You are on page 1of 4

Terapi baru pada dermatitis atopik:

Tambahan kelas perawatan

Latar Belakang: Serangakaian agen obat-obatan sedang dipelajari untuk pengobatan dermatitis atopik (AD),
termasuk topikal, sistemik, dan agen biologis.

Objektif: Untuk meninjau efek dan keamanan agen yang kini sedang dipelajari untuk pengobatan AD.

Metode. PubMed dan Clinical Trials.gov merupakan target pencarian untuk menilai agen yang sebelumnya tidak
dijelaskan pada pengobatan AD. Pencarian utama tertuju pada uji coba acak terkontrol, tapi jenis studi lainnya
juga disertakan jika bersangkutan.

Hasil: Data mengenai agen berikut terlampir: omiganan (antimicrobial peptide), tapinarof (NSAID), PR022
(hypochlorous acid), asimadoline (a k-opioid agonist), DS107 (dihomo-glinolenic acid), ZPL-389 (a histamine
H4 receptor antagonist), secukinumab (an interleukin 17A inhibitor), and fezakinumab (interleukin 22 inhibitor).

Limitasi: Data yang tersedia terbatas.

Kesimpulan: Berbagai macam agen dengan mekanisme kerja yang unik dipelajari dapat menjadi pengobotan
Atopic Dermatitis.

Kata Kunci: asimadoline; atopic dermatitis; emerging agents; fezakinumab; hypocholrous acid; omiganan;
secukinumab; tapinarof.

SINGAKTAN
AD : Atopic Dermatitis
AE : Adverse Effect
AhR: aryl hydrocarbon receptor
AMP : antimicrobial peptide
EFA : essential fatty acids
HOCl : hypochlorous acid
IGA : Investigator’s Global Assessment
IL : interleukin
NaOCl : sodium hypochlorite
RCT : randomized controlled trial
SCORAD : SCORing Atopic Dermatitis

Dermatitis atopik (AD) merupakan penyakit kulit inflamasi kronis yang mempengaruhi 15% -20% anak-
anak dan 1% - 10% orang dewasa di seluruh dunia. AD dikaitkan tanda dan gejala yang heterogen, termasuk
pruritus, xerosis, dan relaps kronis, dengan lesi akut dan likenifikasi pada lesi kronis. Patogenesis AD dipengaruhi
oleh kombinasi faktor genetik, lingkungan, dan imunologis AD sedang-berat membutuhkan imunosupresi
sistemik; Namun, agen-agen ini memiliki efek dan berbagai masalah keamanan. Saat ini, kebutuhan akan agen
tambahan yang efektif dan aman pada pengobatan AD meningkat. Karena pengetahuan tentang patogenesis AD
yang meningkat, agen yang diarahkan ke berbagai sasaran patogenik telah atau sedang dikembangkan, termasuk
agen yang baru-baru ini dibahas dengan sasaran Interleukin 13 (IL-13) dan IL-31 (IL-31), phosphodiesterase-4,
Janus kinase, neurokinin, dan thymic stromal lymphopoietin. Tujuan artikel ini adalah meninjau mekanisme
beberapa agen ini (Table I).
Topical AGEN
AMP: omiganan
Peptida antimikroba (AMPs) merupakan peptida pendek dalam sistem imun bawaan dan agen antimikroba
yang poten. Meskipun sebagian besar AMP memiliki aktivitas antimikroba, yang lain dapat memodulasi sistem
imun bawaan host untuk meningkatkan clearance patogen. Pasien dengan AD menurunkan produksi AMP,
mengakibatkan kolonisasi mikroba, infeksi bakteri dan virus, dan meningkatkan keparahan penyakit yang diukur
melalui system skor (misalnya, SCORING Dermatitis Atopik [SCORAD]). Pasien dengan AD meningkatan
risiko infeksi kutaneus, multiorgan, dan sistemik yang serius. Terapi AMP meningkatkan sistem kekebalan tubuh
bawaan dan akhirnya menurunkan peradangan kulit dan inhibitor resolusi epidermal. Omiganan merupakan AMP
yang sedang dipelajari sebagai gel topikal untuk berbagai gangguan infeksi dan inflamasi, termasuk acne vulgaris,
condylomata acuminate, neoplasia intraepitel vulva, dan rosacea. Sebuah penelitian, double-blind, placebo-
controlled randomized controlled trial (RCT) menilai farmakokinetik, efikasi, dan keamanan omiganan pada
orang dewasa dengan AD sedang- berat yang baru-baru ini telah selesai (NCT02456480. Gel Omiganan
dilaporkan dapat ditoleransi dengan baik secara keseluruhan tanpa absorpsi sistemik. Meskipun efektivitas terapi
AMP pada AD belum ditentukan, AD dapat digunakan pada infeksi yang berat
Agen NSAID:
Tapinarof
Tapinarof (GSK2894512 [sebelumnya WBI-1001]) merupakan polifenol yang berasal dari bakteri yang
bekerja pada reseptor hidrokarbon aril (AhR) (faktor transkripsi ligan-dependent) dan faktor nuklear erythroid 2-
related factor 2 (protein basic zipper leusin) dan memiliki kemampuan radikal bebas. AhR baru-baru ini terbukti
berperan pada sistem kekebalan tubuh bawaan, sedangkan faktor nuklear erythroid 2-related factor 2 berperan
sebagai pelindung terhadap kerusakan oksidatif yang diinduksi inflamasi.
Keratinosit dengan aktivitas AhR terbukti hiperresponsif terhadap sitokin inflamasi. Menariknya, aktivitas
anti-inflamasi yang bergantung pada AHR diusulkan sebagai mekanisme yang berkontribusi terhadap
keberhasilan terapi tar batubara pada psoriasis. Pengobatan tapinarof pada model hewan terbukti mengurangi
peradangan kulit dan sitokin inflamasi
Sebuah penelitian, double-blind, plasebo-terkontrol RCT mempelajari tapinarof pada orang dewasa
dengan psoriasis (NCT02564042) menemukan bahwa 65% dan 56% pasien dalam kelompok yang menerima
krim tapinarof 1% dua kali sehari dan sekali sehari, masing-masing, mencapai Skor Physcian’s Global
Assessment 0 (clear) atau 1 (almost clear) dengan setidaknya peningkatan 2 poin dari awal dan setidaknya 75%
peningkatan skor Psoriasis dan Severity Index (PASI 75). Sepuluh persen pasien dalam kelompok tapinar tidak
melanjutkan penelitian karena efek samping (AE), karena menjadi dermatitis kontak
Sebuah fase 2, double-blind, plasebo-terkontrol RCT menilai kemanjuran dan keamanan dari 4 minggu tapinarof
topikal 0,5% dan krim 1% pada pasien dengan AD dilakukan pada tahun 2010. Tapinarof menunjukkan
pengurangan yang signifikan pada EASI (59,3% dan 54,9%, masing-masing, vs 7,1% plasebo [P 5,03]),
SCORAD (56,2% dan 50,1%, masing-masing, vs 18,4% plasebo [P5,04]), Investigator's Global Assessment
(IGA) (38,9% dan 45,8%, masing-masing, versus 5,6% plasebo [P5, 003]), dan pruritus (74,0% dan 56,0%,
masing-masing, vs 30,2% plasebo; [P 5,04]) skor dan mempengaruhi luas permukaan tubuh ( 64,4% dan 57,7%,
masing-masing, vs 10,8% plasebo [P 5,03]). RCT pada 2012 menilai efek dan keamanan tapinarof topikal 0,5%
dan krim 1% pada pasien dengan dermatitis ringan-berat selama 6 minggu menunjukkan pengurangan signifikan
pada IGA (-1,3 dan - 1.8, masing-masing, vs -0.5 untuk plasebo [P \ .001]) dengan beberapa kasus dermatitis
kontak AE.
Selain itu , penelitian, double-blind, placebo-terkontrol RCT durasi 12-minggu, yang mempelajari
tapinarof krim 0,5% dan 1% setiap hari dan dua kali sehari pada pasien dengan AD sedang-berat baru-baru ini
selesai (NCT02564055). Proporsi pasien yang menerima tapinarof mencapai skor IGA 0 (jelas) atau 1 (hampir
jelas) dengan setidaknya pengurangan 2 poin (krim harian 0,5% [34%] dan dua kali sehari [37%], krim 1% setiap
hari [46%] dan dua kali sehari [53%] vs plasebo setiap hari [28%] dan dua kali sehari [24%]) dan EASI-75 (0,5%
krim setiap hari [39%] dan dua kali sehari [51%], 1 % krim setiap hari [51%] dan dua kali sehari [60%] vs plasebo
setiap hari [25%] dan dua kali sehari [26%]). Tapinarof juga mengurangi skor pruritus lebih besar dibandingkan
plasebo, dan dapat ditoleransi dengan baik.

Hipoklorit Asam: PR022


Sodium hipoklorit (NaOCl atau pemutih) digunakan sebagai pengobatan mengurangi AD dan kolonisasi
bakteri dari kulit. Meta-analisis terbaru menemukan bleach bath efektif menurunkan AD setelah 4 minggu
pengobatan; Namun, tidak lebih efektif secara signifikan daripada mandi air saja. Hasil ini menunjukkan bahwa
sebagian besar manfaat mandi pemutih berasal dari airnya, bukan pemutih
Hipoklorit acid (HOCl) lebih reaktif dari NaOCl, dengan efek potensi iritasi lebih besar pada kulit. HOCl
terbukti menurunkan berbagai sitokin inflamasi, termasuk tumor necrosis Faktor-alpha, interferon gamma, IL-2,
dan histamin, serta faktor nuklir kappa rantai-ringan dari aktivasi cell B yang dimediasi dalam model
eksperimental. Topikal HOCl dipelajari sebagai pengobatan yang potensial untuk pruritus dan mengurangi
perilaku menggaruk pada model tikus AD. 7 hari pengobatan AD dengan hydrogel topikal yang mengandung
0,008% HOCl dan 0,002% NaOCl secara signifikan mengurangi pruritus. PR022 merupakan formulasi topikal
HOCl yang untuk pengobatan ringan - sedang, dengan studi praklinis menunjukkan perubahan lesi dengan
aplikasi topikal.

AGEN ORAL SISTEMIK


k-opioid agonis: asimadoline
Reseptor opioid dihipotesiskan terlibat dalam porses gatal kulit. aktivitas reseptor -opioid yang lebih besar
dibandingkan aktivitas reseptor k-opioid menghasilkan pruritus. Data awal mengenai penggunaan agonis reseptor
k-opioid pada pruritus menunjukkan manfaat potensial. Nalfurafine, agonis reseptor k-opioid, terbukti secara
signifikan mengurangi pruritus refrakter terkait penyakit ginjal stadium akhir, dan penggunaannya telah disetujui
untuk indikasi ini di Jepang pada tahun 2009. Agonis reseptor k-opioid lainnya juga telah terbukti menghambat
induksi pruritus pada binatang. Asimadoline merupakan agonis reseptor k-opioid yang berperan aktif, secara oral,
yang pada awalnya dikembangkan untuk pengobatan sindrom iritasi usus.
Sebuah penelitian, double-blind, RCT mengevaluasi efektivitas asimadoline pada pasien AD dan pruritus
saat ini dalam tahap perekrutan (NCT02475447). Permeabilitas yang rendah pada sawar darah otak membuat
penggunaan asimadoline cenderung memiliki agonis opioid sentral AE yang minimal.

DGLA: DS107
Gangguan metabolisme asam lemak esensial (EFA) berpotensi berkaitan dengan AD. Penelitian
sebelumnya menunjukkan bahwa kadar asam linoleat EFA meningkat pada pasien dengan DA, sedangkan
metabolitnya, asam dihomo-g-linolenat (DGLA) menurun, kemungkinan karena ketidakmampuan konversi
enzim vital, d-6 desaturase. DGLA merupakan EFA bioaktif dan komponen membran plasma seluler, dan
merupakan prekursor dari banyak metabolit anti-inflamasi. DGLA terbukti lebih rendah pada pasien dengan DA
daripada pada individu yang sehat, dan kadarnya berkorelasi dengan efikasi pengobatan AD. Dalil terbaru bahwa
dalam subset tertentu, disfungsi enzimatik yang mengarah ke tingkat DGLA rendah memainkan peran patogenik
pada DA melalui penurunan aktivitas anti-inflamasi. Konsep pemberian bioaktif fatty-acid secara oral, yang
memperbaiki klinis AD sedang-berat sangat menarik.
Dua penelitian menunjukkan administrasi DGLA mencegah perkembangan AD pada model tikus. Studi-
studi ini berkontribusi pada pengembangan DS107, agen oral yang mengandung DGLA sebagai bahan aktifnya.
Sebuah penelitian, double-blind, plasebo-terkontrol RCT menilai efekn dan keamanan DS107 pada pasien AD
sedan- berat (NCT02211417) menunjukkan pasien yang lbh byk menerima DS107 menurunkan 2 poin IGA untuk
skor 0 (clear) atau 1 (almost clear) dibandingkan pasien yang menerima plasebo selama 8 minggu, tetapi hasil
tidak signifikan secara statistik. Penggunaan DS107 menyebabkan peningkatan signifikan a skor Pruritus dan
Skor Eksim dibandingkan dengan plasebo. DS107 dapat ditoleransi dengan baik, dengan AE yang paling umum
berupa gejala gastrointestinal sementara. Meskipun peran DGLA dalam AD kontroversial, DS107 menunjukkan
hasil yang baik sebagai pengobatan AD. Sebuah penelitian, double-blind, placebo-controlled RCT menilai efikasi
dan keamanan DS107 pada pasien AD sedang-berat saat ini dalam perekrutan (NCT02864498).

Histamin H4 antagonis reseptor: ZPL-389


Histamin merupakan pruritogen yang sering dijumpai pada DA. Namun, terdapat bukti buruk mengenai
kemanjuran antagonis histamin, terutama histamin tipe 1 (H1) dan tipe 2 (H2) antagonis reseptor, dalam
mengurangi pruritus terkait AD, dan penggunaannya sering tidak dapat diandalkan. Baru-baru ini, penelitian juga
menjelaskan peran reseptor histamin tipe 3 (H3) dan tipe 4 (H4) pada pruritus. Aktivitas reseptor H4, yang
ditemukan pada keratinosit dan sel T helper 2, terbukti terlibat dalam peradangan alergi. Pada tikus, agonis
reseptor H4 menunjukkan induksi pruritus, kemungkinan melalui saraf perifer. Antagonis reseptor H4, JNJ-
7777120, terbukti menurunkan pruritus dan perilaku menggaruk pada model hewan dengan alergi. Selain itu,
antagonis reseptor H4 JNJ-39758979 secara signifikan mengurangi pruritus, tetapi dihentikan karena neutropenia.
Menariknya, antagonisme reseptor H4 juga terbukti menghambat pruritus yang resisten terhadap antagonis
reseptor H1. ZPL-389, antagonis reseptor H4, baru-baru ini menyelesaikan uji klinis fase 2 pada pasien DA
menunjukkan peningkatan signifikan skor EASI tetapi tidak menunjukkan pengurangan pruritus secara
signifikan. ZPL-389 secara signifikan menurunkan keparahan AD. Jika penelitian lebih lanjut menunjukkan
antagonis reseptor H4 dapat mengurangi pruritus secara signifikan seperti yang diharapkan, agen-agen ini dapat
menjadi agen terapeutik AD masa mendatanag. Terapi spesifik pruritus saat ini sering tidak memadai dalam
mengendalikan gejala, dan dengan demikian antgonis reseptor H4 dapat menggantikan antihistamin yangsaat ini
digunakan dalam AD, apabila dapat mengurangi keparahan.

AGEN BIOLOGIS
IL 17A inhibitor: secukinumab
IL-17A, yang diproduksi oleh sel T helper 17, terbukti meningkat dalam darah perifer dan pada pasien
DA. IL-17A merangsang respon T helper 2 pada fase akut AD. Namun, peran IL-17A dalam patogenesis AD
tidak diketahui, mungkin berkontribusi pada respon inflamasi pada beberapa pasien DA. Secukinumab
merupakan antibodi monoklonal manusia terhadap IL-17A yang saat ini disetujui US FDA untuk pengobatan
psoriasis plak sedang-berat, psoriatic arthritis, dan ankylosing spondylitis. Sebuah penelitian, RCT terkontrol
menilai kemanjuran dan keamanan secukinumab untuk orang dewasa sedang- berat yang saat ini dalam
perekrutan (NCT02594098). Efek dan keamanan inhibitor IL-17A pada AD dan manfaatnya bagi pasien tetap
harus ditentukan.

IL-22 inhibitor: fezakinumab


IL-22 diproduksi toleh T helper 22 sel dan levelnya ditemukan meningkat pada lesi AD akut dan kronis
dan berkorelasi dengan keparahan DA. IL-22 dapat meningkatkan disfungsi barier epidermal, menginduksi
hiperplasia epidermal, dan menghambat protein kunci yang terlibat dalam diferensiasi epidermal (yaitu, filaggrin
dan loricrin). Namun, apakah IL-22 bersifat patogen atau tidak masih belum diketahui. Fezakinumab (sebelumnya
ILV 094) merupakan antibodi monoklonal manusia terhadap IL-22. Sebuah RCT, placebo-terkontrol yang
berdurasi 12 minggu dari fezakinumab pada orang dewasa sedang-berat baru-baru ini selesai dilaksanakan
(NCT01941537). Hasilnya : SCORAD secara signifikan lebih besar dengan fezakinumab dibandingkan dengan
plasebo pada 12(36,4% vs 22,3% [P \ 0,05]) dan minggu ke- 20 (46,2% vs 22,6% [P \ .01]), tetapi kurang respon
pada pasien AD moderat. Fezakinumab ditolerir dengan baik. Hasil ini menunjukkan peran potensial IL-22 pada
patogenesis AD.

KESIMPULAN
Seiring penelitian terkini dan uji klinis terbaru yang meningkatkan pemahaman kita tentang patogenesis
AD, gambaran farmakoterapi AD semakin meluas dan berkembang pada tingkat yang belum pernah dicapai
sebelumnya. Keanekaragaman pengembangan agen untuk pengobatan AD, termasuk obat topikal, oral, dan agen
biologis, dapat dijadikan terapi baku AD di masa mendatang. Namun diperlukan penelitian dan pengembangan
lebih lanjut untuk menyimpulkan farmakoterapi AD.

You might also like