan gencatan senjata dan menegaskan kebutuhan yang sama
untuk menyelesaikan konflik berkepanjangan ini.[26] Namun, bentrokan bersenjata
sporadis terus terjadi di seluruh provinsi. Karena gerakan separatis di daerah,
pemerintah Indonesia melakukan pembatasan akses terhadap pers dan pekerja
bantuan. Namun setelah tsunami, pemerintah Indonesia membuka daerah untuk
upaya bantuan internasional.
Bencana tsunami dahsyat tersebut walaupun menyebabkan kerugian manusia dan
material yang besar bagi kedua belah pihak, juga menarik perhatian dunia
internasional terhadap konflik di Aceh. Upaya-upaya perdamaian sebelumnya telah
gagal, tetapi karena sejumlah alasan, termasuk tsunami tersebut, perdamaian
akhirnya menang pada tahun 2005 setelah 29 tahun konflik berkepanjangan. Era
pasca-Soeharto dan masa reformasi yang liberal-demokratis, serta perubahan
dalam sistem militer Indonesia, membantu menciptakan lingkungan yang lebih
menguntungkan bagi pembicaraan damai. Peran Presiden Indonesia yang baru
terpilih, Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla ialah sangat
signifikan dalam menangnya perdamaian di Aceh.Pada saat yang sama,
kepemimpinan juga GAM mengalami perubahan, dan militer Indonesia telah
menimbulkan begitu banyak kerusakan pada gerakan pemberontak yang mungkin
menempatkan GAM di bawah tekanan kuat untuk bernegosiasi. Perundingan
perdamaian tersebut difasilitasi oleh LSM berbasis Finlandia, Crisis Management
Initiative, dan dipimpin oleh mantan Presiden Finlandia Martti Ahtisaari.
Perundingan ini menghasilkan kesepakatan damai ditandatangani pada 15 Agustus
2005. Berdasarkan perjanjian tersebut, Aceh akan menerima otonomi khusus di
bawah Republik Indonesia, dan tentara non-organik (mis. tentara beretnis non-
Aceh) akan ditarik dari provinsi Aceh (hanya menyisakan 25.000 tentara), dan
dilakukannya pelucutan senjata GAM. Sebagai bagian dari perjanjian tersebut, Uni
Eropa mengirimkan 300 pemantau yang tergabung dalam Aceh Monitoring Mission
(Misi Pemantau Aceh). Misi mereka berakhir pada tanggal 15 Desember 2006,
setelah suksesnya pilkada atau pemilihan daerah gubernur Aceh yang pertama.
Aceh telah diberikan otonomi yang lebih luas melalui UU Pemerintah, meliputi hak
khusus yang disepakati pada tahun 2002 serta hak masyarakat Aceh untuk
membentuk partai politik lokal untuk mewakili kepentingan mereka. Namun,
pendukung HAM menyoroti bahwa pelanggaran HAM sebelumnya di provinsi Aceh
akan perlu ditangani.
Selama pilkada gubernur Aceh diadakan pada bulan Desember 2006, mantan
anggota GAM dan partai nasional berpartisipasi. Pemilihan itu dimenangkan oleh
Irwandi Yusuf, yang basis dukungannya sebagian besar terdiri dari para mantan
anggota GAM.

14. Kasus Pembantaian di Bulukumba (2003)

Kasus :
Senin, 21 Juli 2003, sekitar pukul 14:00 Wita, Polres
Bulukumba dengan dukungan personil Brimob Bone, Polres
Bantaeng dan Sinjai sejumlah 320 orang, di Desa Bonto
Mangiring Keb. Bulukumba, melakukan pembantaian
petani/masyarakat adat kajang yang sedang melakukan
aksi untuk memperjuangkan tanah leluhurnya yang
dirampas oleh PT. PP Lonsum sejak tahun 80-an. Akibat
dari aksi brutal aparat kepolisian tersebut, korban
berjatuhan di pihak petani/ masyarakat adat. Laporan
masyarakat menyebutkan lebih 20 orang terluka, 4 tewas
dan puluhan lainnya ditangkapi.
Aksi petani di areal perkebunan yang dikuasai oleh PT.
PP.Lonsum bermula rentetan kasus sebelumnya :
(1). Pada Tahun 1980-an hingga awal tahun 1990, PT.
PP. Lonsum yang didukung oleh pemerintah dan aparat
militer/kepolisian melakukan pencaplokan lahan-lahan
pertanian petani/ masyarakat dibeberapa desa di
Kabupaten Bulukumba.
(2). Pada kasus tersebut, ratusan rumah warga
dihancurkan dan dikuasai oleh PT. PP London Sumatera
untuk ditanami karet.
(3). Pada bulan Maret 2003, kembali PT. PP Lonsum
melakukan pengusuran lahan0lahan warga didesa Bonto
Mangiring, pada saat itu, PT. PP Lonsum melakukan
pembakaran 5 rumah warga dan penembakan orang-orang
PT. PP.Lonsum terhadap warga yang ada disekitar
lokasi. Peristiwa tersebut dilakukan dihadapan
dihadapan aparat yang tidak melakukan apa-apa.
(4). Warga kemudian melaporkan kasus, kepemilikan
senjata oleh sipil (orang lonsum yang benama A. Abd.
Malik) serta pembakaran rumah warga.
(5). Namun aparat kepolisian tidak melakukan tindakan
apa-apa terhadap Lonsum, malah pada tanggal 28 Mei
2003, Aparat kepolisian bersama dengan pimpinan PT.PP.
Lonsum terlihat makan bersama di salah satu restoran
di Kabupaten Bulukumba, dan pada dini harijam 02:00
Wita, aparat kepolisian menangkap 4 orang
petani/masyarakat kajang yang menentang PT.PP.Lonsum,
nama-nama yang ditangkap ( Sampe 45 tahun, Baddu 53
tahun, Sannai 30 tahun, dan Maing 35 tahun).
(6). Sebagai protes atas tindakan kepolisian
menangkapi warga secara semena-mena Petani/ masyarakat
adat melakuka aksi demontrasi pendudukan DPRD selama
10 hari (tanggal 1 s/d 10 Juni 2003). Dan beberapa
wakil petani menghadap pada Wakapolda Sulsel untuk
mempertanyakan tindakan aparat pores Bulukumba.
Namun seluruh upaya, aksi maupun dialog yang dilakukan
masyarakat tidak mendapat tanggapan yang berarti dari
aparat kepolisian meupun pemerintah daerah, kecuali
intimidasi.
Dalam perjuangannya melawan PT. PP London Sumatera
Indonesia sejak tahun 1980 hingga sekarang, sekitar
20-an rakyat anti lonsum kabupaten bulukumba sulsel
berupa tindakan intimidasi, penyiksaan penangkapan,
penahan dan penjara.
Siang tadi, senin 21 Juli 2003 sekitar pukul 14:00
wita terjadi penangkapan dan penembaan beberapa warga
kecamatan kajang kebupaten bulukumba. Berikut
kronologisnya ;
Senin pukul 08:00 wita sekitar 1500 warga kajang dan
Bulukumpa berkumpul di kampung ganta desa bontobiraeng
kecamatan Kajang Kabupaten Bulukumba pukul 10:00 wita
massa rakyat memasuki lokasi areal [perkebunan Pt. PP
Lonsum division Bulukumba desa Bontomangiring kec
Bulukumpa yang dirampas perusahaan tanpa HGU puluhan
tahun silam pukul 13:00 wita gelombang pertama anggota
polres Bulukumba memasuki lokasi sedang diduduki massa
rakyat, serangan pertama ini berhasil menangkap 3
orang warga ( AN. Satarian dan istrinya, seorang lagi
yang belum teridentifikasi ) pukul 14:00 wita
gelombang penyerangan kedua, sekitar 12 orang anggota
Polres Bulukumba yang dipimpin oleh Wakapolres AKP.
Gatot Budiwiyono yang dilengkapi senjata menembaki
massa rakyat secara membabi buta.
Dalam insiden ini 5 orang warga terkena peluru
masing-masing:
Timoro>betis-betis
Ansu> Paha Hancur
Sembang> Lengan
Siing > Telapak tangan tembus
Sani > Betis hancur.
Warga Meninggal dalam kejadian tersebut :
Campe> dada tembak
Dg. Sangkala> dada tembak
Solusi :
Kelima korban tersebut, belum dapat tertolong oleh
dokter karena semua jalan masuk kelokasi diblokir oleh
anggota Polres Bulukumba. Salah seorang diantara
korban tertinggal peluru dan belum dapat tertolong.
Polres Bulukumba memblokade semua arah untuk masuk
kelokasi, dengan melibatkan anggota polres dari dua
kabupaten masing-masing Kabupaten sinjai dan Kabupaten
Bantaeng penembakan tersebut memicu kemarahan massa
rakyat yang akhirnya mengusir Wakapolres dan
Anggotanya untuk keluar dari lokasi. Disamping itu
massa rakyat terus melakukan penebangan pohon-pohon
karet dan tetap menguasai lokasi.

15. Peristiwa Abepura, Papua (2000-2003)


Kasus :

Kronologi Kasus Pelanggaran HAM Berat Abepura


7 Desember 2000 Sekitar Pukul 01.30 Wit: Terjadi penyerangan massa terhadap mapolsekta
Abepurayang mengakibatkan seorang polisi meninggal dunia )BribkaPetrus Eppa), dan 3
orang lainnya luka-luka. Disertai pembakaran ruko yang berjarak 100 meter dari mapolsek.
Terjadi juga penyerangan dan pembunuhan satpam di kantor Dinas Otonomi Kotaraja.
7 Desemer 2000, sekitar pukul 02.30: Pasca penyerangan massa ke Mapolsek Abepura,
Kapolres jayapura AKBP Drs. Daud sihombing, SH setelah menelpon Kapolda Brigjen Pol
Drs. Moersoertidarno Moerhadi D. langsung melaksanakan perintah operasi untuk pengejaran
dan penyekatan ke tiga asrama mahasiswa dan tiga pemingkiman penduduk sipil. Di Asrama
Ninmin satuan Mbrimob melakukan pengrusakan,pemindahan paksa (Involuntary displace
persons), ancaman, makian, pemukulan dan pengambilan hak milik (rigthto
property)mahasiswa. Di asrama mahasiswa. Di asrama Waropen Yapen Waropen satu
mahasiswa terserempet peluruh. Yang lainnya dipukul, ditendang, dan diolempar kedalam
truk untuk di bawa ke mapolsek. Begitu pula penjiksaan dan penagkapan terjadi di asrama
IMI (ikatan mahasiswa Ilaga), penagkapan dan penyiksaan (Persecution) berulang-ulang
terjadi juga di pemingkuman penduduk sipil kampung Wamena di Abepantai dan suku lani
asal Mamberamo di kota raja dan suku yali di skyline. Telah terjadi pembunuhan
kilat(Summary Killing)oleh anggota mbrimib , Elkius Suhuniap,di skyline. Dan telah terjadi
krmatian dalam tahanan Polres Jayapura (dead in custody) akibat penyiksaan (torture)
terhadap Jhoni karunggu dan Orry Dronggi
Pebruari 2001: Komnas HAM membentuk KPP HAM Abepura, dalam KPP HAM; peristiwa
pengejaran dan penangkapan itu telah terjadi tindakan pelanggaran kemanusiaan

28 Maret 2002: Pelimpahan berkas KPP HAM Papua/irian jaya dan Tim Tinjak Lanjut KPP
HAM Papua/Irian Jaya
31 Maret 2002: Kejagung mengirim 20 anggota untuk melakukan penyelidikan di Papua,
yang dipimpin staf ahli Jaksa agung, Umar.

7 Desember 2002: Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Kasus Abepura membuat pernyataan
sikap tentang proses penyilidikan Kejaksaan Agung Terhadap Insiden Traumatis Abepura 7
desember 2000.

13 November 2002: Jaksa Agung MA Rachman dengan komisi II DPR hanya menetapkan
dua pelaku yaitu Komisaris Besar Polisi Drs, Johny Wainal Usman sebagai komandan satuan
Brimob Polda Irian Jaya (Waktu Itu) dan ajun Komisaris Besar Polisi Drs. Daud Sihombing
Sebagai pengendali dan pelaksana perintah operasi.

31 Desember 2002: Koalisi masyarakat sipil untuk kasus abepura membuat pernyataan sikap
berjudul; “penyelidikan kejagu memangkas temuan jumlah pelaku pelanggaranHAM berat
Abepura.

Awal 2003: Tiga (3) orang korban dari jalan bau, kota raja meninggal. Mereka adalah Epenus
Kogoya, Temandor Kogoya dan Roby Wenda.

17 Februari 2003: Kejagung telah menyelesaikan berkas kasus pelanggaran Ham berat
Abepura papua. Jaksa Agung RI mengumumkan bahwa penyelidikan yang dilakukan oleh
Kejaksaan Agung telah lengkap. Disamping itu, jaksa Agung juga menyatakan bahawa
mantan Kapolresta Jayapura AKBP Drs. Daud Sihombing Mantan Komandan Satgas Brimob
Polda Papua Kombes Johny Wainal Usman menjadi tersangka dalam kasus Abepura.

1 Sebtember 2003: Komunitas korban abepura menulis Surat permohonan terhadap jaksa
Agung R.I, M.A Rahman agar tim penyidik pelanggaran berat mengeluarkan surat dakwaan
yangmencantumkan tuntutan atas kerugianmateril dan immaterial yang dialami dan harus
diganti, khususnya oleh POLRI.

Oktober 2003: Jaksa agung mengumumkan telah menujukkan 6 orang jaksa untuk menangani
kasus abepura.

3 Sebtember 2003: Jaksa agung M.a rahman, akhirnya melantik 6 Jaksa Penuntut Umum
(JPU) Kasus Pelanggaran Berat Abepura Papua di Jakarta.Keenam JPU HAM itu sebagian
besar dari Kejaksaan Tinggi (kejati) Sulawesi Selatan (Sulse) dan hanya 2 yang berasal dari
kejaksaan agung (Kejagung).

31 Maret 2004. pukul 11.20.Wita: Pelimpahan kasus dari Jaksa Penuntu Umum ke
pengadilan HAM Makassar.

Siang, 31 Maret 2004: paska penyerahan berkas, koalisi masyarakat sipil untuk kasus abepura
melakukan koverensi pers di restaurant New york Chicken Makassar. Mereka melancarkan
protes lantaran kedua tahanan tidak ditahan, dan perlindungan terhadap saksi tidak jelas.
8 april 2004: PBHI melayangkan surat kepada Kapolri Jendral polisi bachtiar. Dalam surat
tersebut mempertanyakanpenanganan kasus Abepura yang terkesan terlarut-larut dan tak ada
kepastian.

13 April 2004: Akibat ketidakmampuan Arnold Mundu Soklayo (sala satu korban)
membiayai kelumpuhan yang di deritanya sehingga meninggal dunia.

13 April 2004: Ketua Pengadilan negeri Makassar yang sekaligus ketua pengadilam HAM, H
andi Haedar, SH akhirnya menetapkan majelis hakim yang akan menyidangkan kasus
pelanggaran HAM Berat Abepura. Majelis hakim tersebut antara lain; Jalaluddin,SH (Hakim
Ketua), EddyWibisono, SE; SH; MH, (Anggota),Heru Susanto,SH. Mhum (Hakim Ad Hoc,
Anggota), AmiruddinBuraera, SH. ( Hakim AD Hoc, Anggota), Dan HM Kabul Supriadi,
SH. MH (Hakim Ad Hoc, Anggota). Sedangkan Hakim cadangan adalah Rocky Panjaitan,
SH dan Herman Heller Hutapea, SH.

13 April 2004: Ketua Pengadilan Negeri Makassar yang sekaligus ketua pengadilan HAM, H.
Andi Headar,SH, akhirnya menetapkan majelis hakim yang akan menyidangkan kasus
pelanggaran HAM Berat Abepura. Majels hakim tersebut antara lain; Jalaluddin, SH (Hakim
Ketua, Eddy Wbisono,SE., SH. MH (Anggota), Heru Susanto, SH. Mhum,Hakim Ad Hoc,
Anggota), Amiruddin Buraera, SH. (Hakim AD Hoc, Anggota) dan HM. Kabul Supriadi,
SH.MH (Hakim Ad Hoc, Anggota). Sedangkan hakim cadangan adalah Rokcy Panjaitan, SH
dan Herman Heller Hutapea, SH.

7 Mei 2004: Digelar sidang perkara Abepura di Makassar . persidangan perdana ini
mendengarkan dakwaan Jaksa penuntut Umum. Untuk trdakwa (Pol) Johny Wainal
Usmanpukul 09.48 Wita, siding diketuai oleh Jalaludin, SH. Dengan tim JPU; Kol CHK. Aris
sudjarwadi (komandan Oditur Militer III-16), Heriyanti , SH . dan H. Abdul Ruf Kinu, SH.
(pengkasi Kejati Sulsel). Setelah membacaan dakwaan, sekitar 5 menit kemudian dilanjutkan
denganTerdakwa Kombes (Pol) Daud Sihombing disidangkan terpissa(displit) dengan majelis
hakim yang sama ketua Eddy Wibisono dan ti JPU terdakwa; H. Burhanuddin Achmad, SH.
(Jaksa Senior pada Aswas kejati Sulsel), Letkol Sus Banbang Ariwibowo (Kepala Oditur
Militer III-17 Manado), Hj.Nurni Farahyanti Lukman, SH.MH. Dan TonagMadjid, SH
(Kepala Kejari Soppeng). Dalam dakwaan Jaksa , kedua Perwira Polisi ini drjerat dengan
dakwaan dan pasal penggaran HAM berat secara berlapis. Pun keduanya mendapat ancaman
hukuman maksimal seumur hidup.

7 Mei 2004: Gugata Class Action Korban Pelanggaran HAM Abepura dimasukkan dan akan
digelar dalam sidang penggabungandengan siding pidana.

24 Mei 2004: Berlangsung siding II dengan agenda pembacaan eksepsi. Menurut Tim
Penasehat Hukum(TPH) terdakwa, banyak gugatan yang kabur.

31 Mei 2004: Sidang III kasus dengan agenda menedengarkan tanggapan JPU ad hoc atas
eksepsi (keberata) Tim Penasehat Hukum terdakwa. JPU membanta TPH; bahwa dakwa telah
sesuai dengan KUHAP.
6 Juni 2004: Tim Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Kasus Abepura mengeluarkan statemen
“Korban Abepura 7 Desember 2000 Menggugat Hak Reparasi di Pengadilan HAM Tetap Di
Makassar.”

7 Juni 2004: Sidang pertama gugatan class action oelh Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Kasus
Abepura dengan tergugat dua perwira polri di pengadilan negeri/HAM Makassar. Dalam
Gugatannya, kuasa hukum para penggugat meminta agar kedua tergugat membayar ganti
kerugian kepada para penggugat (wakil kelas). Namun Majeli Hakim menyatakan class
action yang diajukan koerban pelanggaran HAM Abepura tidak dapat diterima. Pertimbangan
Hakim, gugatan pengabungan itutidak diatur secara khusus dalam UU No. 26 Tahun 2000;
dimana kewenanga pengadilan HAM adalah berdiri sendiri.

8 Juni 2004: Korban pelanggaran HAM Abepuramengajukan upaya banding setelah gugatan
ganti rugi yang diajukan di pengadilan HAM Makassar oleh Majelis Hakim dinyatakan tidak
dapat diterima. Pernyataan banding kuasa hukum korban diterima oleh petugas kepaniteraan
pidana PN Makassar,M. Ilyas.

9 Juni 2004: Tim Masyarakat sipil untuk kasus abepura melakukan siaran pers tentang
penetapan pengadilan HAM Mkassar atas penggabungan Gugatan Ganti Rugi Kerugian
korban Peristiwa Abepura.

14 Juni 2004: Putusan sela dibacakan pada pengadilan lanjutan di pengadilan HAM
Makassar.
Majelis hakim ad hoc menyatakan eksepsi yang di ajukan TPH terdakwa tidak beralasan
hukum. Majelis Hakim juga memandang keberatan TPH terhadap dakwaan jaksa harus di
tolak dan ditangguhkan.

15 Juni 2004: Tim Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Kasus Abepura memberi keterangan pers
berkaitan dengan Perlindungan Korban Abepura.

28 Juni 2004: Sidang pengadilan lanjutan di PN Makassar. Dalam siding tersebut,Tim JPU,
H. Rauf Kinu, SH. Mengajukan beberapa saksi.

12 Juli 2004: Sidang lanjutan kasus pelanggaran HAM Abepura dengan mendengarkan
keterangan saksi. Dalam persidingan tersebut, terdakwa Kombes (Pol) Daud Sihombing
manuding saksi korban Peneas Lokbere (24) memberikan keterangan bohong. Selain itu, ia
mempertanyakan keabsahan foto hasil penyiksaan yang diperlihatkan Jaksa Barhanuddin di
hadapan Hakim Edy.

19 Juli 2004: Sidang lanjutan kasus Abepura. Amion Karunggu, Saksi dari pihak korban,
diminta untuk ditahan oleh Denny Kailimang, SH. TPH Terdakwa Brijen (Pol) Drs. Johny
Wainal Usman. Pasalnya, Denny Kailimang menilai saksi terlalu berbeli-belit dalam
memberikan keterangan dan selalu berubah-ubah. Namun Hakim Ketua Jalaluddin tidak
mengabulkannya. Selain itu, saksi korban, Matias Heluka memprotes tindakan PH terdakwa.

26 Juli 2004: Sidang lanjutan kasus pelanggaran HAM Abepura masi dengan agenda
mendengarkan keterangan saksi korban.
3 Agustus 2004: Sidang lanjutan kasus pelanggaran HAM Abepura, PH terdakwa menuding
saksi Timotius Wakerkwa berbohong.

16 Agustus 2004: Sidang lanjutan kasus pelanggaran HAM Abepura. Dalam persidangan kali
ini dihadirkan tiga orang saksi. Keterangan salah satu saksi, Manase Ara yang juga ketua RT,
menyatakan bahwa tidak ada mahasiswa yang terlibat dalam OPM.

30 Agustus 2004: Sidang lanjutan kasus pelanggaran HAM Abepura. JPU menghadirkan lima
orang saksi. Diantaranya yakni Alex Koba, mantan kapolsek Abepura dan seorang
anggotanya Mesak Keroni. Ketua Majelis Hakim Menegur supaya tidak berandai-andai dan
berumpama dalam memberikan kesaksian.

6 September 2004: Sidang lanjutan kasus pelanggaran HAM Abepura.

13 Mei 2005: Sidang lanjutan kasus pelanggaran HAM Abepura dengan agenda pemeriksaan
terdakwa.

1 September 2005: Sekitar 150 orang dari berbagai elemen mengikuti orasi kemanusiaan di
Bundaran HI Jakarta. Acara yang dimotoro oleh Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Kasus
Abepura menyerukan agar terdakwa kasus pelanggaran HAM itu dijatuhi hukuman seberat-
beratnya.

8 Sebtember 2005: Majelis Ad Hoc HAM kasus Abepura di Makassar memponis bebas
Brigadir Jenderal (Bridjen) Polisi Johny Wainal Usman (49). Majelis yang diketuai jalaluddin
menyatakan Johny tidak terbukti secara sah bersalah melakukan pelanggaran HAM Berat di
Abepura, Papua.

9 September 2005: Majelis Ad Hoc HAM kasus Abepura di Makassar memponis bebas
Kombes Polisi Drs. Daud Sihombing, SH. (47) Majelis yang menyatakan Daud tidak terbukti
secarah sahbersalah melakukan pelanggaran HAM di Abepura, Papua.

9 Sebtember 2005: Perhimpunan Bantuan Hukum Dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI)
menedesak Kejaksaan Agung segerah melakukan proses kasasi ke Mahkama Agung
sehubungan keputusan bebas para terdakwa kasus pelanggaran HAAM berat di Abepura.
Koodinator Ekternal PBHI, Henry T. Simarmata menyatakan petimbangan yang dipakai
dalam keputusan hakim menunjukkan bahwa pemahaman dan pengetahuan hakim terkesan
mengunakan prinsip klonial yang jau dari rasa keadilan korban.

Solusi :
22 Sebtember 2005: Berlangsung aksi solidaritas nasional untuk kasus Abepura
(SNUKA) di Papua. Komite aksi ini terdiri dari LBH Papua,ALDP, SKP Keuskupan
Jayapura,JPIC Sinode GKI, KONTRS Papua, ELSHAM Papua, Dewan Adat Papua,
LPDAP, STT GKI, STFT Fajar Timut, AMPTPI, AMP, HMI, Jayapura,PMKRI Jayapura,
GMKI Jayapura, Parlemen Jalanan, Tim Kemanusiaan Papua, Komunitas Survivor
Abepura, Solidaritas Perempuan Papua, LP3A-P, IMM Jayapura, Front Pembebasan
Penindasan Papua, Asrama Ninmin, FNMP, dan DEMMAK
16. Kasus perbudakan buruh panci (2013)

Kasus :
Kampung Bayur Opak RT 03/06, Desa Lebak Wangi, Kecamatan Sepatan Timur,
Kabupaten Tangerang, terkuak setelah dua buruh yang bekerja di pabrik itu
berhasil melarikan diri. Andi Gunawan (20 tahun) dan Junaidi (22) kabur setelah
tiga bulan dipekerjakan dengan tidak layak. Dalam waktu enam bulan dia bekerja
di pabrik milik Juki Hidayat itu, tidak sepeser pun uang yang diterima para buruh.
Setiap hari, para buruh harus bekerja lebih dari 12 jam untuk membuat 200 panci.
Jika tidak mencapai target, lanjutnya, para pekerja akan disiksa dan dipukul. Para
pekerja yang rata-rata berumur 17 hingga 24 tahun ini hanya memiliki satu baju
yang melekat di tubuh, karena menurutnya baju, ponsel dan uang yang mereka
bawa dari kampung disita oleh sang majikan ketika baru tiba di pabrik tersebut.
Para pekerja diiming-imingi mendapat gaji Rp 600 ribu per bulannya. Kondisi
bangunan di sana sangat memprihatinkan, tidak layak untuk ditiduri. Para pekerja
sering diancam oleh mandor-mandor dan bos Juki, akan dipukuli sampai mati,
mayatnya langsung mau dibuang di laut kalau jika macam-macam di sana.
Pabrik Panci Tempat Perbudakan Buruh Tangerang Rumah mewah bertingkat dua
dengan pilar menjulang hingga ke balkon dan rumah kumuh bertingkat dua dengan
berkarung-karung tanah liat menutupi daun pintu. Dua tempat kontradiktif itu
beberapa hari belakangan sejak Jumat, 3 hingga Senin, 6 Mei 2013 menjadi tempat
"wisata" baru bagi masyarakat Tangerang dan sekitarnya. Masyarakat sejak pagi,
siang hingga malam berduyun-duyun masuk ke Kampung Bayur, Desa Lebak Wangi,
Kecamatan Sepatan Timur itu. Orang-orang itu baik jalan kaki atau berkendaraan
lalu-lalang ke rumah dan pabrik panci itu. Sebagian lain duduk-duduk di pinggir
jalan kecil, dan sebagian besar lainnya berdiri menyemut di depan pabrik.
Masyarakat terenyak, kaget dan syok menyaksikan dengan mata kepala sendiri
kondisi di dalam pabrik panci yang menjadi ajang perbudakan buruh itu. Selain
penasaran, beragam motif masyarakat mengunjungi pabrik panci itu. Ada yang
sekadar menonton, ada yang nekat menerobos masuk untuk melihat kamp
perbudakan buruh yang pengap di belakang rumah. Adapula warga yang berbisik-
bisik melihat kuburan bernisan merah di samping kamp buruh di belakang rumah
mewah itu. Soal kuburan, polisi menjelaskan dari keterangan saksi yang sudah
diperiksa bahwa kuburan itu adalah makam Amalia, anak kedua Yuki yang
meninggal kala berusia 3 tahun akibat muntaber. Kepolisian Resor Tangerang
memasang garis kuning polisi di depan rumah Yuki Irawan, 41 tahun. Yuki adalah
bos pabrik panci yang telah menyekap 34 buruh, terdiri dari 25 buruh di Sepatan
dan 9 buruh di Dadap, Kosambi. Pemasangan garis polisi lantaran massa merusak
pagar besi rumah mewah itu. Polisi kini juga menjaga ketat pabrik panci demi
menghindari kerusakan lebih parah. Penyelidikan terhadap kasus pabrik panci
masih berlanjut. Namun, hingga kini wartawan belum bisa mewawancarai Yuki.
Sebelumnya, di Polres Tangerang, Kabid Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar
Rikwanto menjelaskan masih butuh keterangan Yuki untuk kepentingan penyidikan.
Itu sebabnya Yuki belum bisa dimintai keterangan kepada publik. Kepala Bagian
Penerangan Umum Markas Besar Polri, Komisaris Besar Agus Rinto, mengatakan,
tim Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) mengusut dugaan keterlibatan
personel kepolisian dalam kasus perbudakan buruh pabrik panci di Kampung Bayur
Opak, Desa Lebak Wangi, Sepatan, Kabupaten Tangerang. Pada Senin kemarin, 6
Mei 2013, tim Propam memeriksa dua polisi yang diduga terlibat. Agus enggan
membeberkan kedua nama anggota kepolisian itu serta asal kesatuannya.
Pemeriksaan bermula dari adanya informasi keterlibatan personel kepolisian dalam
kasus penganiayaan dan penyekapan buruh di Tangerang. Ketua Komisi untuk
Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Haris Azhar, menyebutkan,
ada dua anggota Brigade Mobil yang diduga terlibat dalam penyekapan dan
penyiksaan buruh tersebut. Menurut pengakuan korban, kedua oknum Brimob ini
menjadi alat intimidasi oleh pemilik pabrik beserta centengnya. Sembilan buruh
yang disekap dan diperlakukan seperti budak di Sepatan, Tangerang, Banten
mengaku sering diawasi oleh sejumlah pria berseragam mirip seragam kesatuan
saat mereka bekerja. Keberadaan pria bersenjata api laras panjang itu membuat
para buruh merasa ciut nyalinya untuk melawan.
Andi, warga Blambangan, Kecamatan Blambangan Pagar, Kabupaten Lampung
Utara meloloskan diri melalui lobang selokan rumah yang dijadikan pabrik panci
itu. Usai berhasil keluar dari kompleks, dia bersembunyi di sebuah bangunan
kosong hingga menjelang malam. Akibat penyekapan yang berlangsung selama tiga
bulan itu, membuat Andi trauma. Bekas luka terbakar masih terlihat di kedua
telapak tangan dan kakinya. Dia berharap aparat keamanan mengusut tuntas dan
menghukum berat cukong dan semua yang terlibat. Andi berangkat bersama
sembilan rekan di desanya tiga bulan lalu. Mereka diajak oleh seorang perekrut
tenaga kerja bernama Taufik asal Sumatera Selatan. Sembilan orang yang
dipekerjakan dan tanpa diupah itu adalah Adi Putra, 23 tahun, Andi Gunawan (20),
Rizal (19), Junaidi (22), dan Madjid (20). Selain itu juga ada Miswanto (20), Ervan
(21), Iwan Kurniawan (19), dan Sarifudin

Solusi :
kesemuanya warga Blambangan Pagar, Kabupaten Lampung Utara. Kasus
penyekapan dan penyiksaan puluhan buruh pabrik pembuatan panci dan kuali di
Tangerang itu terungkap atas laporan Junaidi dan disusul Andi Gunawan. Keduanya
berhasil melarikan diri lalu melapor ke aparat kepolisian dan pamong desa di
kampung halaman mereka. Kepolisian Daerah Lampung bekerjasama dengan
Kepolisian Resor Tangerang dan Polda Metro Jaya menggerebek tempat itu.
Kepolisian Resor Kota Tangerang menggerebek CV Cahaya Logam, produsen panci,
dan menemukan 25 buruh disekap di area pabrik.

17. Peristiwa 27 Juli (1996)


Kasus :
Peristiwa ini disebabkan oleh para pendukung Megawati Soekarno Putri yang
menyerbu dan mengambil alih kantor DPP PDI di Jakarta Pusat pada tanggal 27 Juli
1996.
Massa mulai melempari dengan batu dan bentrok, ditambah lagi kepolisian dan
anggota TNI dan ABRI datang berserta Pansernya. Kerusuhan meluas sampai ke
jalan-jalan, massa mulai merusak bangunan dan rambu-rambu lalu-lintas.
Dikabarkan lima orang meninggal dunia, puluhan orang (sipil maupun aparat)
mengalami luka-luka dan sebagian ditahan. Menurut Komnas Hak Asasi Manusia,
dalam peristiwa ini telah terbukti terjadinya pelanggaran

18. Kasus Dukun Santet di Banyuwangi (1998)


Kasus :
Peristiwa beserta pembunuhan ini terjadi pada tahun 1998. Pada saat itu di
Banyuwangi lagi hangat-hangatnya terjadi praktek dukun santet di desa-desa
mereka. Warga sekitar yang berjumlah banyak mulai melakukan kerusuhan berupa
penangkapan dan pembunuhan terhadap orang yang dituduh sebagai dukun santet.
Sejumlah orang yang dituduh dukun santet dibunuh, ada yang dipancung, dibacok
bahkan dibakar hidup-hidup. Tentu saja polisi bersama anggota TNI dan ABRI tidak
tinggal diam, mereka menyelamatkan orang yang dituduh dukun santet yang masih
selamat dari amukan warga.

19. Pembantaian Massal Komunis/PKI (1965)


Kasus :
Pembantaian ini merupakan peristiwa pembunuhan dan penyiksaan terhadap orang
yang dituduh sebagai anggota komunis di Indonesia yang pada saat itu Partai
Komunis Indonesia (PKI) menjadi salah satu partai komunis terbesar di dunia
dengan anggotanya yang berjumlah jutaan. Pihak militer mulai melakukan operasi
dengan menangkap anggota komunis, menyiksa dan membunuh mereka. Sebagian
banyak orang berpendapat bahwa Soeharto diduga kuat menjadi dalang dibalik
pembantaian 1965 ini. Dikabarkan sekitar satu juta setengah anggota komunis
meninggal dan sebagian menghilang. Ini jelas murni terjadi pelanggaran Hak Asasi
Manusia

20. Konflik Berdarah Poso (1998)


Kasus :
Awal konflik Poso terjadi setelah pemilihan bupati pada desember 1998. Ada
sintimen keagamaan yang melatarbelakangi pemilihan tersebut.
Kalau dilihat dari konteks agama, Poso terbagi menjadi dua kelomok agama besar,
Islam dan Kristen. Sebelum pemekaran, Poso didominasi oleh agama Islam, namun
setelah mengalami pemekaran menjadi Morowali dan Tojo Una Una, maka yang
mendominasi adala agama Kristen. Selain itu masih banyak dijumpai penganut
agama-agama yang berbasis kesukuan, terutama di daerah-daerah pedalaman.
Islam dalam hal ini masuk ke Sulawesi, dan terkhusus Poso, terlebih dahulu. Baru
kemudian disusul Kristen masuk ke Poso.
Keberagaman ini lah yang menjadi salah satu pemantik seringnya terjadi pelbagai
kerusuhan yang terjadi di Poso. Baik itu kerusuhan yang berlatar belakang sosial-
budaya, ataupun kerusuhan yang berlatarbelakang agama, seperti yang diklaim
saat kerusuhan Poso tahun 1998 dan kerusuhan tahun 2000. Agama seolah-olah
menjai kendaraan dan alasan tendesius untuk kepentingan masing-masing

You might also like