You are on page 1of 11

BAB I

PENDAHULUAN

Sindrom stevens-jhonson (SSJ) merupakan reaksi mukokutan akut yang


mengancam nyawa, ditandai dengan nekrosis epidermis yang luas sehingga
terlepas. Stevens dan Johnson pertama kali melaporkan dua kasus penyebaran
erupsi kulit yang terkait dengan stomatitis erosif dan keterlibatan okular yang
parah. Pada tahun 1956, Lyell menggambarkan pasien dengan hilangnya
epidermis sekunder akibat nekrosis dan memperkenalkan istilah nekrolisis
epidermal toksik. Kedua SJS dan TEN ditandai dengan keterlibatan membran
kulit dan mukosa. Karena kesamaan dalam temuan klinis dan histopatologi,
faktor risiko, kausalitas obat, dan mekanisme, kedua kondisi ini sekarang
dianggap sebagai varian keparahan dari proses identik yang hanya berbeda pada
tingkat akhir dari permukaan tubuh yang terlibat. Oleh karena itu, lebih baik
menggunakan penunjukan epidermal nekrolisis untuk keduanya, seperti yang
diusulkan oleh Ruiz-Maldonado (nekrosis epidermal diseminata akut) dan
Lyell (exanthematic necrolysis).1

Epidermal necrolysis merupakan penyakit yang jarang. Secara umum


insiden Sindrom Stevens-Jhonson di Eropa dan Amerika Serikat diperkirakan1-
6 kasus per 1 juta penduduk/tahun, lebih jarang pada pria dengan sex ratio 0,6.
1,4
Kasus SSJ sering ditemukan setelah decade ke 4. Angka kematian NET
adalah 25%-35%, sedangkan angka kematian SSJ adalah 5%-12%. Penyakit ini
dapat terjadi pada setiap usia, terjadi peningkatan resiko pada usia di atas 40
tahun. Perempuan lebih sering terkena dibandingkan laki-laki dengan
perbandingan 1,5:1. Data dari ruang rawat inap RSCM menunjukkan bahwa
tahun 2010-2013 terdapat 57 kasus dengan rincian: SSJ 47,4%, overlap SSJ-
NET 19,3%, dan NET 33,3%.3
BAB II

PEMBAHASAN

1. Definisi

Nekrolisis epidermal, mencakup Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) dan


Nekrolisis Epidermal Toksik (NET), adalah reaksi mukokutaneus yang
mengancam jiwa, ditandai dengan nekrosis dan pelepasan epidermis yang
ekstensif. Kedua kondisi ini digolongkan sebagai varian keparahan dari
proses yang serupa, karena adanya kesamaan temuan klinis dan
histopatologis. Perbedaan terdapat pada keparahan yang ditentukan
berdasarkan luas area permukaan kulit yang terkena.2 Pada SSJ, terdapat
epidermolysis sebesar <10% luas permukaan badan, sedangkan pda NET
>30% luas permukaan badan. Keterlibatan 10-30% LPB disebut sebagai
overlap SSJ-NET.3

2. Epidemiologi

Epidermal necrolysis merupakan penyakit yang jarang. Secara umum


insiden Sindrom Stevens-Jhonson di Eropa dan Amerika Serikat
diperkirakan1-6 kasus per 1 juta penduduk/tahun, lebih jarang pada pria
1,4
dengan sex ratio 0,6. Kasus SSJ sering ditemukan setelah decade ke 4.
Angka kematian NET adalah 25%-35%, sedangkan angka kematian SSJ
adalah 5%-12%. Penyakit ini dapat terjadi pada setiap usia, terjadi
peningkatan resiko pada usia di atas 40 tahun. Perempuan lebih sering
terkena dibandingkan laki-laki dengan perbandingan 1,5:1. Data dari ruang
rawat inap RSCM menunjukkan bahwa tahun 2010-2013 terdapat 57 kasus
dengan rincian: SSJ 47,4%, overlap SSJ-NET 19,3%, dan NET 33,3%.3
3. Etiologi

Penyebab pasti dari Sindrom Stevens-Johnson ini idiopatik atau belum


diketahui. Namun penyebab yang paling sering terjadi ialah alergi sistemik
terhadap obat yaitu reaksi berlebihan dari tubuh untuk menolak obat-obatan
3
yang masuk ke dalam tubuh. Lebih dari 100 obat yang berbeda telah
terlibat, tetapi kurang dari selusin obat "berisiko tinggi" mencapai sekitar
setengah kasus di Eropa, sebagaimana dibuktikan oleh dua studi kasus-
kontrol multinasional. Obat-obatan berisiko tinggi ini adalah sulfonamin
antibakteri, antikonvulsan aromatik, allopurinol, obat anti-inflamasi
nonsteroid oxicam, lamotrigin, dan nevirapine. Risiko tampaknya terbatas
pada 8 minggu pertama pengobatan.

Tabel 1. Tabel obat- obatan dan risiko dengan Sindrom Stevens-Johnson

Infeksi merupakan penyebab yang jarang menimbulkan Sindrom


Stevens-Johnson. Dilaporkan kejadian Sindrom Stevens-Johnson
berhubungan dengan adanya infeksi seperti Mycoplasma pneumonia dan
penyakit virus lainnya. Infeksi ini paling sering terjadi pada anak-anak.
Tetapi sampai sekarang masih sedikit penelitian yang membuktikan infeksi
sebagai penyebab dari Sindrom Stevens-Johnson.1

4. Patofisiologi

Mekanisme pasti terjadinya SSJ-NET belum sepenuhnya diketahui.


Pada lesi SSJ-NET terjadi reaksi sitotoksik terhadap keratinosit sehingga
mengakibatkan apoptosis luas. Reaksi sitotoksik yang terjadi melibatkan sel
NK dan sel limfosit T CD8+ yang spesifik terhadap obat penyebab.
Berbagai sitokin terlibat dalam patogenesis penyakit ini, yaitu : IL-6, TNF-
α, IFN-γ, IL-18, Fas-L, granulisin, perforin, granzim-B.3
Sebagian besar SSJ-NET disebabkan karena alergi obat. Berbagai
obat dilaporkan merupakan penyebab SSJ-NET. Obat-obat yang sering
menyebabkan SSJ-NET adalah sulfonamida, anti-konvulsan aromatik,
alopurinol, anti-inflamasi non-steroid dan nevirapin. Pada beberapa obat
tertentu, misalnya karbamazepin dan alopurinol, faktor genetik yaitu sistem
HLA berperan pada proses terjadinya SSJ-NET, namun tidak sebanyak
pada kasus eritema multiforme, misalnya infeksi virus dan Mycoplasma.3

5. Gejala Klinis
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun kebawah karena imunitas
belum begitu berkembang. Keadaan umumnya bervariasi dari ringan
sampai berat. Pada yang berat kesadaran menurun, pasien dapat soporous
sampai koma. Mulanya penyakit akut dapat diserati gejala prodromal
berupa malaise, demam nyeri kepala, batuk pilek dan nyeri tenggorokan
Muntah dan diare juga dapat muncul sebagai gejala awal. Gejala awal
tersebut dapat berkembang menjadi gejala yang lebih berat, yang ditandai
dengan peningkatan kecepatan denyut nadi dan laju pernapasan, rasa lemah,
serta penurunan kesadaran.3
Adapun 3 kelainan utama ( trias kelainan) yang muncul pada Sindrom
Stevens-Johnson antara lain:

a. Kelainan pada kulit


Kelainan yang dapat terjadi pada kulit penderita sindrom
Sindrom Stevens-Johnson, antara lain timbulnya ruam yang
berkembang menjadi eritema, papula, vesikel, dan bula.

b. Kelainan pada mukosa


Kelainan pada mukosa sebagian besar melibatkan mukosa mulut
dan esofageal, namun dapat pula melibatkan mukosa pada paru-paru
dan bagian genital. Adanya kelainan pada mukosa dapat menyebabkan
eritema, edema, pengelupasan, pelepuhan, ulserasi, dan nekrosis.3
Pada mukosa mulut, kelainan dapat berupa stomatitis pada bibir, lidah,
dan mukosa bukal mulut. Stomatitis tersebut diperparah dengan
timbulnya bula yang dapat pecah sewaktu-waktu. Bula yang pecah dapat
menimbulkan krusta atau kerak kehitaman terutama pada bibir
penderita. Selain itu, lesi juga dapat timbul pada mukosa orofaring,
percabangan bronkitrakeal, dan esofagus, sehingga menyebabkan
penderita sulit untuk bernapas dan mencerna makanan. Serta pada
saluran genitalurinaria sehingga menyulitkan proses mikturia atau
buang air kecil.3

c. Kelainan pada mata


Kelainan mata merupakan 80% diantara semua kasus yang
tersering ialah konjungtivitis kataralis . Selain itu juga dapat berupa
konjungtivitis purulent, perdarahan , simblefaron, ulkus kornea, iritis,
dan iridosiklitis.

6. Diagnosis
a. Klinis2
1) Anamnesis
 Penyebab terpenting adalah penggunaan obat.
 Riwayat penggunaan obat sistemik (jumlah dan jenis obat, dosis,
cara pemberian, lama pemberian, urutan pemberian obat), serta
kontak obat pada kulit yang terbuka (erosi, eskoriasi, ulkus) atau
mukosa.
 Jangka waktu dari pemberian obat sampai timbul kelainan kulit
(segera, beberapa saat atau jam atau hari atau hingga 8 minggu).
 Identifikasi faktor pencetus lain: infeksi (Mycoplasma pneumoniae,
virus), imunisasi, dan transplantasi sumsum tulang belakang.
2) Pemeriksaan fisik
 SSJ dan NET ditandai dengan keterlibatan kulit dan membran
mukosa.
 Kelainan kulit yaitu: eritema, vesikel, papul, erosi, eskoriasi,
krusta kehitaman, kadang purpura, dan epidermolisis. Tanda
Nikolsky positif. Kelainan mukosa
 setidaknya pada dua tempat): biasanya dimulai dengan eritema,
erosi dan nyeri pada mukosa oral, mata dan genital. Kelainan
mata berupa konjungtivitis kataralis, purulenta, atau ulkus.
Kelainan mukosa oral berupa erosi hemoragik, nyeri yang tertutup
pseudomembran putih keabuan dan krusta. Kelainan genital berupa
erosi yang dapat menyebabkan sinekia (perlekatan).
 Gejala ekstrakutaneus: demam, nyeri dan lemah badan, keterlibatan
organ dalam seperti paru-paru yang bermanifestasi sebagai
peningkatan kecepatan pernapasan dan batuk, serta komplikasi
organ digestif seperti diare masif, malabsorbsi, melena, atau
perforasi kolon.
3) Kriteria SSJ, SSJ overlap NET, dan NET berdasarkan luas area
epidermis yang terlepas (epidermolisis), yaitu: SSJ (<10% luas
permukaan tubuh), SSJ overlap NET (10-30%), dan NET (>30%).

b. Pemeriksaan Penunjang
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang penting untuk
menunjang diagnosis. Pemeriksaan histopatologis kulit dapat
menyingkirkan diagnosis banding, dan umumnya diperlukan untuk
kepentingan medicolegal. Pemeriksaan laboratorium perlu dilakukan
untuk evaluasi keparahan penyakit dan tatalaksana pasien. 3
Pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah : darah tepi lengkap,
analisis gas darah, kadar elektrolit, albumin dan protein darah, fungsi
ginjal, fungsi hepar, gula darah sewaktu dan foto rontgen paru. Selama
perawatan, perlu diwaspadai tanda-tanda sepsis secara klinis dan
dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk menunjang diagnosis sepsis.
3

7. Pengobatan
Penatalaksanaan pada sindroma steven jhonson terbagi atas 2 yaitu terapi
non medikamentosa dan terapi medikamentosa.
a) Non Medikamentosa
i. Pertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit.
ii. Penanganan kulit yang mengalami epidermolisis, seperti
kompres dan mencegah infeksi sekunder.
iii. Berikan nutrisi secara enteral pada fase akut, baik secara oral
maupun nasogastric.

b) Medikamentosa
i. Prinsip

Menghentikan obat yang dicurigai sebagai pencetus.

Pasien dirawat (sebaiknya dirawat di ruangan intensif) dan


dimonitor ketat untuk mencegah hospital associated infections
(HAIs).

Atasi keadaan yang mengancam jiwa.

ii. Topikal
Terapi topikal bertujuan untuk mencegah kulit terlepas lebih
banyak, infeksi mikroorganisme, dan mempercepat
reepitelialisasi.
Penanganan lesi kulit dapat secara konservatif maupun
pembedahan (debrideman).

Dapat diberikan pelembab berminyak seperti 50% gel


petroleum dengan
8. Prognosis
Lesi individu biasanya sembuh dalam 1-2 minggu, kecuali terjadi
infeksi sekunder. Kebanyakan pasien sembuh tanpa gejala sisa. Kematian
ditentukan terutama oleh tingkat peluruhan kulit. Ketika body surface area
(BSA) peluruhan kurang dari 10%, tingkat mortalitasnya sekitar 1-5%.
Namun, ketika lebih dari 30% BSA sloughing hadir, tingkat mortalitas
adalah antara 25% dan 35%, dan mungkin setinggi 50%. Bakteremia dan
sepsis tampaknya memainkan peran utama dalam peningkatan mortalitas. 5
Proses pergantian epidermis selama 5 hingga 7 hari. Kemudian,
pasien memasuki fase plateau, yang sesuai dengan progresifitas
reepitelisasi. Proses ini bisa memakan waktu beberapa hari hingga beberapa
minggu, tergantung pada tingkat keparahan penyakit dan kondisi umum
sebelumnya dari pasien. Selama periode ini, komplikasi yang mengancam
jiwa seperti sepsis atau kegagalan organ sistemik dapat terjadi. Tingkat
kematian rumah sakit keseluruhan dari EN adalah 22-25%, bervariasi dari
5% sampai 12% untuk SJS hingga lebih dari 30% untuk TEN. Prognosis
tidak dipengaruhi oleh jenis atau dosis obat yang bertanggung jawab atau
adanya infeksi virus human immunodeficiency. Tindak lanjut prospektif
telah menunjukkan peningkatan mortalitas tambahan yang abnormal dalam
periode 3 bulan setelah keluarnya rumah sakit, yang tampaknya hasil dari
dampak negatif EN pada kondisi kronis berat sebelumnya, misalnya,
keganasan. 1
DAFTAR PUSTAKA

1. Goldsmith, Lowell. A. et, al. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine.


Mc Graw Hill Compani. USA. 2012
2. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI).
Nekrolisis Epidermal (SSJ & NET) in Panduan Praktis Klinis Bagi Dokter
Spesialis Kulit dan Kelamin di Indonesia. Jakarta 2017
3. Djuanda, A. Hamzah, M. Sindrom Stevens Johnson. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi 6. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta 2011
4. Daemawan, Hari. Laporan Kasus: Sindom Steven Jhonson diduga akibat
Siprofloksakin. CKD 217/Vol 41, no 6 thn 2014.
5. Foster, C Stephen. MD. Stevens-Johnshon Syndrome. 2017. Diakses dari
http://emedicine.medscape.com/article/1197450-overview#a7 tanggal 06-05-
2018

You might also like