Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Sampai saat ini tetanus masih merupakan masalah kesehatan masyarakat signifikan di
negara berkembang. Angka kejadian tetanus tinggi di negara-negara berkembang, terutama
disebabkan kontaminasi tali pusat, infeksi telinga kronik, luka tusuk pada anak usia sekolah,
sirkumsisi pada laki-laki, kehamilan dengan abortus. Penyakit ini dapat dicegah dengan
imunisasi akan tetapi angka kejadiannya masih tetap tinggi dengan angka kematian yang tinggi
pula.(1)
Tetanus adalah penyakit yang dapat dicegah. Implementasi imunisasi tetanus global telah
menjadi target WHO sejak tahun 1974. Imunitas terhadap tetanus tidak berlangsung seumur
hidup dan dibutuhkan injeksi booster jika seseorang mengalami luka yang rentan terinfeksi
tetanus. Akses program imunisasi yang buruk dilaporkan menyebabkan tingginya prevalensi
penyakit di negara sedang berkembang.(2)
Tetanus adalah penyakit yang mengenai sistem saraf yang disebabkan oleh tetanospasmin
yaitu neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Penyakit ini ditandai oleh adanya
trismus, disfagia, dan rigiditas otot lokal yang dekat dengan tempat luka, sering progresif
menjadi spasme otot umum yang berat serta diperberat dengan kegagalan respirasi dan
ketidakstabilan kardiovaskular. Gejala klinis tetanus hampir selalu berhubungan dengan kerja
toksin pada susunan saraf pusat dan sistem saraf autonom dan pada sistem saraf perifer atau
otot(4).
1
BAB II
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn.D Jenis kelamin : laki-laki
Umur : 65 tahun Suku bangsa : Sunda
Status perkawinan : Menikah Agama : Islam
Pekerjaan : Petani Pendidikan : SD
Alamat : Taraju RT/RW Tanggal masuk RS : 26/04/2018
07/02, Sindangagung, Kuningan 09.45 WIB
A. ANAMNESIS
Diambil secara autoanamnesis dan alloanamnesis kepada anak pasien, tanggal 26 April 2018
pukul 09.45 di IGD RSUD 45 Kuningan.
2
memeriksa keadaannya, tetapi pasien tidak mau ke rumah sakit. Satu jam sebelum masuk ke
rumah sakit pasien kembali lagi untuk berobat ke mantri dengan keluhan tersebut semakin
memberat dan menyebar ke mulut, punggung dan perut sehingga pasien sulit membuka mulutnya
dan perut kencang seperti papan. Pasien juga mengeluh seluruh tubuh terasa nyeri, sulit menelan
dan nafas kadang terasa sesak. Kemudian pasien langsung dibawa ke IGD RSUD 45 Kuningan
saat itu juga.
Tidak ada kejang, tidak ada penurunan kesadaran, tidak ada mual muntah, tidak ada
demam, batuk pilek, atau diare. Sebelumnya pasien tidak pernah mendapat imunisasi tetanus.
Pasien tidak memiliki riwayat darah tinggi. Riwayat kencing manis disangkal. Pasien sudah 3
hari belum BAB, BAK tidak ada keluhan. Makan dan minum baik, perlahan-lahan, tidak
tersedak.
3
Riwayat Kebiasaan
- Riwayat merokok (+)
- Riwayat megkonsumsi kopi (+)
- Riwayat mengkonsumsi alkohol (-)
- Riwayat sering makan-makanan santan dan gorengan (+)
ANAMNESIS SISTEM
Sistem Serebrospinal: Demam (-)
Kejang (-)
Sakit kepala (+)
Hemiparese (-)
Sulit bicara (+)
4
Sistem Integumen: Ruam-ruam (-)
Kemerahan (-)
Gatal (-)
Luka pada tangan kanan (+)
Sistem muskuloskeletal: Nyeri dan kaku pada punggung, perut dan jari-jari tangan
kanan (+)
B. PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan pada tanggal 26 April 2018 pukul 10.00 WIB di IGD RSUD 45 Kuningan
Keadaan Umum
Kesadaran : Compos Mentis
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesan gizi : Kesan gizi cukup
Sianosis : -
Ikterik : -
Dehidrasi : -
Ascites : -
Edema : -
Habitus : Atletikus
Mobilitas : Aktif
Umur sesuai taksiran : Sesuai dengan usia sebenarnya
Cara berjalan : -
Cara berbaring/duduk : Aktif
Cara berbicara : -
Sikap pasien : Kooperatif dengan pemeriksa
Tanda Vital
Tekanan Darah : 140/80mmHg
Nadi : 80x/menit, regular, kuat, isi cukup, equal
Pernapasan : 22x/menit, teratur, tipe pernafasan abdominotorakal
5
Suhu : 36,9 ºC per axiler
Tinggi Badan : 160cm
Berat Badan : 50kg
BMI : 19,5 kg/m2 (normal)
Aspek Kejiwaan
Tingkah Laku : Tenang
Alam Perasaan : Biasa
Proses Pikir : Wajar
Kulit
Warna : Sawo matang Pigmentasi : Merata
Efloresensi : Ulkus dorsum
manus dextra
Petekie : Tidak Ada
Jaringan Parut : Tidak ada Ikterus : Tidak ada
Pertumbuhan rambut : Merata Lembab/Kering : Lembab
Suhu Raba : Hangat Pembuluh darah : Tidak melebar
Keringat : Tidak ada Turgor : Baik
Lapisan Lemak : Sedikit Sianosis : Tidak ada
Oedem : Tidak ada Lain-lain :-
6
Kepala
Ekspresi wajah : Risus sardonicus (+)
Simetri muka : Simetris
Bentuk : Normocephali
Rambut : Hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut
Mata
Exophthalamus : Tidak ada Enopthalamus : Tidak ada
Kelopak : Oedem ( - ) Lensa : Jernih
Sklera : Ikterik (-) Gerakan mata : Simetris
Lapangan penglihatan : Sulit dinilai RCL : +/+
Nistagmus : Tidak ada RCTL : +/+
Konjungtiva : Anemis( - ) Visus : Sulit dinilai
Telinga
Bentuk : Normotia Membran timpani : +/+
Liang telinga : lapang Penyumbatan : -/-
Serumen : +/+ Perdarahan : -/-
Cairan/sekret : -/- Tuli : -/-
Hidung
Bentuk : normal Septum deviasi :(-)
Deformitas :(-) Cavum nasi : lapang
Pernafasan cuping hidung :(-) Sekret :(-)
Concha Inferior : eutrofi Epistaxis :(-)
Mulut
Bibir : kering Tonsil : sulit dinilai
Langit-langit : merah muda, DBN Bau pernapasan: ada
Gigi geligi : caries, lengkap Trismus : ada
Faring : sulit dinilai Selaput lendir : ada
Lidah : normoglosia, atrofi papil (-) Mukosa : tidak hiperemis
7
Leher
Tekanan Vena Jugularis (JVP) : 5 - 1 cm H2O.
Kelenjar Tiroid : tidak teraba membesar
Kelenjar Limfe : tidak teraba membesar
Trakea : letak di tengah
Thoraks
Bentuk : datar, simetris
Pembuluh darah : tidak tampak
Deformitas :-
Paru – Paru
Pemeriksaan Depan Belakang
Inspeksi Kanan Simetris saat statis dan dinamis Simetris saat statis dan dinamis
Kiri Simetris saat statis dan dinamis Simetris saat statis dan dinamis
Palpasi Kanan - Tidak ada benjolan - Tidak ada benjolan
- Vocal fremitus (+) - Vocal fremitus (+)
Kiri - Tidak ada benjolan - Tidak ada benjolan
- Vocal fremitus (+) - Vocal fremitus (+)
Perkusi Kanan Sonor di seluruh lapang paru Sonor di seluruh lapang paru
Kiri Sonor di seluruh lapang paru Sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi Kanan - Suara nafas vesikuler - Suara nafas vesikuler
-Wheezing (-), Ronki (-) -Wheezing (-), Ronki (-)
Kiri - Suara nafas vesikuler - Suara nafas vesikuler
-Wheezing (-), Ronki (-) -Wheezing (-), Ronki (-)
Jantung
Inspeksi : Tidak tampak pulsasi iktus cordis
Palpasi : Teraba iktus cordis di ICS IV, 2 cm medial garis midklavikularis kiri
Perkusi :
8
Batas kanan : ICS III-IV garis sternalis kanan dengan suara redup
Batas kiri : ICS IV, 3 cm medial garis midklavikularis kiri dgn suara redup
Auskultasi: Bunyi jantung I-II reguler, Gallop (-), Murmur (-).
Pembuluh Darah
Arteri Temporalis : teraba pulsasi
Arteri Karotis : teraba pulsasi
Arteri Brakhialis : teraba pulsasi
Arteri Radialis : teraba pulsasi
Arteri Femoralis : teraba pulsasi
Arteri Poplitea : teraba pulsasi
Arteri Tibialis Posterior : teraba pulsasi
Arteri Dorsalis Pedis : teraba pulsasi
Abdomen
Inspeksi : Datar, warna sawo matang, tidak ikterik, tidak ada spider nervy, tidak ada
efloresensi yang bermakna, tidak ada dilatasi vena.
Auskultasi : Bising usus ( + ), 3x/menit
Palpasi : Dinding perut :Tegang ( + ), tonus meningkat (+), nyeri tekan epigastrium ( - ), nyeri
tekan abdomen (-) nyeri lepas (- ) , defense muscular (-), massa (-), undulasi (-),
opistotonus (-).
Hati : Tidak teraba
Limpa : Tidak teraba
Ginjal : Ballotement -/-, nyeri ketok CVA -/-
Perkusi : Timpani di empat kuadran abdomen, pekak sisi (-) shifting dullness (-) nyeri
ketuk (-)
Anggota Gerak
Lengan Kanan Kiri
9
Otot
Tonus : normotonus normotonus
Massa : eutrofi eutrofi
Sendi : normal normal
Gerakan : aktif aktif
Kekuatan : 5 5
Oedem : : tidak ada tidak ada
Lain-lain : ulkus dorsum manus dextra (+), palmar eritema (-), ptechie (-),
clubbing finger (-), akral dingin (-)
10
STATUS NEUROLOGI
Refleks Patologis
Pemeriksaan Kanan Kiri
Sup dan Inf
Hoffman Trommer - -
Babinski - -
Chaddock - -
Gordon - -
Schaeffer - -
Openheim - -
Klonus patella - -
Klonus achilles - -
11
Peningkatan Tekanan Intrakranial
Penurunan Kesadaran : (-)
Muntah proyektil : (-)
Sakit kepala hebat : (-)
Edema papil : tidak dilakukan pemeriksaan
Saraf Kranial
Nervus I Olfaktorius : Normosmia
Nervus II Optikus
Kanan Kiri
Ketajaman penglihatan Baik Baik
Menilai warna Baik Baik
Funduskopi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Papil Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Retina Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Medan penglihatan Baik Baik
12
Nervus IV Troklearis
Kanan Kiri
Gerakan mata ke lateral bawah + +
Strabismus konvergen - -
Diplopia - -
Nervus V Trigeminus
Kanan Kiri
Bagian Motorik
Menggigit + +
Membuka mulut + +
Bagian Sensorik
Ophtalmik Baik Baik
Maxilla Baik Baik
Mandibula Baik Baik
Reflek Kornea Baik Baik
Nervus VI Abdusen
Kanan Kiri
Gerakan mata ke lateral + +
Strabismus konvergen - -
Diplopia - -
13
Mencucurkan bibir + +
Reflek Glabella - -
Tanda Chovstek - -
Fungsi Pengecapan
2/3 depan lidah Baik Baik
Nervus XI Aksesorius
Mengangkat bahu &Menoleh
Kanan Sulit dinilai
Kiri Sulit dinilai
14
Atrofi -
Artikulasi Baik
Tremor -
SistemMotorik
Ekstremitas Superior
Kekuatan Motorik : 5 5
Kanan Kiri
Tonus otot : normotonus normotonus
Trofi : eutrofi eutrofi
Gerakan :aktif aktif
Ekstremitas Inferior
Kekuatan Motorik :
5 5
Kanan Kiri
Tonus otot : normotonus normotonus
Trofi : eutrofi eutrofi
Gerakan : aktif aktif
Gerakan involunter :
Tremor : - -
Chorea : - -
Ballismus : - -
Athetose : - -
Sistem Sensorik
Rasa Kanan Kiri Rasa Halus Kanan Kiri
Tajam
Eusthesia Eusthesia Eusthesia Eusthesia
15
Eusthesia Eusthesia Eusthesia Eusthesia
Fungsi Vegetatif
Miksi :+
Inkontinensia urine :-
Defekasi :-
Inkontinensia alvi :-
Fungsi Luhur
Astereognosia :-
Apraksia :-
Afasia :-
Keadaan Psikis
Intelegensia : Baik
Demensia :-
Tanda regresi :-
16
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
17
RESUME
18
Fungsi Motorik 5 5
5 5
Fungsi Sensorik baik
Tanda rangsang meningeal (-)
1. Medikamentosa :
a. Oksigen kanul 2-3 lpm
b. Infus RL 500 ml/8 jam
c. Injeksi intramuscular ATS 10.000 unit (skin test)
d. Infus metronidazol 3x500 mg
e. Injeksi intavena diazepam 3x10mg
f. Pemasangan NGT
g. Pemasangan DC
h. Wound care luka
i. Diet cair 1500 kkal : 6x300ml/hari
2. Non-Medikamentosa :
Menjelaskan tentang diagnosa penyakit, faktor resiko apa saja yang terdapat pada
pasien, tatalaksana dan prognosis kepada keluarga pasien.
Isolasi pasien di kamar yang gelap, minimalisasi suara untuk mengindari rangsang
terjadinya kejang
Tirah baring
19
Fisioterapi
PROGNOSIS :
Ad Vitam : Dubia ad Bonam
Ad Fungsionam : Dubia ad Bonam
Ad Sanationam : Dubia ad Bonam
FOLLOW UP
Hari/ S O A P
tanggal
Jumat, 27 Kaku leher, TD : 170/90 mmHg Tetanus - IVFD RL 20 tpm/8
April nyeri N : 110x/menit jam
2018 menelan, kaku RR :22x/m - Infus metronidazole
pada tangan T :36,20C 3x500mg
dan perut Trismus (+) - Injeksi intavena
serta sulit Kaku pada jari-jari diazepam 3x10mg
berbicara. tangan kanan (+)
Kaku leher (+)
20
Minggu, Nyeri TD : 150/80 mmHg Tetanus - Terapi dilanjutkan
29 April menelan, kaku N : 100x/menit
2018 pada jari-jari RR :20x/m
tangan kanan. T :36,40C
Trismus (+)
Kaku pada jari-jari
tangan kanan(+)
Kaku leher (+)
Senin, 30 Nyeri TD : 140/80 mmHg Tetanus - IVFD RL 20 tpm/8
April menelan, kaku N : 90x/menit jam
2018 pada jari-jari RR :24x/m - Infus metronidazole
tangan kanan. T :36,80C 3x500mg
Trismus (-) - Injeksi intavena
Kaku pada jari-jari diazepam 3x5mg
tangan kanan(+)
Kaku leher (-)
Selasa, 01 Nyeri TD : 130/80 mmHg Tetanus - Terapi dilanjutkan
Mei 2018 menelan, kaku N : 90x/menit
pada jari-jari RR :22x/m
tangan kanan. T :36,40C
Trismus (-)
Kaku pada jari-jari
tangan kanan(+)
Kaku leher (-)
Rabu, 02 Kaku pada TD : 140/90 mmHg Tetanus - Pasien diperbolehkan
Mei 2018 jari-jari N : 86x/menit pulang
tangan kanan RR :22x/m - Injeksi intravena
sudah T :37,20C diazepam extra 10mg
berkurang. Trismus (-) - Metronidazole tab
Kaku pada jari-jari 3x500mg
tangan kanan(+) - Myonal tab 2x1
21
Kaku leher (-) - Neurodex tab 2x1
- Diet lunak dan cair
BAB III
ANALISA KASUS
Dari anamnesa didapatkan didapatkan pasien memilik luka yang ditangan tangan yang
didapatkan sekitar 30 hari sebelum masuk rumah sakit. Luka tersebut kemudian ditusuk-tusuk
jarum dan tidak dilakukan penanganan yang baik dan sering terkontaminasi, ini merupakan
portal of entry sebagai jalan masuknya C. tetani yang akan menyebabkan organisme tersebut
berada di lingkungan anaerob yang sesuai dengan pertumbuhan sporanya, akan berkembang biak
dan menghasilkan toksin tetanospasmin dan tetanolysin. Toksin tersebut diabsorpsi di
neuromuscular junction, kemudian bermigrasi melalui jaringan perineural ke susunan saraf pusat.
Toksin tersebut mempengaruhi jalur inhibisi, mencegah pemecahan glisin yang dapat
menghambat motor neuron alpha akan terjadi kegagalan reflex motorik sehingga muncul
aktivitas saraf motorik tak terkendali, mengakibatkan peningkatan tonus dan rigiditas otot berupa
spasme otot yang tiba-tiba dan potensial merusak. Peningkatan tonus dan rigiditas otot
ditemukan pada pasien yaitu adanya hipertoni pada reflex fisiologis biceps dan triceps
ekstremitas superior dextra, terdapat trismus, wajah risus sardonikus, kaku pada leher dan jari-
jari tangan kanan, dinding perut tegang, sulit menelan serta sulit berbicara yang merupakan tanda
spasme otot. Untuk masa inkubasi tetanus sesuai antara 3-21 hari pada pasien terjadi kurang
lebih mungkin sekitar 14 hari lalu gejala muncul sekitar 1-2 minggu setelah terinfeksi.
22
Manisfestasi klinis tetanus pada pasien yang termasuk klasifikasi tetanus umum dengan
adanya gejala pada pasien yaitu trismus, irritable, kaku leher, susah menelan, kaku dada dan
perut (ophistotonus). Menurut derajat penyakit tetanus Ablett’s pada pasien ini termasuk pada
derajat II dengan adanya trismus sedang, kaku yang jelas, spasme serta disfagia ringan. Selain itu
diagnosis pada pasien. Dari anamnesis juga didapatkan tidak adanya riwayat imunisasi tetanus
yang semakin mendukung diagnosa.
Untuk pemeriksaan laboratorium tidak ada penanda yang khas untuk diagnosa tetanus.
Pada pasien juga tidak ditemukan hasil yang bermakna. Kultur untuk C.Tetani dari luka sangat
sulit (hanya 30% positif) dan hasil kultur positif mendukung diagnosis bukan suatu
konfirmasi.(12)
Untuk tatalaksana tetanus sendiri harus memiliki tiga sasaran, dan pada pasien sudah
dilakukan tatalaksana sebagai berikut:
23
bertujuan agar nutrisi tetap masuk, karena nutrisi yang buruk yang terjadi karena
disfagia, gangguan fungsi gastrointestinal dan peningkatan metabolism, dapat
menurukan daya tahan tubuh sehingga memperburuk prognosis. Diet yang diberikan
pada pasien dalam bentuk cair karena ketidakmampuan pasien untuk menelan akibat
nyeri menelan serta ketidakmampuan membuka mulut akibat trismus.
Prognosis pada pasien adalah dubia ad bonam. Menurut Dakar score didapatkan nilai
pada pasien score 1; period inkubasi >7 hari (0), period onset >2 hari (0), tempat masuk yaitu
luka terbuka (0), terdapat spasme (1), tidak terdapat demam (0), dan tidak terdapat takikardi pada
pasien (0). Pada pasien prognosis menurut Dakar score yaitu severitas ringan dengan mortalitas
10%.
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
4.1 Definisi Tetanus
Penyakit klinis yang ditandai dengan onset akut hipertonia dan kontraksi otot yang nyeri
(biasanya otot rahang dan leher) dan spasme otot general tanpa penyebab medis lain yang
tampak dengan/tanpa bukti laboratoris C. tetani atau toksinnya dengan atau tanpa riwayat
trauma3,7.
Tetanus berasal dari bahasa Yunani teinein yang artinya “meregang”. Penyakit ini telah
dikenal sejak zaman Mesir kuno lebih dari 3000 tahun yang lalu. Hipokrates kemudian
mendeskripsikan tetanus sebagai “penderitaan manusia yang tiada akhir”. Pada tahun 1884 Carle
dan Rattone berhasil menimbulkan tetanus pada kelinci dengan menginjeksi nervus skiatik
dengan pus dari manusia penderita tetanus. Pada tahun yang sama, Nicolaier berhasil
menimbulkan tetanus pada hewan dengan menginjeksikan tanah. Pada tahun 1889 Kitasato
berhasil mengisolasi C. tetani dari manusia pada kultur murni dan membuktikan bahwa
organisme tersebut menimbulkan penyakit apabila diinjeksikan pada hewan. Kitasato juga
melaporkan bahwa toksin C. tetani dapat dinetralisir oleh antibodi spesifik yang dibentuk oleh
tubuh. Nocard kemudian membuktikan efek protektif antibodi yang ditransfer secara pasif pada
tahun 1897. Imunisasi pasif ini digunakan untuk pengobatan dan profilaksis tetanus selama
Perang Dunia I. Descombey kemudian mengembangkan imunisasi aktif tetanus toksoid pada
24
tahun 1924 dan digunakan secara luas selama Perang Dunia II 2,3,8.
4.2 Epidemiologi
Bakteri C. tetani dapat ditemukan di semua tempat di dunia tetapi tetanus terutama
ditemukan pada negara-negara kurang dan sedang berkembang yang padat penduduk dengan
iklim hangat dan lembap dan tanah yang kaya dengan material organik. Tanah dan usus manusia
serta hewan merupakan reservoir spora C. tetani. Transmisi spora C. tetani terjadi melalui luka
yang kotor (terkontaminasi) atau cidera jaringan lain. Insiden puncak tetanus terutama terjadi
pada musim panas atau hujan. Tetanus tidak menular dari manusia ke manusia 2,9.
Faktor risiko utama terhadap tetanus yaitu status imunisasi tetanus yang tidak lengkap,
adanya cidera jaringan, serta praktik obstetrik dan injeksi obat yang tidak aseptik. Faktor risiko
lainnya meliputi tindakan bedah abdomen, akupunktur, tindik telinga, tusuk gigi, dan infeksi
telinga tengah 10.
Terdapat satu juta kasus tetanus di dunia per tahunnya yang terutama ditemukan di negara
kurang berkembang. Tetanus neonatorum berkontribusi terhadap 40-50% mortalitas akibat
tetanus di negara berkembang dan terutama disebabkan kondisi higiene persalinan yang buruk
dan praktik sosial atau tradisi seperti mengoleskan kotoran sapi atau ghee (semacam mentega)
pada tali pusat bayi di India 6.11.
Insiden tetanus di Amerika Serikat telah menurun dengan ditemukannya imunisasi aktif.
Laporan menyatakan bahwa pada tahun 1947 terjadi 560 kasus, tahun 1974 terjadi 101 kasus,
tahun 1980-an terjadi 60-80 kasus per tahunnya, dan tahun 1998-2000 terjadi rata-rata 43 kasus
per tahunnya. Hampir semua kasus terjadi pada orang yang tidak pernah diimunisasi atau status
imunisasinya tidak lengkap. Insiden tetanus pada orang dengan imunisasi lengkap sangat jarang
yaitu 4:100.000.000. Secara umum mortalitas akibat tetanus adalah 30%. Sekitar 75% kasus
terjadi antara bulan April - September. Insiden dan mortalitas lebih tinggi pada kelompok usia
neonatus dan > 50 tahun dibandingkan kelompok umur lain. Sekuele neurologis residual jarang
ditemukan. Kematian biasanya diakibatkan oleh disfungsi autonomik, misalnya peningkatan
tekanan darah ekstrim, disritmia, atau henti jantung5,6.
4.3 Etiologi
Tetanus disebabkan oleh toksin bakteri Clostridium tetani yangmemiliki dua bentuk, yaitu
bentuk vegetatif dan spora. Bentuk vegetatif C. tetani adalah basil, Gram positif, tidak berkapsul,
motil, dan bersifat obligat anaerob. Bentuk vegetatif rentan terhadap efek bakterisidal dari proses
25
pemanasan, desinfektan kimiawi, dan antibiotik. Bentuk ini merupakan bentuk yang dapat
menimbulkan tetanus2.
Pada basil yang mengandung spora terdapat bentukan endospora pada salah satu ujungnya
sehingga memberikan penampilan seperti stik drum. Spora C. tetani relatif resisten terhadap
desinfeksi kimiawi dan pemanasan. Spora tahan terhadap paparan fenol, merbromin, dan bahan
kimia lain yang efektif untuk desinfeksi. Pemanasan di dalam air mendidih selama 15 menit
dapat membunuh hampir semua spora. Sterilisasi menggunakan uap tersaturasi dengan tekanan
15 lbs selama 15-20 menit pada suhu 121°C juga dapat membunuh semua bentuk kehidupan.
Sterilisasi menggunakan panas kering lebih lambat dibandingkan uap panas (1-3 jam pada suhu
160°C) tetapi efektif terhadap spora. Sterilisasi menggunakan etilen oksida juga dapat
membunuh spora5.
Spora banyak terdapat di dalam tanah, saluran cerna, dan feses hewan. Tanah yang
mengandung kotoran hewan mengandung spora dalam jumlah banyak. Spora dapat bertahan
beberapa bulan bahkan tahun. Pada lingkungan pertanian, manusia dewasa dapat menjadi
reservoir spora. Spora dapat ditemukan pada permukaan kulit dan heroin yang terkontaminasi 2.
Spora bersifat non-patogenik di dalam tanah atau jaringan terkontaminasi sampai tercapai
kondisi yang memadai untuk transformasi ke bentuk vegetatif. Transformasi terjadi akibat
penurunan lokal kadar oksigen akibat: (a) terdapat jaringan mati dan benda asing, (b) crushed
injury, dan (c) infeksi supuratif (2).
Gambar 2. Pewarnaan Gram C. tetani. Bakteri tersebut bersifat Gram positif tetapi memiliki
kecenderungan variabilitas dalam pewarnaan Gram. Bentuk vegetatifnya berupa basil.
26
Endospora dibentuk secara intraseluler pada ujung sporangium dan memberikan bentuk yang
khas yaitu menyerupai stik drum.(12)
Germinasi spora dan produksi toksin terjadi pada kondisi anaerobik. Bentuk vegetatif C.
tetani menghasilkan dua macam toksin, yaitu tetanolisin dan tetanospasmin. Tetanolisin
merupakan enzim hemolisin yang menyebabkan potensiasi infeksi tetapi perannya dalam
patogenesis tetanus belum jelas. Tetanospasmin berperan penting dalam patogenesis tetanus.
Tetanospasmin atau toksin tetanus merupakan neurotoksin poten yang dilepaskan seiring
pertumbuhan C. tetani pada tempat infeksi. Tetanospasmin merupakan salah satu toksin yang
paling poten berdasarkan berat. Dosis letal minimum untuk manusia diperkirakan 2,5 ng/kg berat
badan 2 .
4.4 Patogenesis
Spora C. tetani masuk ke dalam tubuh melalui luka. Masa inkubasi antara inokulasi spora
dengan manifestasi klinis awal bervariasi antara beberapa hari sampai 3 minggu. Spora hanya
dapat mengalami germinasi pada kondisi anaerob yang paling sering terjadi pada luka dengan
nekrosis jaringan dan benda asing. Adanya organisme lain juga mempercepat transformasi spora
ke bentuk vegetatif. Masa inkubasi panjang biasanya terjadi pada lokasi infeksi yang jauh dari
sistem saraf pusat. Masa inkubasi merupakan salah satu faktor penentu prognosis 5.
C. tetani merupakan mikroorganisme yang relatif non-invasif yang kehadirannya di
jaringan sulit dibuktikan. Pada kondisi yang jarang, C. tetani dapat dikultur dari darah. Bakteri
ini menimbulkan reaksi lokal yang minimal pada luka yang biasanya tanpa supurasi. Spora yang
mengalami transformasi ke bentuk vegetatif melepaskan toksin solubel tetanospasmin yang
bertanggung jawab terhadap manifestasi klinis tetanus. Tetanospasmin dapat mencapai lima
persen dari berat bakteri. Tetanospasmin awalnya terdiri dari rantai polipeptida tunggal dengan
berat molekul 150-kDa yang tidak aktif. Toksin tersebut kemudian terbagi menjadi dua subunit
oleh enzim protease jaringan yaitu rantai berat dengan berat molekul 100-kDa dan rantai ringan
dengan berat molekul 50-kDa yang dihubungkan oleh ikatan disulfida. Ujung karboksil dari
rantai berat berikatan dengan membran neural dan ujung amino menciptakan pori untuk
masuknya rantai ringan ke dalam sitosol. Faktor genetik yang mengontrol produksi
tetanospasmin terdapat pada plasmid bakteri5,6,13.
Setelah rantai ringan memasuki motorneuron, senyawa tersebut ditranspor melalui akson
27
secara intraaksonal dan retrograd dari tempat infeksi ke korda spinalis dalam 2-14 hari. Transpor
awalnya terjadi pada neuron motorik kemudian pada neuron sensorik dan autonom. Ketika
mencapai badan sel toksin dapat berdifusi keluar dan mempengaruhi neuron-neuron lain. Apabila
terdapat toksin dalam jumlah besar sebagian toksin akan masuk ke dalam sirkulasi dan berikatan
dengan ujung-ujung saraf di seluruh tubuh. Ketika mencapai korda spinalis, rantai ringan
memasuki neuron inhibitori sentral kemudian memecah sinaptobrevin, senyawa yang penting
dalam pengikatan vesikel neurotransmiter ke membran sel. Tetanospasmin memiliki efek
predominan terhadap neuron inhibitori dan yang pertama terkena adalah neuron yang
menginhibisi alfa motor neuron. Setelahnya neuron simpatetik preganglionik di kornu lateralis
dan pusat parasimpatetik juga terkena. Akibatnya vesikel yang mengandung gamma amino-
butyric acid (GABA) dan glisin tidak dilepaskan dan terjadi hilangnya aksi inhibitori pada
neuron motorik dan autonomik. Hilangnya inhibisi sentral menimbulkan kontraksi otot yang
terus menerus (spasme) yang terjadi sebagai respon terhadap stimuli normal seperti suara atau
cahaya dan hiperaktivitas autonomik. Transpor intraneural retrograd yang lebih lanjut terjadi dan
(6, 13)
toksin mencapai batang otak dan diensefalon . Efek fisiologis tetanospasmin serupa dengan
striknin2,5.
Motor neuron juga dipengaruhi oleh tetanospasmin dan pelepasan asetilkolin ke celah
neuromuskular menurun. Efek ini serupa dengan efek toksin botulinum yang menimbulkan
gejala paralisis flasid. Meskipun demikian, pada tetanus efek disinhibitori motoneuron
melampaui penurunan fungsi pada sambungan neuromuskular sehingga yang tampak adalah
akibat dari gangguan inhibisi. Efek pre-junctional pada sambungan neuromuskular dapat
menyebabkan terjadinya kelemahan diantara spasme dan dapat merupakan penyebab paralisis
nervus kranialis yang ditemukan pada tetanus sefalik dan miopati yang ditemukan setelah
penyembuhan13.
Pelepasan impuls eferen yang tidak terkontrol dan tanpa inhibisi dari motoneuron pada
medula spinalis dan batang otak menyebabkan rigiditas muskuler dan spasme yang dapat
menyerupai konvulsi. Refleks inhibisi dari kelompok otot antagonis hilang sehingga otot-otot
agonis dan antagonis berkontraksi secara bersamaan. Spasme otot sangat nyeri dan dapat
menyebabkan fraktur serta ruptur tendon. Otot-otot rahang, wajah, dan kepala merupakan yang
pertama kali terpengaruh karena jalur aksonal yang lebih pendek kemudian diikuti otot-otot
tubuh dan ekstremitas tetapi otot perifer pada tangan dan kaki sering tidak terpengaruh.
28
Pelepasan impuls autonom tanpa inhibisi menyebabkan gangguan kontrol autonomik dengan
overaktivitas simpatetik dan kadar katekolamin plasma meningkat. Toksin yang telah terikat
pada neuron tidak dapat dinetralisir oleh antitoksin. Pengikatan toksin terhadap neuron bersifat
ireversibel dan proses penyembuhan memerlukan pertumbuhan ujung saraf yang baru sehingga
perbaikan klinis baru terlihat 2-3 minggu setelah terapi dimulai3,11.
29
pasien tidak tampak adanya tempat masuk (portal of entry). Tetanus telah diidentifikasi setelah
berbagai cidera jaringan, termasuk injeksi intravena dan intramuskular, akupunktur, tindik
telinga, dan bahkan luka akibat tusuk gigi. Tetanus dapat juga terjadi pada infeksi kronis seperti
otitis media dan setelah ulkus dekubitus. Tetanus dapat dibedakan menjadi empat bentuk
berdasarkan manifestasi klinisnya 5,10
1. Tetanus Lokal
Tetanus lokal merupakan bentuk yang jarang ditemukan. Pasien dengan tetanus lokal
mengalami spasme dan peningkatan tonus otot terbatas pada otot-otot di sekitar tempat infeksi
tanpa tanda-tanda sistemik. Kontraksi dapat bertahan selama beberapa minggu sebelum
perlahan-lahan menghilang. Tetanus lokal dapat berlanjut menjadi tetanus general tetapi gejala
yang timbul biasanya ringan dan jarang menimbulkan kematian. Mortalitas akibat tetanus lokal
hanya 1%2,5.
2. Tetanus Sefalik
Tetanus sefalik juga merupakan bentuk yang jarang ditemukan (insiden sekitar 6%) dan
merupakan bentuk khusus tetanus lokal yang mempengaruhi otot-otot nervus kranialis terutama
di daerah wajah. Tetanus sefalik dapat timbul setelah otitis media kronik maupun cidera kepala
(kulit kepala, mata dan konjungtiva, wajah, telinga, atau leher). Manifestasi klinis yang dapat
timbul dalam 1-2 hari setelah cidera antara lain fasial palsi akibat paralisis nervus VII (paling
sering), disfagia, dan paralisis otot-otot ekstraokuler serta ptosis akibat paralisis nervus III.
Tetanus sefalik dapat berlanjut menjadi tetanus general. Tingkat mortalitas yang dilaporkan
tinggi, yaitu 15-30% 2,11
30
Gambar 4. Paralisis nervus fasialis kiri dan tampak luka baru pada pasien dengan tetanus
sefalik.
3. Tetanus General
Sekitar 80% kasus tetanus merupakan tetanus general. Tanda khas dari tetanus general
adalah trismus (lockjaw) yaitu ketidakmampuan membuka mulut akibat spasme otot maseter.
Trismus dapat disertai gejala lain seperti kekakuan leher, kesulitan menelan, rigiditas otot
abdomen, dan peningkatan temperatur 2-4°C di atas suhu normal. Spasme otot-otot wajah
menyebabkan wajah penderita tampak menyeringai dan dikenal sebagai risus sardonicus
(sardonic smile). Spasme otot-otot somatik yang luas menyebabkan tubuh penderita membentuk
lengkungan seperti busur yang dikenal sebagai opistotonus dengan fleksi lengan dan ekstensi
tungkai serta rigiditas otot abdomen yang teraba seperti papan5.
Kejang otot yang akut, paroksismal, tidak terkoordinasi, dan menyeluruh merupakan
karakteristik dari tetanus general. Kejang tersebut terjadi secara intermiten, ireguler, tidak dapat
diprediksi, dan berlangsung selama beberapa detik sampai beberapa menit. Pada awalnya kejang
bersifat ringan dan terdapat periode relaksasi diantara kejang, lama kelamaan kejang
menimbulkan nyeri dan kelelahan (paroksismal). Kejang dapat terjadi secara spontan atau dipicu
berbagai stimulus eksternal dan internal. Distensi vesika urinaria dan rektum atau sumbatan
mukus dalam bronkus dapat memicu kejang paroksismal. Udara dingin, suara, cahaya,
pergerakan pasien, bahkan gerakan pasien untuk minum dapat memicu spasme paroksismal.
Sianosis dan bahkan kematian mendadak dapat terjadi akibat spasme tersebut. Terkadang pasien
dengan tetanus general menampakkan manifestasi autonomik yang mempersulit perawatan
pasien dan dapat mengancam nyawa. Overaktivitas sistem saraf simpatis lebih sering ditemukan
pada pasien usia tua atau pecandu narkotik dengan tetanus. Overaktivitas autonom dapat
31
menyebabkan fluktuasi ekstrim tekanan darah yang bervariasi dari hipertensi ke hipotensi serta
takikardia, berkeringat, hipertermia, dan aritmia jantung5.
Pada tetanus kesadaran penderita tidak terganggu dan penderita mengalami nyeri hebat
pada setiap episode spasme. Spasme berlanjut selama 2-3 minggu, yaitu waktu yang dibutuhkan
untuk menyelesaikan transpor toksin yang sudah berada intraaksonal, setelah antitoksin
diberikan. Apabila antitoksin tidak diberikan, pemulihan lengkap akan terjadi dalam beberapa
bulan sampai produksi dan pengikatan tetanospasmin selesai dan terjadi pembentukan
neuromuscular junction yang baru2.
(a) (b)
32
(c)
Gambar 5. (a) Risus sardonikus; (b) Opistotonus; (c) Anak penderita tetanus yang
menangis akibat kontraksi otot yang nyeri.
4. Tetanus Neonatorum
Tetanus neonatorum disebabkan infeksi C. tetani yang masuk melalui tali pusat sewaktu
proses pertolongan persalinan. Spora masuk disebabkan proses pertolongan persalinan yang
tidak steril, baik karena penggunaan alat maupun obat-obatan yang terkontaminasi spora C.
tetani. Kebiasaan menggunakan alat pertolongan persalinan dan obat tradisional yang tidak steril
merupakan faktor utama dalam terjadinya tetanus neonatorum14.
Gambaran klinis tetanus neonatorum serupa dengan tetanus general. Gejala awal ditandai
dengan ketidakmampuan untuk menghisap 3-10 hari setelah lahir. Gejala lain termasuk
iritabilitas dan menangis terus menerus (rewel), risus sardonikus, peningkatan rigiditas, dan
opistotonus3.
33
4.6 Diagnosis
Diagnosis tetanus lebih sering ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis dibandingkan
berdasarkan penemuan bakteriologis. Diagnosis relatif lebih mudah pada daerah dengan insiden
tetanus yang sering, tetapi lebih lambat di negara-negara berkembang dimana tetanus jarang
ditemukan. Selain trismus, pemeriksaan fisik menunjukkan hipertonisitas otot-otot, refleks
tendon dalam yang meningkat, kesadaran yang tidak terganggu, demam derajat rendah, dan
sistem saraf sensoris yang normal. Spasme paroksismal dapat ditemukan secara lokal maupun
general. Sebagian besar pasien memiliki riwayat luka dalam 2 minggu terakhir dan secara umum
tidak memiliki riwayat imunisasi tetanus toksoid yang jelas 5,8.
Pemeriksaan bakteriologis dapat mengkonfirmasi adanya C. tetani pada hanya sekitar
sepertiga pasien yang memiliki tanda klinis tetanus. Harus diingat bahwa isolasi C. tetani dari
luka terkontaminasi tidak berarti pasien akan atau telah menderita tetanus. Frekuensi isolasi C.
tetani dari luka pasien dengan tetanus klinis dapat ditingkatkan dengan memanaskan satu set
spesimen pada suhu 80°C selama 15 menit untuk menghilangkan bentuk vegetatif
mikroorganisme kompetitor tidak berspora sebelum media kultur diinokulasi5.
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan leukositosis sedang. Pemeriksaan cairan
serebrospinal normal tetapi tekanan dapat meningkat akibat kontraksi otot. Hasil elektromiografi
dan elektroensefalografi biasanya normal dan tidak membantu diagnosis. Pada kasus tertentu
apabila terdapat keterlibatan jantungelektrokardiografi dapat menunjukkan inversi gelombang T.
Sinus takikardia juga sering ditemukan. Diagnosis tetanus harus dibuat dengan hati-hati pada
pasien yang memiliki riwayat dua atau lebih injeksi tetanus toksoid yang terdokumentasi.
Spesimen serum harus diambil untuk memeriksa kadar antitoksin. Kadar antitoksin 0,01 IU/mL
dianggap protektif5,9.
Setelah diagnosis tetanus dibuat harus ditentukan derajat keparahan penyakit. Beberapa
sistem skoring tetanus dapat digunakan, diantaranya adalah skor Phillips, Dakar, Ablett, dan
Udwadia. Sistem skoring tetanus juga sekaligus bertindak sebagai penentu prognosis 11,15.
34
Masa inkubasi 6-10 hari 3
11-14 hari 2
> 14 hari 1
Tidak ada 10
Mungkin ada/ibu mendapatkan imunisasi (pada 8
Status neonatus) 4
imunisasi > 10 tahun yang lalu 2
< 10 tahun yang lalu 0
Imunisasi lengkap
10
Penyakit atau trauma yang mengancam nyawa 8
Keadaan yang tidak langsung mengancam nyawa 4
Faktor Keadaan yang tidak mengancam nyawa 2
pemberat Trauma atau penyakit ringan 1
ASA derajat I
Sistem skoring menurut Phillips dikembangkan pada tahun 1967 dan didasarkan pada
empat parameter, yaitu masa inkubasi, lokasi infeksi, status imunisasi, dan faktor pemberat. Skor
dari keempat parameter tersebut dijumlahkan dan interpretasinya sebagai berikut: (a) skor < 9
tetanus ringan, (b) skor 9-18 tetanus sedang, dan (c) skor > 18 tetanus berat.
35
Grade II (sedang) Trismus sedang, rigiditas yang tampak, spasme ringan
hingga sedang dengan durasi pendek, takipnea ≥ 30
kali/menit, disfagia ringan.
Grade III A (berat) Trismus berat, spastisitas menyeluruh, spasme spontan
yang memanjang, distres pernapasan dengan takipnea ≥
40 kali/menit, apneic spell, disfagia berat, takikardia ≥
120 kali/menit.
Grade III B (sangat Keadaan seperti pada grade III ditambah disfungsi
berat) otonom berat yang melibatkan sistem kardiovaskuler.
Hipertensi berat dan takikardia bergantian dengan
hipotensi relatif dan bradikardia, salah satunya dapat
menjadi persisten.
Sistem skoring menurut Ablett juga dikembangkan pada tahun 1967 dan menurut beberapa
(9,13,16)
literatur merupakan sistem skoring yang paling sering digunakan . Udwadia (1992)
kemudian sedikit memodifikasi sistem skoring Ablett dan dikenal sebagai skor Udwadia17.
36
darah sistolik < 90 mmHg), atau hipertensi episodik yang
sering diikuti hipotensi.
Sistem skoring lainnya diajukan pada pertemuan membahas tetanus di Dakar, Senegal pada
tahun 1975 dan dikenal sebagai skor Dakar. Skor Dakar dapat diukur tiga hari setelah muncul
gejala klinis pertama9.
37
berkabut. Rabies harus dipertimbangkan dalam diagnosis banding meskipun pada rabies tidak
ada trismus. Spasme otot terjadi lebih awal dalam perjalanan penyakit rabies dan melibatkan
otot-otot pernapasan dan deglutition. Pada anak-anak < 2 tahun, tetani hipokalsemia harus
dipertimbangkan. Postur tangan dan kaki yang khas (spasme karpo-pedal), tidak adanya trismus,
dan kadar kalsium serum dapat mengkonfirmasi diagnosis tetani hipokalsemia. Reaksi terhadap
fenotiazin dapat menyebabkan trismus, tetapi disertai dengan gejala lain yang tidak ditemukan
pada tetanus seperti tremor, gerakan athetoid, dan tortikolis. Pada keracunan striknin harus digali
kemungkinan percobaaan bunuh diri atau percobaan pembunuhan. Selain itu, pada keracunan
striknin trismus muncul lebih lambat serta tanda dan gejala muncul lebih cepat dibandingkan
tetanus5.
Berbagai kelainan yang merupakan diagnosis banding tetanus dirangkum dalam tabel 5.
38
Tabel 5. Diagnosis banding tetanus.
Penyakit Gambaran diferensial
INFEKSI
Meningoensefalitis Demam, trismus ridak ada, penurunan
kesadaran, cairan serebrospinal abnormal.
Polio Trismus tidak ada, paralisis tipe flasid, cairan
serebrospinal abnormal.
Rabies Gigitan binatang, trismus tidak ada, hanya
spasme orofaring.
Lesi orofaring Bersifat lokal, rigiditas atau spasme seluruh
tubuh tidak ada.
Peritonitis Trismus dan spasme seluruh tubuh tidak ada.
KELAINAN METABOLIK
Tetani Hanya spasme karpo-pedal dan laringeal,
Keracunan striknin hipokalsemia.
Reaksi fenotiazin Relaksasi komplit diantara spasme.
PENYAKIT SISTEM SARAF Distonia, menunjukkan respon dengan
PUSAT difenhidramin.
Status epileptikus
Perdarahan atau tumor Penurunan kesadaran.
(SOL) Trismus tidak ada, penurunan kesadaran.
KELAINAN PSIKIATRIK
Histeria Trismus inkonstan, relaksasi komplit antara
KELAINAN spasme.
MUSKULOSKELETAL
Trauma Hanya lokal.
4.8 Penatalaksanaan
Prioritas awal dalam manajemen penderita tetanus adalah kontrol jalan napas dan
mempertahankan ventilasi yang adekuat. Pada tetanus sedang sampai berat risiko spasme laring
dan gangguan ventilasi tinggi sehingga harus dipikirkan untuk melakukan intubasi profilaksis.
39
Rapid sequence intubation dengan midazolam dan suksinilkolin dianggap aman dan efektif
untuk mendapatkan patensi jalan napas. Intubasi nasotrakeal dihindari karena stimulasi sensoris
yang berlebihan. Beberapa rumah sakit yang sering merawat pasien dengan tetanus memiliki
ruangan yang khusus dibangun. Pasien ditempatkan di ruang perawatan khusus yang sunyi dan
gelap untuk meminimalisir stimulus ekstrinsik yang dapat memicu spasme paroksismal. Pasien
harus diistirahatkan dengan tenang untuk membatasi stimulus periferal dan diposisikan secara
hati-hati untuk mencegah pneumonia aspirasi. Pemberian cairan intravena dilakukan dan hasil
pemeriksaan elektrolit dan analisa gas darah penting untuk menentukan terapi 11,18.
Penatalaksanaan berikutnya memiliki tiga tujuan utama, yaitu: (1) menetralisir toksin
dalam sirkulasi; (2) menghilangkan sumber tetanospasmin; dan (3) memberikan terapi suportif
sampai tetanospasmin yang terfiksir pada neuron dimetabolisme5.
Netralisasi toksin dalam sirkulasi dilakukan dengan memberikan human tetanus
immunoglobulin (HTIG). Belum ada konsensus mengenai dosis tepat HTIG untuk tetanus.
Bhatia(11) menyarankan pemberian dosis tunggal 3000-6000 IU secara intramuskular, sedangkan
dosis yang disarankan dalam formularium nasional Inggris adalah 5000-10.000 IU(19). Waktu
paruh HTIG sekitar 23 hari sehingga tidak diperlukan dosis ulangan. HTIG tidak boleh diberikan
diberikan lewat jalur intravena karena mengandung anti complementary aggregates of globulin
yang dapat mencetuskan reaksi alergi. Apabila HTIG tidak tersedia dapat digunakan antitetanus
serum (ATS) yang berasal dari serum kuda dengan dosis 40.000 IU. Cara pemberiannya yaitu
20.000 IU antitoksin dimasukkan ke dalam 200 ml cairan NaCl fisiologis dan diberikan secara
intravena, pemberian harus selesai dalam 30-45 menit. Setengah dosis yang tersisa (20.000 IU)
diberikan secara intramuskular pada daerah sekitar luka. ATS berasal dari serum kuda sehingga
berpotensi besar menimbulkan reaksi hipersensitivitas sehingga pemberiannya harus didahului
oleh skin test yaitu 0,1 mL ATS diencerkan menggunakan cairan garam fisiologisdengan
perbandingan 1:10 kemudian diinjeksikan intradermal. HTIG dan ATS hanya berguna terhadap
tetanospasmin yang belum memasuki sistem saraf14,16.
Eradikasi sumber toksin dilakukan dengan pemberian antibiotik dan debridemen luka.
Penggunaan antibiotik Penisilin G (100.000-200.000 IU/kgBB per hari dibagi 2-4 dosis)
dahulunya merupakan terapi pilihan. Penisilin G merupakan antagonis reseptor GABA sehingga
dapat bekerja secara sinergis dengan tetanospasmin. Saat ini Metronidazole merupakan antibiotik
pilihan pertama untuk tetanus karena relatif murah dan penetrasi lebih baik ke jaringan
40
anaerobik. Dosis Metronidazole adalah 500 mg setiap 6 jam diberikan melalui jalur intravena
atau per oral selama 10-14 hari. Antibiotik yang dapat digunakan sebagai alternatif terhadap
Metronidazole adalah Doksisiklin 100 mg setiap 12 jam selama 7-10 hari. Makrolida,
Klindamisin, Sefalosporin, dan Kloramfenikol juga efektif Pada perawatan luka dilakukan
debridemen luka dengan membuang benda asing, eksisi jaringan nekrotik, serta irigasi luka.
Larutan hidrogen peroksida (H2O2) dapat digunakan dalam perawatan luka. Perawatan luka
dilakukan 1-2 jam setelah pemberian HTIG atau ATS dan antibiotik14,16.
Perawatan suportif meliputi sedasi, blokade neuromuskuler, dan manajemen instabilitas
autonomik. Sedasi secara efektif mengatasi spasme otot dan rigiditas. Benzodiazepin seperti
midazolam dan diazepam merupakan obat lini pertama untuk mencapai sedasi. Dosis
benzodiazepin yang digunakan dapat mencapai 100 mg/jam intravena. Antikonvulsan seperti
fenobarbital dan secobarbital yang meningkatkan aktivitas GABA juga dapat memberikan efek
sedasi dan digunakan dengan dosis awal 1.5-2.5 mg/kgBB untuk anak atau 100-150 mg untuk
dewasa diberikan intramuskular. Dosis pemeliharaan harus dititrasi. Apabila spasme menjadi
lebih berat atau lebih sering dapat digunakan fenobarbital 120-200 mg intravena dan
ditambahkan diazepam dalam dosis terbagi sampai 120 mg/hari diberikan intravena.
Klorpromazin dosis 4-12 mg untuk bayi atau 50-150 mg untuk dewasa diberikan setiap 4-8 jam
dapat digunakan untuk mengendalikan kejang tetani5,16.
Morfin memiliki efek sentral yang dapat meminimalisir efek tetanospasmin. Meskipun
morfin merupakan pilihan yang potensial sebagai sedatif kerja pendek dan analgesik
penggunaannya terbatas karena harga yang mahal dan berkaitan dengan beberapa efek samping.
Propofol juga telah digunakan dalam manajemen tetanus tetapi memiliki keterbatasan karena
untuk mencapai konsentrasi plasma yang adekuat membutuhkan ventilasi mekanis 19.
Obat lain yang dapat digunakan untuk mengontrol spasme adalah magnesium sulfat dan
baklofen. Magnesium bekerja sebagai antagonis kalsium dan dalam penggunaannya harus
dimonitor refleks patella, respiratory rate, serta tanda-tanda hipokalsemia seperti tanda Chvostek
dan Trousseau yang positif. Pemberiannya didahului dengan loading dose 5 mg diberikan selama
20 menit diikuti maintenance dose 2 gram/jam. Magnesium sulfat tidak boleh digunakan pada
pasien dengan gagal ginjal berat. Baklofen merupakan agonis GABA fisiologis yang
menstimulasi reseptor GABA post-sinaptik sehingga mengembalikan inhibisi fisiologis
motorneuron. Pemberiannya secara intratekal dengan dosis bervariasi antara 1000 mcg untuk
41
orang dewasa < 55 tahun, 500 mcg < 16 tahun, dan 800 mcg > 55 tahun; diberikan awalnya
dengan bolus intermiten pada interval 10-20 jam tergantung respon pasien atau diberikan dengan
infus kontinyu apabila dibutuhkan. Dantrolene merupakan relaksan otot kerja langsung yang
bekerja dengan menginhibisi pelepasan kalsium dari retikulum sarkoplasma dan seara langsung
mempengaruhi coupling eksitasi-kontraksi. Dantrolene telah digunakan dalam beberapa kasus
dan memiliki keuntungan karena tidak membutuhkan pernapasan buatan, tetapi Dantrolene
belum dapat direkomendasikan untuk penggunaan rutin karena belum banyak penelitian
melibatkan obat ini, harga yang mahal, dan potensi efek hepatotoksik. Spasme otot yang tidak
dapat dikontrol dengan benzodiazepin harus ditangani dengan pemberian agen blokade
neuromuskuler, diantaranya atrakurium dan vekuronium. Vekuronium memiliki sifat kardiostabil
11,19
.
Penyebab utama mortalitas pada tetanus adalah kolaps sirkulasi yang disebabkan oleh
instabilitas autonomik. Henti jantung tiba-tiba sering terjadi dan diperkirakan dipicu oleh kadar
katekolamin yang tinggi dan efek langsung toksin terhadap miokardium. Aktivitas simpatetik yang
memanjang dapat berakhir dengan hipotensi dan bradikardia. Overaktivitas parasimpatetik dapat
menyebabkan henti sinus, yang telah dikaitkan dengan efek langsung perusakan nukleus vagal
oleh toksin. Atropin dosis tinggi (hingga 100 mg/jam) dianjurkan apabila bradikardia merupakan
manifestasi utama 19.
Sedasi merupakan tindakan awal untuk mengendalikan instabilitas autonomik terutama
menggunakan morfin yang efektif menurunkan output katekolamin. Blokade beta, meskipun
secara teoritis berguna mengontrol episode hipertensi dan takikardia, berhubungan dengan kolaps
kardiovaskular tiba-tiba, edema pulmoner, dan kematian. Obat lain yang telah digunakan termasuk
klonidin dan magnesium. Klonidin merupakan agonis α2-adrenergik yang menurunkan aliran
simpatis, tekanan arteri, denyut jantung, dan pelepasan katekolamin. Klonidin dapat diberikan
secara oral dan parenteral. Magnesium telah meningkat penggunaannya sebagai terapi multimodal
tetanus. Magnesium bekerja melalui beberapa cara diantaranya memblok pelepasan katekolamin
dari saraf dan medula adrenal dan mengurangi respon reseptor terhadap katekolamin. Magnesium
juga merupakan bloker neuromuskular presinaptik sehingga berguna untuk mengontrol rigiditas
dan spasme. Dosis yang direkomendasikan adalah 20 mmol/jam dan disesuaikan untuk mencapai
konsentrasi plasma 2,5-4,0 mmol/liter. Konsentrasi kalsium plasma harus dimonitor selama
pemberian magnesium karena dapat menghambat pelepasan hormon paratiroid 19.
42
Hal lain yang tidak boleh dilupakan adalah pengaturan diet yang adekuat. Kebutuhan
energi pada tetanus meningkat karena spasme berulang dan overaktivitas sistemik. Pemberian
nutrisi harus dimulai sejak dini, idealnya melalui jalur enteral untuk mempertahankan integritas
gastrointestinal. Pada penderita tetanus diberikan diet cukup kalori dan protein melalui jalur
enteral maupun parenteral. Bentuk makanan tergantung kemampuan membuka mulut dan
menelan. Selama pasase usus baik diberikan nutrisi enteral. Apabila ada trismus makanan dapat
diberikan lewat pipa lambung maupun gastrostomi 10,15,19.
Penderita yang sembuh dari tetanus tidak memiliki imunitas terhadap infeksi tetanus
ulangan karena jumlah tetanospasmin yang dibutuhkan untuk menyebabkan tetanus tidak cukup
untuk menstimulasi sistem imunitas tubuh. Pasien yang sembuh dari tetanus harus memulai atau
melengkapi imunisasi aktif dengan tetanus toksoid selama proses penyembuhan 2.
4.9 Komplikasi
Komplikasi tetanus dapat berupa komplikasi primer atau efek langsung dari toksin seperti
aspirasi, spasme laring, hipertensi, dan henti jantung, atau komplikasi sekunder akibat
imobilisasi yang lama maupun tindakan suportif seperti ulkus dekubitus, pneumonia akibat
ventilasi jangka panjang, stress ulcer, dan fraktur serta ruptur tendon akibat spasme otot 2,11.
43
disfungsi multiorgan.
4.10 Prognosis
Faktor yang mempengaruhi mortalitas pasien tetanus adalah masa inkubasi, periode awal
pengobatan, status imunisasi, lokasi fokus infeksi, penyakit lain yang menyertai, serta penyulit
yang timbul. Berbagai sistem skoring yang digunakan untuk menilai berat penyakit juga
bertindak sebagai penentu prognostik. Sistem skoring yang dapat digunakan antara lain skor
Phillips, Dakar, Udwadia, dan Ablett. Tingkat mortalitas mencapai lebih dari 50% di negara-
negara berkembang dengan gagal napas menjadi penyebab utama mortalitas dan morbiditas.
Mortalitas lebih tinggi pada kelompok usia neonatus dan > 60 tahun11.
4.11 Pencegahan
Tindakan pencegahan merupakan usaha yang sangat penting dalam menurunkan
morbiditas dan mortalitas akibat tetanus. Ada dua cara mencegah tetanus, yaitu perawatan luka
yang adekuat dan imunisasi aktif dan pasif 15.
Imunisasi aktif dilakukan dengan memberikan tetanus toksoid yang bertujuan merangsang
tubuh untuk membentuk antitoksin. Imunisasi aktif dapat dimulai sejak anak berusia 2 bulan
dengan pemberian imunisasi DPT atau DT. Untuk orang dewasa digunakan tetanus toksoid (TT).
Jadwal imunisasi dasar untuk profilaksis tetanus bervariasi menurut usia pasien.
44
Usia ≥ 7 tahun yang Imunisasi dasar terdiri dari 3 injeksi TT yang diberikan pada
belum pernah kunjungan pertama, 4-8 minggu setelah injeksi pertama, dan
diimunisasi. 6-12 bulan setelah injeksi kedua.
Injeksi TT diulang setiap 10 tahun sekali.
Ibu hamil yang Wanita hamil yang belum pernah diimunisasi harus menerima
belum pernah 2 dosis injeksi TT dengan jarak 2 bulan (lebih baik pada 2
diimunisasi. trimester terakhir).
Setelah bersalin, diberikan dosis ke-3 yaitu 6 bulan setelah
injeksi ke-2 untuk melengkapi imunisasi.
Injeksi TT diulang setiap 10 tahun sekali.
Apabila ditemukan neonatus lahir dari ibu yang tidak pernah
diimunisasi tanpa perawatan obstetrik yang adekuat,
neonatus tersebut diberikan 250 IU human tetanus
immunoglobulin. Imunitas aktif dan pasif untuk ibu juga harus
diberikan.
Imunisasi aktif dan pasif juga diberikan sebagai profilaksis tetanus pada keadaan trauma.
Rekomendasi untuk profilaksis tetanus adalah berdasarkan kondisi luka khususnya kerentanan
terhadap tetanus dan riwayat imunisasi pasien. Tanpa memperhatikan status imunitas aktif
pasien, pada semua luka harus dilakukan tindakan bedah segera dengan menggunakan teknik
aseptik yang hati-hati untuk membuang semua jaringan mati dan benda asing. Pada luka yang
rentan terhadap tetanus harus dipertimbangkan untuk membiarkan luka terbuka. Tindakan yang
demikian penting sebagai profilaksis terhadap tetanus 20.
Tabel 8. Klasifikasi luka menurut American College of Surgeon Committee on Trauma (1995)
45
Tampilan klinis Luka rentan tetanus Luka tidak rentan
tetanus
Usia luka > 6 jam < 6 jam
Konfigurasi Bentuk stellate, avulsi Bentuk linier, abrasi
Kedalaman > 1 cm ≤ 1 cm
Mekanisme cidera Misil, crush injury, Benda tajam (pisau,
luka bakar, frostbite kaca)
Tanda-tanda infeksi Ada Tidak ada
Jaringan mati Ada Tidak ada
Kontaminan (tanah, Ada Tidak ada
feses, rumput, saliva,
dan lain-lain)
Jaringan Ada Tidak ada
denervasi/iskemik
Satu-satunya kontraindikasi terhadap tetanus toksoid untuk pasien trauma adalah reaksi
neurologis atau hipersensitivitas terhadap dosis sebelumnya. Efek samping lokal tidak menjadi
alasan untuk tidak memberikan tetanus toksoid. Berikut adalah panduan pemberian profilaksis
tetanus pada pasien trauma. Individual dengan faktor risiko status imunisasi tetanus yang
inadekuat (imigran, kemiskinan, orang tua tanpa riwayat injeksi booster yang jelas) harus
diterapi sebagai yang riwayatnya tidak diketahui 20.
Tabel 9. Panduan pemberian profilaksis tetanus pada pasien trauma (20)
Riwayat imunisasi Luka rentan tetanus Luka tidak rentan tetanus
tetanus sebelumnya
TT HTIG TT HTIG
(dosis)
Tidak diketahui atau < Ya Ya Ya Tidak
3
≥ 3 dosis Tidak Tidak Tidak Tidak
(kecuali ≥ 5 (kecuali ≥ 10
tahun sejak tahun sejak
46
dosis terakhir) dosis
terakhir)
Untuk anak ≤ 7 tahun dapat digunakan DPT sebagai pengganti TT. Dosis profilaksis HTIG
yang direkomendasikan adalah 250 IU diberikan intramuskular. Apabila diberikan imunisasi
tetanus (TT atau DPT) dan HTIG secara bersamaan, gunakan alat injeksi yang berbeda dan
tempat injeksi yang terpisah. Apabila tidak tersedia HTIGdapat digunakan anti tetanus serum
(ATS) yang berasal dari serum kuda dengan dosis 3000-6000 IU. ATS lebih sering menimbulkan
reaksi hipersensitivitas dibandingkan TIG karena mengandung protein asing bahkan pada pasien
dengan tes kulit atau konjungtiva negatif sebelum pemberian (insiden 5-30%). ATS hanya
diberikan apabila tidak tersedia TIG dan kemungkinan tetanus melebihi reaksi yang potensial
terhadap produk ini 5.20,21.
Seseorang yang pernah menderita tetanus tidak imun terhadap serangan ulangan, artinya
penderita tersebut memiliki kemungkinan yang sama untuk menderita tetanus seperti orang lain
yang tidak pernah diimunisasi. Tidak terbentuknya kekebalan pada penderita setelah sembuh
dikarenakan toksin yang masuk ke dalam tubuh tidak mampu merangsang pembentukan
antitoksin. Tetanospasmin merupakan toksin yang sangat poten sehingga dalam konsentrasi yang
sangat kecil dapat menimbulkan tetanus. Jumlah toksin yang masuk ke dalam tubuh dan
menimbulkan tetanus tidak cukup untuk merangsang imunitas aktif penderita 14.
Pada kondisi tertentu dapat dijumpai antitoksin pada serum seseorang yang tidak memiliki
riwayat imunisasi atau peninggian titer antitoksin yang karakteristik sebagai respon imun
sekunder pada beberapa orang yang diberikan imunisasi tetanus toksoid untuk pertama kali. Hal
ini disebut sebagai imunitas alami. Imunitas alami dapat terjadi karena C. tetani telah diisolasi
dari feses manusia. Bakteri yang berada di dalam lumen usus merangsang terbentuknya imunitas
pada host. Imunitas alami dapat menjelaskan mengapa insiden tetanus tidak tinggi pada beberapa
negara dimana pemberian imunisasi tetanus tidak terlaksana dengan baik 14.
47
DAFTAR PUSTAKA
1. Blackmore C, Janowski HT. 2008. Available from:
http://www.doh.state.fl.us/disease_ctrl/epi/htopics/reports/tetanus.pdf, Accessed May 11th
2018.
2. Ang J. 2009. Tetanus. Available from:
th
www.chmkids.org/upload/docs/imed/TETANUS.pdf, Accessed May 11 2018.
3. Dire DJ. Tetanus in Emergency Medicine, 2010. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/786414-overview,Accessed May 11th 2018..
4. Ismanoe G. Tetanus. Dalam: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, K MS, Setiati S, ed.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan IPD FKUI; 2008.
5. Edlich RF, Hill LG, Mahler CA, Cox MJ, Becker DG, Jed H. Horowitz M, et al.
Management and Prevention of Tetanus. Journal of Long-Term Effects of Medical
Implants. 2008;13(3):139-54.
6. Hinfey PB. Tetanus. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/229594-
overview, Accessed May 10th 2018.
7. Anonym. Public Health Notifiable Disease Management Guidelines - Tetanus. Available
from: www.health.alberta.ca/documents/Guidelines-Tetanus-2011.pdf, Accessed May 9th
2018.
8. Farrar JJ, Yen LM, Cook T, Fairweather N, Binh N, Parry J, et al. Neurological Aspects
of Tropical Disease: Tetanus. J Neurol Neurosurg Psychiatry. 2008;69:292–301.
9. Ogunrin O. Tetanus - A Review of Current Concepts in Management. Journal of
Postgraduate Medicine. 2009;11(1):46-61.
48
10. Cottle LE, Beeching NJ, Carrol ED, Parry CM. 2011. Tetanus. Available from:
https://online.epocrates.com/u/2944220/Tetanus+infection ,Accessed May 9th 2018.
11. Bhatia R, Prabhakar S, Grover VK. Tetanus. Neurology India. 2002;50:398-407.
12. Todar K. 2007. The Microbiological World: Tetanus. Available from:
http://textbookofbacteriology.net/themicrobialworld/Tetanus.html, Accessed April 28th
2018.
13. Cook T, Protheroe R, Handel J. Tetanus: a review of the literature. British Journal of
Anaesthesia. 2001;87(3):477-87.
14. Ritarwan K. 2004. Tetanus.Available at:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3456/1/penysaraf-kiking2.pdf, Accessed
April 26th 2018.
15. Sjamsuhidajat R, Jong Wd. Tetanus. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC; 2008.
16. Afshar M, Raju M, Ansell D, Bleck TP. Narrative Review: Tetanus—A Health Threat
After Natural Disasters in Developing Countries. Ann Intern Med. 2011;154:329-35.
17. Udwadia F, Sunavala J, Jain M, D'Costa R, Jain P, Lall A, et al. Haemodynamic Studies
During the Management of Severe Tetanus. Quarterly Journal of Medicine, New Series.
1992;83(302):449-60.
18. Dittrich KC, Keilany B. Tetanus: lest we forget. Canadian Journal of Emergency
Medicine. 2007;3(1):47-50.
19. Taylor AM. Tetanus. Continuing Education in Anaesthesia, Critical Care & Pain.
2008;6(3):101-4.
20. Ross SE. Prophylaxis Against Tetanus in Wound Management. Available at:
https://www.facs.org/~/media/files/quality%20programs/trauma/publications/tetanus.ash
x , Accessed May 11th 2018.
21. Anonym. 2007. Tetanus Prophylaxis in Wound Management. Available at:
http://www.cdph.ca.gov/programs/immunize/Documents/IMM-154_WEB.pdf, Accessed
May 10th 2018.
49