Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
masalah yang sangat kompleks.1 Aspek fisik penyakit kusta akan berdampak pada
otonom, dan motorik. Pada saraf sensori akan terjadi anestesi sehingga terjadi
luka tusuk, luka sayat, dan luka bakar. Pada saraf otonom akan terjadi kekeringan
kulit yang dapat mengakibatkan kulit mudah retak-retak dan dapat terjadi infeksi
sekunder. Pada saraf motorik akan terjadi paralisis sehingga terjadi deformitas
Cara-cara penularan penyakit kusta sampai saat ini masih merupakan tanda tanya.
Yang diketahui hanya pintu keluar kuman kusta dari tubuh si penderita, yakni
selaput lendir hidung, namun ada juga sumber yang mengatakan bahwa kuman
Penyakit Kusta bila tidak ditangani dengan cermat dapat menyebabkan kecacatan,
dan keadaan ini menjadi penghalang bagi pasien kusta dalam menjalani
di Indonesia. Kasus baru pada 2007 berjumlah 21.430 kasus, kemudian meningkat
1
menjadi 21.538 kasus pada 2008, namun menurun pada tahun 2009 dengan
jumlah 21.062 kasus. Tahun 2010 menunjukkan penurunan lebih besar dibanding
tahun sebelumnya yaitu dengan 19.741 kasus, dan kembali terjadi peningkatan
pada tahun 2011 dengan jumlah kasus mencapai 23.169. Dalam kurun waktu
tersebut secara umum menunjukkan tidak ada perubahan yang berarti terkait
Timur merupakan wilayah high endemic Kusta di Indonesia (CDR > 10/100.000
penduduk) atau dengan kata lain jumlah kasus baru lebih dari 1000 orang per
tahun.5
Selain pengobatan Multy Drug Therapy yang adekuat, kita perlu memahami
penyebab dan cara penularan penyakit Kusta, agar dapat mencegah dan memutus
Dari permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka dalam makalah ini
akan dibahas Etiologi, Patogenesa dan Gejala Klinis dari penyakit Kusta pada
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Kusta merupakan penyakit infeksi menular menahun yang disebabkan oleh
Hansen yang diambil dari nama pendeteksi bacillus Mycobacterium leprae pada
tahun 1873 yaitu Dr. Gerhard Henrik Armauer Hansen, seorang dokter asal
Norwegia. Penyakit ini hanya bisa menular jika terjadi kontak dekat dengan
penderita dalam waktu yang lama.7 Kusta dapat menyebabkan kerusakan pada
kulit, saraf periferal (saraf di luar otak dan medulla spinalis), mata, tulang,
2.2. Epidemiologi
Banyak kasus penyakit kusta terjadi di daerah miskin sumber daya yang
beriklim tropis maupun subtropis atau daerah dengan temperatur hangat. Kusta
seringkali diabaikan.9
3
Kusta dapat terjadi dimanapun seperti di Asia, Afrika, Amerika latin, daerah
Menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 2011 tercatat 226.626
kasus baru Kusta dan meningkat pada tahun 2012 menjadi 232.857 kasus. Tahun
2012 jumlah kasus baru di Indonesia sejumlah 18.994 kasus, sedangkan di Jawa
Tengah pada tahun 2012 dilaporkan terdapat kasus baru tipe Multibasilar (MB)
sebanyak 1.308 kasus dan pada kusta tipe Pausibasilar (PB) sebanyak 211 kasus
dengan Newly Case Detection Rate (NCDR) sebesar 4,57 per 100.000
penduduk.10
menjadi masalah di Indonesia. Kasus baru yang ditemukan pada tahun 2007
berjumlah 21.430 kasus, kemudian meningkat pada tahun 2008 dengan total
21.538 kasus, namun menurun pada tahun 2009 dengan jumlah 21.062 kasus.
yaitu dengan 19.741 kasus, dan kembali terjadi peningkatan pada tahun 2011
dengan jumlah kasus mencapai 23.169. Dalam kurun waktu tersebut secara umum
menunjukkan tidak ada perubahan yang berarti terkait situasi penyakit kusta di
kusta tinggi (high endemic) dan 19 provinsi lainnya (57,6) termasuk dalam beban
4
kusta rendah (low endemic). Pada periode tersebut dilaporkan terdapat 20.023
kasus baru kusta yang terdiri dari kusta tipe Multi Basiler (MB) dengan persentase
penduduk) atau dengan kata lain jumlah kasus baru lebih dari 1000 orang per
tahun. Kasus baru pada tahun 2013 dilaporkan mencapai 4.132 orang dengan
proporsi cacat tingkat II sebesar 13% atau berada di atas rata-rata nasional.
Menurut Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur di Indonesia Jawa Timur tidak
hanya merupakan penyumbang kasus kusta terbesar, tetapi juga memiliki angka
kecacatan yang tinggi dengan proporsi cacat tingkat II sebesar 13% di antara
2.2. Etiologi
1. Faktor Kuman
Kuman penyebab lepra adalah M. leprae yang ditemukan oleh G.A. Hansen
pada tahun 1874 di Norwegia, yang sampai sekarang belum juga dapat dibiakkan
panjang, sisi pararel dengan kedua ujung bulat dengan ukuran 3-8 μm x 0,5 μm.
Basil ini berbentuk gram positif, tidak bergerak dan tidak berspora dapat tersebar
atau dalam berbagai ukuran bentuk kelompok, termasuk massa irreguler besar
5
yang disebut globi. Dengan mikroskop elektron, M. leprae terlihat mempunyai
dinding yang terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan peptidoglikan padat pada
Peptidoglikan terlihat mempunyai sifat spesifik pada M. lepra, yaitu adanya asam
amino glisin, sedangkan pada bakteri lain mengandung alanin.10 Penyakit kusta
bersifat menahun karena bakteri kusta memerlukan waktu hari untuk membelah
penularan walaupun kuman kusta dapat hidup pada Armadillo, Simpanse dan
pada telapak kaki tikus yang mempunyai kelenjar Thymus (Athymic nude mouse).
Tempat masuk kuman kusta ke dalam tubuh host sampai saat ini belum dapat
atas dan melalui kontak kulit yang tidak utuh. Suatu kerokan hidung dari
sebesar 10 -10 . Dan telah terbukti bahwa saluran nafas bagian atas dari penderita
lingkungan. 7,11
6
Sebagian besar manusia kebal terhadap penyakit kusta (95%). Dari hasil
Dari 100 orang yang terpapar: 95 orang tidak menjadi sakit, 3 orang sembuh
sendiri tanpa diobati, 2 orang menjadi sakit, hal ini belum lagi memperhitungkan
pengaruh pengobatan. 11
Seseorang dalam lingkungan tertentu akan termasuk dalam satu dari tiga
terbesar yang telah atau akan menjadi resisten terhadap kuman kusta.
merupakan kelompok terkecil dan bila menderita kusta biasanya tipe MB.
3. Faktor Imunitas
seluler yang dimediasi oleh Th (T Helper) 1, IFN-γ dan interleukin (IL)-2 ) pada
kulit dan saraf, yang menggambarkan adanya respon hipersensitivitas tipe lambat
7
Ketika SIS spesifik efektif dalam mengontrol infeksi dalam tubuh, lesi akan
(PB). Apabila SIS rendah, infeksi menyebar tidak terkendali dan menimbulkan
berubah baik setelah pengobatan atau karena status imunologi yang menghasilkan
peradangan kulit dan atau saraf dan jaringan lain yang disebut reaksi lepra (tipe 1
dan 2). 10
karena penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan
infeksi dengan derajat penyakit disebabkan oleh respon imun yang berbeda, yang
sendiri atau progresif. Oleh karena itu penyakit lepra dapat disebut sebagai
penyebab imunologik. Kelompok umur terbanyak terkena lepra adalah usia 25-35
tahun. 10
Pada tahap awal M. leprae dikenali oleh beberapa reseptor imunitas alamiah
dan lipopeptida lainnya. Lipoglikan lipomanan (LM) dan manosa atau arabinose-
8
capped lipoarabinomanan (ManLAM dan AraLAM) merupakan faktor virulensi
utama pada spesies mikobakterium, berperan sebagai agonis poten TLR1/2 dan
Molekul ini berperan pada pelepasan ROS oleh sel fagosit melalui mekanisme
berperan antara lain TLR 4,6,8 dan 9, sel dendritik, Dectin-1 dan mincle.7,10
Determinan utama diferensiasi sel limfosit T yang naïf menjadi sel Th1
dimediasi oleh antigen presenting cell (APC) dan komplek TLR melalui
pelepasan IL-12. Pada kusta tipe tuberkuloid ekspresi IL-12 ditemukan 10 kali
lipat lebih tinggi dibanding kusta tipe lepromatosa. Pelepasan IL12 juga dimediasi
oleh TLR 1 dan 2 dan CD40 dimana ekspresi TLR maupun CD40 ini ditemukan
lebih banyak pada lesi tuberkuloid dibanding lepromatosa. Hal ini menjelaskan
mengapa pada kusta tipe lepromatosa terjadi kegagalan pembentukan Th1 dan
M. leprae. Makrofag memiliki 2 fungsi utama yaitu sebagai APC melalui molekul
kepada sel CD8+ dan CD4+ serta sebagai fagositosis bakteri patogen melalui
infeksi berperan dalam melepaskan sitokin termasuk TNF-α sebagai hasil dari
stimulasi M. leprae utuh maupun komponen dinding sel. Stimulasi makrofag oleh
9
Produk utama reaktivasi makrofag adalah ROS dan nitric oxide (NO).
Produksi ROS diperantarai oleh fagosit oksidase suatu enzim multisubunit yang
diaktivasi terutama oleh IFN-γ dan sinyal dari TLR. Fagosit oksidase berfungsi
mengubah ion halida menjadi asam hipoklorat yang bersifat reaktif. Proses ini
NO. Nitric oxide dibentuk dari aktivasi enzim inducible nitric oxide synthase
(iNOS). Enzim ini merupakan enzim sitosolik yang terinduksi sebagai respon
dengan IFN-γ. Enzim iNOS mengkatalisasi konversi arginin menjadi sitrulin dan
Sel schwann pada saraf perifer merupakan target utama infeksi oleh M.
leprae. Kerusakan saraf perifer dapat disebabkan secara langsung oleh M. leprae
schwann melalui ikatan PGL-1 dengan domain G pada rantai α2 laminin-2 yang
10
berperan memediasi masuknya M. leprae menuju ke intraseluler sel Schwann,
aktivasi ErB2 dan Erk1/2 dan aktivasi Mitogen Activated Protein (MAP) kinase
Demyelinisasi oleh M. leprae akan memicu invasi lebih lanjut karena M. leprae
lebih menyukai unit akson yang tidak bermyelin. Mekanisme kerusakan saraf
secara langsung ini terutama berperan pada kusta tipe multibasilar. Hipotesis
kerusakan saraf yang dimediasi oleh sistem imun diduga disebabkan karena
pelepasan sitokin proinflamasi antara lain TNF, IL-12, IL-16, IL-18, 1L-15 dan
IL-1β oleh monosit atau makrofag. Protein 19-kDa yang dikenali oleh TLR1/2
menginduksi pelepasan sitokin proinflamasi dan apoptosis sel Schwann, selain itu
sel Schwann yang terpapar secara in vitro terhadap neuron yang mengalami
nekrosis memproduksi TNF dan nitric oxide (NO) yang merupakan mediator
inflamasi poten. Pada tingkat jaringan, kerusakan saraf disebabkan karena influks
sel imunitas dan cairan interstisial (edema) pada saraf sehingga terjadi kompresi
dan iskemia.10
lepra. Ketika SIS spesifik efektif dalam mengontrol infeksi dalam tubuh, lesi akan
(PB). Apabila SIS rendah, infeksi menyebar tidak terkendali dan menimbulkan
lepra dengan tipe Multibasilar (MB) dapat dilihat pada gambar 1. Kadang-kadang
respon imun tiba-tiba berubah baik setelah pengobatan atau karena status
11
imunologi yang menghasilkan peradangan kulit dan atau saraf dan jaringan lain
10
yang disebut reaksi lepra (tipe 1 dan 2).
12
1. Lesi kulit yang mati rasa
(Lihat gambar 2.a) dan bisa juga kemerahan atau eritematous (Lihat
a. b.
peradangan kronis saraf tepi (neuritis perifer) dan tergantung area yang
13
Gambar 3. Penebalan N. Aurucularis Magnus12
Bahan pemeriksaan diambil dari kerokan kulit (skin smear) pada cuping
telinga serta bagian aktif suatu lesi kulit. Bila pada kulit atau saraf
seseorang ditemukan kelainan yang tidak khas untuk penyakit kulit lain
Untuk menegakkan diagnosis kusta, diperlukan paling sedikit satu tanda utama.
Tanpa tanda utama, seseorang hanya boleh ditetapkan sebagai tersangka (suspek)
kusta.
Menurut WHO 1988 dalam Mardika (2004) membagi Kusta atas dua tipe
yaitu 12 :
smear negatif
14
2. Multibacillary (MB), indeks bakteri ≥ 2+, termasuk tipe BT smear positif,
Perbedaan MH tipe PB dan MB, dapat dilihat pada gejala klinis yang
timbul pada pasien. Perbedaannya terletak pada bercak (makula), infiltrat, nodul,
penebalan saraf tepi, deformitas, sediaan apus, dan ciri khusus. Selengkapnya
15
BAB III
PENUTUP
menular yang menimbulkan masalah yang sangat kompleks.1 Aspek fisik penyakit
kusta akan berdampak pada lesi di kulit dan kecacatan tubuh penderita2
Kasus Kusta yang ditemukan pada tahun 2007 berjumlah 21.430 kasus,
kemudian meningkat pada tahun 2008 dengan total 21.538 kasus, namun menurun
pada tahun 2009 dengan jumlah 21.062 kasus. Tahun 2010 menunjukkan
penurunan lebih besar dibanding tahun sebelumnya yaitu dengan 19.741 kasus,
dan kembali terjadi peningkatan pada tahun 2011 dengan jumlah kasus mencapai
23.169. Dalam kurun waktu tersebut secara umum menunjukkan tidak ada
perubahan yang berarti terkait situasi penyakit kusta di Indonesia, hal tersebut
kesehatan. 5
Etiologi dari penyakit Kusta dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu faktor kuman,
16
Faktor kuman berupa Mycobacterium Leprae. Sumber penularan adalah dari
pernafasan bagian atas dan melalui kontak kulit yang tidak utuh. Sedangkan faktor
imunitas tiap manusia berbeda. Ketika SIS spesifik efektif dalam mengontrol
infeksi dalam tubuh, lesi akan menghilang secara spontan atau menimbulkan lepra
dengan tipe Pausibasilar (PB). Apabila SIS rendah, infeksi menyebar tidak
Pada penyakit kusta, dapat dengan mudah dikenali karena memiliki gejala
diperlukan paling sedikit satu tanda utama. Tanpa tanda utama, seseorang hanya
17
Daftar Pustaka
18
8. Robbins, Gwen, et al. Ancient Skeletal Evidence for Leprosy in India
(2.000 B.C.) 2009, Vol.4, No.5, pp 56-69.
12. Kosasih, A., Wisnu, I.M., Daili, E.S., Menaldi, S.L. Kusta. dalam
Djuanda, A., Hamzah, M., Aisah, S. (ed). Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi ke-5. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2007, 21 p
19