You are on page 1of 51

BAB I

PENDAHULUAN

Depresi merupakan gangguan mental yang sering terjadi di tengah


masyarakat.Berawal dari stres yang tidak diatasi, maka seseorang bisa jatuh ke
fase depresi.Penyakit ini kerap diabaikan karena dianggap bisa hilang sendiri
tanpa pengobatan. Padahal, depresi yang tidak diterapi dengan baik bisa
berakhir dengan bunuh diri.1
Depresi merupakan salah satu gangguan psikiatrik yang sering ditemukan
dengan prevalensi seumur hidup adalah kira kira 15%. Pada pengamatan yang
universal terlepas dari kultur atau negara prevalensi gangguan depresi berat
pada wanita dua kali lebih besar dari pria. Pada umumnya onset untuk
gangguan depresi berat adalah pada usia 20 sampai 50 tahun, namun yang
paling sering adalah pada usia 40 tahun. Depresi berat juga sering terjadi pada
orang yang tidak menikah dan bercerai atau berpisah.1
Depresi tersebar luas, tetapi jumlah dan rata-rata dari gejala fisik dan
kognitif berhubungan dengan gangguan depresi mayor atau major depressive
disorder (MDD) yang berarti banyak orang tidak menunjukkan gejala
emosional. Satu dari tujuh orang akan menderita gangguan psikososial dari
MDD, beberapa tidak terdiagnosis kecuali dengan kunjungan ke dokter yang
berulang. Dan, tidak hanya dokter keluarga, psikiatri, dan klinisi kesehatan
mental juga harus dapat mendiagnosis depresi. Tingginya prevalensi dari MDD
dengan penyakit medis lainnya menunjukkan bahwa professional kesehatan
dan dokter, ataupun internis atau onkologis atau ahli bedah atau kardiologis
atau neurologis atau spesialis lainnya, juga harus mengenali dan memberikan
tatalaksana depresi klinis pada pasien.1
Menurut PPDGJ III, depresi dapat diklasifikasikan menjadi episode depresi
tunggal (ringan, sedang, berat, lainnya, dan yang tak tergolongkan [YTT]) serta
gangguan depresif berulang.2 Sedangkan menurut Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorder V (DSM-V) pasien yang mengalami hanya episode

1
depresif dikatakan mengalami gangguan depresif berat dan diklasifikasikan
menjadi gangguan depresif berat episode tunggal dan rekuren.3
Depresi dapat menimbulkan gejala somatisasi, dan gangguan somatisasi
dapat menyebabkan depresi. Somatisasi adalah gangguan psikis yang
menyebabkan gangguan fisik. Pendek kata, somatisasi adalah istilah umum
yang menggambarkan adanya gejala medis dijelaskan dan menyiratkan
komponen psikologis dengan gejala adalah penyakit fisik yang disebabkan oleh
pikiran negatif dan/atau masalah emosi. Masalah emosi itu antara lain rasa
berdosa, merasa punya penyakit, stress, depresi, kecewa, kecemasan atau
masalah emosi negatif lainnya. Gangguan ini tidak hanya terjadi pada orang
dewasa, anak-anak pun bisa mengalaminya.4
Perlu diketahui bahwa pikiran dapat menyebabkan gejala fisik. Sebagai
contoh, ketika seseorang takut atau cemas dapat memacu detak jantung yang
cepat, jantung berdebar, merasa sakit, gemetar (tremor), berkeringat, mulut
kering, sakit dada, sakit kepala, dan bernafas cepat. Gejala-gejala fisik tersebut
melalui saraf otak mengirim impuls tersebut ke berbagai bagian tubuh, dan
pelepasan adrenalin ke dalam aliran darah.4

2
BAB II
STATUS PSIKIATRI

A. Identitas Pasien
1) Tanggal MRS : 07 Februari 2018 jam 11.14 WIB
2) Nama : Tn. S
3) Jenis Kelamin : Laki-laki
4) Tempat, Tanggal Lahir : Puwerojo, 23 Januari 1974
5) Umur : 44 tahun
6) Status Perkawinan : Sudah Menikah
7) Bangsa : Indonesia
8) Suku/Bangsa : Jambi/Indonesia
9) Agama : Islam
10) Pendidikan : SD
11) Pekerjaan : Supir
12) Alamat : Desa Petiduran Baru Kec. Mandiangin Kab.
Sarolangun Provinsi Jambi

B. Anamnesis
Keterangan di bawah ini diperoleh dari :
1. Pasien sendiri

C. Keluhan utama :
Pasien datang ke poli jiwa RSJD Provinsi Jambi atas keinginan sendiri untuk
kontrol ulang mengenai penyakitnya.

D. Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang sendiri ke poliklinik RSJD Provinsi Jambi, memakai kaos, celana
katun, dan tampak rapi. Saat memasuki ruangan, pasien terlihat murung. Saat
ditanya nama dan alamat, pasien menjawab dengan benar. os sering berobat ke
rumah sakit karena merasa penyakitnya tidak kunjung sembuh, pengobatan
dilakukan mulai dari berobat 4 kali di RS umum muara bulian, RS medika bulian
sebanyak 1 kali, os pernah dirawat di RSUD raden mataher selama 1 minggu

3
dengan diagnosis radang usus besar, os pernah berobat ke RS Yogyakarta Parsito
sebanyak 1 kali, setelah dilakukan colon in loop, darah rutin, rontgen thorax dan
abdomen semua dalam batas normal, lalu pasien melakukan ct- scan dan
mendapatkan hasil terdapat usus buntu selanjutnya pasien di operasi di RS Siloam,
setelah selesai operasi keluhan masih dirasakan dan semakin memburuk, karena tak
kunjung sembuh os di rujuk dokter siloam untuk berobat di RSJD Provinsi Jambi.
Keluhan pertama os pada 10 November 2017 saat masuk ke poliklinik RSJD
Provinsi Jambi adalah os datang sulit tidur, sakit perut dan terasa panas pada
perutnya, dan menjalar hingga ke dada kiri dan kanan, kepala terasa berdenyut-
denyut, menurut os keluhan os ada dikarenakan sering sakit dan tak kunjung
sembuh, keluhan itu semakin diperberat saat anaknya hampir diperkosa, karena
memikirkan serta merasa bersalah dengan keadaan tersebut os merasa semakin stres
dengan keadaan yang dialaminya os merasa sulit memasuki tidur dan sering
terbangun pada malam hari, karena malu dengan penyakitnya os tidak keluar dari
rumah, dan merasakan jika orang lain menyindirnya karena penyakitnya tidak
sembuh-sembuh, os merasakan kurang minat untuk melakukan hubungan seksual
dengan istrinya, os pernah melakukan percobaan bunuh diri karena tidak sanggup
lagi menahan penyakitnya.
Os merasa sulit tidur ±8 bulan yang lalu, karena memikirkan penyakit yang
dideritanya serta kejadian anaknya tersebut. Karena sulit tidur os merasa sakit
kepala hingga terguling-guling, merasa badanya panas, seluruh badan terasa pegal-
pegal dan os menjadi gelisah. Os merasa sedih, cemas dan mudah tersinggung.
Sejak ±6 bulan yang lalu os tidak mau bekerja lagi dan malas keluar rumah. Os
mengatakan jika bekerja mudah lelah. Os merasa nafsu makannya berkurang. Os
tidak pernah merasakan gembira yang berlebihan dan kepercayaan diri yang
meningkat sebelumnya.
Pada tanggal 23 November 2017 os melanjutkan obat yang diberikan poliklinik
RSJD dan mengatakan susah tidur, kurang nafsu makan dan kepala masih terasa
sakit, dan pada tanggal 06 Desember 2017 os kembali datang ke RSJD Provinsi
Jambi, os melanjutkan obat yang diberikan, cemas semakin berkurang, namun nafsu
makan semakin menurun dan terasa sakit kepala. Kunjungan terakhir os pada

4
tanggal 07 Februari 2018 os mengatakan keluhan semakin membaik, pada tanggal
24 Februari kami menelpon os dan mengatakan jika os masih merasa sedih, masih
mengurung diri di dalam rumah, os masih merasa malu, os merasakan mudah
marah, os masih merasa bersalah dengan kejadian masa lalunya, pola tidur os
semakin membaik, os bekerja sebagai supir karet dan itu hanya dilakukan sesekali
saja untuk membantu kakaknya, nafsu makan os juga belum terlalu membaik.

E. Riwayat Penyakit Dahulu


 Gangguan mental dan emosi : os terlihat sedih karena penyakitnya tidak
kunjung sembuh, os merasa perutnya sangat sakit dan mencari pertolongan
ke setiap rumah sakit, os pernah berobat 4 kali di RS umum muara bulian,
RS medika bulian sebanyak 1 kali, os pernah dirawat di RSUD raden
mataher selama 1 minggu dengan diagnosis radang usus besar, os pernah
berobat ke RS Yogyakarta Parsito sebanyak 1 kali, karena tak kunjung
sembuh os berobat di RSJD Provinsi Jambi. Pengobatan ini os lakukan sejak
tahun 2017
 Kondisi medik : os pernah menjalani operasi appendisitis
pada tahun 2017 dan menderita gastritis.
 Gangguan neurologis : sakit kepala (+), trauma kepala (-),
gangguan penglihatan (-), kejang (-)

F. Riwayat Keluarga
Pasien merupakan anak dari pasangan Tn.D dan Ny.T, pasien anak ke-3 dari 5
bersaudara. Tidak terdapat adanya keluhan yang sama pada keluarga pasien.

5
GENOGRAM :

Keterangan :

: Laki-laki

: Perempuan

: Pasien

1. Riwayat prenatal dan perinatal


Pasien lahir setelah dikandung selama 9 bulan, merupakan kehamilan yang
diharapkan dan direncanakan, lahir spontan dibantu oleh bidan dan tidak ada
penyulit dalam proses kehamilan atau persalinan. Pasien lahir dengan berat
badan cukup dan tidak memiliki kelainan fisik.
2. Masa kanak-kanak awal ( kelahiran sampai usia 3 tahun )
a. Kebiasaan makan dan minum
Tidak diketahui dengan pasti oleh pasien.
b. Perkembangan awal
Sepengetahuan pasien, secara umum kesehatan pasien baik,
pertumbuhan dan perkembangan tampak normal seperti anak lainnya.
c. Toilet training
Tidak diketahui bagaimana toilet training diajarkan oleh ibunya.
d. Gejala-gejala dari gangguan perilaku
Tidak ada.
e. Kepribadian dan temperamen

6
Pasien termasuk anak yang penurut, ceria dan tidak rewel.
3. Masa kanak-kanak menengah ( usia 3 – 11 tahun )
Pertumbuhan dan perkembangan pasien sama seperti anak seusianya. Pasien
merupakan anak yang memiliki banyak teman dan bisa bergaul dengan
teman sebayanya di lingkungan sekitar rumahnya.
4. Masa kanak-kanak akhir (pre-pubertas hingga remaja)
a. Hubungan sosial
Pasien merupakan anak yang memiliki banyak teman dan bisa bergaul
dengan teman sebayanya di lingkungan sekitar rumahnya. Pasien tidak
pernah bermasalah dalam menjalin hubungan pertemanan. Namun
pasien cenderung tertutup mengenai masalah yang ia miliki.
b. Riwayat sekolah
Pasien hanya tamat SD atas kemauan sendiri
c. Perkembangan kognitif dan motorik
Sesuai dengan anak seusianya
d. Masalah emosi dan fisik masa remaja
Pasien mempunyai sifat sangat percaya diri dan terbuka
e. Riwayat Psikoseksual
Ketertarikan awal pada lawan jenis, pasien mulai merasakan
ketertarikan pada lawan jenis sejak umur 16 tahun. Kegiatan seksual
pranikah tidak ada.
5. Masa dewasa
a. Riwayat pekerjaan
Pasien bekerja sebagai supir karet dari Sarolangun menuju Jambi atau
sebaliknya.
b. Riwayat perkawinan dan relasi
Pasien mulai tertarik dengan lawan jenis ketika umur 18 tahun. Pasien
menikah saat berusia 21 tahun dan dikaruniai 2 orang anak. Hubungan
pasien dengan istri sedikit bermasalah hingga saat ini, perkawinan os
tidak direstui oleh mempelai wanita, keluarga istri os sering menyindir
os karena berasal dari keluarga tidak mampu, hingga saat ini

7
komunikasi dengan keluarga perempuan masih sangat minim. Saat os
sakit, os sering bertengkar dengan istrinya, karena os menganggap
istirnya tidak memperdulikan penyakit os, namun saat ini hubungan
dengan istri os membaik, tapi os masih merasakan kurangnya minat
untuk melakukan hubungan seksual. Os merasa semakin tertekan saat
anaknya hampir diperkosa, os merasa sangat sedih dan keluhan semakin
berat.
c. Aktifitas sosial
Sebelum sakit, pasien cukup aktif mengikuti acara-acara, pasien suka
berosialisasi, sering ikut di setiap kegiatan. Hubungan pasien dengan
lingkungan dan tetangga sekitar baik. Tidak pernah terlibat
permusuhan.
d. Latar belakang agama
Kehidupan beragama pasien cukup baik, dalam kehidupannya pasien
taat beribadah.
e. Riwayat hukum
Pasien tidak pernah memiliki masalah hukum dan tidak mempunyai
pengalaman militer.

G. Pemeriksaan
1. Pemeriksaaan tanda vital
Keadaan umum
 Kesadaran : Kompos mentis
 TD : 120/70 mmHg
 Nadi : 80 x/menit
 Suhu : 36,5oC
 RR : 18 x/menit
 Tinggi Badan : 157 cm
 Berat Badan : 58 kg
 IMT : 23,57 (kelebihan BB)
 Pemeriksaan Kepala dan Leher : Dalam batas normal

8
 Pemeriksaan Thorak : Dalam batas normal
 Pemeriksaan Abdomen : Post operasi appendisitis
 Pemeriksaan Ekstremitas : Dalam batas normal

2. Pemeriksaan Neurologis :
 GCS : 15
 Pemeriksaan Nervus Cranialis : dalam batas normal
 Pemeriksaan Reflek Fisiologis : (+), dalam batas normal
 Pemeriksaan Reflek Patologis : (-), dalam batas normal
 Pemeriksaan Psikometrik : Tidak dilakukan pemeriksaan

3. Pemeriksaan Penunjang Lainnya : Tidak dilakukan pemeriksaan

H. Status Psikiatri :
1. Keadaan umum :
- Penampilan : Pasien datang dalam keadaan tenang,
penampilan sesuai usianya, kondisi fisik terlihat sehat, pakaian yang
cukup rapi, raut wajah murung.
- Kesadaran : Compos Mentis
- Orientasi : a. Waktu : Baik
b. Tempat : Baik
c. Orang : Baik
- Sikap dan tingkah laku : Kooperatif
2. Gangguan berpikir
- Bentuk pikir : Realistik
- Arus pikir : Koheren
- Isi pikir : Preokupasi pada masalah kesehatan
3. Afek, mood, dan emosi lainnya :
Afek : Sesuai
Mood : Irritabel

9
4. Presepsi :
Halusinasi : (-) Disangkal
Ilusi : (-) Disangkal
5. Fungsi intelektual
- Daya konsentrasi : Baik
- Orientasi : a. Waktu : Baik
b. Tempat : Baik
c. Orang : Baik
Daya ingat : a. Segera (immediate) : Baik
b. Baru saja (recent) : Baik
c. Agak lama (recent past) : Baik
d. Jauh (remote) : Baik
6. Pikiran Abstrak :
Baik
7. Pengendalian impuls :
Baik
8. Daya nilai :
Baik
9. Tilikan :
Derajat 6 (Menyadari sepenuhnya tentang situasi dirinya disertai morivasi
untuk mencapai perbaikan )
10. Taraf dapat dipercaya :
Cukup dapat dipercaya
11. Pemeriksaan psikiatrik khusus lainnya :
Pengukuran derajat depresi (HDRS)
No Aspek-aspek HDRS Nilai
1. Keadaan perasaan depresi 1
2. Perasaan bersalah 2
3. Bunuh diri 4
4. Insomsia (initial) 2

10
5. Insomnia (middle) 2
6. Insomnia (late) 2
7. Kerja dan kegiatannya 1
8. Kelambanan 0
9. Kegelisahan / agitasi 1
10. Ansietas somatik 1
11. Ansietas psikis 2
12. Gejala somatik gastrointestinal 2
13. Gejala somatik umum 1
14. Genital 2
15. Hipokondriasis 2
16. Kehilangan berat badan ( A+B ) 3
17. Insight ( pemahaman diri ) 0
18. Variasi lain 0
19. Depersonalisasi dan derealisasi 1
20. Gejala-gejala paranoid 3
21. Gejala-gejala obsesi dan kompulsi 0
TOTAL 32
Jika total nilai :
- Kurang dari 17 : tidak ada depresi
- 17-24 : depresi ringan
- 25-34 : depresi sedang
- 35-51 : depresi berat
- 52-58 : depresi berat sekali
Dari pengukuran HDRS didapatkan nilai 32 point artinya adalah os
mengalami depresi sedang.

11
Zung self-rating depression scale
Pertanyaan Hanya Kadang- kadang Cukup sering Hampir sepanjang
sedikit waktu
1. Saya merasa tidak bersemangat dan 1 2 3 4
sedih
2. Saya merasa paling semangat pada pagi 4 3 2 1
hari
3. Saya menangis atau merasa seperti ingin 1 2 3 4
menangis
4. Saya makan sebanyak yang saya bisa 1 2 3 4
makan
5. Saya mengalami kesulitan tidur pada 4 3 2 1
malam hari
6. Saya masih menikmati seks 4 3 2 1
7. Saya merasa berat badan saya turun 1 2 3 4
8. Saya mengalami masalah konstipasi 1 2 3 4
9. Jantung saya berdetak lebih cepat dari 1 2 3 4
normal
10. Saya merasa lelah tanpa alasan tertentu 1 2 3 4
11. Pikiran saya jernih seperti biasanya 4 3 2 1
12. Saya merasa mudah melakukan hal-hal 4 3 2 1
yang biasa saya lakukan
13. Saya merasa gelisah dan tidak dapat 1 2 3 4
tenang
14. Saya merasa penuh harapan akan masa 4 3 2 1
depan
15. Saya lebih mudah tersinggung daripada 1 2 3 4
biasanya
16. Saya merasa mudah membuat keputusan 4 3 2 1
17. Saya merasa saya berguna dan 4 3 2 1
dibutuhkan
18. Hidup saya cukup bermakna 4 3 2 1
19. Saya merasa orang lain akan lebih baik 1 2 3 4
jika saya mati
20. Saya masih menikmati hal-hal yang 4 3 2 1
biasa saya lakukan
Interpretasi Zung self-rating depresion scale
- 20-44 : Normal
- 40-59 : Depresi ringan
- 60-69 : Depresi sedang
- > 70 : Depresi berat
Dari kuesioner tersebut didapatkan hasil 64 yang berarti os mengalami depresi
sedang, hasil ini memiliki kesamaan dengan kuesioner HDRS.

12
I. Differensial diagnosis
1) F32.1.11 Episode depresi sedang dengan gejala somatik
2) F41.1 Gangguan cemas menyeluruh
3) F31.3.31 Gangguan afektif bipolar episode kini depresi ringan sedang
dengan gejala somatik
4) F.45.0 Gangguan somatisasi

J. Diagnosis Multiaksial
1) Aksis 1 : F32.1.11 Episode depresi sedang dengan gejala somatik
2) Aksis 2 : Tidak ditemukan
3) Aksis 3 : Post operasi appendisitis
4) Aksis 4 : Masalah keluarga
5) Aksis 5 : GAF scale tertinggi 1 tahun terakhir (80-91) berupa gejala minimal,
berfungsi baik, cukup puas, tidak lebih dari masalah harian yang biasa. GAF
scale saat ini 60-51 (gejala sedang, disabilitas sedang)

J. Tatalaksana
1. Non farmakologis
1. Psikoterapi suportif
Psikoterapi suportif selalu diindikasikan. Berikan kehangatan,
empati, pengertian, dan optimistik. Bantu pasien mengindentifikasi dan me
ngekspresikan hal-hal yang membuatnya prihatin dan melontarkannya.
Identifikasi faktor pencetus dan bantu untuk mengoreksinya
serta memecahkan problem eksternal.5
2. Terapi kognitif
Terapi kognitif bertujuan untuk menghilangkan simtomp depresi melalui
usaha yang sistematis yaitu merubah cara piker maladaptive dan otomatik
pada pasien-pasien depresi. Pasien harus menyadari cara berpikirnya yang
salah. Kemudian, ia harus belajar merespin cara piker yang salah tersebut
dengan cara yang lebih adaptif. Dari perspektif kognitif, pasien dilatij untuk
mengenal dan menghilangkan pikiran negatif dan harapan negatif.

13
3. Edukasi
Menyarankan kepada keluarga untuk pentingnya dukungan kepada pasien,
jangan membatasi aktivitas pasien, ajak pasien bergembira, kurangi hal-hal
yang dapat meningkatkan stresor.Berdiskusi terhadap pentingnya pasien
untuk teratur minum obat dan kontrol selain itu kembali menyibukan diri
seperti aktivitas dulu, kembali melakukan hal-hal yang menyenangkan,
jangan menyimpan emosi, bila mungkin bisa kontrol ke psikiater.5
2. Terapi Farmakologi
a. Nudep 50 mg 1x1
b. Alganax 0,5 mg, Abilify 2mg, Luften 25 mg 1x1 (Racikan)
c. Lansoprazol tab 30 mg 1x1

K. Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad fungsional : Dubia ad bonam
Quo ad sanactionam : Dubia ad bonam

14
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Depresi adalah bagian dari kelompok gangguan suasana perasaan
(mood) yang memiliki gejala utama : afek depresif,hilangnya minat
kegembiraan, berkurangnya energi sehingga mudah lelah dan menurunkan
aktivitas dirinya. Gejala lainnya antara lain : konsentrasi dan perhatian
berkurang, harga diri dan kepercayaan diri berkurang, merasa bersalah dan
tidak berguna, memiliki pandangan masa depan yang suram, terdapat
gagasan yang membahayakan seperti bunuh diri, siklus tidur terganggu,
dan nafsu makan berkurang. Tampilan depresi dapat bermacam - macam
tergantung usia,pada usia yang lebih tua lebih serring didapatkan gejala
yang simptomatik.6
Depresi menyebabkan penurunan status kesehatan seseorang,
disamping itu berkurangnya, motivasi, emosi dan kemampuan kognitif
menyebabkan individu dengan depresi menjadi tidak dapat berfungsi
secara efektif sehingga terdapat ketegantungan, kehilangan kepercayaan
diri, termasuk penurunan kemampuan berkomunikasi hingga terjadi
gangguan hubungan sosial yang dapat memperburuk kondisi kesehatannya,
terutama bagi penderita penyakit kronis dan berulang. Depresijuga dapat
memperparah penyakit, distress dan meningkatkan disabilitas, Depresi
yang dikombinasikan dengan penyakit kronik akan memperburuk kondisi
kesehatan dan meningkatka resiko kematian.6

3.2 Epidemiologi
Gangguan depresi paling sering terjadi dengan prevalensi seumur hidup sekitar
15 persen. Penderita perempuan dapat mencapai 25 persen, sekitar 10 persen di
perawatan primer dan 15 persen dirawat dirumah sakit. Pada anak sekolah
didapatkan prevalensi sekitar 2 persen,dan usia remaja 5 persen.1

15
1. Jenis kelamin. Perempuan dua kali lipat lebih besar dibandingkan laki-laki.
Diduga adanya perbedaan hormon, pengaruh melahirkan, perbedaan
stressor psikososial antara laki-laki dan perempuan, dan model perilaku yag
dipelajari tentang ketidakberdayaan.1
2. Usia. Rata-rata usia sekitar 40 tahunan. Hampir 50 persen awitan diantara
usia 20-50 tahun. Gangguan depresi berat dapat timbul pada masa anak-
anak atau lanjut usia. Data terkini menunjukkan,gangguan depresi diusia
kurang dari 20 tahun mungkin berhubungan dengan meningkatnya
pengguna alkohol dan penyalahgunaan zat dalam kelompok usia tersebut.1
3. Status perkawinan. Paling sering terjadi pada orang yang tidak mempunyai
hubungan interpersonal yang erat atau pada mereka yang bercerai atau
berpisah. Perempuan yang tidak menikah memiliki kecenderungan lebih
rendah untuk menderita depresi dibandingkan dengan yang menikah namun
hal ini berbanding terbalik untuk laki-laki.1
4. Faktor sosioekonomi dan budaya. Tidak ditemukan korelasi antara status
sosioekonomi dan gangguan depresi berat. Depresi lebih sering terjadi di
daerah perdesaan dibandingkan perkotaan.1

Sedangkan prevalensi gangguan somatisasi pada populasi umum


diperkirakan 0,2 – 2%. Prevalensi gangguan somatisasi pada wanita di populasi
umum adalah 1–2 %. Rasio penderita wanita dibanding laki-laki adalah 5
berbanding 1 dan biasanya gangguan mulai pada usia dewasa muda (sebelum
usia 30 tahun). Beberapa peneliti menemukan bahwa gangguan somatisasi
seringkali bersama-sama dengangangguan mental lainnya.2

3.3 Etiologi dan Patofisiologi


1. Faktor genetik
Dari penelitian keluarga didapatkan gangguan depresi mayor dan
gangguan bipolar terkait erat dengan hubungan saudara; juga pada anak
kembar, suatu bukti adanya kerentanan biologik, pada genetik keluarga
tersebut.6

16
Data genetik dengan kuat menyatakan bahwa suatu faktor penting di dalam
perkembangan gangguan mood adalah genetika. Tetapi, pola penurunan
genetika adalah jelas melalui mekanisme yang kompleks. Bukan saja tidak
mungkin untuk menyingkirkan efek psikososial, tetapi faktor non genetik
kemungkinan memainkan peranan kausatif dalam perkembangan gangguan
mood pada sekurangnya beberapa orang. Penelitian keluarga menemukan
bahwa sanak saudara derajat pertama dari penderita gangguan depresif berat
berkemungkinan 2 sampai 3 kali lebih besar daripada sanak saudara derajat
pertama.6

2. Faktor Biokmia
Sejumlah besar penelitian telah melaporkan berbagai kelainan di dalam
metabolit amin biogenik yang mencakup neurotransmitter norepinefrin,
serotonin dan dopamine (Gambar 2.1.4.1). Dalam penelitian lain juga
disebutkan bahwa selain faktor neurotransmitter yang telah disebutkan di atas,
ada beberapa penyebab lain yang dapat mencetuskan timbulnya depresi yaitu
neurotransmitter asam amino khususnya GABA (Gamma-Aminobutyric Acid)
dan peptida neuroaktif, regulasi neurendokrin dan neuroanatomis.6
Pada regulasi neuroendokrin, gangguan mood dapat disebabkan terutama
oleh adanya kelainan pada sumbu adrenal, tiroid dan hormon pertumbuhan.
Selain itu kelainan lain yang telah digambarkan pada pasien dengan gangguan
mood adalah penurunan sekresi nocturnal melantonin, penurunan pelepasan
prolaktin terhadap pemberian tryptophan, penurunan kadar dasar FSH (Follicle
Stimullating Hormon) dan LH (Luteinizing Hormon), dan penurunan kadar
testosteron pada laki-laki.5

17
Gambar. Mekanisme terjadinya depresi dengan etiologi neurotransmitter

Ada dua hipotesis terjadinya depresi secara biokimia, yaitu:

a. Hipotesis Katekolamin
Beberapa penyakit depresi berhubungan dengan defisiensi katekolamin
pada reseptor otak. Reserpin yang menekan amina otak diketahui kadang-
kadang menimbulkan depresi lambat.5
Disamping itu, MHPG (Metabolit primer noradrenalin otak) menurun
dalam urin pasien depresi sewaktu mereka mengalami episode depresi dan
meningkat di saat mereka gembira.6
b. Hipotesis Indolamin
Hipotesis indolamin membuat pernyataan serupa untuk 5-
hidroxitriptamin (5 HT). metabolit utamnya asam 5-hidroksi indolasetat
(5HIAA) menurun dalam LCS pasien depresi, dan 5 HIAA rendah pada otak
pasien yang bunuh diri. L-Triptofan, yang mempunyai efek antidepresi
meningkatkan 5HT otak.6

18
3. Faktor Hormon
Kelainan depresi mayor dihubungkan dengan hipersekresi kortisol dan
kegagalan menekan sekresi kortisol sesudah pemberian dexametason. Pasien
depresi resisten terhadap penekanan dexametason dan hasil abnormal ini
didapatkan pada sekitar 50% pasien, terutama pada pasien dengan depresi
bipolar, waham dan ada riwayat penyakit ini dalam keluarga.5
Wanita dua kali lebih sering dihubungkan dengan pruerperium atau
menopause. Bunuh diri dan saat masuk rumah sakit biasanya sebelum
menstruasi. Selama penyakit afektif berlangsung sering timbul amenore. Hal ini
menggambarkan bahwa gangguan endokrin mungkin merupakan faktor penting
dalam menentukan etiologi.6
4. Faktor Kepribadian Premorbid
Personalitas siklotimik menjadi sasaran gangguan afek ringan selama
hidupnya, keadaan ini tidak berhubungan dengan penyebab eksterna.
Kepribadian depresi ditunjukkan dengan perilaku murung, pesimis dan kurang
bersemangat. Personalitas hipomania berperilaku lebih riang, energetik dan
lebih ramah dari rata-rata.5
Mereka dengan rasa percaya diri rendah, senantiasa melihat dirinya dan
dunia luar dengan penilaian pesimistik. Jika mereka mengalami stres besar,
mereka cenderung akan mengalami depresi. Para psikolog menyatakan bahwa
mereka yang mengalami gangguan depresif mempunyai riwayat pembelajaran
depresi dalam pertumbuhan perkembangan dirinya. Mereka belajar seperti
model yang mereka tiru dalam keluarga, ketika menghadapi masalah
psikologik maka respon mereka meniru perasaan, pikiran dan perilaku
gangguan depresif. Orang belajar dengan proses adaptif dan maladaptif ketika
menghadapi stres kehidupan dalam kehidupannya di keluarga, sekolah, sosial
dan lingkungan kerjanya. Faktor lingkungan mempengaruhi perkembangan
psikologik dan usaha seseorang mengatasi masalah. Faktor pembelajaran
sosial juga menerangkan kepada kita mengapa masalah psikologik kejadiannya
lebih sering muncul pada anggota keluarga dari generasi ke generasi. Jika anak
dibesarkan dalam suasana pesimistik, dimana dorongan untuk keberhasilan

19
jarang atau tidak biasa, maka anak itu akan tumbuh dan berkembang dengan
kerentanan tinggi terhadap gangguan depresif.6
5. Faktor Lingkungan
Enam bulan sebelum depresi, pasien depresi mengalami lebih banyak
peristiwa dalam hidupnya. Mereka merasa kejadian ini tidak memuaskan dan
mereka keluar dari lingkungan social. 80% serangan pertama depresi didahului
oleh stress, tetapi angka ini akan jatuh menjadi hanya 50% pada serangan
berikutnya. Pasien depresi diketahui juga lebih sering pada anak yang
kehilangan orang tua di masa kanak-kanak dibandingkan dengan populasi
lainnya.5
Menurut Freud, kehilangan obyek cinta, seperti orang yang dicintai,
pekerjaan tempatnya berdedikasi, hubungan relasi, harta, sakit terminal, sakit
kronis dan krisis dalam keluarga merupakan pemicu episode gangguan
depresif. Seringkali kombinasi faktor biologik, psikologik dan lingkungan
merupakan campuran yang membuat gangguan depresif muncul.6
Satu pengamatan klinis yang telah lama direplikasi adalah bahwa peristiwa
kehidupan yang menyebabkan stress lebih sering mendahului episode pertama
gangguan mood daripada episode selanjutnya.Satu teori yang diajukan untuk
menjelaskan pengamatan tersebut adalah bahwa stress yang menyertai episode
pertama menyebabkan perubahan biologi otak yang bertahan lama. Perubahan
yang bertahan lama tersebut dapat meyebabkan perubahan keadaan fungsional
berbagai neurotransmitter dan sistem pemberi sinyal intraneuronal. Hasil akhir
dari perubahan tersebut akan menyebabkan seseorang berada pada resiko yang
lebih tinggi untuk menderita episode gangguan mood selanjutnya, bahkan
tanpa adanya stresor external.5
3.4 Patofisiologi Somatisasi
Patofisiologi gangguan gejala somatik tidak diketahui. Gangguan gejala
somatik primer dapat dikaitkan dengan kesadaran tinggi akan sensasi tubuh
normal. Kesadaran yang meningkat ini dapat dipasangkan dengan bias kognitif
untuk menafsirkan gejala fisik apapun sebagai indikasi penyakit medis. Gairah
otonom mungkin tinggi pada beberapa pasien dengan somatisasi. Gairah

20
otonom ini dapat dikaitkan dengan efek fisiologis senyawa noradrenergik
endogen seperti takikardia atau hipermotilitas gaster. Gairah yang meningkat
juga dapat menyebabkan ketegangan otot dan nyeri yang berhubungan dengan
hiperaktivitas otot, seperti yang terlihat dengan sakit kepala tension headache.
Studi pencitraan otak mendukung hubungan antara satu atau lebih
gangguan gejala somatik, dengan mengurangi volume amigdala otak dan
konektivitas otak antara amigdala dan regio yang mengendalikan fungsi
eksekutif dan motor.5,6
Gejala somatik merupakan pertahanan psikologis terhadap ketidakstabilan
mental. Seperti semua pertahanan intrafisik, pembentukan gejala mengurangi
tekanan intrafisik. Hal ini dikenal sebagai ”Primary Gain”. Primary Gain
berusaha untuk mengembalikan keseimbangan psikologis, namun dengan efek.
Realitas menjadi terganggu. Perhatian dialihkan ke gejala yang timbul, dan
masalah utama dan sumber ketidakstabilan mental dihalangi atau hanya
dialami sebagian, sehingga tidak teratasi.
Saat timbul, gejala mungkin secara sadar digunakan untuk mendapatkan
keuntungan interpersonal secara optimal. Hal ini dikenal sebagai “Secondary
Gain”. Secondary Gain merupakan strategi interpersonal yang didukung oleh
lingkungan sosial jika permasalahan yang mendasari terlihat nyata atau jika
manfaat interpersonal bertambah dengan perilaku adaptif atau kompleks.
Sebaliknya, permusuhan dan penolakan merupakan respon umum ketika
keuntungan interpersonal didapatkan melalui permasalahan yang terlihat palsu,
seperti sakit tanpa adanya gangguan, atau ketika strategi interpersonal yang
digunakan primitif dan terlihat jelas bersifat manipulatif dan maladaptif.
Beberapa strategi termasuk pemaksaan interpersonal yang tidak kompleks,
menghindari tanggung jawab, menghindari konsekuensi yang berbahaya,
kompensasi yang tidak sesuai, dan keuntungan finansial tanpa usaha. Respon
negatif tenaga medis terhadap Secondary Gain tidak dapat dihindari sebagai
hasil dari penilaian sikap dan perilaku tanpa peduli apakah perilaku tersebut
timbul dari kondisi organik atau psikiatri. Pada gangguan somatoform,

21
ketidaksukaan tenaga medis terlihat jelas ketika Secondary Gain timbul dari
tanda dann gejala tanpa adanya gangguan yang mendasari.
Pada somatisasi, gangguan yang mendasar adalah gangguan psikiatri yang
mengancam stabilitas mental. Ancaman terhadap integritas mental menimbulkan
ansietas yang menimbulkan pertahanan somatik. Pertahanan ini
bertanggungjawab terhadap gejala fisik nonorganik atau mengubah kesakitan
psikis menjadi kesakitan fisik. Proses awal ini menggantikan Primary Gain
psikologis. Pasien, seperti orang lain, menggunakan gejala yang timbul untuk
keuntungan pribadi untuk mendapatkan lebih banyak dari keadaan sakitnya. Hal
ini menggantikan Secondary Gain psikologis.
Primary Gain terjadi dalam keadaan tidak sadar. Sebagai hasil, gejala somatik
yang timbul dialami sebagai gangguan yang tidak diinginkan dan tidak
diharapkan. Pasien percaya dan merasa bahwa dirinya sakit. Pasien dengan
somatisasi tidak peka terhadap gangguan psikiatri yang yang mendasari – motivasi
yang menimbulkan gejala. Pasien ini juga tidak peka bahwa mereka mengalami
gejala palsu. Bagaimanapun, bentuk spesifik dari penyakit yang muncul
mencerminkan keyakinan sadar pasien tentang bagaimana penyakit harus timbul.
Tanda dan gejala yang didapatkan dari keyakinan disebut sebagai ideogenik.
Karena gejala mencerminkan konsep sakit menurut pasien, bukan gangguan
anatomi atau fisiologi secara organik, gejala timbul secara atipikal atau ganjil
untuk tenaga medis yang menangani.
Gejala dapat timbul tanpa adanya penyakit yang dapat diidentifikasi atau pola,
tingkat keparahan, dan durasi tanda dan gejala, dan dengan disfungsi yang
diinduksi, tidak sesuai dengan penyakit yang diketahui. Pembentukan gejala pada
somatisasi terlihat jelas pada gangguan konversi, dimana gejala diekspresikan
sebagai defisit neurologis yang bisa dipantau. Defisit ini dapat dibalikkan,
menunjukkan proses mekanisme operasi psikologis.
3.5 Gejala dan Diagnosis Depresi
 Mood terdepresi, kehilangan minat dan berkurangnya energi adalah gejala
utama dari depresi. Pasien mungkin mengatakan perasaannya sedih, tidak
mempunyai harapan, dicampakkan, atau tidak berharga.

22
 Pasien depresi terkadang tidak menyadari ia mengalami depresi dan tidak
mengeluh tentang gangguan mood meskipun mereka menarik diri dari
keluarga, teman dan aktivitas sebelumnya.
 Hampir semua pasien depresi mengeluh tentang penurunan energi.
 Pasien dengan depresi mengalami kesulitan menyelesaikan tugas,
mengalami hendaya disekolah dan pekerjaan, dan menurunnya motivasi
untuk terlibat dalam kegiatan baru.
 Pasien mengeluh masalah tidur, khususnya terjaga dini hari
(Terminalinsomnia) dan sering terbangun pada malam hari karena
memikirkan masalah yang dihadapi.
 Kebanyakan pasien juga menunjukan peningkatan atau penurunan nafsu
makan demikian pula dengan bertambah dan menurun berat badannya serta
mengalami tidur lebih lama dari yang biasanya.
 Kecemasan
 Perubahan asupan makanan dan istirahat dapat menyebabkan timbulnya
penyakit lain secara bersamaan, seperti diabetes, hipertensi, penyakit paru
obstruksi kronik, dan penyakit jantung. Gejala lain termasuk haid yang tidak
teratur dan menurunnya minat serta aktivitas seksual.
3.6 Gejala Somatisasi
Pasien dengan gangguan somatisasi memiliki banyak keluhan somatis dan
riwayat medis yang rumit dan Panjang. Mual dan muntah (selain selama
kehamilan), kesulitan menelan, nyeri di lengan dan tungkai, napas pendek tidak
berkaitan dengan olahraga, amnesia, dan komplikasi kehamilan serta menstruasi
adalah gejala yang paling lazim ditemui. Pasien sering menyakini bahwa mereka
telah sakit selama sebagian besar hidup mereka. Gejala pseudoneurologis
mengesankan, tetapi tidak patognomonik, untuk adanya gangguan neurologis.
Menurut DSM-IV-TR, gejala pseudoneurologis atau kelemahan local, kesulitan
menelan atau benjolan di tenggorok, afonia, retensi urine, halusinasi, hilangnya
sensasi raba atau nyeri, penglihatan ganda, buta, tuli, kejang atau hilang kesadaran
selain pingsan.

23
Penderitaan psikologis dan masalah interpersonal menonjol pada gangguan
ini; ansietas dan depresi adalah keadaan psikiatri yang paling sering. Ancaman
bunuh diri lazim ada tetapi bunuh diri yang sesungguhnya jarang terjadi. Jika
terjadi bunuh diri biasanya sering terkait penyalahgunaan zat. Riwayat medis
pasien sering berbelit-belit, samar, tidak pasti, tidak konsisten, dan kacau.
Pasien secara klasik, tetapi tidak selalu, menggambarkan keluhannya dengan
cara yang dramatis, emosional dan berlebihan dengan bahasa yang jelas dan
berwarna; mereka dapat bingung dengan urutan waktu dan tidak dapat
membedakan dengan jelas gejala saat ini dengan yang lalu. Pasien perempuan
dengan gangguan somatisasi dapat berpakaian dengan cara yang ekshibisionsistik.
Pasien dapat dianggap sebagau seseorang yang tidak mandiri, terpusat pada diri
sendiri, haus pemujaan dan manipulatif.

3.7 Klasifikasi Depresi


Klasifikasi menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di
Indonesia-III (PPDGJ-III)

Tabel 1. Klasifikasi depresif PPDGJ-III2

F32 Episode depresif


F32.0 Episode depresif ringan
.00 Tanpa gejala somatik
.01 Dengan gejala somatik
F32.1 Episode depresif sedang
.10 Tanpa gejala somatik
.11 Dengan gejala somatik
F32.2 Episode depresif berat tanpa gejala psikotik
F32.3 Episode depresif berat dengan gejala psikotik
F32.8 Episode depresif lainnya
F32.9 Episode depresif yang tak tergolongkan (YTT)
F33 Gangguan depresif berulang
F33.0 Gangguan depresif berulang, episode kini ringan
.00 Tanpa gejala somatik
.01 Dengan gejala somatik
F33.1 Gangguan depresif berulang, episode kini sedang
.10 Tanpa gejala somatik
.11 Dengan gejala somatik
F33.2 Gangguan depresif berulang, episode kini berat tanpa
gejala psikotik

24
F33.3 Gangguan depresif berulang, episode kini berat dengan
gejala psikotik
F33.4 Gangguan depresif berulang, kini dalam remisi
F33.8 Gangguan depresif berulang lainnya
F33.9 Gangguan depresif berulang yang tak tergolongkan
(YTT)

Klasifikasi menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders


V (DSM-V)

Tabel 3. Klasifikasi gangguan depresif berat DSM-V4

Gangguan depresif berat


296.xx Gangguan depresi berat
.2x Episode tunggal
.3x Rekuren

Episode Depresif Menurut PPDGJ III2

Terdapat 3 derajat episode depresif, yaitu derajat ringan, sedang, dan berat.
Baik episode depresif ringan, sedang, maupun berat memiliki gejala utama dan
gejala lainnya. Adapun gejala utama episode depresif adalah sebagai berikut.

1) Afek depresif
2) Kehilangan minat dan kegembiraan
3) Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah
dan menurunnya aktivitas
Gejala lainnya episode depresif adalah sebagai berikut:

a. Konsentrasi dan perhatian berkurang


b. Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
c. Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
d. Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
e. Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri

25
f. Tidur terganggu
g. Nafsu makan berkurang
Episode depresif biasanya harus berlangsung sekurang-kurangnya 2
minggu, akan tetapi jika gejala amat berat dan beronset sangat cepat, maka
masih dibenarkan untuk menegakkan diagnosis dalam kurun waktu kurang dari
2 minggu. Kategori diagnosis episode depresif ringan, sedang dan berat hanya
digunakan untuk episode depresif tunggal (yang pertama). Episode depresif
berikutnya harus diklasifikasikan di bawah salah satu diagnosis gangguan
depresif berulang.

1. Episode Depresif Ringan (F32.0)


Episode depresif ringan didiagnosis sebagai berikut.

1) Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi


seperti tersebut di atas.
2) Ditambah sekurang-kurangnya 2 dari gejala lainnya: (a) sampai
dengan (g).
3) Tidak boleh ada gejala yang berat diantaranya.
4) Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya
sekitar 2 minggu.
5) Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial
yang biasa dilakukannya.
Karakter kelima:
F32.00 = Tanpa gejala somatik
F32.01 = Dengan gejala somatik
2. Episode Depresif Sedang (F32.1)
Episode depresif sedang didiagnosis sebagai berikut.
1) Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi.
2) Ditambah sekurang-kurangnya 3 (dan sebaiknya 4) dari gejala
lainnya.
3) Lamanya seluruh episode berlangsung minimum sekitar 2
minggu

26
4) Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial,
pekerjaan, dan urusan rumah tangga.
Karakter kelima:
F32.10 = Tanpa gejala somatik
F32.11 = Dengan gejala somatik
3. Episode Depresif Berat tanpa Gejala Psikotik (F32.2)
Episode depresif berat tanpa gejala psikotik didiagnosis sebagai
berikut.
1) Semua 3 gejala utama depresi harus ada
2) Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya dan beberapa
diantaranya harus berintensitas berat
3) Bila ada gejala penting (misalnya agitasi atau retardasi
psikomotor) yang menyolok, maka pasien mungkin tidak mau
atau tidak mampu untuk melaporkan banyak gejalanya secara
rinci. Dalam hal demikian, penilaian secara menyeluruh terhadap
episode depresi berat masih dapat dibenarkan.
4) Episode depresif biasanya harus berlangsung sekurang-kurangnya
2 minggu, akan tetapi jika gejala amat berat dan beronset sangat
cepat, maka masih dibenarkan untuk menegakkan diagnosis
dalam kurun waktu kurang dari 2 minggu.
5) Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan
sosial, pekerjaan atau urusan rumah tangga, kecuali pada taraf
yang sangat terbatas.
4. Episode Depresif Berat dengan Gejala Psikotik (F32.3)
Episode depresif berat dengan gejala psikotik didiagnosis sebagai
berikut.
1) Episode depresi berat yang memenuhi kriteria menurut F32.2
tersebut di atas.
2) Disertai waham, halusinasi atau stupor depresi. Waham biasanya
melibatkan ide tentang dosa, kemiskinan atau malapetaka yang
mengancam dan pasien merasa bertanggung jawab atas hal itu.

27
Halusinasi auditorik atau olfaktorik biasanya berupa suara yang
menghina atau menuduh, atau bau kotoran atau daging busuk.
Retardasi psikomotor yang berat dapat menuju pada stupor. Jika
diperlukan, waham atau halusinasi dapat ditentukan sebagai serasi
atau tidak serasi dengan afek (mood congruent).
Gangguan Depresif Berulang Menurut PPDGJ III2

Gangguan depresif berulang (F33) menurut PPDGJ III didiagnosis sebagai


berikut.

(1) Gangguan ini tersifat dengan episode berulang dari:


a. Episode depresi ringan (F32.0)
b. Episode depresi sedang (F32.1)
c. Episode depresi berat (F32.2 dan F32.3)
Episode masing-masing rata-rata lamanya sekitar 6 bulan, akan tetapi
frekuensinya lebih jarang dibandingkan gangguan bipolar.
(2) Tanpa riwayat adanya episode tersendiri dari peninggian afek dan
hiperaktivitas yang memenuhi kriteria mania (F30.1 dan F30.2).
Namun, kategori ini tetap harus digunakan jika ternyata ada episode
singkat dari peninggian afek dan hiperaktivitas ringan yang memenuhi
kriteria hipomania (F30.0) segera sesudah suatu episode deresif
(kadang-kadang tampaknya dicetuskan oleh tindakan pengobatan
depresi).
(3) Pemulihan keadaan biasanya sempurna diantara episode, namun
sebagian kecil pasien mungkin mendapat depresi yang akhirnya
menetap, terutama pada usia lanjut (untuk keadaan ini, kategori ini harus
tetap digunakan).
(4) Episode masing-masing, dalam berbagai tingkat keparahan, seringkali
dicetuskan oleh peristiwa kehidupan yang penuh stres atau trauma
mental lain (adanya stres tidak esensial untuk penegakan diagnosis).
1. Gangguan Depresif Berulang, Episode Kini Ringan (F33.0)

28
Episode depresif berulang, episode kini ringan didiagnosis
sebagai berikut.
(1) Kriteria untuk gangguan depresif berulang (F33.-) harus
dipenuhi, dan episode sekarang harus memenuhi kriteria untuk
episode depresif ringan (F32.0); dan
(2) Sekurang-kurangnya dua episode telah berlangsung masing-
masing selama minimal 2 minggu dengan sela waktu beberapa
bulan tanpa gangguan afektif yang bermakna.
Karakter kelima :
F33.00 = tanpa gejala somatik
F33.01 = dengan gejala somatik
2. Gangguan Depresif Berulang, Episode Kini Sedang (F33.1)
Episode depresif berulang, episode kini sedang didiagnosis
sebagai berikut.
(1) Kriteria untuk gangguan depresif berulang (F33.-) harus
dipenuhi, dan episode sekarang harus memenuhi kriteria untuk
episode depresif sedang (F32.1); dan
(2) Sekurang-kurangnya dua episode telah berlangsung masing-
masing selama minimal 2 minggu dengan sela waktu beberapa
bulan tanpa gangguan afektif yang bermakna.
Karakter kelima :
F33.10 = tanpa gejala somatik
F33.11 = dengan gejala somatik
3. Gangguan Depresif Berulang, Episode Kini Berat Tanpa Gejala
Psikotik (F33.2)
Episode depresif berulang, episode kini berat tanpa gejala
psikotik didiagnosis sebagai berikut.
(1) Kriteria untuk gangguan depresif berulang (F33.-) harus
dipenuhi, dan episode sekarang harus memenuhi kriteria untuk
episode depresif berat tanpa gejala psikotik (F32.2); dan

29
(2) Sekurang-kurangnya dua episode telah berlangsung masing-
masing selama minimal 2 minggu dengan sela waktu beberapa
bulan tanpa gangguan afektif yang bermakna.
4. Gangguan Depresif Berulang, Episode Kini Berat Dengan Gejala
Psikotik (F33.3)
Episode depresif berulang, episode kini berat dengan gejala
psikotik didiagnosis sebagai berikut.
(1) Kriteria untuk gangguan depresif berulang (F33.-) harus
dipenuhi, dan episode sekarang harus memenuhi kriteria untuk
episode depresif berat dengan gejala psikotik (F32.3); dan
(2) Sekurang-kurangnya dua episode telah berlangsung masing-
masing selama minimal 2 minggu dengan sela waktu beberapa
bulan tanpa gangguan afektif yang bermakna.
5. Gangguan Depresif Berulang, Episode Kini Dalam Remisi (F33.4)
Episode depresif berulang, episode kini dalam remisi
didiagnosis sebagai berikut.
(1) Kriteria untuk gangguan depresif berulang (F33.-) harus
pernah dipenuhi di masa lampau, tetapi keadaan sekarang
seharusnya tidak memenuhi kriteria untuk episode depresif
dengan derajat keparahan apapun atau gangguan lain apapun
dalam F30-F39; dan
(2) Sekurang-kurangnya dua episode telah berlangsung masing-
masing selama minimal 2 minggu dengan sela waktu beberapa
bulan tanpa gangguan afektif yang bermakna.
Gangguan Depresif Berat (Mayor) Menurut DSM-V4

Dalam DSM-V disebutkan bahwa pasien yang menderita hanya


episode depresif dikatakan mengalami gangguan depresif berat. Pasien
yang mengalami episode depresif berat (mayor) didiagnosis sebagai
berikut.

30
Kriteria Diagnostik untuk Episode Depresif Mayor

Kriteria Diagnostik untuk Episode Depresif Mayor

A. Lima (atau lebih) gejala berikut ditemukan selama periode 2 minggu yang
sama dan menunjukkan suatu perubahan dari fungsi sebelumnya; paling
kurang satu gejala dari salah satu mood terdepresi atau dua kehilangan
minat atau kesenangan.
Catatan: jangan masukkan gejala yang jelas disebabkan oleh kondisi umum,
atau waham atau halusinasi yang tidak sesuai mood.

1. Mood terdepresi hampir sepanjang hari, hampir setiap hari, seperti


yang ditunjukkan baik oleh laporan subyektif (misalnya, perasaan
sedih atau kososng) maupun pengamatan yang dilakukan oleh
orang lain (misalnya, tampak sedih).
Catatan: pada anak-anak dan remaja, dapat berupa mood yang iritabel.

2. Kehilangan minat atau kesenangan yang nyata pada semua atau


hampir semua, aktivitas hampir sepanjang hari, hampir setiap hari
(seperti yang ditunjukkan baik oleh laporan subyektif maupun
pengamatan yang dilakukan oleh orang lain).
3. Penurunan berat badan yang bermakna jika tidak melakukan diet
atau penambahan berat badan (misalnya, perubahan berat badan
lebih dari 5 persen sebulan), atau penurunan atau peningkatan
nafsu makan hampir setiap hari.
Catatan: pada anak-anak, pertimbangkan kegagalan untuk mencapai
peningkatan berat badan yang diharapkan.

4. Insomnia atau hipersomnia hampir setiap hari.

31
5. Agitasi atau retardasi psikomotor hampir setiap hari 9dapat diamati
oleh orang lain, bukan hanya perasaan subyektif tentang adanya
kegelisahan atau mnenjadi lamban).
6. Kelelahan atau kehilangan tenaga hampir setiap hari
7. Perasaan tidak berharga atau perasaan bersalah yang berlebihan
atau tidak sesuai (yang dapat berupa waham) hampir setiap hari
(bukan hanya menyalahkan diri sendiri atau bersalah karena sakit)
8. Penurunan kemampuan untuk berpikir atau berkonsentrasi atau
keragu-raguan, hampir setiap hari (baik oleh laporan subyektif
maupun yang diamati orang lain)
9. Pikiran tentang kematian berulang (tidak hanya ketakutan akan
kematian), ide bunuh diri berulang tanpa suatu rencana yang
spesifik, atau percobaan bunuh diri atau rencana khusus untuk
melakukan bunuh diri.
B. Gejala tidak memenuhi kriteria Episode Campuran
C. Gejala menyebabkan penderitaan secara klinis yang bermakna atau
gangguan pada fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi bidang penting
lainnya.
D. Gejala bukan karena efek fisiologis langsung dari zat (misalnya
penyalahgunaan zat, pengobatan) atau suatu kondisi medis umum
(misalnya hipotiroidisme).
E. Gejala tidak lebih baik dijelaskan Berduka, yaitu setelah kehilangan
seorang yang dicintai, gejala menetap lebih lama dari 2 bulan atau ditandai
oleh gangguan fungsional yang nyata, preokupasi morbid dengan perasaan
tidak berharga, ide bunuh diri, gejala psikotik, atau retardasi psikomotor.

DSM-V juga menyebutkan mengenai kriteria diagnostik untuk episode


pertama gangguan depresif berat yang disebut dengan gangguan depresif
berat episode tunggal. Perbedaan antara pasien yang menderita episode
tunggal gangguan depresif berat dan pasien yang memiliki dua atau lebih

32
episode gangguan depresif berat adalah ditekankan karena ketidakpastian
perjalanan penyakit yang hanya menderita satu episode. Adapun diagnosis
untuk gangguan depresif berat episode tunggal adalah sebagai berikut. 4

Kriteria Diagnostik Gangguan Depresif Mayor, Episode Tunggal

Kriteria Diagnostik Gangguan Depresif Mayor, Episode Tunggal

A. Adanya episode depresif Mayor tunggal


B. Episode depresif Mayor tidak lebih baik diterangkan oleh gangguan
skizoaektif, dan tidak bertumpang tindih dengan skizofrenia, gangguan
skizofreniform, gangguan delusional atau gangguan psikotik YTT.
C. Tidak pernah terdapat episode manik, episode campuran, atau episode
hipomanik. Catatan: penyingkiran ini tidak berlaku jika semua episode
mirip manik, mirip campuran, atau mirip hipomanik adalah diakibatkan oleh
zat atau terapi dan karena efek fisiologis langsung dari kondisi medis umum.
Sebutkan (untuk episode sekarang atau paling akhir):
- Penentu keparahan/psikotik/remisi
- Kronik
- Dengan ciri katatonik
- Dengan ciri melankolik
- Dengan ciri atipikal
- Dengan onset pascapersalinan

Pasien yang mengalami sekurang-kurangnya episode kedua depresi


diklasifikasikan di dalam DSM-V sebagai menderita gangguan depresif berat,
rekuren. Masalah utama di dalam mendiagnosis episode rekuren gangguan
depresif berat adalah memutuskan kriteria apa yang digunakan untuk menandakan
resolusi masing-masing periode. Dua variabel adalah derajat resolusi gejala dan
lamanya resolusi. DSM-V mengharuskan bahwa episode depresi yang jelas

33
dipisahkan oleh sekurangnya periode dua bulan, selama mana pasien tidak
memiliki gejala depresi yang bermakna. Adapun diagnosis untuk pasien dengan
gangguan depresif mayor rekuren adalah sebagai berikut. 4

Gangguan depresif mayor, rekuren

Gangguan depresif mayor, rekuren

A. Terdapat dua atau lebih episode depresif mayor


Catatan: dipertimbangkan sebagai episode yang terpisah, harus terdapat suatu
interval paling kurang 2 bulan berturut-turut dimana kriteria episode
depresif mayor tidak terpenuhi.

B. Episode depresi mayor tidak lebih baik dijelaskan oleh ganguan skizoafektif
dan tidak bertumpang tindih dengan Skizofrenia, Gangguan
Skizofreniform, Gangguan Waham, ata Gangguan Psikotik yang Tak
Ditentukan
C. Tidak pernah terdapat episode manik episode campuran, atau episode manik
Catatan: penyingkiran ini tidak digunakan jika episode mirip manik, mirip
camputan,atau mirip hipomanik yang diinduksi zat atau pengobatan atau
karena efek fisiologis langsung dari suatu kondisi medis umum.

Jika saat ini memenuhi kriteria suatu episode depresi mayor, sebutkan status
dan/atau gambaran klinis saat ini: Ringan, sedang, berat tanpa ciri
psikotik/berat dengan ciri psikotik, kronik, dengan ciri katatonik, dengan
ciri melankolik, dengan ciri atipikal, dengan onset post partum

Jika saat ini tidak memenuhi kriteria suatu episode depresi mayor, sebutkan
status klinis saat ini dari gangguan depresi mayor atau ciri pada episode
paling akhir: dalam remisi parsial, dalam remisi penuh, kronik, dengan ciri
katatonik, dengan ciri melankolik, dengan ciri atipikal, dengan onset post
partum

34
PEDOMAN DIAGNOSIS GANGGUAN DEPRESI BERDASARKAN
(PPDGJ-III)

Pedoman diagnostik secara umum episode depresif Berdasarkan PPDGJ III: 7

1. Gejala Utama :
- Afek depresif
- Kehilangan minat dan kegembiraan
- Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah,
dan menurunnya aktivitas.
2. Gejala tambahan :
- Konsentrasi dan perhatian kurang
- Harga diri dan kepercayaan diri kurang
- Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berminat
- Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis.
- Gagasan atau perbuatan yang membahayakan diri atau bunuh diri.
- Nafsu makan berkurang.
- Tidur terganggu.
 Untuk episode depresif dari ketiga tingkat keparahan tersebut diperlukan
masa sekurang-kurangnya 2 minggu untuk menegakkan diagnosis, akan
tetapi periode lebih pendek dapat dibenarkan jika gejala luar biasa beratnya
dan berlangsung cepat.

 Kategori diagnosis episode depresif ringan (F32.0), sedang (F32.1) dan


Berat (F32.2) hanya digunakan untuk episode depresi tunggal (yang
pertama). Episode depresif berikutnya harus diklasifikasi di bawah salah
satu diagnosisgangguan depresif berulang (F33.-).

35
F 32.1 Episode Depresif Sedang

Pedoman Diagnostik Episode Depresif Sedang (F32.1)

a. Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi pada episode depresi
ringan.
b. Ditambah sekurang-kurangnya 3 (dan sebaiknya 4) dari gejala lainnya.
c. Lamanya seluruh episode berlangsung minimum sekitar 3 minggu.
d. Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan dan urusan
rumah tangga.
Karakter kelima: F32.10 = Tanpa gejala somatic

Kriteria untuk episode depresif sedang telah dipenuhi, dan tidak ada atau hanya ada
sedikit gejala somatik

F32.11 = Dengan gejala somatic

Kriteria untuk episode depresif sedang telah dipenuhi, dan ada empat atau lebih gejala
somatik. (jika hanya dua atau tiga geja somatik ditemukan tetapi luar biasa beratnya, maka
penggunaan kategori ini mungkin dapat dibenarkan).

3.8 Pedoman Diagnosis Gangguan Somatisasi menurut PPDGJ-111


Diagnosis pasti gangguan somatisasi menurut PPDGJ III memerlukan
semua hal berikut:8
a) Adanya banyak keluhan-keluhan fisik yang bermacam-macam yang tidak
dapat dijelaskan atas dasar adanya kelainan fisik, yang sudah berlangsung
sedikitnya 2 tahun;
b) Tidak mau menerima nasehat atau penjelasan dari beberapa dokter bahwa
tidak ada kelainan fisik yang menjelaskan keluhan-keluhannya;

36
c) Terdapat disabilitas dalam fungsinya di masyarakat dan keluarga, yang
berkaitan dengan sifat keluhan-keluhannya dan dampak dari perilakunya.

3.9 Depresi menyebabkan Gangguan Somatisasi


Psikoneuroimunologi mempelajari interaksi antara sistem saraf pusat dan
sistem kekebalan tubuh. Bidang ini telah membuat kemajuan besar dalam
memahami bagaimana fungsi otak dapat memodulasi aktivitas sistem
kekebalan tubuh dan menemukan bahwa mediator yang diproduksi oleh sel-sel
sistem kekebalan memberi pengaruh mendalam di otak. Sebagai contoh,
banyak penderita kanker payudara mengalami kelelahan yang terus-menerus
hingga 5 sampai 10 tahun setelah didiagnosis meski kemoterapi dan radioterapi
sudah dihentikan. Banyak penderita kanker yang sudah sembuh masih
mengalami kelelahan, dan ditemukan terdapat peningkatan biomarker
inflamasi. Terdapat kasus serupa dimana terjadi kelelahan dan peningkatan
biomarker inflamasi pada pasien dengan penyakit jantung koroner.

Mekanisme yang bertanggung jawab atas hubungan antara keluhan


kesehatan yang subjektif dengan inflamasi telah dijelaskan selama dekade
terakhir. Aktivasi sistem imun bawaan oleh patogen menginduksi produksi
lokal sitokin proinflamasi. Molekul-molekul ini bertanggung jawab atas
pengembangan respon inflamasi lokal dan respon sistemik terhadap inflamasi.
Reaksi fase akut ini meliputi produksi protein fase akut oleh hepatosit dan
terjadinya demam, merupakan respons metabolik yang diatur terhadap
patogen. Pengaturan suhu tubuh termasuk terjadinya demam diatur di daerah
preoptic anterior hipotalamus dan dipicu oleh sitokin proinflamasi yang
dilepaskan di perifer.

37
Sitokin proinflamasi tidak perlu masuk ke otak untuk mencapai hipotalamus karena
otak mampu membentuk representasi seluler dan molekuler dari respon imun
perifer (Gambar 1). Selama respon inflamasi, sel imun bawaan otak menghasilkan
sitokin proinflammatory. Sitokin ini diproduksi sebagai respons baik terhadap pola
molekuler terkait patogen yang dibawa oleh darah atau untuk menyebarkan sitokin
proinflamasi yang dirasakan oleh sel makrophage-like yang berada pada organ
circumventricular. Karena organ circumventricular memiliki sawar darah otak tidak
Sitokin proinflamasi diproduksi di perifer
oleh sel imun bawaan sebagai respons
terhadap pola molekuler terkait patogen
atau sinyal bahaya, seperti protein yang
dilepaskan oleh sel yang mati. Sitokin
proinflamasi di perifer menginduksi
produksi sitokin proinflamasi yang sama di
otak. Sitokin proinflamasi otak yang
bekerja pada berbagai area otak
menginduksi gejala penyakit nonspesifik,
seperti kelelahan, mood depresi, dan daya
kognisi yang menurun. Produksi dan aksi
sitokin proinflamasi diatur baik di perifer
dan di sistem saraf pusat oleh sejumlah
sempurna, perubahan komposisi lingkungan internal dapat yang
molekul dipantau. Sitokintermasuk sitokin
berlawanan
anti-inflamasi,
yang diproduksi di organ circumventricular secara hormonke steroid seperti
bertahap menyebar
glukokortikoid dan neuropeptida seperti α-
sisi sawar darah otak dan menarik sel mikroglial di parenkim otak.
melanotropin (α-MSH) dan vasopressin
(AVP).

Jalur komunikasi penting lain dari sistem imun ke otak adalah saraf aferen
yang menginervasi lokasi tubuh di mana inflamasi terjadi. Aktivasi saraf aferen
ini mendorong persepsi komponen sensorik inflamasi (kalor atau panas dan
dolor atau nyeri) dan ekspresi sitokin proinflamasi otak sebagai respons
terhadap sitokin inflamasi perifer. Bagian bilateral nervus vagus memblokir
transmisi immune-to-brain inflamasi di rongga perut, sedangkan bagian saraf
trigeminal melakukan hal yang sama untuk inflamasi di mulut.
Selain peran mereka dalam terjadinya demam, sitokin proinflamasi otak
juga bertanggung jawab atas komponen subjektif dan perilaku penyakit, yang

38
menjelaskan mengapa ada seseorang yang merasa sakit dan berperilaku sakit
saat sakit. Sebaliknya, gejala penyakit yang berkembang selama aktivasi
perifer sistem imun bawaan dapat diblokir dengan pemberian berbagai
antagonis sitokin di otak.
Studi tentang efek pada otak akibat sitokin telah menunjukkan bahwa,
walaupun perilaku sakit akibat sitokin biasanya reversibel, hal ini bertahan bila
sistem kekebalan imun diaktifkan secara terus menerus dan bahkan dapat
berujung pada depresi berat pada individu yang rentan. Gejala depresi
(misalnya, anhedonia, mood menurun, mudah tersinggung) berdampingan
dengan tanda-tanda depresi neurovegetatif (misalnya, kelelahan, berkurangnya
nafsu makan) pada pasien rentan yang sistem kekebalannya aktif secara terus
menerus. Pasien dengan gejala depresi lebih cenderung menjadi depresi dalam
menanggapi aktivasi sistem imun dibandingkan mereka yang memiliki gejala
lebih sedikit. Hal yang sama berlaku untuk pasien yang HPA aksisnya lebih
responsif terhadap rangsangan kekebalan tubuh.
Aspek penting dari patofisiologi komunikasi imun-ke-otak adalah adanya
proses sensitisasi silang antara stressor dan sitokin. Paparan terhadap kejutan
listrik, dalam sekejap, menyebabkan terjadinya respons sitokin perifer dan
pusat terhadap lipopolisakarida pada tikus selama minimal 4 hari setelah stres.
Begitu pula, interleukin (IL) -1 menginduksi sakit dengan mensensitisasi
respon pituitary-adrenal terhadap sengatan listrik hingga 2 sampai 3 minggu
setelah pengobatan sitokin. Sensitisasi juga dapat terjadi bila sitokin yang sama
diberikan dua kali dalam interval beberapa hari atau minggu, dan ini
mempengaruhi metabolisme neurotransmitter sensitif sitokin dan responsivitas
pituitary-adrenal terhadap sitokin.
Efek stres dan sitokin ini pada fungsi otak, kemungkinan memainkan peran
penting dalam patofisiologi amplifikasi somatik. Demonstrasi yang paling jelas
tentang relevansi klinis efek sensitisasi dari sitokin adalah di bidang rasa sakit.
Persepsi nyeri sangat diperkuat di bawah efek mediator proinflamasi yang
diproduksi oleh sel glial yang teraktivasi di sumsum tulang belakang. Penting
untuk dicatat bahwa aktivasi glia tidak terbatas pada sumsum tulang belakang

39
tetapi juga terjadi di otak dalam situasi inflamasi kronis yang terkait, misalnya
dengan neurodegenerasi progresif, obesitas, atau penuaan. Dalam kondisi ini,
sistem sitokin otak tampaknya peka karena ia merespons tingkat yang lebih
jauh terhadap pengaktifan lebih lanjut sistem imun bawaan perifer, yang
menghasilkan perilaku penyakit yang disebabkan oleh sitokin yang lebih kuat
dan / atau pemulihan yang tertunda dari penyakit.
Implikasi medis utama dari pandangan ini adalah bahwa banyak gejala
somatisasi termasuk depresi mood, kelelahan, dan rasa sakit dapat mewakili
ekspresi sistem sitokin otak yang sebelumnya peka yang diaktifkan kembali
oleh trauma infeksius atau noninfeksius. Pada tingkat klinis, belum ada
konsensus mengenai mana biomarker yang paling sesuai dengan gejala
somatisasi terhadap inflamasi. Tingkat sirkulasi protein fase-akut (mis., Protein
C-reaktif) memberikan indeks respons inflamasi yang dapat disempurnakan
dengan menggunakan kadar sitokin dalam plasma, seperti IL-6 bersama
reseptornya yang mudah larut. Karena kebanyakan sitokin lainnya bekerja
dengan cara parakrin / autokrin dan bukan sebagai hormon, produksi sitokin
oleh stimulasi monosit dalam kultur merupakan indeks aktivitas sistem
kekebalan bawaan yang lebih baik daripada tingkat sirkulasi yang hanya
mencerminkan luapan sitokin lokal. Karena sitokin diproduksi oleh banyak
jenis sel selain sel imun bawaan, hal itu dapat bermanfaat untuk menilai secara
lebih tepat keterlibatan makrofag dalam respon inflamasi dengan mengukur
tingkat sirkulasi neopterin. Kemungkinan dampak aktivasi kekebalan pada
neurotransmisi serotoninergik dapat dipelajari dengan mengukur konsentrasi
sininenenin yang bersirkulasi, metabolit utama triptofan.
Pada tingkat terapeutik, perawatan yang secara khusus menargetkan
aktivasi sistem sitokin otak belum tersedia. Namun, sudah ada bukti bahwa
terapi farmakologis (mis. Antidepresan) dan nonpharmacological dapat
mengurangi beberapa gejala somatik dengan meregulasi inflamasi.

40
3.10 Tatalaksana
Farmakoterapi

Pemberian Obat-Obatan Anti Depresan:7

Obat antidepresan mempunyai beberapa sinonim, antara lain timoleptik


atau psychic energizers. Dalam membicarakan obat antidepresi yang menjadi
obat acuan adalah amitriptilin. Sindrom depresi disebabkan oleh defisiensi
relatif salah satu neurotransmiter aminergik (noradrenalin, serotonin, dopamin)
pada sinaps neuron di SSP khususnya di sistem limbik. Mekanisme kerja obat-
obat anti depresi yaitu menghambat re-uptake neurotransmiter aminergik dan
menghambat penghancuran oleh ensim monoamin oksidase.

Pengolongan Obat antidepresan :

 Obat antidepresan Trisiklik : Seperti amitriptyline, imipramine, Clomipramine,


Tianeptine
 Obat antidepresan Tetrasiklik : Seperti Maprotiline, Mianserin, Amoxapine
 Obat antidepresan Reversible Inhibitor Monoamin oxydase – A (RIMA) :
Seperti Moclobemide
 Obat antidepresan Selective Serotonin Reupteke Inhibitor (SSRI) : Seperti
Sertraline, Fluoxetine, Duloxetine, Citalopram
 Obat antidepresan Atipikal : Seperti Trazodone, Mitrazapine

Efek Samping7

 Sedasi (rasa mengantuk, kewaspadaan berkurang, kinerja psikomotor


menurun, dll)
 Efek antikolinergik (mulut kering, retensi urin. penglihatan kabur,
konstipasi, sinus takikardi, dll)
 Efek antiadrenergik alfa (perubahan EKG, hipotensi)
 Efek neurotoksis (tremor halus, gelisah, agitasi, insomnia)

41
Efek samping yang tidak berat biasanya berkurang setelah 2-3 minggu bila
tetap diberikan dengan dosis yang sama. Pada keadaan overdosis/intoksikasi
trisiklik dapat terjadi Atropine Toxic Syndrome dengan gejala eksitasi susunan
saraf pusat, hipertensi, hiperpireksia, konvuisi, toxic consumed state
(confusion, delirium, disorientation).

Cara Penggunaan

Pemilihan jenis obat berdasarkan toleransi pasien terhadap efek


samping dan penyesuaian efek samping terhadap kondisi pasien (usia,
penyakit fisik tertentu. jenis depresi).

Dalam pengaturan dosis perlu dipertimbangkan:


 Onset efek primer : sekitar 2-4 minggu.

 Onset efek sekunder : sekitar 12-24 jam

 Waktu paruh : 12 - 48 jam (pemberian 1-2x perhari)

Proses dalam pengaturan dosis :

1. Initiating dosage (test dose); untuk mencapai dosis anjuran selama 1


minggu.

42
2. Titrating dosage (optimal dose); mulai dosisi anjuran sampai mencapai
dosis efektif (dosis optimal)
3. Stabilizing dosage (stabilization dose); dosis optimal yang dipertahankan
selaam 2-3 bulan.
4. Maintaining dosage (maintenance dose); selama 3-6 bulan. Biasanya dosis
pemeliharaan = ½ dosis optimal.
5. Tappering dosage (tappering dose); selama 1 bulan. Kebalikan dari proses
“initiating dosage”.

Dengan demikian obat anti-depresi dapat diberhentikan total. Kalau


kemudia Sindrom Depresi kambuh lagi, proses dimulai lagi dan awal dan
seterusnya. Pada dosis pemeliharaan dianjurkan dosis tunggal pada malam hari
(single dose one hour before sleep) untuk golongan Trisiklik dan Tetrasiklik.
Untuk golongan SSRI diberikan dosis tunggal pada pagi hari setelah sarapan
pagi.

Dosis
No. Nama generic Nama Dagang Sediaan
Anjuran
1. Amitriptyline AMITRIPTYLINE Drag 25 mg 75-150 mg/h
200- 300 mg
2. Amoxapine ASENDIN Tab 100 mg
/h
3. Tianeptine STABLON Tab12,5 mg 25-50 mg/h
4. Clomipramine ANAFRANIL Tab 25 mg 75-150 mg/h
5. Imipramine TOFRANIL Tab 25 mg 75-150 mg/h
6. Meclobemide AURORIX Tab 150 mg 300-600 mg/h
Tab 10 mg
Tab 25 mg
Tab 50 mg
7. Maprotiline LUDIOMIL 75-150 mg /h
Tab 75 mg
Drop 2 % 50 ml
Ampul 25-5 ml
Tab 10 mg
8. Mianserin TOLVON 30-60 mg/h
Tab 30 mg
ZOLOFT
FATRAL
9. Sertraline Tab 50 mg 50-100 mg/h
FRIDEP
NUDEP
Tab 50 mg
10. Trazodone TRAZONE 100-200mg/h
Tab 100 mg
11. Paroxetine SEROXAT Tab 20 mg 20-40 mg/h
12. Fluvoxamine LUVOX Tab 20 mg 50-100 mg/h

43
Tab 50 mg
PROZAC Cap 20 mg
NOPRES Cap 20 mg
ANSI Cap 10-20 mg
13. Fluoxetine ANTIPRESTIN Cap 10-20 mg 20-40 mg/h
LODEP Cap 20 mg
KALXETIN Cap 10-20 mg
ZAC Cap 10-20 mg
14. Citalopram CIPRAM Tab 20 mg 20-60 mg/h
15. Mirtazapine REMERON Tab 30 mg 15-45 mg/h
7

Non Farmakologi

1. Psikoterapi suportif

Psikoterapi suportif selalu diindikasikan. Berikan kehangatan,


empati, pengertian, dan optimistik. Bantu pasien mengindentifikasi dan mengeksp
resikan hal-hal yang membuatnya prihatin dan melontarkannya. Identifikasi faktor
pencetus dan bantu untuk mengoreksinya serta memecahkan problem eksternal .

2. Terapi kognitif

Pasien harus menyadari cara berpikirnya yang salah. Kemudian, ia harus


belajar cara merespon cara pikir yang salah tersebut dengan cara yang lebih adaptif.
Dari perspektif kognitif, pasien dilatih untuk mengenal dan menghilangkan pikiran
– pikiran negatif dan harapan – harapan negatif.

3. Terapi Interpersonal

Berfokus pada konteks sosial depresi dan hubungan pasien dengan orang lain.
Memberikan ventilasi yakni memberikan kesempatan kepada pasien untuk
mengungkapkan isi hati dan keinginannya supaya pasien merasa lega.

4. Edukasi

Menyarankan kepada keluarga untuk pentingnya dukungan kepada pasien,


jangan membatasi aktivitas pasien, ajak pasien bergembira, kurangi hal-hal yang
dapat meningkatkan stresor.Berdiskusi terhadap pentingnya pasien untuk teratur

44
minum obat dan kontrol selain itu kembali menyibukan diri seperti aktivitas dulu,
kembali melakukan hal-hal yang menyenangkan, jangan menyimpan emosi, bila
mungkin bisa kontrol ke psikiater.

Farmakologi

1. Nudep 50 mg 1x1
2. Alganax 0,5 mg, Abilify 2mg, Luften 25 mg 1x1 (Racikan)
3. Lansoprazol tab 30 mg 1x1

3.8 Prognosis
Hasil episode depresif berbeda-beda tetapi pada umumnya semakin lama
follow-up semakin baik. Resiko kekambuhan berkurang jika obat antidepresan
diteruskan selama 6 bulan setelah akhir episode depresif, secara keseluruhan.8

Indikator prognosis

Indikator prognosis baik dan buruk pada depresi yaitu :5

Prognosa baik apabila :


- Episodenya ringan,
- Tidak ada gejala psikotik
- Waktu rawat inap singkat
- Indikator psikososial meliputi mempunyai teman akrab selama masa remaja,
- Fungsi keluarga stabil
- Lima tahun sebelumnya sakit secara umum fungsi sosial baik.
- Tidak ada kemorbiditasdan gangguan psikiatri lain.
- Tidak lebih dari sekali rawat inap dengan depresi berat,
- Onset awal pada usia lanjut.
Prognosa buruk apabila :
- Depresi berat bersamaan dengan distimik
- Penyalahgunaan Alkohol dan zat lain
- Ditemukan gejala gangguan cemas
- Ada Riwayat lebih dari satu episode depresi sebelumnya

45
BAB IV

ANALISIS KASUS

Dari anamnesis dan pemeriksaan psikiatri yang dilakukan terhadap pasien Tn.D
umur 44 tahun yang datang ke poli RSJ Jambi tanggal 07 Februari 2018. Pasien
datang sendiri ke poliklinik RSJD Provinsi Jambi, memakai kaos, celana katun, dan
tampak rapi. Saat memasuki ruangan, pasien terlihat murung. Saat ditanya nama
dan alamat, pasien menjawab dengan benar
Keluhan pertama os pada 10 November 2017 saat masuk ke poliklinik RSJD
Provinsi Jambi adalah os datang sulit tidur, sakit perut dan terasa panas pada
perutnya, dan menjalar hingga ke dada kiri dan kanan, kepala terasa berdenyut-
denyut, menurut os keluhan os ada dikarenakan sering sakit dan tak kunjung
sembuh, keluhan itu semakin diperberat saat anaknya hampir diperkosa, karena
memikirkan serta merasa bersalah dengan keadaan tersebut os merasa semakin stres
dengan keadaan yang dialaminya os merasa sulit memasuki tidur dan sering
terbangun pada malam hari, karena malu dengan penyakitnya os tidak keluar dari
rumah, dan merasakan jika orang lain menyindirnya karena penyakitnya tidak
sembuh-sembuh, os merasakan kurang minat untuk melakukan hubungan seksual
dengan istrinya, os pernah melakukan percobaan bunuh diri karena tidak sanggup
lagi menahan penyakitnya.
Os merasa sulit tidur ±8 bulan yang lalu, karena memikirkan penyakit yang
dideritanya serta kejadian anaknya tersebut. Karena sulit tidur os merasa sakit
kepala hingga terguling-guling, merasa badanya panas, seluruh badan terasa pegal-
pegal dan os menjadi gelisah. Os merasa sedih, cemas dan mudah tersinggung.
Sejak ±6 bulan yang lalu os tidak mau bekerja lagi dan malas keluar rumah. Os
mengatakan jika bekerja mudah lelah. Os merasa nafsu makannya berkurang. Os
tidak pernah merasakan gembira yang berlebihan dan kepercayaan diri yang
meningkat sebelumnya.
Pada tanggal 23 November 2017 os melanjutkan obat yang diberikan poliklinik
RSJD dan mengatakan susah tidur, kurang nafsu makan dan kepala masih terasa
sakit, dan pada tanggal 06 Desember 2017 os kembali datang ke RSJD Provinsi

46
Jambi, os melanjutkan obat yang diberikan, cemas semakin berkurang, namun nafsu
makan semakin menurun dan terasa sakit kepala. Kunjungan terakhir os pada
tanggal 07 Februari 2018 os mengatakan keluhan semakin membaik, pada tanggal
24 Februari kami menelpon os dan mengatakan jika os masih merasa sedih, masih
mengurung diri di dalam rumah, os masih merasa malu, os merasakan mudah
marah, os masih merasa bersalah dengan kejadian masa lalunya, pola tidur os
semakin membaik, os bekerja sebagai supir karet dan itu hanya dilakukan sesekali
saja untuk membantu kakaknya, nafsu makan os juga belum terlalu membaik. Os
datang dengan keluhan sulit tidur sejak ±2 munggu SMRS, os merasa sulit
memasuki tidur dan sering terbangun pada malam hari. Os merasa sulit tidur karena
memikirkan penyakit yang dideritanya. Karena sulit tidur os merasa sakit kepala
hingga terguling-guling, merasa badanya panas, seluruh badan terasa pegal-pegal
dan os menjadi gelisah.
Hendaya/disfungsi dalam hubungan sosial, pekerjaan yaitu os hanya bekerja
sebagai supir karet dengan kakaknya, sebelumnya hampir 1 tahun os hanya diam di
rumah dan tidak bekerja. Pada riwayat penyakit dahulu os terlihat sedih karena
penyakitnya tidak kunjung sembuh, os merasa perutnya sangat sakit dan mencari
pertolongan ke setiap rumah sakit, os pernah berobat 4 kali di RS umum muara
bulian, RS medika bulian sebanyak 1 kali, os pernah dirawat di RSUD raden
mataher selama 1 minggu dengan diagnosis radang usus besar, os pernah berobat
ke RS Yogyakarta Parsito sebanyak 1 kali, karena tak kunjung sembuh os berobat
di RSJD Provinsi Jambi. Pengobatan ini os lakukan sejak tahun 2017, os juga
pernah di operasi appendisitis serta os juga menderita gastritis.
Pada pemeriksaan status mental didapatkan kesadaran pasien kompos mentis,
pasien datang dengan pakaian rapi dan terawat, sikap terhadap pemeriksa
kooperatif. Tidak terdapat gangguan dalam bentuk piker dan arus pikir. Pasien tidak
mengalami gangguan persepsi baik berupa halusinasi ataupun ilusi. Daya
konsentrasi baik, orientasi waktu, tempat dan orang baik, daya ingat baik, tidak ada
pikiran abstrak, pengendalian impuls baik dan os menyadari bahwa ia sakit.
Diagnosis banding pada kasus ini yaitu depresi sedang dengan gejala somatik,
gangguan cemas menyeluruh, gejala afektif bipolar episode kini depresi sedang

47
dengan gejala somatik dan gangguan somatisasi. Gambaran klinis pasien memenuhi
kriteria diagnosis episode depresif sedang dengan gejala somatik menurut PPDGJ
III yaitu adanya minimal 2 gejala utama depresi dan minimal 3 dari gejala lainnya.
Gejala utama yang didapatkan pada os dari hasil anamnesis adalah afek depresi dan
berkurangnya energi yang ditandai dengan os merasa mudah lelah dan tidak
bekerja, sedangkan untuk 3 gejala tambahan dari anamnesis didapatkan os merasa
kepercayaan dan harga diri berkurang, pernah melakukan bunuh diri, tidur
terganggu dan nafsu makan berkurang. Sedangkan untuk gejala somatic pada pasien
ini ditemukan adanya nyeri kepala, tubuh merasa panas dan badan terasa pegal-
pegal, perut terasa mau pecah.

Terapi yang diberikan pada os adalah :


1. Non farmakologis
a. Psikoterapi suportif
Psikoterapi suportif selalu diindikasikan. Berikan kehangatan,
empati, pengertian, dan optimistik. Bantu pasien mengindentifikasi dan m
engekspresikan hal-hal yang membuatnya prihatin dan melontarkannya.
Identifikasi faktor pencetus dan bantu untuk mengoreksinya
serta memecahkan problem eksternal .
b. Terapi kognitif
Terapi kognitif bertujuan untuk menghilangkan simtomp depresi melalui
usaha yang sistematis yaitu merubah cara piker maladaptive dan otomatik
pada pasien-pasien depresi. Pasien harus menyadari cara berpikirnya yang
salah. Kemudian, ia harus belajar merespin cara piker yang salah tersebut
dengan cara yang lebih adaptif. Dari perspektif kognitif, pasien dilatij untuk
mengenal dan menghilangkan pikiran negatif dan harapan negatif.
c. Edukasi
Menyarankan kepada keluarga untuk pentingnya dukungan kepada pasien,
jangan membatasi aktivitas pasien, ajak pasien bergembira, kurangi hal-hal
yang dapat meningkatkan stresor.Berdiskusi terhadap pentingnya pasien
untuk teratur minum obat dan kontrol selain itu kembali menyibukan diri

48
seperti aktivitas dulu, kembali melakukan hal-hal yang menyenangkan,
jangan menyimpan emosi, bila mungkin bisa kontrol ke psikiater.

2. Terapi Farmakologi
1. Nudep 50 mg 1x1
2. Alganax 0,5 mg, Abilify 2mg, Luften 25 mg 1x1 (Racikan)
3. Lansoprazol tab 30 mg 1x1

Prognosis pada pasien ini adalah


 Quo Ad Vitam : dubia ad bonam
 Quo Ad Functionam : dubia ad bonam
 Quo Ad Sanactionam : dubia ad bonam

49
BAB V

KESIMPULAN

Depresi adalah gangguan afektif yang ditandai dengan suasana perasaan yang
murung, hilangnya minat dan kegembiraan, serta berkurangnya energi untuk
aktivitas sehari-hari. Kondisi tersebut dapat mempengaruhi pikiran, tingkah laku,
dan keadaan fisik seseorang. 1
Gangguan depresi paling sering terjadi dengan prevalensi seumur hidup sekitar
15 persen. Penderita perempuan dapat mencapai 25 persen, sekitar 10 persen di
perawatan primer dan 15 persen dirawat dirumah sakit. Pada anak sekolah
didapatkan prevalensi sekitar 2 persen,dan usia remaja 5 persen. 5
Depresi dapat disebabkan oleh berbagai macam factor, dari penelitian keluarga
didapatkan gangguan depresi mayor dan gangguan bipolar terkait erat dengan
hubungan saudara; juga pada anak kembar, suatu bukti adanya kerentanan biologik,
pada genetik keluarga tersebut.5
Menurut PPDGJ III, depresi dapat diklasifikasikan menjadi episode depresi
tunggal (ringan, sedang, berat, lainnya, dan yang tak tergolongkan [YTT]) serta
gangguan depresif berulang.2 Pada pasien ini memiliki gejala sebagai depresi
sedang hal ini sesuai dengan hasil pemeriksaan HDRS dan Zung.
Gangguan somatisasi ditandai dengan banyak gejala somatis yang tidak dapat
dijelaskan dengan adekuat berdasarkan pemeriksaan fisik dan laboratorium.
Gangguan ini biasanya dimulai sebelum usia 30, dapat berlanjut hingga tahunan,
dan dikenali menurut DSM-IV-TR sebagai “kombinasi gejala nyeri,
gastrointestinal, seksual, serta pseudoneurologis”. Gangguan somatisasi berbeda
dengan gangguan somatoform lainnya karena banyaknya keluhan dan banyaknya
sistem organ yang terlibat (contohnya gastrointestinal dan neurologis). Gangguan
ini bersifat kronis dan disertai penderitaan psikologis yang signifikan, hendaya
fungsi sosial dan pekerjaan, serta perilaku mencari bantuan medis yang berlebihan.

50
DAFTAR PUSTAKA
1. W. Lam R, Mok H. Depression Oxford Psychiatry Library. Lunbeck
Institutes. 2000. p. 1-57.
2. Depkes RI, 1993, Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa
di Indonesia III, Jakarta: Depkes RI.
3. Kessler R C. And Bromet E J., 2013, The Epidemiology of Depression
Across Cultures, Annu Rev Public Health, 34: 119-138.
4. Kaplan H.I, Sadock B.J, Grebb J.A : Sinopsis Psikistri, Jilid II, Edisi ke-7,
Banarupa Asksara, Jakarta, 1997, hal 68-74.

5. Rang H P, Dale M M, Ritter J M, et al.Rang and Dale’s Pharmacology, Ed-


7, Churchill Livingstone, 2012.
6. Elvira S.D, hadisukanto.G . Buku Ajar Psikiatri edisi ke II. Jakarta, fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.2013. hal 228
7. Maslim, dr. Rusdi. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik.
Jakarta-Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma jaya. 2002.
8. Puri B.K, laking P.J dkk, Buku Ajar Psikiatri edisi keII, Jakarta .EGC
2012.hal: 33, 164-187

51

You might also like