Professional Documents
Culture Documents
MODUL 2
DISUSUN OLEH
KELOMPOK 9
FAKULTAS KEDOKTERAN
KENDARI
2018
Anggota :
Skenario
Kata sulit
Kata kunci
Pertanyaan
Jawaban :
Secara embriologis kulit berasal dari dua lapis yang berbeda, lapisan luar
adalah epidermis yang merupakan lapisan epitel berasal dari ectoderm
sedangkan lapisan dalam yang berasal dari mesoderm adalah dermis atau
korium yang merupakan suatu lapisan jaringan ikat.
HISTOLOGI
EPIDERMIS
Epidermis adalah lapisan luar kulit yang tipis dan avaskuler. Terdiri dari
epitel berlapis gepeng bertanduk, mengandung sel melanosit, Langerhans dan
merkel. Tebal epidermis berbeda-beda pada berbagai tempat di tubuh, paling
tebal pada telapak tangan dan kaki. Ketebalan epidermis hanya sekitar 5 % dari
seluruh ketebalan kulit. Terjadi regenerasi setiap 4-6 minggu. Epidermis terdiri
atas lima lapisan (dari lapisan yang paling atas sampai yang terdalam), yaitu :
Stratum Korneum
Terdiri dari sel keratinosit yang bisa mengelupas dan berganti.
Stratum Lusidum
Berupa garis translusen, biasanya terdapat pada kulit tebal telapak kaki dan
telapak tangan. Tidak tampak pada kulit tipis.
Stratum Granulosum
Ditandai oleh 3-5 lapis sel polygonal gepeng yang intinya ditengah dan
sitoplasma terisi oleh granula basofilik kasar yang dinamakan granula
keratohialin yang mengandung protein kaya akan histidin. Terdapat sel
Langerhans.
Stratum Spinosum
Terdapat berkas-berkas filament yang dinamakan tonofibril, dianggap
filamenfilamen tersebut memegang peranan penting untuk
mempertahankan kohesi sel dan melindungi terhadap efek abrasi.
Epidermis pada tempat yang terus mengalami gesekan dan tekanan
mempunyai stratum spinosum dengan lebih banyak tonofibril. Stratum
basale dan stratum spinosum disebut sebagai lapisan Malfigi. Terdapat sel
Langerhans.
Stratum Basale (Stratum Germinativum)
Terdapat aktifitas mitosis yang hebat dan bertanggung jawab dalam
pembaharuan sel epidermis secara konstan.
DERMIS
1. Lapisan papiler yaitu lapisan yang tipis mengandung jaringan ikat jarang.
2. Lapisan retikuler yaitu lapisan tebal terdiri dari jaringan ikat padat.
SUBKUTIS
FISIOLOGI
Fungsi Proteksi, kulit menjaga bagian dalam tubuh terhadap ganggan fisis
atau mekanis, misalnya, tekanan, gesekan, tarikan; gangguan kimiawi
misalnya zat-zat kimia terutama yang bersifat iritan, contohnya lisol, karbol,
asam, dan alkali kuat lainnya; gangguan yang bersifat panas, misalnya radiasi,
sengatan sinar ultraviolet; gangguan infeksi luar, terutama kuman bakteri
maupun jamur.
Hal di atas dimunginkan karena adanya bantalan lemak, tebalnya lapisan
kulit, dan serabut-serabut jaringan penunjang yang berperanan sebagai
pelindung terhadap gangguan fisis.
Fungsi absorpsi, kulit yang sehat tidak mudah menyerap air, laruta dan
benda padat, tetapi cairan yang mudah menguap lebih mudah diserap.
Begitupun yang larut lemak. Permeabilitas kulit terhadap O2, CO2, dan uap air
memungkinkan kulit ikut mengambil bagian pada fungs respirasi. Emampuan
absorpsi kulit dipengaruhi oleh tebal tipisnya kulit, hidrasi, kelembaban,
metabolisme, dan jenis vehikulum.
Fungsi ekskresi, kelenjar-kelenjar kulit yang mengeluarkan zat-zat yang
tidak berguna lagi atau sisa metabolisme dalam tubuh beupa NaCl, urea, asam
urat, dan ammonia. Sebum yang diproduksi melindungi kulit karena lapisan
sebum ini selan meminyaki kulit juga menahan evaporasi ar yang berlebihan
sehingga kulit tidak menjadi kering.
Fungsi persepsi, kulit mengandung ujung-ujung saraf sensorik di dermis
dan subkutis. Terhadap rangsangan panas diperankan oleh badan-badan Ruffini
di dermis dan subkutis. Terhadap dingin diperankan oleh badan Krause yang
terletak d dermis. Badan taktl Meissner terletak di papilla dermis berperan
terhadap rabaan, demikian pula badan Merkel Rnvier yang terletak di
epidermis. Sedangkan terhadap tekanan diperankan oleh badan Paccini di
epidermis.
Fungsi pengaturan suhu tubuh, kuli melakukan peranan ini dengan cara
mengelurkan keringat dan mengerutkan (otot berkontraksi) pmbuluh darah
kulit. Tonus vascular dipengaruhi oleh saraf simpatis (asetilkolin).
Fungsi pembentukan pigmen, sel pembentuk pigmen (melanosit) terletak
di lapisan basal dan sel ini berasal dari rigi saraf. Perbandingan jumlah sel basal
dan melanosit adalah 10: 1. Jumlah melanosit dan jumlah serta besarna butiran
pigmen menentukan warna kulit ras maupun individu.
Fungsi Keratinisasi, lapisan epidermis dewasa mempunyai 3 jenis sel
utama yaitu keratinosit, sel langerhans, melanost. Keratinosit dimulai dari sel
basal mengadakan pembelahan, sel basal yang lain akan berpindah ke atas dan
berubah bentuknya menjadi sel spinosum, maikn ke atas sel menjadi makin
gepeng dan bergranula menjadi sel granulosum. Makin lama inti menghilang
dan keratinosit ini menjadi sel tanduk yang amorf.
Fungsi pembentukan vitamin D, dimungkinkan dengan mengubah 7
dihidroksi kolesterol dengan pertolongan sinar matahari. Tetapi kebutuhan
tubuh akan vtamin tidak cukup dari hal tersebut, sehingga pemberian vitamin
D sistemik masih tetap diperlukan.
Sumber : ( Djuanda, adhi. dkk. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Ed. 5.
Jakarta : Fakultan Kedokteran Indonesia. )
2) Efloresensi Kulit
Primer
5. Pustul : vesikel yang berisi nanah, bila nanah mengendap dibagian bawah
vesikel disebut vesikel hipopion
6. Bula : vesikelt yang beruuran lebih besar, dikenal juga istilah bula
hemoragic, bula purulen dan bula hipopion
7. Kista : Ruangan berdinding dan berisi cairan, sel, maupun sisa sel. Kista
terbentuk akibat peradangan, walaupun demikian dapat meradang.
Dinding kista merupakan selaput yang terdiri jaringan ikat dan biasanya
terdiri atas lapisan epitel atau endotel. Kista terbentuk dari kelenjar yang
melebar dan tertutup, saluaran kelenjar, pembulu darah, saluran getah
bening, keringant, sebu, sel-sel epitel, lapisan tanduk dan rambut.
13. Infiltrate : adalah tumor yang terdiri atas kumpulan sel radang
Sekunder
1. Sikatriks : disebut juga jaringan parut terdiri atas jaringan tak utuh, relief
kulit tidak normal, permukaan kulit licin dan tidak terdapat adneksa kulit.
Sikatrik dapat atrofi, kulit mencekung, dan dapat hipertrofik yang secara
klinis terlihat menonjol kelebihan jaringan ikat. Bila sikatrik hipertrofik
menjadi patologik, pertumbuhan melampaui batas luka disebut koloid atau
sikatrik yang pola pertumbuhannya mengikuti pola pertumbuhan tumor,
ada kecenderungan untuk membesar.
5. Ulkus : hilangnya jarring yang lebih dalam dari ekskoriasi. Ulkus dengan
demikian mempunyai tepi, dinding, dasar dan isi. Termasuk erosi dan
ekskoriasi dengan bentuk linear ialah fisura atau shagades, yakni belahan
kulit yang terjadi oleh tarikan jarinagn sekitarnya, terutama terlihat
padasendi dan batas kulit dengan selaput lender.
11. Fagedenikum : suatu proses yang menjurus kedalam dan meluas (ulkus
tropikum dan ulkus mole).
12. Monomorf : kelainan kulit yang pada suatu ketika yang terdiri atas hanya
satu macam ruam kulit.
13. Polomorf : kelainan kulit yang sedang berkemang, terdiri atas bermacam-
macam (biasanya lebih dari 2) efloresensi.
Bercak merah terjadi akibat vasodilatasi pembuluh darah. Dimana hal ini
dapat terjadi karena adanya trauma,bahan allergen, infeksi bakteri,virus
maupun jamur, serta dapat terjadi akibat sinar UV. Bercak merah merupakan
salah satu manifestasi dari reaksi hipersensitivitas tipe I ( reaksi anafilaksis
),dimana saat ada allergen yang bergabung dengan molekul IgE pada sel mast
atau basofil sehingga terjadi pelepasan mediator aminovasoaktif misalnya
histamine dan serotonin yang akan menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah.
Mekanisme difusi suatu zat dengan berat molekul kecil yang dikeluarkan
oleh sel keratinosit yang rusak akan berdifusi ke dermis dan
mempengaruhi pembuluh darah
Mekanisme direct-hit ,dimana radiasi mempengaruhi langsung sel endotel
pembuluh darah pada dermis dengan pelepasan mediator inflamasi dan
sekresi substansi vasoktif dari sel mast. Radiasi UV juga menginduksi
aktivasi dari gen factor nuklearyang dapat meningkatkan pelepasan sitokin
proinflamasi seperti IL-6 dan TNF α.
ANAMNESIS
Lokasi keluhan
Lama keluhan
- RPS
- RPD
Pemeriksaan Fisis
1. Inspeksi Kulit
- Lokasi
- Distribusi
- Bentuk/susunan
- Batas
- Ukuran
- Efloresensi
2. Palpasi Kulit
Pemeriksaan Biopsi
1. Biopsi punch
3. Biopsi kuretase
Uji tempel
Tes definitif untuk menentukan dermatitis kontak alergi. Prosedur tes ini
digunakan untuk mengidentifikasi alergen yang menyebabkan dermatitis.
Prosedur tes ini berupa penempelan satu set alergen yang dicurigai yang
ditutup rapat di atas kulit punggung bagian atas selama 48 jam.
Kerokan
Bahan dari kulit rambut atau kuku apat langsung dikirim untuk kultur.hal
ini bermnfaat khususnya bila dicurigao ada nya ineksi jamur. Cara kerjanya
sedikit kerokan pada epidermis akan engangkat skuama dar permukaan kulit
yang dicurigai.
Lampu wood
Lampu wood, yang merupakan sumber sinar UV yang difilter dengan nikel
oksida, digunakan untuk memperjelas tiga gambaran penyakit kulit:
Definisi
Dermatitis kontak adalah Dermatitis yang disebabkan oleh bahan/substansi
yang menempel pada kulit
Jenis
Dikenal dua macam dermatitis kontak yaitu :
1. Dermatitis kontak iritan merupakan Peradangan kulit nonimunologik
tanpa didahului proses sensitisasi.
2. Dermatitis kontak alergi merupakan Peradangan kulit yang telah
mengalami sensitisasi terhadap suatu allergen.
Epidemiologi
Bila di bandingkan dengan DKI, jumlah penderita DKA lebih sedikit,
karena hanya mengenai orang dengan keadaan kulitnya sangat peka
(hipersensitif). Diramalkan bahwa jumlah DKA maupun DKI makin
bertambahnya seiring dengan bertambahnya jumlah produk yang mengandung
bahan kimia yang dipakai oleh masyarakat. Namun informasi mengenai
prevalensi dan insiden DKA di masyarakat sangat sedikit, sehingga berapa
angka yang mendekati kebenaran belum didapat.
Dahulu diperkirakan bahwa kejadian DKI akibat kerja sebanyak 80% dan
DKA 20%, tetapi data baru dari Inggris dan Amerika Serikat menunjukkan
bahwa dermatitis kontak akibat kerja karena alergi ternyata cukup tinggi yaitu
dari antara 50-60%. Sedangkan dari satu penelitian ditemukan frekuensi DKA
bukan akibat kerja tiga kali lebih sering daripada DKA akibat kerja.
Usia
Dalam studi tentang reaktivitas Rhus, individu yang lebih muda (18
sampai 25 tahun) memiliki onset lebih cepat dan resolusi cepat untuk terjadi
dermatitis dibandingkan orang tua. Kompetensi reaksi imun yang dimediasi sel
T pada anak-anak masih kontroversi. Studi ini masih menganggap bahwa anak-
anak jarang mengalami DKA karena sistem kekebalan tubuh yang belum
matang, namun Strauss menyarankan bahwa hiporesponsifitas yang jelas pada
anak-anak mungkin karena terbatasnya paparan dan bukan karena kurangnya
imunitas. Dengan demikian, reaksi alergi terlihat terutama pada pasien anak
yang lebih tua dan yang terjadi sekunder oleh karena obat topikal, tanaman,
nikel, atau wewangian.
Pola Paparan
Paparan alergen dan kemungkinan terjadinya sensitisasi bervariasi tidak
hanya pada usia, tetapi juga dengan faktor sosial, lingkungan, kegemaran, dan
pekerjaan. Meskipun sebagian besar variasi yang berkaitan dengan jenis
kelamin dan geografis pada DKA telah dikaitkan dengan faktor-faktor sosial
dan lingkungan, kegemaran dan pekerjaan memiliki efek yang lebih menonjol.
Penyakit Penyerta
Penyakit penyerta yang sering adalah gangguan yang terkait dengan
defisiensi imun, seperti AIDS atau imunodefisiensi berat, penyakit yang
beragam seperti limfoma, sarkoidosis, kusta lepromatosa, dan dermatitis atopik
telah dikaitkan dengan kurangnya reaktivitas atau anergy.
Patofisiologi
1. Fase sensitisasi
Alergen atau hapten diaplikasikan pada kulit dan diambil oleh sel
Langerhans. Antigen akan terdegradasi atau diproses dan terikat pada
Human Leucocyte Antigen-DR (HLA- DR), dan kompleks yang
diekspresikan pada permukaan sel Langerhans. Sel 5 Langerhans akan
bergerak melalui jalur limfatik ke kelenjar regional, dimana akan terdapat
kompleks yang spesifik terhadap sel T dengan CD4-positif. Kompleks
antigen- HLA-DR ini berinteraksi dengan reseptor T-sel tertentu (TCR)
dan kompleks CD3. Sel Langerhans juga akan mengeluarkan Interleukin-1
(IL-1). Interaksi antigen dan IL-1 mengaktifkan sel T. Sel T mensekresi
IL-2 dan mengekspresikan reseptor IL-2 pada permukaannya. Hal ini
menyebabkan stimulasi autokrin dan proliferasi sel T spesifik yang beredar
di seluruh tubuh dan kembali ke kulit.
2. Tahap elisitasi
Histopatologi
Gejala Klinik
a) Umumnya mengeluh gatal
b) Pada yang akut dimulai dengan bercak kemerahan yang berbatas jelas
kemudian diikuti edema, papulvesikel, vesikel atau bula dapat pecah
menimbulkan erosi dan eksudasi (basah)
c) Pada yang kronis terlihat kulit kering, berskuama, papul, likenifikasi dan
mungkin fisura Predileksi
- Tangan
- Lengan
- Wajah
- Telinga
- Leher
- Badan
- Genitalia
- Paha dan tungkai bawah
Diagnosis
Riwayat Penyakit
Perempuan lebih sering mengalami DKA daripada laki-laki, dan ada
peningkatan insiden dengan bertambahnya usia. Riwayat awal pasien
terkena penyakit ini yang pada akhirnya akan dievaluasi sebagai DKA
merupakan standar anamnesa dermatologi. Riwayat dimulai dengan
diskusi tentang penyakit ini dan fokus pada tempat timbulnya masalah dan
agen topikal yang digunakan untuk mengobati masalah. Riwayat penyakit
kulit, atopi, dan kesehatan umum juga secara rutin diselidiki. Gambaran
klinis DKA tergantung pada jenis alergen yang menyebabkan. Biasanya,
dermatitis terjadi pada lokasi aplikasi alergen tetapi penyebaran dermatitis
juga mungkin terjadi. Dalam anamnesis riwayat pasien, penting untuk
mempertimbangkan pekerjaan, rumah tangga, dan kemungkinan paparan
terhadap alergen saat bepergian, dan juga tentu saja waktu, lokalisasi,
alergen sebelumnya diidentifikasi, diatesis topik, perawatan kulit,
kosmetik, dan obat topikal maupun sistemik
Anamnesis
1. Pertanyaan mengenai kontaktan yang dicurigai didasarkan kelainan
kulit yang ditemukan
2. Riwayat pekerjaan
3. Obat topikal dan obat sistemik yang pernah digunakan
4. Kosmetik
Bahan-bahan yang diketahui menimbulkan alergi
5. Penyakit kulit yang pernah dialami
6. Riwayat atopi
Pemeriksaan Fisis
Melihat lokasi dan pola kelainan kulit sehingga dapat diketahui
kemungkinan penyebabnya.
Pemeriksaan dilakukan ditempat yang terang pada seluruh kulit
untuk melihat kemungkinan kelainan kulit lain karena sebab-sebab
endogen.
Pemeriksaan Fisik Penampilan klinis DKA dapat bervariasi
tergantung pada lokasi dan durasi. Pada kebanyakan kasus, erupsi akut
ditandai dengan makula dan papula eritema, vesikel, atau bula, tergantung
pada intensitas dari respon alergi . Namun, dalam DKA akut di daerah
tertentu dari tubuh, seperti kelopak mata, penis, dan skrotum, eritema dan
edema biasanya mendominasi dibandingkan vesikel. Batas-batas
dermatitis umumnya tidak tegas. DKA pada wajah dapat mengakibatkan
pembengkakan periorbital yang menyerupai angioedema. Pada fase
subakut, vesikel kurang menonjol, dan pengerasan kulit, skala, dan
lichenifikasi dini bisa saja terjadi. Pada DKA kronis hampir semua kulit
muncul scaling, lichenifikasi, dermatitis yang pecah-pecah (membentuk
fisura), dengan atau tanpa papulovesikelisasi yang menyertainya DKA
tidak selalu tampak eksema, ada varian noneksema yang mencakup
lichenoid kontak, eritema multiformis (EM), hipersensitivitas kontak kulit
seperti selulitis, leukoderma kontak, purpura kontak, dan erythema
dyschromicum perstans. Dari jumlah tersebut, varian lichenoid dan EM
terlihat paling sering. Daerah kulit yang berbeda juga berbeda dalam
kemudahan tersensitisasi Tekanan, gesekan, dan keringat merupakan
faktor yang tampaknya meningkatkan sensitisasi. Kelopak mata, leher, dan
alat kelamin adalah salah satu daerah yang paling mudah peka, sedangkan
telapak tangan, telapak kaki, dan kulit kepala lebih resisten
Pemeriksaan penunjang
- Uji Tempel atau Patch Test (In Vivo)
Uji tempel digunakan untuk mendeteksi hipersensitivitas terhadap
zat yang bersentuhan dengan kulit sehingga alergen dapat ditentukan
dan tindakan korektif dapat diambil.
Uji tempel merupakan pemeriksaan untuk konfirmasi dan
diagnostik tetapi hanya dalam 8 kerangka anamnesis dan pemeriksaan
fisik, uji tempel ini jarang membantu jika tanpa anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Uji tempel dapat diadministrasikan dengan thin-
layer rapid-use epicutaneous (TRUE) atau dengan ruang aluminium
yang disiapkan tersendiri (Finn) dimana dipasang pada tape Scanpor.
Zat uji biasanya diaplikasikan pada punggung atas, meskipun jika
hanya satu atau dua yang diterapkan, lengan luar atas juga dapat
digunakan Tempelan dihapus setelah 48 jam (atau lebih cepat jika
gatal parah atau terbakar pada kulit) kemudian dibaca. Kulit yang
ditempel ini perlu dievaluasi lagi pada hari ke-4 atau 5, karena reaksi
positif mungkin tidak muncul sebelumnya.
- Provocative Use Test
Pemeriksaan ini akan mengkonfirmasi reaksi uji tempel yang
mendekati positif terhadap bahan-bahan dari zat, seperti kosmetik.
Pemeriksaan ini juga digunakan untuk menguji produk-produk untuk
kulit. Bahan digosok ke kulit normal pada bagian dalam lengan atas
beberapa kali sehari selama lima hari
- Uji photopatch
Uji photopatch digunakan untuk mengevaluasi fotoalergi kontak
terhadap zat seperti sulfonamid, fenotiazin, p-aminobenzoic acid,
oxybenzone, 6-metil kumarin, musk ambrette, atau
tetrachlorsalicylanilide. Sebuah uji tempel standar diterapkan selama
24 jam, hal ini kemudian terekspos 5 sampai 15 J/m2 dari ultraviolet-A
dan dibaca setelah 48 jam.
- Tes in Vitro
Tes in vitro dan tes pada hewan untuk diagnosis DKA telah
menerima banyak perhatian dalam dekade terakhir. Laboratorium studi
seperti transformasi limfosit atau inhibisi makrofag telah dievaluasi
sebagai pengukuran DKA pada manusia dan hewan. Masalah utama
dalam mengembangkan sistem in vitro adalah kurangnya pengetahuan
tentang 9 apa yang merupakan bagian antigenik dari suatu bahan kimia
tertentu. Meskipun pada uji tempel in vivo, di mana kulit dapat
memproses alergen untuk presentasi, saat ini tetap menjadi "standar
baku" masih ada prospek menarik dalam pengujian in vitro di masa
depan.
Pengobatan
Prinsip pengobatan yaitu Hal yang perlu diperhatikan pada pengobatan
DKA adalah upaya pencegahan terulangnya kontak kembali dengan alergen
penyebab dan menekan kelainan kulit yang timbul.
Kortikosteriod prednison 30 mg/hari untuk mengatasi peradangan akut
Kelainan kulitnya cukup dikompres dengan larutan garam faal atau larutan air
salisil 1:1000
Untuk DKA ringan atau DKA akut yang telah mereda (setelah mendapat
pengobatan kortikosteroid sistemik) cukup diberikan kortikosteroid atau
makrolaktam (pimecrolimus atau tacrolimus) secara topikal.
Prognosis
Prognosis baik, sejauh bahan kontaknya dapat disingkirkan. Prognosis
kurang baik dan menjadi kronis bila terjadi bersamaan dengan dermatitis oleh
faktor endogen (dermatitis atopik, dermatitis numularis atau psoriasis) atau
terpajan oleh alergen yang tidak mungkin dihindari misalnya pekerjaan
penderita atau lingkungan penderita
Pencegahan
Menghindari Alergen Setelah kemungkinan penyebab masalah
dermatologi pasien telah ditentukan oleh uji tempel, sangat penting untuk
menyampaikan informasi ini kepada pasien dengan cara yang mudah
dimengerti. Ini melibatkan penjelasan cermat terhadap bahan yang
mengandung alergen.5 Namun, untuk beberapa bahan kimia (seperti nikel dan
kromium logam), penghindaran langsung setelah sekali sensitisasi tidak selalu
menghasilkan perbaikan gejala. Secara keseluruhan, prognosis untuk alergi
akibat kerja ini buruk. Dengan demikian, menghindari alergen yang sudah
pernah terpapar sekali adalah pencegahan yang tidak memadai. Selain itu,
menasihati pekerja dengan DKA untuk meninggalkan posisi mereka saat ini
mungkin bukan saran terbaik, terutama jika perubahan pekerjaan akan
menghasilkan dampak ekonomi yang signifikan buruk.
Sumber :
1. James WD, Berger TG, Elston DM. Andrew’s Diseases of the Skin
Clinical Dermatology. 10th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2006.
h.91-112.
2. Racheva S. Etiology of Common Contact Dermatitis. Journal of IMAB.
2006; 3: 14- 17.
3. Scheman AJ. Contact Dermatitis. In: Grammer LC, Greenberger PA (eds).
Patterson’s Allergic Disease. 6 th ed. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins; 2002. h. 387-401.
B. ERUPSI OBAT
Pendahuluan
Erupsi obat dapat terjadi akibat pemakaian obat, yaitu obat yang diberikan
oleh dokter dalam resep, atau obat yang dijual bebas, termasuk
campuran jamu-jamuan; yang dimaksud dengan obat ialah zat yang dipakai
untuk menegakkan diagnosis, profilaksis, dan pengobatan. Pemberian obat
secara topikal dapat pula menyebabkan aiergi sistemik, akibat penyerapan obat
oleh kulit. Erupsi obat berkisar antara erupsi ringan sampai erupsi berat yang
mengancam jiwa manusia. Obat makin lama makin banyak diguna- kan oleh
masyarakat, sehingga reaksi terhadap obat juga meningkat yaitu reaksi simpang
obat (adverse drug reaction) atau R.S.O Salah satu bentuk R.S.O. ialah reaksi
obat alergik (R.O.A). Manifestasi reaksi obat pada kulit disebut erupsi obat
alergik (E.O.A). Satu macam obat dapat menyebabkan lebih dari satu jenis
erupsi, sedangkan satu jenis erupsi dapat disebabkan oleh bermacam-macam
obat. Obat masuk dalam tubuh secara sistemik, berarti melalui mulut, hidung,
telinga, vagina, suntikan atau infus. Juga dapat sebagai obat kumur, obat mata,
tapal gigi, dan obat topikal.
Definisi
Erupsi obat alergik atau allergic drug eruption ialah reaksi alergik pada
kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat yang
biasanya sistemik. Yang dimaksud obat, ialah zat dipakai untuk menegakkan
diagnosis, profilaksis, dan pengobatan
Imunopatogenesis
Klasifikasi R.O.A
Secara umum terdapat Lupe eaks imunologik yang dikemukakan oleh Coomb
dan Geli. Satu reaksi alergik dapat mengikuti salah satu dari ke-4 jalur ini :
1. Tipe 1 (reaksi cepat, reaksi anafilaktik) Reaksi ini penting dan sering
dijumpai. Pajanan pertama kali terhadap obat tidak menimbulkan reaksi
yang merugikan, tetapi pajanan selanjutnya dapat menimbulkan reaksi.
Antibodi yang terbentuk ialah antibodi IgE yang mempunyai afinitas yang
tinggi terhadap mastosit dan basofil. Pada pemberian obat yang sama,
antigen dapat menimbulkan perubahan berupa degranulasi sel mas dan
basofil dengan dilepaskannya bermacam-macam mediator antara lain
histamin, serotonin, bradikinin, heparin, dan SRSA. Mediator-mediator ini
mengakibatkan bermacam-macam efek antara lain urtikaria, dan yang
lebih berat ialah angioedema Yang paling berbahaya ialah terjadinya syok
anafilaktik. Penisilin merupakan contoh penyebab utama erupsi obat
hipersensivitas tipe cepat yang lgE-dependent.
2. Tipe II (reaksi sitostatik) Reaksi tipe ini disebabkan oleh obat (antigen)
yang memerlukan penggabungan antara IgG dan IgM di permukaan sel.
Hal ini menyebabkan efek sitolitik atau sitotoksik oleh sel efektor yang
diperantarai komplemen. Gabungan obat antibodi komplemen ter-fiksasi
pada sel sasaran. Sebagai sel sasaran ialah berbagai macam sel biasanya
eritrosit, leukosit, trombosit yang meng akibatkan lisis sel, sehingga reaksi
tipe ll tersebut disebut juga reaksi sitolisis atau sitotoksik. Contohnya ialah
penisilin, sefalosporin, streptomisin, suifonamida, dan isoniazid. E.O.A.
yang berhubungan dengan tipe ini ialah purpura, bila sel sasarannya trom-
bosit, obat lain yang menyebabkan alergik tipe ini ialah penisilin,
sefaiosporin, strep tomisin, klorpromazin, sulfonamida analgesik, dan
antipiretik.
3. Tipe III (reaksi kompleks imun Reaksi ini ditandai oleh pembentukan
kompleks antigen, antibodi (igG dan igM) dalam sirkulasi darah atau
jaringan dan mengaktifkan komplemen. Komplemen yang diaktifkan
kemudian melepaskan berbagai di antaranya yang dapat merusak jaringan.
Kompleks imun akan beredar dalam sirkulasi dan kemudian dideposit
pada sel sasaran. Contohnya ialah penisilin, eritromisin, sulfonamid,
salisilat, dan isoniazid.
4. Tipe IV (reaksi alergik selular tipe lambat) Reaksi ini melibatkan limfosit,
APC (Antigen Presenting cell) dan sel Langerhans yang mempresentasi
antigen kepada limfosit T Limfosit T yang tersensitisasi mengadakan
reaksi dengan antigen. Reaksi ini disebut reaksi tipe lambat yaitu terjadi
12-48 jam setelah pajanan terhadap antigen menyebabkan pelepasan
serangkaian limfokin, Contoh reaksi tipe ini ialah dermatitis kontak
alergik.
Diagnosis
Gambaran Klinis
5. Purpura
Purpura adalah perdarahan di dalam kulit berupa kemerahan yang tidak
hilang bila ditekan. Erupsi purpura dapat tejradi sebagai ekspresi tunggal
alergi obat Biasanya simetris serta muncul di sekitar kaki, ter masuk
pergelangan kaki atau tungkai bawah. Erupsi berupa bercak sirkumskrip
berwarna merah kecoklatan dan disertai rasa gatal.
6. Vaskulitis
ialah radang pembuluh darah. Vasku Kelainan kulit dapat berupa palpable
purpura yang mengenai kapiler Biasanya distribusinya simetris pada
ekstremitas bawah dan daerah sakrum. Vaskulitis biasanya disertai demam,
mialgia, dan anoreksia obat penyebab ialah penisiin, sul fonamid, NSAID,
antidepresan dan antiaritmia Jika vaskulitis terjadi pada pembuluh darah
sedang berbentuk eritema nodosum (EN) Kelainan kulit berupa eritema
dan nodus yang nyeri dengan entema di atasnya di sertai gejala umum
berupa demam dan malese. Tempat predileksinya di daerah ekstensor
tungkai bawah. E.N. dapat pula disebabkan oleh beberapa penyakit lain.
misalnya tuberkulosis, infeksi streptokok dan epra. Obat yang dianggap
sering menye- babkan EN ialah sulfonamid dan kontra sepsi oral
7. Reaksi fotoalergik
Gambaran klinis reaksi fotoalergi sama dengan dermatitis kontak alergik,
lokalisasi- nya pada tempat yang terpajan sinar matahari. Kemudian
kelainan dapat meluas ke daerah tidak terpajan matahari obat yang dapat
menyebabkan foto- alergik ialah fenotiazin, sulfonamida. NSAID, dan
griseofulvin
Pengobatan
Sistemik
1. Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid sangat pen- ting pada alergi obat sistemik. Obat
kortikosteroid yang sering digunakan di Bagian llmu Penyakit Kulit dan
Kelamin RSCMW FKUI ialah tablet prednison (1 tablet 5 mg). Pada
kelainan urtikaria, eritema, dermatitis medikamentosa, purpura, eritema
nodosum. eksantema fikstum, dan P E.G.A, karena alergi obat, dosis
standar untuk orang dewasa ialah 3 x 10 mg prednison sehari. Pada
eritrodermia dosisnya ialah 3 x 10 mg sampai 4 x 10 mg sehari.
2. Antihistamin Antihistamin yang bersifat sedatif dapat juga diberikan, jika
terdapat rasa gatal. Kecuali pada urtikaria, efeknya kurang kalau
dibandingkan dengan kortikosteroid.
Topikal
Pengobatan topikal bergantung pada keadaan kelainan kulit, apakah kering
atau basah. Kalau keadaan kering, seperti pada eritema dan urtikaria, dapat
diberikan bedak, contohnya: bedak salisilat 2% ditambah dengan obat
antipruritus, misalnya mentol 1% untuk mengurangi rasa gatal. Kalau keadaan
mem- basah seperti dermatitis medikamentosa, periu digunakan kompres,
misalnya kompres larutan asam salisilat 1%o, Pada bentuk purpura dan eritema
nodosum tidak diperlukan pengobatan topikal Pada eksantema fikstum, jika
kelainan membasah dapat diberi kompres dan jika kering dapat diberi krim
kortikosteroid, misalnya krim hidrokortison 1 atau 2 Pada eritroderma dengan
kelainan berupa eritema yang menyeluruh dan skuamasi, dapat diberi salap
lanolin 10% yang dioleskan sebagian sebagian
Prognosis
Pada dasarnya erupsi kulit karena obat akan menyembuh bila obat
penyebabnya dapat diketahui dan segera disingkirkan. Akan tetapi pada
beberapa bentuk. misalnya eritrodema dan kelainan-kelainan berupa sindrom
Lyell dan sindrom Stevens-Johnson, prognosis dapat menjadi buruk bergantung
pada luas kulit yang terkena.
SUMBER : ( Djuanda, adhi. dkk. 2010. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Ed. 6.
Jakarta : Fakultan Kedokteran Indonesia.)
C. ERITRASMA
Definisi
Suatu peradangan super fisial ringan yang terlokalisir pada kulit dan
menahun, disebabkan oleh bakteri yang erat kaitannya dengan bacteria
coryneform aerobic, yang biasanya diketahui sebagai C.minutissimum
menyerang daerah yang berkeringat banyak.
Epidemiologi
Walau cukup sering ditemukan tapi data epidemiologi masih banyak yang
belum diungkapkan. Sebelumnya eritrasma digolongkan pada kelompok
penyakit jamur tapi berdasar perkembangannya ditemukan bakteri
dalam kelompok coryneform aerobic. Masih terdapat keraguan apakah
bakteri ini merupakan flora normal pada sela jari-jari kaki dan d alam
hubungan parasitic dengan indung semangnya menghasilkan suatu bentuk
eritrasma yang klasik.
Faktor predisposisi:
Etiologi
Manifestasi klinik
Pada lipatan paha, ketiak, daerah intergluteal dan lipatan paha, ketiak
daerah intergluteal dan lipatan submamae. Makulanya tegas dan punya bentuk
yang tidak teratu. Mulanya warna merah lama kelamaan jadi coklat. Lesi-lesi
baru biasanya licin dan lesi yang lama beri gambaran kasar dan
berskuama. Pada keadaan tertentu, lesi dapat meluas kebadan dan paha.
Khusus di daerah tropic iritasi lesi pada lipatan paha dapat mengakibatkan
terjadi garutan dan likenifikasi di sela-sela jari kaki. Infeksi sering asimtomatik
karena gejala terjadinya skuama, fisura dan maserasi tidak selalu disebabkan
oleh korinebakterium. Infeksi C. minutissimum sangat jarang memberikan
penyerta sistemik, tapi pernah dilaporkan adanya abses dan endokardik.
Pemeriksaan klinis
Lokalisasi : lipat paha bagian dalam sampai skrotum , aksila dan intergluteal
Sifatnya : eritema luas berbatas tegas dengan skuama halus dan terkadang
erosive
Gambaran histopatologis
Pemeriksaa lab
Sinar wood : fluoresensi merah bata (coral red fluorescence) karena adanya
koproporfirin III pada lesi.
Diagnosis banding:
Prognosis
D. Pitiriasis Rosea
Definisi
Pitiriasis Rosea ialah erupsi kulit akut yang sembuh sendiri, dimulai
dengan sebuah lesi inisial berbentuk eritema dan skuama halus. Kemudian
disusul oleh lesi- lesi kecil di badan, lengan, dan tungkai atas yang tersusun
sesuai dengan lipatan kulit dan biasanya menyembuh dalam waktu 3- 8
minggu.
Epidemiologi
Pitiriasis rosea didapati pada semua umur, terutama antara 15-40 tahun,
jarang pada usia kurang dari 2 tahun dan lebih dari 65 tahun. Ratio
perempuan dan laki- laki adalah 1,5 : 1.
Etiologi
Terdapat pula laporan erupsi menyerupai pitiriasis rosea yan timbul setelah
vaksinasi difteri, cacar, pneumokokkus, virus Hepatitis B,BCG, dan virus
influenza H1N1.
Gejala Klinis
Gejala konstitusi pada umumnya tidak terdapat. Pada sebagian kecil pasien
dapat terjadi gejala menyerupai flu termasuk malese, nyeri kepala, nausea,
hilang nafsu makan, demam, dan arthralgia. Sebagian penderita mengeluh gatal
ringan. Pitiriasis berarti skuama halus. Penyakit dimulai dengan lesi pertama
(herald patch), umumnya di badan, soliter, berbentuk oval dan anular,
diameternya kira- kira 3 cm. Ruam terdiri atas eritema dan skuama halus di
pinggir. Lamanya beberapa hari hingga beberapa minggu.
Gambar 1 Herald patch. Solitary erythemato-squamous lesion, sharply defined, round or oval, mainly located on the
trunk or proximal extremities.
gambar 2 Classical pityriasis rosea. Exanthematous eruption with erythemato- squamous lesions following cleavage
lines on the trunk.
gambar 3 Pediatric pityriasis rosea. Typical lesions of PR affecting an 8-mo-old boy. PR: Pityriasis rosea.
B
gambar 4 Herald patch in atypical location. Herald patch on a sole (A) and (B) typical PR eruption affecting trunk and
proximal thighs. PR: Pityriasis rosea.
gambar 5 Inversus pityriasis rosea. Lesions distributed on face and neck in two patients; the trunk is not affecte
gambar 6 Pityriasis rosea of the extremities. Lesions affecting only the extremities in two different cases, without
trunk involvement
Figure 7 Acral pityriasis rosea. Desquamation affecting the palms.
Figure 8 Purpuric pityriasis rosea. Round and oval purpuric lesions affectingthe neck of a young woman.
Figure 9 Urticarial pityriasis rosea. Palpable edematous, erythematous lesions with collarette scaling
.
Figure 10 Erythema multiforme-like pityriasis rosea. Annular and papular lesions resembling erythema multiforme.
A B
Gambar 11 Papular pityriasis rosea. A: Papular lesions with peripheral collarette (Courtesy of Priyankar Misra, Junior Resident, Dermatology,
Burdwan Medical College, West Bengal, India); B: Herald patch on the neck and disseminated discrete papular eruption in a girl.
gambar Follicular pityriasis rosea. Follicular lesions with scaling (Courtesy of Shankila Mittal, Junior Resident, Dermatology, Maulana Azad
Medical College, New Delhi, India).
gambar 13 Vesicular pityriasis rosea. Vesicular lesions surrounding round to oval plaques (Courtesy of
Dibyendu Basu, Junior Resident, Dermatology, Medical College and Hospital, Kolkata, West Bengal, India).
gambar Giant pityriasis rosea. Large herald patch (Courtesy of Soumya Jagadeesan, Assistant Professor,
Dermatology, Amrita Institute of Medical Sciences, Kochi, Kerala, India).
gambar 15 Hypopigmented pityriasis rosea. Round to oval hypopigmented lesions during the whole course of the
eruption
gambar 16 Irritated pityriasis rosea. Symptomatic eczematous lesions (Courtesy of Dipti Das, Consultant
Dermatologist, Dr Marwah’s Skin Clinic, Mumbai, Maharashtra, India)
gambar 17 Pityriasis rosea-like rash. A: The eruption in this case was probably related to the ingestion of
levothyroxine in a 33-year-old man, extensively affecting the trunk; B: The lesions are small and monomorphous
(Courtesy of Dr. Elizabeth Rendic).
Lesi oral jarang terjadi. Dapat terjadi enantema dengan macula dan plak
hemoragik, bula pada lidah dan pipi, atau lesi mirip ulkus aftosa.Lesi akan
sembuh bersamaan dengan peneymbuhan lesi kulit.
Pengobatan
Bila terdapat gejala menyerupai flu dan/atau kelainan kulit luas, dapat
diberikan asiklovir 5 x 800 mg per hari selama 1 minggu. Pengobatan ini
dapat mempercepat penyembuhan.
Pada kelainan kulit luas dapat diberikan terapi sinar UVB. UVB dapat
mempercepat penyembuhan karena menghambat fungsi sel Langerhans
sebagai penyaji antigen. Pemberian harus hati- hati karena UVB
meningkatkan risiko terjadi hiperpigentasi pasca- inflamasi.
Prognosis
SUMBER :
Djuanda, adhi. dkk. .2015. Pitiriasis Rosea dalam Ilmu Penyaikit Kulit dan
Kelamin.Jakarta:Badan Penerbit FK UI.
E. URTIKARIA
Pendahuluan
Definisi
Epidemiologi
Etiologi
1. Obat
Bermacam-macam obat dapat menimbulkan urika, baik secara
imunologik maupun nonimunologik. Hampir semua obat sistemik
menimbulkan urtikaria secara imunologik tipe I dan II. Contohnya ialah
obat-obattan golongan penisilin, sulfonamide, analgesic, pencahar,
hormone, dan diuretic. Ada pula obat yang secara nonimunologik langsung
merangsang sel mas untuk melepaskan histamine misalnya kodein, opium,
dan zat kontras. Aspirin menimbulkan urtikaria karena menghambat
sintesis prostaglandin dari asam arakidonat.
2. Makanan
Peranan makanan ternyata lebih penting pada urtikaria akut.
Umumnya akibat reaksi imunologik. Makanan berupa protein atau bahan
lain yang di campurkan ke dalamya seperti zat warna, penyedap rasa, atau
bahan pengawet, sering menimbulkan urtikaria alergika. Contohnya
makanan yang sering menimbulkan urtikaria ialah telur telur, ikan, kacang,
udang, coklat, tomat, arbei, babi, keju, bawang dan semangka bahan yang
di campurkan seperti asam nitrat, asam benzoate, ragi, salisilat, dan
penisilin. CHAMPION (1969) melaporkan 2% urtikaria kronik di
sebabkan sensitisasi terhadap makanan.
3. Gigitan/ sengatan serangga
Gigitan /sengatan serangga dapat menimbulkan urtikaria setempat,
agaknya hal ini lebih banyak diperantarai oleh igE (tipe I) dan tipe seluler
(tipe IV). Tetapi venom dan toksin bakteri, biasanya dapat pula
mengaktifkan komplemen. Nyamuk, kepinding, dan serangga lainnya,
menimbulkan urtikaria bentuk popular di sekitar tempat gigittan, biasanya
sembuh dengan sendirinya setelah beberapa hari, minggu, atau bulan.
4. Bahan Fotosensitizer
Bahan semacam ini, misalnya griseofulvin, fenotiazin, sulfonamid,
badan kosmetik dan sabun germisid sering menimbulkan urtikaria.
5. Inhalan
Inhalan berupa serbuk sari bunga (polen), spora jamur, debu, bulu
binatang, dan aerosol, umumnya lebih mudah menimbulkan urtikaria
alergik (tipe I). Reaksi ini sering dijumpai pada penderita atopi dan disertai
gangguan napas.
6. Kontakkan
Kontakkan yang sering menimbulkan urtikaria ialah kuu binatang,
serbuk tekstil, air liur binatang, tumbuh-tumbuhan, buah-buahhan, bahn
kimia, misalnya insect reperlent (penangkis serangga) dan bahan
kosmetik. Keadaan ini disebabkan bahan tersebut menembus kulit dan
menimbulkan urtikaria.
TUFT(1975) melaporkan urtikaria akibat sefalosporin pada
seorang apoteker hal yang jarang terjadi karena kontak dengan antibiotic
umumnya menimbulkan dermatitis kontak. Urtikaria akibat kontak dengan
klorida kobal, indicator warna pada tes provokasi keringat, telah
dilaporkan oleh SMITH (1975).
7. Trauma fisik
Trauma fisik dapat mengakibatkan oleh faktor dingin, yakni
berenang atau memengang benda dingin, faktor panas misalnya sinar
matahari, sinar UV, radiasi dan panas pembakaran, faktor tekanan yaitu
goresan, pakaian ketat, ikat pinggang, air yang menetes atau semprotan air,
vibrasi dan tekanan berulang-ulang contohnya pijatan, keringat, pekerjaan
berat, demam dan emosi menyebabkan urtikaria fisik, baik secara
imunologik. Klinis biasanya terjadi di tempat yang mudah terkena trauma.
Dapat timbul urtika setelah goresan dengan benda tumpul beberapa menit
sampai beberapa jam kemudian. Fenomena ini disebut dermografis atau
fenomena Darier.
8. Infeksi dan Infestasi
Bermacam-macam infeksi dapat menimbulkan urtikaria misalnya infeksi
bakteri, virus, jamur, maupun infestasi parasit. Infeksi parasit oleh bakteri,
contohnya pada infeksi tonsil, infeksi gigi, dan sinusitis. Masih merupakan
pertanyaan, apakah urtikaria timbul karena toksin bakteri atau oleh
sensitisasi. Infeksi virus hepatitis, munonukleosis, dan infeksi virus
Coxsackie pernah dilaporkan sebagai faktor penyebab. Karena itu pada
urtikaria yang idiopatik perlu di pikirkan kemungkinan infeksi virus
subklinis. Infeksi jamur kandida dan dermatofit sering di laporkkan
sebagai urtikaria. Infeksi cacing pita, cancing tambang, cacing gelang juga
Schistoma atau Echinococcus dapat menyebabkan urtikaria.
9. Psikis
Tekanan jiwa dapat memacu sel mas atau langsung menyebabkan
peningkatan permeabilitas dan vasodilatasi kapilar. Ternyata hamper
11,5% penderita urtikaria menunjukkan gangguan psikis. Penyelidikan
memperlihatkan bahwa hypnosis dapat menghambat eritema dan urtika.
Pada percobaan induksi psikis, ternyata suhu kulit dan ambang rangsangan
eritema meningkat.
10. Genetik
Faktor genetic ternyata berperan penting pada urtikaria dan angioedema,
walaupun jarang menunjukkan penurunan autosomal dominan.
Di antaranya ialah angioneurotik edema herediter, familial cold urticaria,
famillal localized heat urticaria, vibratory angioedema, heredo-familial
syndrome of unticaria deafness and amyloidosis dan erythropoietic
proporphyria.
11. Penyakit sistemik
Beberapa penyakit kolagen dan keganasan dapat menimbulkan
urtikaria,reaksi kompleks antigen-antibodi. Penyakit vesiko-bulosa,
misalnya pemfigus dan dermatitis herpetiformsis Durhing, sering
menimbulkan urtikaria. Sejumlah 7-9% penderita lupus eritematosus
sistemik dapat mengalami urtikaria. Beberapa penyakit sistemik yang
sering di sertai urtikaria antara lain limfoma, hipertiroid, hepatitis,
urtikaria pigmentosa, arthritis pada demam reumatik, dan arthritis
rheumatoid juvennilis.
Klasifikasi
Terdapat bermacam-macam paham pergolongan urtikaria, berdasarkan
lamanya serangan berlangsung di bedakan urtikaria akut dan kronik. Disebut
akut bila serangan b berlangsung kurang dari 6 minggu atau berlangsung
selama 4 minggu tetapi timbul setiap hari, bila melebihi waktu tersebut di
golongkan sebagai urtikaria kronik. Urtikaria akut lebih sering terjadi pada
anak muda, umumnya laki-laki lebih sering di bandingak perempuan. Urtikaria
kronik lebih sering pada wanita usia pertengahan. Penyebab urtikaria akut lebih
mudah diketahui, sedangkan pada urtikaria kronik sulit ditemukan. Ada
kecenderungan urtikaria lebih sering diderita oleh penderita atopic.
Patogenesis
Faktor imunologik lebih berperan pada urtikaria yang akut daripada kronik
biasanya igE terikat pada permukaan sel mast dan atau sel basofil karena
adanya reseptor Fc, bila ada antigen yang sesuai berikatan dengan igE, maka
terjadi degranulasi sel, sehingga mampu melepaska mediator. Keadaan ini jelas
tampak pada reaksi tipe I (anafilaksis), misalnya alergi obat dan makanan.
Komplemen juga ikut berperan aktivasi komplemen secara klasik maupun
secara alternative menyebabkan pelepasan anafilatoksin (C3a,C5a) yang
mampu merangsang sel mast dan basofil misalnya akibat venom atau toksin
bakteri.
Gejala Klinis
Diagnosis
1. Pemeriksaan darah rutin, urin dan feses rutin untuk menilai ada tidaknya
infeksi yang tesembunyi atau kelainan pada alat dalam. Cryoglobulin dan
cold hemolysin perlu di periksa pada dugaan urtikaria dingin.
2. Pemeriksaan gigi, telinga-hidung-tenggorokan, serta usapan vagina perlu
untuk menyingkirkan adanya infeksi fokal.
3. Pemeriksaan kadar igE, eosinoffil, dan komplemen
4. Tes kulit, meskipun terbatas kegunaanya dapat dipergunakan untuk
membantu diagnosis. Uji gores (scratch test) dan uji tusuk (prick test),
serta tes intradermal dapat dipergunakan untuk mencari allergen inhalan,
makanan dermatofit dan kandida.
5. Tes eliminasi makanan dengan cara menghentikan semua makanan yang
dicurigai untuk beberapa waktu, lalu mencoba kembali satu demi satu.
6. Pemeriksaan histopatologik, walaupun tidak selalu diperlukan, dapat
membatu diagnosis. Biasanya terdapat kelainan berupa pelebaran kapilar
di papilla dermis, geligi epidermis mendatar dan serat kolagen
membengkak. Pada tingkatan permulaan tidak tampak infiltrasi selular dan
pada tingkatan lanjut terdapat infiltrasi leukosit terutama di sekitar
pembuluh darah.
7. Pada urtikaria fisik akibat sinar dapat dilakukan tes foto temple
8. Suntikan mecholyl intradermal dapat digunakan pada diagnosis urtikaria
kolinergik.
9. Tes dengan es
10. Tes dengan air hangat
Diagnosis Banding
Dengan anamnesis yang teliti dan pemeriksaan klinis yang cermat serta
pembantu diagnosis di atas, agaknya dapat di tegakkan diagnosis urtikaria dan
penyebabnya. Walaupun demikian hendaknya dipikirkan pula beberapa
penyakit sistemik yang sering disertai urtikaria. Urtikaria kronik harus
dibedakan dengan purpura anafilaktiktoid, pitiriasis rosea bentuk popular dan
urtikaria pigmentosa.
Pengobatan
Beberapa obat yang biasa digunakan untuk mengobati Urtikaria antara lain
1. Antihistamin (CTM),
2. Kortikosteroid (Dexamethasone atau Prednisone),
3. Epinefrin biasa digunakan untuk pasien yang mengalami masalah
pernapasan) dan masih banyak lagi.
PROGNOSIS
Urtikaria akut prognosisnya lebih baik karena penyebab cepat diatasi,
urtikaria kronik lebih sulit diatasi karena penyebabnya sulit dicari.
F. IMPETIGO
Definisi
1. IMPETIGO KONTAGIOSA
Epidemiologi
Etiologi
2. IMPETIGO BULOSA
Etiologi
Impetigo bulosa disebabkan oleh S. aureus galur grup II tipe faga 71. Tiga
lesi kulit yang disebabkan oleh stapilokokus grup II ini adalah
a. impetigo bulosa
b. penyakit eksfoliatif “Staphylococal Scalded Skin Syndrom”
(SSSS)
c. erupsi non streptokokal skarlatiniforme
Manifestasiklinik
Pengobatan
Umum
Memperbaiki higien penderita dan lingkungan
Khusus
a. Topikal
b. Sistemik
oral
DefinisI
merupakan famili human (alpha) herpes virus. Virus terdiri atas genome
DNA double-stranded, tertutup inti yang mengandung protein dan dibungkus
oleh glikoprotein. Virus ini dapat menyebabkan dua jenis penyakit yaitu
varicella (chickenpox) dan herpes zoster (shingles). Pada tahun 1767,
Heberden dapat membedakan dengan jelas antara chickenpox dan smallpox,
yang diyakini kata “chickenpox” berasal dari bahasa Inggris yaitu “gican” yang
maksudnya penyakit gatal ataupun berasal dari bahasa Perancis yaitu “chiche-
pois”, yang menggambarkan ukuran dari vesikel. Pada tahun 1888, Von Bokay
menemukan hubungan antara varicella dan herpes zoster, ia menemukan bahwa
varicella dicurigai berkembang dari anak-anak yang terpapapar dengan
seseorang yang menderita herpes zoster akut. Pada tahun 1943, Garland
mengetahui terjadinya herpes zoster akibat reaktivasi virus yang laten. Pada
tahun 1952, Weller dan Stoddard melakukan penelitian secara invitro, mereka
menemukan varicella dan herpes zoster disebabkan oleh virus yang sama.
Epidemiologi
Varicella terdapat diseluruh dunia dan tidak ada perbedaan ras maupun
jenis kelamin. Varicella terutama mengenai anak-anak yang berusia dibawah 20
tahun terutama usia 3 - 6 tahun dan hanya sekitar 2% terjadi pada orang
dewasa. Di Amerika, varicella sering terjadi pada anak-anak dibawah usia 10
tahun dan 5% kasus terjadi pada usia lebih dari 15 tahun dan di Jepang,
umumnya terjadi pada anak-anak dibawah usia 6 tahun sebanyak 81,4 %.
Insiden terjadinya herpes zoster meningkat sesuai dengan pertambahan umur
dan biasanya jarang mengenai anak-anak. Insiden herpes zoster berdasarkan
usia yaitu sejak lahir - 9 tahun : 0,74 / 1000 ; usia 10 – 19 tahun :1,38 / 1000 ;
usia 20 – 29 tahun : 2,58 / 1000. Di Amerika, herpes zoster jarang terjadi pada
anak-anak, dimana lebih dari 66 % mengenai usia lebih dari 50 tahun, kurang
dari 10% mengenai usia dibawah 20 tahun dan 5% mengenai usia kurang dari
15 tahun. Walaupun herpes zoster merupakan penyakit yang sering dijumpai
pada orang dewasa,namun herpes zoster dapat juga terjadi pada bayi yang baru
lahir apabila ibunya menderita herpes zoster pada masa kehamilan. Dari hasil
penelitian, ditemukan sekitar 3% herpes zoster pada anak, biasanya ditemukan
pada anak - anak yang imunokompromis dan menderita penyakit keganasan.
Patogenesis
Gambaran Klinis
Varicella pada anak yang lebih besar(pubertas) dan orang dewasa
biasanya didahului dengan gejala prodormal yaitu demam, malaise, nyeri
kepala, mual dan anoreksia,yang terjadi 1 - 2 hari sebelum timbulnya lesi
dikulit sedangkan pada anak kecil (usia lebih muda) yang imunokompeten,
gejala prodormal jarang dijumpai hanya demam dan malaise ringan dan timbul
bersamaan dengan munculnya lesi dikulit. Lesi pada varicella, diawali pada
daerah wajah dan scalp, kemudian meluas ke dada (penyebaran secara
centripetal) dan kemudian dapat meluas ke ekstremitas. Lesi juga dapat
dijumpai pada mukosa mulut dan genital. Lesi pada varicella biasanya sangat
gatal dan mempunyai gambaran yang khas yaitu terdapatnya semua stadium
lesi secara bersamaan pada satu saat. Pada awalnya timbul makula kecil yang
eritematosa pada daerah wajah dan dada, dan kemudian berubah dengan cepat
dalam waktu 12 - 14 jam menjadi papul dan kemudian berkembang menjadi
vesikel yang mengandung cairan yang jernihdengan dasar eritematosa. Vesikel
yang terbentuk dengan dasar yang eritematous mempunyai gambaran klasik
yaitu letaknya superfisial dan mempunyai dinding yang tipis sehingga terlihat
seperti kumpulan tetesan air diatas kulit (tear drop), berdiameter 2-3 mm,
berbentuk elips, dengan aksis panjangnya sejajar dengan lipatan kulit atau
tampak vesikel seperti titik- titik embun diatas daun bunga mawar (dew drop
on a rose petal). Cairan vesikel cepat menjadi keruh disebabkan masuknya sel
radang sehingga pada hari ke 2 akan berubah menjadi pustula. Lesi kemudian
akan mengering yang diawali pada bagian tengah sehingga terbentuk
umbilikasi (delle) dan akhirnya akan menjadi krusta dalam waktu yang
bervariasi antara 2-12 hari, kemudian krusta ini akan lepas dalam waktu 1 - 3
minggu. Pada fase penyembuhan varicella jarang terbentuk parut (scar),
apabila tidak disertai dengan infeksi sekunder bakterial.
Varicella yang terjadi pada masa kehamilan, dapat menyebabkan
terjadinya varicella intrauterine ataupun varicella neonatal. Varicella
intrauterine, terjadi pada 20 minggu pertama kehamilan, yang dapat
menimbulkan kelainan kongenital seperti ke dua lengan dan tungkai
mengalami atropi, kelainan neurologik maupun ocular dan mental retardation.
Sedangkan varicella neonatal terjadi apabila seorang ibu mendapat varicella
(varicella maternal) kurang dari 5 hari sebelum atau 2 hari sesudah melahirkan.
Bayi akan terpapar dengan viremia sekunder dari ibunya yang didapat dengan
cara transplasental tetapi bayi tersebut belum mendapat perlindungan antibody
disebabkan tidakcukupnya waktu untuk terbentuknya antibodi pada tubuh si
ibu yang disebut transplasental antibodi. Sebelum penggunaan varicella
zosterimmunoglobulin (VZIG), angka kematian varicella neonatal sekitar 30%,
hal ini disebabkan terjadinya pneumonia yang berat dan hepatitis yang
fulminan. Tetapi jika si ibu mendapat varicella dalam waktu 5 hari atau lebih
sebelum melahirkan, maka si ibu mempunyai waktu yang cukup untuk
membentuk dan mengedarkan antibodi yang terbentuk (transplasental antibodi)
sehingga neonatus jarang menderita varicella yang berat.
Herpes zoster pada anak-anak jarang didahului gejala prodormal.
Gejala prodormal yang dapat dijumpai yaitu nyeri radikuler, parestesia, malese,
nyeri kepala dan demam, biasanya terjadi 1-3 minggu sebelum timbul ruam
dikulit.
Lesi kulit yang khas dari herpes zoster yaitu lokalisasinya biasanya
unilateral dan jarang melewatii garis tengah tubuh. Lokasi yang sering
dijumpai yaitu pada dermatom T3 hingga L2 dan nervus ke V dan VII.
Lesi awal berupa makula dan papula yang eritematous, kemudian dalam
waktu 12 - 24 jam akan berkembang menjadi vesikel dan akan berlanjut
menjadi pustula pada hari ke 3 - 4 dan akhirnya pada hari ke 7 - 10 akan
terbentuk krusta dan dapat sembuh tanpa parut, kecuali terjadi infeksi sekunder
bakterial. Pada pasien imunokompromais dapat terjadi herpes zoster desiminata
dan dapatmengenai alat visceral seperti paru, hati, otak dan disseminated
intravascular coagulophaty (DIC) sehingga dapat berakibat fatal. Lesi pada
kulitnya biasanya sembuh lebih lama dan dapat mengalami nekrosis,
hemoragik dan dapat terbentuk parut.
Komplikasi
Varicella
Pada anak yang imunokompeten, biasanya dijumpai varicella yang ringan
sehingga jarang dijumpai komplikasi. Komplikasi yang dapat dijumpai pada
varicella yaitu :
1. Infeksi sekunder pada kulit yang disebabkan oleh bakteri
Sering dijumpai infeksi pada kulitdan timbul pada anak-anak yang
berkisar antara 5 - 10%. Lesi pada kulit tersebut menjadi tempat masuk
organisme yang virulen dan apabila infeksi meluas dapat menimbulkan
impetigo, furunkel, cellulitis, dan erysepelas.
Organisme infeksius yang sering menjadi penyebabnya adalah
streptococcus grup A dan staphylococcus aureus.
2. Scar
Timbulnya scar yang berhubungan dengan infeksi staphylococcus atau
streptococcus yang berasal dari garukan.
3. Pneumonia
Dapat timbul pada anak - anak yang lebih tua dan pada orang dewasa,
yang dapat menimbulkan keadaan fatal. Pada orang dewasa insiden varicella
pneumonia sekitar 1 : 400 kasus.
4. Neurologik
Acute postinfeksius cerebellar ataxia:
1. Ataxia sering muncul tiba-tiba, selalu terjadi 2 - 3 minggu setelah
timbulnya varicella. Keadaan ini dapat menetap selama 2 bulan.
2. Manisfestasinya berupa tidak dapat mempertahankan posisi berdiri
hingga tidak mampu untuk berdiridan tidak adanya koordinasi dan
dysarthria.
3. Insiden berkisar 1 : 4000 kasus varicella.
Encephalitis
1. Gejala ini sering timbul selama terjadinya akut varicella yaitu beberapa
hari setelah timbulnya ruam. Lethargy, drowsiness dan confusion
adalah gejala yang sering dijumpai.
5. Herpes zoster
1. Komplikasi yang lambat dari varicellayaitu timbulnya herpes zoster,
timbul beberapa bulan hingga tahun setelah terjadinya infeksi primer.
6. Reye syndrome
Herpes zoster
4.Herpes zoster yang desiminata yang dapat mengenai organ tubuh seperti
otak, paru dan organ lain dan dapat berakibat fatal.
5. Meningoencephalitis.
6. Motor paresis.
7.Terbentuk scar.
Pemeriksaan Laboratorium
Untuk pemeriksaanvirus varicella zoster (VZV) dapat dilakukan beberapa
test yaitu :
1. Tzanck smear
- Test ini tidak dapat membedakan antara virus varicella zoster dengan
herpes simpleks virus.
- Test ini dapat menemukan nucleic acid dari virus varicella zoster.
4. Biopsi kulit
Diagnosis Banding
Varicella
2. Herpeszoster diseminata.
3. Impetigo.
Herpes zoster
2. Dermatitis kontak.
3.Poison ivy.
Penatalaksanaan
- Lesi masih berbentuk vesikel, dapatdiberikan bedak agar tidak mudah pecah.
- Vesikel yang sudah pecah atau sudah terbentuk krusta, dapat diberikan salap
antibiotik untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder.
- Dapat diberikan antipiretik dan analgetik, tetapi tidak boleh golongan salisilat
(aspirin) untuk menghindari terjadinya terjadi sindroma Reye.
- Kuku jari tangan harus dipotong untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder
akibat garukan.
Obat antivirus
- Dosis anti virus (oral) untuk pengobatan varicella dan herpes zoster :
Neonatus : Asiklovir 500 mg / m2 IV setiap 8 jam selama 10 hari. Anak( 2 -12
tahun) : Asiklovir 4 x 20 mg / kg BB / hari / oral selama 5 hari.
Pencegahan
1. Imunisasi pasif
2. Imunisasi aktif
●Vaksinasinya menggunakan vaksin varicella virus (Oka strain) dan
kekebalan yang didapat dapatbertahan hingga 10 tahun.
● Digunakan di Amerika sejak tahun 1995.
● Daya proteksi melawan varicella berkisar antara 71 - 100%.
● Vaksin efektif jika diberikan pada umur ≥1 tahun dan direkomendasikan
diberikan pada usia 12 – 18 bulan.
●Anak yang berusia ≤13 tahun yang tidak menderita varicella
direkomendasikan diberikan dosis tunggal dan anak lebih tua diberikan
dalam 2 dosis dengan jarak 4 - 8 minggu.
● Pemberian secara subcutan.
● Efek samping : Kadang - kadang dapat timbul demam ataupun reaksi
lokal seperti ruam makulopapular atau vesikel, terjadi pada 3- 5% anak -
anak dan timbul 10 - 21 hari setelah pemberian pada lokasi penyuntikan.
● Vaksin varicella : Varivax.
● Tidak boleh diberikan pada wanita hamil oleh karena dapat
Menyebabkan terjadinya kongenital varicella.
Prognosis
Sumber:
Sri Linuwih SW Menaidi. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Edisi 7. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Lubis, R.D. 2008. Varicella dan Herpes Zoster. Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara
H. KANDIDIASIS INTERTRIGINOSA
Definisi
Kandidiasis adalah Penyakit infeksi yang disebabkan oleh fungi golongan
candida, biasanya oleh Candida albicans dan dapat mengenai membran
mukosa, kulit, dan kuku, saluran gastrointestinal dan dapat menyebabkan
penyakit sistemik.
Infeksi superficial pada kulit dan membrane mukosa merupakan jenis
infeksi kandida yang paling sering terjadi .jenis kandidiosis kutis yang paling
sering adalah intertrigo, diaper dermatitis, dermatitis perianal, candidiosis
balanitis.
Etiologi
Kandidiasis merupakan infeksi opurtunistik pada manusia yang
disebabkan oleh pertumbuhan berlebihan dari fungi candida terutama Candida
albicans. Candida merupakan organisme komensal normal pada manusia.
Banyak spesies candida merupakan pathogen opportunistic pada manusia
walaupun kebanyakan dari candida tidak menyebabkan infeksi. Infeksi dapat
berupa local atau sisitemik. Sekitar 70-80% penyebab tersering infeksi fungi
disebabkan oleh Candida albicans. Infeksi candida dapat timbul pada pasien
dengan keadaan immunocompromised, hospitalisasi jangka panjang,
penggunaan antibiotik.
Meskipun Candida albicans merupakan penyebab infeksi terbanyak pada
manusia namun genus candida memiliki group heterogen kira-kira lebih dari
150 spesies fungi diantaranya Candida Tropicalis, Candida parapsilosis,
Candida Guillermondi, Candida Krusei, Candida Kefyr, Candida Zeylanoides,
danCandida Glabrata namun jarang menyebabkan infeksi. (2) (5)
Candida lambica
Candida magnolia
Candida
membranaefaciens
Candida nivariensis
Candida
palmioleophila
Candida pararugosa
Candida
pseudohaemulonii
Candida
pseudorugosa
Candida pintolopesii
Candida pulcherrima
Candida thermophila
Candida utilis
Candida valida
Candida viswanathii
c. Faktor fisiologik
usia yang ekstrim, kehamilan, menstruasi.
d. Penyakit sistemik
Down syndrome, penyakit endokrin (Diabetes Melitus,
hipoparatiroid, hipoadrenalin, hipotirroid), keganasan,
imunodefisinsi.
e. Iatrogenik
Faktor barier lemah(pemasangan kateter dan infuse, radiasi
sinar X, obat-obatan oral, parenteral, topikal, aerosol
(kortikosteroid dan immunosupresan lainnya, antibiotik spektrum
luas, metronidazole, transquilizer, kontrasepsi oral / estrogen,
colchisine, phenylbutazone dan histamine 2-blocker(2)
f. Idiopatik
Kemampuan ragi berubah bentuk menjadi hifa dianggap
sebagai mekanisme patogen primer dan terbukti bila bentuk hifa
melekat lebih kuat pada permukaan epitel, namun sekarang
diketahui bahwa bentuk ragi (yeast) mampu invasi dan tidak lagi
dianggap hanya sebagai komensal.
Patogenesis
Gejala Klinik
Diagnosis Banding
a. Intertrigo bacterial
b. Tinea corporis
c. Psoriasis
d. Dermatitis kontak
e. Eritrasma
f. Dermatitis seboroik.
Pemeriksaan Penunjang
1. Preparat KOH
2. Pengecatan Gram.
3. Kultur
4. Histopatologi
Penatalaksanaan
2. Obat oral
3) fluconazole 50 mg/hari
Sumber :
. Kuswadji. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin: Kandidiosis. 5th ed. Jakarta:
Fakultas kedokteran Indonesia; 2008.
Janick MP, Heffernan MP. Yeast Infection: Candidiasis and Tinea (pityriasis)
Versicolor In: Wolf K et al. Fitzptrick’s Dermatology in General Medicine. 7th
ed. New York: Mc Graw Hi; 2008.
James WD, Berger TT, Elston DM. Andrews Disease of The Skin Clinical
dermatology. 11th ed. USA: Saunders Elsevier; 2011.