You are on page 1of 19

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit Kusta merupakan salah satu penyakit menular yang menimbulkan

masalah yang sangat kompleks.1 Aspek fisik penyakit kusta akan berdampak pada

lesi di kulit dan kecacatan tubuh penderita2. Mycobacterium Leprae sebagai

bakteri penyebab penyakit kusta dapat mengakibatkan kerusakan saraf sensori,

otonom, dan motorik. Pada saraf sensori akan terjadi anestesi sehingga terjadi

luka tusuk, luka sayat, dan luka bakar. Pada saraf otonom akan terjadi kekeringan

kulit yang dapat mengakibatkan kulit mudah retak-retak dan dapat terjadi infeksi

sekunder. Pada saraf motorik akan terjadi paralisis sehingga terjadi deformitas

sendi pada penderita kusta3

Cara-cara penularan penyakit kusta sampai saat ini masih merupakan tanda tanya.

Yang diketahui hanya pintu keluar kuman kusta dari tubuh si penderita, yakni

selaput lendir hidung, namun ada juga sumber yang mengatakan bahwa kuman

kusta bisa menular melalui lesi kulit yang terbuka.4

Penyakit Kusta bila tidak ditangani dengan cermat dapat menyebabkan kecacatan,

dan keadaan ini menjadi penghalang bagi pasien kusta dalam menjalani

kehidupan bermasyarakat untuk memenuhi kebutuhan social ekonominya.5

Kusta di Indonesia sejak tahun 2007- 2011 menunjukkan adanya

peningkatan yang mengindikasikan bahwa penyakit Kusta masih menjadi masalah

di Indonesia. Kasus baru pada 2007 berjumlah 21.430 kasus, kemudian meningkat

1
menjadi 21.538 kasus pada 2008, namun menurun pada tahun 2009 dengan

jumlah 21.062 kasus. Tahun 2010 menunjukkan penurunan lebih besar dibanding

tahun sebelumnya yaitu dengan 19.741 kasus, dan kembali terjadi peningkatan

pada tahun 2011 dengan jumlah kasus mencapai 23.169. Dalam kurun waktu

tersebut secara umum menunjukkan tidak ada perubahan yang berarti terkait

situasi penyakit Kusta di Indonesia, hal tersebut juga mengindikasikan bahwa

penyakit Kusta di Indonesia masih menjadi masalah kesehatan.5 Provinsi Jawa

Timur merupakan wilayah high endemic Kusta di Indonesia (CDR > 10/100.000

penduduk) atau dengan kata lain jumlah kasus baru lebih dari 1000 orang per

tahun.5

Selain pengobatan Multy Drug Therapy yang adekuat, kita perlu memahami

penyebab dan cara penularan penyakit Kusta, agar dapat mencegah dan memutus

rantai penyebaran penyakit Kusta guna menurunkan angka kejadian penyakit

Kusta di Indonesia dan mengurangi angka kecatatan serta meningkatkan kualitas

hidup masyarakat Indonesia.6

Dari permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka dalam makalah ini

akan dibahas Etiologi, Patogenesa dan Gejala Klinis dari penyakit Kusta pada

BAB II Tinjauan Pustaka, guna membantu pembaca untuk memahami penyebab

dan cara penularan penyakit Kusta.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Kusta merupakan penyakit infeksi menular menahun yang disebabkan oleh

bacillus Mycobacterium leprae. Kusta juga sering disebut dengan penyakit

Hansen yang diambil dari nama pendeteksi bacillus Mycobacterium leprae pada

tahun 1873 yaitu Dr. Gerhard Henrik Armauer Hansen, seorang dokter asal

Norwegia. Penyakit ini hanya bisa menular jika terjadi kontak dekat dengan

penderita dalam waktu yang lama.7 Kusta dapat menyebabkan kerusakan pada

kulit, saraf periferal (saraf di luar otak dan medulla spinalis), mata, tulang,

membrane mukosa, testis, dan organ dalam.8

2.2. Epidemiologi
Banyak kasus penyakit kusta terjadi di daerah miskin sumber daya yang

beriklim tropis maupun subtropis atau daerah dengan temperatur hangat. Kusta

digolongkan ke dalam Neglected Tropical Disease (NTD) di samping penyakit

Chagas, buruli ulcer, kolera, demam berdarah, dracunculiasis, lymphatic filariasis,

trypanosomiasis Afrika, leishmaniasis, onchocerciasis, schistosomiasis, soil-

transmitted helmints, dan trachoma karena penyakit-penyakit tropis memang

seringkali diabaikan.9

3
Kusta dapat terjadi dimanapun seperti di Asia, Afrika, Amerika latin, daerah

tropis dan subtropis serta masyarakat dengan sosioekonomi yang rendah.

Menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 2011 tercatat 226.626

kasus baru Kusta dan meningkat pada tahun 2012 menjadi 232.857 kasus. Tahun

2012 jumlah kasus baru di Indonesia sejumlah 18.994 kasus, sedangkan di Jawa

Tengah pada tahun 2012 dilaporkan terdapat kasus baru tipe Multibasilar (MB)

sebanyak 1.308 kasus dan pada kusta tipe Pausibasilar (PB) sebanyak 211 kasus

dengan Newly Case Detection Rate (NCDR) sebesar 4,57 per 100.000

penduduk.10

Penyebaran kusta di Indonesia sejak tahun 2007- 2011 menunjukkan adanya

peningkatan kasus baru yang mengindikasikan bahwa penyakit kusta masih

menjadi masalah di Indonesia. Kasus baru yang ditemukan pada tahun 2007

berjumlah 21.430 kasus, kemudian meningkat pada tahun 2008 dengan total

21.538 kasus, namun menurun pada tahun 2009 dengan jumlah 21.062 kasus.

Tahun 2010 menunjukkan penurunan lebih besar dibanding tahun sebelumnya

yaitu dengan 19.741 kasus, dan kembali terjadi peningkatan pada tahun 2011

dengan jumlah kasus mencapai 23.169. Dalam kurun waktu tersebut secara umum

menunjukkan tidak ada perubahan yang berarti terkait situasi penyakit kusta di

Indonesia, hal tersebut juga mengindikasikan bahwa penyakit kusta di Indonesia

masih menjadi masalah kesehatan. 5

Pada tahun 2011, sedikitnya 14 provinsi (42,4%) termasuk dalam beban

kusta tinggi (high endemic) dan 19 provinsi lainnya (57,6) termasuk dalam beban

4
kusta rendah (low endemic). Pada periode tersebut dilaporkan terdapat 20.023

kasus baru kusta yang terdiri dari kusta tipe Multi Basiler (MB) dengan persentase

80,40% dan tipe Pausi Basiler (PB) dengan persentase 19,60%. 5

Provinsi Jawa Timur (khususnya Lamongan, Gresik dan Sampang)

merupakan wilayah high endemic kusta di Indonesia (CDR > 10/100.000

penduduk) atau dengan kata lain jumlah kasus baru lebih dari 1000 orang per

tahun. Kasus baru pada tahun 2013 dilaporkan mencapai 4.132 orang dengan

proporsi cacat tingkat II sebesar 13% atau berada di atas rata-rata nasional.

Menurut Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur di Indonesia Jawa Timur tidak

hanya merupakan penyumbang kasus kusta terbesar, tetapi juga memiliki angka

kecacatan yang tinggi dengan proporsi cacat tingkat II sebesar 13% di antara

seluruh kasus baru yang ditemukan. 5

2.2. Etiologi

1. Faktor Kuman

Kuman penyebab lepra adalah M. leprae yang ditemukan oleh G.A. Hansen

pada tahun 1874 di Norwegia, yang sampai sekarang belum juga dapat dibiakkan

dalam media artifisial. Mycobacterium leprae berbentuk pleomorf lurus, batang

panjang, sisi pararel dengan kedua ujung bulat dengan ukuran 3-8 μm x 0,5 μm.

Basil ini berbentuk gram positif, tidak bergerak dan tidak berspora dapat tersebar

atau dalam berbagai ukuran bentuk kelompok, termasuk massa irreguler besar

5
yang disebut globi. Dengan mikroskop elektron, M. leprae terlihat mempunyai

dinding yang terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan peptidoglikan padat pada

bagian dalam dan lapisan transparan lipopolisakarida dan kompleks protein

lipopolisakarida pada bagian luar. Dinding polisakarida ini adalah suatu

arabinogalaktan yang diesterifikasi oleh asam mikolik dengan ketebalan 2 nm.

Peptidoglikan terlihat mempunyai sifat spesifik pada M. lepra, yaitu adanya asam

amino glisin, sedangkan pada bakteri lain mengandung alanin.10 Penyakit kusta

bersifat menahun karena bakteri kusta memerlukan waktu hari untuk membelah

diri dan masa tunasnya rata-rata 2-5 tahun. 11

2. Faktor Sumber Penularan

Hanya manusia satu-satunya sampai saat ini dianggap sebagai sumber

penularan walaupun kuman kusta dapat hidup pada Armadillo, Simpanse dan

pada telapak kaki tikus yang mempunyai kelenjar Thymus (Athymic nude mouse).

Tempat masuk kuman kusta ke dalam tubuh host sampai saat ini belum dapat

dipastikan. Diperkirakan cara masuknya adalah melalui saluran pernafasan bagian

atas dan melalui kontak kulit yang tidak utuh. Suatu kerokan hidung dari

penderita tipe Lepromatosa yang tidak diobati menunjukkan jumlah kuman

sebesar 10 -10 . Dan telah terbukti bahwa saluran nafas bagian atas dari penderita

tipe Lepromatosa merupakan sumber kuman yang terpenting di dalam

lingkungan. 7,11

6
Sebagian besar manusia kebal terhadap penyakit kusta (95%). Dari hasil

penelitian Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular & Penyehatan

Lingkungan menunjukkan gambaran sebagai berikut:

Dari 100 orang yang terpapar: 95 orang tidak menjadi sakit, 3 orang sembuh

sendiri tanpa diobati, 2 orang menjadi sakit, hal ini belum lagi memperhitungkan

pengaruh pengobatan. 11

Seseorang dalam lingkungan tertentu akan termasuk dalam satu dari tiga

kelompok berikut ini, yaitu11 :

1. Host yang mempunyai kekebalan tubuh tinggi yang merupakan kelompok

terbesar yang telah atau akan menjadi resisten terhadap kuman kusta.

2. Host yang mempunyai kekebalan rendah terhadap kuman kusta, bila

menderita penyakit kusta bisanya tipe PB.

3. Host yang tidak mempunyai kekebalan terhadap kuman kusta yang

merupakan kelompok terkecil dan bila menderita kusta biasanya tipe MB.

3. Faktor Imunitas

Sitem Imun Seluler (SIS) memberikan perlindungan terhadap penderita

lepra. Penderita kusta tipe tuberkuloid menunjukkan adanya respon imunitas

seluler yang dimediasi oleh Th (T Helper) 1, IFN-γ dan interleukin (IL)-2 ) pada

kulit dan saraf, yang menggambarkan adanya respon hipersensitivitas tipe lambat

terhadap antigen M. leprae. 10

7
Ketika SIS spesifik efektif dalam mengontrol infeksi dalam tubuh, lesi akan

menghilang secara spontan atau menimbulkan lepra dengan tipe Pausibasilar

(PB). Apabila SIS rendah, infeksi menyebar tidak terkendali dan menimbulkan

lepra dengan tipe Multibasilar (MB). Kadang-kadang respon imun tiba-tiba

berubah baik setelah pengobatan atau karena status imunologi yang menghasilkan

peradangan kulit dan atau saraf dan jaringan lain yang disebut reaksi lepra (tipe 1

dan 2). 10

2.3 Patogenesis Kusta

Mycobacterium leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah

karena penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan

gejala yang lebih berat, bahkan sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat

infeksi dengan derajat penyakit disebabkan oleh respon imun yang berbeda, yang

menggugah reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh

sendiri atau progresif. Oleh karena itu penyakit lepra dapat disebut sebagai

penyebab imunologik. Kelompok umur terbanyak terkena lepra adalah usia 25-35

tahun. 10

Pada tahap awal M. leprae dikenali oleh beberapa reseptor imunitas alamiah

termasuk Toll-like receptor (TLR). Toll-like receptor 2 membentuk heterodimer

dengan TLR1 untuk mengenali komponen mikobakterium seperti protein 19-kDa

dan lipopeptida lainnya. Lipoglikan lipomanan (LM) dan manosa atau arabinose-

8
capped lipoarabinomanan (ManLAM dan AraLAM) merupakan faktor virulensi

utama pada spesies mikobakterium, berperan sebagai agonis poten TLR1/2 dan

berkontribusi pada aktivasi makrofag dan imunomodulasi respon pejamu.

Molekul ini berperan pada pelepasan ROS oleh sel fagosit melalui mekanisme

respiratory burst. Beberapa reseptor signaling lainnya yang juga dianggap

berperan antara lain TLR 4,6,8 dan 9, sel dendritik, Dectin-1 dan mincle.7,10

Determinan utama diferensiasi sel limfosit T yang naïf menjadi sel Th1

dimediasi oleh antigen presenting cell (APC) dan komplek TLR melalui

pelepasan IL-12. Pada kusta tipe tuberkuloid ekspresi IL-12 ditemukan 10 kali

lipat lebih tinggi dibanding kusta tipe lepromatosa. Pelepasan IL12 juga dimediasi

oleh TLR 1 dan 2 dan CD40 dimana ekspresi TLR maupun CD40 ini ditemukan

lebih banyak pada lesi tuberkuloid dibanding lepromatosa. Hal ini menjelaskan

mengapa pada kusta tipe lepromatosa terjadi kegagalan pembentukan Th1 dan

IFN γ yang berespon terhadap antigen M. leprae. 7,10

Makrofag merupakan sel pejamu yang paling banyak berinteraksi dengan

M. leprae. Makrofag memiliki 2 fungsi utama yaitu sebagai APC melalui molekul

Major Histocompatibility Complex (MHC) klas I dan klas II yang dipresentasikan

kepada sel CD8+ dan CD4+ serta sebagai fagositosis bakteri patogen melalui

mekanisme efektor nonspesifik. Makrofag pada jaringan spesifik dan lokasi

infeksi berperan dalam melepaskan sitokin termasuk TNF-α sebagai hasil dari

stimulasi M. leprae utuh maupun komponen dinding sel. Stimulasi makrofag oleh

PGL-1 juga dapat menginduksi pelepasan TNF-α. 10

9
Produk utama reaktivasi makrofag adalah ROS dan nitric oxide (NO).

Produksi ROS diperantarai oleh fagosit oksidase suatu enzim multisubunit yang

diaktivasi terutama oleh IFN-γ dan sinyal dari TLR. Fagosit oksidase berfungsi

mereduksi molekul oksigen menjadi ROS dengan kofaktor nicotinamide adenine

dinucleotide phosphate (NADPH). Radikal superoksid yang terbentuk dari proses

ini kemudian akan mengalami dismutasi secara enzimatik menjadi hidrogen

peroksida, yang selanjutnya digunakan oleh enzim myeloperoksidase untuk

mengubah ion halida menjadi asam hipoklorat yang bersifat reaktif. Proses ini

dikenal dengan sebutan respiratory burst.10

Selain ROS, makrofag juga memproduksi reactive nitrogen species terutama

NO. Nitric oxide dibentuk dari aktivasi enzim inducible nitric oxide synthase

(iNOS). Enzim ini merupakan enzim sitosolik yang terinduksi sebagai respon

terhadap produk mikrobial yang mengaktivasi TLR, terutama apabila dikombinasi

dengan IFN-γ. Enzim iNOS mengkatalisasi konversi arginin menjadi sitrulin dan

melepaskan NO yang berdifusi aktif. Di dalam fagolisosom NO dapat membentuk

radikal peroksinitrit yang sangat reaktif, sebagai hasil penggabungan dengan

hidrogen peroksida atau radikal superoksid yang dapat membunuh bakteri10

Sel schwann pada saraf perifer merupakan target utama infeksi oleh M.

leprae. Kerusakan saraf perifer dapat disebabkan secara langsung oleh M. leprae

maupun melalui respon imunitas. Mycobacterium leprae dapat menginvasi sel

schwann melalui ikatan PGL-1 dengan domain G pada rantai α2 laminin-2 yang

terdapat pada membran sel Schwann. Laminin binding protein 21 (LBP-21)

10
berperan memediasi masuknya M. leprae menuju ke intraseluler sel Schwann,

selanjutnya internalisasi M. leprae akan menyebabkan demyelinisasi saraf perifer

diakibatkan oleh ikatan langsung antara bakteri dengan reseptor neuregulin,

aktivasi ErB2 dan Erk1/2 dan aktivasi Mitogen Activated Protein (MAP) kinase

Demyelinisasi oleh M. leprae akan memicu invasi lebih lanjut karena M. leprae

lebih menyukai unit akson yang tidak bermyelin. Mekanisme kerusakan saraf

secara langsung ini terutama berperan pada kusta tipe multibasilar. Hipotesis

kerusakan saraf yang dimediasi oleh sistem imun diduga disebabkan karena

pelepasan sitokin proinflamasi antara lain TNF, IL-12, IL-16, IL-18, 1L-15 dan

IL-1β oleh monosit atau makrofag. Protein 19-kDa yang dikenali oleh TLR1/2

menginduksi pelepasan sitokin proinflamasi dan apoptosis sel Schwann, selain itu

sel Schwann yang terpapar secara in vitro terhadap neuron yang mengalami

nekrosis memproduksi TNF dan nitric oxide (NO) yang merupakan mediator

inflamasi poten. Pada tingkat jaringan, kerusakan saraf disebabkan karena influks

sel imunitas dan cairan interstisial (edema) pada saraf sehingga terjadi kompresi

dan iskemia.10

Sitem Imun Seluler (SIS) memberikan perlindungan terhadap penderita

lepra. Ketika SIS spesifik efektif dalam mengontrol infeksi dalam tubuh, lesi akan

menghilang secara spontan atau menimbulkan lepra dengan tipe Pausibasilar

(PB). Apabila SIS rendah, infeksi menyebar tidak terkendali dan menimbulkan

lepra dengan tipe Multibasilar (MB) dapat dilihat pada gambar 1. Kadang-kadang

respon imun tiba-tiba berubah baik setelah pengobatan atau karena status

11
imunologi yang menghasilkan peradangan kulit dan atau saraf dan jaringan lain
10
yang disebut reaksi lepra (tipe 1 dan 2).

Gambar 1. Patogenesis Kusta 10

2.4 Gejala Klinis

Untuk menetapkan diagnosa penyakit kusta didasarkan pada penemuan gejala-

gejala utama atau “Cardinal signs”, yaitu 12 :

12
1. Lesi kulit yang mati rasa

Kelainan kulit dapat berupa bercak keputih-putihan atau hipopigmentsi

(Lihat gambar 2.a) dan bisa juga kemerahan atau eritematous (Lihat

Gambar 2.b) yang mati rasa.

a. b.

Gambar 2. Lesi kulit pada penyakit Kusta12

2. Penebalan saraf (Lihat gambar 3) yang disertai dengan gangguan fungsi

Penebalan gangguan fungsi saraf yang terjadi merupakan akibat dari

peradangan kronis saraf tepi (neuritis perifer) dan tergantung area yang

dilayani oleh saraf tersebut, dan dapa berupa :

1. Gangguan fungsi sensorik : mati rasa/ kurang rasa

2. Gangguan fungsi motorik : paresis atau paralysis

3. Gangguan fungsi otonom : kulit kering, retak, edema.

13
Gambar 3. Penebalan N. Aurucularis Magnus12

3. Basil tahan asam (BTA)

Bahan pemeriksaan diambil dari kerokan kulit (skin smear) pada cuping

telinga serta bagian aktif suatu lesi kulit. Bila pada kulit atau saraf

seseorang ditemukan kelainan yang tidak khas untuk penyakit kulit lain

dan menurut pengalaman kemungkinan besar mengarah ke kusta, maka

kita dapat menetapkan seseorang tersebut sebagai suspek kusta.

Untuk menegakkan diagnosis kusta, diperlukan paling sedikit satu tanda utama.

Tanpa tanda utama, seseorang hanya boleh ditetapkan sebagai tersangka (suspek)

kusta.

Menurut WHO 1988 dalam Mardika (2004) membagi Kusta atas dua tipe

yaitu 12 :

1. Paucibacillary (PB), indeks bakteri < 2+, termasuk indeterminate TT, BT

smear negatif

14
2. Multibacillary (MB), indeks bakteri ≥ 2+, termasuk tipe BT smear positif,

BB, BL dan LL.

Perbedaan MH tipe PB dan MB, dapat dilihat pada gejala klinis yang

timbul pada pasien. Perbedaannya terletak pada bercak (makula), infiltrat, nodul,

penebalan saraf tepi, deformitas, sediaan apus, dan ciri khusus. Selengkapnya

dapat dilihat pada Tabel 1.12

Tabel 1. Perbedaan MH tipe PB dan MB

(Sumber: Kepustakaan no 12)

15
BAB III

PENUTUP

Kusta merupakan penyakit infeksi menular menahun yang disebabkan oleh

bacillus Mycobacterium leprae. Penyakit Kusta merupakan salah satu penyakit

menular yang menimbulkan masalah yang sangat kompleks.1 Aspek fisik penyakit

kusta akan berdampak pada lesi di kulit dan kecacatan tubuh penderita2

Mycobacterium Leprae sebagai bakteri penyebab penyakit kusta dapat

mengakibatkan kerusakan saraf sensori, otonom, dan motorik.

Kasus Kusta yang ditemukan pada tahun 2007 berjumlah 21.430 kasus,

kemudian meningkat pada tahun 2008 dengan total 21.538 kasus, namun menurun

pada tahun 2009 dengan jumlah 21.062 kasus. Tahun 2010 menunjukkan

penurunan lebih besar dibanding tahun sebelumnya yaitu dengan 19.741 kasus,

dan kembali terjadi peningkatan pada tahun 2011 dengan jumlah kasus mencapai

23.169. Dalam kurun waktu tersebut secara umum menunjukkan tidak ada

perubahan yang berarti terkait situasi penyakit kusta di Indonesia, hal tersebut

juga mengindikasikan bahwa penyakit kusta di Indonesia masih menjadi masalah

kesehatan. 5

Etiologi dari penyakit Kusta dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu faktor kuman,

faktor sumber penularan, dan faktor imunitas.

16
Faktor kuman berupa Mycobacterium Leprae. Sumber penularan adalah dari

manusia ke manusia. Diperkirakan cara masuknya adalah melalui saluran

pernafasan bagian atas dan melalui kontak kulit yang tidak utuh. Sedangkan faktor

imunitas tiap manusia berbeda. Ketika SIS spesifik efektif dalam mengontrol

infeksi dalam tubuh, lesi akan menghilang secara spontan atau menimbulkan lepra

dengan tipe Pausibasilar (PB). Apabila SIS rendah, infeksi menyebar tidak

terkendali dan menimbulkan lepra dengan tipe Multibasilar (MB).

Pada penyakit kusta, dapat dengan mudah dikenali karena memiliki gejala

khas yang kadang disebut “Cardinal signs”, yaitu 12


Lesi kulit yang mati rasa,

Penebalan saraf perifer dan BTA (+).Untuk menegakkan diagnosis kusta,

diperlukan paling sedikit satu tanda utama. Tanpa tanda utama, seseorang hanya

boleh ditetapkan sebagai tersangka (suspek) kusta.

17
Daftar Pustaka

1. Rukua M.S, Santi M, Hari B.N. Development of Predictive Index for


Default Treatment At Multibacillary Leprosy in District Sampang. Jurnal
Berkala Epidemiologi, Vol. 3, No. 3 September 2015: 387–399

2. Amirudin, D. M. Penyakit Kusta di Indonesia dan Masalah


Penanggulangannya. Suplement Vol 26 No.3 Juli-September 2005.

3. Walker, SL. & Lockwood, DNJ. Leprosy Type 1 ( reversal ) Reactions


and Their Management. Lepr Rev, Vol.1, No.79, pp.372–386.

4. Tarmisi A, Adhar A, Herawanto. Analisis Risiko High Endemis Di Desa


Air Panas Kecamatan Parigi Barat Kabupaten Parigi Moutong. Jurnal
Kesehatan Tadulako Vol. 2 No. 1, Januari 2016 : 1- 75

5. Kamal M , Santi M. The lack of counselling and passively case detection


affecting the occurrance of grade 2 disability in Sampang. Jurnal Berkala
Epidemiologi, Vol. 3, No. 3 September 2015: 290–303.

6. Soeprapti T, Agusni I, Murtiastutik D. Pemeriksaan Indeks solid-


fragmented-granular (indeks SFG) pada sediaan apus penderita kusta tipe
MB sebelum dan setelah mendapat MDT. Berkala Ilmu kesehatan kulit
dan kelamin 2008; Vol. 20, No. 2:125-34.

7. Job, C. K., Jayakumar, J., Kearney, M. & Gillis, T. P. Transmission of


Leprosy: A Study of Skin and Nasal Secretions of Household Contacts.
The American Society of Tropical Medicine and Hygiene, Vol.78, No.3,
pp. 518-521.

18
8. Robbins, Gwen, et al. Ancient Skeletal Evidence for Leprosy in India
(2.000 B.C.) 2009, Vol.4, No.5, pp 56-69.

9. Remme, Jan H. F., et al. Tropical Disease Targeted for Elimination:


Chagas Disease, Lymphatic Filariasis, Onchocerciasis, and Leprosy,
Disease Control Priorities in Developing Countries 2006, pp.435-447.

10. Tsutsumi, et al. Depresive status of leprosy patients in


Bangladesh:association with self-perception of stigma. Lepr Rev. 2004
Jun;75(2):205.

11. Dharmasanti PA, Martodihardjo S. Profil penderita kusta yang dirawat di


Instalasi Rawat Inap Penyakit Kulit dan Kelamin RSU Dr.Soetomo-
Surabaya (Periode Januari 2003-Desember 2005). Berkala Ilmu Penyakit
Kulit & Kelamin. Airlangga University Press, 2006; 18(2):108-20

12. Kosasih, A., Wisnu, I.M., Daili, E.S., Menaldi, S.L. Kusta. dalam
Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. (ed). Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi ke-5. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2007, 21 p

19

You might also like