Professional Documents
Culture Documents
Pendahuluan
1
Definisi
Epidemiologi
2
usia pasien SSJ dan NET, usia terbanyak adalah usia 25-44 tahun 14
(50,4%) SSJ dan 4 (44,25%) NET.5
Etiologi
Etiologi sindrom Stevens-Johnson bersifat multifaktorial,
sedangkan etiologi pasti belum diketahui atau idiopatik.3,7 Faktor yang
diduga kuat sebagai etiologinya adalah reaksi alergi obat secara sistemik,
infeksi bakteri, virus, jamur, protozoa, neoplasma, reaksi pasca vaksinasi,
3
multinasional. Obat-obatan berisiko tinggi ini adalah sulfonamin
antibakteri, antikonvulsan aromatik, allopurinol, obat anti-inflamasi
nonsteroid oxicam, lamotrigin, dan nevirapine. Risiko tampaknya terbatas
pada 8 minggu pertama pengobatan. 1
4
Patofisiologi
Gambaran Klinis
5
paru yang bermanifestasi sebagai peningkatan kecepatan pernapasan dan
batuk, serta komplikasi organ digestif seperti diare masif, malabsorbsi,
melena, atau perforasi kolon. Kriteria SSJ, SSJ overlap NET, dan NET
berdasarkan luas area epidermis yang terlepas (epidermolisis), yaitu: SSJ
(<10% luas permukaan tubuh), SSJ overlap NET (10-30%), dan NET
(>30%).
Diagnosis
1) Anamnesis2
Penyebab terpenting adalah penggunaan obat.
Riwayat penggunaan obat sistemik (jumlah dan jenis obat, dosis,
cara pemberian, lama pemberian, urutan pemberian obat), serta
kontak obat pada kulit yang terbuka (erosi, eskoriasi, ulkus) atau
mukosa.
Jangka waktu dari pemberian obat sampai timbul kelainan kulit
(segera, beberapa saat atau jam atau hari atau hingga 8 minggu).
Identifikasi faktor pencetus lain: infeksi (Mycoplasma pneumoniae,
virus), imunisasi, dan transplantasi sumsum tulang belakang.
2) Pemeriksaan Fisik2
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun kebawah karena
imunitas belum begitu berkembang. Keadaan umumnya bervariasi dari
ringan sampai berat. Pada yang berat kesadaran menurun, pasien dapat
soporous sampai koma. Mulanya penyakit akut dapat diserati gejala
prodromal berupa malaise, demam nyeri kepala, batuk pilek dan nyeri
tenggorokan, muntah dan diare juga dapat muncul sebagai gejala awal.
Gejala awal tersebut dapat berkembang menjadi gejala yang lebih berat,
yang ditandai dengan peningkatan kecepatan denyut nadi dan laju
pernapasan, rasa lemah, serta penurunan kesadaran.3
6
Adapun 3 kelainan utama ( trias kelainan) yang muncul pada
Sindrom Stevens-Johnson antara lain:
7
pada bibir, lidah, dan mukosa bukal mulut. Stomatitis tersebut
diperparah dengan timbulnya bula yang dapat pecah sewaktu-waktu.
Bula yang pecah dapat menimbulkan krusta atau kerak kehitaman
terutama pada bibir penderita. Selain itu, lesi juga dapat timbul pada
mukosa orofaring, percabangan bronkitrakeal, dan esofagus,
sehingga menyebabkan penderita sulit untuk bernapas dan mencerna
makanan. Serta pada saluran genitalurinaria sehingga menyulitkan
proses mikturia atau buang air kecil.3
Lesi oral didahului oleh macula, papula, segera diikuti oleh
vesikel dan bula. Ukuran vesikel maupun bula bervariasi dan mudah
pecah dibandingkan lesi pada kulit. Vesikel maupun bula terutama
pada mukosa bibir mudah pecah Karena gerakan lidah dan friksi
pada waktu mengunyah dan bicara sehingga bentuk yang utuh jarang
ditemukan pada waktu pemeriksaan klinis intra oral.7
Vesikel maupun bula yang mudah pecah selanjutnya menjadi
erosi, kemudian mengalami ekskoriasi dan terbentuk ulkus. Ulkus
ditutupi oleh jaringan nekrotik yang berwarna abu- abu putih atau
eksudat abu-abu kuning menyerupai pseudomembran. Jaringan
nekrotik mudah mengelupas sehingga meninggalkan suatu ulkus
yang berbentuk tidak teratur dengan tepi tidak jelas dan dasar
tidak rata yang berwarna kemerahan. Apabila terjadi trauma
mekanik dan mengalami perdarahan maka ulkus akan menjadi krusta
berwarna coklat sampai kehitaman. Krusta kehitaman yang tebal
dapat terlihat pada mukosa bibir dan seringkali lesi pada mukosa
bibir meluas sampai tepi sebelah luar bibir dan sudut mulut. 7
Manifestasi oral sindrom Stevens-Johnson biasanya diikuti
oleh pembesaran nodus limfatikus servikalis disertai rasa nyeri yang
hebat sekali dan terjadi peningkatan aliran saliva. Penderita biasanya
akan mengalami dehidrasi karena kekurangan cairan yang masuk ke
8
dalam tubuh. Lesi oral dapat meluas ke faring, saluran pernafasan
bagian atas dan esophagus sehingga penderita mengalami kesulitan
bernafas. Edema pada faring dapat menyebar ke trakea, apabila
keadaan bertambah berat dapat menyerang bronkus dan bronkioli,
sehingga dapat menimbulkan bronkopneumonia serta
trakeobronkitis.7
c. Kelainan pada mata
Manifestasi pada mata terjadi pada 70% pasien sindrom
Stevens Johnson. Kelainan yang sering terjadi adalah konjungtivitis.
Selain konjungtivitis kelopak mata seringkali menunjukkan erupsi
yang merata dengan krusta hemoragi pada garis tepi mata. Penderita
sindrom Stevens-Johnson yang parah, kelainan mata dapat
berkembang menjadi konjungtivitis purulen, photophobia,
panophtalmitis, deformitas kelopak mata, uveitis anterior, iritis,
simblefaron, iridosiklitis serta sindrom mata kering, komplikasi
lainnya dapat juga mengenai kornea berupa sikatriks kornea, ulserasi
kornea, dan kekeruhan kornea. Bila kelainan mata ini tidak segera
3) Pemeriksaan Penunjang
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang penting untuk
menunjang diagnosis. Pemeriksaan histopatologis kulit dapat
menyingkirkan diagnosis banding, dan umumnya diperlukan untuk
9
kepentingan medicolegal. Pemeriksaan laboratorium perlu dilakukan
untuk evaluasi keparahan penyakit dan tatalaksana pasien. 3
Pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah : darah tepi lengkap,
analisis gas darah, kadar elektrolit, albumin dan protein darah, fungsi
ginjal, fungsi hepar, gula darah sewaktu dan foto rontgen paru. Selama
perawatan, perlu diwaspadai tanda-tanda sepsis secara klinis dan
dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk menunjang diagnosis
sepsis.3
Pengobatan
a) Non Medikamentosa2
i. Pertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit.
ii. Penanganan kulit yang mengalami epidermolisis, seperti
kompres dan mencegah infeksi sekunder.
iii. Berikan nutrisi secara enteral pada fase akut, baik secara oral
maupun nasogastric.
b) Medikamentosa2
i. Prinsip
Menghentikan obat yang dicurigai sebagai pencetus.
Pasien dirawat (sebaiknya dirawat di ruangan intensif) dan
dimonitor ketat untuk mencegah hospital associated
infections (HAIs).
Atasi keadaan yang mengancam jiwa.
10
ii. Topikal2
Terapi topikal bertujuan untuk mencegah kulit terlepas lebih
banyak, infeksi mikroorganisme, dan mempercepat
reepitelialisasi. Penanganan lesi kulit dapat secara konservatif
maupun pembedahan (debrideman).
Dapat diberikan pelembab berminyak seperti 50% gel
petroleum dengan 50% cairan parafin.
Keterlibatan mata harus ditangani oleh dokter spesialis
mata.
iii. Sistemik
Penggunaan preparat kortikosteroid merupakan tindakan
life saving. Kortikosteroid sistemik: deksametason intravena
dengan dosis setara prednison 1-4 mg/kgBB/hari untuk SSJ,
3-4 mg/kgBB/hari untuk SSJ-NET, dan 4-6 mg/kgBB/hari
untuk NET.Masa kritis biasanya dapat segera diatasi dalam
2-3 hari, dan apabila keadaan umum membaik dan tidak
timbul lesi baru, sedangkan lesi lama mengalami involusi,
maka dosis segera diturunkan 5mg secara cepat setiap hari.
Setelah dosis mencapai 5mg sehari kemudian diganti
dengan tablet korti- kosteroid, misalnya prednisone, yang
diberikan dengan dosis 20 mg sehari, kemudian diturunkan
menjadi 10mg pada hari berikutnya selanjutnya pemberian
obat dihentikan. Lama pengobatan pre- parat kortikosteroid
kira-kira berlangsung selama 10 hari. 2,7
Kortikosteroid sistemik: deksametason intravena dengan
dosis setara prednison 1-4 mg/kgBB/hari untuk SSJ, 3-4
mg/kgBB/hari untuk SSJ-NET, dan 4-6 mg/kgBB/hari untuk
NET.
11
Analgesik dapat diberikan. Jika nyeri ringan dapat diberikan
parasetamol, dan jika nyeri berat dapat diberikan analgesik
opiate-based seperti tramadol.
Pilihan lain:
Intravenous immunoglobulin (IVIg) dosis tinggi dapat
diberikan segera setelah pasien didiagnosis NET dengan
dosis 1 g/kgBB/hari selama 3 hari Siklosporin dapat
diberikan
Kombinasi IVIg dengan kortikosteroid sistemik dapat
mempersingkat waktu penyembuhan, tetapi tidak
2
menurunkan angka mortalitas.
Antibiotik sistemik hanya diberikan jika terdapat indikasi.
Penggunaan preparat kortikosteroid dengan dosis tinggi
menyebabkan imunitas penderita menurun, maka antibiotic
harus diberikan untuk mencegah terjadinya infeksi
sekunder, misalnya broncopneneumonia yang dapat
menyebabkan kematian. Antibiotik yang diberikan
hendaknya yang jarang menyebabkan alergi berspektrum
luas, bersifat bakterisidal, dan tidak nefrotoksik. Antibiotik
yang memenuhi syarat tersebut antara lain siprofloksasin
dengan dosis 2 x 400mg intravena, klindamisin dengan
dosis 2 x 600mg intravena dan gentamisin dengan dosis 2 x
80 mg.2,7
12
Gambar 1. Bagan Alur Penanganan SSJ dan NET 2
13
Prognosis
14
Nilai SCORTEN akan menentukan angka mortalitas pada pasien
SSJ-NET, yaitu sebagai berikut : 2,3,8
Edukasi
15
DAFTAR PUSTAKA
16