You are on page 1of 16

SINDROM STEVEN JOHNSON

Pendahuluan

Sindrom stevens-johnson (SSJ) merupakan reaksi mukokutan akut yang


mengancam nyawa, ditandai dengan nekrosis epidermis yang luas sehingga
terlepas. Stevens dan Johnson pertama kali melaporkan dua kasus penyebaran
erupsi kulit yang terkait dengan stomatitis erosif dan keterlibatan okular yang
parah. SSJ dan NET, adalah reaksi mukokutaneus yang mengancam jiwa,
ditandai dengan nekrosis dan pelepasan epidermis yang ekstensif..1,2

Epidermal necrolysis merupakan penyakit yang jarang. Secara umum


insiden Sindrom Stevens-Jhonson di Eropa dan Amerika Serikat diperkirakan1-
6 kasus per 1 juta penduduk/tahun, lebih jarang pada pria dengan sex ratio
0,6.1,4 Angka kematian NET adalah 25%-35%, sedangkan angka kematian SSJ
adalah 5%-12%.3

Keadaan umumnya bervariasi dari ringan sampai berat. Mulanya


penyakit akut dapat diserati gejala prodromal berupa malaise, demam nyeri
kepala, batuk pilek dan nyeri tenggorokan. Adapun 3 kelainan utama ( trias
kelainan) yang muncul pada Sindrom Stevens-Johnson antara lain: Kelainan
yang dapat terjadi pada kulit. Kelainan pada mukosa, dan Kelainan mata.3

Lesi individu biasanya sembuh sempurna dalam 1-2 minggu, kecuali


terjadi infeksi sekunder. Prognosis SSJ-NET dapat diperkirakan berdasarkan
SCORTEN yaitu suatu perhitungan untuk memperkirakan mortalitas pasien
dengan nekrolisi epidermal. Edukasi untuk pasien SSJ dan NET antara lain:
Penjelasan mengenai kondisi pasien dan obat-obat yang diduga menjadi
penyebab dan Memberikan pasien catatan tertulis mengenai obat-obat yang
diduga menjadi pencetus dan memberikan edukasi pasien untuk menghindari
obat-obatan tersebut.

1
Definisi

Nekrolisis epidermal, mencakup Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) dan


Nekrolisis Epidermal Toksik (NET), adalah reaksi mukokutaneus yang
mengancam jiwa, ditandai dengan nekrosis dan pelepasan epidermis yang
ekstensif. Kedua kondisi ini digolongkan sebagai varian keparahan dari
proses yang serupa, karena adanya kesamaan temuan klinis dan
histopatologis. Perbedaan terdapat pada keparahan yang ditentukan
berdasarkan luas area permukaan kulit yang terkena.2 Pada SSJ, terdapat
epidermolysis sebesar <10% luas permukaan badan, sedangkan pda NET
>30% luas permukaan badan. Keterlibatan 10-30% LPB disebut sebagai
overlap SSJ-NET.3

Epidemiologi

Epidermal necrolysis merupakan penyakit yang jarang. Secara umum


insiden Sindrom Stevens-Jhonson di Eropa dan Amerika Serikat
diperkirakan1-6 kasus per 1 juta penduduk/tahun, lebih jarang pada pria
1,4
dengan sex ratio 0,6. Kasus SSJ sering ditemukan setelah decade ke 4.
Angka kematian NET adalah 25%-35%, sedangkan angka kematian SSJ
adalah 5%-12%. Penyakit ini dapat terjadi pada setiap usia, terjadi
peningkatan resiko pada usia di atas 40 tahun. Perempuan lebih sering
terkena dibandingkan laki-laki dengan perbandingan 1,5:1. Data dari ruang
rawat inap RSCM menunjukkan bahwa tahun 2010-2013 terdapat 57 kasus
dengan rincian: SSJ 47,4%, overlap SSJ-NET 19,3%, dan NET 33,3%.3

Jumlah keseluruhan pasien SSJ di Instalasi Rawat Inap Kemuning


RSUD Dr. Soetomo Surabaya selama periode 2011 - 2014 adalah 28
(1,8%) dan pasien NET adalah 9 (0,6. Jenis kelamin terbanyak pasien
SSJ dan NET adalah perempuan, 21 (75%) dan 6 (66,7%). Distribusi

2
usia pasien SSJ dan NET, usia terbanyak adalah usia 25-44 tahun 14
(50,4%) SSJ dan 4 (44,25%) NET.5

Jumlah keseluruhan pasien SSJ dan NET dirawat inap di RSUD


Dr.Moewardi periode periode Agustus 2011– Agustus2012 di antaranya
terdapat 7 kasus SSJ (3,30%), 3 kasus SSJ-NET overlap (1,41%) dan NET
1 kasus (0,47%). Pada periode Agustus 2012–Agustus 2013 didapatkan 8
kasus SSJ (2,93%), 4 kasus SSJ-NET overlap (1,46%) dan 4 kasus NET
(1,46%). Diketahui 27 kasus pasien rawat inap dengan diagnosis SSJ, SSJ-
NEToverlap dan NET selama periode Agustus 2011–Agustus 2012. Dari 27
kasus didapatkan 16 kasus pasien perempuan dan 11 kasus pada laki-laki.
Berdasarkan data pasien rawat inap di bangsal kulit dan kelamin dengan
diagnosis SJS, SSJ-NET overlap dan NET, didapatkan usia terbanyak
adalah 51-60 tahun sebanyak 9 kasus, diikuti dengan usia 41-50 tahun
sebanyak 6 kasus, 4 kasus usia 31-40 tahun, 3 kasus pada usia 21-30 tahun,
dan 1 kasus pada usia < 5tahun.6

Etiologi
Etiologi sindrom Stevens-Johnson bersifat multifaktorial,
sedangkan etiologi pasti belum diketahui atau idiopatik.3,7 Faktor yang
diduga kuat sebagai etiologinya adalah reaksi alergi obat secara sistemik,
infeksi bakteri, virus, jamur, protozoa, neoplasma, reaksi pasca vaksinasi,

terapi radiasi, alergi makanan, bahan-bahan kimia dan penyakit kolagen.7


Namun penyebab yang paling sering terjadi ialah alergi sistemik terhadap
obat yaitu reaksi berlebihan dari tubuh untuk menolak obat-obatan yang
masuk ke dalam tubuh. 3 Lebih dari 100 obat yang berbeda telah terlibat,
tetapi kurang dari selusin obat "berisiko tinggi" mencapai sekitar setengah
kasus di Eropa, sebagaimana dibuktikan oleh dua studi kasus-kontrol

3
multinasional. Obat-obatan berisiko tinggi ini adalah sulfonamin
antibakteri, antikonvulsan aromatik, allopurinol, obat anti-inflamasi
nonsteroid oxicam, lamotrigin, dan nevirapine. Risiko tampaknya terbatas
pada 8 minggu pertama pengobatan. 1

Tabel 1. Tabel obat- obatan dan risiko dengan Sindrom Stevens-Johnson1

Infeksi merupakan penyebab yang jarang menimbulkan Sindrom


Stevens-Johnson. Dilaporkan kejadian Sindrom Stevens-Johnson
berhubungan dengan adanya infeksi seperti Mycoplasma pneumonia dan
penyakit virus lainnya. Infeksi ini paling sering terjadi pada anak-anak.
Tetapi sampai sekarang masih sedikit penelitian yang membuktikan infeksi
sebagai penyebab dari Sindrom Stevens-Johnson.1

4
Patofisiologi

Mekanisme pasti terjadinya SSJ-NET belum sepenuhnya diketahui.


Pada lesi SSJ-NET terjadi reaksi sitotoksik terhadap keratinosit sehingga
mengakibatkan apoptosis luas. Reaksi sitotoksik yang terjadi melibatkan
sel NK dan sel limfosit T CD8+ yang spesifik terhadap obat penyebab.
Berbagai sitokin terlibat dalam patogenesis penyakit ini, yaitu : IL-6, TNF-
α, IFN-γ, IL-18, Fas-L, granulisin, perforin, granzim-B.3
Sebagian besar SSJ-NET disebabkan karena alergi obat. Berbagai
obat dilaporkan merupakan penyebab SSJ-NET. Obat-obat yang sering
menyebabkan SSJ-NET adalah sulfonamida, anti-konvulsan aromatik,
alopurinol, anti-inflamasi non-steroid dan nevirapin. Pada beberapa obat
tertentu, misalnya karbamazepin dan alopurinol, faktor genetik yaitu sistem
HLA berperan pada proses terjadinya SSJ-NET, namun tidak sebanyak
pada kasus eritema multiforme, misalnya infeksi virus dan Mycoplasma.3

Gambaran Klinis

SSJ dan NET ditandai dengan keterlibatan kulit dan membran


mukosa. Kelainan kulit yaitu: eritema, vesikel, papul, erosi,
eskoriasi, krusta kehitaman, kadang purpura, dan epidermolisis. Tanda
Nikolsky positif. Kelainan mukosa setidaknya pada dua tempat): biasanya
dimulai dengan eritema, erosi dan nyeri pada mukosa oral, mata dan
genital. Kelainan mata berupa konjungtivitis kataralis, purulenta, atau
ulkus. Kelainan mukosa oral berupa erosi hemoragik, nyeri yang tertutup
pseudomembran putih keabuan dan krusta. Kelainan genital berupa erosi
yang dapat menyebabkan sinekia (perlekatan).
Gejala ekstrakutaneus: demam, nyeri, rasa lemas, nyeri
tenggorokan, mual dan muntah, keterlibatan organ dalam seperti paru-

5
paru yang bermanifestasi sebagai peningkatan kecepatan pernapasan dan
batuk, serta komplikasi organ digestif seperti diare masif, malabsorbsi,
melena, atau perforasi kolon. Kriteria SSJ, SSJ overlap NET, dan NET
berdasarkan luas area epidermis yang terlepas (epidermolisis), yaitu: SSJ
(<10% luas permukaan tubuh), SSJ overlap NET (10-30%), dan NET
(>30%).

Diagnosis

1) Anamnesis2
 Penyebab terpenting adalah penggunaan obat.
 Riwayat penggunaan obat sistemik (jumlah dan jenis obat, dosis,
cara pemberian, lama pemberian, urutan pemberian obat), serta
kontak obat pada kulit yang terbuka (erosi, eskoriasi, ulkus) atau
mukosa.
 Jangka waktu dari pemberian obat sampai timbul kelainan kulit
(segera, beberapa saat atau jam atau hari atau hingga 8 minggu).
 Identifikasi faktor pencetus lain: infeksi (Mycoplasma pneumoniae,
virus), imunisasi, dan transplantasi sumsum tulang belakang.
2) Pemeriksaan Fisik2
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun kebawah karena
imunitas belum begitu berkembang. Keadaan umumnya bervariasi dari
ringan sampai berat. Pada yang berat kesadaran menurun, pasien dapat
soporous sampai koma. Mulanya penyakit akut dapat diserati gejala
prodromal berupa malaise, demam nyeri kepala, batuk pilek dan nyeri
tenggorokan, muntah dan diare juga dapat muncul sebagai gejala awal.
Gejala awal tersebut dapat berkembang menjadi gejala yang lebih berat,
yang ditandai dengan peningkatan kecepatan denyut nadi dan laju
pernapasan, rasa lemah, serta penurunan kesadaran.3

6
Adapun 3 kelainan utama ( trias kelainan) yang muncul pada
Sindrom Stevens-Johnson antara lain:

a. Kelainan pada kulit


Lesi kulit pada sindrom Stevens- Johnson dapat timbul
sebagai gejala awal atau dapat juga terjadi setelah gejala klinis
dibagian tubuh lainnya. Lesi pada kulit umumnya bersifat asimetri
dan ukuran lesi bervariasi dari kecil sampai besar. Mula-mula lesi
kulit berupa erupsi yang bersifat multiformis yaitu eritema yang
menyebar luas pada rangka tubuh. Eritema ini menyebar luas
secara cepat dan biasanya mencapai maksimal dalam waktu empat
hari, bahkan seringkali hanya dalam hitungan jam. Pada kasus yang
sedang, lesi timbul pada permukaan ekstensor badan, dorsal tangan
dan kaki, sedangkan pada kasus yang berat lesi menyebar luas pada
wajah, dada dan seluruh permukaan tubuh.7
Kelainan yang dapat terjadi pada kulit penderita sindrom
Sindrom Stevens-Johnson, antara lain timbulnya ruam yang
berkembang menjadi eritema, papula, vesikel, dan bula.3 Variasi lain
dari lesi kulit berupa purpura, urtikaria dan edema. Selain itu
adanya erupsi kulit dapat juga menimbulkan rasa gatal dan rasa
terbakar. Terbentuknya purpura pada lesi kulit memberikan
prognosis yang buruk.7

b. Kelainan pada mukosa


Kelainan pada mukosa sebagian besar melibatkan mukosa
mulut dan esofageal, namun dapat pula melibatkan mukosa pada
paru-paru dan bagian genital. Adanya kelainan pada mukosa dapat
menyebabkan eritema, edema, pengelupasan, pelepuhan, ulserasi,
dan nekrosis.3 Pada mukosa mulut, kelainan dapat berupa stomatitis

7
pada bibir, lidah, dan mukosa bukal mulut. Stomatitis tersebut
diperparah dengan timbulnya bula yang dapat pecah sewaktu-waktu.
Bula yang pecah dapat menimbulkan krusta atau kerak kehitaman
terutama pada bibir penderita. Selain itu, lesi juga dapat timbul pada
mukosa orofaring, percabangan bronkitrakeal, dan esofagus,
sehingga menyebabkan penderita sulit untuk bernapas dan mencerna
makanan. Serta pada saluran genitalurinaria sehingga menyulitkan
proses mikturia atau buang air kecil.3
Lesi oral didahului oleh macula, papula, segera diikuti oleh
vesikel dan bula. Ukuran vesikel maupun bula bervariasi dan mudah
pecah dibandingkan lesi pada kulit. Vesikel maupun bula terutama
pada mukosa bibir mudah pecah Karena gerakan lidah dan friksi
pada waktu mengunyah dan bicara sehingga bentuk yang utuh jarang
ditemukan pada waktu pemeriksaan klinis intra oral.7
Vesikel maupun bula yang mudah pecah selanjutnya menjadi
erosi, kemudian mengalami ekskoriasi dan terbentuk ulkus. Ulkus
ditutupi oleh jaringan nekrotik yang berwarna abu- abu putih atau
eksudat abu-abu kuning menyerupai pseudomembran. Jaringan
nekrotik mudah mengelupas sehingga meninggalkan suatu ulkus
yang berbentuk tidak teratur dengan tepi tidak jelas dan dasar
tidak rata yang berwarna kemerahan. Apabila terjadi trauma
mekanik dan mengalami perdarahan maka ulkus akan menjadi krusta
berwarna coklat sampai kehitaman. Krusta kehitaman yang tebal
dapat terlihat pada mukosa bibir dan seringkali lesi pada mukosa
bibir meluas sampai tepi sebelah luar bibir dan sudut mulut. 7
Manifestasi oral sindrom Stevens-Johnson biasanya diikuti
oleh pembesaran nodus limfatikus servikalis disertai rasa nyeri yang
hebat sekali dan terjadi peningkatan aliran saliva. Penderita biasanya
akan mengalami dehidrasi karena kekurangan cairan yang masuk ke

8
dalam tubuh. Lesi oral dapat meluas ke faring, saluran pernafasan
bagian atas dan esophagus sehingga penderita mengalami kesulitan
bernafas. Edema pada faring dapat menyebar ke trakea, apabila
keadaan bertambah berat dapat menyerang bronkus dan bronkioli,
sehingga dapat menimbulkan bronkopneumonia serta

trakeobronkitis.7
c. Kelainan pada mata
Manifestasi pada mata terjadi pada 70% pasien sindrom
Stevens Johnson. Kelainan yang sering terjadi adalah konjungtivitis.
Selain konjungtivitis kelopak mata seringkali menunjukkan erupsi
yang merata dengan krusta hemoragi pada garis tepi mata. Penderita
sindrom Stevens-Johnson yang parah, kelainan mata dapat
berkembang menjadi konjungtivitis purulen, photophobia,
panophtalmitis, deformitas kelopak mata, uveitis anterior, iritis,
simblefaron, iridosiklitis serta sindrom mata kering, komplikasi
lainnya dapat juga mengenai kornea berupa sikatriks kornea, ulserasi
kornea, dan kekeruhan kornea. Bila kelainan mata ini tidak segera

diatasi maka dapat menyebabkan kebutaan.7


Kelainan mata merupakan 80% diantara semua kasus yang
tersering ialah konjungtivitis kataralis . Selain itu juga dapat berupa
konjungtivitis purulent, perdarahan , simblefaron, ulkus kornea,
iritis, dan iridosiklitis.3

3) Pemeriksaan Penunjang
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang penting untuk
menunjang diagnosis. Pemeriksaan histopatologis kulit dapat
menyingkirkan diagnosis banding, dan umumnya diperlukan untuk

9
kepentingan medicolegal. Pemeriksaan laboratorium perlu dilakukan
untuk evaluasi keparahan penyakit dan tatalaksana pasien. 3
Pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah : darah tepi lengkap,
analisis gas darah, kadar elektrolit, albumin dan protein darah, fungsi
ginjal, fungsi hepar, gula darah sewaktu dan foto rontgen paru. Selama
perawatan, perlu diwaspadai tanda-tanda sepsis secara klinis dan
dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk menunjang diagnosis
sepsis.3

Pengobatan

Penatalaksanaan sindrom Stevens-Johnson didasarkan atas tingkat


keparahan penyakit terbagi atas 2 yaitu terapi non medikamentosa dan
terapi medikamentosa.2,7

a) Non Medikamentosa2
i. Pertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit.
ii. Penanganan kulit yang mengalami epidermolisis, seperti
kompres dan mencegah infeksi sekunder.
iii. Berikan nutrisi secara enteral pada fase akut, baik secara oral
maupun nasogastric.
b) Medikamentosa2
i. Prinsip
 Menghentikan obat yang dicurigai sebagai pencetus.
 Pasien dirawat (sebaiknya dirawat di ruangan intensif) dan
dimonitor ketat untuk mencegah hospital associated
infections (HAIs).
 Atasi keadaan yang mengancam jiwa.

10
ii. Topikal2
Terapi topikal bertujuan untuk mencegah kulit terlepas lebih
banyak, infeksi mikroorganisme, dan mempercepat
reepitelialisasi. Penanganan lesi kulit dapat secara konservatif
maupun pembedahan (debrideman).
 Dapat diberikan pelembab berminyak seperti 50% gel
petroleum dengan 50% cairan parafin.
 Keterlibatan mata harus ditangani oleh dokter spesialis
mata.
iii. Sistemik
 Penggunaan preparat kortikosteroid merupakan tindakan
life saving. Kortikosteroid sistemik: deksametason intravena
dengan dosis setara prednison 1-4 mg/kgBB/hari untuk SSJ,
3-4 mg/kgBB/hari untuk SSJ-NET, dan 4-6 mg/kgBB/hari
untuk NET.Masa kritis biasanya dapat segera diatasi dalam
2-3 hari, dan apabila keadaan umum membaik dan tidak
timbul lesi baru, sedangkan lesi lama mengalami involusi,
maka dosis segera diturunkan 5mg secara cepat setiap hari.
Setelah dosis mencapai 5mg sehari kemudian diganti
dengan tablet korti- kosteroid, misalnya prednisone, yang
diberikan dengan dosis 20 mg sehari, kemudian diturunkan
menjadi 10mg pada hari berikutnya selanjutnya pemberian
obat dihentikan. Lama pengobatan pre- parat kortikosteroid
kira-kira berlangsung selama 10 hari. 2,7
 Kortikosteroid sistemik: deksametason intravena dengan
dosis setara prednison 1-4 mg/kgBB/hari untuk SSJ, 3-4
mg/kgBB/hari untuk SSJ-NET, dan 4-6 mg/kgBB/hari untuk
NET.

11
 Analgesik dapat diberikan. Jika nyeri ringan dapat diberikan
parasetamol, dan jika nyeri berat dapat diberikan analgesik
opiate-based seperti tramadol.
Pilihan lain:
 Intravenous immunoglobulin (IVIg) dosis tinggi dapat
diberikan segera setelah pasien didiagnosis NET dengan
dosis 1 g/kgBB/hari selama 3 hari Siklosporin dapat
diberikan
 Kombinasi IVIg dengan kortikosteroid sistemik dapat
mempersingkat waktu penyembuhan, tetapi tidak
2
menurunkan angka mortalitas.
 Antibiotik sistemik hanya diberikan jika terdapat indikasi.
Penggunaan preparat kortikosteroid dengan dosis tinggi
menyebabkan imunitas penderita menurun, maka antibiotic
harus diberikan untuk mencegah terjadinya infeksi
sekunder, misalnya broncopneneumonia yang dapat
menyebabkan kematian. Antibiotik yang diberikan
hendaknya yang jarang menyebabkan alergi berspektrum
luas, bersifat bakterisidal, dan tidak nefrotoksik. Antibiotik
yang memenuhi syarat tersebut antara lain siprofloksasin
dengan dosis 2 x 400mg intravena, klindamisin dengan
dosis 2 x 600mg intravena dan gentamisin dengan dosis 2 x
80 mg.2,7

12
Gambar 1. Bagan Alur Penanganan SSJ dan NET 2

13
Prognosis

Lesi individu biasanya sembuh dalam 1-2 minggu, kecuali terjadi


infeksi sekunder. Kebanyakan pasien sembuh tanpa gejala sisa. Kematian
ditentukan terutama oleh tingkat keparahan kulit. Ketika body surface area
(BSA) peluruhan kurang dari 10%, tingkat mortalitasnya sekitar 1-5%.
Namun, ketika lebih dari 30% BSA sloughing hadir, tingkat mortalitas
adalah antara 25% dan 35%, dan mungkin setinggi 50%. Bakteremia dan
sepsis tampaknya memainkan peran utama dalam peningkatan mortalitas. 8
Proses pergantian epidermis selama 5 hingga 7 hari. Kemudian,
pasien memasuki fase plateau, yang sesuai dengan progresifitas
reepitelisasi. Proses ini bisa memakan waktu beberapa hari hingga beberapa
minggu, tergantung pada tingkat keparahan penyakit dan kondisi umum
sebelumnya dari pasien. Selama periode ini, komplikasi yang mengancam
jiwa seperti sepsis atau kegagalan organ sistemik dapat terjadi. Tingkat
kematian rumah sakit keseluruhan dari Epidermal nekrolisis adalah 22-
25%, bervariasi dari 5% sampai 12% untuk SJS hingga lebih dari 30%
untuk TEN. Prognosis tidak dipengaruhi oleh jenis atau dosis obat yang
bertanggung jawab atau adanya infeksi virus human immunodeficiency.
Tindak lanjut prospektif telah menunjukkan peningkatan mortalitas
tambahan yang abnormal dalam periode 3 bulan setelah keluarnya rumah
sakit, yang tampaknya hasil dari dampak negatif Epidermal nekrolisis pada
kondisi kronis berat sebelumnya, misalnya, keganasan. 1
Prognosis SSJ-NET dapat diperkirakan berdasarkan SCORTEN
yaitu suatu perhitungan untuk memperkirakan mortalitas pasien dengan
nekrolisi epidermal. Masing-masing dinilai 1 dan setelah dijumlahkan
mengarah pada prognosis angka mortalitas penyakit.2,3,8

14
Nilai SCORTEN akan menentukan angka mortalitas pada pasien
SSJ-NET, yaitu sebagai berikut : 2,3,8

Tabel Angka Kematian Pasien SSJ-NET Berdasarkan Nilai SCORTEN. 2,3,8

Nilai SCORTEN Angka Kematian (%)


0-1 3,2
2 12,1
3 35,8
4 58,3
5 90

Edukasi

1) Penjelasan mengenai kondisi pasien dan obat-obat yang diduga


menjadi penyebab
2) Memberikan pasien catatan tertulis mengenai obat-obat yang diduga
menjadi pencetus dan memberikan edukasi pasien untuk menghindari
obat-obatan tersebut.

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Goldsmith, Lowell. A. et, al. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine.


Mc Graw Hill Compani. USA. 2012
2. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI).
Nekrolisis Epidermal (SSJ & NET) in Panduan Praktis Klinis Bagi Dokter
Spesialis Kulit dan Kelamin di Indonesia. Jakarta 2017
3. Djuanda, A. Hamzah, M. Sindrom Stevens Johnson. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi 6. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta 2011
4. Daemawan, Hari. Laporan Kasus: Sindom Steven Jhonson diduga akibat
Siprofloksakin. CKD 217/Vol 41, no 6 thn 2014.
5. Rahmawati, Yuli Wahyu. et al. Studi Retrospektif: Sindrom Stevens-Johnson
Dan NekrolisisEpidermal Toksik. Departemen Kesehatan Kulit dan Kelamin
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/Rumah Sakit Umum Daerah Dr.
Soetomo Surabaya. Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin – Periodical of
Dermatology and Venereology. Vol. 28 / No. 2 / Agustus 2016
6. Mochtar, Moerbono. et al Angka Kejadian Sindrom Stevens-Johnson Dan
Nekrolisis Epidermal Toksik Di Rs Dr. Moewardi Surakarta Periode Agustus
2011-Agustus 2013. Bagian SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK
Universitas Sebelas Maret Surakarta/RSUD Dr. Moewardi Surakarta. MDVI,
Vol. 42 No. 2 Tahun 2015
7. Ramayanti, Sri. Manifestasi Oral Dan Penatalaksanaan Pada Penderita Sindrom
Stevens-Johnson. Majalah Kedokteran Andalas No.2. Vol.35. Padang,
Sumatera Barat 2011
8. Foster, C Stephen. MD. Stevens-Johnshon Syndrome. 2017. Diakses dari
http://emedicine.medscape.com/article/1197450-overview#a7 tanggal 06-05-
2018

16

You might also like